• Tidak ada hasil yang ditemukan

Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

NON VOTING BEHAVIOUR (PERILAKU TIDAK MEMILIH) PADA PEMILUKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2010

(studi kasus : perilaku tidak memilih masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

DISUSUN OLEH:

JULIUS D.E SIAHAAN

080906053

Dosen Pembimbing : Drs. Zakaria Thaher,M.SP

Dosen Pembaca : Indra Fauzan, SHI,M.Soc.Sc

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Nama : Julius Daniel Emerson Siahaan (080906053)

NON VOTING BEHAVIOUR (PERILAKU TIDAK MEMILIH) PADA PEMILUKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2010 (studi kasus : perilaku tidak memilih masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

ABSTRAK

Di Indonesia setiap pelaksanaan Pemilihan Umum maupun Pemilihan Umum kepala Daerah tidak pernah lepas dari istilah golput (golongan putih) atau Daftar Pemilih Tetap yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pelaksanaan Pemilu maupun Pemilukada. Istilah ini muncul pada tahun 1970-an, yang berawal dari sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Orde Baru karena dinilai tidak demokratis. Adapun perilaku tidak memilih ini terjadi merupakan refleksi dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik dan pemerintahan yang menggunakan Pemilihan Umum sebagai alat untuk melegitimasi rezim otoritarian

(3)

Selatan, dimana rendahnya tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Kotamadya Pematangsiantar tahun 2010. Oleh karena itu penelitian ini akan mencoba menguraikan faktor – faktor apa yang mempengaruhi masyarakat/pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Pematangsiantar tersebut.

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Nama : Julius Daniel Emerson Siahaan (080906053)

NON VOTING BEHAVIOUR (PERILAKU TIDAK MEMILIH) PADA PEMILUKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2010 (studi kasus : perilaku tidak memilih masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

ABSTRACT

In Indonesia, every execution of the General Election and Local Elections chief never be separated from the term golput (white group) or the List of Voters who do not use their voting rights at the time of the election or General Election. This term appears in the 1970's, which originated from the attitudes and political action to not participate in the General Election of New Order as it is considered undemocratic. The behavior did not choose this place is a reflection of public mistrust of political parties and governments that use the General Election as a tool to legitimize authoritarian regimes

(5)

Therefore, this study will try to outline the factors - factors that affect the public / voters to not use their voting rights at the General Election of Regional Head Pematangsiantar the city.

(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

LEMBAR PERSETUJUAN

Nama : Julius D.E Siahaan

NIM : 080906053

Departemen : Ilmu Politik

Judul : NON VOTING BEHAVIOUR (PERILAKU TIDAK

MEMILIH) PADA

PEMILUKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2010

Ketua Departemen Ilmu Politik

FISIP USU

NIP. 196806301994032001 Dra. T.Irmayani,M.Si

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

Drs. Zakaria Thaher, M.SP

NIP.195801151986011000 NIP.

198102182008121002

Indra Fauzan,SHI. S.Soc,Sc

Dekan FISIP USU

(7)

SKRIPSI INI DIPERSEMBAHKAN

(8)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “NON VOTING BEHAVIOUR (PERILAKU TIDAK MEMILIH) PADA PEMILUKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2010 (studi kasus : perilaku tidak memilih masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)”. Skripsi ini menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah tersebut. Rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah tersebut menjadi hal yang menarik untuk diteliti.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang maha pengasih dan penyayang dimana atas kasih dan karunianya, penulis diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan studi ini berupa penulisan skripsi dari hasil penelitian yang dikerjakan, dati proses awal hingga akhirnya skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada saat ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. P. Antonius Sitepu, M.Si, selaku Sekertaris Departemen Ilmu Politik, Bapak Drs. Zakaria Thaher, M.SP, selaku Dosen Wali dan Dosen Pembimbing saya yang telah bersedia meluangkan waktu, dan memberikan bimbingan serta arahan dalam proses perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini, Bapak Indra Fauzan, SHI. M.Soc.Sc, sebagai Dosen Pembaca saya yang telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan di dalam proses penulisan skripsi ini. Dan seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ilmu Politik FISIP USU yang telah memberikan bantuan dan dukungan bagi saya di dalam proses perkuliahan.

(9)

Kepada teman–teman seperjuangan angkatan 08 Hasudungan Reynald (Bang Rey), Novan Andreas Lumbantobing, Valentinus Simarmata dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu penulis banyak memperoleh pengalaman kehidupan perkuliahan yang diartikan sebagai persahabatan. Terimakasih kepada Dian Regina Panjaitan, Kyki Hutabarat dan Riris Lumbangaol yang telah membantu saya dalam proses penelitian lapangan di Kecamatan Siantar Selatan. Terimakasih juga buat teman-teman SMP RK Cinta Rakyat I Pematangsiantar angkatan 02 dan SMA RK Budi Mulia Pematangsiantar angkatan 05 atas semua dukungan, doa dan semangatnya.

Kepada Ketua KPUD Kota Pematangsiantar Bapak Rajaingat Saragih, SH serta jajaranya, Camat Kecamatan Siantar Selatan Bapak Hasudungan Hutajulu, SH serta jajarannya penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya dalam hal pemberian data – data yang diperlukan penulis dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Terimakasih juga kepada masyarakat Kecamatan Siantar Selatan yang telah mengisi angket penelitian serta kepada Bapak Ir. Boundeth Damanik, SH dan Bapak Elkananda Shah, S.Sos. M.Si yang bersedia meluangkan waktunya untuk penulis wawancarai. Semoga Tuhan YME membalas kebaikan yang telah diberikan dengan pahala yang berlipat ganda.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan dan kelemahan baik dari segi tata bahasa maupun bobot ilmiahnya. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas semua bantuan dan dukungan dari semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita.

Medan, 10 Juli 2012

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ………... i

Abstrak ……….. ii

Abstract ………. iv

Halaman Pengesahan ……… v

Halaman Persetujuan ……… vi

Lembar Persembahan ……… vii

Kata Pengantar ……….. viii

Daftar Isi ……… ix

Daftar Tabel dan Gambar ……….. xiv

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Perumusan Masalah ……….. 7

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 8

1.4. Manfaat Penelitian ………... 8

1.5 Kerangka Teori ………... 9

1.5.1 Teori Perilaku Politik ………... 9

1.5.1.1 Defenisi Perilaku Politik ………... 10

1.5.1.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik ……….. 12

1.5.1.3 Bentuk – Bentuk Perilaku Politik….………….. 13

(11)

2 Pemberian Suara ……… 18

3 Tidak Memberikan Suara ……….. 19

4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Untuk Tidak Memilih ……….. 21

1.5.2 Partai Politik ……….. 27

1.5.3 Pemilihan Umum ……… 28

1.5.3.1 Pemilihan umum kepala daerah ………. 28

1.5.3.2 Sistem dan Mekanisme Dalam Pemilihan Umum Kepala DaerahLangsung ………. 29

1.5.4.3 Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah ……… 32

1.6 Metode Penelitian ………..…………... 36

1.6.1 Jenis Penelitian ………..…... 36

1.6.2 Lokasi Penelitian ………..………... 36

1.6.3 Populasi dan Sampel ……… 36

1.6.3.1 Populasi ……… 36

1.6.3.2 Sampel ……… 37

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data ……… 40

1.6.5 Teknik analisis Data ……… 40

1.6.6 Defenisi Konsep ……… 40

1.6.7 Defenisi Operasional ……… 41

1.6.8 Sistematika Penulisan ……… 42

BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian 2.1 Sejarah Kecamatan Siantar Selatan ……….. 44

2.2 Demografis dan Geografi ………..……….. 46

(12)

