• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA GOLONGAN PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA GOLONGAN PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE EFFECT OF ORAL HERBICIDE PARAQUAT DICHLORIDE TO KIDNEY HISTHOPATHOLOGY IN MALE RATS (Rattus norvegicus)

Sprague dawley STRAIN By

DIAH SEPTIA LIANTARI

Herbicide is one of chemical material which is used by farmers to inhibit and kill weeds. Nowadays, the use of herbicide is increasing. But, the use of herbicide sometimes doesn’t appropriate to the procedure so it causes adverse effect in human. The exposure of herbicide paraquat dichloride give effects to human organs such as lung, kidney, heart, liver, muscle, spleen, skin, eyes, and brain. In kidney, it damage both glomerulus and renal tubules. The purpose of this study is to determine the effect of oral herbicide paraquat dichloride to kidney histhopathology in male rats (Rattus norvegicus) Sprague dawley strain. In this study, 25 male rats (Rattus norvegicus) Sprague dawley strain about 8−10 weeks are divided randomly into 5 group and treated for 2 days. K1 is given aquadest, K2, K3, K4, K5 is given herbicide paraquat dichloride 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, and 200 mg/kgBB. The results showed that the average number of kidney damage K1:0, K2:1,8, K3:2,0, K4:3,6, K5:4,4. In Kruskal Wallis test found a significant difference (p<0,05). There is an effect of oral herbicide paraquat dichloride to kidney histhopathology in male rats (Rattus novergicus) Sprague dawley strain.

(2)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA GOLONGAN PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI

GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

Oleh

DIAH SEPTIA LIANTARI

Herbisida merupakan salah satu bahan kimia yang digunakan oleh para petani untuk menghambat dan mematikan tumbuhan. Saat ini, penggunaan herbisida semakin meningkat. Namun, penggunaan herbisida sering tidak sesuai prosedur sehingga dapat menimbulkan efek samping terhadap manusia. Paparan herbisida golongan paraquat diklorida berpengaruh ke organ-organ tubuh seperti paru-paru,jantung, ginjal, hati, otot, limpa, kulit, mata dan otak. Pada organ ginjal dapat merusak glomerulus maupun tubulus ginjal. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per-oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley. Pada penelitian ini, 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8−10 minggu tikus dibagi dalam 5 kelompok secara acak dan diberi perlakuan selama 2 hari. K1 diberi aquades, K2, K3, K4, K5 diberi herbisida paraquat diklorida 25mg/kgBB, 50mg/kgBB, 100mg/kgBB dan 200mg/kgBB. Hasil penelitian menunjukan bahwa rerata skor kerusakan ginjal pada K1: 0, K2: 1,8, K3: 2,0, K4:3,6, K5; 4,4. Data yang diperoleh diuji dengan Uji Kruskal-Wallis didapatkan perbedaan bermakna (p<0,05). Terdapat pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per-oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bumi Nabung, Lampung Tengah pada tanggal 12 September

1993, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari Bapak Sugito, S.Pd dan

Ibu Astiyatun, S.Pd.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Alfirman Ma’arif, Sekolah Dasar (SD) di SDN 5 Bumi Nabung Ilir pada tahun 1999, Sekolah Menengah Pertama

(SMP) di SMPN 1 Rumbia pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas (SMA)

di SMAN 4 Metro pada tahun 2008.

Tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran

Unuversitas Lampung melalui jalur Undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan

Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi asisten

dosen Patologi Anatomi pada tahun 2013-2014. Penulis aktif dalam Lembaga

Kemahasiswaan Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina FK Unila sebagai Kardiak

pada tahun 2011/2012 dan sebagai Bendahara Umum pada tahun 2012/2013.

Penulis juga aktif dalam Lembaga Kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa

(BEM) FK Unila sebagai EA BEM pada tahun 2011/2012, sebagai anggota Biro

(8)

2013/2014. Penulis juga aktif dalam Lembaga Eksternal yaitu Pusat Komunikasi

Daerah (PUSKOMDA) Lampung sebagai anggota Komisi D (media dan

(9)

“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu”

(Q.S. Al-Baqarah: 32)

“Ya Allah, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap

mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau

Anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku

dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau

Ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke

(10)

PERSEMBAHAN

Segala puji hanyalah milik Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman,

nikmat islam, hidayah dan rahmat kepada penulis. Shalawat serta salam

semoga tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW

beserta keluarganya.

Dengan syukur kupersembahkan lembaran-lembaran sederhana ini untuk

Ayah dan Ibuku Tercinta

Yang selalu menyanyangiku, yang selalu memberikan kebahagiaan dalam

hidupku dan yang selalu menyebut namaku dalam setiap doa.

Kakak-kakak ku tersayang

(11)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga

selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Herbisida Golongan Paraquat Diklorida Per−OralTerhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague dawley” adalah salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas

Lampung.

2. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung.

3. Bapak dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA., selaku Pembimbing Utama atas

kesediannya memberikan untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik

dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu dr. Indri Windarti, Sp.PA., selaku Pembimbing Kedua atas kesediannya

(12)

proses skripsi ini serta memberikan banyak ilmu selama lebih dari setahun

terakhir ini.

5. Ibu dr. Susianti, M.Sc., selaku Penguji Utama pada ujian skripsi untuk

masukan dan saran-saran yang diberikan.

6. Ibu dr. Tiwuk Susantiningsih, M. Biomed., dan dr. Maya Ganda Ratna yang

telah memberikan banyak masukan, saran dan bantuan dalam proses

penelitian ini.

7. Ibu Prof. Dr. dr. Efrida Warganegara, M.Kes., Sp. MK., selaku Pembimbing

Akademik saya sejak semester awal hingga semester akhir.

8. Ayah dan Ibu yang selalu memberikan kasih sayang, nasehat, motivasi, selalu

mendoakan anak-anaknya dan selalu memberikan yang terbaik. Semoga

Allah swt selalu melindungi dalam setiap langkah.

9. Kakak-kakak saya, Mas Andi Perdana Saputra yang dulu selalu mendukung

saya dan semoga tenang disana, Mbak Marthia Ratna Dewi dan Mbak Indah

Kusuma Rini yang selalu memberikan doa, bantuan dan semangat untuk

menyelesaikan skripsi ini serta adik kecil Angga Adi Prayoga.

10. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu dan pengalaman berharga yang telah

diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan

untuk mencapai cita-cita.

11. Seluruh Staf TU, Administrasi dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang

turut membantu dalam proses penelitian skripsi ini.

12. Mas Bayu Putra yang sudah banyak membantu dalam proses pembuatan

(13)

13. drh. Aulia Andi M. Msi., Abang Alias dan Om Adi yang telah banyak

membantu dalam proses penelitian ini.

14. Sahabat-sahabat saya: Yolanda Fratiwi, Ferina Dwi Marinda, Sakinah dan

Tiara Anggraini yang selalu ada dalam suka maupun duka, saling

mengingatkan dan selalu memberikan semangat.

15. Sahabat-sahabat saya yang dipertemukan dalam sebuah lingkaran kecil:

Anggia, Karimah dan Melly yang telah mengajariku tujuan hidup ini.

16. Sahabat-sahabat CUPS: Yolci, Ferina, Sakinah, Naomi, Bela, Rifka, Dila,

Pelis, Ririn, Mbak Oni, Roby, Desta, Wayan, Gede, Filla dan Baji atas

bantuan, doa dan saling menyemangati untuk menyelesaikan skripsi ini.

17. Partner kerja skripsi saya, Yolanda Fratiwi, I Gede Eka Widayana dan Wayan

Ferly Aryana atas kerjasama dan semangat nya dalam menyelesaikan skripsi

ini.

18. Rekan kerja seperjuangan Asdos PA, Yolanda Fratiwi, Kak Tiara Anggraini,

Fadia Nadila, Yuda Ayu K, Muflikha Sofiana, I Gede Eka dan Rizky Bayu

atas kerjasama nya selama ini.

