• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjelasan Hukum Wanprestasi Yang Dilakukan Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penjelasan Hukum Wanprestasi Yang Dilakukan Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PENJELASAN HUKUM WANPRESTASI YANG

DILAKUKAN KLIEN DENGAN TIDAK MEMBAYAR

HONOR/ TARIF PENGACARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

R

R

E

E

Z

Z

E

E

K

K

Y

Y

P

P

R

R

A

A

N

N

A

A

N

N

T

T

A

A

B

B

A

A

N

N

G

G

U

U

N

N

NIM. 090200362

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PENJELASAN HUKUM WANPRESTASI YANG

DILAKUKAN KLIEN DENGAN TIDAK MEMBAYAR

HONOR/ TARIF PENGACARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

R

R

E

E

Z

Z

E

E

K

K

Y

Y

P

P

R

R

A

A

N

N

A

A

N

N

T

T

A

A

B

B

A

A

N

N

G

G

U

U

N

N

NIM. 090200362

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetuj ui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH, M. Hum

Pembimbing I

NIP. 195008081980021001 Muhammad Hayat, SH

Pembimbing II

NIP. 195802021988031004 Muhammad Husni, SH. M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai

tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat

beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah

menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Penjelasan Hukum Wanprestasi Yang

Dilakukan Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan

di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan

saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan

hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen

pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing,

dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu

(4)

SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan Bapak Dr. O.K. Saidin, SH.M.Hum selaku Pembantu

Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Hayat, SH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan,

serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

5. Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang

telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan,

arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

6. Kepada Ayahanda tersayang Rudy Bangun, Ibunda tersayang Murni Br

Purba, atas segala perhatian, dukungan, do’a dan kasih sayangnya sehingga

penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

7. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

8. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2009, selama

(5)

9. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan

satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2014

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Keaslian Penulisan ... 6

F. Metode Penelitian ... 6

G. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGACARA ... 9

A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian ... 9

B. Akibat Hukum Perjanjian ... 21

C. Pengertian Pengacara ………... 24

D. Tugas dan Fungsi Pengacara………. 26

BAB III KEDUDUKAN PENGACARA DALAM PERKARA PERDATA ... 30

A. Peran Pengacara Dalam Memilih Klien ... 30

(7)

C. Pembuatan Surat Kuasa Antara Pengacara Dengan Klien .... 36

BAB IV AKIBAT HUKUM TIDAK DIBAYARNYA HONOR/TARIF PENGACARA OLEH KLIEN ... 54

A. Hubungan Antara Klien Dengan Pengacara ... 54

B. Pola Pengaturan Honorarium Pengacara Sesuai Dengan Norma Yang Berlaku ... 58

C. Akibat Hukum Wanprestasi Klien Dalam Membayar Honor/Tarif Pengacara ... 62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71

(8)

PENJELASAN HUKUM WANPRESTASI YANG DILAKUKAN KLIEN DENGAN TIDAK MEMBAYAR HONOR/TARIF PENGACARA

ABSTRAK

*RReezzeekkyyPPrraannaannttaaBBaanngguunn

** Muhammad Hayat, SH *** Muhammad Husni, SH.M.Hum

Perjanjian pengacara dan klien sangat penting untuk mencegah potensi ribut di kemudian hari. Apalagi, kedudukan advokat dan klien pada dasarnya tidak seimbang. Klien lemah dalam posisi pemahaman hukum. Tetapi melalui perjanjian, kedua belah pihak menjadi seimbang. Melalui perjanjian kewajiban para pihak akan diketahui, sehingga klien dan lawyer terlindungi.Pengacara dan klien harus membicarakan hak dan kewajiban masing-masing, lalu menuangkannya ke dalam perjanjian. Kalaupun ada proses tawar menawar dalam penentuan fee, itu adalah sesuatu yang biasa. Penentuan besarnya tarif ditentukan banyak faktor. Masing-masing advokat atau kantor hukum punya kriteria tersendiri. Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana hubungan antara klien dengan pengacara, bagaimana pengaturan honorarium pengacara sesuai dengan norma yang berlaku dan bagaimana akibat hukum wanprestasi klien dalam membayar honor/tarif pengacara.

Metode penelitian yang digunakan adalah Jenis penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris bersifat deskriptif analtis, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau penelitian hukum perpustakaan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui hubungan Antara Klien Dengan Pengacara pada dasarnya adalah hubungan dalam bentuk bantuan hukum dengan cara pemberian kuasa dari klien kepada pengacara untuk mewakili klien bertindak di depan maupun di luar pengadilan. Masyarakat memerlukan bantuan pengacara karena masyarakat tidak paham bagaimana caranya menyelesaikan masalah itu agar mendapatkan keadilan. Pola pengaturan honorarium Pengacara tidak ada ketentuan mengenai pengaturan honorarium jasa hukum oleh advokat. Namun pada umumnya, penentuan jasa hukum biasanya didasarkan pada beberapa variabel seperti tingkat kerumitan perkara, penggunaan waktu dalam menangani perkara, serta nilai perkara itu sendiri. Tidak ada komponen yang pasti ataupun persentase penghitungan biaya. Pada prinsipnya mengenai biaya penanganan suatu perkara merupakan kesepakatan antara advokat dengan klien. Akibat Hukum wanprestasi Klien Dalam Membayar honorarium Pengacara maka dapat dikatakan klien tersebut telah melakukan wanprestasi dan dengan sebab wanprestasi tersebut maka pengacara dapat memutuskan menjadi pengacara kliennya dan menuntut pembayaran honor fee yang belum dibayarkan ditambah denda dan bunga.

Kata Kunci : Wanprestasi, Klien, Honor/Tarif, Pengacara

* Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persaingan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dihadapkan

pada benturan-benturan kepentingan yang bermuara kearah terjadinya sengketa

dan perselisihan, hal ini karena kehidupan manusia diatur dengan kaedah atau

norma hukum, maka sengketa dan perselisihan tersebut langsung bersinggungan

dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

Oleh karena itu semakin meningkatnya kebutuhan manusia, semakin

meningkat pula kebutuhan manusia terhadap hukum. Disinilah dituntut peranan

pengacara dalam menjalankan profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan

hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan.