2.2.2 Keadaan Demografi ………….………. 47

2.3 Fasilitas Kelurahan ………... 52

2.5 Klasifikasi pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya

berdasarkan Jenis kelamin dan tingkat pendidikan ………….. 55

2.6 Struktur Pemerintahan Kecamatan Siantar Selatan ………….. 58

BAB III

3.1 Karakteristik Responden ………. 59

3.2 Identifikasi Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat

Untuk Tidak Memilih ………. 65

3.3 Interpretasi Data ………. 85

3.4 Wawancara ………. 102

BAB !V

4.1 Kesimpulan ……….. 105

4.2 Saran ……… 107

DAFTAR PUSTAKA

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jumlah Responden dari Seluruh Kelurahan ……….. 39

Tabel 2.1 Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Siantar Selatan 47

Tabel 2.2 Penduduk Menurut Jenis Kegiatan / Pekerjaan di Kecamatan

Siantar Selatan ……… 49

Tabel 2.3 Penduduk Menurut Agama yang dianut di Kecamatan

Siantar Selatan ………. 50

Tabel 2.4 Jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya berdasarkan tingkat pendidikannya ……… 51

Tabel 2.5 Jumlah Sarana Rumah Ibadah di Kecamatan Siantar Selatan … 53

Tabel 2.6 Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Siantar Selatan.…….. 54

Tabel 2.7 Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Siantar Selatan ……. 55

Tabel 2.8 Jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya

berdasarkan jenis kelamin ……….. 56

Tabel 2.9 Penduduk Menurut Kelurahan dan Pendidikan Tertinggi yang

Ditamatkan Kecamatan Siantar Selatan ………. 57

Tabel 3.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ………. 60

(14)

Tabel 3.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin …………. 61

Tabel 3.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ……… 62

Tabel 3.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir …... 63

Tabel 3.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Etnis/Suku ……….. 64

Tabel 3.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan ……… 65

Tabel 3.8 Jawaban Responden Terhadap Apakah Terdaftar Sebagai Daftar

Pemilih Tetap ……….. 66

Tabel 3.9 Jawaban responden terhadap apakah pemilihan kepala daerah

Secara langsung yang diajukan oleh partai politik ataupun

Gabungan partai politik mempengaruhi untuk tidak memili……. 67

Tabel 3.10 Jawaban responden terhadap apakah pemilihan kepala daerah

secara langsungyang diajukan oleh calon independen

mempengaruhi untuk tidak memilih ………... 68

Tabel 3.11 Jawaban Responden Terhadap Apakah Pernah Mengikuti

kampanye ……… 69

Tabel 3.12 Jawaban responden terhadap apakah politik uang mempengaruhi

untuk tidak memilih ………. 70

Tabel 3.13 Jawaban Responden Terhadap Bagaimana Kinerja Pemerintah

Saat ini ………. 71

(15)

KegiatanPemilihan Umum Sebagai Suatu Kegiatan Yang Sia-sia… 72

Tabel 3.15 Jawaban Responden Terhadap Apakah Faktor Ideologi Partai Politik

Mempengaruhi Untuk Tidak Menggunakan Hak Pilih ……….. 73

Tabel 3.16 Jawaban Responden Terhadap apakah Memiliki Pilihan

Calon Walikota dan Wakil Walikota yang Tepat ……..……… 74

Tabel 3.17 Jawaban Responden Terhadap Apakah Merasa Tidak Memiliki

Kepentingan dengan Kebijakan yang Akan Dibuat Pemerintah

Terpilih. ……… 75

Tabel 3.18 Jawaban Responden Apakah Merupakan Anggota Partai Politik

Tertentu …... 75

Tabel 3.19 Jawaban Responden Apakah Memiliki Hubungan Keluarga Dengan

Salah Satu Calon Walikota dan Wakil Walikota ………. 76

Tabel 3.20 Jawaban Responden Apakah Agama dari Calon Walikota dan

Wakil Walikota Mempengaruhi Untuk Tidak Menggunakan

Hak Pilih ………..… 77

Tabel 3.21 Jawaban Responden Apakah Suku Dari Calon Walikota dan Wakil

Walikota Mempengaruhi Untuk Tidak menggunakan Hak Pilih …. 77

Tabel 3.22 Jawaban Responden Terhadap Faktor Apakah Pihak Keluarga

Memberikan Pengaruh Dalam Hal Tidak Ikut Memilih …………. 78

(16)

Latar Belakang Pendidikan ………. 79

Tabel 3.24 Responden yang Tidak Menggunakan Hak Pilihnya Berdasarkan

Latar Belakang Pekerjaan ……… 81

Tabel 3.25 Jawaban Responden Apakah Pada Hari H Responden

Mempunyai Kegiatan Lain ……….. 82

Tabel 3.26 Jawaban Responden Terhadap Media Massa yang Digunakan . 82

Tabel 3.27 Jawaban Responden Apakah Ketidakadaan Sanksi yang Diberikan

Pemerintah Mempengaruhi Untuk Tidak Menggunakan Hak Pilih 83

Tabel 3.28 Gabungan antara tingkat pendidikan responden terhadap apakah

merekaterdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap………. 85

Tabel 3.29 Gabungan antara karakteristik pekerjaan responden terhadap apakah

mereka terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap ……… 86

Tabel 3.30 Gabungan antara tingkat pendidikan terhadap Pemilukada dengan

calon yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik 87

Tabel 3.31 Gabungan antara karakteristik pekerjaan responden terhadap

Pemilukadadengan calon yang berasal dari partai politik atau

gabungan partai politik ……….. 88

Tabel 3.32 Gabungan antara tingkat pendidikan responden terhadap kepercayaan

pada pasangan independen ……….. 89

(17)

Yangb erasal dari pasangan independen mempengaruhi untuk

tidak memilih ……… 90

Tabel 3.34 Gabungan antara tingkat pendidikan responden terhadap kesadaran

berkampanye ………..……… 91

Tabel 3.35 Gabungan antara karakteristik pekerjaan responden terhadap

kesadaran berkampanye ……….. 92

Tabel 3.36 Gabungan antara tingkat pendidikan responden terhadap keberadaan

politik uang apakah mempengaruhi responden untuk tidak memilih 93

Tabel 3.37 Gabungan antara karakteristik pekerjaan responden terhadap

keberadaan politik uang apakah mempengaruhi responden untuk

tidak menggunakan hak pilih ………. 94

Tabel 3.38 Gabungan antara tingkat pendidikan terhadap apakah faktor ideologi

partai politik mempengaruhi untuk tidak menggunakan hak pilih… 96

Tabel 3.39 Gabungan antara karakteristik pekerjaan responden terhadap

apakah faktor ideologi partai politik mempengaruhi untuk tidak

menggunakan hak pilih………. 97

Tabel 3.40 Gabungan antara tingkat pendidikan terhadap apakah memiliki

pasangan calon walikota dan wakil walikota yang tepat…………. 98

Tabel 3.41 Gabungan antara karakteristik pekerjaan terhadap apakah memiliki

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Berawal dari usaha pemerintah untuk merevisi UU No. 5/1974 di bawah kepemimpinan Presiden B.J Habibie, maka tercetuslah ide dengan menerbitkan UU No. 22/1999 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah. UU ini tercipta

dilatarbelakangi oleh ketidakadilan dan ketimpangan hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan terciptanya UU No. 22/1999 diharapkan dapat mengakomodasi perubahan paradigma pemerintahan dan dapat mengedepankan prinsip – prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, memperhatikan perbedaan potensi dan keanekaragaman, serta dapat mencegah terjadinya disintegrasi bangsa.1

1

Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor : Ghalia Indonesia, 2007, Hal. 161

(19)

Pada tahap selanjutnya, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati yang telah melakukan evaluasi yang mendasar, maka lahirlah UU No. 32/2004 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah yang menggantikan UU No. 22/1999 yang dianggap tidak lagi sesuai setelah amandemen UUD 1945.2

Demokrasi di tingkat lokal mulai mekar, dimana pada tahun 2005 untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia digelar perhelatan akbar “Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung”, baik gubernur dan wakil

gubernur, bupati dan wakil bupati maupun walikota dan wakil walikota. Pemilukada langsung merupakan hasil kerja keras dalam perwujudan demokrasi, walaupun banyak hal yang menjadi konsekuensinya seperti biaya yang besar, energi, waktu, pikiran dan lain sebagainya. Namun, keberhasilan pemilukada untuk melahirkan kepemimpinan daerah yang murni secara demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada sikap kritisme dan rasionalitas rakyat sendiri.