19. Sahabat-sahabat Keluarga Besar FSI IBNU SINA: Mbak Defi, Mbak Putri,

Mbak Tya, Mbak Megan, Mbak Ghina, Mbak Nora, Mbak Annida, Mbak

Nyimas, Mbak Nida, Mbak Meta, Mbak Vicha, Mbak Laili, Nindry, Rania,

Huzai, Idzni, Oci, Laras, Eka, Siti M, dan sahabat-sahabat semua yang tidak

bisa saya tulis satu persatu, atas nasehat, motivasi selama ini dan semoga kita

(14)

20. Sahabat-sahabat BEM FK UNILA Kabinet NEURAL: Ara, Tiwi, Mahendra,

Yolci, Ani, Gede, Putri, Vivi, Taufiq, Belinda Sandra, Bulan, Aryati, dan

teman-teman semua.

21. Sahabat-sahabat PUSKOMDA Lampung atas ilmu dan pengalaman selama

ini.

22. Sahabat-sahabat angkatan 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Terimakasih atas kebersamaan dan kerja sama dalam mengemban ilmu di

kampus tercinta ini.

23. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya (angkatan 2002-2014) yang sudah

memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, Desember 2014

Penulis,

(15)

i

2.1 Herbisida Golongan Paraquat Diklorida...

2.1.1 Deskripsi Herbisida Golongan Paraquat Diklorida...

2.1.2 Penggunaan Herbisida Golongan Paraquat Diklorida...

(16)

ii

2.1.4 Mekanisme Toksisitas Herbisida Golongan Paraquat

Diklorida...

2.3 Radikal Bebas dan Stres Oksidatif...

2.3.1 Radikal Bebas...

2.3.2 Stres Oksidatif...

2.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley......

2.4.1 Klasifikasi Tikus Putih...

2.4.2 Jenis Tikus Putih...

2.4.3 Biologi Tikus Putih...

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian ………...……... 3.4.3.1 Alat Penelitian ………...

(17)

iii

3.5 Prosedur Penelitian ……….…... 3.5.1 Prosedur Pemberian Dosis Herbisida Paraquat Diklorida...

3.5.2 Prosedur Penelitian………...

3.6 Identifikasi Variabel dan Devinisi Operasional Variabel …... 3.6.1 Identifikasi Variabel ………...…...

3.6.2 Definisi Operasional Variabel ………...

3.7 Analisis Data ………... 3.8 Ethical Clearance...

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian...

4.2 Pembahasan...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi Operasional ………... 2. Rerata Skor Kerusakan Ginjal...

3. Analisis Mann Whitney...

49

58

(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ...

2. Kerangka konsep...

3. Histologi glomerulus ginjal normal manusia...

4. Histologi tubulus ginjal normal manusia...

5. Pembentukan radikal bebas...

6. Diagram Alur Penelitian...

7. Histologi ginjal normal tikus kontrol negatif...

8. Histopatologi ginjal tikus kelompok 2...

9. Histopatologi ginjal tikus kelompok 3...

10. Histopatologi ginjal tikus kelompok 4...

11. Histopatologi ginjal tikus kelompok 5...

12. Grafik perbandingan rerata skor kerusakan ginjal...

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Analisis Statistik...

2. Dokumentasi Penelitian...

75

(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama

dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian dan perkebunan. Laporan dari

Food Agriculture Oganization menyatakan lebih dari 70.000 pestisida

beredar di seluruh dunia dan dipergunakan secara aktif oleh para petani

(FAO, 2003). Penggunaan pestisida dalam mengatasi organisme pengganggu

tanaman telah meluas di kalangan para petani di Indonesia. Penggunaan

pestisida yang tidak terkendali akan berakibat pada kesehatan petani dan

lingkungan. Pada tahun 2000, penelitian terhadap para pekerja atau penduduk

yang memiliki riwayat kontak pestisida banyak sekali dilakukan di Indonesia.

Dari berbagai penelitian tersebut diperoleh gambaran prevalensi keracunan

tingkat sedang hingga berat disebabkan pekerjaan, yaitu antara 8,5%−50%

(Achmadi, 2005).

Pestisida dikelompokkan menjadi tiga yaitu insektisida sebagai pembunuh

insekta, fungisida sebagai pembunuh jamur dan herbisida sebagai pembunuh

tanaman pengganggu. Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida

(22)

2

karena disalahgunakan yaitu untuk bunuh diri. Sekarang ini

bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek

samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada

manusia, tetapi sangat toksik pada tanaman penggangu dan serangga (WHO,

2008).

Penggunaan pestisida secara global dan jenis-jenis pestisida yang digunakan

jika dipresentasikan penggunaan herbisida adalah yang terbanyak, kemudian

insektisida dan fungsida. Insektisida adalah pestisida yang paling banyak

digunakan di negara maju, sedangkan fungisida dan herbisida paling banyak

digunakan di negara berkembang (Ginting et al., 2012).

Herbisida paraquat dan diquat termasuk golongan dipyrydyl yang merupakan herbisida non−selektif dan secara luas sering digunakan, terutama pada sistem

pertanian dan oleh agen pemerintah dan perindustrian untuk mengontrol hama

tanaman. Paraquat dibatasi pemakaiannya terutama di Amerika Serikat, dan

sudah menjadi isu dunia yang signifikan tentang kemungkinan keracunannya.

Beberapa negara di Eropa juga sudah membatasi pemakaian paraquat. Pada

beberapa dekade terakhir, paraquat menjadi agen yang popular untuk

tindakan bunuh diri (Indika & Buckley, 2011).

Keracunan herbisida merupakan permasalahan kesehatan masyarakat di

(23)

3

herbisida per 100.000 populasi setiap tahun. Paraquat merupakan agen

penyebab kematian utama di Sri Lanka dengan angka fatalitas yang tinggi

yaitu lebih dari 50%. Keracunan paraquat tidak hanya merupakan masalah di daerah Asia−Pasifik dan Sri Lanka, pada tahun 1986−1990, 63% dari seluruh

percobaan bunuh diri di Trinidad-Tobago dikarenakan paraquat. Kontribusi

yang sama tentang kematian akibat paraquat juga dilaporkan dari Trinidad

Selatan yaitu 76% diantara tahun 1996−1997 dan Samoa yaitu 70% dari tahun 1979−2000 (Indika & Buckley, 2011).

Penelitian oleh Saftarina (2011) di desa Raja Basa Bandar Lampung

didapatkan petani melakukan penyemprotan pestisida rata-rata lebih dari 3

kali dalam seminggu. Petani melakukan penyemprotan walaupun tidak ada

tanda-tanda tanaman yang diserang hama, hal ini dilakukan untuk mencegah

tanaman diserang hama secara tiba-tiba. Pada saat melakukan penyemprotan

pestisida, para petani kurang memperhatikan arah angin dan cara pemakaian

pestisida yang benar.

Penelitian yang dilakukan oleh Pujiono (2009) pada tenaga kerja di tempat

penjualan pestisida di kabupaten subang didapatkan bahwa masih banyak

tenaga kerja yang praktek pengelolaan pestisida tidak memakai alat pelindung

diri yang memenuhi syarat dengan alasan tidak disediakannya alat pelindung

diri, sudah terbiasa tidak pakai dan menghambat aktivitas saat bekerja.

Sebagian pekerja telah mempunyai persepsi bahwa praktek saat mengelola

(24)

4

menggunakan alat pelindung diri, dan hal ini cenderung telah menjadi

perilaku pekerja untuk tidak menggunakan alat pelindung diri pada saat

mengelola pestisida. Pemakaian alat pelindung diri yang tidak memenuhi

syarat, berisiko menyebabkan keracunan pestisida terhadap tenaga kerja.

Penggunaan pestisida apabila tidak benar dan tepat maka akan menimbulkan

efek samping terhadap manusia. Efek samping dapat berupa hasil dari

penimbunan yang berlama-lama, surface runoff, atau kontak langsung dengan

komponen herbisida. Resiko terhadap manusia, kehidupan hewan, dan

kematian terhadap tumbuhan disekitarnya, harus dipertimbangkan sebelum

pemakainan pestisida (WHO, 2008).

