TESIS
Oleh
RAHMAD NAULI SIREGAR
117011143/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
RAHMAD NAULI SIREGAR
117011143/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 117011143
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Pembimbing Pembimbing
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.H.M.Hasballah Thaib,MA,PhD)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
Nama : RAHMAD NAULI SIREGAR
Nim : 117011143
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PERBANDINGAN PERJANJIAN KREDIT DALAM
PRESPEKTIF PERJANJIAN SYARIAH ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :RAHMAD NAULI SIREGAR
tetapi tetap mempertahankan praktek pembebanan bunga namun dengan menggunakan istilah lain. Sehingga praktek Murabahah yang berlaku sekarang ini tidak ada bedanya dengan sistem bunga pada bank konvensional. Untuk mengkaji lebih dalam tentang ketentuan hukum perjanjian kredit di bank syariah dan bank konvensional, bentuk klausul antara akad pembiayaan bank syari’ah dengan perjanjian kredit bank konvensional, dan hubungan hukum perjanjian perbankan syariah dengan KUHPerdata berkaitan dengan perjanjian kredit maka harus dilakukan penelitian yang lebih baik.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif maka penelitian ini menekankan pada sumber-sumber bahan sekunder, baik berupa peraturan-peraturan maupun teori-teori hukum serta dokumen lainnya yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Keseluruhan data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secara logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian, ketentuan hukum akad pembiayaan di bank syari’ah adalah adalah perjanjian yang tidak mengandung unsur ribawi, maisir (perjudian), gharar (ketidakjelasan) dan bathil (ketidakadilan), Al-Quran Surat Al Maidah ayat 1, Hadist Nabi Muhammad SAW, dan Fatwa DSN MUI, adapun ketentuan hukum di bank konvensional mengacu pada Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang kwalitas aktiva Bank Umum, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Bentuk klausula akad pembiayaan bank syari’ah dan perjanjian kredit di bank konvensional terdapat kesamaan substansional dimana keduanya merupakan perjanjian tertulis yang sudah dibakukan, sedangkan dari isi perjanjian sama-sama memuat tentang jumlah uang, besar bunga (bank konvensional) atau porsi bagi hasil (bank syari’ah), cara pembayaran, waktu pelunasan dan agunan berupa surat-surat tanah dan Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor. Perjanjian dalam pembiayaan tidaklah berbeda dengan perjanjian dalam kredit pada bank konvensional, karena sumber dari perjanjian tetap mengacu kepada KUHPerdata yang terdapat pada Buku III tentang Perikatan Pada Umumnya. Dengan demikian hubungan antara perjanjian di bank syariah dengan bank konvensional cukup erat serta tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang sama.
Murabahah financing is not negating interest, but it maintains the practice of charging interest by other terms that the currently existing Murabahan practice is not different from the interest rate system in the conventional banks. The purpose of this doctrinal legal study with normative juridical approach was to further examine the legal provision of credit agreement in syariah and conventional banks, the form of the clauses of the financing agreement in syariah bank and the credit agreement in conventional bank, and the relationship between the law on syariah banking agreement and the Indonesian Civil Codes related to credit.
The data for this study referring to the legal norms found in the existing regulations of legislation as normative basis were obtained from the secondary datain the forms of regulations, legal theories and other documents related to the problem studied. All of the data obtained were processed, analyzed and interpreted logically and systematically through deductive method.
The result of this study showed that the legal provision of credit agreement in syariah bank is Law No.21/2008 on Syariah Banking, Law No. 72/1992 on Profit-Sharing Bank, the Indonesian Civil Codes, Law No. 10/1998 on the Amendment of Law No. 7/1992 on Banking, the Regulation of Bank Indonesia, and the Fatwa of National Syariah Council related to syariah banking, while the legal provision of credit agreement in conventional bank is referred to Law No.10/1998 on the Amendment of Law No. 7/1992 on Banking, and the Indonesian Civil Codes. The form of the clause of financing agreement in syariah bank and credit agreement in conventional bank is substantially similar because both of them are standard written agreement and both agreements contain the amount of money, the amount of interest (conventional bank) or share of revenue (syariah bank), method of payment, repayment period and collateral in the form of land documents dan the evidence of vehicle ownership. The financing agreement is not different from the credit agreement in conventional bank because it refers to the Indonesian Civil Codes found in Book III on General Bonding. Therefore, the relationship between the agreement in syariah and conventional banks is close enough and subject to the same regulation of legislation.
satu persyaratan untuk memperolah gelar Magister Kenotariatan di Universitas
Sumatera Utara Medan. Didalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan
memilih judul : “PERBANDINGAN PERJANJIAN KREDIT DALAM
PRESPEKTIF PERJANJIAN ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA”. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan didalam penulisan Tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima
saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman di masa yang akan
datang.
Dalam penulisan dan penyusunan Tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan
pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai
harganya secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH.,
selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA.,
PhD., serta Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., masing-masing
selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberi masukkan dan bimbingan
kepada penulis selama dalam penulisan tesis ini dan kepada Ibu Dr. T.
Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum., dan Ibu Dr. Utary Maharany Barus,
SH, MHum., selaku dosen penguji yang banyak memberikan kritikan, saran serta
masukkan dalam penulisan tesis ini.
Selanjutnya ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., Selaku Ketua Program Studi
Sumatera Utara.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada kawan-kawan seperjuangan
dan sahabat-sahabat saya, Khususnya kawan-kawan Magister Kenotariatan angkatan
2011 Kelas Penyetaraan yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu
dan memberikan pemikiran kritik dan saran yang dari awal masuk di Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sampai saat
penulis menyusun tesis ini.
Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa,
agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang
melimpah. Akhirnya, semoga Tesis ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi
semua pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang kenotariatan.
