• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

(Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

Oleh

Florensia Evindonta Bangun

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pembelajaran Socrates Kontekstual ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII SMP Negeri 22 Bandarlampung. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen dengan menggunakan desain one group pretest-posttest. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 22 Bandar Lampung semester genap tahun pelajaran 2014/2015 yang terdistribusi dalam sebelas kelas. Dengan teknik purposive sampling terpilih kelas VII D sebagai sampel penelitian. Data penelitian diperoleh dari tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Analisis data yang digunakan adalah uji kesamaan dua rata-rata observasi berpasangan dan uji proporsi. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Socrates Kontekstual di kelas VII SMP Negeri 22 Bandarlampung tidak efektif jika ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa.

(2)

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

(Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

Oleh

Florensia Evindonta Bangun

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Matematika

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(3)

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

(Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

(Skripsi)

Oleh

FLORENSIA EVINDONTA BANGUN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran ... 9

B. Metode Socrates ... 11

C. Pendekatan Kontekstual ... 17

D. Kemampuan Berpikir Kritis ... 28

E. Kerangka Pikir ... 32

F. Anggapan Dasar dan Hipotesis ... 34

1. Anggapan Dasar ... 34

2. Hipotesis ... 34

III. METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel ... 35

B. Desain Penelitian ... 36

C. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 37

D. Data Penelitian ... 38

(5)

vi

1. Validitas Instrumen ... 42

2. Reliabilitas Instrumen ... 45

2. Tingkat Kesukaran ... 45

3. Daya Pembeda ... 47

G. Teknik Analisis Data ... 48

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 52

1. Data Kemampuan Berpikir Kritis Siswa ... 52

2. Pengujian Hipotesis ... 54

B. Pembahasan ... 56

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 63

B. Saran ... 63

(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A. Perangkat Pembelajaran

A.1 Silabus Pembelajaran ... 71

A.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 75

B. Perangkat Tes B.1 Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Awal dan Akhir ... 139

B.2 Naskah Soal Tes Kemampuan Awal dan Akhir ... 142

B.3 Kunci Jawaban Soal-Soal Tes Kemampuan Awal dan Akhir ... 148

B.4 Form Penilaian Validitas Isi Tes Kemampuan Awal dan Akhir.. 157

C. Analisis Data C.1 Analisis Hasil Uji Coba Instrumen ... 161

C.2 Validitas Butir Soal ... 163

C.3 Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran ... 164

C.4 Data Skor Kemampuan Awal dan Akhir Siswa ... 165

C.5 Analisis Indikator Skor Kemampuan Awal Berpikir Kritis Siswa ... 166

C.6 Analisis Indikator Skor Kemampuan Akhir Berpikir Kritis Siswa ... 168

C.7 Uji Normalitas Data Kemampuan Awal Kemampuan Berpikir Kritis Siswa ... 170

C.8 Uji Normalitas Data Kemampuan Akhir Kemampuan Berpikir Kritis Siswa ... 172

(7)

x

D.1 Surat Izin Penelitian Pendahuluan ... 180

D.2 Surat Keterangan Penelitian Pendahuluan ... 181

D.3 Surat Izin Penelitian ... 182

D.4 Surat Keterangan Penelitian ... 183

D.5 Daftar Hadir Seminar Proposal ... 184

D.6 Daftar Hadir Seminar Hasil ... 186

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Jenis-Jenis Pertanyaan Socrates dan Kaitannya dengan Kemampuan

Berpikir Kritis ... 13

3.1 One Group Pretest-Posttest Design ... 36

3.2 Pedoman Penskoran Tes Berpikir Kritis ... 41

3.3 Kriteria Validitas Instrumen Tes ... 44

3.4 Hasil Uji dan Interpretasi Validitas Instrumen Tes ... 44

3.5 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran ... 46

3.6 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran pada Instrumen Tes ... 46

3.7 Interprestasi Nilai Daya Pembeda ... 47

3.8 Interpretasi Nilai Daya Pembeda pada Instrumen Tes ... 48

3.9 Nilai D untuk Distribusi Data Skor Kemampuan Awal dan Akhir ... 49

4.1 Skor Tertinggi, Skor Terendah, Rata-Rata Skor, dan Simpangan Baku Data Skor Kemampuan Awal dan Akhir ... 52

(9)
(10)
(11)

Motto

Hidup itu mudah atau susah, senang atau sedih,

sederhana atau rumit

Tergantung mata siapa yang melihat

Tergantung kaki siapa yang melangkah

Tergantung tangan siapa yang mengerjakan

(12)
(13)

Persembahan

Dengan mengucap syukur kehadirat Allah yang Maha Kudus, kupersembahkan karya ini sebagai tanda cinta dan baktiku kepada :

Mamak dan Bapak tercinta

guru pertamaku yang tak pernah henti berdoa dan berusaha bagi kami, anak-anaknya, dan yang tak henti menaruh kepercayaan dan harapannya

di pundak kami

Adik-adikku tersayang: Paullo Bastan Kitta Bangun dan Fransiska Salsalina Bangun; dan Bolangku tersayang,

serta keluarga besarku

Para pendidik yang telah membawakan cahaya ilmu Sahabat-sahabat dengan suntikan semangatnya

dan

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, pada tanggal 28 Juni 1993. Penulis merupakan putri sulung dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Abadi Bangun dan Ibu Endang E. Sembiring.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Xaverius 3 Bandarlampung pada tahun 2005 dan menyelesaikan pendidikan menengah di SMP Xaverius 4 Bandarlampung pada tahun 2008, serta merupakan alumni dari SMA Negeri 5 Bandarlampung pada tahun kelulusan 2011. Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Penulis melaksanakan Kegiatan Kerja Nyata (KKN) di Pekon Biha, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat dan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA Negeri 1 Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat pada tahun 2014.

(15)
(16)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menye-lesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Efektivitas Pembelajaran Socrates

Kontekstual Ditinjau dari Kemampuan Berpikir Kritis Siswa (Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ibu Dr. Tina Yunarti, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I atas kesediaannya

memberikan bimbingan, ilmu yang berharga, saran, motivasi, dan kritik baik selama perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

2. Ibu Widyastuti, S.Pd. M.Pd., selaku Dosen pembimbing II atas kesediaannya memberikan bimbingan, ilmu yang berharga, saran, motivasi, dan kritik baik selama perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Ibu Dra. Rini Asnawati, M.Pd., selaku pembahas yang telah memberikan saran kepada penulis.

(17)

mahasiswa bimbingannya.

5. Bapak Dr. H. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lam- pung beserta staff dan jajarannya yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA Univer-sitas Lampung.

7. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan MIPA Universitas Lampung.

8. Bapak dan Ibu Dosen Pendidikan Matematika di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 9. Ibu Hj. Rita Ningsih, M.M., selaku Kepala SMP Negeri 22 Bandarlampung

yang telah memberikan izin dan bantuan selama penelitian.

10. Ibu Ningdyah, S.Pd., selaku guru mitra atas kesediaannya menjadi mitra dalam penelitian di SMP Negeri 22 Bandarlampung, serta murid-muridku yang telah memberikan bantuan dalam penelitian ini.

11. Keluargaku tercinta: bapak, mamak, bolang, dan adik-adikku atas semangat, kasih sayang, dan doa yang tak pernah berhenti mengalir.

12. Sahabat-sahabatku (Ade Irmayanti, Ayu Sekar Rini, Dwi Laila Sulistiowati, Siti Laelatul Chasanah, Yola Citra Luftianingtyas) dan kakakku (Komang Widre) yang telah memberikan bantuan, motivasi, serta keceriaan sehingga menciptakan masa-masa kuliah yang menyenangkan.

(18)

penelitian bersama-sama.

14. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Matematika 2011 kelas A serta teman-teman Pendidikan Matematika 2011 kelas B, yang bersama-sama telah saling belajar dan mengajarkan, menimba ilmu dan pengalaman, serta memberi kenangan di masa-masa perkuliahan.