Paparan herbisida golongan paraquat diklorida berpengaruh ke organ-organ

tubuh seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, otot, limpa, kulit, mata dan otak.

Pada organ ginjal didapatkan kerusakan pada tubulus ginjal. Gangguan fungsi

ginjal memainkan peranan penting untuk menentukan outcome dari

keracunan paraquat (Ginting et al., 2012).

Rute utama eliminasi pestisida paraquat setelah masuk aliran darah adalah

melalui ginjal dimana paraquat secara aktif disekresi oleh sistem transport

kation organik. Konsentrasi paraquat yang lebih tinggi dapat bersifat

nefrotoksik. Kerusakan ginjal ditandai dengan adanya proteinuria, hematuri,

(25)

5

Pada penelitian yang dilakukan oleh Malekinejad et al (2011) didapatkan

bahwa pemberian paraquat secara subkutan menyebabkan perubahan

gambaran histopatologi pada ginjal berupa nefritis interstitial multifokal,

endapan protein pada tubulus dan degenerasi tubulus.

Berdasarkan hal di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang

pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per−oral terhadap

gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague dawley.

1.2 Rumusan Masalah

Herbisida paraquat diklorida merupakan salah satu herbisida yang angka

penggunaannya tinggi. Keracunan herbisida menjadi permasalahan kesehatan

masyarakat di negara berkembang dengan perkiraan sekitar 300.000 kematian di daerah Asia−Pasifik. Paparan herbisida paraquat berpengaruh ke

organ-organ tubuh seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, otot, limpa, kulit, mata

dan otak. Rute utama eliminasi paraquat setelah masuk aliran darah adalah

melalui ginjal. Konsentrasi paraquat yang lebih tinggi dapat bersifat

nefrotoksik. Dari uraian singkat tersebut dapat dirumuskan:

Apakah terdapat pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus

(26)

6

1.3 Tujuan

Tujuan Umum:

Untuk mengetahui pengaruh pemeberian herbisida golongan paraquat

diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus

norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

Tujuan Khusus:

1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat

diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi glomerulus ginjal

tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat

diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi tubulus ginjal tikus

putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

1.4 Manfaat

Manfaat Teoritis:

Penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan Ilmu Patologi Anatomi

dan agromedicine khususnya di bidang Toksikologi.

Manfaat Praktis:

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah

(27)

7

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

pengaruh paparan herbisida paraquat diklorida terhadap ginjal.

3. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Meningkatkan iklim penelitian dibidang agromedicine sehingga dapat

menunjang pencapaian visi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

sebagai Fakultas Kedokteran Sepuluh Terbaik di Indonesia pada Tahun

2025 dengan kekhususan agromedicine.

4. Bagi Peneliti Lain

Dapat dijadikan bahan acuan untuk dilakukannya penelitian yang serupa

yang berkaitan dengan herbisida paraquat diklorida.\

1.5 Kerangka Teori

Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk

menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan (Riadi, 2011).

Herbisida paraquat diklorida merupakan herbisida yang dapat diaplikasikan

pada saat purna tumbuh. Herbisida ini merupakan herbisida kontak yang

dapat mematikan jaringan tumbuhan yang terkontaminasi dan beracun pada

sel-sel tumbuhan yang hidup (Sarbino & Syahputra, 2012).

Paraquat merupakan suatu herbisida golongan bipyridylium. Komposisi kimia

dari paraquat adalah C12H14N2 (karbon, hidrogen dan nitrogen). Paraquat

merupakan zat yang sangat toksik dan dapat memasuki tubuh dengan

(28)

8

rusak, mungkin juga melalui inhalasi. Beribu kematian muncul karena

menelan untuk bunuh diri atau kontak kulit dengan paraquat biasanya karena

pekerjaan (Indika & Buckley, 2011).

Paraquat menginduksi toksisitas dikarenakan kemampuannya untuk

mempengaruhi siklus redoks dan membentuk ROS. Paraquat dimetabolisme

oleh beberapa sistem enzim seperti NADPH-Cytochrome p450 reductase,

Xantin oksidase, NADH dan ubiquinone oxireductase serta nitric oxide

synthase. Metabolisme paraquat melalui sistem enzim ini menyebabkan

terbentuknya paraquat mono-cation radical (PQ+) di dalam sel. PQ2+ secara cepat di reoksidasi menjadi PQ2+ dan proses ini mencetuskan terbentuknya superoxide (O2) yang menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap lemak,

protein dan DNA (Indika & Buckley, 2011).

Paraquat akan menyebabkan peningkatan reaksi oksidasi di dalam tubuh

dengan cara dimetabolisme oleh berbagai enzim seperti NADPH sehingga

akan meningkatkan ROS (Haliwell & Whiteman, 2004). Paparan herbisida

golongan paraquat diklorida berpengaruh ke organ-organ tubuh seperti

paru-paru,jantung, ginjal, hati, otot, limpa, kulit, mata dan otak. Pada paru-paru

akan terjadi edema paru akut, yang akan menyebabkan asfiksia dan anoxia

jaringan. Pada kulit, paraquat menyebabkan kerusakan kulit lokal termasuk

dermatitis kontak yang meimbulkan eritema, abrasi dan ulserasi paraquat

(29)

9

Traktus gastrointestinal merupakan tempat awal kerusakan yang ditandai

mukosa edema, ulserasi pada mulut, faring, esofagus dan lambung. Paraquat

juga menyebabkan kerusakan hepatoseluler, peningkatan bilirubin dan enzim

hepatoseluler. Pada organ ginjal didapatkan kerusakan pada glomerulus

tubulus ginjal. Gangguan fungsi ginjal memainkan peranan penting untuk

menentukan outcome dari keracunan paraquat (Ginting et al., 2012).

(30)

10

Radikal bebas (Reactive Oxygen Species)

Superoxide, hidrogen peroksida dan hidroksil radikal

Cedera sel

Dimetabolisme oleh enzim NADPH-Cytochrome p450 reductase, Xantin oksidase,

ubiquinone oxireductase, nitric oxide synthase.

Karbon, Hidrogen dan Nitrogen

Paraquat mono-cation radical (PQ+) dalam sel

(31)

11

1.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini, tersaji pada gambar 2.

Gambar 2. Kerangka konsep

1.7 Hipotesis

Terdapat pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap

gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

(32)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Herbisida Golongan Paraquat Diklorida

2.1.1 Deskripsi Herbisida Golongan Paraquat Diklorida

Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan

untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida

ini dapat mempengaruhi proses pembelahan sel, perkembangan

jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme

nitrogen, aktivitas enzim dan sebagainya yang sangat diperlukan

tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Herbisida

berasal dari metabolit, hasil ekstraksi, atau bagian dari suatu organisme.

Di samping itu herbisida bersifat racun terhadap gulma atau tumbuhan

penganggu juga terhadap tanaman. Herbisida yang diaplikasikan

dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian dan jenis

tumbuhan. Pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh

tumbuhan dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya (Riadi, 2011).

Herbisida paraquat diklorida merupakan herbisida yang dapat

diaplikasikan pada saat purna tumbuh. Herbisida ini merupakan

herbisida kontak yang dapat mematikan jaringan tumbuhan yang

(33)

13

daun tanaman terkena herbisida, daun akan segera layu dan akhirnya

seperti terbakar. Keuntungan penggunaan herbisida kontak adalah

gulma cepat mati sehingga dapat segera ditanami (Sarbino &

Syahputra, 2012).

Penetrasi paraquat terjadi melalui daun. Aplikasi paraquat akan lebih

efektif apabila ada sinar matahari karena reaksi keduanya akan

menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel. Cara

kerja paraquat yaitu menghambat proses dalam fotosistem I, yaitu

mengikat elektron bebas hasil fotosistem dan mengubahnya menjadi

elektron radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk akan diikat oleh

oksigen membentuk superoksida yang bersifat sangat aktif. Superoksida

tersebut mudah bereaksi dengan komponen asam lemak tak jenuh dari

membran sel, sehingga akan menyebabkan rusaknya membran sel dan

jaringan tanaman (Pusat Informasi Paraquat, 2006).