Medan, Pebruari 2013 Penulis
Tempat/Tanggal lahir : P. Sidempuan, 08 Juni 1967
Jenis Kelamin : laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jalan STM Gg. Syukur Barat No.11, Medan
II. KELUARGA
Nama Ayah : H. Drs. D.A. Siregar
Nama Ibu : Alm. Hj. Fatimah Lubis
III. PENDIDIKAN
1. SD Negeri 060812 Medan (1974-1980)
2. SMP Negeri II Medan (1980-1983)
3. SMA Negeri 1 Medan (1983-1986)
4. S-1 Ilmu Hukum FH USU (1986-1993)
5. Program Studi Spesialis Notaris Fak Hukum USU Medan (1994 -1998)
6. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) FH USU (2011-2013)
IV. PENGALAMAN BEKERJA
1. Bekerja di Kantor Notaris Sundari Siregar, SH di Medan (1995-1997)
2. Magang Kerja di Ktr Notaris Asman Yunus, SH di Pekanbaru-Riau (1997 -1998)
3. Bekerja di Perusahaan PT.IKPP Corp/PT. Arara Abadi di Riau (1998 -2000)
4. Notaris/PPAT di Kota Pekanbaru-Riau (2000 – 2006)
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 18
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 19
E. Keaslian Penelitian ... 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 21
1. Kerangka Teori ... 21
2. Konsepsi ... 26
G. Metode Penelitian ... 28
1. Sifat dan Metode Pendekatan ... 28
2. Sumber Data ... 29
3. Alat Pengumpulan Data ... 29
4. Analisis Data ... 31
BAB II KETENTUAN HUKUM AKAD PEMBIYAAN DI BANK SYARIAHDANPERJANJIAN KREDIT DI BANK KONVENSIONAL... 32
A. Ketentuan Hukum Perjanjian Kredit di Bank Konvensional ... 32
1. Syarat Sah Perjanjian Kredit ... 32
2. Asas-Asas Hukum Perjanjian ... 35
3. Subjek dan Objek Perjanjian Kredit di Bank Konvensional .... 35
3. Hapusnya Perjanjian ... 52
4. Wanprestasi ... 54
BAB III BENTUK KLAUSUL AKAD PEMBIAYAAN BANK SYARI’AH DAN PERJANJIAN KREDITDI BANK KONVENSIONAL... 60
A. Bentuk Klausul Perjanjian Kredit di Bank Konvensional ... 60
B. Bentuk Klausul Akad Pembiayaan di Bank Syariah ... 65
C. Akad Pembiayaan di Bank Syariah dan Perjanjian Kredit di Bank Konvensional ... 69
1. Sistim Keuntungan Dalam Perbankan Konvensional dan Bank Syariah ... 70
2. Lembaga Penyelesaian ... 75
3. Struktur Organisasi ... 75
4. Bisnis dan Usaha Pembiayaan ... 76
5. Lingkungan Kerja dan Kultur Perusahaan ... 76
6. Prinsip-Prinsip Pembiayaan Islam ... 77
7. Perbedaan Konsep Pengelolaan Bank Syariah dan Bank Konvensional ... 77
D. Sistim Pembiayaan Murabahah ... 80
1. Pengertian Murabahah ... 81
2. Dasar Hukum Murabahah ... 84
3. Rukun Pembiayaan Murabahah ... 94
4. Konsep Dasar Pembiayaan Murabahah ... 95
B. Jaminan/Agunan Menurut Hukum Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ... 102
C. Keterkaitan Antara Substansi Perjanjian Pembiayaan Bank Syariah Dan Perjanjian Kredit Bank Konvensional ... 106
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 117
A. Kesimpulan ... 117
B. Saran ... 119
tetapi tetap mempertahankan praktek pembebanan bunga namun dengan menggunakan istilah lain. Sehingga praktek Murabahah yang berlaku sekarang ini tidak ada bedanya dengan sistem bunga pada bank konvensional. Untuk mengkaji lebih dalam tentang ketentuan hukum perjanjian kredit di bank syariah dan bank konvensional, bentuk klausul antara akad pembiayaan bank syari’ah dengan perjanjian kredit bank konvensional, dan hubungan hukum perjanjian perbankan syariah dengan KUHPerdata berkaitan dengan perjanjian kredit maka harus dilakukan penelitian yang lebih baik.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif maka penelitian ini menekankan pada sumber-sumber bahan sekunder, baik berupa peraturan-peraturan maupun teori-teori hukum serta dokumen lainnya yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Keseluruhan data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secara logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian, ketentuan hukum akad pembiayaan di bank syari’ah adalah adalah perjanjian yang tidak mengandung unsur ribawi, maisir (perjudian), gharar (ketidakjelasan) dan bathil (ketidakadilan), Al-Quran Surat Al Maidah ayat 1, Hadist Nabi Muhammad SAW, dan Fatwa DSN MUI, adapun ketentuan hukum di bank konvensional mengacu pada Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang kwalitas aktiva Bank Umum, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Bentuk klausula akad pembiayaan bank syari’ah dan perjanjian kredit di bank konvensional terdapat kesamaan substansional dimana keduanya merupakan perjanjian tertulis yang sudah dibakukan, sedangkan dari isi perjanjian sama-sama memuat tentang jumlah uang, besar bunga (bank konvensional) atau porsi bagi hasil (bank syari’ah), cara pembayaran, waktu pelunasan dan agunan berupa surat-surat tanah dan Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor. Perjanjian dalam pembiayaan tidaklah berbeda dengan perjanjian dalam kredit pada bank konvensional, karena sumber dari perjanjian tetap mengacu kepada KUHPerdata yang terdapat pada Buku III tentang Perikatan Pada Umumnya. Dengan demikian hubungan antara perjanjian di bank syariah dengan bank konvensional cukup erat serta tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang sama.
Murabahah financing is not negating interest, but it maintains the practice of charging interest by other terms that the currently existing Murabahan practice is not different from the interest rate system in the conventional banks. The purpose of this doctrinal legal study with normative juridical approach was to further examine the legal provision of credit agreement in syariah and conventional banks, the form of the clauses of the financing agreement in syariah bank and the credit agreement in conventional bank, and the relationship between the law on syariah banking agreement and the Indonesian Civil Codes related to credit.
The data for this study referring to the legal norms found in the existing regulations of legislation as normative basis were obtained from the secondary datain the forms of regulations, legal theories and other documents related to the problem studied. All of the data obtained were processed, analyzed and interpreted logically and systematically through deductive method.
The result of this study showed that the legal provision of credit agreement in syariah bank is Law No.21/2008 on Syariah Banking, Law No. 72/1992 on Profit-Sharing Bank, the Indonesian Civil Codes, Law No. 10/1998 on the Amendment of Law No. 7/1992 on Banking, the Regulation of Bank Indonesia, and the Fatwa of National Syariah Council related to syariah banking, while the legal provision of credit agreement in conventional bank is referred to Law No.10/1998 on the Amendment of Law No. 7/1992 on Banking, and the Indonesian Civil Codes. The form of the clause of financing agreement in syariah bank and credit agreement in conventional bank is substantially similar because both of them are standard written agreement and both agreements contain the amount of money, the amount of interest (conventional bank) or share of revenue (syariah bank), method of payment, repayment period and collateral in the form of land documents dan the evidence of vehicle ownership. The financing agreement is not different from the credit agreement in conventional bank because it refers to the Indonesian Civil Codes found in Book III on General Bonding. Therefore, the relationship between the agreement in syariah and conventional banks is close enough and subject to the same regulation of legislation.