15. Keluargaku di PSM Unila: Kak Rio (Sule), Kak Agus, Kak Astrel, Kak Evi, Kak Laura, Kak Agnes, Bang Ido, Kak Igo, Kak Uti, Kak Ditta, Kak Amel, Kak Ico, Kak Dini, Kak Rangga, Indri, Krida, Nala, Faisal, Kak Owi, Kak Deris, Nila, Santri, Wahyu, Yanti, Denis, Pepty, Clara, Bebi, Uci, Haya, Sleepy, Virandi, dan lainnya, atas segala pelajaran dan pengalaman dalam mengasah mental dan tekad.

16. Kakak tingkat 2008 sampai 2010 dan adik tingkat 2012 sampai 2014.

17. Keluarga KKN dan PPL Desa Pancajaya Mesuji: Cahyo, Abil, Dilla, Isra, Ebet, Dara, Eka, Ana, dan Dewi.

18. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga dengan bantuan dan dukungan yang diberikan mendapat balasan pahala di sisi Allah dan semoga skripsi ini bermanfaat. Amin.

Bandar Lampung, Juni 2015 Penulis,

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan suatu bangsa dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang berkualitas memberikan sumbangsih dalam memajukan bangsa melalui partisipasinya dalam berbagai sektor pembangunan. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia tak lepas dari pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Anshari (2012) yang menyebutkan bahwa pendidikan berkontribusi dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Kesadaran akan peran pendidikan bagi kemajuan bangsa terutama dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas telah dimiliki oleh para pendiri bangsa Indonesia. Kesadaran tersebut tampak dari salah satu tujuan nasional yang tertera dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu, “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Menyadari pentingnya pendidikan bagi

kemajuan bangsa, maka sejak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, banyak usaha nyata yang telah dilakukan oleh banyak pihak sehingga pendidikan di Indonesia pun terus berkembang ke arah yang lebih baik.

(20)

2 berkualitas. Salah satu kemampuan yang dimiliki oleh sumber daya manusia adalah kemampuan berpikir. Menurut Hasibuan (2009), satu dari dua kemampuan yang dimiliki oleh sumber daya manusia adalah daya pikir yang dimiliki individu, yang dapat dikembangkan melalui pendidikan. Dengan demikian, proses pembelajaran di sekolah, sebagai salah satu sarana pendidikan, pada hakekatnya juga adalah sarana dalam pengembangan kemampuan berpikir.

Salah satu mata pelajaran dalam proses pembelajaran di sekolah yang perlu diajarkan dalam rangka pengembangan kemampuan berpikir adalah mata pelajaran matematika. Berdasarkan standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah tentang mata pelajaran matematika (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi) disebutkan,

“Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan kerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.”

Hal ini sejalan dengan pendapat Sumarno (dalam Somakim, 2011) yang mengatakan bahwa hakekat pendidikan matematika memiliki dua arah pengembangan salah satunya adalah pengembangan kebutuhan di masa yang akan datang yaitu terbentuknya kemampuan berpikir nalar dan logis, sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka.

(21)

mudah mempelajari matematika karena persoalan-persoalan dalam matematika pada hakikatnya menuntut untuk berpikir kritis. Husnidar dan kawan-kawan (2014) menyatakan bahwa siswa yang berpikir kritis matematis akan cenderung memiliki sikap yang positif terhadap matematika, sehingga akan berusaha menalar dan mencari strategi penyelesaian masalah matematika.

Selain dibutuhkan dalam mempelajari matematika, kemampuan berpikir kritis juga dibutuhkan dalam berbagai pemecahan masalah. Haryani (2011) menyimpulkan bahwa indikator-indikator kemampuan berpikir kritis, yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, eksplanasi, dan regulasi diri, sangat diperlukan dalam langkah-langkah pemecahan masalah, yaitu memahami masalah, membuat rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali pemecahan masalah yang telah didapat. Sejalan dengan itu Yunarti (2014) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis dibutuhkan dalam menganalisis, mengevaluasi, dan mengambil kesimpulan yang tepat akan suatu masalahyang kompleks.

(22)

4 Shanghai-China. Rendahnya hasil survei ini menunjukkan bahwa siswa di Indonesia kurang mampu dalam memecahkan berbagai persoalan matematika yang membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya kemampuan berpikir kritis.

Kondisi serupa terjadi di SMP Negeri 22 Bandarlampung. Dari hasil wawancara awal dengan guru pengampu mata pelajaran matematika untuk kelas VII diketahui bahwa siswa kelas VII di sekolah tersebut tidak terbiasa menyelesaikan persoalan matematika tak rutin sehingga kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya berpikir kritis, tidak terasah dengan baik. Hasil analisis nilai siswa kelas VII pada Ulangan Tengah Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2014/2015 di SMP 22 Negeri Bandarlampung menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam mengerjakan persoalan matematika rutin pun masih berada pada kriteria cukup, dengan skor rata-rata yaitu 67,53. Selain itu, proses pembelajaran yang biasa berlangsung di SMP Negeri 22 Bandarlampung tidak mengedepankan pengembangan kemampuan berpikir kritis. Berdasarkan informasi-informasi tersebut mengindi-kasikan perlunya pembelajaran yang mengedepankan pengembangan kemampuan berpikir kritis bagi siswa kelas VII di SMP Negeri 22 Bandarlampung.

(23)

pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan yang di-harapkan. Dalam hal ini, dengan berlangsungnya pembelajaran yang efektif maka diharapkan kemampuan berpikir kritis siswa dapat berkembang secara optimal.

Cara yang dirasa efektif dan dapat diterapkan dalam pembelajaran yang bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah Pembelajaran Socrates Kontekstual. Pembelajaran Socrates Kontekstual merupakan suatu kolaborasi pembelajaran dengan menggunakan Metode Socrates dan Pendekatan Kontekstual. Menurut Ennis (dalam Rohaeti, 2012), Metode Socrates merupakan metode kritis dan dialektik karena melalui dialog-dialog pemikiran, sebagai usaha mengungkapkan suatu objek pembahasan menuju pada hakikat terdalamnya, orang dituntut untuk berpikir kritis dan hasil akhirnya juga bersikap kritis. Hasil penelitian Yunarti (2011) mengungkapkan kolaborasi antara Metode Socrates dan Pendekatan Kontekstual sangat efektif diterapkan di kelas terutama dalam mengembangkan disposisi berpikir kritis siswa. Selain itu, dalam dua penelitian lain yang dilakukan oleh Hakim (2014) dan Al Qhomairi (2014) pada siswa tingkat SMA diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis siswa setelah mengikuti Pembelajaran Socrates Kontekstual termasuk dalam kualifikasi sedang.

(24)

6 merupakan hasil yang diharapkan tercapai. Upaya ini diwujudkan dalam sebuah penelitian yang berjudul “Efektivitas Pembelajaran Socrates Kontekstual ditinjau dari Kemampuan Berpikir Kritis Siswa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang tertera pada latar belakang, maka dalam penelitian ini di-rumuskan suatu rumusan masalah yaitu “apakah Pembelajaran Socrates Kontekstual efektif jika ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa kelas VII di SMP Negeri 22 Bandarlampung?”. Dari rumusan masalah tersebut dijabarkan

pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. “Apakah kemampuan berpikir kritis siswa lebih baik setelah mengikuti Pembelajaran Socrates Kontekstual dibandingkan sebelum mengikuti Pembelajaran Socrates Kontekstual?”.

2. “Apakah proporsi siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik setelah mengikuti Pembelajaran Socrates Kontekstual adalah lebih dari 60% dari jumlah siswa?"

C. Tujuan Penelitian

(25)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi ke dalam dua kategori, yaitu sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Menambah dan melengkapi landasan teoritis dalam penelitian pembela- jaran dengan menggunakan metode Socrates dan dalam pembelajaran de-ngan pendekatan Kontekstual, atau yang disebut pembelajaran Socrates Kontekstual.

b. Menjadi suatu bahan rujukan bagi pengembangan penelitian pendidikan selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi sekolah, memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya mengadakan perbaikan mutu pembelajaran matematika.

b. Bagi guru, memberikan masukan mengenai Pembelajaran Socrates Kontekstual dan penerapannya dalam suatu pembelajaran yang mengedepankan pengembangan kemampuan berpikir kritis.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut.

(26)

8 dah mengikuti Pembelajaran Socrates Kontekstual.