Tahun 2005, merupakan awal perubahan besar terjadi, dimana untuk pertamakalinya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dipilih secara langsung oleh rakyat. Peristiwa ini menandai babakan baru dalam sejarah politik daerah di Indonesia. Adapun pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 56. Dalam Pasal 56 ayai (1) dikatakan : “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”

3

Berdasarkan UU No. 22/2007, pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (pemilukada) juga dimasukkan sebagai bagian dari kategori pemilu. Pemilihan umum Kepala Daerah langsung merupakan suatu capaian yang baik dalam proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan umum Kepala

2

Ibid Hal. 167

3

(20)

Daerah langsung berarti mengembalikan hak – hak masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam proses politik dalam rangka rekrutmen politik lokal secara demokrasi.4

• Rakyat secara langsung dapat menggunakan hak – haknya secara utuh. Menjadi kewajiban Negara memberikan perlindungan terhadap hak pilih rakyat. Salah satu hak politik rakyat tersebut adalah hak memilih calon

pemimpin. Penundaan atau peniadaan hak pilih tidak hanya mengurangi secara signifikansi nilai – nilai demokrasi dalam pemilukada langsung namun bahkan setiap saat mengancam legitimasi pemimpin pemerintahan daerah.

Sehingga hal ini semakin memajukan demokrasi ditingkat lokal karena masyarakat lokal akan memilih sendiri siapakah calon pemimpinnya atau yang mewakilinya di daerah.

Adapun pemilukada terkait dengan kedaulatan rakyat, mencakup hal – hal sebagai berikut :

• Wujud nyata asas pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Hal ini merupakan

suatu landasan yang sangat penting guna menjaga kelangsungan sebuah kepemimpinan politik. Melalui pemilukada langsung, maka seorang Kepala Daerah harus dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinan kepada rakyat yang memilih. Tingkat penerimaan rakyat terhadap Kepala Daerah merupakan jaminan bagi peningkatan partisipasi politik rakyat yang akan menjaga kelanggengan sebuah kepemimpinan. Kepala Daerah yang tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban dan akuntabilitasnya akan ditinggalkan oleh rakyat, bahkan rakyat akan memberikan sangsi dengan jalan tidak akan memilih kandidat tersebut pada pemilukada berikutnya. Karena itu dalam beberapa system pemilihan, calon Kepala Daerah harus memiliki trade merk,

yaitu ciri khas dan prioritas program kerja, yang dapat dipertanggungjawabkan.

4

(21)

• Menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya hubungan sinergis antara

pemerintahan dan rakyat. Pemerintahan akan melaksanakan kehendaknya sesuai dengan kehendak rakyat. Keserasian dan keseimbangan hubungan antara keduanya akan membawa pengaruh yang sangat menguntungkan bagi tegaknya suatu pemerintahan yang demokratis. Oleh sebab itu, bilamana sebuah pemerintahan telah “ditinggalkan” rakyatnya, maka ambruknya pemerintahan tersebut tinggal menunggu waktu dalam hitungan yang tak lama.5

Perilaku pemilih masyarakat adalah aspek penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan pemilukada. Dan perilaku pemilih yang dimaksud disini adalah antara lain pemberian suara atau proses voting, partai politik dan tidak memberikan suara atau non voting. Dimana pada kesempatan ini yang menjadi titik fokus adalah adanya perilaku tidak memilih atau non voting.

Perilaku tidak memilih atau non voting menurut Arbi Sanit adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi. Perilaku tidak memilih atau non voting merupakan suatu tindakan dimana masyarakat yang namanya terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) secara sengaja maupun tidak sengaja tidak mau memberikan hak suaranya pada saat pemilu ataupun pemilukada yang dilatarbelakangi oleh suatu alasan tertentu. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk tidak memberikan suaranya saat pemilu ataupun pemilukada antara lain; faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor kebudayaan.

Tingginya angka non voting pada setiap pemilu maupun pemilukada setidaknya akan berpengaruh terhadap validitas suara yang diberikan oleh masyarakat. Validitas suara adalah keabsahan atau keaslian suara yang diberikan

5

(22)

oleh seluruh masyarakat yang dapat menggambarkan pilihan masyarakat secara menyeluruh. Sehingga apabila banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya akan menyebabkan suara yang terkumpul itu tidak murni keputusan masyarakat, sebab suara yang dihasilkan hanyalah suara sekelompok masyarakat yang menggunakan hak pilihnya, sementara yang tidak menggunakan hak pilihnya tidak memiliki keterkaitan terhadap hasil pemilu ataupun pemilukada yang ada. Sehingga hasil pemilu ataupun pemilukada yang memiliki kecenderungan masyarakat tidak memilih yang tinggi akan mempengaruhi tingkat validitas suara yang diberikan masyarakat.

Salah satu yang menjadi indikator terpenting dalam pemilihan yang berkualitas yaitu dilaksanakannya pemungutan suara oleh rakyat yang memiliki tingkat validitas suara yang tinggi, sebab benar – benar mencerminkan implementasi asas – asas pemilukada langsung, yakni ; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemungutan suara adalah proses pencurahan pikiran dan pertimbangan warga untuk memilih calon berdasarkan informasi dan data yang

diperoleh pada masa kampanye. Bagi pemilih, pemberian suara atau voting ini merupakan seleksi akhir dalam pemilihan, yang dikenal dengan seleksi politis. Tetapi bagi pemilih yang tidak memberikan hak suaranya dalam seleksi politis atau pada masa pemilihan, merupakan suatu tindakan yang kurang atau tidak mendukung terwujudnya pemilihan umum Kepala Daerah langsung yang benar – benar berkualitas.

(23)

demokrasi lokal tersebut. Karena guna menghindari semakin maraknya perilaku tidak memilih pada setiap pemilu maupun pemilukada, maka perlu diadakan kajian intensif terhadap perilaku tidak memilih, guna dapat mewujudkan cita – cita bersama yaitu pemilukada langsung yang benar – benar berkualitas.

Apabila kita amati, hingga saat ini belum terlalu banyak kalangan pemerhati politik Indonesia yang melakukan kajian intensif terhadap perilaku politik tidak memilih. Kebanyakan dari mereka hanya terfokus pada bagaimana proses pelaksanaan pemilukadanya, karakteristik pendukung, strategi pemenangan, serta faktor faktor apa yang membuat salah satu kandidat atau partai politik dapat memenangkan sebuah pemilukada. Padahal, tanpa kita sadari kajian tentang perilaku tidak memilih juga tidak kalah pentingnya dalam pemilukada, sebab saat ini hampir di semua daerah di Indonesia tercatat sangat tinggi angka DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Pemilukada merupakan salah satu bagian dari pemilihan umum, dimana pemilukada masih tergolong hal baru bagi masyarakat kita, sebab baru setidaknya

dua kali diadakan pemilukada diseluruh daerah di Indonesia. Adapun alasan saya mengkaji perilaku tidak memilih dalam pemilukada dan bukan dalam pemilu adalah karena penulis ingin mengetahui apakah yang mendasari masyarakat tidak mau berpartisipasi dalam pesta demokrasi daerah, padahal kegiatan tersebut menjadi penentu nasib tiap – tiap daerah untuk lima tahun kedepan. Sebab, melalui pesta demokrasi daerah atau sering disebut pemilukada terpilihlah orang nomor satu di daerah kita nantinya yang akan mengatur segala bentuk kegiatan yang ada di masing – masing daerah selama periode tertentu.