A. Latar Belakang
Pada dasarnya bank adalah suatu lembaga keuangan yang mempunyai nilai
strategis dalam kehidupan perekonomian nasional yang mana lembaga perbankan
sebagai suatu badan yang berfungsi sebagai financial intermediary atau perantara
keuangan dari dua pihak yakni pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dan
pihak yang kekurangan dana (lack of funds). Dari berbagai lembaga perbankan
tersebut salah satunya yaitu lembaga keuangan bank.1 Sebagai institusi yang sangat
penting peranannya dalam masyarakat, bank adalah suatu lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang.
Sektor perbankan memiliki andil yang sangat besar dalam menunjang
perekonomian nasional. Kondisi perbankan yang sehat dan kuat sangatlah penting
dalam hal untuk mencapai pembangunan nasional di sektor moneter.Krisis moneter
pernah melanda Indonesia pada tahun 1998 dimana banyak sekali bank-bank
konvensionalyang roboh dikarenakan tidak menjalankan prinsip-prinsip perbankan
dengan baik yang telah diatur oleh Bank Indonesia seperti banyaknya kredit macet
yang terjadi dan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh bank atas ketentuan batas
maksimum pemberian kredit. Sejak terjadinya krisis tersebut bank-bank sudah lama
1Muhammad Djumhana,Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
tidak mengucur-kan kredit dan ketika program restrukturisasi dan rekapitulasi kredit
sudah berjalan, bank-bank secara selektif baru berani untuk mengucurkan kreditnya.
Berbicara mengenai perjanjian kredit tidak terlepas dari peraturan-peraturan
yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mana relevansi
atas judul tesis ini dapat kita jumpai pada syarat-syarat untuk melakukan suatu
perjanjian yaitu ada 4 (empat) syarat tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang
berbunyi:2
“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.”
Berdasarkan dengan yang diuraikan dalam pasal diatas yang dikatakan dengan
“cakap bertindak” membuat suatu perikatan dalam KUHPerdata juga diatur mengenai
hal tersebut yaitu diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi: “Setiap orang
adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan cakap”.
Pasal 1330 KUHPerdata berbunyi:
“Tak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.”
2 R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya
Sedangkan dalam hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad
merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih
berdasarkan persetujuan masing-masing. Dengan kata lain akad adalah perikatan
antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan
kedua belah pihak.Masing-masing pihak haruslah saling menghormati terhadap apa
yang telah mereka perjanjikan dalam suatu akad. Sifat perjanjian Pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah, merupakan perjanjian konsensual dan riel. Dikatakan
bersifat konsensual yang mempunyai arti bahwa perjanjian telah dianggap sah saat
adanya kata sepakat, kemudian ditindaklanjuti dengan penjanjian riel dimana
perjanjian itu dianggap sah bilamana telah ada prestasi misalnya penyerahan uang dan
barang.3
Dari ketentuan pasal-pasal yang ada dalam KUHPerdata dan ketentuan hukum
Islam tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melakukan suatu perjanjian
khususnya perjanjian kredit baik yang ada pada perjanjian syariah Islam maupun
dalam perjanjian kredit bank konvensional syarat dasar yang ada pada KUHPerdata
tersebut harus lebih dahulu dipenuhi oleh para pihak yang akan melakukan suatu
perjanjian kredit. Setelah semua syarat-syarat tersebut dipenuhi para pihak yang
melakukan suatu perjanjian kredit akan menuangkannya dalam suatu kesepakatan
bersama yang mana dalam hal ini untuk membuat suatu kesepakatan tersebut haruslah
dibuat secara tertulis.
3H.M. Mawardi Muzamil,Persamaan perkreditan pada perbankan konvensional dan
Adapun setelah mendapatkan persetujuan dari pihak bank kepada calon
nasabah untuk mengucurkan kredit, pihak bank akan memberikan suatu surat kepada
calon nasabah bahwa permohonannya untuk mendapatkan fasilitas kredit telah
disetujui oleh bank dan pemohon yang bersangkutan akan dimintakan oleh bank
untuk memberikan persetujuannya secara tertulis apakah pemohon bersedia untuk
menerimanya.
Setelah semua syarat yang diuraikan diatas telah dipenuhi oleh para pihak
barulah oleh bank mempersiapkan suatu bentuk “perjanjian kredit” penyebutan dalam
istilah bank konvensional dan “Aqad” dalam istilah Syari’ah.Perjanjian-perjanjian
tersebut oleh pihak bank akan dituangkan dalam bentuk tertulis, kenapa harus dibuat
dalam bentuk tertulis alasannya adalah untuk adanya suatu kepastian hukum dan
sebagai pembuktian. Yang mana menurut pengertian yang ada pada KUHPerdata
tentang pembuktian pada umumnya dalam Pasal 1865 KUHPerdata
mengatakan:“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau
guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuk-tikan adanya hak atau peristiwa
tersebut”.
Dan bertalian dengan Pasal 1866 KUHPerdata mengatakan Alat-alat bukti
terdiri atas:
1. Bukti Tulisan
2. Bukti dengan saksi-saksi
4. Pengakuan.
5. Sumpah.
Dari bunyi pasal yang diatas pada point pertama dapat dilihat bahwa untuk
sebagai alat bukti yang terkuat adalah dalam bentuk tertulis. KUHPerdata juga ada
membagi mengenai bukti tertulis tersebut dalam 2 (dua) kategori yaitu:
1. Bukti tertulis yang dibuat dihadapan pejabat umum untuk itu (Pasal 1868
KUHPerdata);
2. Bukti tertulis yang dibuat secara dibawah tangan tanpa adanya kehadiran dari
pejabat umum. (Pasal 1874 KUHPerdata).
