• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI MASA PERCERAIAN PADA PEREMPUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DITINJAU DARI MASA PERCERAIAN PADA PEREMPUAN"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERBEDAAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

DITINJAU DARI

MASA PERCERAIAN PADA PEREMPUAN

SKRIPSI

Oleh:

Alfidah Dwi Pertiwi

201210230311245

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

i

PERBEDAAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

DITINJAU DARI

MASA PERCERAIAN PADA PEREMPUAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah

satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

Alfidah Dwi Pertiwi

201210230311245

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Skripsi : Perbedaan Psychological Well Being ditinjau dari Masa Perceraian pada Perempuan

2. Nama Peneliti : Alfidah Dwi Pertiwi

3. NIM : 201210230311245

4. Fakultas : Psikologi

5. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang 6. Waktu Penelitian : 28 Februari 2016

Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal

Dewan Penguji

Ketua Penguji : Yudi Suharsono, M.Si ( )

Anggota Penguji : 1. Adhyatman Prabowo, M.Psi ( )

2. Ni’matuzaroh, S.Psi, M. Si ( )

3. Diana Safitri S. Psi, M.Psi ( )

Pembimbing I Pembimbing II

Yudi Suharsono, MSi Adhyatman Prabowo, M.Psi

Malang, 29 April 2016

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

(4)

iii

SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Alfidah Dwi Pertiwi

NIM : 201210230311245

Fakultas/Jurusan : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang Menyatakan bahwa skripsi atau karya ilmiah yang berjudul :

Perbedaan Psychological Well Being ditinjau dari Masa Perceraian pada Perempuan 1. Bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk

kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya. 2. Hasil tulisan skripsi atau karya ilmiah dari penelitian yang saya lakukan

merupakan hak bebas royaliti non ekslusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Mengetahui Malang, 29 April 2016

Ketua Program Studi Yang Menyatakan

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Perbedaan Psychological Well-Being ditinjau dari Masa Perceraian pada Perempuan”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Unviersitas Muhammadiyah Malang.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, petunjuk, bantuan yang bermanfaat serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dra. Tri Dayaksini, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Bapak Yudi Suharsono, M.Psi, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I atas bimbingan, pengarahan, serta saran dukungan yang berarti kepada penulis selama penyusun skripsi.

3. Bapak Adhyatman Prabowo, M.Psi. selaku Dosen Pembimbing II atas bimbingan, pengarahan, serta saran dukungan yang berarti kepada penulis selama penyusun skripsi.

4. Bapak Zainul Anwar, M.Psi selaku Dosen Wali Kelas D 2012 yang telah mendukung dan memberi pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

5. Ayahanda tercinta yang menjadi motivasi terbesar untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih Ayah atas segala limpahan kasih sayang, nasehat, motivasi serta dukungan Ayah yang begitu luar biasa.

6. Ibunda terhebat yang tidak pernah bosan mendengar segala keluh kesah saya dalam proses pengerjaan skripsi ini. Wanitaku terhebat dan tak terduakan jasa ibu abadi selama-lamanya.

7. Kakak terbaikku Hesti Manda Sari, Mbak Lely, dan Mbak Lia yang tidak pernah bosan meningatkan setiap harinya agar segera menyelesaikan skripsi ini.

(6)

v

9. Sahabatku tersayang Adinda, Nabila Izzah, Maulia Dina, Nurwijayanti dan Erin yang memberi semangat di saat revisi.

10. Teman seperjuagan Tomi, Sodeq, dan Mamat yang menjadi fasilitator untuk menyegarkan pikiran yang jenuh karena skripsi.

11. Teman rasa saudara yaitu grup yang bernama ‘Psycloth’ terbentuk dari awal perkulihaan hingga saat ini, untuk grup ‘Oldfriend’ grup SMA yang terdiri dari sebelas orang, dan juga ‘PowerPuffGirl’ grup yang terbentuk dari pelaksanaan KKN mereka dengan tulus hati senantiasa menghibur, memberikan motivasi dan semangat secara berlebihan.

12. Ardhitodarma, Ayulia, Baskoro, Hana, Humada, Qisthi dan juga seluruh teman-teman kelas D angkatan 2012 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa dan dukungannya.

Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah dari Allah SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini sehingga kritik dan saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khusunya peneliti selanjutnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, April 2016 Penulis

(7)

vi DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Surat Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Lampiran ... viii

Pendahuluan ... 2

Landasan Teori Psychological Well-Being ... 5

Dimensi yang Mempengaruhi Psychological Well-Being ... 6

Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Bein ... 7

Masa Perceraian ... 8

Psychology Well-Being dan Masa Perceraian ... 9

Hipotesa ... 10

Metode Penelitian Rancangan Penelitian ... 10

Subjek Penelitian ... 10

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 11

Prosedur dan Analisa Data ... 11

Hasil penelitian ... 12

Diskusi ... 14

Kesimpulan dan Implikasi ... 16

(8)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 12

Tabel 2. Hasil Analisa Uji t-test ... 13

Tabel 3. Skor Tinggi Rendah Psychological Well-Being ... 13

Tabel 4. Skor Psychological Well-Being per Aspek Umum ... 13

(9)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1

Blue Print Skala Try Out, Lay Out Skala Try Out, dan Hasil Try Out ... 21 LAMPIRAN 2

Blue Print Skala Penelitian, Lay Out Skala Penelitian, dan Hasil Penelitian ... 25 LAMPIRAN 3

Skala dari Language Center ... 54 LAMPIRAN 4

(10)

1

PERBEDAAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

DITINJAU DARI

MASA PERCERAIAN PADA PEREMPUAN

Alfidah Dwi Pertiwi

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang alfidapertiwi@gmail.com

Psychological Well-Being pada perempuan bercerai adalah bagaimana individu mengevaluasi kehidupan mereka untuk mendapatkan makna dalam hidup, sehingga dapat merasakan kesejahteraan pasca perceraian. Setiap individu memiliki perbedaan kurun waktu yang dibutuhkan untuk melakukan masa transisi dari berstatus menikah menjadi seorang janda.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan psychological well-being jika ditinjau dari masa perceraian pada perempuan di Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif komparatif denganmelibatkan subjek 84perempuan bercerai yang sah dimata hukum. Metode pengumpulan data menggunakan skala psychological well-being dengan pembanding masa perceraianyang dianalisa melalui independent sample t-test. Hasil analisis diperoleh bahwa hipotesis diterima (sig.=0.000) berarti ada perbedaan psychological well-being jika ditinjau dari masa perceraian. Semakin pendek masa perceraian maka psychological well-being semakin rendah dan semakin panjang masa perceraian maka psychological well-being semakin tinggi.

Kata kunci : Psychological Well-being, Masa Perceraian, Janda

Psychological Well-Being at divorced women is how people evaluate their lives to find meaning in life, so that they can feel the well-being of post-divorce. Each individual has a different period of time needed to perform the transition from married status became a widow.This research aims to determine differences in psychological well-being if the review of a divorce period on women in the district of Malang.This research a quantitative approach comparative involving 84 female subjects divorced legitimate in the eyes of the law.Methods of data collection using a scale of psychological well-being in comparison to divorce period analyzed by independent sample t-test. Results of the analysis showed that the hypothesis is accepted (sig. = 0.000) means that there are differences in psychological well-being if the terms of the divorce period. The shorter the time of divorce, the psychological well-being lower and the longer the period of divorce, the psychological well-being higher.

(11)

2

Fenomena perceraian di Indonesia bukan menjadi sesuatu yang asing untuk disajikan. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian yang bisa di bilang cukup tinggi. Hal itu terbukti dengan data-data yang tercatat di pengadilan Agama dan Pengadilan negeri yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Jika di tahun 2013 BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasioanal) menyatakan tingkat perceraian di Indonesia sudah menempati urutan tertinggi se-Asia Pasifik, ternyata di tahun-tahun berikutnya jumlah angka perceraian tetapmengalamipeningkatan. Selain itu jika di lihat dari data pernikahan dan perceraian di Indonesia yang dirilis oleh Kementrian Agama RI, tampak pernikahan relatif tetap di angka 2.200.000 setiap tahun, sementara angka perceraian selalu meningkat hingga tembus di atas 300.000 kejadian setiap tahunnya.