2.1.2 Penggunaan Herbisida Golongan Paraquat Diklorida

Pada era peningkatan mekanisasi dan program budidaya intensif ini,

peran penggunaan herbisida dalam upaya meningkatkan hasil dan

mengurangi biaya produksi semakin besar. Seperti kita ketahui bersama

bahwa peran herbisida kini sangat penting dalam mengurangi jumlah

gulma yang mengganggu tanaman utama. Penggunaan herbisida dan

jenis pestisida lainnya telah memberikan kontribusi yang sangat penting

(34)

14

Penggunaan herbisida untuk mendukung produktivitas pertanian dunia

masih dominan yaitu 49,6% dibandingkan dengan jenis pestisida

lainnya. Tiga bahan aktif herbisida paling luas digunakan adalah

glifosat, paraquat dichloride, dan dichloro phenoxyacetic acid

(Supriadi, 2011).

2.1.3 Kandungan Kimia Herbisida Golongan Paraquat Diklorida

Paraquat merupakan suatu herbisida golongan bipyridylium. Komposisi

kimia dari paraquat adalah C12H14N2 (karbon, hidrogen dan nitrogen).

Paraquat merupakan herbisida yang paling umum digunakan dari

golongan ini. Angka kematian akibat toksisitas dari paraquat sangat

tinggi dikarenakan toksisitasnya secara langsung dan belum adanya

pengobatan yang efektif (Indika & Buckley, 2011).

Menurut WHO's Classification of Pesticides by Hazard, bahan aktif

paraquat termasuk golongan II dimana absorbsi paraquat mempunyai

efek serius dalam jangka panjang. Dengan dosis rendah paraquat relatif

berbahaya dan fatal jika termakan atau mengenai kulit secara langsung

(WHO, 2009). Selain itu herbisida paraquat dapat mempengaruhi

kesehatan manusia lewat tanah dan air yang tercemar sehingga produk

(35)

15

2.1.4 Mekanisme Toksisitas Herbisida Golongan Paraquat Diklorida Herbisida dapat menimbulkan efek pada hama khususnya tanaman

pengganggu, namun herbisida dapat mempengaruhi mekanisme yang

penting bagi bentuk kehidupan yang lebih tinggi seperti manusia dan

hewan. Dalam dosis kecil, herbisida tidak berbahaya bagi manusia dan

hewan karena ukurannya yang jauh lebih besar dari hama tanaman

pengganggu, namun apabila dosis kecil tersebut terakumulasi dalam

jumlah tertentu akan membahayakan manusia dan hewan. Kontak

dengan herbisida akan mengakibatkan efek bakar yang langsung dan

dapat terlihat pada penggunaan kadar tinggi karena kandungan asam

sulfat 70%, besi sulfat 30%, tembaga sulfat 40%, dan paraquat.

Keracunan herbisida menyebabkan rusaknya lapisan selaput lendir

saluran pernafasan, dehidrasi, rasa terbakar di saluran pencernaan,

terganggunya sistem pernafasan yang akhirnya menyebabkan korban

kejang, muntah, koma akibat kekurangan oksigen hingga kematian

mendadak jika tidak segera mendapatkan pertolongan (Riadi, 2011).

Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida

yaitu umur, jenis kelamin, pengetahuan, pengalaman, keterampilan,

pendidikan, pemakaian alat pelindung diri, status gizi dan praktek

penanganan pestisida. Sedangkan fase kritis yang harus diperhatikan

adalah penyimpanan pestisida, pencampuran pestisida, penggunaan

pestisida dan pasca penggunaan pestisida (Achmadi, 2005). Terdapat 3

(36)

16

lahan, banyak pestisida yang digunakan dan frekuensi penyemprotan

(Saftarina, 2011)

Paraquat merupakan zat yang sangat toksik dan dapat memasuki tubuh

dengan beberapa cara, terutama dengan cara tertelan tiba-tiba, atau

melalui kulit yang rusak, mungkin juga melalui inhalasi. Beribu

kematian dijumpai karena menelan paraquat atau kontak dengan kulit

biasanya karena pekerjaan. Paraquat sangat bersifat korosif terhadap

kulit dan sangat mudah terabsorbsi kedalam tubuh. Seorang petani

meninggal hanya dalam 3,5 jam setelah menyemprot paraquat yang

sudah diencerkan dengan luka pada tangan dan kaki yang tidak tertutup.

Lebih dari ribuan para pekerja yang pernah terpapar paraquat baik akut

maupun kronik, terkena efek paraquat tersebut (Indika & Buckley,

2011).

Di negara berkembang, paraquat sering digunakan dengan sembarangan

dan tidak memperhatikan label peringatan sehingga menyebabkan

angka keterpaparan yang tinggi. Hanya sedikit sendok teh paraquat,

maka dapat menyebabkan kematian. Kematian dikarenakan kegagalan

pernafasan dan mungkin bisa dijumpai dalam beberapa hari setelah

keracunan bahkan sampai beberapa bulan kemudian (Indika & Buckley,

(37)

17

Lama reaksi reaksi racun ditentukan dari kondisi fisik korban. Korban

dengan kondisi fisik lemah, kurang gizi, perut kosong atau menderita

tukak lambung akan cepat mengalami muntah–muntah dan mulut

berbuih. Jika terindikasi keracunan, secepatnya korban diberikan

antidotum seperti norit, putih telur atau susu. Tujuan pemberian

antidotum agar dinding usus tidak rusak dan racun tidak diserap oleh

darah. Namun cara yang paling penting adalah agar korban muntah

sehingga jumlah herbisida yang masuk berkurang (Riadi, 2011).

Paraquat menginduksi toksisitas dikarenakan kemampuannya untuk

mempengaruhi siklus redoks dan membentuk Reactive Oxygen Species

(ROS). Paraquat dimetabolisme oleh beberapa sistem enzim seperti

NADPH-Cytochrome p450 reductase, Xantin oksidase, NADH, dan

ubiquinone oxireductase serta nitric oxide synthase. Metabolisme

paraquat melalui sistem enzim ini menyebabkan terbentuknya paraquat

mono-cation radical (PQ+) di dalam sel. PQ+ secara cepat di reoksidasi menjadi PQ2+ dan proses ini mencetuskan terbentuknya superoxide (O2). Superoxide bertindak sebagai reseptor elektron dan NADP

bertindak sebagai donor elektron pada reaksi ini. Reaksi ini lebih jauh

membentuk Hydroxyl free radical (HO). Paraquat secara langsung atau

tidak langsung menginduksi nitric oxide synthase menghasilkan Nitric

Oxide (NO). NO berikatan dengan O2 membentuk peroxinitrite

(38)

18

oksigen reaktif dan nitrite menyebabkan toksisitas pada kebanyakan

organ (Indika & Buckley, 2011).

Paraquat merupakan bahan reduksi alternatif dan reoksidasi berulang

akan menyebabkan terbentuknya oksigen free radicals, seperti

superoksida, hidrogen peroksida, dan hidroksil radikal, yang

menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap lemak, protein dan DNA.

Siklus redoks juga menyebabkan berkurangnya jumlah NADPH dan

Thiol intraseluler (Indika & Buckley, 2011). Paraquat akan

menyebabkan peningkatan reaksi oksidasi di dalam tubuh dengan cara

dimetabolisme oleh berbagai enzim seperti Nikotinamideadenine

dinukleotide phosphate oxidase (NADPH) sehingga akan meningkatkan

ROS (Haliwell & Whiteman, 2004).