Pengacara atau disebut dengan advokat sebagai pemberi bantuan hukum

atau jasa hukum kepada masyarakat atau klien yang menghadapi masalah hukum

yang keberadaannya sangat dibutuhkan. Saat ini semakin penting, seiring dengan

meningkatnya kesadaran hukum masyarakat serta kompleksitasnya masalah

hukum.

Lain dari pada itu, pengacara merupakan profesi yang memberikan jasa

hukum saat menjalankan tugas dan fungsinya, yang juga berperan sebagai

pendamping, pemberi advise hukum, maupun menjadi kuasa hukum untuk dan

atas nama kliennya.

Begitupun pemberian jasa hukum kepada masyarakat dalam hukum positif

(10)

Dasar (UUD) 1945, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang

ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, dan

lain sebagainya.

Berbicara mengenai profesi pengacara dalam lembaga peradilan, banyak

dijumpai peran pengacara yang ikut serta berpartisipasi dalam menyelesaikan

perkara yang diembankan dan diamanatkan pada dirinya. Peran pengacara

tersebut dapat dilihat dari proses awal pengajuan perkara ke pengadilan tidak

lepas dari perannya sebagai advokat dalam memberikan bantuan hukum, dari

mulai mengurusi masalah administratif, sampai pada proses litigasi selesai.1

1

Rahmat Rosyadi dan sri Hartini, Advokad Dalam Perspektif Islam & Hukum Positif, Jakarta:

Ghalia Indonesia,2003, hal. 65.

Uraian diatas memberikan arti, bahwa keberadaan seorang pengacara

mempunyai arti penting dalam memberikan jalan keluar terhadap adanya

permasalahan yang dihadapi oleh seseorang, khususnya yang berpraktik di

pengadilan.

Kepercayaan adalah kunci utama dalam hubungan pengacara dengan klien.

Pembelaan asal-asalan bisa menyulut kekesalan klien. Sebaliknya, pembelaan

yang berlebihan terhadap klien bisa menyulut amarah pihak lain. Apalagi jika

advokat mengeluarkan pernyataan yang menyinggung perasaan pihak ketiga.

Namun hubungan pengacara dengan klien tak selamanya harmonis.

Adakalanya kepercayaan berubah menjadi sengketa yang sulit diselesaikan

(11)

Penyebabnya banyak. Yang paling umum terjadi karena masalah

honorarium (fee) dan ketidaksepahaman pengacara dengan klien mengenai

langkah hukum tertentu yang harus dilakukan. Kalau pengacara menyarankan

langkah tertentu tapi klien tak setuju, tingkat kepercayaan bisa menipis. Kalau

kepercayaan terus makin terkikis, pemberian kuasa bisa putus baik karena inisiatif

klien, maupun karena advokat mundur.

Dalam hubungan pengacara klien, honorarium menjadi sesuatu yang

penting. Honorarium adalah hak advokat yang wajib dibayarkan klien sesuai

kesepakatan. Mekanisme pembayaran dan persyaratan lainnya juga didasarkan

pada kesepakatan.

Jika honorarium tidak dibayar sesuai kesepakatan, pengacara biasanya

melayangkan gugatan terhadap klien. Jika klien tetap tidak membayar

honorarium pengacara, si pengacara bisa melayangkan permohonan pailit

terhadap klien.

Langkah advokat menggugat klien karena persoalan honorarium dapat

dibenarkan, setidaknya dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung No. 640

K/Pdt/2011. Majelis hakim agung H. Atja Sondjaja, Prof. HM Hakim Nyak Pha,

dan Prof. Takdir Rahmadi, mengabulkan gugatan Gani Djemat & Partners

terhadap Billy Sindoro. Billy Sindoro pernah memberikan kuasa hukum kepada

advokat dari kantor hukum tersebut saat Billy menghadapi perkara di Pengadilan

Tipikor Jakarta.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menunjuk surat kuasa 1

(12)

pembayaran’. Menurut Mahkamah, tergugat belum melaksanakan pembayaran

sehingga disebut wanprestasi. Billy dihukum membayar fee pengacara sebesar Rp.

500 juta.

Pertimbangan hukum Mahkamah Agung merujuk pada perjanjian yang

dibuat advokat-klien. Lazim terjadi hubungan awal advokat dan klien baru sebatas

surat kuasa. Setelah itu, baru dibahas perjanjian mengenai honorarium. Tawaran

honorarium sering datang dari pengacara. Legal fee itulah yang dibuat semacam

surat penawaran. Jika klien setuju, kedua belah pihak akan tanda tangan.

Perjanjian pengacara dan klien sangat penting untuk mencegah potensi

ribut di kemudian hari. Apalagi, kedudukan advokat dan klien pada dasarnya tidak

seimbang. Klien lemah dalam posisi pemahaman hukum. Tetapi melalui

perjanjian, kedua belah pihak menjadi seimbang. Melalui perjanjian kewajiban

para pihak akan diketahui, sehingga klien dan lawyer terlindungi.

Pengacara dan klien harus membicarakan hak dan kewajiban

masing-masing, lalu menuangkannya ke dalam perjanjian. Kalaupun ada proses tawar

menawar dalam penentuan fee, itu adalah sesuatu yang biasa. Penentuan besarnya

tarif ditentukan banyak faktor. Masing-masing advokat atau kantor hukum punya

kriteria tersendiri.

Hal ini yang merupakan sebab penulis tertarik untuk menulis skripsi

dengan judul “Penjelasan Hukum wanprestasi Yang Dilakukan Klien Dengan

(13)

B. Permasalahan

Terdapat beberapa pokok permasalahan yang akan diteliti dan dibahas

dalam penulisan skripsi ini. Maka adapun pokok permasalahan yang dimaksud

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan antara klien dengan pengacara?

2. Bagaimana pengaturan honorarium pengacara sesuai dengan norma yang

berlaku?

3. Bagaimana akibat hukum wanprestasi klien dalam membayar honor/tarif

pengacara?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui hubungan antara klien dengan pengacara.

2. Untuk mengetahui pengaturan honorarium pengacara sesuai dengan norma

yang berlaku.

3. Untuk mengetahui akibat hukum wanprestasi klien dalam membayar

honor/tarif pengacara.