Angka perceraian yang terjadi di Indonesia59% di antaranya adalah gugat cerai. Berdasarkan data dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, pada kasus perceraian tahun 2010 yakni, cerai talak 81,535 (27.58%), cerai gugat 169,673 (57.40%), perkara lain 44.381 (15%). Jadi keseluruhan kasus perceraian pada tahun 2010 yakni sebanyak 295.589. Di tahun 2011 kasus perceraian meningkat menjadi 363.470 dari cerai talak 99.599 (27,40%), cerai gugat 215.365 (59,25%), perkara lain 48.503 (13,34%). Humas Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jawa Timur mengatakan bahwa kasus perceraian di Jawa Timur juga telah mencapai 81.672 kasus. Lebih dari 70% kasus cerai gugat tersebut diajukan oleh pihak wanita. Tingginya kasus perceraian tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, khususnya dalam perihal pernikahan. Oleh karena itu, hampir setiap hari pihak pengadilan selalu menerima laporan kasus perceraian (Nurani, 2013). Berdasarkan data laporan perkara yang diterima oleh PTA (Pengadilan Tinggi Agama) Kabupaten Malang tahun 2011 sampai tahun 2015, sebanyak 22.931 pasangan menikah di Jawa Timur mengalami cerai gugat. Sedangkan, sebanyak 12.906 pasangan menikah di Jawa Timur mengalami kasus cerai talak.

Menurut Nakamura dalam Sudarto& Wirawan (2000) sebagai orang timur, perceraiandihindari mengingat label yang diberikan kepada seseorang yang telah berceraicenderung negatif, karena hal itu dianggap sebagai sesuatu hal yang memalukan dan menjatuhkan martabat keluarga. Sedangkan Wirawan (2000) mengatakan bahwa setelah seorang individu bercerai akan mengalami masalah terkait dengan perubahanstatus dan peran. Dari yang sebelumnya menjadi seorang istri menjadi seorang janda. Apalagi jika perubahan status dikarenakan perceraian, maka akan jauh lebih sulit diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan janda karenakematian. Hal tersebut terjadi karena adanya anggapan masyarakat umum yang menyatakan bahwa istri beranimengambil keputusan untuk meninggalkan hubungan pernikahan yang sudah dijalani (apapun alasannya) merupakan perempuanyang gagal dalam memelihara keutuhan rumah tangganya dan tidak berhasil dalam memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, serta membuat aibkeluarga. Maka akibatnya adalah banyaknya perempuan yang menjadi tertekan dan cenderung akan menyalahkan dirinya atas seluruh kejadian yang telah terjadi, serta meyakini dirinya sebagai perempuan yanggagal.

(12)

3

memandang hidupnya sebagai masa yang menyenangkan. Namun, ketika konflik mulai hadir dalam suatu pernikahan dan berdampak pada kehancuran pernikahan yang telah dibina, kehidupan dipandang sebagai masa yang menyedihkan, penuh penderitaan, dan kekecewaan.

Panilia dan Feldman (Dewi dan Idrus, 2000) menyatakan bahwa perempuan cenderung mengalami kesulitan dalam melakukan aktifitas sehari-hari setelah masa perceraian dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Nurzeha (Dewi dan Idrus, 2000) perubahan status dari seorang istri menjadi janda tidaklah mudah untuk diterima. Di samping rasa percaya diri kecerdasan mental, dibutuhkan pula kepribadian yang kuat, dan keberanian untuk mempertahankan hidup ditengah-tengah masyarakat.

Hurlock (1980) menyebutkan perceraian sebagai solusi dari penyelesaian pernikahan yang kurang baik dan apabila antara suami dan istri sudah tidak ingin dan tidak memiliki kemampuan untuk mencari penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak yang bersangkutan. Dagun (2002) menambahkan bahwa perceraian dalam keluarga sering kali diawali dengan adanya suatu konflik.Individu yang mengalami perceraian akan menghadapi berbagai permasalahan, di antaranya harus mengatasi kondisi diri sendiri, memberikan pengertian kepada keluarga bahwa perceraian merupakan keputusan yang harus diambil, sertaharus menghadapi permasalahan dari masyarakat. Berbagai masalah tersebut akan menjadi beban bagi individu dan menjadi terpuruk ke dalam keadaan yangmenyedihkan. Namun pada dasarnya, yang dirasakan perempuan akan menjadi lebihberat dibandingkan dengan yang dirasakan laki-laki (Craig, 1992).

Pada umumnya menjadi janda akantersisih dan banyak dibicarakan oleh lingkungan. Perempuan bercerai juga mengalami masalah psikologis(tergantung penyebab perceraiannya), kemudian harus memikirkan danmenanggung biaya hidup keluarga, serta pandangan negatif masyarakat tentangstatus dan predikat mereka (janda), yang tentunya semua itu cukup berat bagimereka.Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 21 November 2015 kepada lima perempuan yang baru menyandang status janda, didapatkan hasil bahwa perceraian yang sudah terjadi membawa perubahan situasi seperti merasa cemas, perasaan tidak tenang, tidak nyaman dengan status baru yang di sandang. Selain itu dari segi sosial juga memunculkan perubahan perlakuan orang-orang disekitar, seorang janda menjadi bahan gunjingan adalah sesuatu yang menjadi sebuah kebiasaan. Namun, bagi seorang janda hal tersebut menjadi sebuah beban dan menjadi penghambat untuk hidup bersosialisasi secara baik seperti sebelum menjadi seorang janda. Untuk janda yang sudah memiliki anak, perekonomian merupakan masalah besar baginya, bagaimana keberlangsungan hidup dan masa depan anak menjadi tanggung jawab mandiri tanpa bantuan seorang kepala keluarga seperti sebelumnya. Satu dari lima janda yang diwawancara ada satu janda yang memunculkan jawaban yang berbalik dari janda-janda yang lain, bahwa janda tersebut justru merasa lega pasca bercerai, karena alasan janda tersebut bercerai adalah mantan suaminya melakukan perselingkuhan. Sehingga, ketika perceraian sah didapatkan janda tersebut merasa terlepas dari seseorang yang telah mengkhianatinya.

(13)

4

mereka harus berakhir pada perceraian. Jika disimpulkan dari kedua wawancara yang sudah dilakukan, dua dari delapan janda merasa lebih lega pasca bercerai, kemudian enam janda yang lain menyatakan rasa sedih dan kekecewaan pasca bercerai. Jadi, perempuan yang mengalami perceraian cepat atau lambat mengalami dampak positif maupun negatif dari berbagai sisi bagi psikis, sosial, maupun materi.

Menurut Williams & Umberson (2004) perceraian dapat memiliki efek krisis. Keputusan untuk melakukan perceraian bisa menjadi pengalaman yang sangat menyedihkan dan menggangguemosional, sehingga nantinya akan mengakibatkan penurunan kesejahteraan. Penurunan kesejahteraan yang dimaksud adalah psychological well-being pada individu pasca bercerai. Psychological well-being adalah saat dimana seseorang hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang dimiliki. Evaluasi terhadap pengalaman dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being menjadi rendah, atau berusaha memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-being-nya meningkat. Sehingga, individu dengan psychological well-being berarti tidak hanya individu yang terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental negatif, akan tetapi mengetahui potensi-potensi positif yang ada pada dirinya (Ryff dan Keyes, 1995).

Individu mungkin akan mengalami masa-masa ketidakpercayaan, kemarahan, dan keputusaaan, dan suatu masa untuk menimbang-nimbang, dan akhirnya di mana anda dapat menerima kenyataan. Masa-masa ini mungkin tidak terjadi berurutan, mungkin juga bersamaan dan anda berpindah dari satu ke yang lainnya. Lamanya waktu dari satu masa ke masa yang lain akan berlainan tergantung orangnya. Anda mungkin tidak dapat mencapai masa di mana anda dapat menerima kenyataan sampai dua tahun atau bahkan lebih (Mitchell, 1991).