2. Pembelajaran Socrates Kontekstual merupakan pembelajaran dengan meng- gunakan Metode Socrates dan Pendekatan Kontekstual.

a. Metode Socrates adalah metode yang memuat dialog atau diskusi yang dipimpin oleh guru melalui serangkaian pertanyaan tersusun untuk menguji validitas keyakinan siswa akan suatu objek dan membuat kesimpulan yang benar akan objek tersebut.

b. Pendekatan Kontekstual adalah pembelajaran yang menghubungkan antara materi pelajaran yang diajarkan dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya. Komponen utama Pendekatan Kontekstual yang digunakan dalam penelitian ini adalah konstruktivisme, bertanya, inkuiri, masyarakat belajar, pemodelan, dan refleksi.

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Efektivitas Pembelajaran

Efektivitas berasal dari kata dasar efektif. Efektif sendiri merupakan salah satu kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris “effective” yang memiliki arti

berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring, 2014) kata efektivitas dalam hubungannya dengan suatu usaha atau tindakan memiliki arti keberhasilan. Ensiklopedi Nasional Indonesia (dalam Khasanah, 2012) memaknai efektivitas yakni menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Dengan demikian, efektivitas bermakna keberhasilan dari suatu usaha atau pun tindakan terletak dari tercapainya tujuan yang melandasi usaha maupun tindakan tersebut.

Menurut Sujud (1990) (dalam Rakasiwi, 2012), efektivitas suatu program, dalam hal ini pembelajaran dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut.

a. Aspek tugas atau fungsi

Suatu pembelajaran akan efektif jika setiap komponen (dalam hal ini guru dan siswa) menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.

b. Aspek rencana program

(28)

10 lajaran yang telah disusun dapat dilaksanakan.

c. Aspek ketentuan dan aturan

Efektivitas suatu pembelajaran juga dapat dilihat dari berfungsi atau tidaknya aturan yang telah dibuat selama terjadinya pembelajaran dalam rangka menjaga keberlangsungan rencana pembelajaran yang telah direncanakan.

d. Aspek tujuan atau kondisi ideal

Suatu pembelajaran dikatakan efektif dari sudut hasil jika tujuan atau kondisi ideal pembelajaran tersebut telah tercapai, dalam hal ini terjadinya peningkatan kemampuan siswa setelah proses pembelajaran.

(29)

Dari uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran adalah ketepatgunaan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Dalam penelitian ini, suatu pembelajaran dikatakan efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa berdasarkan aspek hasil pembelajaran dengan mengacu pada: (1) kemampuan berpikir kritis siswa sesudah mengikuti Pembelajaran Socrates Kontekstual lebih baik dibandingkan sebelum mengikuti Pembelajaran Socrates Kontekstual; (2) proporsi siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik sesudah mengikuti Pembelajaran Socrates Kontekstual adalah lebih dari 60% dari jumlah siswa.

B. Metode Socrates

Socrates adalah seorang pemikir Yunani yang terkenal pada zamannya. Wikipedia Indonesia (2014) menyatakan, “Socrates (469 SM - 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat.” Socrates merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari

Yunani. Socrates merupakan guru dari Plato, dan kemudian Plato merupakan guru dari Aristoteles. Rekam jejak Socrates diketahui masyarakat melalui tulisan-tulisan muridnya, yaitu Plato.

(30)

12 Metode Socrates merupakan suatu metode yang dianggap sesuai dengan karakter dasar ilmu pengetahuan dan perkembangan kehidupan manusia. Maxwell dan Melete (dalam The Socratic Method Research Portal, 2014) menyatakan, “The heart of the Socratic method beats to the same rhythm as all scientific inquiry and human innovation.” Lanjutnya, hidup dalam keingintahuan dan menanyakan pertanyaan, mengajukan jawaban-jawaban yang sifatnya sementara, menguji kembali jawaban-jawaban kita, mengevaluasi hasil dari pengujian jawaban, dan melakukannya adalah pola dasar dari perkembangan manusia yang masih di-gunakan baik pada masa Yunani kuno ketika Socrates masih hidup sampai masa sekarang di abad ke-21 ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan Metode Socrates, yang sesuai dengan karakter dasar perkembangan manusia, dapat digunakan pada berbagai jaman dengan berbagai penyesuaian.

(31)

Sebagai suatu metode dialetika yang menekankan pada dialog dan pertanyaan, Permalink (dalam Yunarti, 2011) telah menyusun enam jenis pertanyaan Socrates dan kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Keenam jenis pertanyaan tersebut adalah pertanyaan klarifikasi, asumsi-asumsi penyelidikan, alasan-alasan dan bukti penyelidikan, titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, dan pertanyaan tentang pertanyaan.

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Pertanyan Socrates dan Kaitannya dengan Kemampuan Berpikir Kritis

Dapatkah anda mengambil cara lain? Dapatkah anda memberikan saya

(32)

14 Pada pembelajaran dengan menggunakan Metode Socrates, siswa dianggap telah memiliki pengetahuan awal yang cukup untuk mengonfirmasi jawaban atas suatu permasalahan yang diberikan. Melalui jenis-jenis pertanyaan Socrates, siswa dibimbing untuk menggali dan menganalisis sendiri pemahamannya sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan nilai kebenaran jawaban yang ia utarakan serta mengonfirmasi pengetahuan yang ia miliki. Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan Socrates yang kritis serta diajukan secara sistematis dan logis mampu mengeksplor seluruh kemampuan berpikir kritis siswa untuk mendapatkan hakikat kebenaran suatu objek.

Maxwell (dalam The Socratic Method Research Portal, 2014) mengemukakan bekerjanya Metode Socrates untuk kemampuan berpikir kritis meliputi dua daerah dampak. Maxwell menamainya The Safety Factor dan The Preference Factor. 1. The Safety Factor (Faktor Keselamatan)

Prinsip dasar dari Metode Socrates adalah memungkinkan siswa memiliki rasa percaya diri dengan pengalaman bertanya mengenai segala sesuatu, termasuk ide-ide dan keyakinannya sendiri. Siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis tanpa kemampuan bertanya. Siswa yang takut bertanya seringkali tidak akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Untuk itu faktor „keselamatan atau keamanan‟ siswa harus menjadi perhatian guru. Ketika menjawab atau

(33)

2. The Preference Factor (Factor yang Lebih Disukai)

Berpikir kritis bukanlah suatu keterampilan yang secara personal dapat diterapkan untuk segala hal. Seseorang dapat membangun kapasitas yang luar biasa untuk tetap berpikir kritis jika isu yang dibicarakan merupakan sesuatu yang mereka suka atau mereka kenal dengan baik. Untuk itu, guru harus mampu menyusun pertanyaan-pertanyaan yang memuat suatu kejadian atau isu yang diketahui dengan baik oleh seluruh siswa.

Kedua faktor tersebut memengaruhi kesehatan psikologi manusia yang terkait dengan kemampuan mereka untuk berpikir kritis.

Berkaitan dengan kedua faktor dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam menggunakan Metode Socrates, maka pertanyaan-pertanyaan harus diajukan dengan prinsip-prinsip yang benar agar dapat mengakomodir kedua faktor tersebut. Lewis (2007) mengembangkan 10 prinsip dalam bertanya, yakni sebagai berikut.

1. Pendistribusian pertanyaan, sehingga seluruh siswa dapat bergabung.

2. Menyeimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya faktual dan yang membutuhkan pemikiran lebih dalam.

3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sederhana maupun yang lebih rumit, sehingga siswa yang kemampuannya kurang dapat berpartisipasi dan siswa yang cerdas merasa tertantang.

(34)

16 5. Stimulasi kemampuan berpikir kritis dengan menanyakan: “Sampai sejauh

mana?”, “Bagaimana?”, “Berdasarkan apa?”, “Mengapa?”, Bandingkan

dengan ....”.

a. Hindari: “Apakah ada yang tahu ...?” dan “Siapa yang dapat memberi tahu kita ...?”

b. Berikan waktu untuk berpikir.

c. Jadilah model bagi siswa dalam menyusun kata-kata yang terperinci dan teliti, serta dalam berpikir logis.

d. Dorong siswa untuk mengomentari jawaban dari teman sekelasnya. e. Jangan menginterupsi siswa yang berusaha menjawab serta jangan

membiarkan jawaban yang diutarakan oleh seorang siswa dijadikan tertawaan oleh yang lainnya.