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis kajian ini diharapkan memberikan kontribusi penelitian perihal

penyelesaian wanprestasi dalam hubungan antara seorang pengacara dengan

(14)

b. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran kepada pihak terkait baik itu

pihak yang terkait langsung khususnya masyarakat yang menggunakan jasa

pengacara.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan atas ide atau gagasan penulis dan telah

dilakukan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum USU oleh Petugas

Pustaka bahwa judul skripsi Penjelasan Hukum wanprestasi Yang Dilakukan

Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara, ini tidak ditemukan dan

tidak ada yang mirip. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tulisan ini adalah

asli.

Skripsi ini asli ditulis dan diproses melalui pemikiran penulis, referensi

dari peraturan-peraturan, buku-buku, kamus hukum, internet, bantuan dari

pihak-pihak yang berkompeten dalam bidangnya yang berkaitan dengan skripsi ini.

Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah

metode penelitian yuridis normatif bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian

(15)

penelitian hukum perpustakaan.2

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data primer dan data sekunder.

Data primer data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Undang-Undang

Dasar (UUD) 1945, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang

ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang-Undang-Undang No. 18 Tahun

2003 Tentang Advokat dan KUH Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang

diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun

kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.

3. Alat pengumpulan data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah

melalui studi dokumen dengan yuridis normatif.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi

dokumen, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis

kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan dari hasil penelitian

selanjutnya dianalisis dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2

(16)

serta menarik kesimpulan.

G. Sistematika Penelitian

Penulisan skripsi ini memiliki sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab merupakan bab yang berisi tentang Latar Belakang,

Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN

PENGACARA.

Bab ini terdiri dari beberapa sub bab, yakni Pengertian dan Syarat

Sahnya Perjanjian, Akibat Hukum Perjanjian, Pengertian

Pengacara dan Tugas dan Fungsi Pengacara.

BAB III : KEDUDUKAN PENGACARA DALAM PERKARA PERDATA

Bab ini akan menguraikan tentang Peran Pengacara Dalam

Memilih Klien, Kedudukan Pengacara Dalam Acara Perdata, serta

Pembuatan Surat Kuasa Antara Pengacara Dengan Klien.

BAB IV : AKIBAT HUKUM TIDAK DIBAYARNYA HONOR/TARIF

PENGACARA OLEH KLIEN

Bab ini membahas tentang: Hubungan Antara Klien Dengan

Pengacara, Pola Pengaturan Honorarium Pengacara Sesuai Dengan

Norma Yang Berlaku Serta Akibat Hukum Wanprestasi Klien

(17)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(18)

BAB II

PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGACARA

A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1

(satu) orang lain atau lebih”.

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula

terlalu luas.3

Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung

pengertian: “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau

lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi

dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya”.

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian

sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan

di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga,

tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku

III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai

secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

4

3

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.

4

(19)

Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa

unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut Hukum Kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi “.5

Sesuai dengan pengertian di atas, perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.6

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan

yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda

kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya

timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang

diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara

pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan

itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum/rechtshandeling.

Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang

menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi

hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain

itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.7

Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak yang laim memikul

kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau

5

Ibid., hal. 6.

6

Ibid., hal. 7.

7

(20)

voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan

berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum

perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai

kreditur atau schuldeiser. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan

sebagai schuldenaar atau debitur.8

1. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai melekat/droit de suite.

Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat dalam

hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan

mempunyai karakter yang paling mutlak. Akan tetapi seperti yang telah pernah

disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah

lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Hukum/

Vermogenrecht kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru

bias tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling.

Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun

hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan

benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde

persoon).

Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht

dengan hukum perjanjian:

2. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk

menghormati hak seseorang atas benda tadi, tidak dapat diganggu gugat/in violable et sacre.

3. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan

sesukanya atas benda tersebut.9

8

Ibid., hal. 8.

9

(21)

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan

dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur

hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang

pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan

diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht

berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang

tertentu saja.10

1. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang

tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan. Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang

pengertian hukum benda yang diatur dalam KUH Perdata dalam Buku II, yang

menganggap hak kebendaan itu “hak yang tidak dapat diganggu gugat/inviolable

et sacre“ dan memiliki hak melekat kepada pemiliknya/droit de suite, tidak

mempunyai daya hukum lagi.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari

perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada

orang/persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir

atas perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengeecualian :

2. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata,

dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).11

10

Ibid., hal. 9.

11

(22)

Perjanjian/verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam

perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak

mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti

kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan

pelaksanaan kewajiban / prestasi yang mereka perjanjikan.

Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat

meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi,

ganti rugi atau uang paksa.

Akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat

dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini

perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Ajdi natuurlijk verbintenis adalah

perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa.

Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara :

1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti

natuurlijke verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

3. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini

pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan (perintah eksekusi) dan eksekusi riel (waktu eksekusi), ganti rugi serta uang paksa.12

12

(23)

2. Syarat Sah Suatu Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Mengenai suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena

mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai

perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si penjual mengingini sesuatu barang si penjual.13

13

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 2001, hal. 17.

Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus

dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan

bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila

kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat

(24)

Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu

sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek

kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam

perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara

tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.14

Mengenai kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan

penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan

kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang mana

telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok

yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa

kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap

tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif,

dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti

kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada

perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah

diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi

syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat

dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu

suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara

tidak benar.

14

(25)

apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut

perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan

itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan

untuk mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna

menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa

barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai

pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang

cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu

harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus

mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya.15

Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada

salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok

barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas

adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang

itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut

adalah orang yang dimaksudkannya.

15

(26)

lawannya.

Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan

melawan hukum atau sebagaimana yang diatur Pasal 1365 KUH Perdata.

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut

ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yuriprudensi dalam hal

penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan

atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan

mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan.

Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru

dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian

adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH

Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan :

1. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara

sah.

2. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang

menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara

suami isteri.

Perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang

yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada

tiga, yaitu :

1. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

(27)

3. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi

kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri.

Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah

tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh

undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau

mendapat izin dari suaminya.

Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah

besar sekali. Sesuai kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang

membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah

kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963

tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata

tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk

menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah

tidak berlaku lagi.

Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang tergolong

tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang

dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa

perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu

sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengadakan bahwa

perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat

dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak

(28)

oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat

suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut,

kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada

hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan

ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana

dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang

wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh

perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan

tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit

diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu

adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang

pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa

sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari

sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam

masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti

juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang

yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak

berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian

itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah

pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab

(29)

Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya

hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan

harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam

perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH

Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal

saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi

perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja

yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang

mereka buat itu.

“Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan ,

maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini,

perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.16

“Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal

yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakan

dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu

persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”.

Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH

Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang

halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri.

Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu :

17

16

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hal. 94.

17

(30)

Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal,

dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.

“Sebagai sontoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang

terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si

pembeli membunuh orang”.18

B. Akibat Hukum Perjanjian

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian

telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat

subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu

dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang

tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak

mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka

dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak

dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Jika ada dua orang mengadakan perjanjian, maka masing-masing mereka

bertujuan untuk memperoleh prestasi dari pihak lawannya. Prestasi tersebut dapat

berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Perjanjian

ini dibuat dengan maksud supaya dilaksanakan dan umumnya memang

dilaksanakan. Masing-masing pihak harus melaksanakan apa yang disetujui

dengan tepat.

18

(31)

“Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji

pada seseorang lain, atau dimana seorang saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu“.

Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian itu

dibagi dalam tiga macam, yaitu :

1. Perjanjian untuk memberikan, menyerahkan suatu barang.

2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu

3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Hal yang seharusnya dilaksanakan itu disebut prestasi.

Dalam menentukan batas antara memberi dan berbuat sering kali

menimbulkan keragu-raguan. Walaupun menurut tata bahasa bahwa memberi

adalah berbuat, akan tetapi pada umumnya yang diartikan dengan memberi adalah

menyerahkan hak milik atau memberi kenikmatan atas sesuatu benda. Misalnya

penyerahan hak milik atas sebuah rumah atau memberi kenikmatan atas barang

yang disewa kepada si penyewa. Adapun yang dimaksud dengan berbuat adalah

setiap prestasi yang bersifat positif yang tidak berupa memberi, misalnya melukis.

Perjanjian untuk menyerahkan, memberikan sesuatu misalnya : jual beli,

tukar-menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai dan

lain-lain.

Perjanjian untuk berbuat sesuatu misalnya : Perjanjian untuk membuat

suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat suatu grasi, dan

(32)

“ Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu misalnya : perjanjian untuk tidak

membuat tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang

sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebagainya “.19

Dalam mengadakan suatu perjanjian, biasanya orang tidak mengatur atau

menetapkan apa yang mejadi hak dan kewajiban mereka. Mereka hanya

menetapkan hal-hal yang pokok saja, jadi untuk melaksanakan suatu perjanjian Dalam hukum perjanjian, bagaimana jika salah satu pihak tidak menepati

janjinya, dimana salah satu pihak tidak dapat mewujudkan prestasi yang telah

dijanjikan.

Mengenai perjanjian untuk menyerahkan sesuatu, tidak terdapat petunjuk

dalam undang-undang. Sedangkan dalam perjanjian untuk berbuat sesuatu dan

perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu , maka jika salah satu pihak wanprestasi,

perjanjian itu dapat diexecutie secara riil. Artinya pihak yang lain dapat

merealisasikan apa yang menjadi hak menurut perjanjian. Bila para pihak tidak

memenuhi perjanjian itu, maka perjanjian itu batal, sehingga salah satu pihak yang

terikat dalam perjanjian itu tidak terdapat hak untuk merealisasikan apa yang

menjadi haknya menurut undang-undang.

Dengan demikian si kreditur menurut undang-undang boleh dikuasakan

supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya. Atau si kreditur berhak

menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan

perjanjian, dengan tidak mengurangi haknya untuk ganti kerugian. Misalnya :

tembok yang didirikan dengan melanggar perjanjian, dapat dirobohkan.

19

(33)

seharusnya lebih dahulu ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian

tersebut. Menetapkan secara tegas hak dan kewajiban masing-masing pihak.

C. Pengertian Pengacara

Pengacara atau advokat atau kuasa hukum adalah kata benda, subyek.

Dalam praktik dikenal juga dengan istilah Konsultan Hukum. Dapat berarti

seseorang yang melakukan atau memberikan nasihat (advis) dan pembelaan

“mewakili” bagi orang lain yang berhubungan (klien) dengan penyelesaian suatu

kasus hukum.20

Pembelaan dilakukan oleh pengacara terhadap institusi formal (peradilan)

maupun informal (diskursus), atau orang yang mendapat sertifikasi untuk

memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Di Indonesia,

untuk dapat menjadi seorang pengacara, seorang sarjana yang berlatar belakang

Perguruan Tinggi hukum harus mengikuti pendidikan khusus dan lulus ujian Istilah pengacara berkonotasi jasa profesi hukum yang berperan dalam

suatu sengketa yang dapat diselesaikan di luar atau di dalam sidang pengadilan.

Dalam profesi hukum, dikenal istilah beracara yang terkait dengan pengaturan

hukum acara dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Kitab

Undang-undang Hukum Acara Perdata. Istilah pengacara dibedakan dengan istilah

Konsultan Hukum yang kegiatannya lebih ke penyediaan jasa konsultasi hukum

secara umum.

20

(34)

profesi yang dilaksanakan oleh suatu organisasi pengacara.21

Sedangkan sebelumnya dipergunakan istilah pembela, advokat, procureur

(pokrol) dan pengacara. Menurut pendapat beberapa orang sarjana bahwa istilah

penasehat hukum lebih tepat jika dibandingkan dengan istilah–istilah terdahulu. Istilah penasehat hukum pertama sekali dipakai oleh Undang-Undang

Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 kemudian oleh

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Dengan keluarnya Undang-Undang-Undang-Undang No. 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman yang secara langsung juga menghapuskan

Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 maka perihal

istilah “penasehat hukum” digantikan dengan istilah “advokat”. Hal ini dapat

dilihat dalam ketentuan Pasal 38 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang

berbunyi “Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan

penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan

advokat”.