Menjanda memberikan efek negatif pada kepuasaan hidup, yang perlahan menghilang dari waktu ke waktu. Meskipun delapan tahun menjanda masih memiliki kesejahteraan lebih rendah dibandingkan dengan yang tetap melanjutkan pernikahan. (Clark et al dalam Gardner & Oswold, 2005) menganalisa konseskuensi dari berbagai peristiwa kehidupan, termasuk kepuasan hidup setelah perceraian, dan menemukan efek yang cukup rumit bahwa perempuan tampaknya lebih terpengaruh daripada pria karena perkawinan dan perceraian. Menurut (Pearlin & Johnson; Gove & Shin, dalam Marks & Lambert, 1996) di antara orang yang single yang sebelumnya pernah menikah, kemudian bercerai dan menjadi janda dilaporkan miskin kesejahteraan dan memberikan bukti lebih distress daripada orang yang tidak pernah menikah.

Beberapa studi berbasis populasi telah dilakukan yang mengarah pada efek kesehatan mental transisi dari pernikahan ke perceraian. (Menaghan & Lieberman, dalam Marks & Lambert, 1996) menggunakan sampel probabilitas yang diikuti lebih dari 1000 orang dewasa dari daerah Chicago selama empat tahun (1972-1976) untuk menguji dampak dari perceraian mempengaruhi perubahan depresi. Para peneliti ini menemukan bahwa, pada kenyataannya, perceraian menyebabkan peningkatan depresi yang mempengaruhi : masalah ekonomi, tidak adanya kepercayaan, dan pengurangan standart hidup, dan penurunan kesejahteraan.

(14)

5

panjang, untuk masalah kronis yang mungkin tidak pernah sepenuhnya pulih. Seperti dalam penelitianSudarto (2000) yang menyatakan bahwa sebelum perceraian, individu memandangkehidupannya sebagai masa yang menyenangkan. Namun ketika ketegangan hadirdalam pernikahan dan mulai membahayakan pernikahan, kehidupan dipandangsebagai suatu kepahitan yang mendalam dan penuh penderitaan serta perjuangan.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka perlu untuk mengkaji apakah ada perbedaan psychological well-being pada perempuan jika ditinjau dari masa perceraian.Bagaimana masa perceraian menjadi perbandingan untuk mengetahui kesejahteraan individu pasca bercerai mengalami peningkatan atau menurun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah adaperbedaan psychological well-being jika ditinjau dari masa perceraian pada perempuan. Dalam penelitian ini terdapat dua manfaat yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu dalam ranah Psikologi, khususnya dibidang Psikologi Sosial untuk mengkaji bagaimana perbandingan psychological well-being pada perempuan yang sudah bercerai ditinjau dari masa perceraian.Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi wanita yang telah berceraidalam mendapatkan psychological well-beingpasca bercerai.Dan bagi pihak lain, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu pihak lain dalam menyajikan informasi untuk melakukan penelitian yang serupa.

Penelitian ini penting dilakukan mengingat angka perceraian setiap tahunnya yang semakin meningkat. Selain itu hasil dari penelitian ini bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi wanita yang telah bercerai untuk memikirkan ulang ketika memutuskan untuk menikah atau pun bercerai karena kedua kejadian tersebut memiliki pengaruh besar dalam kehidupan. Segala sesuatu yang di dunia ini tidak memiliki kepastian dalam proses perjalanannya, namun perencanaan dan pengambilan keputusan yang bijak menjadi salah satu bekal utama untuk mendapatkan kehidupan yang positif dan sejahtera.

Psychological Well-being

Menurut Aristoteles (oleh Ryff, 1996), tujuan akhir dari hidup manusia yaitu kesejahteraan. Menurut Diener (1996), sejahtera merupakan hak dari setiap orang. Psychological well-being merujuk pada bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupan mereka (Diener, 1997). Menurut (Ryff, 1995) penting untuk mendapatkan psychological well-being karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya yang akan membuat seseorang dapat mengidentifikasikan apa yang hilang dalam hidupnya. Kebahagiaan itu bersifat subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur kebahagiaan dan faktor yang mendatangkan kebahagiaan yang berbeda-beda pada masing-masing individu.

(15)

6

harapan individu terpenuhi. Alston dan Dudley, dalam Hurlock, 1994) menambahkan bahwa, kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalamn-pengalamannya, yang disertai tingkat kebahagiaan.

Dari penjelasan diatas mengenai definisi psychological well-being dapat disimpulkan bahwa psychological well-being adalah kondisi dimana individu mampu menghadapi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam kehidupannya, mampu melalui periode sulit dalam kehidupan yang dijalani dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya. Bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupan mereka dengan menjalankan fungsi positif yang ada dalam dirinya untuk mendapatkan makna dalam hidup, sehingga individu tersebut merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin pada kehidupannya.

Dimensi-Dimensi yang Mempengaruhi Psychological Well-being

Enam dimensi psychological well-being yang merupakan intisari dari teori positive functioning psychology yang dirumuskan oleh Ryff (dalam Ryff, 1989: Ryff dan Keyes, 1995), yaitu :

1. Kemandirian(Autonomy)

Dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Individu tidak lagi terpaku pada hukum yang berlaku di dalam masyarakat ataupun kelompoknya. Individu yang baik pada dimensi ini, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standart personal. Sedangkan indvidu yang rendah untuk dimensi ini akan memperhatikan evaluasi dari orang-orang disekitarnya, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain.

2. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dalam dimensi ini dijelaskan mengenai kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi psikologis mereka. Kematangan dalam dimensi ini terlihat pada kemampuan individu untuk menghadapi kejadian yang ada diluar dirinya. Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan mampu berkompetensi mengatur lingkungan, menggunakan dan mengendalikan kesempatan dalam lingkungan secara efektif yang sesuai dengan konteks dan nilai invidu itu sendiri. Sedangkan untuk seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan untuk mengatur lingkungannya, mengalami kekawatiran secara terus-menerus, tidak peka dengan kesempatan yang ada, dan tidak memiliki kontrol dalam diri.

3. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

(16)

7

4. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)

Dimensi ini menekankan pada hubungan interpesonal yang hangat saling menyayangi dan saling percaya. Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan kemampuan untuk membangun hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan. Selain itu juga memiliki rasa empati dan afeksi yang kuat. Sebaliknya, untuk individu yang rendah dalam dimensi ini sulit bersikap hangat dan tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, merasa frustasi untuk menjalin hubungan interpersonal, tidak ingin untuk mempunyai komitmen denagn orang lain, dan tidak berkompromi ingin untuk mempertahanka hubungan baik.

5. Tujuan Hidup (Purpose In Life),

Dimensi ini menjelaskan bahwa seseorang dituntut untuk mempunyai tujuan dan makna dalam setiap kehidupan yang dijalaninnya. Individu yang memiliki tujuan hidup memiliki pemikiran dan kepercayaan bahwa kehidupan masa lalu dan saat ini mempunyai makna, selain itu seseorang harus mempunyai target yang akan dicapai dalam hidupnya. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan kehilangan makna hidup, kurang memiliki tujuan hidup, tidak melihat makna yang ada dalam masa lalunya, dan kehilangan keyakinan yang memberikan tujuan hidup.

6. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Dalam dimensi ini dijelaskan mengenai kemampuan seseorang dalam menerima diri sendiri dan masa lalunya. Seseorang sebaiknya dapat menerima dirinya secara apa adanya, karena hal ini mempengaruhi kebahagiaan dan kesehatan mental seseorang. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap yang positif, menerima semua aspek yang dimiliki dalam diri, dan memiliki pandangan yang positif terhadap masa lalunya. Sedangkan untuk penerimaan diri yang kurang baik ditandai dengan ketidakpuasaan terhadap diri, berharap memiliki sesutau yang berbeda dari dirinya, merasa kecewa dengan diri sendiri dan masa lalunya.

Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being

Penelitian yang dilakukan Ryff (1989) menunjukkan bahwa faktor demografis yang mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang, yaitu :

a. Usia

Dalam penelitian Ryff terdapat perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Faktor penguasaan lingkungan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karena itu, individu semakin mampu untuk mengatur lingkungannya sesuai dengan kondisi dirinya. Individu pada usia dewasa akhir memiliki skor well-being lebih rendah pada tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu dalam usia dewasa madya memiliki skor well-being yang lebih tinggi dalam penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi.

b. Jenis Kelamin

(17)

8

menyebabkan seseorang berjenis kelamin perempuan cenderung memiliki psychological well-being yang lebih baik daripada laki-laki. Perempuan umumnya lebih mampu mengekspresikan emosi dan menjalin relasi sosial dengan orang lain.

c. Status Sosial Ekonomi

Ryff dkk., (1995) Faktor ini berkaitan dengan penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Seseorang dengan sosial ekonomi rendah cenderung membandingkan dirinya terhadap sosial ekonomi tinggi dari dirinya

d. Budaya

Ryff (1995) mengemukakan bahwa sistem nilai individualism kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada hubungan positif dengan orang lain.

e. Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat dirasakan individu dari orang lain atau sebaliknya.Terdapat 4 jenis dukungan sosial, yaitu:

1. Dukungan Emosional (emotional support)

Melibatkan empati, rasa peduli, dan perhatian. Dukungan ini memberikan rasa aman, nyaman, dimilikin dan dicintai terutama dalam kondisi stres. 2. Dukungan Penghargaan (esteem support)

Dukuan penghargaan muncul melalui pengungkapkan penghargaan yang positif, persetujuan ataupun dorongan positif yang dapat membangun seperti harga diri, kompetensi dan perasaan dihargai.

3. Dukungan Instrumental (tangible or instrumental support)

Dukungan instrumental melibatkan tindaakan yang konkrit atau memberikan pertolongan secara langsung.

4. Dukungan Informasional (informational support)

Pemberian nasehat, petunjuk, saran atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang.

f. Evaluasi Pengalaman Hidup

Ryff (1989) mengatakan bahwa pengalaman hidup tertentu dapat mempengaruhi kondisi psychological well-being seseorang. Pengalaman-pengalaman tersebut meliputi berbagai bidang kehidupan dalam berbagai periode waktu kehidupan. Evaluasi individu terhadap pengalamn hidupnya memiliki pengaruh yang penting terhadap psychological well-being(Ryff, 1995). Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi individu pada pengalaman hidupnya terhadap kesehatan mental. Evaluasi pengalaman hidup berpengaruh pada psychological well-beingindividu, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan hubungan yang positif dengan orang lain.

Masa Perceraian

Masa adalah suatu kurun waktu atau lamanya individu mengalami suatu peristiwa tertentu.

(18)

9

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”; ”Perceraian harus dilakukan dengan cukup alasan, bahwa antara suami-istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri”; dan ”Tata cara perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam pengaturan perundangan tersendiri”. Dan korban perceraian menerima cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat 4 UU No. 7 tahun 1989).

Menurut (Mel Krantzler, dalam Sahlan, 2012) perceraian adalah berakhirnya hubungan antara dua orang yang pernah hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Perceraian sebagai cerai hidup antara pasangan suami istri akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini, Erna Karim melihat perceraian sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan di mana pasangan suami istri kemudian hidup berpisah dan secara resmi disahkan oleh hukum yang berlaku di suatu tempat. (Erna Karim, dalam Sahlan, 2012).

Dari penjelasan diatas mengenai definisimasa dan perceraian dapat disimpulkan bahwa masa perceraianadalahsuatu kurun waktu atau lamanya individu pasca bercerai yang sah dimata hukum.

Psychological Well-being dan Masa Perceraian

Mengacu pada kajian secara teoritis sebelumnya, dapat dilihat keterkaitan antara kedua variabel penelitian. Bahwa masa perceraian menjadi perbandingan untuk mengetahui adanya perbedaan psychological well-beingseseorang mengalami peningkatan atau menurun pasca perceraian yang dialami. Bagaimana pada masa awal perceraian menjadi masa-masa yang sulit bagi perempuan bercerai karena masuk dalam masa transisi dari sebelumnya berstatus seorang istri menjadi janda, untuk itu diperlukan waktu untuk melakukan evaluasi dan penghayatan atas apa yang telah terjadi.

Menurut Ryff (1995), evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pembentukan kesejahteraan psikologis. Menurutnya, untuk dapat memahami kesejahteraan psikologis seseorang, perlu pemahaman terhadap pengalaman individu tersebut di masa lalu, dan memahami bagaimana individu tersebut mengevaluasi dan menghayati pengalamannya. Dengan adanya perbedaan dalam evaluasi dan penghayatan tersebut maka dapat saja terdapat perbedaan gambaran kesejahteraan psikologis pada individu-individu yang memiliki pengalaman sama. Menurut Ryff (1995), pengalaman yang berpotensi mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah pengalaman-pengalaman yang dipandang individu sangat mempengaruhi komponen-kemponen kehidupannya. Termasuk juga dalam pengalaman bercerainya seseorang dengan pasangannya yang cepat atau lambat akan memberikan dampak apda aspek kehidupan selanjutnya.

(19)

10

mengatasinya. Lama atau tidaknya waktu yang dibutuhkan seseorang dijadikan acuan bagaimana psychological well-being perempuan yang mengalami perceraian menjadi rendah atau tinggi.

Berdasarkan teori tersebut yang perlu digaris bawahi adalah ketika seorang peneliti ingin mengetahui bagaimana psychological well-being seseorang dibutuhkan pemahaman terkait dengan pengalaman masa lalunya. Seperti halnya perumusan masalah dalam penelitian ini adalah seberapa pendek atau panjangnya masa perceraian menjadi perbandingan tinggi dan rendahnya psychological well-beingseseorang pasca bercerai.Bagaimana wanita bercerai tersebut bisa mengevaluasi dan menghayati pengalaman masa lalunya, untuk mencapai kesejahteraan. Apakah ketentuan masa awal bercerai sampai saat ini atau lama tidaknya rentang waktu bercerai menjadi perbandinganpsychological well-beingseorang wanita yang telah bercerai.

Hipotesa

Ada perbedaanpsychological well-beingantara masa perceraian jangka pendek dan msa perceraian jangka panjang pada wanita yang mengalamiperceraian.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Pendekatan pada penelitian inimenggunakan pendekatan kuantitatif komparatif. Metode penelitian kuantitatifkomparatif adalah penelitian yang bersifatmembandingkan keberadaan satu variabelpsychological well-beingpada sampel yang berbeda yaitu masa perceraian pada perempuan, dalam waktu yang berbeda (Sugiyono, 2012).Adanya perbedaan variabel ini penting, karena dengan mengetahui tingkat perbandingan yang ada, peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian.Penelitian dilakukan secara alami, dengan mengumpulkan data dengan suatu instrument. Hasilnya dianalisis secara statistik untuk mencari perbedaan variable yang diteliti.

Subjek Penelitian

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling, dimana semua populasi tidak memiliki peluang yang sama untuk menjadi responden dan pengambilan sampel didasarkan pada pertimbangan peneliti (Simamora, 2004).Metode pengambilan sampel yang digunakan adalahPurposive Sampling. Purposive Sampling sendiri adalah pengambilan sampel sesuai dengan kriteria tertentu yang sesuai dengan penelitian. Kriteria subjek dalam penelitian ini, yaitu perempuan bercerai minimal 1 bulan sampai maksimal 8 tahun.Subjek penelitian ini dilakukan di Kabupaten Malang, dengan pertimbangan Kabupaten Malang termasuk dalam wilayah yang memiliki angka perceraian tertinggi di Jawa Timur dan berada di posisi nomor dua tertinggi di Indonesia.

(20)

11 Variabel dan Instrumen Penelitian

Pada penelitian kali ini, terdapat dua variabel yakni variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Adapun yang menjadi variabel bebas (X) yaitu masa perceraian dan variabel terikatnya (Y) adalah psychological well-being.

Psychological well-being adalah kondisi dimana individu mampu untuk mengatasi berbagai hal yang dapat menimbulkan permasalahan dalam hidupannya. Mampu untuk melalui periode sulit dan mengevaluasi pengalaman dalam hidupnya dengan memanfaatkan kemampuan yang dimiliki, sekaligus mengandalkan psikologi positif sehingga individu tersebut mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Untuk mengukur tingkat psychological well-being pada subjek yang akan diteliti, peneliti menggunakan skalaRyff’s Psychological Well-Being Scales (PWB)yang telah diadaptasi.Dimana, skala Psychological Well-Beingini terdiri dari 42 item, masing-masing terdiri atas 23 item favourable dan 19 item unfavourable. Skala Psychological Well-Beingini disusundengan menggunakan empat pilihan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan tidak sesuai (STS). Setelah dilakukan uji coba dari 42 item terdapat 21 butir item yang valid dengan indeks validitas 0,279-0,714 dan reliabilitas sebesar 0,878.