Paparan herbisida golongan paraquat diklorida berpengaruh ke

organ-organ tubuh seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, otot, limpa, kulit,

mata dan otak. Paru-paru merupakan target primer dari toksisitas

paraquat baik akut dan kronik. Pada paru-paru akan terjadi edema paru

akut, yang akan menyebabkan gangguan pertukaran gas sehingga

proliferasi jaringan ikat fibrosa semakin progresif di alveoli dan

menyebabkan asfiksia dan anoxia jaringan. Pada kulit, paraquat

menyebabkan kerusakan kulit lokal termasuk dermatitis kontak yang

(39)

19

Traktus gastrointestinal merupakan tempat awal kerusakan yang

ditandai mukosa edema, ulserasi pada mulut, faring, esofagus dan

lambung. Paraquat juga menyebabkan kerusakan hepatoseluler,

peningkatan bilirubin dan enzim hepatoseluler. Otak merupakan organ

yang sangat vital, karena di otak terdapat sistem saraf pusat yang

apabila terjadi gangguan pada otak bisa memicu munculnya berbagai

penyakit misalnya, alzheimer dan sindrom parkinson. Pada organ ginjal

didapatkan kerusakan pada tubulus ginjal. Gangguan fungsi ginjal

memainkan peranan penting untuk menentukan outcome dari keracunan

paraquat (Ginting et al., 2012).

Setiap obat atau racun yang masuk dalam tubuh akan mengalami

absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Ginjal merupakan organ

ekskresi utama. Ekskresi di ginjal dapat berefek samping baik karena

toksik, obat atau konsentrasi tinggi zat yang potensial dapat merusak,

menyebabkan nekrosis tubuler akut (NTA), nefritis intersisial akibat

obat dan glomerulonefritis membranosa (Dharma, 2006).

Pemberian formulasi pestisida menyebabkan perubahan histopatologi

pada ginjal baik pada glomerulus, tubulus maupun interstisiumnya.

Perubahan yang ditemukan pada glomerulus adalah edema ruang

Bowman. Pada tubulus terjadi degenerasi, apoptosis, endapan protein

pada lumen dan dilatasi lumen tubulus. Kongesti adalah perubahan

(40)

20

2.2 Ginjal

2.2.1 Anatomi Ginjal

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di daerah lumbal, di

sebelah kanan dan kiri tulang belakang dibungkus lapisan lemak,

dibelakang peritonium (Price & Wilson, 2012). Kedua ginjal terletak

retroperitoneal pada dinding abdomen, masing-masing disisi dekstra

dan sinistra columna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai L3.

Ginjal dekstra terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal sinistra

karena besarnya lobus hepatis dekstra. Masing-masing ginjal memiliki

facies anterior dan facies poserior, margo medialis dan margo lateralis,

extremitas superior dan extremitas inferior (Moore, 2002).

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm,

lebarnya 6 cm, tebalnya 2,5 cm dan beratnya sekitar 150 gram.

Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. (Price &

Wilson, 2012). Sisi medial ginjal berbentuk cekung dan sisi lateralnya

cembung. Sisi cekung medial ginjal atau disebut hilum merupakan

tempat masuknya saraf, keluar masuknya pembuluh darah dan

pembuluh limfa, serta keluarnya ureter (Junqueira & Carneiro, 2007).

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan

cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena

dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava

(41)

21

mempunyai anastomosis dengan cabang–cabang dari arteri lain,

sehingga jika terdapat kerusakan salah satu cabang arteri ini, berakibat

timbulnya iskemia atau nekrosis pada daerah yang dilayaninya

(Purnomo, 2012).

Aliran darah di dalam kedua ginjal seorang dewasa berjumlah 1,2−1,3L

darah permenit. Hal ini berarti bahwa seluruh darah yang beredar dalam

tubuh mengalir melalui ginjal setiap 4−5 menit. Glomerulus terdiri atas

kapiler arteri dengan tekanan hidrostastik lebih kurang 45 mmHg yang

lebih tinggi dari tekanan hidrostatik kapiler lain di tubuh (Junqueira &

Carneiro, 2007).

2.2.2 Histologi Ginjal

Unit fungsional setiap ginjal yaitu tubulus uriniferus mikroskopik.

Tubulus ini terdiri dari nefron dan duktus koligentes yang menampung

curahan dari nefron. Jutaan nefron terdapat di setiap korteks ginjal.

selanjutnya, nefron terbagi lagi menjadi dua komponen yaitu

korpuskulum ginjal dan tubulus ginjal. Korpuskulum ginjal terdiri dari

suatu kumpulan yang disebut glomerulus yang dikelilingi oleh dua lapis

sel epitel, yaitu kapsul glomerulus (Bowman). Ada dua lapisan dalam

korpuskulum ginjal yaitu lapisan dalam atau stratum viseral yang

teridiri dari sel epitel khusus disebut podosit dan lapisan luar atau

(42)

22

Korpuskulum ginjal menyaring darah melalui kapiler-kapiler di

glomerulus dan filtrat masuk ke stratum kapsulare yang terletak

diantara stratum parietal dan stratum viseral. Filtrasi darah di

korpuskulum ginjal difasilitasi oleh endotel glomerulus. Endotel di

kapiler glomerulus ini berfenestra dan sangat permeabel terhadap

banyak substansi di dalam darah, kecuali elemen darah yang terbentuk

atau protein plasma. Oleh karena itu, filtrat glomerulus yang masuk ke

spatium kapsulare bukanlah urin, melainkan ultrafiltrat yang mirip

dengan plasma, kecuali tidak mengandung protein (Eroschenko, 2010).

Secara histopatologi, gambaran glomerulus ginjal normal manusia

terlihat pada gambar 3.

Gambar 3. Histologi glomerulus ginjal normal manusia (Sumber: Kuehnel, 2003).

Keterangan: 1. Kapsular Bowman, 2. Spatium Bowman, 3. Arteriol

glomerulus aferen, 4. Tubulus distal, 5. Makula densa, 6. Polus urinarius.

Pada kutub urinarius di korpuskel renalis, epitel gepeng di lapisan

parietal kapsula bowman berhubungan langsung dengan epitel tubulus

kontortus proksimal yang berbentuk kuboid atau silindris rendah. 1 3 2

5 4

(43)

23

Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontortus distal dan karenanya

tampak lebih banyak di dekat korpuskel ginjal dalam korteks ginjal. Sel−sel epitel kuboid ini memiliki sitoplasma asidofilik yang

disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam jumlah besar.

Apeks sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang kira-kira 1 µm

yang membentuk suatu brush border (Junquiera & Carneiro, 2007).

Secara histopatologi, gambaran tubulus ginjal normal manusia terlihat

pada gambar 4.

Gambar 4. Histologi tubulus ginjal normal manusia (Sumber: Kuehnel, 2003).

Keterangan: 1. Tubulus proximal, 2. Tubulus distal, 3. Pembuluh darah

Filtrat glomerulus keluar dari korpuskulum ginjal di polus urinarius dan

mengalir melalui berbagai bagian nefron sebelum sampai tubulus ginjal

yaitu tubulus koligens dan duktus koligens. Filtrat glomerulus

mula-mula masuk ke tubulus ginjal, yang terbentang dari kapsul glomerulus

sampai tubulus koligens. Tubulus ginjal ini memiliki beberapa bagian

histologik dan fungsional yang berbeda. Bagian tubulus yang berawal 3

1

(44)

24

di korpuskulum ginjal sangat berkelok atau melengkung sehingga

disebut tubulus kontortus proksimal (Eroschenko, 2010).

Tubulus kontortus proksimal mengabsorpsi seluruh glukosa dan asam

amino dan lebih kurang 85% natrium klorida dan air dari filrat, selain

fosfat dan kalsium. Selain aktivitas tersebut, tubulus kontortus

proksimal menyekresikan kreatinin dan subsatansi asing bagi

organisme, seperti asam para aminohippurat dan penisilin, dari plasma

interstitial ke dalam filtrat. Hal tersebut merupakan suatu proses aktif

yang disebut sekresi tubulus (Junquiera & Carneiro, 2007).