Untuk suatu proses dari persetujuan kredit sampai dengan Perjanjian kredit
ataupun suatu aqad ditandatangani ketentuan yang disebutkan diatas haruslah
dilakukan oleh para pihak yang akan melakukan suatu perjanjian kredit. Setelah
proses itu dijalani maka perjanjian itu akan mengikat bagi para pihak yang membuat
dan ini merupakan asas kebebasan berkontrak dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat(1)
KUHPerdata dimana pasal tersebut menentukan bahwa “Semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Selain Pasal 1338 ayat (1) mengandung asas kebebasan berkontrak juga
sekaligus mengandung pembatasan terhadap kebebasan itu sendiri.Pembatasan ini
dapat kita simpulkan dari perkataan “yang dibuat secara sah”, yang terletak di tengah
kalimat dari ayat tersebut. Dengan demikian hanya perjanjian-perjanjian yang dibuat
secara sah saja yang mempunyai kekuatan mengikat yang sama dengan mengikatnya
undang-undang.4
4Mgs. Edy Putra Tje’ Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty
Pasal 1339 KUHPerdata berbunyi:“Bahwa persetujuan tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang”.
Kredit dalam kegiatan perbankan merupakan kegiatan usaha yang paling
utama, karena pendapatan terbesar dari usaha bank berasal dari pendapatan usaha
pemberian kredit yaitu berupa bunga danprovisi. Menurut ketentuan Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan, dan dalam Pasal 1 ayat (11) mengatakan yang dimaksud dengan
kredit adalah:“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga”.
Secara etimologi kata “Kredit” berasal dari bahasa Yunani yaitu “Credere”
yang diindonesiakan menjadi kredit, yang mempunyai berarti “Kepercayaan”,5
maksudnya adalah bahwa seseorang yang memperoleh kredit berarti orang tersebut
memperoleh kepercayaan sedangkan bagi pemberi kredit berarti telah memberi
kepercayaan kepada seseorang dan yakin bahwa uangnya pasti akan kembali sesuai
dengan perjanjian.6Kata Kredit dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan sebagai
kesanggupan dalam meminjam uang atau kesanggupan dalam mengadakan transaksi
5Ibid., hal. 1
6Kasmir,Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,
dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan
membayarnya kelak.7
Dalam prosedur pelaksanaan pemberian kredit si penerima kredit diikat
dengan suatu perjanjian. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata "Suatu persetujuan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”.
Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata menurut para sarjana
hukum perdata memiliki banyak kelemahan.8Perjanjian kredit tidak mempunyai suatu
bentuk tertentu karena tidak ditentukan oleh undang-undang. Hal ini menyebabkan
perjanjian kredit antara bank yang satu dengan bank yang lainnya tidak sama karena
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bank akan tetapi pada umumnya
perjanjian kredit bank dibuat dalam bentuk tertulis baik secara notariil maupun
dibawah tangan.
Pengertian pemberian kredit oleh pihak bank dilihat dari sudut pemberi kredit
dan dari sudut penerima kredit adalah sebagai berikut:9
a. Dari sudut pemberi kredit.
Mendapatkan keuntungan berupa bunga sebagai balas jasa dari pinjaman yang
diberikan kepada debitur.
b. Dari sudut penerima kredit.
7
Munir Fuady,Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 5.
Untuk mendapatkan uang/barang/jasa dengan kewajiban untuk mengganti
bunga pada waktu tertentu.
Bila dilihat dari sudut pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan
dari perjanjian kredit ini termasuk kedalam perjanjian sepihak.Dikatakan perjanjian
sepihak karena tidak dapat tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen, pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.10
Inilah yang disebut perjanjian standar atau perjanjian baku. Perjanjian baku
merupakan perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir.11Didalam formulir tersebut berisi kesepakatan antara si pelaku usaha dan
konsumen, pihak bank sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing
para pihak. Nantinya yang perlu dilengkapi hanya hal-hal yang bersifat subjektif,
seperti waktu dan identitas. Secara praktikal kontrak baku ini sangat praktis dan
ekonomis bagi para pelaku bisnis karena dapat disiapkan dalam waktu singkat bila
kapan saja harus menghadapi kastemernya dalam berkontrak tentang suatu objek
tertentu karena faktor efisiensi serta kecepatan pelayanan bagi nasabah
masing-masing bank, akan tetapi patut pula dicermati dan diwaspadai bahwa dengan
penandatanganan akta atau surat perjanjian termasuk kontrak baku ini ternyata telah
menempatkan kedudukan nasabah dalam posisi yang lemah dan tidak seimbang
dengan pelaku bisnis itu sendiri, padahal dari sudut ekonomi pelaku bisnis itu berada
dalam posisi sebagai pihak yang kuat dan yang menurut ajaran atau teori fiducia
10 Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak DalamPerjanjian Kredit Bank Indonesia, Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 3.
maupun filosofi bangsa kita tidak patut diperlakukan sewenang-wenang. Karena
hukum kontrak menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak dan perjanjian itu harus dilaksanakan dengan
itikad baik.12
Pengertian kredit yang diberikan oleh Savelberg menjurus pada pengertian
kredit pada umumnya.Hal mana dapat dilihat pada kata “setiap perikatan”, sebab
dengan kata setiap perikatan berarti mengandung pengertian bahwa perikatan itu
dapat terjadi atas uang, barang atau kedua-duanyauang dan barang. Dan pengertian
Kredit menurut Muchdarsyah Sinungan memberikan pengertian bahwa Kredit adalah
suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dan prestasi itu akan
dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu
kontra prestasi berupa uang.13
Bank dalam menyalurkan dana yang telah dihimpun dengan cara
mengeluarkan kredit dilaksanakan dengan ditandatanganinya perjanjian kredit yang
dalam hal ini menjadi perjanjian pokok (Obligator) oleh bank kepada masyarakat dan
dengan perjanjian kredit yang telah ditandatangani tersebut karena dengan adanya
suatu jaminan yang diberikan oleh nasabah kepada bank, baik jaminan barang
bergerak dan barang tidak bergerak maupun jaminan berupa piutang dagang, oleh
bank diikat dengan suatu perjanjian (Accessoir) yang diwujudkan dalam berbagai
bentuk antara lain dalam bentuk Hak Tanggungan, Penyerahan Hak Milik atas
12Syahril Sofyan,Standart Perjanjian Misrepresentasi Dalam Transaksi Bisnis,Program Studi
Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum USU, Ringkasan Disertasi, Medan, 2011, hal. 58.
Kepercayaan (Fidusia), Gadai (Pand), Pemindahan Piutang (Cessie), Gadai
Pensiun/Tunjangan serta Penanggungan Hutang (Borgtocht).
Pasal 1131 KUHPerdata berbunyi :“Segala kebendaan seorang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.