Masa perceraian adalah suatu kurun waktu atau lamanya individu pasca bercerai yang sah dimata hukum.Menurut (Mastekaasa, dalam Marks &Lambert, 1996) meneliti data Norwegia nasional untuk 930 orang menikah di 1980 dan 1983, yang diinterview kembali setidaknya dua kali setelah wawancara awal mereka. Peneliti menemukan bahwa selama masa berpisah atau bercerai yang mengalami peningkatan yang signifikan dalam tekanan psikologis, baik jangka pendek (kurang dari empat tahun pasca bercerai) dan jangka panjang (4-8 tahun pasca bercerai).

Berdasarkan penelitian tersebut masa perceraian nantinya akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan orang yang memiliki masa perceraian pendek yaitu (kurang dari empat tahun) dan kelompok masa perceraian panjang yaitu (empat sampai delapan tahun) pasca bercerai. Sedangkan untuk data perceraian diperoleh dari Pengadilan Agama Kabupaten Malang yang berupa data dokumentasi.

Prosedur dan Analisa Data Penelitian

Persiapan dimulai dari peniliti melakukan pendalaman terkait dengan variabel terikat dan variabel bebas, baik dari segi materi maupun penelitian-penelitian yang terkait. Selanjutnya peneliti mengadaptasi skala yang sesuai dengan tujuan penelitian guna mendapatkan hasil dari perumusan hipotesa. Dengan mengadaptasi skala yang disusun oleh Carol D. Ryff (1989) yang kemudian di terjemahkan kepada lembaga yang dapat dipercaya yaitu LC (Language Center) Universitas Muhammadiyah Malang. Selanjutnya peneliti melakukan tryout yang dilaksanakan pada tanggal 21 Februari 2016 kepada perempuan bercerai untuk menguji reliabilitas dan validitas yang bertujuan mengetahui item yang valid dan tidak valid.

(21)

12

dasar persetujuan dari subjek terlebih dahulu. Subjek mengisi skala tersebut setelah membaca instruksi bagaimana cara pengerjaan skala.

Setelah pengambilan data, dilanjutkan pada tahap pengolahan data untuk mengetahui apakah hipotesa diterima atau ditolak. Data-data yang telah diperoleh diinput dan diolah dengan menggunakan program yang dapat membantu analisis data statistik, yaitu IBM SPSS statistic 21, menggunakan analisa independent sample t-test, dimana uji t-test tergolong dalam uji perbandingan (komparatif) yang bertujuan untuk membandingkanapakah rata-rata kelompok yang diuji berbeda secara signifikan. (Nanang, 2010). Setelah melakukan pengolahan data, kemudian peneliti melakukan interpretasi skor skala Psychological Well Beinguntuk mengetahui tingkat Psychological Well Beingpersubjek masuk dalam kategori rendah atau tinggi berdasarkan perbandingan masa perceraian yang dimiliki subjek.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan kepada 80 subjek perempuan yang berdomisili di Kabupaten Malang dan telah resmi bercerai sah secara hukum, maka diperoleh beberapa hasil penelitian yang akan dipaparkan dengan menggunakan beberapa tabel-tabel berikut. Adapun untuk tabel yang pertama adalah tabel karakteristik subjek penelitian.

Tabel 1 Deskripsi Subjek Penelitian

Kategori Frekuensi Prosentase %

Masa Perceraian

(22)

13

32 orang dengan prosentase 38.1%, dan jumlah yang paling sedikit berada pada umur 39-49 tahun yaitu 16 orang dengan prosentase 19%.

Tabel 2 Hasil Analisa Uji t-test

t Sig/p Keterangan Simpulan

9.798 0.000 Sig < 0.05 Sangat Signifikan

Dari hasil analisis yang dilakukan dengan t-test dapat dilihat bahwa nilai uji beda t= 9.798 dengan nilai signifikasi 0.000 (p<0.05). Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara psychological well-being pada wanita yang memiliki masa perceraian jangka pendek dengan wanita yang memiliki masa perceraian jangka panjang.

Tabel 3 Skor Tinggi dan Rendah Psychological Well-Being di Tinjau dari Masa

Perceraian pada Perempuan Bercerai Masa

Perceraian Rendah Psychological Well-Being % Tinggi %

Jangka Pendek 36 42.9 6 7.1

Jangka Panjang 5 6.0 37 44.0

Berdasarkan tabel 3 diatas untuk kelompok masa perceraian jangka pendek memiliki psychological well-being yang rendah yaitu 36 orang dengan prosentase 42.9%, meskipun ada 6 orang yang memiliki psychological well-being tinggi dengan prosentase 7.1%. Sedangkan untuk kelompok masa perceraian jangka panjang memiliki psychological well-beingyang tinggi yaitu 37 orang dengan prosentase 44%, meskipun ada 5 orang yang memiliki psychological well-being rendah dengan prosentase 6%.

Tabel 4 Skor Psychological Well-Being Perempuan Bercerai Berdasarkan

Aspek-Aspek Psychological Well-Beingsecara Umum

Aspek Rendah Psychological Well-Being Tinggi Total

(23)

14

yang rendah dengan prosentase 57.1% dan ada 36 orang yang tinggi dengan prosentase 42.9%. Dan untuk aspek self acceptance terdapat 30 orang yang rendah dengan prosentase 35.7% dan ada 54 orang yang tinggi dengan prosentase 64.3%.

Tabel 5 Skor Psychological Well-Being Perempuan Bercerai Berdasarkan

Aspek-Aspek Psychological Well-Beingsecara Khusus

Masa

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa dalam masa perceraian jangka pendek untuk aspek dengan psychological well-being yang rendah adalah aspek autonomy, positive relations, dan purpose in life yaitu 35 dengan prosentase 41.7%, sedangkan untuk psychological well-being yang tinggi adalah aspek self acceptance yaitu 19 dengan prosentase 22.6%. Selanjutnya untuk masa perceraian jangka panjang untuk aspek dengan psychological well-being yang rendah adalah aspek purpose in life yaitu 13 dengan prosentase 15.5%, sedangkan untuk psychological well-being yang tinggi adalah aspek environmental mastery yaitu 36 dengan prosentase 42.9%.

DISKUSI

(24)

15

psychological wel-being pada perempuan bercerai yaitu dari berbagai kelompok usia, status ekonomi perempuan bercerai yang mempunyai pekerjaan dan tidak bekerja, ada atau tidaknya dukungan sosial dari keluarga maupun lingkungan sosial lainnya, dan evaluasi terhadap pengalaman hidup pasca bercerai.

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan adanya beberapa hal yang dapat menjadi pembanding untuk mengetahui psychological well-being seseorang yaitu usia, tahun menikah, tahun bercerai, jenis pekerjaan, dan khusunya adalah masa perceraian. Hal tersebut didukung dengan hasil temuanbahwa ketahanan psikologis secara signifikan berhubungan dengan kesejahteraan perempuan bercerai dengan menggunakan variabel kontrol yaitu tahun menikah dan kurun waktu menjadi seorang janda (O’rourke, 2004).

Kedua, hasil penelitian ini ditunjukkan dengan hasil skor psychological well-being ditinjau dari masa perceraian. Hasil menunjukkan bahwa skor psychological well-being pada perempuan dengan masa perceraian jangka pendek (satu tahun sampai tiga tahun) memiliki psychological well being rendah yaitu sebanyak 36 orang (42.9%), meskipun ada 6 (7.1%) orang yang dengan masa perceraian jangka pendek namun memiliki skor psychological well-being tinggi. Adanya pengecualian tersebut disebabkan karena perceraian sudah menjadi keinginan untuk keluar dari permasalahan dalam pernikahan sebelumnya, sehingga ketika perceraian telah disahkan maka perempuan bercerai tersebut lebih merasakan kebahagiaan. Hal tersebut didukung oleh (Clarke-Stewart&Brentano , 2007) yang mengatakan bahwa perceraian sendiri akan mengakhiri hubungan yang tidak baik antar pasangan dan memberikan kesempatan untuk mencari hubungan yang lebih baik lagi. Kebanyakan orang yang mengalami perceraian merasa bahwa mereka telah mengakhiri hubungan yang sulit (Chiriboga & Cutler; Wallerstein & Kelly, dalam Santrock, 1997). Menurut Wallerstein dan Kelly (dalam Santrock, 1997), banyak orang yang merasa lega setelah perceraian dan beberapa orang lainnya menganggap perceraian sebagai sebuah kesempatan untuk pembaharuan atau untuk berkembang.