Sebelum keluarnya Undang-Undang Kehakiman di atas maka perihal

pemakaian istilah advokat juga telah diterapkan dalam Undang-Undang No. 18

Tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan dalam Pasal 1 angka 1 nya

“advokat adalah orang yang berfrofesi memberi jasa hukum baik di dalam

maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan

undang-undang ini”.

22

Istilah pembela misalnya sering disalah tafsirkan seakan-akan berfungsi sebagai

21 Ibid. 22

(35)

penolong tersangka atau terdakwa bebas ataupun terlepas dari pemidanaan

walaupun ia jelas bersalah melakukan yang didakwakan.

Advokat adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan

hukum berdasarkan surat kuasa yang diberkan untuk pembelaan atau penuntutan

pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di pengadilan (proses litigasi).

Sedangkan penasehat hukum adalah orang yang bertindak memberikan

nasehat-nasehat dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan/perbuatan yang akan dan

yang telah dilakukan kliennya (non litigation).23

23

Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hal. 87.

D. Tugas dan Fungsi Pengacara

Tugas merupakan kewajiban; sesuatu yang wajib dilakukan atau

ditentukan untuk dilakukan. Berbicara mengenai tugas advokat berarti sesuatu

yang wajib dilakukan oleh advokat dalam memberikan jasa hukum kepada

masyarakat atau kliennya. Oleh karenanya, seorang advokat dalam menjalankan

tugasnya bertanggung jawab kepada negara, pengadilan, klien, dan pihak

lawannya.

Persepsi masyarakat terhadap tugas advokat sampai saat ini, masih banyak

mengandung unsur salah paham, masih banyak yang menganggap bahwa tugas

advokat hanya membela perkara di pengadilan dalam perkara perdata, pidana, dan

tata usaha negara di hadapan kepolisian, kejaksaan, dan di pengadilan. Pada

dasarnya pekerjaan advokat tidak hanya bersifat litigasi, tetapi mencakup tugas

(36)

Adapun tugas seorang advokat bukanlah merupakan pekerjaan (vocation

beroep), akan tetapi lebih merupakan sebuah profesi. Karena profesi advokat tidak

sekedar bersifat ekonomis, yang berorientasi hanya untuk mencari nafkah, akan

lebih dari pada itu, mempunyai nilai sosial yang lebih tinggi di dalam masyarakat.

Profesi advokat dikenal sebagai profesi yang mulia (Officium Nobile), karena

mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang

ras, warna kulit, agama, budaya, sosial, keyakinan dan lain sebagainya.

Tugas seorang advokat sendiri adalah membela kepentingan masyarakat

(publik defender) dan kliennya. Keberadaan seorang advokat dibutuhkan ketika

seseorang atau lebih anggota masyarakat menghadapi suatu masalah atau problem

di bidang hukum. Sebelum menjalankan tugasnya, ia harus bersumpah terlebih

dahulu sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Dalam

menjalankan tugasnya, ia juga harus memahami kode etik advokat sebagai

landasan moral.

Bagaimanapun tugas seorang advokat dalam memberikan jasa hukum

masyarakat tidak terinci dalam uraian tugas, karena seorang advokat bukanlah

seorang pejabat negara sebagai pelaksana hukum, sebagaimana polisi, jaksa, dan

hakim. Ia merupakan profesi yang bergerak di bidang hukum, untuk memberikan

pembelaan, pendampingan, dan menjadi kuasa untuk dan atas nama kliennya. Ia

disebut sebagai benteng hukum atau garda keadilan dalam menjalankan

fungsinya.

Fungsi, merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari tugas, di mana

(37)

karena keduanya merupakan sistem kerja yang saling mendukung, dan dalam

menjalankan tugasnya, seorang advokat harus berfungsi:

a. Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;

b. Memperjuangkan hak-hak asasi manusia dalam negara hukum Indonesia;

c. Melaksanakan kode etik advokat;

d. Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum,

keadilan dan kebenaran;

e. Menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan dan

kebenaran) dan moralitas;

f. Menjunjung tinggi citra profesi advokat sebagai profesi terhormat (Officum

Nobile);

g. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat, dan martabat

advokat;

h. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat;

i. Menangani perkara-perkara sesuai dengan kode etik advokat;

j. Membela klien dengan cara jujur dan bertanggung jawab;

k. Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan

masyarakat;

l. Memelihara kepribadian advokat;

m. Menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat antara

sesama advokat yang didasarkan kepada kejujuran, kerahasiaan, dan

keterbukaan, serta saling menghargai dan mempercayai;

(38)

tunggal organisasi advokat;

o. Memberikan pelayanan hukum (legal service);

p. Memberikan nasehat hukum (legal advice);

q. Memberikan konsultasi hukum (legal konsultation);

r. Memberikan pendapat hukum (legal opinion);

s. Menyusun kontrak-kontrak (legal drafting);

t. Memberikan informasi hukum (legal information);

u. Membela kepentingan klien (litigation);

v. Mewakili klien di muka pengadilan (legal representation);

w. Memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada rakyat lemah dan

tidak mampu (legal aid).

Berdasarkan rumusan diatas, seorang advokat dalam membela,

mendampingi, mewakili, bertindak dan dalam menunaikan tugas dan fungsinya,

harus selalu mempertimbangkan hak serta kewajiban terhadap klien, pengadilan,

diri sendiri, negara, sebagai perwujudan untuk mencari kebenaran dan

menegakkan keadilan.

Disamping itu, profesi advokat akan di pandang mulia di masyarakat,

apabila dalam menjalankan tugas dan profesinya sebagai seorang pemberi jasa,

mampu memenuhi keinginan dan tuntutan masyarakat yang membutuhkan, secara

(39)

BAB III

KEDUDUKAN PENGACARA DALAM PERKARA PERDATA

A. Peran Pengacara Dalam Memilih Klien

Pengacara atau Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) dalam

menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang

dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan

kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran,

kerahasiaan dan keterbukaan. Dengan demikian, setiap Advokat harus menjaga

citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi kode etik

advokat.24

Dalam menjalankan tugasnya para Advokat tidak hanya menjalankan

pekerjaan yang diamanatkan oleh undang-undang selain itu juga menjalankan

suatu fungsi sosial yang sangat penting yaitu bertanggung jawab untuk

melaksanakan kepercayaan yang diberikan masyarakat umum yang dilayaninya,

seorang Advokat harus berpegang teguh kepada kode etik advokat, namun dalam

kenyataannya, pelaksanaan hukum dilapangan masih ada Advokat yang

melakukan pelanggaran kode etik advokat tersebut

Penerapan kode etik dalam profesi hukum sangat penting karena dipakai

sebagai salah satu bentuk ketahanan moral profesi advokat dengan menjelaskan

tentang fungsi kode etik tersebut di dalam masyarakat tentang penegakan dan

penerapan kode etik tersebut.