Pasal inilah yang merupakan dasar dari kreditor (bank) untuk meminta suatu
jaminan harta dari debitor (nasabah) seperti yang disebutkan diatas. Ketentuan
tersebut diatas menunjukan bahwa penanggungan itu adalah suatu perjanjian
“accessoir” seperti halnya dengan perjanjian hak tanggungan dan pemberian gadai
yaitu bahwa eksistensi atau adanya penanggungan itu tergantung dari adanya suatu
perjanjian pokok yaitu perjanjian yang pemenuhannya ditang-gung atau dijamin
dengan perjanjian penanggungan itu.14
Dalam Al-Qur’an ada 2 (dua) istilah yang berhubungan dengan perjanjian
yaitu al-‘aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji).Pengertian akad secara bahasa adalah
ikatan, mengikat.Dikatakan ikatan (al-rabih) maksudnya adalah menghimpun atau
mengumpulkan dua ujung tali yang mengikat salah satunya pada yang Iain hingga
keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.15Kata akad (al-‘
aqdu) terdapat dalam QS. Al-Maidah (5): 1, bahwa manusia diminta untuk
memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-‘aqdu ini dapat
disamakan dengan istilahverbintenisdalam KUHPerdata. Sedangkan istilah al-'ahdu
14R. Subekti,Aneka Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1987, hal. 164
15Ghufron A. Mas’adi,Fiqih Muammalah Kontekstual, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
dapat dipersamakan dengan istilah perjanjian overeenkomst, yaitu suatu pernyataan
dari seseorang untuk mengiyakan atau tidak mengiyakan suatu yang tidak berkaitan
dengan orang lain.16Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imran (3) : 76, yaitu
“sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat) nya dan bertakwa, maka
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertakwa”.17Para ahli Hukum Islam
(jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai pertalian antara Ijab dan Kabul
yang dibenarkan olehsyara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
Sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam, yang berlandaskan Al-Quran
dan hadist, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam,
pengertian riba merupakan suatu perbuatanyang sangat dilarang sebagaimana yang
tercantum dalam SurahAl BaqarahAyat 275 yang berbunyi sebagai berikut:
“Orang-orang yang makan (mengambil riba tidak dapat berdiri, melainkan berdiri seperti orang yang kerasukan setan lantaran terkena penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berpendapat bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengurangi (mengambil riba, maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya).”18
Pada umumnya masyarakat memahami riba sebagai sinonim dari istilah
interest atau bunga yang banyak dipraktekkan pada institusi keuangan
16 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal. 247-248.
17
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti,Hukum Perikatan Islam di Indonesia, FH UI, Jakarta, 2005, hal. 3.
konvensional.19 Prinsip Syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam
antara bank dan pihak yang lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah.
Pada Bank Syari’ah hampir tidak ada hutang atau kredit dan hanya pada Aqad Murabahahyang ada kredit (hutang) sedangkan pada Mudharabah dan Musyarakah tidak ada kredit (hutang).Falsafah dasar beroperasinya Bank Syari’ah yang menjiwai
seluruh hubungan transaksinya adalah efisiensi, keadilan dan kebersamaan. Dalam
Bank Syari’ah hubungan bank dengan nasabah adalah hubungan kontrak (akad)
antara investor pemilik dana (shohibul mal) dengan investor pengelola dana (mudharib) melakukan kerjasama yang produktif yang keuntungannya dibagi secara adil (mutual investment relationship). Dengan demikian dapat terhindar dari hubungan eksploitatif antara bank dengan nasabah atau sebaliknya antara nasabah
dengan bank. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk
memperoleh keuntungan sebesar mungkin, keadilan mengacu pada hubungan yang
tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang matang atau proporsi masukan dan
keluarannya. Kebersamaan mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan
nasihat untuk saling meningkatkan produktifitas.
Jadi melihat dari latar belakang yang telah diuraikan diatas peneliti merasa
tertarik untuk mengangkatnya menjadi tesis dan peneliti merasa ada suatu benang
merah antara perjanjian kredit bank konvensional dengan perjanjian kredit bank
syari’ah.
19Zamakhysyari Hasballah,Panduan Bisnis Muslim, Pesantren Al-Manar, Medan, 2011,
Untuk membahas lebih lanjut mengenai perjanjian kredit bank konvensional
dengan perjanjian kredit Bank Syari’ah peneliti melihat ada persamaan dan
perbedaannya yang mana dalam hal ini persamaannya adalah :
1. Sama-sama mengaju pada ketentuan yang telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, syarat cakap
dan kewenangan bertindak dalam hukum.
2. Dari segi sifat perjanjiannya sama-sama mempunyai sifat perjanjian konsensuil
riel.20
3. Dari segi bentuk perjanjian, baik perjanjian kredit bank maupun aqad
mudharabah, musyarakahdan murabahahmempunyai bentuk perjanjian tertulis
dan menggunakan standar kontrak.
4. Sama-sama adanya jaminan dalamaqadpembiayaan pada Bank Syariah maupun
perjanjian kredit pada Bank Konvensional, jaminan mempunyai unsur
kepercayaan, tenggang waktu, resiko, prestasi dan kontra prestasi.
5. Dalam isi perjanjian sama-sama memuat tentang jumlah uang, besar bunga (Bank
Konvensional) atau porsi bagi hasil (Bank Syari’ah), cara pembayaran, waktu
pelunasan dan agunan berupa surat-surat tanah (Sertipikat dan Surat Pelepasan
Hak dan GantiRugi yang dikeluarkan Camat) dan Bukti Kepemilikan Kendaraan
Bermotor.
Sedangkan perbedaannya antara Bank Syariah dan Bank Konvensional antara
lain adalah:
1. Dari segi obyeknya pada perjanjian kredit bank konvensional obyeknya adalah
berupa uang sedangkan pada aqad pembiayaan perbankan syariah obyeknya
tidak selalu uang tapi dapat juga berupa barang atau benda, hal ini terlihat pada
Aqad Murabahah.21
2. Terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank Syari’ah tidak
melaksanakan sistim bunga dalam seluruh aktifitasnya sedangkan bank
konvensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang
mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkanoleh bank syari’ah,
dimana untuk menghindari sistim bunga maka sistim yang dikembangkan adalah
jual beli atau kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan
demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan dalam bank syari’ah
diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara
sederhana berarti sistim bunga berbunga atau compound interest dalam semua
prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak,
berpotensi mengakibatkan keuntungan besar di suatu pihak namun kerugian
besar dipihak lain atau malah kedua-duanya.