6. Gunakan teknik tambahan: 1) pertanyaan, 2) jeda, 3) nama

7. Pastikan setiap orang dapat mendengarkan jalannya diskusi, maka jangan mengulang pertanyaan maupun jawaban. Kecuali untuk kelas besar, pastikan untuk selalu mengulang pertanyaan maupun jawaban.

8. Jika ada siswa yang bertanya, jangan langsung menjawab kecuali pertanyaan tersebut sudah diajukan kembali kepada siswa lainnya, “Bagaimana cara kalian menjawab pertanyaan ...?”

9. Buat pertanyaannya menjadi lebih personal, contonya: “Misal kamu adalah ... apa yang akan kamu lakukan?”

(35)

Selain 10 prinsip yang dikemukan oleh Lewis, Ewens (2000), dalam salah satu artikelnya yang berjudul Teaching Using Discussion, mengemukakan salah satu hal penting untuk mendukung suatu diskusi kelas yang berkaitan dengan tanya jawab adalah:

Provide encouragement and praise for correct answers and risk-taking. Be positive, non-judgmental, and supportive. Encourage participation by at least a smile, a verbal or nonverbal acknowledgment, or a few words of encouragement. Avoid moralizing, preaching, threats, warnings, judging, ridicule, or blaming. Such practices tend to stifle effective discussion.” Dalam menjawab suatu permasalahan, siswa membutuhkan dorongan dan pujian sebagai bentuk penghargaan atas upaya yang mereka lakukan. Dengan bersikap positif, tidak menghakimi, dan mendukung, siswa akan merasa aman dan nyaman pada saat berpartisipasi dalam menjawab maupun mengajukan pertanyaan.

Berdasarkan pemaparan maka dapat disimpulkan bahwa Metode Socrates adalah metode yang memuat dialog atau diskusi yang dipimpin oleh guru melalui serangkaian pertanyaan tersusun untuk menguji validitas keyakinan siswa akan suatu objek dan membuat kesimpulan yang benar akan objek tersebut.

C. Pendekatan Kontekstual

(36)

18 Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual memiliki hubungan yang sangat erat dengan paham belajar konstruktivisme. Ningrum (2009) menyebutkan bahwa konstruktivisme menekankan belajar bukan hanya sekedar menghapal melainkan siswa mengonstruksi pengetahuan di benaknya. Sedangkan Mundilarto (2005) menyatakan hubungan Pendekatan Kontekstual berakar dari pendekatan konstruktivisme yang menyatakan bahwa seseorang atau siswa melakukan kegiatan belajar tidak lain adalah membangun pengetahuan melalui interaksi dan interpretasi lingkungannya. Titik berat pada pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual adalah adanya proses membangun (mengonstruksi) pengetahuan.

(37)

Johnson (2002) (dalam Supinah, 2008) mendefinisikan Pendekatan Kontekstual merupakan suatu proses pengajaran yang bertujuan untuk membantu siswa memahami materi pembelajaran yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pokok materi dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dengan menerapkan beberapa hal sebagai berikut.

1. Membuat hubungan yang bermakna (making meaningful connections), yaitu membuat hubungan antara subyek dengan pengalaman atau antara pembela-jaran dengan kehidupan nyata siswa sehingga hasilnya akan bermakna dan makna ini akan memberi alasan untuk belajar.

2. Melakukan pekerjaan yang berarti (doing significant work), yaitu dapat mela- kukan pekerjaan atau tugas yang sesuai.

3. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri (self-regulated learning), yaitu: (1) siswa belajar melalui tatanan atau cara berbeda-beda, mempunyai ketertarikan dan talenta (bakat) yang berbeda, (2) membebaskan siswa menggunakan gaya belajar mereka sendiri, memproses dalam cara mereka mengeksplorasi ketertarikan masing-masing dan mengembangkan bakat mereka dengan intelegensi yang beragam sesuai selera mereka, (3) proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam aksi yang bebas mencakup kadang satu orang, biasanya satu kelompok.

4. Bekerja sama (collaborating), yaitu proses pembelajaran yang melibatkan siswa dalam satu kelompok.

(38)

mem-20 bujuk, menganalisa asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah, (2) kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis, sedangkan pemikiran kreatif adalah ke-giatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman baru. 6. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang (nurturing the

individual), yaitu menjaga atau mempertahankan kemajuan individu. Hal ini menyangkut pembelajaran yang dapat memotivasi, mendukung, menyema-ngati, dan memunculkan gairah belajar siswa yang dibentuk oleh guru di sekolah termasuk juga kepedulian orang tua. Hubungan ini penting dan memberi makna pada pengalaman siswa nantinya didalam kelompok dan dunia kerja.

7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), yaitu menyiapkan siswa mandiri, produktif dan cepat merespon atau mengikuti perkembangan teknologi dan jaman. Dengan demikian dibutuhkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai wujud jaminan untuk menjadi orang yang bertang-gung jawab, pengambil keputusan.

8. Menggunakan penilaian yang sesungguhnya (using authentic assesment), yaitu ditujukan pada motivasi siswa untuk menjadi unggul di era teknologi, penilaian sesungguhnya ini berpusat pada tujuan, melibatkan ketrampilan tangan, penerapan, dan kerja sama serta pemikiran tingkat tinggi yang berulang-ulang. Penilaian itu bertujuan agar para siswa dapat menunjukkan penguasaan dan keahlian yang sesungguhnya dan kedalaman berpikir dari pe-ngertian, pemahaman, akal budi, kebijaksanaan dan kesepakatan.

(39)

Jumadi yang menyebutkan adanya tujuh komponen utama dalam Pendekatan Kontekstual, Hasruddin (2009) mengutarakan penggunaan 7 komponen utama Pendekatan Kontekstual untuk pengembangan kemampuan berpikir kritis sebagai berikut.

a. Konstruktivisme (Constructivism)

Dalam pandangan konstruktivisme, siswa tidak hanya menerima materi pembelajaran berdasarkan apa kata pengajar, tetapi mereka mengkonstruksi materi dari waktu ke waktu dalam benaknya, siswa membangun dan menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi arti pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Sejalan dengan pengalaman dan waktu maka pengetahuan siswa akan terus mengalami perkembangan. Pada penguasaan substansi materi, yang terutama adalah strategi memperoleh substansi materi bukan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.

Pada kegiatan pembelajaran, siswa sendiri yang mengkonstruksi pengetahuannya melalui pengalaman yang terus bertambah dari waktu ke waktu, sedangkan pengajar berperan dalam membimbing proses mengonstruksi tersebut. Siswa secara aktif mengobservasi, mengenali, mengklasifikasikan, memecahkan masalah, mengumpulkan data, menguji data, verifikasi data, dan menarik kesimpulan dari informasi dan pengetahuan baru. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan tersebut siswa didorong untuk melakukan konstruktivisme.

(40)

22 mungkin diperoleh. Melalui proses konstruksi pengetahuan dalam benak siswa ini dimungkinkan kemampuan berpikir kritis, yang diperoleh dengan membandingkan konsep yang sudah didapat dengan konsep baru, dapat berkembang.

b. Bertanya (Questioning)

Teknik-teknik bertanya digunakan untuk meningkatkan proses belajar siswa dalam melakukan pemecahan masalah dan memperoleh keterampilan berpikir tingkat tinggi, salah satunya kemampuan berpikir kritis. Dalam Pendekatan Kontekstual, kegiatan bertanya tidak didominasi oleh pengajar. Siswa akan menjadi aktif mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin merupakan masalah yang mereka alami. Mereka akan menjadi tertarik dalam proses belajar, bila yang dibahas dalam kelas merupakan kebutuhan belajarnya. Dalam bertanya akan ditumbuhkan rasa ingin tahunya.