Sedangkan untuk skor psychological well-being pada perempuan dengan masa perceraian jangka panjang (empat tahun sampai 8 tahun) memiliki psychological well-being tinggi yaitu sebanyak 37 orang (44%), meskipun ada 5 orang (6%) dengan masa perceraian jangka panjang namun memiliki skor psychological well-being yang rendah. Pengecualian tersebut didasari oleh harapan seorang perempuan pada awal pernikahan bahwa menikah adalah sesuatu yang sakral dan hanya dilakukan sekali seumur hidup, sehingga ketika perceraian menjadi jalan satu-satunya untuk permasalahan dalam rumah tangganya maka dalam kurun waktu yang sudah lama perceraian tetap memberikan efek berkelanjutan. Hal itu didukung dengan (Kelly, dalam Santrock, 1997) bahwa terdapat juga dampak negatif bagi pasangan yang bercerai, perceraian menimbulkan reaksi emosi yang muncul pada orang yang mengalami perceraian adalah depresi, kehilangan harga diri, marah dan bingung. Reaksi emosi lainnya yang biasanya muncul pada perceraian adalah depresi, yang termanifestasi dalam berbagai cara, seperti kurang tidur, lelah, kehilangan harga diri, atau peningkatan atau penurunan berat badan (Herman, Kelly, dalam Santrock, 1997).

(25)

16

(Amato, 2000; 2010) menyatakan untuk perceraian memerlukan penyesuaian jangka panjang. Perceraian merupakan masalah kronis yang mungkin tidak akan sepenuhnya pulih. Beberapajanda mencoba untuk bertahan hidup dengan menyembunyikan penderitaan mereka dan berjuangdengan masalah fisik, psikologis, dan sosial. Hal tersebut juga didukung dengan hasil penelitian (Oswold, 2005) bahwa menjadi janda memberikan efek negatif pada kepuasan hidup yang menghilang sangat lambat dari waktu ke waktu. Meskipun sudah delapan tahun menjanda masih memiliki kesejahteraan lebih rendah daripada terus menikah.

Ketiga, peneliti juga melakukan analisa jumlah skor psychological well-being berdasarkan aspek-aspeknya. Hasil menunjukkan bahwa jumlah skor psychological well-being pada kategori rendah adalah pada aspek purpose in live yaitu 48 dengan prosentase (57.1%) sedangkan pada kategori tinggi adalah pada aspek self accaptance yaitu 54 dengan prosentase (64.3%). Hal ini berarti bahwa perempuan bercerai yang memiliki pyschological well-being rendah kurang mampu dalam menuntut dirinya untuk mempunyai tujuan di setiap kehidupan yang dijalani dan tidak melihat makna yang ada dalam masa lalunya. Sedangkan, perempuan bercerai yang memiliki pyschological well-being tinggi mampu untuk menerima diri sendiri dan masa lalunya secara apa adanya, karena hal ini mempengaruhi kebahagiaan dan kesehatan mental seseorang. Dalam mendapatkan psychological well-being yang tinggi dibutuhkan penguasaan lingkungan untuk memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi psikologis mereka. Sebagian besar subjek dengan masa perceraian jangka pendek menunjukkan environmental mastery yang kurang baik dibandingkan dengan subjek dengan masa perceraian jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam proses penguasaan lingkungan dari perubahan status menjadi seorang janda, membutuhkan waktu untuk melewati fase-fase kondisi pasca bercerai.

Ada lima fase penyesuaian setelah perceraian, yaitu (1) fase penyesuaian (2) fase kemarahan (3) fase tawarmenawar (4) fase depresi (5) fase penerimaan (Hurlock 1994). Untuk fase satu sampai empat merupakan faes-fase rentang yang harus dilewati perempuan bercerai pada masa perceraian jangka pendek. Pada awalnya seseorang akan menyangkal bahwa telah terjadi perceraian dalam kehidupan perceraiannya. Kemudian mereka sangat marah ketika pernikahan yang dipercayai hanya terjadi sekali seumur hidup harus berakhir dengan perceraian. Ketika kemarahan mulai menyurut, seseorang akan mencari cara untuk memperbaiki pernikahannya. Pada fase ini seseorang mungkin merasa telah mampu mengatasi masalahnya dan berharap dapat bersatu kembali dengan suaminya. Setelah itu fase dimana seseorang merasa dirinya tidak berarti dan merasa sebagai orang yang gagal. Kesadaran akan kegagalan, di satu sisi mengandung makna yang positif, karena berarti mereka telah dapat memahami realita yang ada. Namun, di sisi lain masih ada yang harus diselesaikan yaitu luka emosional. Sedangkan fase lima masuk dalam masa perceraian jangka panjang karena perempuan bercerai mulai menerima diri atas apa yang telah terjadi (Hurlock 1994).

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

(26)

17

(empat sampai delapan tahun) menunjukkan hasil yang ke psychological well-being tinggi, meskipun ada pula beberapa orang yang menunjukkan hasil psychological well-being rendah. Selain itu jika dilihat dari per aspek pada skor psychological well-being menunjukkan hasil untuk aspek yang masuk dalam kategori rendah adalah purpose in life dan aspek untuk kategori tinggi adalah self acceptance.

Implikasi dari penelitian ini dimana pada awal masa perceraian adalah kondisi yang rentang bagi perempuan bercerai, bagaimana proses perubahan status sosial dari seorang istri menjadi janda menpengaruhi kualitas kesejahteraan hidup pasca perceraian. Namun, hal tersebut dapat diminimalisir dengan cara menerima dengan lapang dada kondisi saat ini sebagai seorang janda, membentuk pribadi yang lebih mandiri baik segi sosial maupun segi ekonomi, menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikologis, dan merencanakan tujuan hidup selanjutnya yang lebih baik. Sedangkan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan menggunakan variabel yang sama, disarankan untuk membandingkan juga dari perempuan bercerai yang memutuskan menikah lagi atau tidak pasca bercerai, selain itu melihat pada usia masa perceraian ke berapa perempuan bercerai dapat mencapai psychological well-being.

REFERENSI

Amato, P. R. 2000. The consequences of divorce for adults and children. Journal of marriage and the mamily 62(6): 1269-1287.

Amato, P. R. 2010. Research on divorce: continuing developments and new trends. Journal of marriage and family 72(3): 650-666.

Azwar, S. (2013) Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, R. A., & Byrne, D. (2003) Psikologi Sosial Jilid 2 Edisi Kesepuluh: Jakarta: Penerbit Erlangga.

Carol D. Ryff. 1989. Happines is everything, or is it? exploration on the meaning of psychological well being. Journal of personality and social psychology. Vol. 57, 1069-1081.

Craig, G. J. 1992. Human development (edisi ke- 6). London: Prentice Hall.

Clarke-Stewart, A. & Brentano, C. (2007). Divorce: causes and consequences. USA: Yale University Press.

Dagun, Save, M.,Drs. 2002. Psikologi keluarga. Jakarta. PT. Asdi Maha Satya.

Dewi, F.,I. & Idrus, M. 2000. Konstruksi gender dalam budaya, jurnal ilmiah psikologi “Arkhe”. Jakarta. Th.5.No.9.

Frankel, J. & Wallen, N. 1993. How to design and evaluate research in education. (2nd ed). New York: McGraw-Hill Inc.

(27)

18

Hurlock, Elizabeth E. 1980. Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, Elizabeth E. B. 1994. Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Janke, M. C., Nimrod, G., & Kleiber, D. A. 2008. Leisure activity and depressive symptoms of widowed and married women in later life. Journal of Leisure Research, Vol. 40, No.2, pp. 250-266.