3. Terletak pada akadnya. Pada Bank Syariah, semua transaksi harus berdasarkan
akad yang dibenarkan oleh syari’ah dan dikenal adanya bermacam-macam
transaksi, lebih bervariasi dari transaksi bank konvensional yang hanya
menawarkan satu produk yaitu kredit dan perjanjian yang dibuat adalah
21Utary Maharani Barus,Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-sama Dengan Hukum
perjanjian kredit, perjanjian pinjam meminjam ataupun perjanjian pengakuan
hutang yang mana untuk keperluan apa saja disebut kredit sedangkan pada bank
syari’ah dikenal 3 (tiga) kategori produk pembiayaan yaitu bagi hasil, jual beli
dan jasa, dimana pada tiap-tiap produk keuntungan yang didapat berbeda-beda,
dari jual beli misalnya bank mendapat keuntungan (margin) dari investasi bank
mendapatkan keuntungan bagi hasil, dan dari jasa bank mendapatkan imbalan
(fee), dari ketiga jenis produk pembiayaan tersebut hanyaAqad Murabahahyang
ada kredit (hutang).
4. Dalam perbankan Syari’ah istilah kredit tidak dikenal karena Bank Syari’ah
memiliki skema yang berbeda dengan bank konvensional dalam menyalurkan
dananya kepada pihak yang membutuhkan. Bank Syari’ah menyalurkan dananya
kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan, sifat pembiayaan bukan merupakan
utang piutang, tetapi merupakan investasi yang diberikan bank kepada nasabah
dalam melakukan usaha.22
5. Dalam perjanjian kredit bank konvensional nasabah sebagai debitor harus
mengembalikan kreditnya disertai dengan imbalan bunga, sementara dalam
pembiayaan perbankan syari’ah khususnya dalam aqad murabahah yang mana
prinsip ini merupakan suatu sistim tata cara jual beli, dimana bank akan membeli
terlebih dahulu barang yangdibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen
bank melakukanpembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual
barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah
keuntungan (margin/mark up).23
6. PadaAqad Syari’ah dalam aqadnya pemilik dana (shohibul mal) dengan investor
pengelola dana (mudharib) melakukan kerjasama yang produktif yang
keuntungannya dibagi secara adil (mutual investment relationship) dan hubungan
yang terjalin antara bank syari’ah dengan nasabah adalah hubungan berserikat
(partnership) bukan hubungan kreditor dan debitor seperti halnya pada perjanjian
kredit.
Murabahah merupakan produk yang paling popular dalam praktek
pembiayaan pada perbankan syariah.Selain mudah perhitungannya, baik bagi nasabah
maupun managemen bank, produk ini memiliki banyak kesamaan dengan sistem
kredit perbankan konvensional.Penelitian ini berlatar belakang pada adanya
persamaan dan perbedaan antara pembiayaan murabahah di bank syariah dengan
kredit konsumtif di bank konvensional sehingga menimbulkan kritikan dari kalangan
ahli hukum Islam atau ekonomi Islam. Pembiayaan Murabahah dianggap bukannya
meniadakan bunga, tetapi tetap mempertahankan praktek pembebanan bunga dengan
istilah lain, sehingga praktekMurabahahyang berlaku sekarang ini tidak ada bedanya
dengan sistem bunga pada bank konvensional.
Pada awalnya murabahah merupakan transaksi penjualan dimana pedagang
membeli barang yang diinginkan oleh pengguna akhir dan kemudian akan
23Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman,
menjualnya kepada pengguna akhir tersebut dengan harga yang telah diperhitungkan
dengan menggunakan margin keuntungan yang telah disepakati di luar biaya yang
ditanggung oleh pedagang. Dengan adanya intermediasi keuangan seperti bank, peran
pedagang sebagai penyandang dana diambil alih oleh bank.
Dalam transaksi pada pembiayaan murabahah antara bank, nasabah, dan
developer, setidaknya akan terjadi dua transaksi jual beli. Pertama, jual beli antara
developer (sebagai penjual) dan bank syariah (sebagai pembeli).Kedua, jual beli
antara bank syariah (sebagai penjual) dan nasabah (sebagai pembeli).Dengan
demiki-an, transaksi yang terjadi antara bank dan nasabahnya juga adalah transaksi jual beli
(bukan perjanjian kredit) sehingga di dalam pembiayaan murabahah oleh bank
syariah tersebut, terjadi dua kali perjanjian jual beli, sebagaimana disebutkan di atas.
Kenyataan dalam praktek yang terjadi tidaklah demikian, praktek pembiayaan
murabahah selama ini adalah juga dengan hanya sekali transaksi jual beli yang
terjadi, yaitu hanya antaradeveloper(sebagai penjual) dan nasabah (sebagai pembeli),
sama seperti yang terjadi pada operasional bank konvensional. Hanya saja nasabah di
sini sebagai pembeli bertindak selaku kuasa dari bank syariah yang memberikan
pem-biayaan tersebut, sebagaimana ketentuan mengenai kuasa tersebut adalah Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah.Namun
demikian dalam akad perikatan jual beli secara notariil antara nasabah dengan
developer tersebut adanya wakalah jugatidak disebutkan dalam akta jual beli, yaitu
bahwa nasabah bertindak mewakili bank syariah. Dengan demikian hal tersebut
ini tidak berbeda dengan kredit investasi atau kredit consumer atau kredit
kepemilikan rumah (KPR) bank konvensional.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut
mengenai perbedaan perjanjian kredit antara bank syariah dengan bank konvensional.
Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul
“Perbandingan Perjanjian Kredit Dalam Prespektif Perjanjian Islam danKitab
Undang-Undang Hukum Perdata“.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas maka yang menjadi pokok
permasalahan adalah :
1. Bagaimana ketentuan hukum perjanjian kredit di bank syari’ah dan bank
konvensional?
2. Bagaimana bentuk klausul antara akad pembiayaan bank syari’ah dengan
perjanjian kredit bank konvensional?
3. Bagaimana hubungan hukum perjanjian perbankan syari’ah dengan KUHPerdata
berkaitan dengan perjanjian kredit?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui ketentuan hukum perjanjian kredit di bank syari’ah dan bank
2. Untuk mengetahui substansi perjanjian kredit antara akad pembiayaan bank
syari’ah dengan perjanjian kredit bank konvensional.