Dalam pembelajaran perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bermutu. Pertanyaan yang bermutu tidak mempunyai jawaban yang khusus, artinya tidak ada jawaban yang benar atau salah atau tidak hanya ada satu jawaban yang benar. Dengan demikian siswa dituntut untuk mencari jawaban sehingga menjadikan mereka banyak berpikir. Membiasakan mereka dalam budaya bertanya akan membantu dalam proses berpikir kritis.

c. Menemukan (Inquiry)

(41)

merencanakan kegiatan pembelajaran dengan metode penemuan. Pada kegiatan inkuiri terdapat beberapa tahap yaitu merumuskan masalah; mengumpulkan data melalui observasi; menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya; dan mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, atau audiens yang lain.

Proses belajar akan lebih banyak melibatkan siswa melalui kegiatan penemuan. Siswa dapat mengajukan masalah, mengidentifikasi masalah, merumuskan hipotesis, menguji hipotesis berdasarkan pengumpulan data, membuat dan menyusun tabel atau diagram atau bagan, menginterpretasikan data, dan akhirnya menarik kesimpulan. Kegiatan penemuan akan mendorong mereka untuk mengalami proses belajar bukan dari hanya sekedar mendengarkan apa kata pengajar. Melalui kegiatan penemuan ini, mereka melakukan observasi. Dengan mengamati berarti meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dengan mengamati, seseorang akan dapat menyelesaikan masalah.

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)

(42)

24 terjadinya saling berkomunikasi untuk berbagi gagasan dan pengalaman serta bekerja sama untuk memecahkan masalah.

Pada aktivitas learning community atau masyarakat belajar, hasil kerja kelompok dinilai lebih baik daripada individual. Kerja kelompok dapat menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan seseorang siswa belajar dengan siswa lainnya. Mereka memerlukan analisis, kritik, dan saran yang konstruktif. Hassoubah (dalam Hasruddin, 2009) menyatakan bahwa usaha untuk menerima pandangan dan saran orang lain juga akan membuat seseorang berpikir kritis. Dengan demikian, melalui aktivitas learning community memungkinkan siswa untuk berpikir kritis.

e. Pemodelan (Modeling)

Pada pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual, ditekankan bahwa pengajar bukan satu-satunya model, tetapi siswa lain dapat menjadi model bagi temannya secara keseluruhan. Ini bertujuan untuk mencapai kompetensi yang harus dicapai. Pemodelan dalam Pendekatan Kontekstual memudahkan siswa untuk menguasai materi pembelajaran.

(43)

atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa ditunjukkan suatu model yang dapat ditiru.

Melalui pemodelan dapat memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengamati tingkah laku model tersebut sehingga siswa dapat membayangkan, menjelaskan, dan melaksanakan tingkah laku yang akan dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Hassoubah (dalam Hasruddin, 2009) menyatakan bahwa orang yang dianggap sebagai model atau contoh dalam berpikir kritis, menunjukkan sifat-sifat tertentu, yaitu: (1) Mampu menjelaskan mereka dengan jelas sehingga dapat dipahami oleh orang yang mengamatinya; (2) Bertanggungjawab atas tindakan mereka, mengakui kekurangan, kegelisahan, dan kesuksesan yang dialami; (3) Mengakui dilema dan kerancuan atau ketidakjelasan yang mereka hadapi; dan (4) Tidak mengubah tingkah laku atau respon mereka terhadap situasi yang kurang beralasan atau tidak rasional.

f. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)

Proses belajar dan hasilnya perlu dinilai. Jadi penilaian tidak hanya tertumpu pada hasil belajar, apalagi hanya dilakukan untuk mencapai ranah kognitif, namun juga pada ranah keterampilan dan ranah afektif. Bentuk penilaian juga tidak hanya dengan tes tertulis, tetapi dapat dilakukan dengan observasi tehadap aktivitas siswa dalam kelompok, aktivitas dalam kegiatan tanya jawab, presentasi, laporan praktikum, poster, dan jurnal belajar.

(44)

26 selain bentuk tes sebagai alat penilaian, pengajar dapat mengembangkan bentuk-bentuk penilaian lainnya dari berbagai cara nontes, seperti observasi, angket, wawancara, laporan kerja kelompok, laporan proyek, jurnal belajar, dan portopolio. Dengan demikian cara penilaian dan sumber penilaian menjadi lebih beragam.

g. Refleksi (Reflextion)

Komponen lainnya dalam Pendekatan Kontekstual adalah melakukan refleksi. Sanjaya (dalam Hasruddin, 2009) menyatakan bahwa refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang baru dilaluinya. Refleksi dapat dilakukan siswa di akhir pertemuan tatap muka yang akan memberikan gambaran apa yang sudah mereka kuasai. Melalui refleksi, mereka memikirkan kembali materi yang baru saja diperolehnya, mempertanyakan mana materi yang disenangi dan penting bagi dirinya, mencari apa manfaat materi itu dalam diri siswa. Melalui refleksi siswa diajak berpikir kembali bagaimana menerapkan materi itu dalam kehidupan nyata siswa sehari-hari. Siswa yang dibiasakan dilatih melakukan refleksi akan berdampak terhadap proses berpikirnya. Mereka akan terlatih mengingat apa yang sudah dipelajarinya dan bagaimana menerapkan materi tersebut dalam kehidupannya.

(45)

1. Sebagian besar waktu belajar sehari-hari di sekolah masih didominasi kegiatan penyampaian pengetahuan oleh guru, sementara siswa ”dipaksa” memperhatikan dan menerimanya, sehingga tidak menyenangkan dan memberdayakan siswa.

2. Materi pembelajaran bersifat abstrak-teoritis-akademis, tdak terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi siswa sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja.

3. Penilaian hanya dilakukan dengan tes yang menekankan pengetahuan, tidak menilai kualitas dan kemampuan belajar siswa yang autentik pada situasi yang autentik.

4. Sumber belajar masih terfokus pada guru dan buku. Lingkungan sekitar belum dimanfaatkan secara optimal.

(46)

28 D. Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis merupakan salah satu aspek penting yang perlu dikembangkan dalam diri setiap individu. Banyak studi yang telah dikembangkan dan menghasilkan berbagai definisi berpikir kritis. Menurut Haryani (2011), berpikir kritis adalah suatu proses yang bertujuan untuk membuat keputusan rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau melakukan sesuatu. Sejalan dengan itu, Noer (2009) berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan sebuah proses yang bermuara pada penarikan kesimpulan tentang apa yang harus kita percayai dan tindakan apa yang akan kita lakukan. Scriven dan Paul (dalam The Critical Thinking Community, 2014) menyatakan,

Critical thinking is the intellectually disciplined process of actively and skillfully conceptualizing, applying, analyzing, synthesizing, and/or evaluating information gathered from, or generated by, observation, experience, reflection, reasoning, or communication, as a guide to belief and action.

(47)

Ennis (dalam Hasratuddin, 2009) mengutarakan enam unsur dasar yang perlu dipertimbangkan dalam berpikir kritis, yaitu: fokus (focus), alasan (reason), kesimpulan (infrent), situasi (situation), kejelasan (clear), dan pemeriksaan secara menyeluruh (overview). Sehingga Hasratuddin (2009) mengungkapkan berpikir kritis adalah bentuk kecenderungan; mencari pernyataan yang jelas dari suatu pertanyaan, mencari alasan, memakai sumber yang memiliki kredibilitas, memperhatikan situasi dan kondisi secara menyeluruh, berusaha tetap relevan dengan ide utama, mengingat kepentingan yang asli dan mendasar, mencari alternatif, bersikap dan berpikir terbuka, mencari alasan-alasan yang logis, dan peka terhadap ilmu lain. Kemampuan-kemampuan untuk menanggapi dan menelaah secara kritis suatu informasi baru ataupun suatu permasalahan inilah yang disebut sebagai kemampuan berpikir kritis.

(48)

30 Untuk sisi afektif, The Delphi Report merumuskannya dalam dua buah pendekatan, yaitu: 1) pendekatan untuk hidup dan tinggal dengan masyarakat umumnya, dan 2) pendekatan untuk menghadapi isu-isu, pertanyaan-pertanyaan, atau masalah khusus. Pendekatan pertama menekankan kepada sikap-sikap positif sebagai makhluk sosial, seperti: rasa ingin tahu dengan masalah di sekitarnya, percaya diri pada proses berpikir yang benar, bersikap fleksibel, terbuka, dan adil terhadap pendapat orang lain, mencoba memahami pemikiran orang lain, dan rendah hati secara intelektual. Sementara pendekatan kedua lebih fokus pada sikap-sikap positif yang diperlukan saat seseorang menghadapi suatu masalah, seperti berusaha mencari kejelasan masalah yang dihadapi, rajin, tekun, sistema-tis, dan fokus pada penyelesaian masalah.