(24)

pertokoan dan pemukiman padat penduduk dan bersifat heterogen. Maka tentu saja terdapat variasi alasan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilukada Kota Pematangsiantar Juni 2010 lalu.

Keterlibatan masyarakat Kecamatan Siantar Selatan dalam pemilukada perlu mendapat apresiasi yang positif, sebab mereka mau berpartisipasi dalam pesta demokrasi lokal yang merupakan suatu kegiatan terpenting di tiap – tiap daerah. Namun banyak juga terdapat kejanggalan, dimana kurang lebih 30% masyarakat Kecamatan Siantar Selatan tidak menggunakan hak pilihnya

Adapun terdapat sebuah fenomena yang cukup menarik di Kecamatan Siantar Selatan sehingga saya ingin melakukan penelitian di Kecamatan Siantar Selatan, yaitu : bahwa jumlah DPT Kecamatan Siantar Selatan tidaklah terbesar di Kota Pematangsiantar, tetapi angka non voting di kecamatan ini termasuk yang paling besar, selain itu komposisi masyarakat Siantar Selatan rata – rata tergolong dalam kelas menengah dan berpendidikan, sehingga menjadi penulis merasa perlu mengetahui apa alasan dari mereka untuk tidak memilih dalam Pemilihan Umum

Kepala Daerah Kota Pematangsiantar Juni 2010 lalu.

Maka berdasarkan hal – hal diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perilaku Tidak Memilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Pematangsiantar juni 2010 di Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang ingin peneliti rumuskan adalah:

(25)

2. Hal – hal apa yang mempengaruhi masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan untuk tidak memilih pada Pemilikada Kota Pematangsiantar pada Juni 2010.

1. 3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1 Untuk mengetahui alasan pemilih terdaftar mengapa tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilukada Kota Pematang Siantar 2010.

2 Untuk mengetahui penyebab pemilih di Kecamatan Siantar Selatan tidak menggunakan hak pilihnya.

3 Untuk membuat klasifikasi pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikannya.

1.4. Manfaat Penelitian

1 Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan berfikir secara sistematis dalam melihat fenomena politik

yang terjadi di masyarakat.

2 Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan studi perilaku politik yang ada di Indonesia pada saat ini.

3 Secara akademis penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya kajian ilmu politik dan refrensi dalam konteks ilmu politik di Indonesia.

(26)

5 Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan politik.

1.5 Kerangka Teori

Guna mempermudah seorang peneliti dalam sebuah penelitian maka diperlukan sebuah pedoman sebagai landasan berpikir yaitu sebuah kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori untuk dapat menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah ditiliti.6

Perilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku aktor politik dan warga Negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga – lembaga pemerintah dan antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik.

Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan proporsi yang menerangkan sesuatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.

1.5.1 Teori Perilaku Politik

Teori perilaku politik secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan

yang berkenaan dengan segala bentuk aktivitas atau proses pembuatan dan pelaksanaan pengambilan keputusan politik dan keikutsertaan seluruh elemen masyarakat.

7

6

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1998, Hal. 37

7

(27)

Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu fungsi – fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi – fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.8

1. Ramlan surbakti mengatakan bahwa perilaku politik dirumuskan “sebagai suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, keikutsertaan seseorang baik warga Negara biasa maupun sebagai pengambil keputusan.”

1.5.1.1 Defenisi Perilaku Politik

Berikut adalah beberapa pendapat para ahli berkenaan dengan perilaku politik :

9

2. Eulau mengatakan bahwa perilaku politik adalah “kegiatan yang secara aktual dilakukan oleh setiap individu dengan pola – pola pemikiran tertentu.”10

3. Jack C. Plano dalam Moh. Ridwan mengatakan bahwa perilaku politik adalah :

“Pikiran dan tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan – tanggapan internal (pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan – tindakan yang Nampak (pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kaukus,

kampanye dan demostrasi)”11

4. Antonius Sitepu mengatakan bahwa perilaku politik dirumuskan sebagai “kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan

8

Michael Rush dan Phillip Althoff. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:CV, Rajawali. 2001. Hal 147

9

Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta; PT Gramedia, Hal. 131

10

Ibid hal 131

11

(28)

keputusan politik dan yang melakukan kegiatan politik tersebut adalah pemerintahan dan masyarakat.”12

5. David E Apter dalam Krishno Hadi dkk mengatakan perilaku politik adalah : “Perilaku politik adalah hubungan antara pengetahuan politik dan tindakan politik, termasuk bagaimana proses pembentukan pendapat politik, bagaimana kecakapan politik diperoleh, dan bagaimana cara orang menyadari peristiwa – peristiwa politik.”13

6. Almond dan Verba dalam Krishno Hadi dkk mengasumsikan perilaku politik adalah :

“perilaku politik merupakan suatu budaya politik yaitu bagaimana seseorang memiliki orientasi, sikap, dan nilai – nilai politik. Hal ini menunjuk kepada suatu sikap orientasi yang khas dari warga Negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya serta sikap terhadap peranan

warga Negara di dalam sistem itu”14

12

Sitepu, Antonius. Teori Teori Politik, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011, Hal 88

13

Hadi, Krishno dkk, Perilaku Partai Politik, Malang : UMM Press, 2006, Hal 8

14

Ibid hal 10

Interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses

(29)

Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkaitan dengan sikap politik, yakni yang berkaitan dengan kesiapan bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu yang merupakan suatu penghayatan terhadap objek tersebut.15

Pertama, faktor kondisi historis. Dimana setiap sikap dan perilaku politik

masyarakat dipengaruhi oleh proses – proses dan peristiwa historis masa lalu. Hal ini disebabkan budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis melainkan berubah dan berkembang sepanjang masa.

Perilaku politik tidaklah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tetapi perilaku politik mengandung keterkaitan dengan hal yang lain. Salah satu siakp yang penting adalah sikap politik. Dimana antara sikap dengan perilaku memiliki tingkat keeratan yang sangat tinggi, namun keduanya dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu. Sikap belum merupakan tindakan tetapi masih berupa suatu kecenderungan.

1.5.1.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik

Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku politik adalah:

Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku politik

masyarakat sebagai kawasan geostrategi, walaupun kemajemukan budaya Indonesia merupakan hal yang rawan bagi terciptanya disintegrasi. Kondisi ini mempegaruhi perbedaan tingkat partisipasi politik masyarakat, kesenjangan pemerataan pembangunan, kesenjangan informasi, komunikasi, teknologi mempengaruhi proses sosialisasi politik.

Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik

masyarakat. Berfungsinya budaya politik ditentukan oleh tingkat keserasian antara tingkat kebudayaan bangsa dan struktur politiknya. Kemajuan budaya Indonesia mempengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk perilaku

15

(30)

politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku politik.

Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan keyakinan.

Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan merupakan acuan yang penuh dengan norma – norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya, proses politik dan partisipasi warga Negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang.

Kelima, faktor pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku

politik seseorang. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi yang intens akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan politiknya.

Keenam, faktor kepribadian juga mempengaruhi perilaku politik.