3. Untuk mengetahui hubungan hukum perjanjian perbankan syari’ah dengan
KUHPerdata berkaitan dengan kredit.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu:
1. Secara akademis teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak
yang membutuhkan sebagai bahan kajian pada umumnya, khususnya
pengetahuan dalam perjanjian kredit perbankan syari’ah dan konvensional.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa
dan masyarakat dalam hal perbandingan perjanjian kredit perbankan syari’ah
dengan perbankan konvensional dengan jelas.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran ke pustaka yang ada di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara penelitian mengenai “Perbandingan Perjanjian Kredit Dalam
Prespektif Perjanjian Islam danKitab Undang-Undang Hukum Perdata“ belum pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya, akan tetapi ada beberapa penelitian yang
menyangkut perjanjian menurut syari’ah Islam antara lain penelitian yang dilakukan
1. Saudara Ridha Kurniawan Adnans (NIM. 057011074), Mahasiswa Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Penerapan
Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah (Studi Terhadap Pembiayaan
Rumah/Properti Pada Bank Negara Indonesia Syariah Cabang Medan)”, dengan
permasalahan yang diteliti adalah :
a. Bagaimanakah konsep jual beli murabahah menurut syariat Islam?
b. Bagaimanakah penerapan sistem jual beli murabahah terhadap pembiayaan
rumah/properti pada Bank BNI Syariah?
c. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan sistem jual
beli murabahah terhadap pembiayaan rumah/property pada BankBNI Syariah?
2. Saudara Azwar (NIM. 027011004), Mahasiswa Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Penerapan Prinsip Syariah
Dalam Operasional Perbankan Islam (Studi Pada Bank Negara Indonesia Syariah
Cabang Medan dan BPRS Puduarta Insani)”, dengan permasalahan yang diteliti
adalah:
a. Prinsip-prinsip syariah apa saja yang diterapkan dalam pelaksanaan
operasional Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Cabang Medan dan BPRS
Puduarta Insani?
b. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip syariah apa saja yang diterapkan dalam
pelaksanaan operasional Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Cabang
c. Apa yang menjadi kendala dan pendukung dalam penerapan prinsip-prinsip
syariah di Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Cabang Medan dan BPRS
Puduarta Insani?
Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut
berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan
demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi subtansi maupun dari permasalahan,
sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,
teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu
yang terjadi.24
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.25
Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.
Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :26
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta;
24
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal. 122.
b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;
c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya.
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,
teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman
mengenai suatu fenomena atau teori merupakan simpulan dari rangkaian berbagai
fenomena menjadi sebuah penjelasan.27
Adapun kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam
penelitian ini adalahteori kepastian hukum. Dalam pengertian teori kepastian hukum
yang oleh Roscue Pound dikatakan bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan
adanya “Predictability”.28Dengan demikian kepastian hukum mengandung 2 (dua)
pengertian, yang pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan
bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Selain itu digunakan juga teori positivisme sebagaimana dikemukakan oleh
Jhon Austin, Aliran hukum positif yang dianalitis dari Jhon Austin, mengartikan :
“Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system).
27
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.134.
28
Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk”.29
Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam
manifestasinya bisa berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik
jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan
yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.30
Menurut teori positivisme, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan
(rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum
(rechtszekerheid).31
Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan ahli
teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750,32 telah melahirkan ajaran
mengenai keadilan (justice). Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk
melindungi diri dari kerugian” (the end of justice is to secure from injury).33
Satjipto Raharjo menyebutkan bahwa hukum berfungsi sebagai salah satu alat
perlindungan bagi kepentingan manusia. Hukum melindungi kepentingan seseorang
dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam
rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara
29Rasjidi dan Ira Tania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002,
hal. 55.
30 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993, hal. 79.
31Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung
Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 85.
32
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan Guru Besar, USU-Medan, 17 April 2004, hal. 4-5
33Ibid, sebagaimana dikutip dari R. L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein,e.d,Lecture of
terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang
demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak disetiap kekuasaan dalam masyarakat
bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan
melekatnya hak itu pada seseorang.34
Allots memandang bahwa hukum sebagai sistem merupakan proses
komunikasi, oleh karena itu hukum menjadi subjek bagi persoalan yang sama dalam
memindahkan dan menerima pesan, seperti sistem komunikasi yang lain. Ciri yang
membedakan hukum adalah keberadaannya sebagai fungsi yang otonom dan
membedakan kelompok sosial atau masyarakat politis. Ini dihasilkan oleh mereka
yang mempunyai kompetensi dan kekuasaan yang sah. Suatu sistem hukum tidak
terdiri dari norma-norma tetapi juga lembaga-lembaga termasuk fasilitas dan proses.35
Penerapan klausula-klausula terhadap perjanjian bank tersebut, terdapat hal
yang penting dalam perjanjian kredit bank dalam hal mengamankan fasilitas kredit
yang telah diberikan oleh bank yaitu adanya pemberian jaminan oleh debitur kepada
pihak bank.Keberadaan jaminan tersebut merupakan persyaratan untuk memperkecil
masalah bank dalam menyalurkan kredit, pemberian jaminan adalah untuk
memberikan jaminan kepada bank, debitur kepada kreditur untuk melunasi kredit
yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati
bersama.
34Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 53.
35 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Ada beberapa syarat yang harus dipahami dalam pemberian fasilitas pinjaman
pada bank yang berbasis Syari’ah yang mana pada bank-bank syari’ah pemberian
pinjaman tidak disebutkan dengan istilah perjanjian kreditakan tetapi dengan Akad
Pembiayaan.Apa yang dimaksud dengan akad di sini ialah ucapan atau tindakan yang
dilakukan oleh pihak yang berakad yang menunjukkan kerelaannya untuk berkontrak.
Jadi yang dimaksud dengan akad pembiayaan yang ada pada bank-bank
syariah adalah adanya hubungan timbal balik berdasarkan persetujuan dan
kesepakatan antara pihak bank syari’ah dengan calon nasabah yang menerima
pembiayaan untuk mengembalikan uang atau tagihan setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalanatau bagi hasil.
Bank Indonesia dalam beberapa ketentuannya telah juga memberikan definisi
akad yaitu perjanjian tertulis yang memuat Ijab (Penawaran) dan Kabul (Penerimaan)
antara bank dan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak,
sesuai dengan prinsip syari’ah. Seperti antara lain yang disebutkan dalam peraturan
Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran
dana bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.
Syarat sahnya suatu akad pada Bank Syari’ah ada 3 yaitu:36
1. Syarat Rukun yang mana rukun adalah suatu unsur yang mutlak harus ada dalam
sesuatu hal, peristiwa atau tindakan. Rukun Akad tidak lain adalah Ijab dan
Kabul sebab Akad adalah suatu perikatan antara Ijab dan Kabul.