Kecenderungan individu untuk mengasah dan mengembangkan berpikir kritis akan membawa keuntungan bagi individu tersebut. Paul dan Endler (dalam The Critical Thinking Community, 2014) mengungkapkan kemampuan yang diperoleh orang-orang yang membudayakan berpikir kritis, yaitu sebagai berikut.

1. Mampu menimbulkan pertanyaan penting dan masalah, merumuskan dengan jelas dan tepat;

2. Mampu mengumpulkan dan menilai relevansi suatu informasi, menggunakan ide-ide abstrak untuk menafsirkannya tersebut secara efektif menjadi kesimpulan dan solusi yang berdasar, mengujinya terhadap kriteria dan standar yang relevan;

(49)

4. Mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dalam mencari tahu solusi untuk masalah kompleks.

Meskipun terlihat bahwa kemampuan berpikir kritis memberi beragam manfaat bagi individu, dalam hal ini siswa, namun hingga saat ini belum terdapat kriteria perolehan skor ideal siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang ditetapkan dan digunakan secara umum. Akan tetapi, dalam tiap pembelajaran terdapat patokan/kriteria seorang guru dalam menentukan ketuntasan belajar siswa pada suatu mata pelajaran, yakni Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Sehingga, meskipun nilai KKM mencakup beragam kompetensi, kriteria skor siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik dalam penelitian ini didasarkan pada nilai KKM untuk mata pelajaran matematika yang ditetapkan di SMP Negeri 22 Bandarlampung, yaitu nilai 72 dari 100.

(50)

32 E. Kerangka Pikir

Terdapat berbagai kompetensi/ kemampuan yang dapat dikembangkan oleh siswa saat mempelajari matematika, salah satunya kemampuan berpikir kritis. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, maka guru wajib menyajikan suatu pembelajaran matematika yang efektif dengan menerapkan metode pembelajaran dan pendekatan yang sesuai. Kesesuaian yang diharapkan mencakup kesesuaian antara metode dan pendekatan yang digunakan, materi, siswa, dan indikator kemampuan berpikir kritis yang hendak dicapai.

Pembelajaran Socrates Kontekstual memadukan antara Metode Socrates dengan Pendekatan Kontekstual. Metode Socrates merupakan suatu metode dialektika yang memuat pertanyaan-pertanyaan terstruktur dari tingkat sederhana hingga kompleks untuk menguji keyakinan siswa akan solusi dari suatu masalah. Pendekatan Kontekstual merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang menghubungkan materi pembelajaran dengan konteks masalah/ keadaan sehari-hari siswa. Metode Socrates dan Pendekatan Kontekstual, keduanya bergerak berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan awal sudah ada di dalam diri siswa, maka untuk mendapatkan pengetahuan baru, pengetahuan-pengetahuan yang telah ada perlu digali, dihubungkan antara satu dengan lain, dan diuji kebenarannya sehingga didapat pengetahuan baru yang valid.

(51)

ketika siswa diberikan denah ruang kelas sehubungan dengan materi Perbandingan dan Skala. Siswa dapat sepenuhnya terlibat dalam mengeksplorasi pengetahuan dan informasi tentang perbandingan antara jarak/ukuran yang ada pada denah dengan jarak/ukuran pada ruang kelas yang sesungguhnya. Selain itu, dengan Pembelajaran Socrates Kontekstual kemampuan siswa dalam menghadapi pertanyaan akan terasah melalui dialog yang memuat pertanyaan Socratic tersusun, seperti “Informasi apa saja yang kalian dapat dari denah yang diberikan?”, “Adakah hubungan antara ukuran pada denah dan ukuran pada ruang kelas?”, “Mengapa kalian menyatakan demikian?”, “Bagaimana hubungan antara

ukuran pada denah yang bersesuaian dengan ukuran sebenarnya pada ruang kelas?”, “Dapatkah kita nyatakan suatu perbandingan/skala antara ukuran pada

denah dan ukuran ruang kelas sebenarnya? Bagaimana?”, “Apakah tidak ada cara lain untuk menentukan skala denah selain menggunakan ukuran “A” tersebut?”. Sebagai akibat dari susunan pertanyaan tersebut, siswa terbantu mengkritisi pengetahuan mereka tentang materi yang diberikan. Susunan pertanyaan-pertanyaan yang demikian akan membentuk pola berpikir kritis siswa. Dengan demikian, melalui Pembelajaran Socrates Kontekstual maka kemampuan berpikir kritis siswa akan terasah dan berkembang dengan baik.

(52)

34 Pembelajaran Socrates Kontekstual merupakan sarana pengembangan kemampuan berpikir kritis yang sesuai digunakan untuk mempelajari materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel.

F. Anggapan Dasar dan Hipotesis

1. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Setiap siswa kelas VII semester genap di SMP Negeri 22 Bandarlampung tahun ajaran 2014/2015 memeroleh materi pelajaran matematika sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

b. Faktor-faktor lain yang memengaruhi kemampuan berpikir kritis siswa selain metode Socrates dan Pendekatan Kontekstual tidak diperhatikan. 2. Hipotesis

a. Hipotesis Umum

Pembelajaran Socrates Kontekstual efektif jika ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa di SMP Negeri 22 Bandarlampung.

b. Hipotesis Khusus

1) Kemampuan berpikir kritis siswa setelah mengikuti pembelajaran Socrates Kontekstual lebih baik dibandingkan sebelum mengikuti pembelajaran Socrates Kontekstual.

(53)

III. METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 22 Bandarlampung semester genap tahun pelajaran 2014/2015. SMP Negeri 22 Bandarlampung terletak di kecamatan Raja Basa kota Bandarlampung. Sekolah ini berada di tepi Jalan Z.A. Pagar Alam. SMP ini merupakan salah satu institusi pendidikan formal yang berada dalam koordinasi Dinas Pendidikan kota Bandarlampung.

(54)

36 B. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu. Desain yang digunakan adalah one group pretest-posttest. Pada penelitian ini, eksperimen dilakukan pada kelas VII D yaitu dengan menerapkan Pembelajaran Socrates Kontekstual, kemudian membandingkan hasilnya dengan hasil pada kelas yang sama sebelum diberikan perlakuan. One group pretest-posttest design menurut Furchan (2004) adalah sebagai berikut.

Tabel 3.1. One Group Pretest-Posttest Design Pretest Variabel Bebas Posttest

Y1 X Y2

Keterangan:

Y1 : pretest berupa tes kemampuan awal berpikir kritis materi Perbandingan dan Skala

Y2 : posttest berupa tes kemampuan akhir berpikir kritis materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linier Satu Variabel

X : perlakuan pada kelas sampel dengan menerapkan Pembelajaran Socrates Kontekstual

Pelaksanaan Pembelajaran Socrates Kontekstual dilaksanakan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun. Urutan pembelajaran yang dilakukan, tertuang ke dalam beberapa fase, adalah sebagai berikut.

1. Pendahuluan

a. Fase merasakan suatu masalah (wonder).

(55)

2. Kegiatan Inti

a. Fase membuat dugaan-dugaan atau hipotesis.

Guru membimbing siswa membuat pertanyaan akan penyebab suatu permasalahan dan menemukan penyelesaian dari permasalahan tersebut. b. Fase melakukan pengujian.

Guru membimbing atau mengamati siswa dalam mengumpulkan data atau informasi dan membuat hubungan antar data atau informasi tersebut, serta dalam membuat analisis.

c. Fase menerima hipotesis yang dianggap benar.

Guru membantu siswa untuk melakukan penilaian terhadap hasil pada fase sebelumnya, fase melakukan pengujian. Jika perlu penilaian dapat terus dievaluasi, atau mengulang kembali fase pengujian.

3. Kegiatan penutup

a. Melakukan tindakan yang sesuai

Guru membantu siswa dalam mengambil keputusan akan penyelesaian masalah yang terbaik.

C. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Melakukan penelitian pendahuluan. Penelitian pendahuluan dilaksanakan dengan tujuan untuk mengobservasi secara singkat karakter siswa serta jalannya pembelajaran yang ada di SMP Negeri 22 Bandarlampung.

(56)

38 a. Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

b. Menyiapkan instrumen penelitian dengan terlebih dahulu membuat kisi-kisi tes kemampuan awal dan akhir sesuai dengan indikator pembelajaran dan indikator kemampuan berpikir kritis, kemudian membuat soal esai beserta penyelesaian dan aturan penskorannya.

3. Melakukan validasi instrumen. Validasi instrumen dilaksanakan melalui validitas isi dan validitas butir soal. Validitas isi didasarkan pada penilaian ahli dan guru mitra menggunakan daftar cek lis, sedangkan validitas butir soal dilakukan dengan menggunakan korelasi produk momen.

4. Melakukan perbaikan instrumen. Perbaikan dilakukan agar instrumen layak digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa.

5. Melaksanakan penelitian. Penelitian mulai dilaksanakan sejak tanggal 12 Januari 2015 dan berakhir pada tanggal 23 Februari 2015. Penelitian meliputi pemberian tes kemampuan awal, pemberian Pembelajaran Socrates Kontekstual dan pemberian tes kemampuan akhir.

6. Melakukan analisis data. Analisis data dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui penerimaan hipotesis berdasarkan data kemampuan berpikir kritis siswa yang didapat melalui tes kemampuan awal dan akhir.

7. Membuat laporan hasil penelitian. Hasil penelitian yang telah dilakukan dilaporkan ke dalam sebuah laporan.

D. Data Penelitian

(57)

diperoleh melalui tes kemampuan awal; 2) data akhir berupa skor kemampuan akhir berpikir kritis yang diperoleh melalui tes kemampuan akhir.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik tes. Tes digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa sebelum dan setelah perlakuan diberikan. Tes diberikan pada siswa dengan dua tahap yaitu: 1) tes kemampuan awal dengan materi Perbandingan dan Skala dan 2) tes kemampuan akhir dengan materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linier Satu Variabel. Penyusunan instrumen tes yang diberikan berdasarkan indikator kemampuan berpikir kritis serta indikator dari tiap materi. Tes yang diberikan sesudah pembelajaran bertujuan untuk melihat keefektifan pembelajaran dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes kemampuan berpikir kritis untuk mata pelajaran matematika. Perangkat terbagi atas dua bagian yaitu tes dengan materi Perbandingan dan Skala untuk tes kemampuan awal berpikir kritis dan tes dengan materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linier Satu Variabel untuk tes kemampuan akhir berpikir kritis yang masing-masing terdiri dari 3 soal esai. Setiap soal memiliki satu atau lebih indikator kemampuan berpikir kritis. Penyusunan perangkat tes dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

(58)

40 Variabel.

2. Menentukan tipe soal, yaitu soal esai. 3. Menentukan jumlah soal, yaitu 3 soal.

4. Menentukan waktu mengerjakan soal yaitu 60 menit.

5. Membuat kisi-kisi soal berdasarkan indikator pembelajaran yang ingin di-capai.

6. Menuliskan petunjuk mengerjakan soal, kunci jawaban, dan penentuan skor. 7. Menulis butir soal.

8. Mengujicobakan instrumen di kelas uji coba yaitu kelas VII G.

9. Menganalisis validitas, reliabilitas, daya beda, dan tingkat kesukaran dari tiap butir tes untuk mengetahui kualitasnya.

10. Memilih item soal yang sudah teruji berdasarkan analisis kualitas butir soal yang dilakukan.

(59)

Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Tes Berpikir kritis

No Indikator Keterangan Skor

1. Interpretasi hami dan mengungkapkan makna dari berbagai kejadian yang dihadapi

0 b. Memahami dan mengungkapkan makna dari

ber-bagai kejadian yang dihadapi tetapi salah 1 c. Memahami makna dari berbagai kejadian yang

dihadapi dengan benar tetapi salah mengungkap-kannya

2 d. Memahami dan mengungkapkan makna dari

ber-bagai kejadian yang dihadapi dengan benar 3 2. Analisis

a. Tidak menjawab/ menjawab tetapi tidak mem-buat rincian atau uraian serta mengidentifikasi hubungan antara pernyataan, pertanyaan, atau konsep dari suatu representasi

0

b. Membuat rincian atau uraian serta mengidenti-fikasi hubungan antara pernyataan, pertanyaan, atau konsep dari suatu representasi tetapi salah

1 c. Membuat rincian atau uraian dengan benar tetapi

salah mengidentifikasi hubungan antara per-nyataan, pertanyaan, atau konsep dari suatu representasi

2

d. Membuat rincian atau uraian serta mengidenti-fikasi hubungan antara pernyataan, pertanyaan, atau konsep dari suatu representasi dengan benar

3

a. Tidak menjawab/menjawab tetapi tidak menilai

dan mengkritisi kredibilitas dari suatu pernyataan 0 b. Menilai dan mengkritisi kredibilitas dari suatu

pernyataan tetapi salah 1 c. Menilai kredibilitas dari suatu pernyataan

de-ngan benar tetapi salah dalam mengkritisinya 2 d. Menilai dan mengkritisi kredibilitas dari suatu

pernyataan dengan benar 3

Skor Maksimum Setiap Indikator 3

(diadaptasi dari: Wulansari, 2013)

(60)

42 layak digunakan, yaitu meliputi validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran instrumen.

1. Validitas Instrumen

Dalam penelitian ini, validitas instrumen yang digunakan adalah validitas isi dan validitas butir soal. Validitas isi dari tes kemampuan berpikir kritis ini diketahui dengan cara membandingkan isi yang terkandung dalam tes kemampuan berpikir kritis dengan indikator pembelajaran dan indikator kemampuan berpikir kritis yang telah ditentukan. Sedangkan, validitas butir soal dari tes kemampuan berpikir kritis ini diketahui melalui uji validitas dengan menggunakan Korelasi Produk Momen dengan Angka Kasar.

(61)

Arikunto (2006) menyatakan untuk menguji validitas setiap butir soal maka skor-skor yang ada pada butir yang dimaksud dikorelasikan dengan skor-skor totalnya. Skor tiap butir soal dinyatakan skor X dan skor total dinyatakan sebagai skor Y, dengan diperolehnya indeks validitas setiap butir soal, dapat diketahui butir-butir soal manakah yang memenuhi syarat dilihat dari indeks validitasnya. Untuk menguji validitas instrumen digunakan rumus korelasi product moment dengan angka kasar, yaitu:

∑ ∑ ∑

√{ ∑ ∑ }{ ∑ ∑ }

Keterangan:

: koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y N : jumlah siswa uji coba

X : skor-skor tiap butir soal untuk setiap individu atau siswa uji coba, dan Y : skor total tiap siswa uji coba.

Setelah harga koefisien validitas tiap butir soal diperoleh, perlu dilakukan uji signifikansi untuk mengukur keberartian koefisien korelasi berdasarkan distribusi kurva normal dengan menggunakan statistik uji-t dengan persamaan:

Keterangan:

t : nilai hitung koefisien validitas : nilai koefisien korelasi tiap butir soal n : jumlah siswa uji coba.