25

24

Ria & Partners, " Peran Kode Etik Bagi Advokat Dalam Menjalankan Profesi", Melalui

http://riaadvocate.com/?p=476, Diakses tanggal 6 Juni 2014.

(40)

Pada prinsipnya, dalam menjalankan tugas profesinya advokat terikat pada

kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan. Advokat dapat

dikenai tindakan apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan

perundang-undangan, sumpah/janji advokat atau kode etik profesi advokat (Pasal 6 huruf e

dan huruf f Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat).

Perbuatan menolak klien sendiri merupakan pelanggaran terhadap

sumpah/janji advokat yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat. Salah satu

sumpah/janji yang diucapkan advokat berbunyi:

“Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa

hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian

daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.”

Namun, di dalam Kode Etik Profesi Advokat Indonesia (KEAI) advokat

dibolehkan atau bahkan diwajibkan dalam kondisi-kondisi tertentu untuk menolak

perkara atau memberikan bantuan hukum kepada calon klien, atau mengundurkan

diri dari pengurusan perkara kliennya. Dalam kaitan ini, KEAI mengatur bahwa:

a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada

setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan

pertimbangan karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan

dengan hati nuraninya (Pasal 3 huruf a KEAI).

b. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak

ada dasar hukumnya (Pasal 4 huruf g KEAI).

c. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus

(41)

tersebut, apabila di kemudian hari timbul pertentangan-pertentangan antara

pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 4 huruf j KEAI).26

Dalam peradilan perdata, advokat berkedudukan sebagai kuasa atau wakil

kliennya. Landasan hukum advokat dalam peradilan perdata adalah Pasal 123 HIR

(Reglemhet Herziene Indladsch ent) Pasal 123 ayat (1): Bilamana dikehendaki,

kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakannya

untuk melakukan itu dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang memberi

kuasa itu dalam surat permintaaan yang ditandatanganinya dan dimasukkan

menurut ayat pertama Pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut Akan tetapi, KEAI melarang advokat menolak klien dengan alasan karena

perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik

dan kedudukan sosialnya (Pasal 3 huruf a KEAI). Larangan yang sama juga diatur

dalam Pasal 18 ayat (1) UU Advokat.

Selain itu, advokat juga tidak dibenarkan melepaskan tugas yang

dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau

pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki

lagi bagi klien yang bersangkutan (Pasal 4 huruf i KEAI).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa advokat diperbolehkan menolak klien

apabila terpenuhi syarat dan kondisi-kondisi yang diatur dalam pasal 3 huruf a,

Pasal 4 huruf g dan huruf j KEAI.

B. Kedudukan Pengacara Dalam Acara Perdata

26

(42)

Pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam

catatan yang dibuat dengan surat gugat ini.“

Dengan Pasal 123 HIR ini, hukum acara perdata mengenal adanya sistem

lembaga perwakilan. Sehingga peran advokat dapat membantu pihak-pihak yang

berpekara dalam mempertahankan hukum perdata materiil. Hukum perdata bagi

seorang advokat adalah seorang interprestasi dan perang ilmiah, karena itu sebagai

advokat mencoba mempertahankan unsur-unsurnya di dalam hukum acara.

Dasar adanya sistem lembaga perwakilan adalah dikarenakan masih

banyaknya pencari keadilan yang kurang mampu atau kurang memahami dalam

mengajukan gugatan dan tangkisan dengan rumusan sedemikian rupa. Oleh

karena itu, lembaga perwakilan bermaksud menjaga agar jangan sampai

pihak-pihak pencari keadilan dirugikan hanya membuat kesalahan-kesalahan elementer

dalam hukum acara perdata yang terikat oleh banyaknya peraturan dan

macam-macam formalitas.27

27

Kantor Hukum/Law Office SURJO & PARTNERS, "Memahami Profesi Hukum Advokat Dalam Perkara Perdata", Melalui http://surjoadvokat.blogspot.com/2013/07/memahami-profesi-hukum-advokat-dalam.html, Diakses tanggal 6 Juni 2014.

Oleh karena itu, sebagai advokat yang bertindak untuk dan atas nama

kliennya diharuskan memiliki kemampuan dan keberanian berpekara, apalagi

mengingat kliennya telah memberikan kepercayaan yang besar padanya.

Kemampuan berpekara adalah keampuan untuk menyusun surat-surat,

seperti surat gugatan, jawaban, replik, duplik, maupun kemapuan dalam

memberikan pembuktian, mengajukan konklusi akhir dan lain sebagainya yang

(43)

Hal ini disebut sebagai ketrampilan profesional, sedangkan keberanian

berperkara dimaksudkan untuk berhadapan dengan lawan dan hakim di

pengadilan.

Tugas advokat sebagai lembaga perwakilan adalah menyaring dan

menyusun kejadian-kejadian yang ia peroleh dari kliennya, kemudian ia

kumpulkan sebagai bahan untuk nantinya dituangkan dalam bentuk yuridik, yang

akan dimajukan dalam sidang pengadilan.

Namun fungsi advokat sebenarnya tidak hanya terbatas di dalam

pengadilan, tetapi juga di luar pengadilan. misi seorang advokat adalah

memberikan bantuan hukum berdasarkan undang-undang kepada kliennya.

Misalnya, seorang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayar, maka

advokat dapat menjadi juru runding (negosiator) bagi kliennya untuk

menyelesaikan masalah itu dengan jalan perdamaian tanpa harus ke pengadilan.