Ketujuh, faktor lingkungan sosial politik mempengaruhi actor politik secara

langsung seperti keadaan keluarga. Lingkungan sosial politik saling mempengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya sebagai faktor yang berdiri sendiri.16

Selain faktor – faktor diatas, ada beberapa faktor lain yang juga memainkan peranan penting dalam menentukan pilihan rakyat, yaitu; standar kehidupan, faktor penghasilan atau gaji, kelompok umur, dan jenis kelamin.

1.5.1.3 Bentuk – Bentuk Perilaku Politik

Perilaku politik dilihat sebagai sebuah alat analisis untuk melihat bagaimana masyarakat ikut berpartisipasi di dalam pemilihan umum, baik itu melalui pemberian suara (voting) maupun tidak memberikan suara (non voting).

16

(31)

1. Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih dapat didefenisikan sebagai suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu.17

a. Pendekatan Sosiologis

Secara teoritis ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori – teori mengenai perilaku memilih (Vote behavior). Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih (Voting turnout) dilacak pada sebab – sebab dari individu memilih.

Secara umum analisa – analisa mengenai “Voting Behaviour” atau perilaku pemilih didasarkan pada empat pendekatan model yaitu;

Pendekatan sosiologis berasal dari Eropa Barat yang dikembangkan oleh ahli ilmu politik dan sosiologi. Mereka memandang bahwa masyarakat sebagai

sesuatu yang bersifat hierarkis terutama berdasarkan status, karena masyarakat secara keseluruhan merupakan kelompok yang mempunyai kesadaran status yang kuat. Para pendukung mazhab ini percaya bahwa masyarakat telah tersusun sedemikian rupa sesuai dengan latar belakang dan karakteristik sosial tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam memahami perilaku individu.

Pendekatan sosiologis, yang sering disebut Mazhab Columbia (The

Columbia School Of Elektoral Behaviour), merupakan pendekatan yang

menekankan pada peran faktor – faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang. Pendekatan ini menjelaskan bahwa karakteristik social dan pengelompokan – pengelompokan social seperti umur (tua/muda), jenis kelamin

17

(32)

(pria/wanita), agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih.

Dari berbagai ragam perbedaan dalam struktur sosial, faktor sosial merupakan unsur yang juga berpengaruh terhadap pemilih politik seseorang, terutama dihampir semua negara – negara industri. Di Eropa, kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara kepada partai sosialis atau komunis, sedangkan kelas menengah dan atas biasanya menjadi pendukung partai konservatif.

b. Pendekatan Psikologis

Munculnya pendekatan psikologis merupakan sebuah reaksi terhadap ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan prilaku pemilih. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang merupakan sebagai refleksi dari kepribadian seseorang yang merupakan variable yang menentukan dalam mempengaruhi prilaku politiknya.

Pendekatan psikologis, yang sering disebut Mazhab Michigan (The

Michigan Survey Reseach Center) lebih menekankan pada faktor psikologis

seseorang dalam menentukan perilaku atau pilihan politik. Menurut penganut pendekatan psikologis, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indicator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya.

(33)

Artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh atau kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan sikap eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berujud mekanisme pertahanan (Defensce Mechanisme)

Dalam pendekatan ini juga terdapat tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Tiga faktor itu adalah ; identifikasi partai, orientasi isu atau tema, dan orientasi kandidat. Identifikasi partai dalam hal ini bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai politik tersebut. Kemudian yang dimaksud dengan orientasi isu atau tema adalah tema atau isu apa saja yang diangkat dan dijadikan acuan bagi partai politik atau kandidat tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan orientasi kandidat siapa yang akan mewakili partai politik tersebut.18

c. Pendekatan Rasional

Dengan demikian, konsep identifikasi partai merupakan variable sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih dalam penekatan psikologis ini. Dalam hal

ini, hubungan pengaruh antara identifikasi partai dengan perilaku pemilih sudah menjadi aksioma.

Munculnya pendekatan rasional disebabkan karena dua pendekatan terdahulu hanya menempatkan pemilih pada ruang dan waktu yang kosong baik secara eksplisit maupun implicit. Dalam hal ini pemilih diibaratkan sebagai wayang yang tidak mempunyai kehendak bebas kecuali atas perintah atau kendali dalangnya. Dimana karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural atau identifikasi partai dan pengalaman hidup pada karakteristik psikologis, merupakan variabel yang dengan sendirinya maupun komplomenter mempengaruhi perilaku atau pilihan politik seseorang.

18

(34)

Dalam teori rasional (Rational Choise Theory) bahwa ketika seseorang dhadapkan pada beberapa jenis tindakan, maka orang biasanya akan melakukan apa yang mereka yakini berkemungkinan memberikan hasil yang terbaik. Pilihan rasional muncul sebagai revolusi pendekatan dalam ilmu politik.19

Dan pada akhirnya pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar – benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi, program kerja pasangan calon atau kandidat dan partai politik. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup. Perbedaan antara pendekatan rasional dengan lainnya bahwa pemilih rasional adalah pemberi suara yang responsitif dan tidak permanen.

Dengan kemunculan teori rasional ini, maka ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya. Hal ini disebabkan oleh adanya ketergantungan pada peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang.

Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu; orientasi isu dan orientasi kandidat. Dimana orientasi isu fokus pada pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan – persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara. Sementara orientasi kandidat berpusat kepada sikap pemilih terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Him Melweit mengatakan bahwa perilaku pemilih merupakan pengambilan keputusan cepat dan pengambilan keputusan tersebut tergantung pada situasi sosial politik tertentu yang tidak beda dengan

pengambilan keputusan lainnya.

20

d. Pendekatan Kepercayaan Politik

Penggunaan variabel kepercayaan politik untuk menjelaskan perilaku politik nonvoting, sebenarnya diadopsi dari variabel kepercayaan untuk

19

Ibid. Hal.77

20

(35)

menjelaskan keaktifan atau ketidak aktifan seseorang dalam kegiatan politik. Ketidak aktifan dalam konsep ketidak percayaan politik sendiri selalu mengandung pengertian ganda. Pertama, ketidak aktifan dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi atas kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik atau sebagai suatu ekspresi atas perasaan keterasingan (alienasi). Kedua, ketidak aktifan juga dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi kepercayaan yang tinggi, di mana ketidak aktifan seseorang dalam bilik suara menandakan bahwa mereka puas terhadap sistem politik yang ada, atau tidak khawatir dengan keadaan politik yang ada.21

2. Pemberian Suara (Voting)

Richard G. Niemi dan Herbrt F.Weisberg yang dikutip dalam komunitas embun pagi, berpendapat bahwa, “faktor sosialisasilah sebenarnya yang menentukan perilaku memilih seseorang, bukan karena karakteristik sosiologis.”22

Maka kesadaran politik warga Negara menjadi faktor determinan dalam partisipasi politik masyarakat, artinya berbagai hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis (terutama konsep sosialisasi dan sikap) untuk menjelaskan perilaku seseorang. Pendekatan ini berkeyakinan bahwa pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh

kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Maka dalam hal ini diperlukan “kurikulum sosialisasi politik”. Ini penting terutama bagi pemilih pemula yang cenderung belum pernah memilih. Harus dilakukan sosialisasi yang sistematis agar pemilih pemula ini dapat mengerti dan tidak menunjukkan karakter yang apatis (tidak adanya minat terhadap persoalan – persoalan politik), anomi (perasaan tidak berguna)

21

Asfar Muhammad, Presiden Golput, Surabaya : Jawa Pos Press 2004, Hal.41 – 45

22

(36)

lingkungan masyarakat dan kegiatan politik menjadi tolok ukur seseorang terlibat dalam proses partisipasi politik.