Sel epitel tubulus proksimal sangat peka terhadap anoksia dan rentan

terhadap toksik. Banyak faktor yang memudahkan tubulus mengalami

toksik, seperti permukaan bermuatan listrik yang luas untuk reabsorbsi

tubulus, sistem transport aktif untuk ion dan asam organik serta

kemampuan melakukan pemekatan secara efektif. Iskemia

menyebabkan banyak perubahan struktural di sel epitel. Hilangnya

polaritas sel tampaknya merupakan kejadian awal yang penting secara

fungsional atau reversibel (Robbins et al., 2011).

Tubulus kontortus distal tidak memiliki brush border, tidak ada

kanalikuli apikal, dan ukuran sel yang lebih kecil. Tubulus ini

mengadakan kontak dengan kutub vaskular di korpuskel ginjal yang

(45)

25

mengalami modifikasi, seperti halnya dengan arteriol aferennya. Di

daerah jukstaglomerulus ini, sel-sel tubulus kontortus distal biasanya

menjadi silindris dan intinya berhimpitan. Kebanyakan selnya memiliki

kompleks Golgi di bagian basal. Dinding segmen tubulus distal yang

termodifikasi ini, yang tampak lebih gelap pada sediaan mikroskopik

karena rapatnya inti, disebut makula densa (Junqueira & Carneiro,

2007).

Fungsi utama aparatus jukstaglomerulus adalah mempertahankan

tekanan darah yang sesuai di ginjal untuk filtrasi glomerulus. Sel di

aparatus ini bekerja sebagai baroreseptor dan kemoreseptor. Sel

jukstaglomerulus memantau perubahan tekanan darah sistemik dengan

berespon terhadap peregangan dinding arteriol aferen. Sel-sel makula

densa peka terhadap perubahan konsentrasi natrium klorida. Penurunan

tekanan darah menyebabkan jumlah filtrat glomerulus berkurang dan

akibatnya, konsentrasi ion natrium di filtrat berkurang sewaktu filtrat

melewati makula densa di tubulus kontortus distal. Penurunan tekanan

darah sistemik atau penurunan konsentrasi natrium dalam filtrat

merangsang sel jukstaglomerulus untuk melepaskan enzim renin ke

dalam aliran darah (Eroschenko, 2010).

Urin mengalir dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligentes, yang

saling bergabung membentuk duktus koligentes yang lebih besar dan

(46)

26

kuboid. Di sepanjang perjalanannya, tubulus dan duktus koligentes

terdiri atas sel–sel yang tampak pucat dengan pulasan biasa. Epitel

duktus koligentes responsif terhadap vasopresin arginin atau hormon

antidiuretik, yang disekresi hipofisis posterior. Jika masukan air

terbatas, hormon antidiuretik disekresi dan epitel duktus koligentes

mudah dilalui air yang diabsorbsi dari filtrat glomerulus. Air berpindah

ke kapiler darah sehingga air dipertahankan dalam tubuh (Junquiera &

Carneiro, 2007).

2.2.3 Fisiologi Ginjal

Ginjal melakukan berbagai fungsi yang ditujukan untuk

mempertahankan homeostasis. Ginjal bekerja sama dengan masukan

hormonal dan saraf yang mengrontrol fungsinya. Ginjal merupakan

organ yang terutama berperan dalam mempertahankan stabilitas

volume, komposisi elektrolit dan osmolaritas/konsentrasi zat terlarut

cairan ekstra seluler. Dengan menyesuaikan jumlah air dan berbagai

konstituen plasma yang dipertahankan ditubuh atau dikeluarkan di urin,

ginjal dapat mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit dalam

kisaran yang sangat sempit yang memungkinkan kehidupan, meskipun pemasukan dan pengeluaran konstituen−konstituen ini melalui saluran

(47)

27

Price & Wilson (2012) menjelaskan secara singkat fungsi utama ginjal

yaitu:

Fungsi Eksresi:

1) Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mili Osmol

dengan mengubah-ubah ekresi air.

2) Mempertahankan volume ekstracellular fluid (ECF) dan tekanan

darah dengan mengubah-ubah ekresi natrium.

3) Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit

individu dalam rentang normal.

4) Mempertahankan derajat keasaman atau pH plasma sekitar 7,4

dengan mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali

karbonat.

5) Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein

terutama urea, asam urat dan kreatinin.

6) Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.

Fungsi non eksresi:

Menyintesis dan mengaktifkan hormon :

1) Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah

2) Eritropoietin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum

tulang

3) 1,25-dihidroksivitamin D3 sebagai hidroksilasi akhir vitamin D3

(48)

28

4) Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator bekerja secara

lokal dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.

5) Degradasi hormon polipeptida

6) Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan,

ADH dan hormon gastrointestinal yaitu gastrin, polipetida

intestinal vasoaktif.

Ginjal adalah organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme

yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk ini meliputi urea

dari sisa metabolisme asam amino, kreatinin asam urat dari asam

nukleat, produk akhir dari pemecahan hemoglobin yaitu bilirubin.

Gangguan pada fungsi ginjal dapat diketahui melalui pengukuran

beberapa bahan-bahan hasil metabolisme diantaranya adalah ureum dan

kreatinin (Guyton & Hall, 2008).

2.2.4 Patologi Ginjal

Ginjal menerima darah sebesar 20%−25% dari curah jantung melalui

arteri renalis. Tingginya aliran darah yang menuju ginjal inilah yang

menyebabkan berbagai macam obat, bahan kimia, dan logam−logam

berat dalam sirkulasi sistemik dikirim ke ginjal dalam jumlah yang

besar. Zat-zat toksik ini akan terakumulasi di ginjal dan menyebabkan

kerusakan bagi ginjal itu sendiri (Schnellman & Goldstein, 2001).

Ginjal memiliki kemampuan untuk mengkonsentrasikan larutan dan

(49)

29

yang disebabkan bahan-bahan kimia berbahaya yang ada di dalam

sirkulasi darah (Susianti, 2013). Pada keadaan normal glomerulus tidak

dapat dilalui oleh protein yang bermolekul besar, tetapi pada keadaan

patologis protein tersebut dapat lolos (Junquiera & Carneiro, 2007).

Setiap ginjal memiliki kira-kira satu sampai satu setengah juta nefron.

Bila terjadi kerusakan pada ginjal tersebut, maka akan terjadi gangguan

eksresi ginjal yang menyebabkan perubahan fungsi dan perubahan

struktur yang meliputi reaksi inflamasi, degenerasi, nekrosis dan

fibrosis. Tubulus proksimal yang rusak akibat iskemia atau nefrotoksik,

gagal untuk menyerap jumlah natrium dan air yang terfiltrasi.

Akibatnya makula densa mendeteksi adanya kadar natrium di tubulus

distal dan merangsang peningkatan produksi renin dari sel−sel

jukstaglomerolus. Terjadi aktivasi angiotensin II yang menyebabkan

vasokonstriksi arteriol afferen, mengakibatkan penurunan aliran darah

ginjal dan laju filtrasi glomerulus (Dharma, 2006).

2.3 Radikal Bebas dan Stres Oksidatif 2.3.1 Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan spesies kimiawi dengan satu elektron tak

berpasangan di orbital luar. Keadaan kimiawi tersebut sangat tidak

stabil dan mudah bereaksi dengan zat kimia anorganik atau organik,

saat dibentuk dalam sel, radikal bebas segera menyerang dan

(50)

30

itu, radikal bebas menginisiasi reaksi autokatalitik. Sebaliknya, molekul

yang bereaksi dengan radikal bebas diubah menjadi radikal bebas,

semakin memperbanyak rantai kerusakan (Robbins et al., 2011).

Tiga reaksi yang paling relevan dengan jejas sel yang diperantarai

radikal bebas:

1) Peroksidasi membran lipid

Ikatan ganda pada lemak tak jenuh membran mudah terkena

serangan radikal bebas berasal dari oksigen. Interaksi radikal lemak

menghasilkan peroksida yang tidak stabil dan reaktif sehingga terjadi

reaksi rantai autokatalitik.