2. Syarat Subjek.
a. Al-muta’aqidain/al-aqidainatau pihak-pihak yang berakad. b. Shighat al-aqadatau pernyataan untuk mengikatkan diri. 3. Syarat Objek.
a. Al-ma’qud alaih/mahal al-aqdatau objek akad. b. Maudhu’ al-aqdatau tujuan akad.
Bank Konvensional dalam hal menyalurkan kredit memakai istilah Perjanjian
Kredit maupun Perjanjian Pengakuan Hutang dan dari perjanjian-perjanjian tersebut
ada memuat mengenai identitas para pihak dan kewenangannya dalam bertindak dan
dalam pasal-pasalnya ada memuat jangka waktu, jumlah atau nilai hutang, bunga
bank, provisi dan biaya administrasi bank serta obyek yang menjadi jaminannya.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak
dengan kenyataan.Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.37
Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
keadaan, kelompok atau individu tertentu.38
Adapun uraian konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Perjanjian adalah suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana
satu orang atau lebihmengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.39
b. Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan unit usahasyariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara
dan proses dalammelaksanakan kegiatan usahanya.40
c. Prinsip Syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa dibidang syariah.41
d. Akad adalah Adalah kesepakatan tertulis antara Bank syariah atau Usaha Unit
Syariah danpihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi
masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.42
e. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankankegiatan usahanya secara
konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional
dan Bank Perkreditan Rakyat.43
f. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah danmusyarakah,
sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atausewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’,transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutangqardh, dan transaksi
sewa-menyewa jasa dalam bentukijarahuntuk transaksi multijasa.44
40Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 41
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
42
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
43Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
g. Syariah Islam adalah sistem hidup yang memiliki karakteristik menyeluruh
(komprehensif) dan universal yang mencakupaqidah,syariah, danakhlaq.45
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Metode Pendekatan
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat analisis
deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci
dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan
berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat
untuk menjawab permasalahan.46
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan metode
pendekatan yuridis normatif, yang disebabkan karena penelitian ini merupakan
penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi
dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis
atau bahan hukum yang lain.47maka penelitian ini menekankan pada sumber-sumber
bahan sekunder, baik berupa peraturan perundang-undangan maupun teori-teori
hukum, disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat,
sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum
yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalis permasalahan
yang dibahas,48serta menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam
45
Syahril Sofyan,Op.cit., hal. 38 46
Sunaryati Hartono,Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994, hal. 101
47
Bambang Waluyo,Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, 1996, hal. 13
48Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
penulisan tesis ini, yaitu mengenai perjanjian kredit dalam perspektif perjanjian
Syari’ah Islam danKitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Sumber Data
Bahan penelitian merupakan kajian terhadap objek yang berupa penelitian.
Bahan penelitian merupakan kajian terhadap objek yang berupa penelitian. Untuk
mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui studi
kepustakaan (Library Research) yaitu untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian ini. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah
data sekunder. Untuk menghimpun data sekunder tersebut, maka dibutuhkan bahan
kepustakaan yang merupakan data dasar yang digolongkan sebagai data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.
Selain itu penelitian ini didukung oleh data primer yang diperoleh dari
penelitian di lapangan (field research) guna memperoleh dokumen pendukung dan hasil wawancara yang akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian ini.
Data tersebut diperoleh dari pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau
narasumber yaitu pihak Notaris yang terkait dengan masalah perjanjian kredit dalam
prespektif perjanjian Islam danKitab Undang-Undang Hukum Perdata yang akan
diteliti dalam tesis ini.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah
sebagai berikut:
Merupakan upaya pengumpulan data yang diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan atau data sekunder dalam bidang hukum antara lain :
1) Bahan hukum primer.
Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya
adalah peraturan-peraturan terkait perjanjian kredit dalam perspektif perjanjian
Syari’ah Islam danKitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang terkait dengan masalah perjanjian kredit dalam
perspektif perjanjian Syari’ah Islam danKitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Bahan hukum sekunder.
Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta
dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
3) Bahan hukum tertier.
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap
bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
b. Pedoman Wawancara.
Sebagai sumber data tambahan dilakukan menggunakan pedoman wawancara,
yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang berkaitan
dengan perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen, yaitu pihak yang telah
ditentukan sebagai informan atau narasumber yaitu pihak Notaris terkait
Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan yang telah
disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang diperlukan sebagai data
pendukung dalam penelitian tesis ini.
4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Penelitian dengan menggunakan
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun
penuh dengan variasi (keragaman).49
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke
dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.50 Sedangkan metode kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.51
Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan metode kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok
permasalahan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, ditarik kesimpulannya
dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus.
49
Burhan Bungin,Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 53
BAB II
KETENTUAN HUKUM AKAD PEMBIYAAN DI BANK SYARIAHDANPERJANJIAN KREDIT DI BANK KONVENSIONAL
A. Ketentuan Hukum Perjanjian Kredit di Bank Konvensional
1. Syarat Sah Perjanjian Kredit
Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut
dipersetujuan itu.52Sedangkan menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanjiuntuk melaksanakan sesuatu hal.53
Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang
perikatan. Dalam Buku III KUHPerdata, perikatan adalah hubungan hukum yang
terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lainnya berkewajiban atas
sesuatu.
Mengenai syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdataadalah :54
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
52W.J.S. Poerdwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 402 53
Dalam dunia hukum, kecakapan atau cakap hukum untuk membuat perjanjian
terkait dengan subjek hukum. Pada dasarnya subjek hukum terdiri dari manusia
(natuurlijke persoon) dan badan hukum (recht persoon). Syarat cakap bertindak bagi
orang perorangan menurut KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun dan telah lebih
dahulu menikah, serta tidak ditaruh di bawah pengampuan. Sedangkan bagi badan
usaha yang berbadan hukum syarat cakap bertindak adalah ketika badan hukum
tersebut telah didirikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan telah mendapat pengesahan dari menteri, sehingga badan hukum ini memiliki
hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta melakukan perbuatan-perbuatan hukum
seperti manusia.55
c. Mengenai sesuatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu terkait dengan obyek perjanjian atau prestasi yang
wajibdipenuhi.Prestasi dalam perjanjian harus tertentu atau sekurang-kurangnya
dapat ditentukan. Kejelasan objek perjanjian sangat diperlukan dalam pemenuhan
prestasi (hak dan kewajiban). Artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
d. Suatu sebab yang halal;
Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.Dalam pengertian ini pada benda (objek hukum)
55 H.R. Daeng Naja,Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Banker Hand Book, PT. Citra