Keren, A., (2012, 19 Juli) Sekilas psikologi : “perceraian”, Accesed Juni 23, 2015 from http://adzriair.blogspot.com/2012/07/sekilas-psikologi-perceraian.html

Darmawan, D. 2014. Metode penelitian kuantitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Marks, N. F. & Lambert, J. D. (1996). Marital status continuity and change among

young and midlife adults: longitudinal effects on psychological well-being. University of Wisconsin-Madison. Kansas : A National Survey of Families and HouseHolds. NSFH Working paper no. 71

Martono, N. (2010). Analisa isi dan analisis data sekunder. Purwokerto: Rajawali Pers. Mitchell, Ann. (1991). Psikologi populer: dilema percerain. Terjemahan oleh B.

Joesoef Jakarta: Penerbit Arcan.

Mitchell, A. 1992. Psikologi populer: dilema perceraian. Terjemahan oleh B. Joesoef. Jakarta: Penerbit Arcan.

Nawawi, Q. (2013, 23 Desember) Duh, angka perceraian di indonesia tertinggi di Asia Pasifik. Accesed on Juni 22, 2015 from http://lifestyle.okezone.com/read /2013/12/23/482/916133/duh-angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-di-asia-pasifik

O’Rourke, N. 2004. psychological resilience and the well-being of widowed women. Journal of Ageing International, Vol. 29, No. 3, pp. 267-280.

Oswold, A. & Gardner, J. 2005. do divorcing couples become happier by breaking up?. Journal of the Royal Statistical Society, Accesed on December 05, 2015 from http://www.andrewoswald.com/docs/jrssoct05.pdf

Ryff, C.D dan Singer, B. H. 1996. psychology well being: meaning, measurement an implications for psychotheraphy research. Journal of Psychotheraphy Psychosomatics, 65, 14-23.

Ryff, C. D. dan Keyes, C. L. M. 1995. the structure of psychological well being revisited. Journal of Personality and Social Psychology. 69, 719-727.

Sahlan, M. 2012. Pengamatan sosiologis tentang perceraian di Aceh. Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, Accesed on November 14, 2015 from http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/86/84

(28)

19

Sihombing, M. (2014, 13 Desember) Data perceraian: Di Indonesia, sudah lewati 10%, Accesed on Juni 22, 2015 from http://kabar24.bisnis.com/read/2 0140814/79/249947/data-perceraian-di-indonesia-sudah-lewati-10

Simamora, B. 2004. Riset pemasaran: Falsafah, teori, dan aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sugiyono. (2012). Metode penelitian pendidikan:pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sudarto, L dan Wirawan, H. E. 2000. penghayatan makna hidup perempuan bercerai. jurnal ilmiah psikologi "ARKHE" Thn. 6/No. 23/2001. Jakarta.: Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara.

Takariawan, C. (2015, 08 Februari) Di Indonesia, 40 perceraian setiap jam!, Accesed on Juni 22, 2015 from http://www.kompasiana.com/pakcah/di-indonesia-40-perceraian-setiap- jam_54f357c07455137a2b6c7115

Williams, K., & Umberson, D. (2004). Marital status, marital transitions, and health: A gendered life course prespective. Journal Health and Social Behavior, 45,81-98.

(29)

20

LAMPIRAN 1

(30)

21

BLUE PRINT RYFF’S PSYCHOLOGICAL WELL-BEING SCALES (PWB)

No Aspek Nomer Item Jumlah

Fav Unfav

1. Autonomy

Kemampuan untuk menentukan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Individu tidak lagi terpaku pada hukum yang berlaku di dalam masyarakat ataupun kelompoknya

1, 7,

25, 37 13, 19, 31 7

2. Environmental Mastery

Kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi psikologis mereka. Kematangan dalam dimensi ini terlihat pada

kemampuan individu untuk menghadapi kejadian yang ada diluar dirinya.

2, 8,

20, 38 14, 26, 32 7

3. Personal Growth

Dalam dimensi ini dapat menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi menyayangi dan saling percaya. Individu yang

memiliki hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan kemampuan untuk membangun hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan.

4, 22,

28, 40 10, 16, 34 7

5. Purpose in life

Seseorang dituntut untuk mempunyai tujuan dan makna dalam setiap kehidupan yang dijalaninnya. Individu yang memiliki tujuan hidup memiliki pemikiran dan kepercayaan bahwa kehidupan masa lalu dan saat ini mempunyai makna, selain itu

seseorang harus mempunyai target yang akan dicapai dalam hidupnya.

11, 29,

35 5, 17, 23, 41 7

6. Self-acceptance

Kemampuan seseorang dalam menerima diri sendiri dan masa lalunya. Seseorang sebaiknya dapat menerima dirinya secara apa adanya, karena hal ini mempengaruhi kebahagiaan dan kesehatan mental seseorang.

6, 12,

24, 42 18, 30, 36 7

(31)

22 LAYOUT SKALA TRY OUT

Skala

Psychological Well Being

Saya mahasiswi dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang sedang menyelesaikan tugas akhir (skripsi), ingin meminta sedikit waktu luang dan kesedian Anda untuk mengisi biodata di bawah ini dan serangkaian serangkaian pernyataan sesuai dengan petunjuk pengisian.

Nama (Inisal) :

Tahun Menikah :

Tahun Bercerai :

Usia :

Daerah/ Kecamatan :

PETUNJUK UMUM

1. Silahkan Anda membaca dan memahami setiap pernyataan, kemudian pilih salah satu jawaban yang paling sesuai atau mendekati dengan apa yang Anda rasakan. 2. Dalam hal ini tidak ada hal jawaban yang salah, jawaban benar yang Anda pilih

sesuai dengan keadaan diri Anda yang sebenarnya.

3. Usahakan agar tidak ada pernyataan yang terlewatkan, periksa kembali apakah semua pernyataan sudah terjawab atau belum.

4. Saya sangat menghargai kejujuran Anda dan kerahasiaan jawaban Anda akan saya jamin sepenuhnya.

(32)

23 PETUNJUK PENGISIAN

1. Silahkan Anda membaca dan memahami setiap pernyataan, kemudian isi salah satu kolom yang kosong dengan tanda ceklist () sesuai dengan apa yang Anda rasakan.

2. Apabila Anda salah menjawab, beri tanda sam dengan (=) pada jawaban yang telah dibuat kemudian buat tanda ceklist () baru sesuai dengan jawaban yang Anda rasakan.

Keterangan :

SS = Sangat Setuju S = Setuju

TS = Tidak Setuju STS = Sangat Tidak Setuju

NO Pernyataan SS S TS STS

1. Saya tidak takut untuk mengemukakan pendapat saya, meskipun pendapat saya bertentangan dengan pemikiran orang banyak. 2. Secara umum, saya bertanggung jawab terhadap kehidupan saya. 3. Saya tidak tertarik pada kegiatan-kegiatan yang dapat

memperluas wawasan saya.

4. Kebanyakan penilaian orang, saya sebagai orang yang penuh kasih sayang.

5. Saya menikmati hidup saya saat ini dan tidak terlalu memikirkan masa depan. pemikiran tentang dunia dan diri sendiri itu perlu.

10. Saya merasa kesulitan dan frustasi untuk menjalin hubungan dekat.

11. Saya memiliki arah dan tujuan hidup.

12. Secara umum saya merasa percaya diri dan positif.

13. Saya cenderung mengkhawatirkan apa yang dipikirkan orang lain tentang saya.

14. Saya tidak begitu cocok dengan orang-orang dan komunitas di sekitar saya.

15. Setelah saya pikir-pikir, saya tidak merasa benar-benar berkembang dari tahun ke tahun.

16. Saya sering merasa kesepian karena saya hanya memiliki sedikit teman untuk berbagi.

(33)

24 kurang berarti dan tidak bermanfaat.

18. Saya merasa orang-orang yang saya kenal lebih sukses daripada saya.

19. Saya cenderung mudah terpengaruh oleh orang yang memiliki pendapat kuat.

SS S TS STS

20. Saya mampu mengatur tanggung jawab sehari-hari saya dengan baik.

21. Saya merasa bahwa saya telah berkembang pesat dari waktu ke waktu.

22. Saya menikmati percakapan bersama keluarga dan teman-teman. 23. Saya tidak memiliki keinginan yang begitu kuat untuk mencapai

cita-cita hidup saya.

24. Saya menyukai hampir semua aspek dari kepribadian saya. 25. Saya yakin dengan pendapat saya meskipun bertentangan

dengan pendapat umum.