2) Fragmentasi DNA

Reaksi radikal bebas dengan timin pada DNA mitokondria dan

nuklear menimbulkan kerusakan untai tunggal. Kerusakan DNA

tersebut telah memberikan implikasi pada pembunuhan sel dan

perubahan sel menjadi ganas.

3) Ikatan silang protein

Radikal bebas mencetuskan ikatan silang protein diperantarai

sulfhidril, menyebabkan peningkatan kecepatan degradasi atau

hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi radikal bebas juga bisa secara

langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida (Robbins et al,

(51)

31

Reactive Oxygen Species adalah senyawa yang mengandung O2,

termasuk ke dalam radikal bebas yang sangat reaktif atau senyawa yang

siap dikonversi menjadi radikal bebas O2 dalam sel. Radikal hidroksil

mungkin adalah ROS yang paling poten. ROS terbentuk di sel secara

konstan, sekitar 3%−5% O2 yang dikonsumsi dikonversi menjadi

radikal bebas O2. Sumber utama produksi ROS dalam sel adalah

mitokondria karena sekitar 80%−90% O2 yang masuk digunakan oleh

mitokondria untuk membentuk ROS (Wu & Cederbaum, 2004).

Reactive Oxygen Species terbentuk di hati dan akan masuk kedalam

sirkulasi darah sistemik yang dapat merusak struktur sel-sel jaringan

yaitu jaringan otak, paru-paru, jantung dan ginjal. ROS yang dihasilkan

akan terakumulasi dalam tubuh dan bersifat sebagai radikal bebas dan

dapat menimbulkan kerusakan sel, termasuk sel ginjal (Muhartono et

al., 2012)

Selain ROS yang terbentuk secara alami dalam tubuh, manusia secara

konstan terpapar radikal bebas dari lingkungan dalam bentuk radiasi.

Sinar ultra violet, asap rokok, pestisida, dan beberapa obat kanker

adalah contoh radikal bebas dari lingkungan (Wu & Cederbaum, 2004).

(52)

32

Gambar 5. Pembentukan radikal bebas (Sumber: Robbins et al., 2011)

2.3.2 Stres Oksidatif

Keadaan dimana terjadi gangguan keseimbangan antara produksi ROS

dan pembuangan ROS disebut stres oksidatif (Wu & Cederbaum,

2004). Pada kondisi stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan

terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi

membran sel. Membran sel ini sangat penting bagi fungsi reseptor dan

fungsi enzim, sehingga terjadinya peroksidasi lipid membran sel oleh

radikal bebas dapat mengakibatkan hilangnya fungsi seluler secara total

(53)

33

2.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley 2.4.1 Klasifikasi Tikus Putih

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentai

Subordo : Sciurognathi

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus (Setiorini, 2012).

2.4.2 Jenis Tikus Putih

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan sering

digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian,

dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas

mamalia, sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi,

metabolisme biokimianya, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran

darah dan ekskresi menyerupai manusia. Tikus yang digunakan dalam

penelitian adalah galur Sprague dawley berjenis kelamin jantan

berumur kurang lebih 3 bulan. Tikus Sprague dawley dengan jenis

kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat

berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan

akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil

(54)

34

Tikus putih (Rattus norvegicus) juga memiliki beberapa sifat

menguntungkan seperti berkembang biak, mudah dipelihara dalam

jumlah banyak, lebih tenang dan ukurannya lebih besar daripada

mencit. Tikus putih juga memiliki ciri−ciri yaitu albino, kepala kecil

dan ekor lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhan cepat,

tempramen baik, kemampuan laktasinya tinggi dan tahan terhadap

perlakuan. Keuntungan utama tikus putih (Rattus norvegicus) galur

Sprague dawley adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya

(Kesenja, 2005).

2.4.3 Biologi Tikus Putih

Di Indonesia hewan percobaan ini sering dinamakan tikus besar.

Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat

menjadi dewasa dan umumnya lebih mudah berkembang biak. Berat

badan tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan dengan berat tikus

liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35−40 gram dan

(55)

35

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, yaitu untuk mempelajari

suatu fenomena dalam korelasi sebab-akibat, dengan cara memberikan

perlakuan pada subjek penelitian kemudian mempelajari efek perlakuan

tersebut (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini menggunakan metode rancangan

acak terkontrol dengan pola post test-only control group design. Sebanyak 25

ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur

8−10 minggu yang dipilih secara acak dan dibagi menjadi 5 kelompok, dengan pengulangan sebanyak 5 kali.

3.2 Tempat dan Waktu

Perlakuan hewan coba pada penelitian ini akan dilaksanakan selama bulan

Oktober 2014 di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan pembuatan

serta pengamatan preparat dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi

(56)

36

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague dawley berumur 8−10 minggu yang diperoleh dari laboraturium Unit Kandang Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Bogor. Sampel penelitian sebanyak 25 ekor tikus putih jantan yang dipilih

secara acak yang dibagi menjadi 5 kelompok dengan pengulangan sebanyak 5

kali, sesuai dengan rumus Frederer.

Menurut Frederer (1967), rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental

adalah:

(t-1) (n-1)≥15

Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah

pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini menggunakan

5 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi:

(5-1)(n-1)≥15

4n-4≥15

4n≥19

n≥4,75

Jadi, sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 5 ekor

(57)

37

Kriteria Inklusi

a. Tikus putih galur Sprague dawley

b. Berjenis kelamin jantan

c. Berat badan sekitar 100−150 gram d. Berusia sekitar kurang lebih 8–10 minggu e. Tingkah laku dan aktivitas normal

f. Tidak ada kelainan anatomi yang tampak

g. Tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau botak, dan

bergerak aktif

Kriteria Eksklusi

a. Terdapat penampakan rambut kusam, rontok atau botak dan aktivitas

kurang atau tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata,

mulut, anus dan genital.

b. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di

laboraturium.

c. Mati selama masa pemberian perlakuan.

3.4 Bahan dan Alat Penelitian 3.4.1 Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan ada 1 yakni herbisida paraquat

diklorida dengan dosis yang diberikan secara berbeda disetiap

kelompoknya, yakni pada kelompok 2 dengan dosis 25 mg/kgBB,

(58)

38

dosis 100 mg/kgBB dan pada kelompok 5 dengan dosis 200

mg/kgBB.

3.4.2 Bahan Kimia

Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi

dengan metode paraffin meliputi larutan formalin 10% untuk fiksasi,

alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut, etanol, xilol, pewarna

Hematoksilin dan Eosin, dan Entelan.

3.4.3 Perangkat Penelitian 3.4.3.1 Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01g,

untuk menimbang berat tikus, spuit oral 1cc, 3cc dan 5cc,

sonde lambung, minor set untuk membedah perut tikus

(laparotomi), kandang tikus, mikroskop cahaya, gelas ukur

dan pengaduk, serta kamera digital.

3.4.3.2 Alat Pembuat Preparat Histopatologi

Alat pembuat preparat histopatologi yang digunakan yaitu

object glass, deck glass, tissue cassette, rotarymicrotome,

oven, water bath, platening table, autochnicom processor,

staining jar, staining rak, kertas saring, histoplast dan

(59)

39

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Prosedur Pemberian Dosis Herbisida Paraquat Diklorida

Dosis herbisida paraquat diklorida yang digunakan pada ekperimen

ini adalah 25 mg/kgBB untuk kelompok 2, 50 mg/kgBB untuk

kelompok 3, 100 mg/kgBB untuk kelompok 4, dan 200 mg/kgBB untuk

kelompok 5. Kelompok 1 merupakan kelompok kontrol negatif

sehingga tidak diberikan herbisida paraquat diklorida per-oral.