Sedangkan peran advokat dalam dunia usaha dapat dikatakan sebagai legal

counsel atau menjadi pelobi penghubung antara dunia usaha dan badan-badan

pemerintah yang biasa disebut: berfungsi sebagai regulator agencies. Dalam hal

ini, advokat dapat mencegah agar perusahaan tidak mendapat kesulitan di

kemudian hari.28

Selain perannya beracara di pengadilan (perdata), di masa modern

sekarang ini, adalah perannya dalam membuat “memorandum hukum” atau legal

audit (pemeriksa hukum), dan legal opinion (pendapat hukum) dalam menangani

kasus yang dihadapi klien. Bahkan, legal audit dan legal opinion sudah menjadi

(44)

keharusan atau kewajiban bagi perusahaan yang akan go public di pasar modal.

Pada umumnya, legal opinion atau legal audit ini diberlakukan dalam

bidang hukum yang terkait dengan perusahaan (corporate law), walaupun legal

audit dan legal opinion itu tidak semata hanya menyangkut bidang hukum

perusahaan. Legal audit ini biasanya dibuat setelah membaca seluruh dokumen

yang ada, dan untuk perusahaan biasanya terdiri dari: kontrak-kontrak,

korespondensi, Anggaran Dasar Perusahaan beserta Perubahannya,

dokumen-dokumen perusahaan lainnya, seperti: ijin usaha dan ijin-ijin lainnya, pajak, bukti

kepemilikan, dokumen pembukuan, dan dokumen lain-lain sejauh ada

relevansinya dan penting dengan kasus yang bersangkutan. Sedangkan legal

opinion (pendapat hukum) merupakan pandangan-pandangan hukum atau

aspek-aspek hukum apa saja yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi

perusahaan klien.29

Tampaknya, perlu dilihat apa yang telah dikemukan oleh Lord Mac

Millan, seorang Lord Advocate-General di Skatlandia dan penasehat House of

Lords, yang menyatakan bahwa kewajiban seorang advokat terdiri dari 5 bagian

Jadi, pada prinsipnya, tugas advokat adalah memberikan nasehat dan

pembelaan dalam arti menurut hukum kepada kliennya. Namun demikian, dalam

menjalankan perannya itu, advokat mempunyai fungsi yang lebih luas lagi

daripada hanya sekedar menjadi penasehat dan pembela, yakni harus mempunyai

tugas dan tanggung jawab untuk memajukan profesi hukum, peradilan dan hukum

dalam arti luas.

(45)

penting, yakni: ” Dalam membela, bertindak dan menunaikan tugasnya, seorang

advokat harus selalu memasukkan ke dalam pertimbangannya kewajiban terhadap

klien, terhadap lawan, terhadap pengadilan, terhadap diri sendiri, dan terhadap

negara.“30

Pemberin kuasa adalah berasal dari bahasa Belanda yang disebut

lastgeving, dimana kita lihat bahwa lastgeving diatur dalam titel XVI buku III

KUH Perdata dari pasal 1792 sampai dengan 1819 KUH Perdata, adalah suatu

persetujuan, dimana seorang yang disebut si pemberi kuasa/pemberi pentintah

memberikan kepada orang lain yang disebut si penerima kuasa/penerima perintah

suatu kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum untuk kepentingan si

pemberi itu yang oleh si penerima diterimanya dengan baik. HIR dan Rbg

tidak menganut ketentuan yang mewajibkan pihak-pihak yang berperkara itu Yang dimaksud lembaga perwakilan diatas tidak termasuk orang-orang

yang menurut hukum materiil tidak atau belum dapat bertindak sendiri dalam

hubungan hukum, dan tidak dapat pula menghadap sendiri di muka Hakim, yang

mereka itu diwakili oleh walinya atau wakilnya menurut hukum, seperti anak di

bawah umur dan orang dewasa yang sakit jiwanya. Bukan pula yang dimaksudkan

dengan perwakilan badan hukum oleh pengurus dan direksinya, dan tidak

termasuk ketentuan Pasal 123 ayat 2 HIR yang menyebutkan seorang Jaksa

mewakili pemerintah di muka pengadilan perdata.

C. Pembuatan Surat Kuasa Antara Pengacara Dengan Klien

(46)

harus diwakili oleh seorang kuasa.

Sementara itu di dalam pasal 160 Rechtvordering (Rv) dianut azas yang

mewajibkan untuk diwakili seorang kuasa.

Akan tetapi demikianpun pada pasal 123 HIR dan pasal 147 Rbg tdak

melarang pihak-pihak yang berperkara untuk menunjuk seorang kuasa atau wakil

yang akan mewakili mereka dalam pemeriksaan di muka persidangan.

Menurut pasal 1793 KUH Perdata persetujuan pemberian kuasa dapat

diadakan secara apapun juga, secara lisan malahan menurut kebanyakan daripada

ahli hukum secara diam-diam (stil zwijgend) juga diperbolehkan. Ketentuan

dalam ayat (2) pasal 1793 KUH perdata bahwa penerima kuasa dapat dilakukan

secara diam-diam, dianggap berlaku juga untuk pemberian kuasa.

Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya satu

kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala

kepentingan si pemberi kuasa. Jadi kuasa khusus adalah yang diberikan khusus

untuk sekaligus ditentukan secara khusus segala sesuatu yang dapat dikerjakan

mengenai hal-hal tertentu.

Untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu diperlukan pemberian

kuasa khusus yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan yaitu misalnya

untuk menjual atau menyewakan rumah dengan harga dan syarat-syarat tertentu

pula, atau contoh lain misalnya untuk mengajukan suatu perkara gugatan di muka

pengadilan menurut pasal 123 HIR/147 Rbg diperlukan suatu kuasa khusus

tertulis, sifat khusus itu ditujukan pada keharusan menyebutkan nama pihak yang

(47)

“Begitu pula untuk minta banding dan kasasi, diperlukan surat kuasa khusus

dimana disebutkan pengadilan mana, tanggal berapa, nomor berapa dan siapa

pihak lawannya".31

1. Harus berbentuk tertulis.

Untuk penjualan barang-barang, mengadakan hipotik, buat suatu dading atau

melakukan perbuatan lain mengenai hak milik atas sesuatu barang, pasal 1796

ayat (2) KUH Perdata menentukan perlu adanya suatu pemberian kuasa khusus

yang secara tegas tersebut.