3. Tidak Memberikan Suara (Non Voting)

Tidak memberikan suara (non voting) atau sering juga disebut golput. Arbi Sanit (1992) mengidentifikasi bahwa non voting atau golput adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi. Sedangkan “Riswandha Imawan menilai,” non voting adalah keputusan rasional untuk memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara preferensi kelompok elit politik dengan publiknya di bawah. Pilihan untuk menekan golput berada di tangan para elit dengan kesadaran mereka untuk mendeteksi dan mengakomodasikan keinginan yang tumbuh di lapisan sebab dasar dalam politik adalah kepercayaan.”23

“Louis Desipio, Natalie Masuoka dan Christopher Stout (2007)

mengkategorikan Non–Voter tersebut menjadi tiga ketegori yakni

; (a) Registered Not Voted ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan

hak pilih, (b) Citizen not Registered ; yaitu kalangan warga

negara yang memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga

tidak memiliki hak pilih dan (c) Non Citizen ; mereka yang

dianggap bukan warga negara (penduduk suatu daerah) sehingga

tidak memiliki hak pilih.”24

1. Adanya pemilih yang terdaftar lebih dari sekali di tempat yang berbeda, terdaftar lebih dari sekali di tempat yang sama,

Menurut KPU sejumlah faktor yang menyebabkan tingginya jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan haknya faktor-faktor itu adalah :

23

Kompas, 19 Juni 2005

24

(37)

2. Adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena pemiliknya tidak dikenali

3. Adanya warga yang belum berhak memilih tetapi diberi kartu pemilih 4. Adanya pemilih yang meninggal dunia

5. Adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih 6. Tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS)

7. Serta pemilih yang memang sengaja tidak menggunakan haknya.25

Dalam konteks pilkada di beberapa daerah, kemungkinan tidak memberikan suara disebabkan oleh:

1. Banyaknya perantau yang tidak bisa pulang di berbagai daerah ketika ada jadwal pemilu dilakukan, sehingga banyak dari warga yang bekerja di luar kota malas untuk meninggalkan pekerjaannya.

2. Kejenuhan dari rutinitas mencoblos dalam pemilu, kecenderungan terjadinya penggelembungan pemilih golput bisa terkondisikan mengingat rangkaian acara politik terlalu padat sepanjang tahun. Situasi ini membuat

publik jenuh dan memilih melakukan aktivitas rutinnya.

3. Tidak mau menggunakan hak pilihnya, warga yang secara sadar tidak mau menggunakan hak pilihnya memang tidak bisa dikaji secara kualitatif, namun secara riil mereka tidak menggunakan haknya.26

Faktor lokal lain seperti mobilitas masyarakat di kota besar dan buruknya cuaca pada sejumlah tempat, juga sempat disebut sebagai penyebab penurunan tingkat partisipasi itu. Di samping itu, ketidakpedulian masyarakat terhadap keberlangsungan pemilu ditenggarai sebagai salah satu faktor signifikan dalam

25

26

(38)

pemilukada. Bisa juga disebabkan oleh sosialisasi yang tidak tuntas atau mengenai sasaran.27

4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Untuk Tidak

Memilih.

a. Faktor Ekonomi

Perekonomian merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi setiap pergerakan kehidupan setiap orang, kondisi ekonomi seseorang sangat mempengaruhi tingkat kebutuhannya. Artinya terdapat perbedaan tingkat kebutuhan orang yang memerlukan kebutuhan tinggi (kaya) dengan orang yang tingkat ekonomi rendah (miskin). Dimana orang kaya cenderung lebih banyak kebetuhannya dari orang miskin, misalnya dalam hal melengkapi kebutuhan keluarganya.

Kebutuhan manusia relatif tidak terbatas, tetapi disisi lain jumlah alat pemuas kebutuhan itu terbatas. Apabila relasinya mencukupi, dalam hal ini ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana manusia atau sekelompok manusia mampu membuat pilihan – pilihannya dengan baik sebagaimana di kemukakan Paul

Samuelson bahwa studi mengenai bagaimana orang dan masyarakat memilih dengan tanpa menggunakan uang untuk mendapatkan sumber – sumber daya produktif yang langka demi memproduksi berbagai komoditi dari waktu ke waktu dan mendistribusikannya untuk dikonsumsi.28

b. Faktor Psikologis

Adapun penjelasan tentang tidak memilih dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua katagori, Pertama, berkaitan dengan ciri – ciri kepribadian seseorang. Dimana bahwa perilaku tidak memilih disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman,

27

Kompas, 10 Mei 2004

28

(39)

perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggungjawab secara pribadi dan semacamnya. Dimana orang yang memiliki kepribadian tidak toleran cenderung tidak akan memilih karena hal tersebut menurutnya tidak berhubungan dengan kepentingannya. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian seseorang. Dimana perilaku tidak memilih disebabkan oleh orientasi kepribadian seseorang, yang secara konseptual dapat menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi. Apatis merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, ditandai dengan tidak adanya minat terhadap persoalan – persoalan politik. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya sosialisasi politik maupun rendahnya proses transformasi budaya politik dari generasi sebelumnya serta adanya anggapan bahwa aktifitas politik itu merupakan kegiatan tidak berguna dan cenderung sia – sia. Anomi merupakan suatu sikap tidak mampu menerima keputusan – keputusan yang dapat diantisipasi. Dimana setiap individu mengakui kegiatan politik sebagai kegiatan yang berguna, namun ia merasa benar – benar tidak dapat mempengaruhi peristiwa – peristiwa dan kekuatan – kekuatan politik sehingga hal tersebut menimbulkan rasa tidak peduli terhadap kegiatan

politik yang pada akhirnya menyebabkan ia tidak mau ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sedangkan alienasi adalah perasaan keterasingan secara aktif dan merupakan perasaan tidak percaya terhadap pemerintah. Dimana seseorang merasa bahwa dirinya tidak terlibat dalam urusan politik, dan pemerintah dianggap tidak memiliki pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang.

c. Faktor Pendidikan

(40)

Pendidikan politik merupakan suatu proses yang mempengaruhi setiap individu agar dapat memperoleh informasi lebih lengkap, wawasan yang lebih luas dan keterampilan yang baik.29

Dimana secara umum adanya terlihat hubungan yang cukup erat antara perilaku nonvoting dengan tingkat pendidikan seseorang. Seseorang yang tingkat pendidikannya tinggi cenderung aktif berpolitik, cenderung pula hadir dalam pemilu. Begitu pula sebaliknya, dimana seseorang yang tingkat pendidikannya rendah, cenderung tidak aktif berpolitik, maka cenderung pula tidak hadir dalam pemilu.30 Pendapat ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan terhadap responden yang terlibat aktif dalam berbagai kegiatan politik, dimana hasilnya menunjukkan responden yang menempuh pendidikan 13 tahun ke atas 70 persen diantarnya ikut hadir dalam memberikan suara, sementara responden yang hanya menempuh pendidikan 8 tahun ke bawah hanya 29 persen yang hadir dalam memberikan suara.31

d. Faktor Sistem Politik

Dalam hal ini, sistem yang dimaksudkan bukan sekedar prosedur dan

aturan semata, tetapi lebih terfokus kepada kebijakan pemerintah dan kinerjanya didalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang ada. Salah satunya adalah sistem politik yang saat ini sedang dikembangkan oleh rezim penguasa yang dinilai tidak berhasil membangun demokrasi yang sehat, baik ditingkat elite maupun massa. Ketidakpercayaan pada sistem politik yang ada setidaknya dapat mempengaruhi tingginya angka ketidakhadiran pada saat pemilu maupun pemilukada merupakan pertanda rendahnya kepercayaan pada sistem politik. Adapun faktor yang mempengaruhi atau penyebab rendahnya kepercayaan politik ialah : Pertama, kurang maksimalnya fungsi yang dijalankan lembaga perwakilan