Herbisida paraquat diklorida yang digunakan pada penelitian ini adalah

herbisida dalam bentuk cair. Dosis herbisida cair yang digunakan

adalah 276 SL atau sama dengan 276 mg/ml yang akan dilarutkan

dengan air sesuai dengan dosis masing-masing kelompok sehingga

mendapatkan jumlah sebanyak 1 ml. Berat rata-rata tikus putih jantan

yang digunakan sebagai hewan coba pada eksperimen ini adalah 100 gram

atau 0,1 kg sehingga didapatkan dosis herbisida paraquat diklorida untuk

(60)

40

1) Dosis untuk tiap tikus kelompok 2

Dosis tikus (100 g) = 25 mg/kgBB x 0,1 kg

= 2,5 mg/100gBB

Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 2,5 mg/100gBB

1 ml x

x = 2,5 mg/100gBB 276 mg

x = 0,009 ml dibulatkan menjadi 0,01 ml

Dosis herbisida paraquat diklorida yang diberikan per-oral adalah

0,01 ml herbisida paraquat diklorida + 0,99 ml air = 1 ml

2) Dosis untuk tiap tikus kelompok 3

Dosis tikus (100 g) = 50 mg/kgBB x 0,1 kg

= 5 mg/100gBB

Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 5 mg/100gBB

1 ml x x = 5 mg/100gBB

276 mg

x = 0,0018 ml dibulatkan menjadi 0,02 ml

Dosis herbisida paraquat diklorida yang diberikan per-oral adalah

(61)

41

3) Dosis untuk tiap tikus kelompok 4

Dosis tikus (100 g) = 100 mg/kgBB x 0,1 kg

= 10 mg/100gBB

Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 10 mg/100gBB

1 ml x

x = 10 mg/100gBB 276 mg

x = 0,036 ml dibulatkan menjadi 0,04 ml

Dosis herbisida paraquat diklorida yang diberikan per-oral adalah

0,04 ml herbisida paraquat diklorida + 0,96 ml air = 1 ml

4) Dosis untuk tiap tikus kelompok 5

Dosis tikus (200 g) = 200 mg/kgBB x 0,1 kg

= 20 mg/100gBB

Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 20 mg/100gBB

1 ml x

x = 20 mg/100gBB 276 mg

x = 0,072 ml dibulatkan menjadi 0,07 ml

Dosis herbisida paraquat diklorida yang diberikan per-oral adalah

(62)

42

Jadi, dosis toksik minimal herbisida paraquat dikloridayang diberikan

per−oral pada penelitian ini adalah 0,01 ml.

3.5.2 Prosedur Penelitian

a. Tikus sebanyak 25 ekor, dikelompokkan dalam 5 kelompok.

Kelompok 1 (K1) sebagai kontrol negatif, hanya diberi aquadest.

Kelompok 2 (K2) sebagai kontrol patologis, diberikan herbisida

paraquat diklorida dengan dosis 2,5 mg/100gBB, kemudian untuk

kelompok 3 (K3), diberi herbisida paraquat diklorida dengan dosis 5

mg/100gBB, untuk kelompok 4 (K4) diberi dosis 10 mg/100gBB

dan kelompok 5 (K5) diberi dosis 20 mg/100gBB. Pemberian

herbisida paraquat diklorida diberikan secara per−oral selama 2 hari. b. Selanjutnya tikus dilakukan anastesi kemudian didekapitasi dan

dilakukan pembedahan.

c. Dilakukan laparotomi untuk mengambil organ ginjal, setelah itu

bangkai tikus dimusnahkan dengan cara pembakaran ditempat

khusus.

d. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan metode paraffin dan

pewarnaan Hematoksilin Eosin.

e. Sampel ginjal difiksasi dengan formalin 10%.

f. Teknik pembuatan preparat :

1) Fixation

a) Memfiksasi spesimen berupa potongan organ ginjal yang telah

(63)

43

b) Mencuci dengan air mengalir.

2) Trimming

a) Mengecilkan organ ±3 mm.

b) Memasukkan potongan organ ginjal tersebut ke dalam

embedding cassette.

3) Dehidrasi

a) Menuntaskan air dengan meletakkan embedding cassette pada

kertas tisu.

b) Berturut-turut melakukan perendaman organ ginjal dalam

alkohol bertingkat 70%, 96%, alkohol absolut I, II, III

masing-masing selama 1 jam.

c) Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan

xilol I, II, III masing-masing selama 30 menit.

4) Impregnasi

Impregnasi dengan menggunakan paraffin I dan II masing-masing

selama 1 jam di dalam inkubator dengan suhu 65,10C. 5) Embedding

a) Menuangkan paraffin cair dalam pan.

b) Memindahkan satu persatu dari embedding cassette ke dasar

pan.

c) Melepaskan paraffin yang berisi potongan ginjal dari pan

(64)

44

d) Memotong paraffin sesuai dengan letak jaringan yang ada

dengan menggunakan scalpel/pisau hangat.

e) Meletakkan pada balok kayu, ratakan pinggirnya dan buat

ujungnya sedikit meruncing.

f) Memblok paraffin siap dipotong dengan mikrotom.

6) Cutting

a) Sebelum memotong, mendinginkan blok terlebih dahulu.

b) Melakukan pemotongan kasar, dilanjutkan dengan pemotongan

halus dengan ketebalan 45 mikron.

c) Memilih lembaran potongan yang paling baik, mengapungkan

pada air dan menghilangkan kerutannya dengan cara menekan

salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum

dan sisi yang lain ditarik menggunakan kuas runcing.

d) Memindahkan lembaran jaringan ke dalam water bath selama

beberapa detik sampai mengembang sempurna.

e) Dengan gerakan menyendok mengambil lembaran jaringan

tersebut dengan slide bersih dan menempatkan di tengah atau

pada sepertiga atas atau bawah, mencegah jangan sampai ada

gelembung udara di bawah jaringan.

f) Mengeringkan slide. Jika sudah kering, slide dipanaskan untuk

merekatkan jaringan dan sisa paraffin mencair sebelum

pewarnaan.

(65)

45

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, memilih slide

yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke

dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut:

Untuk pewarnaan, zat kimia yang pertama digunakan xilol I,

II, III masing-masing selama 5 menit. Kedua, zat kimia yang

digunakan Alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 5

menit. Zat kimia yang ketiga aquadest selama 1 menit.

Keempat, potongan organ di masukkan dalam zat warna

Harris Hematoxylin selama 20 menit. Kemudian memasukkan

potongan organ dalam Eosin selama 2 menit. Secara berurutan

memasukkan potongan organ dalam alkohol 96% selama 2

menit, alkohol 96%, alkohol absolut III dan IV masing-masing

selama 3 menit. Terakhir, memasukkan dalam xilol IV dan V

masing-masing 5 menit.

7) Mounting

Setelah pewarnaan selesai menempatkan slide di atas kertas tisu

pada tempat datar, menetesi dengan bahan mounting yaitu kanada

balsam dan tutup dengan cover glass cegah jangan sampai

terbentuk gelembung udara.

8) Pemeriksaan mikroskopis ginjal

Slide diperiksa dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran

10x dan 40x. Pengamatan dilakukan oleh peneliti dan

Gambar

Gambar
Gambar 1. Kerangka Teori
 Kelompok 2   diklorida dosis per-gambaran
Gambar 3. Histologi glomerulus ginjal normal manusia (Sumber:   Kuehnel, 2003).
+5

Referensi

Dokumen terkait

The previous discussion of housing and accommodation takes us onto the more general issue of changing welfare mix and intergenerational support relations in the context of social

[r]

Penelitian ini metode yang digunakan adalah metode pendekatan yang bersifat yuridis normatif, dengan data primer didapatkan berdasarkan hasil dari wawancara kepala

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan analisis regresi berganda diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara layanan bimbingan konseling dan kemandirian

Penelitian yang dilakukan yaitu berupa survei volume lalu lintas (LHR) untuk melihat tingkat kepadatan kendaraan, kemudian survei kecepatan kendaraan dan survey

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chayati (2011) bahwa variasi pencampuran ubi jalar kuning pada pembuatan roti manis mempengaruhi tingk at kesukaan serta

Atas perjuangan dan kerja keras para pemimpin nasional tersebut, disertai dukungan sepenuh hati dari seluruh rakyat Indonesia, hari ini di saat kita memperingati