Bila ini tidak ditegaskan, maka si penerima kuasa hanya melakukan

perbuatan pengurusan (beheer), pelaksanaan pemberian kuasa/perintah ini tidak

boleh melampaui batasnya (Pasal 1796 (1) KUH Perdata.

Kuasa khusus ini juga diatur dala pasal 123 HIR/pasal 147 Rbg, dan

pelaksanaan surat kuasa khusus ini telah dipertegas kembali oleh Mahkamah

Agung dengan Surat Edarannya No. 01/1971 tertanggal 23 januari 1971.

Suatu surat kuasa khusus antara lain memuat beberapa persyaratan :

a. Bisa surat di bawah tangan yang diperbuat oleh si pemberi kuasa dan si

penerima kuasa.

b. Dibuat oleh Panitera Pengadilan yang dilegalisir oleh Ketua Pengadilan

atau oleh seorang hakim.

c. Dengan akta otentik yang diperbuat oleh seorang notaris.

2. Surat kuasa khusus ini harus menyebut nama-nama dari pihak yang

berperkara.

31

(48)

3. Harus menegaskan objek dan kasus dari yang diperkarakan.

Kuasa substitusi (gesubstitueerde gevolmachttigde) yang berperkara,

menunjuk lagi orang lain sebagai penggantinya mewakili wajib pajak dari kuasa

semula (vide pasal 1803 KUH perdata).

Ini memang diperbolehkan oleh hukum acara, dan kekuasaan kuasa

subtitusi inipun seluas yang meliputi hak yang diberikan kepada si kuasa.

Tetapi kuasa substitusi itu harus menyebut dengan jelas sampai dimana

hak dan kewajibannya. Jika tidak demikian kuasa subtitusi diangap tidak

mempunyai kekuatan sepanjang tindakan-tindakan yang tidak disebut dengan

tegas. Surat kuasa substitusi yang hanya berisi untuk melakukan segala tindakan

yang dipandang perlu oleh si penerima kuasa, dianggap tidak berwenang untuk

menandatangani banding, dan permohonan banding atas hal yang demikian telah

dinyatakan tidak dapat diterima oleh pengadilan tinggi Medan tanggal 29 Juli

1970 No. 583/1968 putusan mana dikuatkan oleh Mahkamah Agung tanggal 7

Mei 1973 No. 850/Sip/1971.

Dalam setiap beracara di Pengadilan maupun di lembaga-lembaga lain

yang sifatnya mewakili, maka setiap pihak yang mewakili salah satu pihak harus

dapat menunjukkan keabsahannya dalam mewakili tersebut. Keabsahan tersebut

diwujudkan dalam suatu surat pelimpahan yang dikenal dengan sebutan Surat

Kuasa. Surat Kuasa dilihat dari bentuknya dikenal dua macam yaitu Kuasa yang

diberikan secara lisan dan Surat Kuasa yang diberikan secara tertulis.

Kuasa secara lisan diatur dalam HIR dimana seseorang dapat secara lisan

(49)

depan persidangan. Walaupun kuasa dapat diberikan secara lisan namun dalam

praktek hal tersebut jarang dilakukan , tentu saja hal tersebut akan menyulitkan

terutama terhadap pihak yang menerima kuasa, karena tidak ada bukti autentik.

Disamping itu juga tidak ada jaminan kepastian hukum baik bagi pemberi

kuasa maupun bagi penerima kuasa, dan karena tidak ada batasan kewenangan

mengenai apa yang dikuasakan maka hal itu merupakan bibit konflik

persengketaan dikemudian hari bagi pihak yang merasa dirugikan.

Karena hal-hal tersebut diatas maka guna menghindari adanya perselisihan

mengenai batasan apa yang dikuasakan orang pada umumnya lebih menyukai

surat kuasa diberikan dalam bentuk tertulis. Surat Kuasa secara tertulis ini sifat

pelimpahannya dapat dilakukan secara umum32

Dengan dibuatnya kuasa di depan Notaris tersebut selain mempunayi

kekuatan bukti yang sempurna juga pihak pemberi kuasa tidak mudah untuk

mencabut kuasa tersebut, terutama bila pihak penerima kuasa merasa keberatan

serta tidak menyetujui pencabutan tersebut. Bila surat kuasa diberikan dibawah

tangan maka pencabutannya dapat mudah dilakukan, salah satu caranya adalah

dengan mengirim pencabutan surat kuasanya tersebut kepada Majelis Hakim yang

memeriksa perkara tersebut dimana tembusannya diberikan kepada penerima dan dapat dibuat dalam

pelimpahan yang sifatnya khusus. Adapun pembuatan Surat Kuasa ini dapat

dilakukan secara dibawah tangan atau dilakukan didepan Notaris. Dalam hal-hal

tertentu adakalanya seorang kuasa/penerima kuasa lebih menyukai pemebrian

kuasa ini dilakukan di depan Notaris atau menjadi suaatu akte yang autentik.

32

(50)

kuasa. Namun bila pemberian surat kuasa dilakukan di depan Notaris maka

pencabutannya tidak dapat dilakukan dengan pencabutan hanya kepda Notaris dan

temb

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Majelis Jemaat dan seluruh warga Jemaat GPIB Bukit Benuas Balikpapan mengucapkan Selamat hari Kelahiran dan Hari Perkawinan bagi warga Jemaat ―Bukit Benuas,‖

Bila penerapan PSAK 13 dan 19 dapat menggunakan metoda revaluasi tanpa menimbulkan ketidakharmonisan dengan peraturan perpajakan, maka hal ini tidak berlaku bagi PSAK No

Peraturan Kepolisian tersebut, dari turunan Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisin Negara Republik Indonesia atau yang sering disingkat dengan Polri dalam

Jerami yang Tabel 1 Syarat mutu pakan ayam petelur (layer).. difermentasi menghasilkan jerami dimana serat kasarnya telah berkurang serta struktur dari jerami menjadi lebih

Kode 7: Pekerja bebas non pertanian adalah KRT/ART yang bekerja pada orang lain/majikan/ institusi yang tidak tetap pada lapangan usaha non pertanian, yaitu lebih dari satu

Berdasarkan gambar 4.4 dapat diketahui bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan responden tentang perubahan yang terjadi pada saat reproduksi dalam kategori sangat baik

e) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur - unsur