26. Saya sering merasa kewalahan dengan tanggung jawab yang saya miliki.

27. Saya tidak menikmati berada di situasi baru, yang menuntut saya untuk mengubah kebiasaan lama saya dalam melakukan sesuatu. 28. Orang-orang menilai saya sebagai orang yang murah hati dan

mau membagi waktu untuk orang lain.

29. Saya senang membuat rencana masa depan dan berusaha mewujudkannya.

30. Dalam waktu tertentu, saya merasa tidak puas dengan pencapaian dalam hidup saya.

31. Mengemukakan pendapat dalam situasi yang kontroversual adalah sesuatu yang sulit bagi saya.

32. Saya merasa kesulitan menyusun hidup ke dalam situasi yang memuaskan.

33. Bagi saya, hidup adalah sebuah proses belajar, perubahan, dan berkembang ke arah yang lebih baik.

34. Saya tidak memiliki cukup pengalaman dalam berhubungan baik dengan orang lain.

35. Beberapa orang berkelana tanpa tujuan dalam hidupnya dan saya bukan salah satu dari mereka.

36. Cara saya memandang diri saya sendiri tidak sebaik cara orang memandang dirinya.

37. Saya menilai diri sendiri berdasarkan apa yang saya anggap penting, bukan atas apa yang dianggap penting oleh orang lain. 38. Saya telah berhasil membangun rumah dan gaya hidup sesuai

(34)

25

39. Sudah lama saya berhenti membuat peningkatan atau pun perubahan besar dalam hidup saya.

40. Saya tahu bahwa saya dapat mempercayai teman-teman saya dan mereka juga tahu bahwa mereka dapat mempercayai saya.

41. Terkadang saya merasa telah menyelesaikan semua yang harus saya lakukan dalam hidup.

(35)

26 REKAPITULASI HASIL TRY OUT

NO NAMA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

(36)

27

(37)

28

31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42

(38)

29 2 2 4 3 4 2 3 3 4 3 2 4

(39)
(40)

31

Berdasarkan uji validitas pertama di dapatkan hasil dari 42 item terdapat 16 item yang tidak valid, diantaranya ialah item no. 3 (0.190 < 0.27), item no. 4 (0.218 < 0.27) item no. 6 (0.087 < 0.27), item no. 7 (0.011 < 0.27), item no. 8 (-0.653 < 0.27), item no. 13 (0.258 < 0.27), item no. 15 (0.176 < 0.27), item no. 24 (0.192 < 0.27), item no. 25 (0.186 < 0.27), item no.27 (0.161 < 0.27), item no. 35 (0.244 < 0.27), item no. 36 (0.171 < 0.27), item no. 37 (-0.337 < 0.27), item no. 39 (-0.597 < 0.27), item no. 41 (-0.394 < 0.27), dan item no. 42 (0.135 < 0.27). Sehingga tersisa 26 item yang valid, kemudian diuji kembali dengan hasil sebagai berikut:

(41)

32

Berdasarkan uji validitas yang kedua di dapatkan hasil bahwa dari 26 item terdapat 4 item yang tidak valid yaitu item no. 1 (0.254 < 0.27) item no. 20 (0.263 < 0.27), item no. 28 (0.244 < 0.27), dan item no. 40 (0.186 < 0.27). Sehingga tersisa 22 item yang valid, kemudian diuji kembali dengan hasil sebagai berikut:

Item-Total Statistics

(42)

33

Berdasarkan uji validitas keempat yang dilakukan, didapatkan 21 item yang lebih dari 0.27 sehingga dapat dikatakan 21 item tersebut valid.

Uji Reliabilitas

Reliabilitas sebuah data dapat dilihat pada tabel Reliability Statistic ydang di dapatkan nilai Cronbach’s alpha ( r alpha) > rtabel yaitu 0.878 > 0.27 yang berarti data tersebut reliabel.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

(43)

34 Blue Print Hasil

Skala Aspek Jumlah Item Awal

Jumlah Item Valid

Item

Favorable Unfavorable Item

Psychological well-being

Autonomy 7 2 1 31

Environmental

Mastery 7 5 2, 38 14, 26, 32

Personal Growth 7 3 9, 21, 33 -

Positive

Relations 7 4 22 10, 16, 34

Purpose in Live 7 5 11, 29 5, 17, 23

Self Acceptance 7 2 12 18

(44)

35

LAMPIRAN 2

(45)

36

BLUE PRINT RYFF’S PSYCHOLOGICAL WELL-BEING SCALES (PWB)

No. Aspek Awal Item Valid Item Favo Item Unfavo Item

1 Autonomy

Kemampuan untuk menentukan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Individu tidak lagi terpaku pada hukum yang berlaku di dalam masyarakat ataupun ini terlihat pada kemampuan individu untuk menghadapi kejadian yang ada diluar dirinya.

7 5 2, 21 8, 15, 18

3 Personal Growth

Dalam dimensi ini dapat menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan menyayangi dan saling percaya. Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan kemampuan untuk membangun hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan.

7 4 13 5, 9, 20

5 Purpose in life

Seseorang dituntut untuk mempunyai tujuan dan makna dalam setiap kehidupan yang

dijalaninnya. Individu yang memiliki tujuan hidup memiliki pemikiran dan kepercayaan bahwa kehidupan masa lalu dan saat ini mempunyai makna, selain itu seseorang harus mempunyai target yang akan dicapai dalam hidupnya.

7 5 6, 16 3, 10, 14

6 Self-acceptance

Kemampuan seseorang dalam menerima diri sendiri dan masa lalunya. Seseorang sebaiknya dapat menerima dirinya secara apa adanya, karena hal ini mempengaruhi kebahagiaan dan kesehatan mental seseorang.

7 2 7 11

(46)

37 LAY OUT SKALA PENELITIAN

Skala Psychological Well Being

Saya mahasiswi dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang sedang menyelesaikan tugas akhir (skripsi), ingin meminta sedikit waktu luang dan kesedian Anda untuk mengisi biodata di bawah ini dan serangkaian serangkaian pernyataan sesuai dengan petunjuk pengisian.

Nama (Inisal) :

Usia :

Tahun Menikah :

Tahun Bercerai :

Pekerjaan :

Daerah/ Kecamatan :

PETUNJUK UMUM

6. Silahkan Anda membaca dan memahami setiap pernyataan, kemudian pilih salah satu jawaban yang paling sesuai atau mendekati dengan apa yang Anda rasakan. 7. Dalam hal ini tidak ada hal jawaban yang salah, jawaban benar yang Anda pilih

sesuai dengan keadaan diri Anda yang sebenarnya.

8. Usahakan agar tidak ada pernyataan yang terlewatkan, periksa kembali apakah semua pernyataan sudah terjawab atau belum.

9. Saya sangat menghargai kejujuran Anda dan kerahasiaan jawaban Anda akan saya jamin sepenuhnya.

Gambar

Tabel 5. Skor Psychological Well-Being per Aspek Khusu  ....................................
Tabel 1 Deskripsi Subjek Penelitian
Tabel 3 Skor Tinggi dan Rendah Psychological Well-Being di Tinjau dari Masa Perceraian pada Perempuan Bercerai
Tabel 5 Skor Psychological Well-Being Perempuan Bercerai Berdasarkan Aspek-Aspek Psychological Well-Beingsecara Khusus

Referensi

Dokumen terkait

Carol D Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being yang selanjutnya disingkat dengan PWB menjelaskan istilah PWB sebagai pencapaian

Ryff (dalam Astuti, 2011) menjelaskan bahwa psychological well being yang kemudian disingkat PWB merupakan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dimana

Ryff (1989) mendefinisikan happiness sebagai psychological well being (kesejahteraan psikologis), yang berarti suatu keadaan individu yang dapat menerima kekuatan

Psychological well-being merupakan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dimana individu tersebut dapat menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya,

Psychological well-being atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu pencapaian penuh dari potensi psikologis dan suatu kondisi individu yang dapat menerima

Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis (psychological well- being) sebagai suatu keadaan individu yang dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri

Ryff (1995) berpendapat bahwa Psychological Well Being adalah suatu kondisi seseorang yang memiliki kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu

Psychological well-being adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis individu dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan serta diri apa adanya, memiliki tujuan