29

DR. Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung : LIPI 2006. Hal. 64 – 67

30

Asfar Muhammad, Op. Cit, Hal.260

31

(41)

rakyat. Kedua, lembaga peradilan yang tidak dapat berfungsi secara maksimal,

Ketiga, tingginya angka praktek – praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang

dilakukan oleh pemerintah. Kelima, banyaknya kebijakan politik pemerintah yang tidak kondusif dan kurang membangun dan lain – lain.

e. Faktor Sistem Pemilihan Umum

Keputusan seseorang untuk tidak memilih dapat juga dipengaruhi oleh persepsi dan evaluasi terhadap sistem dan penyelenggaraan pemilu ataupun pemilukada. Dengan sistem pemilu ataupun pemilukada yang dinilai tidak jelas dan tidak akan menjanjikan perubahan apapun. Pemilu maupun pemilukada hanyalah sebagai simbol demokrasi semata, namun pemilu maupun pemilukada itu sendiri tidak dijalankan dengan semangat dan cara – cara demokratis. Dimana pada saat ini fungsi pemilu maupun pemilukada cenderung sebagai alat yang memproduksi kekuasaan dari pada implementasi kehidupan berdemokrasi. Yang dapat diartikan bahwa pemilu maupun pemilukada lebih dimaknai sebagai sarana untuk mempertahankan status quo penguasa dibandimgkan sebagai sarana untuk

melakukan perubahan maupun perbaikan politik.32

f. Faktor Budaya

Almond dan Verba mendefenisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari setiap warga Negara terhadap system politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga Negara yang ada didalam sistem itu.33

32

Muhammad Asfar, Op. Cit, Hal.42

33

Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Study tentang Ilmu Politik, Jakarta : LP3ES. 1992, Hal. 4 - 5

(42)

masyarakat memiliki peranan penting dalam system politik suatu Negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain untuk berinteraksi dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya.

Selain faktor – faktor diatas, Lipset membagi faktor – faktor yang mempengaruhi kehadiran dan ketidakhadiran pemilih ke dalam empat katagori, yaitu :

1. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah

Kelompok yang mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti pegawai negeri, para pensiunan, petani dan semacamnya, menunjukkan tingkat kehadiran yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti kaum buruh, buruh tani, buruh bangunan dan lain – lain.

2. Akses terhadap informasi

Seseorang yang mempunyai akses terhadap informasi yang lebih lengkap akan

cenderung tinggi tingkat kehadirannya. Akses informasi ini biasanya berkaitan dengan tingkat pendidikan, disamping keterlibatannya dalam organisasi – organisasi sosial kemasyarakatan.

3. Berkaitan dengan tekanan kelompok tertentu

Jika tekanan yang berasal dari kelompok tertentu untuk tidak memilih begitu kuat dan calon pemilih terpengaruh, maka hal ini akan disikapi dengan tidak hadir dalam pemilu maupun pemilukada.

(43)

Ketika seseorang ditekan untuk memilih partai yang berbeda, mereka mungkin menyelesaikan konflik ini dengan menarik diri sama sekali dalam pemilihan umum maupun pemilihan umum kepala daerah.

5. Bentuk – Bentuk Perilaku Tidak Memilih atau Golongan Putih

Ada beberapa katagori disebut pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua kategori yang relevan, yaitu katagori suara tidak sah dan katagori yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam banyak media massa dua katagori ini dijadikan satu, dan tidak memilih atau golput dinyatakan termasuk didalamnya34

Pemilihan umum maupun pemilihan umum kepada daerah merupakan suatu proses dalam mencari pemimpin baru yang berkualitas dan sesuai dengan pilihan rakyat yang menjadi terdelegitimasikan oleh aksi mogok dan aksi apatis masyarakat untuk tidak memilih. Artinya, siapapun calon pemimpin pilihan rakyat belum menunjukkan keinginan mayoritas warga. Pada umumnya perilaku tidak memilih seperti ini disebut dengan perilaku tidak memilih pasif atau golput pasif, yaitu tidak dating ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena dorongan pribadi dan untuk diri sendiri tanpa berusaha mempengaruhi orang lain.

. Sehingga saya dapat menyimpulkan bahwa ada dua jenis perilaku orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput, yaitu: Pertama orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya secara tidak sengaja, yang terdiri dari suara tidak sah. Kedua, orang yang tidak menggunakan hak pilih suaranya secara sengaja, yaitu pemilih yang sengaja secara sadar tidak ingin menggunakan hak pilih suaranya.

Dibalik dari tindakan atau sikap seseorang untuk tidak memilih, setidaknya

terdapat dua kecenderungan, yaitu:

a. Bentuk Penolakan Politik

34

(44)

b. Bentuk Pembangkangan Sipil

Motif tidak memilih katagori ini bukan sekedar apatisme, melainkan sebuah kritik. Reproduksi wacana untuk tidak menggunakan hak pilih atau golput menjadi sarana kritik dan ruang koreksi bagi laju demokrasi bangsa. Hal ini karena suatu tindakan yang memutuskan untuk tidak memilih didasarkan pada penilaian – penilaian terhadap para elite politik.35

Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan

1.5.2 Partai Politik

Banyak dafenisi tentang partai politik, berikut adalah beberapa defenisi partai politik menurut para ahli:

1. Menurut Miriam Budhiarjo

Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota – anggotanya mempunyai orientasi, nilai – nilai dan cita – cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik melalui cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan yang mereka miliki.

2. Menurut R.H. Soltau

Partai politik adalah sekelompok warga yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.

3. Menurut Carl J. Friedrich

35

(45)

bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.36

Pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu / masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak soasial (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa cetak, audio (radio) maupun audio visual (televisi) serta media lainnya seperti; spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antara pribadi yang berbentuk face to face (tatap muka) atau lobby yang berisi penyampaian pesan mengenai program,

platform, asas, ideology serta janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih

sehingga pada waktu dilaksanakannya pemilihan umum dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislative maupun eksekutif.

1.5.3 Pemilihan Umum

37

36

A. Rahman H. I, Sistem Politik Indonesia, Yongyakarta, Graha Ilmu 2007, Hal.102

37

Ibid Hal 147

1.5.3.1 Pemilihan umum kepala daerah

Pemilihan umum kepala daerah langsung (pemilukada langsung) merupakan salah satu jalan keluar terbaik untuk mencairkan kebekuan demokrasi. Kekuatan pemilukada langsung terletak pada pembentukan dan implikasi legitimasi tersendiri sehingga harus dipilih sendiri oleh rakyat. Mereka juga wajib bertanggungjawab kepada rakyat. Dengan pemilihan terpisah dari DPRD, kepala daerah memiliki kekuatan yang seimbang dengan DPRD sehingga mekanisme

check and balance niscaya akan dapat bekerja dengan baik. Kepala daerah

dituntut mengoptimalkan fungsi pemerintahan daerah (protective, public service,

(46)

Pemilukada langsung tidak dengan sendirinya menjamin (taken for

granted) peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri tetapi jelas membuka akses

terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses itu berarti berfungsinya mekanisme check and balance. Dimensi check and balance meliputi hubungan kepala daerah dengan rakyat, DPRD dengan rakyat, kepala daerah dengan DPRD, DPRD dengan kepala daerah tetapi juga kepala daerah dan DPRD dengan lembaga yudikatif dan Pemerintah daerah dengan Pemerintah Pusat.38

Pemilihan umum kepala daerah langsung merupakan pemilihan Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil melalui pemungutan suara. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan demokratis,

keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintahan dan Daerah serta antar daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten, serta Walikota dan Wakil Walikota untuk kota.

39

David Easton menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat itu adalah (1) terdiri dari banyak bagian – bagian ; (2) bagian – bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung; dan (3)

1.5.3.2 Sistem dan Mekanisme Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah

Langsung

38

Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005164-165.

39

(47)

mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari ligkungannya yang juga terdiri dari system – system lain.40

a. First Past The Post System

Sebagai suatu sistem, sistem pemilukada langsung mempunyai bagian – bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub – sub sistem

(subsystems). Bagian – bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral

process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation adalah segala

ketentuan atau aturan mengenai pemilukada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam melaksanakan peran dan fungsi masing – masing. Electoral process merupakan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang – undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal.

Electoral law enforcement yaitu penegakan hokum terhadap aturan – aturan

pemilukada baik politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian pemilikada langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas system dapat menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing – masing bagian

tidak dapat dipisah – pisahkan karena merupakan satu kesatuan utuh yang komplementer.

System pemilihan adalah suatu mekanisme atau tata cara untuk menentukan pasangan calon yang berhak menduduki jabatan kepala daerah / wakil kepala daerah. Kualitas kompetisi dalam pemilukada langsung dapat dilihat dari system pemilihan yang digunakan. Ada 5 (lima) sistem dalam pemilihan umum kepala daerah langsung, yaitu;

System first past the post ini dikenal sebagai system yang sederhana dan efisien. Calon Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan pilkada dan menduduki kursi Kepala daerah. Karenanya system ini

40

(48)

dikenal juga dengan sistem mayoritas sederhana (simple majority). Konsekuensinya, calon Kepala Daerah dapat memenangkan pemilukada walaupun hanya meraih kurang dari setengah suara jumlah pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan.

b. Preferantial Voting System atau Aprroval Voting System

Cara kerja system Preferantial Voting System atau Aprroval Voting System adalah pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap calon – calon kepala daerah yang ada pada saat pemilihan. Seorang calon akan otomatis memenangkan pemilukada langsung dan terpilih menjadi Kepala Daerah jika perolehan suaranya mencapai peringkat pertama terbesar. Sistem ini merupakan alat pengakomodasian dari sistem mayoritas sedehana (simple

majority) namun dapat membingungkan proses penghitungan suara di setiap

tempat pemungutan suara (TPS) sehingga proses penghitungan suara di tempat pemungutan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat.

c. Two Round System atau Run-Off System

Cara kerja system two round ini, pemilihan dilakukan dengan dua putaran (run off) dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolute

(lebih dari 50%) dari keseluruhan suara dalam pemilihan putaran pertama, maka dua pasangan calon Kepala Daerah dengan perolehan suara terbanyak harus melalui putaran kedua yang biasanya dilaksanakan beberapa waktu setelah pemilihan putaran pertama. Lazimnya, jumlah suara minimum yang harus diperoleh para calon pada pemilihan putaran pertama agar dapat melanjutkan pertarungan pada putaran kedua bervariasi, dari 20% sampai 30%. Sistem ini paling popular dinegara – Negara demokrasi presidensial.

d. Electoral College System

(49)

kabupaten/kota untuk Gubernur) diberikan alokasi atau bobot suara Dewan Pemilih (electoral college) sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pemilukada, keseluruhan jumlah suara yang diperoleh tiap calon di setiap daerah pemilihan dihitung. Pemenang di setiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara Dewan Pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calon yang memperoleh suara Dewan Pemilih terbesar akan memenangkan pemilukada langsung. Umumnya, calon yang berhasil memenangkan suara di daerah – daerah pemilihan dengan jumlah penduduk padat terpilih menjadi Kepala Daerah.

e. Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria

Seorang calon Kepala Daerah dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilukada apabila calon bersangkutan dapat meraih suara mayoritas sederhana (suara terbanyak di antara calon – calon yang ada) dan minimum 25% dari sedikitnya 2/3 (dua pertiga) dari daerah pemilihan. System ini ditetapkan untuk menjamin bahwa Kepala Daerah terpilih memperoleh dukungan dari mayoritas penduduk yang tersebar di berbagai daerah pemilihan.41

• Menggunakan mekanisme pemilihan umum yang teratur

1.5.3.3 Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah

Mekanisme pemilihan kepala daerah disebut demokratis apabila memenuhi beberapa parameter. Mengutip pendapat Robert Dahl, Samuel Huntington (1993) dan Bingham Powel (1978), Afan Gaffar dan kawan – kawan mengatakan, parameter untuk mengamati terwujudnya demokrasi antara lain:

• Memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan • Mekanisme rekrutmen dilakukan secara terbuka

41

(50)

• Akuntabilitas publik.42

Dibawah ini adalah penjelasan masing – masing parameter tersebut;

• Pemilihan Umum

Rekrutmen jabatan politik atau publik harus dilakukan dengan pemilihan umum yang diselenggarakan secara teratur dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur dan adil. Pemilihan umum merupakan gerbang pertama yang harus dilewati karena dengan pemilu, lembaga demokrasi dapat dibentuk. Kemudian setelah pemilihan biasanya orang akan melihat dan menilai seberapa besar pejabat publik terpilih memenuhi janji – janjinya. Penilaian terhadap kinerja pejabat politik itu akan digunakan sebagai bekal untuk memberikan ganjaran atau hukuman dalam pemilihan mendatang. Pejabat yang tidak dapat memenuhi janji – janjinya dan tidak menjaga moralitasnya akan dihukum dengan cara tidak dipilih, sebaliknya pejabat yang berkenaan dihati rakyat akan dipilih kembali oleh rakyat. • Rotasi Kekuasaan

Rotasi kekuasaan juga merupakan parameter demokratis setidaknya suatu rekrutmen pejabat politik. Rotasi kekuasaan mengandalkan bahwa

kekuasaan atau jabatan politik tidak boleh dan tidak bisa dipegang terus menerus oleh seseorang, seperti dalam sistem monarkhi. Artinya, kalau seseorang yang berkuasa terus menerus atau satu partai politik yang mengendalikan roda pemerintahan secara dominan dari waktu ke waktu, maka sistem itu kurang layak disebut demokratis. Dengan kata lain, demokrasi memberi peluang rotasi kekuasaan atau rotasi pejabat politik secara teratur dan damai dari seorang Kepala Daerah satu ke Kepala Daerah lain, dari satu partai politik ke partai politik lainnya.

42

Gambar

Table 1.1:
Tabel 2.1:
Tabel 2.2:
Tabel 2.3:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillaahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Mempelajari Karakteristik Kimia

penelitian menunjukkan bahwa; 1) Perencanaan pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan secara berkelanjutan dan disesuaikan kebutuhan guru. Pengembangan keprofesian

Tidak ada jawaban yang dianggap salah, semua jawaban adalah benar jika diisi dengan jujur sesuai dengan keadaan saat ini7. Pilih salah satu dari empat jawaban yang ada dan yang

Proses perancangan sistem usulan akan menjelaskan dan menguraikan tentang aktifitas yang dilakukan oleh admin, pemilik kendaraan atau pelacak, dan aplikasi GPS yang

individu dalam perekonomian, 3) Berfungsi sebagai yang mengatur pembagian.. hasil dari produksi pada seluruh masyarakat agar dapat berjalan sesuai dengan. harapan,

Hal ini dapat di lihat dari aktifitas para remaja di kota Palu dalam pengunaan variasi bahasa yang mengunakan ragam variasi bahasa, oleh karena penelitian ini

Adapun yang menjadi motivasi pegawai pada lingkungan Dinas Tenaga Kerja Propinsi Jawa Timur adanya promosi jabatan dan tentunya dilihat juga dari kinerja pegawai tersebut sehingga

Ketika suatu organisasi semakin besar, dengan perangkat keras yang semakin banyak dan berbeda-beda dari berbagai jenis vendor, maka adalah merupakan tugas yang sulit