(62)

44 Selanjutnya, untuk menginterpretasikan tingkat validitas, maka Arikunto (2006) mengkategorikan kriteria koefisien kolerasi seperti tertera pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Kriteria Validitas Instrumen Tes

Nilai r Interpretasi 0,81 – 1,00 Sangat tinggi 0,61 – 0,80 Tinggi 0,41 – 0,60 Cukup 0,21 – 0,40 Rendah 0,00 – 0,20 Sangat rendah

Berdasarkan perhitungan korelasi product moment dengan angka kasar, uji validitas, dan kriteria validitas menurut Arikunto, maka diperoleh validitas tiap butir soal dan interpretasinya pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Hasil Uji dan Interpretasi Validitas Instrumen Tes

Tes Kemampuan Awal Tes Kemampuan Akhir No. Soal Uji Interpretasi No. Soal Uji Interpretasi

1.a 0,68 Valid Tinggi 1.a 0,51 Valid Cukup 1.b 0,75 Valid Tinggi 1.b 0,59 Valid Cukup 2 0,57 Valid Cukup 2.a 0,54 Valid Cukup 3.a 0,45 Valid Cukup 2.b 0,57 Valid Cukup 3.b 0,61 Valid Tinggi 2.c 0,67 Valid Tinggi 3.c 0,79 Valid Tinggi 3.a 0,54 Valid Cukup 3.d 0,69 Valid Tinggi 3.b 0,68 Valid Tinggi 3.c 0,71 Valid Tinggi 3.d 0,73 Valid Tinggi

(63)

2. Uji Reliabilitas Instrumen

Dalam penelitian ini, pengujian reliabilitas instrumen dengan menggunakan rumus Alpha (Arikunto, 2006) sebagai berikut.



r : koefisien reliabilitas instrumen (tes) k : banyaknya item

2

b

 : jumlah varians dari tiap-tiap item tes

2 t

: varians total

Harga r11 yang diperoleh diimplementasikan dengan indeks reliabilitas. Arikunto (2006: 195) mengatakan bahwa kriteria indeks reliabilitas yaitu:

“a. Antara 0,800 sampai dengan 1,000: sangat tinggi b. Antara 0,600 sampai dengan 0,800: tinggi c. Antara 0,400 sampai dengan 0,600: cukup d. Antara 0,200 sampai dengan 0,400: rendah

e. Antara 0,000 sampai dengan 0,200: sangat rendah.”

Setelah menghitung reliabilitas instrumen tes, diperoleh nilai r11 = 0,75 untuk instrumen tes kemampuan awal dan r11 = 0,76 untuk instrumen tes kemampuan akhir (Lampiran C.1). Berdasarkan pendapat Arikunto tersebut, kedua harga r11 memenuhi kriteria tinggi sehingga instrumen tes tersebut layak digunakan untuk mengumpulkan data.

3. Tingkat kesukaran (TK)

(64)

46

Keterangan:

TK : tingkat kesukaran suatu butir soal

JT : jumlah skor yang diperoleh siswa pada butir soal yang diperoleh

IT : jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh siswa pada suatu butir soal.

Untuk menginterpretasi tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan kriteria indeks kesukaran menurut Sudijono (2008: 372) yang tertera dalam Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran

Nilai Interpretasi

Dalam penelitian ini, butir soal yang dipilih adalah soal dengan tingkat kesukaran dalam kisaran 0,16 TK 0,85. Berdasarkan hasil penghitungan tingkat kesukaran yang tertera dalam Tabel 3.6 (Lampiran C.3) diperoleh seluruh butir soal memiliki nilai tingkat kesukaran yang berada pada kisaran 0,16 TK 0,85.

Tabel 3.6 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran pada Instrumen Tes

Tes Kemampuan Awal Tes Kemampuan Akhir

No. Soal Nilai Interpretasi No. Soal Nilai Interpretasi

(65)

4. Daya Pembeda (DP)

Untuk menghitung daya pembeda, terlebih dahulu nilai siswa diurutkan dari yang tertinggi sampai terendah. Kemudian diambil 27% siswa yang memperoleh nilai tertinggi (disebut kelompok atas) dan 27% siswa yang memperoleh nilai terendah (disebut kelompok bawah).

Karno To (dalam Noer, 2010) mengungkapkan menghitung daya pembeda diten-tukan dengan rumus :

Keterangan :

DP : indeks daya pembeda satu butri soal tertentu

JA : jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah JB : jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah IA : jumlah skor ideal kelompok (atas/bawah).

Hasil perhitungan daya pembeda diinterpretasi berdasarkan klasifikasi menurut To (dalam Noer, 2010), yang tertera dalam Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Interpretasi Nilai Daya Pembeda

Nilai Interpretasi

Negatif ≤ DP ≤ 0,09 Sangat Buruk

0,10 ≤ DP ≤ 0,19 Buruk

0,20 ≤ DP ≤ 0,29 Agak baik, perlu revisi

0,30 ≤ DP ≤ 0,49 Baik

DP ≥ 0,50 Sangat Baik

(66)

48 Tabel 3.8 Interpretasi Nilai Daya Pembeda pada Instrumen Tes

Tes Kemampuan Awal Tes Kemampuan Akhir

No. Soal Nilai Interpretasi No. Soal Nilai Interpretasi

1.a 0,35 Baik 1.a 0,33 Baik

1.b 0,38 Baik 1.b 0,50 Sangat Baik

2 0,33 Baik 2.a 0,33 Baik

3.a 0,38 Baik 2.b 0,42 Baik

3.b 0,33 Baik 2.c 0,58 Sangat Baik

3.c 0,88 Sangat Baik 3.a 0,42 Baik

3.d 0,75 Sangat Baik 3.b 0,33 Baik

3.c 0,33 Baik

3.d 0,33 Baik

Berdasarkan Tabel 3.8, seluruh butir soal memiliki nilai daya pembeda yang lebih dari 0,3 dengan interpretasi baik dan sangat baik.

G. Teknik Analisis Data

Setelah siswa diberi Pembelajaran Socrates Kontekstual, data kemampuan berpikir kritis yang diperoleh dari hasil tes kemampuan awal dan akhir dianalisis untuk mengetahui efektifitas Pembelajaran Socrates Kontekstual ditinjau dari kemampuan berpikir kritis siswa. Teknik analisis data terbagi menjadi dua, yaitu uji kesamaan dua rata-rata observasi berpasangan dan uji proporsi. Sebelum melakukan uji kesamaan dua rata-rata dan proporsi, terlebih dahulu harus menguji normalitas data skor kemampuan awal dan akhir berpikir kritis siswa.

1. Uji Normalitas

Uji Normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji Kolmogorov-Smirnov menurut Usman dan Akbar (2006) adalah sebagai berikut. a. Hipotesis

(67)

H1 : sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal b. Taraf signifikan : α = 0,05

c. Statistik uji

| | dengan ̅

Keterangan:

= peluang berdasarkan daftar distribusi normal baku

= proporsi yang kurang dari atau sama dengan = data ke-i

̅ = rata-rata sampel

= simpangan baku sampel d. Keputusan uji

Tolak H0 jika , dengan adalah nilai kritis uji Kolmogorov-Smirnov, untuk α = 5% dan n = 26.

Rekapitulasi hasil perhitungan uji normalitas data skor kemampuan awal dan kemampuan akhir disajikan pada Tabel 3.9. Perhitungan selengkapnya terdapat pada Lampiran C.7 dan C.8.

Tabel 3.9 Nilai D untuk Distribusi Data Skor Kemampuan Awal dan Akhir

Data Keterangan Skor Kemampuan

Awal 0,148 0,259 Normal Skor Kemampuan

Akhir 0,184 0,259 Normal

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa yang berarti kedua

Gambar

Tabel
Tabel 2.1  Jenis-Jenis Pertanyan Socrates dan Kaitannya dengan Kemampuan Berpikir Kritis
Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Tes Berpikir kritis
Tabel 3.4  Hasil Uji dan Interpretasi Validitas Instrumen Tes
+5

Referensi

Dokumen terkait

Daerah Batubesi, Kecamatan Damar, Kabupaten Belitung Timur diperkirakan merupakan bagian dari zona granitoid jalur timur sehingga diharapkan di daerah Batubesi akan

[r]

Pengambilan data LST MODIS yang dilakukan pada siang hari (LSTday) umumnya memiliki akurasi yang lebih rendah dibandingkan pada malam hari (LSTnight). Sehingga, nilai LST

kerja pelleting yaitu pada periode ke-8 dan ke-11 sehingga perlu dilakukan penyesuaian jumlah unit product group agar perusahaan mampu memenuhi permintaan

Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI dan/atau laut lepas, yang tidak memiliki

At March 11, 2008, Posten AB acquired the remaining 50% of the shares in Tollpost Globe AS. Cash and cash equivalents paid for these shares totaled SEK 1,273m, with a net effect

Prosedur MBKM-K2014 1 Dosen pembimbing dan pendamping lapang melakukan pembimbingan, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan kegiatan mahasiswa 2 Mahasiswa secara individu dan

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya