• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memaknai Potensi Lompat Batu (Hombo Batu) Bagi Masyarakat Bawomataluo Nias Selatan Dari Budaya Tradisional Menjadi Budaya Wisata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Memaknai Potensi Lompat Batu (Hombo Batu) Bagi Masyarakat Bawomataluo Nias Selatan Dari Budaya Tradisional Menjadi Budaya Wisata"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

i

MEMAKNAI POTENSI LOMPAT BATU (HOMBO BATU)

BAGI MASYARAKAT BAWOMATALUO NIAS

SELATAN DARI BUDAYA TRADISIONAL

MENJADI BUDAYA WISATA

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Universitas Sumatera Utara

OLEH

SYURMAN JAYA ZEGA 100901066

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

i ABSTRAK

Pada awalnya, budaya lompat batu (hombo batu) merupakan budaya tradisional yang di miliki oleh seluruh masyarakat desa yang tergabung dalam Ori Maenamolo. Budaya hombo batu memiliki sejarah yang sarat dengan peperangan, patriotisme dan bersifat heroik. Desa Bawomataluo saat ini merupakan satu-satunya desa yang masih menyimpan hasil-hasil budaya Nias Selatan lengkap dengan atribut-atribut budaya tradisional khas Nias Selatan termasuk hombo batu. Desa Bawomataluo juga menyimpan hasil budaya Nias Selatan yang lainnya selain hombo batu, seperti: seni tari dan ritual budaya, batu-batu megalit serta rumah adat yang telah berusia ratusan tahun. Hombo Batu dahulunya merupakan tempat latihan fisik bagi para pemuda di Ori Maenamolo, sekaligus menjadi tolak ukur kematangan seorang pemuda untuk menjadi prajurit perang. Menurut penuturan dari para informan, mereka mengatakan bahwa seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, budaya hombo batu saat ini telah menjadi budaya wisata, perubahan ini juga yang mempengaruhi terjadinya perubahan hombo batu dalam segi bentuk, makna dan fungsi yang sesungguhnya. Hombo batu menjadi salah satu objek wisata yang tidak kalah menarik dengan tempat wisata lainnya yang ada di Nias Selatan, berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Para wisatawan tidak puas rasanya kalau belum menyaksikan atraksi ini. Hal ini juga yang membuat para pemuda desa di daerah tujuan wisata telah menjadikan kegiatan dan tradisi ini menjadi aktivitas komersial. Untuk menyaksikan atraksi ini, para wisatawan harus membayar sejumlah uang kepada para pelompat batu. Perubahan budaya tradisional menjadi budaya wisata telah membawa perubahan sosial ekonomi maupun budaya bagi masyarakat Desa Bawomataluo. Perubahan fungsi budaya hombo batu pada masa kini telah memberikan peluang dan kesempatan kerja yang lebih terbuka kepada masyarakat Bawomataluo, yang mengarahkan masyarakat desa ini dan sekitarnya untuk lebih mandiri dan sejahtera.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Desa Bawomataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias, wisatawan hombo batu dan masyarakat perantau yang berasal dari Pulau Nias. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

(3)

ii ABSTRACT

At first the stone jumping culture (hombo batu) is a traditional culture that is owned by the whole village joined in Maenamolo Ori. Hombo batu culture has a history laden with war, patriotism and heroic character. Bawomataluo village today is the only village which still keeps the results of South Nias culture complete with traditional cultural attributes typical of South Nias including hombo batu. Bawomataluo village also store the results of the South Nias culture other than hombo batu, such as dance and ritual culture, stone megaliths and houses that are centuries old. Hombo batu was once a place of physical exercise for youths in Ori Maenamolo, as well as a measure of the maturity of a young man to become a warrior. According to the narrative of the informants, they say that as time goes by and the times, the culture hombo batu has now become a tourist culture, this change is also affecting changes hombo batu in terms of form, meaning and function of the real. Hombo batu into one of the attractions that are not less interesting to other tourist attractions in South Nias, various actions and styles of the jumper when you're on the air. The tourists are not satisfied taste if you do not see the attraction of this. It also makes the village youth in tourist destinations and activities have made this tradition into a commercial activity. To watch this attraction, the tourists have to pay some money to the stone jumper. Changes in traditional culture into tourist culture has brought socio-economic and cultural changes for people Bawomataluo village. Hombo batu cultural function changes in the present has provided opportunities and employment opportunities are more open to the public Bawomataluo, who directs this village and surrounding communities to be more self-sufficient and prosperous.

The method used is the case study method with a qualitative approach. Data was collected by observation, interview, and literature study. In this study, the unit of analysis is the village community Bawomataluo Fanayama District of Nias, tourists hombo batu and society immigrants who came from the island of Nias. Interpretation of the data is done by using the data obtained from observations and interviews, which are interpreted based on a literature review support so that it can be concluded.

(4)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang berkuasa, Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah “Memaknai Potensi Lompat Batu (Hombo Batu) Bagi Masyarakat Bawomataluo Nias Selatan Dari Budaya Tradisional Menjadi Budaya Wisata”. Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sosial pada Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan berbahagia ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan, perhatian bahkan kasih sayang dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Rizabuana Ismail, M.phil.,PhD selaku dosen pembimbing, penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan, kritik, saran dan juga motivasi dalam menyelesaikan skripsi. Semoga ilmu pengetahuan yang diberikan dapat menjadi bekal pembelajaran bagi penulis kedepannya.

3. Kepada seluruh staf pengajar FISIP USU, khususnya Departemen Sosiologi yang telah membimbing dan mengajar penulis selama masa perkuliahan serta seluruh staf pegawai administrasi Departemen Sosiologi yang telah memberikan informasi dan mempersiapkan segala kebutuhan penulis.

(5)

iv

dukungan yang penulis rasakan baik secara materi yang tak terhitung nilainya serta selalu mendoakan penulis untuk meraih keberhasilan dalam meraih cita-cita. Semoga Tuhan Yesus senantiasa memberikan kesehatan dan rezeki buat Bapak dan Mama.

5. Kepada saudara-saudara saya, Ora Zega dan Nobelin Zega yang selalu memberikan doa, motivasi, semangat dan dukungan yang selalu diberikan untuk penulis. Tuhan Yesus memberkati pekerjaan dan studi kalian dalam meraih cita-cita. Semoga kalian menjadi anak yang berguna dan berhasil nantinya. Amin.

6. Buat Febriany Indah Ningsi Simanjuntak, terimakasih untuk semangat, dukungan, bantuan yang setia diberikan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini dan terimakasih buat canda tawa yang diberi dan dialami bersama. Semoga kamu selalu diberkati Tuhan dan jadi berkat buat banyak orang. 7. Buat seluruh teman Sosiologi 2010, semoga kita tetap menjaga pertemanan ini

dan kelak menjadi orang yang berhasil.

Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Namun demikian, skripsi ini tentunya jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas ketidaksempurnaan tersebut.

Medan, Oktober 201 Hormat Saya,

(6)

v

Daftar Isi

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 13

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Manfaat Penelitian ... 14

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 14

1.4.2 Manfaat Praktis ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Sosial ... 15

2.2. Dampak Perubahan Sosial ... 17

2.3. Hubungan Perubahan Sosial dengan Perubahan Kebudayaan ... 22

2.4. Defenisi Konsep ... 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 29

3.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 29

3.2.1 Kabupaten Nias Selatan ... 33

3.2.2 Letak dan Keadaan Geografis Desa Bawomataluo ... 35

3.2.3 Penduduk ... 36

3.2.4 Sarana Ibadah dan Pendidikan di Desa Bawomataluo ... 38

(7)

vi

3.3.Teknik Pemilihan Informan ... 44

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.5. Interpretasi Data ... 46

3.6. Keterbatasan Penelitian ... 46

BAB IV PANDANGAN INFORMAN TENTANG MAKNA LOMPAT BATU (HOMBO BATU): SEBAGAI BUDAYA TRADISIONAL ATAU BUDAYA WISATA 4.1. Sejarah dan Pergeseran Bentuk, Fungsi Serta Makna Hombo Batu dari Sudut Pandang Para Informan ... 48

4.1.1 Wawancara dengan Bapak Bajamaoso Fa’u Tentang Sejarah Hombo Batu ... 48

4.1.2 Wawancara dengan Bapak Formil Dakhi Tentang Masuknya Agama Kristen ke Kabupaten Nias Selatan dan Pengaruhnya Terhadap Hombo Batu ... 51

4.1.3 Wawancara dengan Bapak Niho Ge’e Tentang Komodifikasi Hombo Batu Peranan Sultan Hamengkubuwono IX dalam Mempromosikan Hombo Batu ... 53

4.1.4 Wawancara dengan Bapak Hadirat Manao Tentang Kekeliruan Pandangan Terhadap Fungsi dan Makna Hombo Batu ... 56

4.1.5 Wawancara dengan Bapak Amuri Zohahau Wa’u Tentang Stratifikasi Sosial di Nias Selatan ... 58

4.1.6 Wawancara dengan Darius Bu’ulolo dan Ritus Wa’u dalam Menjalani Profesi Sebagai Pelompat Hombo Batu... 63

4.1.6.1 Wawancara dengan Darius Bu’ulolo ... 63

4.1.6.2 Wawancara dengan Ritus wa’u ... 65

4.1.7 Wawancara dengan Randi Wau dan Fa’atulo Manao Tentang Pendapat Perantau Mengenai Hombo Batu ... 68

4.1.7.1 Wawancara dengan Randi Wau ... 68

4.1.7.2 Wawancara dengan Fa’atulo Manao ... 70

4.1.8 Wawancara dengan Fanya, Joandi Simanjuntak dan Lahomi Nazara Tentang Pendapat Wisatawan Mengenai Hombo Batu ... 73

4.1.8.1 Wawancara dengan Fanya ... 73

(8)

vii

4.1.8.3 Wawancara dengan Lahomi Nazara ... 77

4.2. Lompat Batu (Hombo Batu), Bagian dari Budaya Wisata ... 79

4.2.1 Hombo Batu Sebagai Atraksi Budaya dan Bagian Wisata di Pulau Nias yang Telah Memberikan Manfaat Sosial Ekonomi Bagi Masyarakat Nias Selatan ... 79

4.2.2 Hombo Batu Sebagai Bagian dari Paket Perjalan Wisata di Nias Selatan ... 83

4.2.2.1 Seni Tari dan Ritual Budaya ... 85

4.2.2.2 Batu-batu Megalit ... 89

4.2.2.3 Wisata Air ... 92

4.2.2.4 Rumah Adat Nias Selatan ... 94

4.2.3 Hombo Batu Sebagai Sumber Pendapatan, Kesempatan Kerja dan Peluang Usaha Bagi Masyarakat ... 97

4.2.4 Pengetahuan Masyarakat dan Wisatawan Tentang Atraksi Hombo Batu ... 104

4.3 Akulturasi Budaya yang Terjadi di Nias Selatan ... 107

4.4 Dampak Terhadap Nilai Budaya di Nias Selatan ... 108

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 111

(9)

i ABSTRAK

Pada awalnya, budaya lompat batu (hombo batu) merupakan budaya tradisional yang di miliki oleh seluruh masyarakat desa yang tergabung dalam Ori Maenamolo. Budaya hombo batu memiliki sejarah yang sarat dengan peperangan, patriotisme dan bersifat heroik. Desa Bawomataluo saat ini merupakan satu-satunya desa yang masih menyimpan hasil-hasil budaya Nias Selatan lengkap dengan atribut-atribut budaya tradisional khas Nias Selatan termasuk hombo batu. Desa Bawomataluo juga menyimpan hasil budaya Nias Selatan yang lainnya selain hombo batu, seperti: seni tari dan ritual budaya, batu-batu megalit serta rumah adat yang telah berusia ratusan tahun. Hombo Batu dahulunya merupakan tempat latihan fisik bagi para pemuda di Ori Maenamolo, sekaligus menjadi tolak ukur kematangan seorang pemuda untuk menjadi prajurit perang. Menurut penuturan dari para informan, mereka mengatakan bahwa seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, budaya hombo batu saat ini telah menjadi budaya wisata, perubahan ini juga yang mempengaruhi terjadinya perubahan hombo batu dalam segi bentuk, makna dan fungsi yang sesungguhnya. Hombo batu menjadi salah satu objek wisata yang tidak kalah menarik dengan tempat wisata lainnya yang ada di Nias Selatan, berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Para wisatawan tidak puas rasanya kalau belum menyaksikan atraksi ini. Hal ini juga yang membuat para pemuda desa di daerah tujuan wisata telah menjadikan kegiatan dan tradisi ini menjadi aktivitas komersial. Untuk menyaksikan atraksi ini, para wisatawan harus membayar sejumlah uang kepada para pelompat batu. Perubahan budaya tradisional menjadi budaya wisata telah membawa perubahan sosial ekonomi maupun budaya bagi masyarakat Desa Bawomataluo. Perubahan fungsi budaya hombo batu pada masa kini telah memberikan peluang dan kesempatan kerja yang lebih terbuka kepada masyarakat Bawomataluo, yang mengarahkan masyarakat desa ini dan sekitarnya untuk lebih mandiri dan sejahtera.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Desa Bawomataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias, wisatawan hombo batu dan masyarakat perantau yang berasal dari Pulau Nias. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

(10)

ii ABSTRACT

At first the stone jumping culture (hombo batu) is a traditional culture that is owned by the whole village joined in Maenamolo Ori. Hombo batu culture has a history laden with war, patriotism and heroic character. Bawomataluo village today is the only village which still keeps the results of South Nias culture complete with traditional cultural attributes typical of South Nias including hombo batu. Bawomataluo village also store the results of the South Nias culture other than hombo batu, such as dance and ritual culture, stone megaliths and houses that are centuries old. Hombo batu was once a place of physical exercise for youths in Ori Maenamolo, as well as a measure of the maturity of a young man to become a warrior. According to the narrative of the informants, they say that as time goes by and the times, the culture hombo batu has now become a tourist culture, this change is also affecting changes hombo batu in terms of form, meaning and function of the real. Hombo batu into one of the attractions that are not less interesting to other tourist attractions in South Nias, various actions and styles of the jumper when you're on the air. The tourists are not satisfied taste if you do not see the attraction of this. It also makes the village youth in tourist destinations and activities have made this tradition into a commercial activity. To watch this attraction, the tourists have to pay some money to the stone jumper. Changes in traditional culture into tourist culture has brought socio-economic and cultural changes for people Bawomataluo village. Hombo batu cultural function changes in the present has provided opportunities and employment opportunities are more open to the public Bawomataluo, who directs this village and surrounding communities to be more self-sufficient and prosperous.

The method used is the case study method with a qualitative approach. Data was collected by observation, interview, and literature study. In this study, the unit of analysis is the village community Bawomataluo Fanayama District of Nias, tourists hombo batu and society immigrants who came from the island of Nias. Interpretation of the data is done by using the data obtained from observations and interviews, which are interpreted based on a literature review support so that it can be concluded.

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia terkenal dengan keberagaman budaya yang dimilikinya, setiap daerah mempunyai ciri tersendiri dalam hasil budaya yang dimiliki. Keberagaman budaya ini merupakan kekayaan yang kita miliki sebagai masyarakat yang ada didalamnya. Beragam budaya Indonesia yang khas dan sangat menarik untuk kita ketahui, bahkan wisatawan asing juga tertarik untuk ikut menikmati pertunjukan budaya khas Indonesia tersebut, diantaranya: upacara Tabuik di Sumatera Barat, Makepung atau Balap Kerbau di masyarakat Bali,

atraksi Debus di Banten, Karapan Sapi di Madura Jawa Timur, upacara Kasada di Bromo dan lain-lain. Pertunjukan budaya ini mempunyai makna disetiap gerakan, peralatan dan perlengkapan yang digunakannya. Ada yang dijadikan sebagai simbol untuk mengungkapkan perasaan, melatih kekuatan fisik, ketangkasan dan juga untuk ritual keagamaan.

(12)

2

Secara tidak langsung, masyarakat di Desa Bawomataluo telah menjadi bagian dari pariwisata di desa ini. Kegiatan para wisatawan selama berkunjung di Desa Bawomataluo yang terdorong oleh daya tarik hombo batu ikut mempengaruhi pendapatan masyarakat setempat. Jasa angkutan, ojek atau RBT, jasa pemandu wisata, penjualan berbagai bentuk souvenir, penjualan makanan dan minuman merupakan beberapa contoh manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat setempat.

Selain itu pendapatan secara ekonomis lainnya adalah kontribusi yang dikenakan kepada para pengunjung Desa Bawomataluo dengan pengelolaan lahan parkir, dimana sisi komersilnya dapat dikalkulasikan betapa signifikan pendapatan dari sektor ini. Pengenaan kontribusi terhadap pengunjung Rp. 5.000 per orang. Menurut data yang diperoleh dari kantor Kepala Desa Bawomataluo, jumlah pengunjung pada tahun 2014 sebanyak 102.473 orang. Dengan demikian, pendapatan dari kontribusi yang dikenakan kepada pengunjung per tahunnya rata-rata sekitar Rp. 512.365.000. Dengan adanya pemasukan bagi masyarakat dan daerah, tentunya sangat menunjang terwujudnya masyarakat yang sejahtera.

(13)

3 Gambar 1.1 Peselancar di Pantai Sorake.

(14)

4

Gambar 1.2 Hombo Batu Pulau Nias Pada Mata Uang Rp. 1000.

Hombo batu merupakan dua suku kata dalam bahasa Nias, khususnya

dialek Nias Selatan. Kata hombo sendiri tidak memiliki makna apa-apa atau tidak dapat berdiri sendiri bila tidak terdapat kata imbuhan atau suatu kata yang mengikutinya. Sama halnya kata layang dalam bahasa Indonesia yang sulit diartikan bila tidak terdapat kata imbuhan seperti melayang yang berarti terbang dengan sayap tidak bergerak atau terbang karena dihembus angin. Menurut penulis kamus Li Niha, Apollo Lase (2011:8), hombo merupakan kata dasar dari mohombo yang artinya terbang. Lase menjelaskan bahwa beberapa kata dalam

bahasa Nias memang tak bisa sebangun dengan bahasa Indonesia. li niha (bahasa Nias) selalu atau hampir semua ditandai dengan awalan mo. Misalnya, mofano yang berarti pergi, berasal dari kata fano. Kata fano tidak memiliki arti dalam bahasa Nias.

(15)

5

disusun oleh Sitasi Zagoto (2010:7), hombo batu diartikan sebagai olah raga tradisional di Nias, yaitu melompati batu bersusun yang tingginya 2,5 meter. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Lase, kata hombo juga tidak diterangkan oleh Zagoto. Dalam tulisannya, Zagoto hanya memberikan keterangan noun atau kata benda pada kata hombo namun tidak menjelaskan artinya.

Dari kata hombo, Zagoto langsung menjelaskan beberapa kata yang berkaitan, seperti hombo batu, homboi (lompati, lampaui), fahombo (melompat tinggi), muhombo dalam dialek Nias Selatan sama dengan mohombo dalam dialek Nias Tengah dan Nias Utara yang berarti terbang. Nias Selatan memiliki dialek bahkan bahasa yang berbeda dengan Nias Utara atau Nias Tengah. Oleh karena itu, kamus li niha yang ditulis oleh Apollo Lase di atas lebih condong ke bahasa Nias Utara sedangkan kamus yang ditulis oleh Zagoto identik dengan dialek atau bahasa Nias Selatan li niha raya.

Beberapa sumber seperti masyarakat Pulau Nias dan media massa mengatakan bahwa awalnya, budaya hombo batu ini diciptakan sebagai wadah untuk melatih fisik dan mental para remaja pria di Nias Selatan menjelang usia dewasa. Makna hombo batu saat ini mempunyai beberapa versi antara lain:

a. Melatih ketangkasan dan kriteria untuk menjadi prajurit perang

(16)

6

secara berturut-turut sebanyak tiga kali, akan dipilih menjadi prajurit perang. Ketika telah menjadi prajurit, maka mereka berkesempatan untuk menjadi samu’i yakni prajurit perang yang berhasil mengalahkan musuh di medan

perang dan mampu membawa penggalan kepala musuh yang akan dipersembahkan kepada Si’ulu (Pimpinan tertinggi atau raja di Nias Selatan). Dengan berhasilnya seorang prajurit di medan perang, dia akan diberikan fondrako (penghargaan) berupa rai ana’a (mahkota yang terbuat dari emas)

dan dijamu dengan pesta yang sangat meriah. Sehingga setiap pemuda berlomba dan berusaha untuk bisa melewati ujian hombo batu tersebut.

(17)

7

b. Sarana olah raga bagi pemuda di Nias Selatan

Bagi sebagian masyarakat Nias menganggap bahwa hombo batu hanya sebagai sarana olah raga bagi pemuda di Nias Selatan. Tidak ada bedanya dengan olah raga lainnya seperti sepak bola, voli ataupun tennis. Setiap desa memiliki pelompatnya masing-masing, dan telah dipersiapkan khusus untuk mengikuti lomba hombo batu. Seperti olah raga lain pada umumnya, yang sering di perlombakan, hombo batu juga rutin dipertandingkan dalam rangka menyambut hari raya ataupun hari besar agama. Pelompat-pelompat inilah yang akan ikut dalam turnamen hombo batu tersebut. Penilaiannya adalah ketinggian dan gaya yang ditampilkan oleh pelompat. Bagi pemenang akan mendapatkan hadiah dan hal ini merupakan kebanggaan yang luar biasa bagi dirinya sendiri, keluarga dan juga untuk kampung asalnya.

c. Kesenian

Selain untuk melatih ketangkasan olah raga, hombo batu juga merupakan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai sarana dalam upacara adat istiadat dan ritual dalam kehidupan masyarakat Nias Selatan pada masa lalu. Kesenian kebudayaan hombo batu ini menyimpan sejumlah makna filosofi yang arif dan rasional. Biasanya pertunjukannya dilakukan ketika ada pesta penikahan ataupun kematian di keluarga Si’ulu (raja) dan juga kepada para perangkat desa di Nias Selatan.

d. Menandakan kedewasaan dan syarat untuk menikah

Salah satu makna yang hombo batu berkembang di luar Pulau Nias bahwa hombo batu merupakan patokan bagi seorang pemuda di Pulau Nias untuk

(18)

8

dikatakan sudah dewasa dan berhak untuk menikah adalah mereka yang sudah bisa melompati batu susun setinggi dua meter lebih tersebut. Hal ini berarti bagi mereka yang belum bisa melakukan hombo batu, mereka juga tidak diizinkan untuk menikah. Bagi orang yang berkunjung ke Pulau Nias, utamanya dalam penjelasan makna-makna filosofis atraksi hombo batu dan atribut serta atraksi pendukung lainnya yang dikemas dalam suatu paket wisata. Contoh ‘makna’ hombo batu yang begitu populer di media seperti yang ditulis oleh (Hernasari, 2006) berikut ini:

“...Di Pulau Nias, Sumatera Utara, ada tradisi yang tidak boleh Anda lewatkan jika berlibur ke sana. Saksikanlah hombo batu, tradisi lompat batu setinggi 2 meter untuk para pemuda. Uniknya, pemuda yang akan menikah diharuskan lulus ujian lompat batu ini. Karena setiap pemuda yang berhasil melompati batu dianggap sudah dewasa dan matang secara fisik. Jika belum berhasil, maka ia belum dinilai dewasa dan belum diizinkan menikah, menantang bukan?...”.

Tulisan ini seolah-olah merupakan kebenaran nyata yang terjadi di Pulau Nias secara menyeluruh. Apalagi kalimat yang digunakannya begitu meyakinkan pembaca bahwa apa yang disaksikannya adalah benar adanya. Cuplikan artikel ini juga kelihatannya menarik, unik dan menantang bagi yang membaca. Namun, pemaknaan secara filosofis yang sesungguhnya perlu diluruskan, sehingga setiap orang yang mengetahui tentang hombo batu, bisa mengetahui makna yang sebenarnya dari hombo batu tersebut.

e. Kebanggaan atau Prestisius

(19)

9

mau pun dari keluarganya sendiri. Karena keberhasilan ini merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa bagi orang tua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya ketika anak laki-laki mereka berhasil melewati hombo batu, maka diadakan acara syukuran. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompati hombo batu dengan sempurna untuk pertama kalinya, dengan pesta yang

sangat meriah. Para pemuda ini yang merupakan generasi yang akan menjadi prajurit pembela kampung dan keluarganya ketika suatu waktu terjadi perang dengan kampung lainnya. Karena begitu tingginya tingkat prestisius dari tradisi ini, maka setiap pemuda di Nias Selatan yang ingin menekuni hombo batu ini, melakukan latihan sejak berumur tujuh tahun. Sesuai pertumbuhan anak tersebut, mereka akan terus berlatih melompati tali dengan ketinggian yang terus bertambah sesuai usia. Akhirnya, latihan tersebut akan dibuktikan pada tradisi hombo batu ini. Jelas tidak mudah untuk melakukan tradisi ini, terbukti tidak semua pemuda dapat melakukan tradisi hombo batu ini, meskipun sudah berlatih sejak lama.

(20)

10

yang biasa disebut dengan tara hoso setinggi 40 centimeter, batu ini berfungsi untuk membantu melontarkan para pelompat untuk terbang atau melayang dan melewati hombo batu tersebut.

Gambar 1.4 Batu Pijakan (Tara Hoso).

(21)

11

maka dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang. Beberapa gambar tentang lompat batu (hombo batu) seperti tampak pada beberapa gambar dibawah ini:

Gambar 1.5 Pelompat Hombo Batu yang Beraksi dengan Berpijak di Tara Hoso.

(22)

12

Gambar 1.7 Pelompat Hombo Batu yang Sedang Beraksi dan Berhasil Mendarat dengan Sempurna.

(23)

13

Banyak yang merupakan penduduk asli Pulau Nias yang tidak tahu makna yang sebenarnya dari hombo batu. Mereka hanya sekedar mengetahui bahwa mereka mempunyai kesenian budaya tanpa mengetahui makna, nilai dan pesan yang sesungguhnya yang ingin disampaikan dalam kesenian budaya tersebut. Hal ini lah yang menjadi perhatian penulis atas keadaan budaya dalam kepariwisataan yang dikomersialkan di Desa Bawomataluo.

1.2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah adalah pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan topik atau judul penelitian. Berkaitan dengan uraian di latar belakang, maka penulis merumuskan masalah, sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah, fungsi dan makna hombo batu dalam kehidupan masyarakat Bawomataluo pada masa lalu.

2. Bagaimana pendapat para perangkat Desa Bawomataluo, pelompat hombo batu, masyarakat setempat, perantau, dan wisatawan tentang makna dan fungsi hombo batu serta pengaruhnya terhadap sosial ekonomi maupun budaya pada

masa kini?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan penelitian hombo batu, sebagai berikut:

1. Menjelaskan sejarah, fungsi dan makna hombo batu dalam kehidupan masyarakat Bawomataluo di masa lalu

(24)

14 1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil yang akan diperoleh dalam penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menjelaskan bahwa apakah telah terjadi pergeseran makna dan fungsi pada budaya hombo batu dari budaya tradisional menjadi wisata. Serta dapat menjadi referensi yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi penelitian mahasiswa sosiologi berikutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan untuk memahami makna budaya Nias khususnya hombo batu yang dapat dijadikan proses pembelajaran dalam menyikapi perubahan sosial dan menjadi bahan rujukan bagi penelitian di bidang ilmu sosial dan budaya.

(25)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Sosial

Kehidupan dalam masyarakat selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut tersebut pasti dirasakan oleh masyarakat yang ada didalamnya sendiri maupun orang-orang luar yang ingin menelaah perubahan-perubahan yang terjadi tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi ini dapat berupa perubahan-perubahan yang kurang mencolok, ada juga perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada juga perubahan yang pengaruhnya sangat lambat dan ada juga perubahan yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan yang terjadi hanya akan dapat ditemukan oleh seseorang yang pernah meneliti susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan kehidupan masyarakat tersebut dalam waktu yang lampau.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat di dunia dewasa ini, merupakan gejala-gejala normal, yang pengaruhnya cepat menjalar ke bagian-bagian dunia lainnya, disebabkan antara lain dengan munculnya berbagai teknologi komunikasi yang semakin canggih pada saat ini. Penemuan teknologi-teknologi baru yang terjadi disuatu tempat, dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat-masyarakat lain yang jauh dari tempat tersebut.

(26)

16

berlangsung terus, walaupun kadang-kadang diselingi keadaan dimana masyarakat mengadakan reorganisasi struktur unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena oleh proses perubahan tersebut. Perubahan sosial merupakan bagian dari gejala kehidupan sosial, perubahan sosial tidak dapat dipandang hanya pada satu sisi saja sebab perubahan ini mengakibatkan perubahan pada sektor-sektor lain. Pengertian dan batasan perubahan sosial ini telah banyak dibahas oleh ahli-ahli sosiologi. Studi Setiadi (2010:610) memberikan beberapa pendapat tentang arti dan batasan perubahan sosial diantaranya:

a. Selo Soemarjan menyatakan perubahan sosial adalah, segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalam nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola peri kelakuan diantara kelompok-kelompok di dalam masyarakat. b. Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan

yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

c. William Ogburn menyatakan batasan ruang lingkup perubahan sosial, mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat materiil maupun tidak bersifat materiil atau immaterial dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaan yang materiil terhadap unsur-unsur immaterial.

d. Gillin dan Gillin mengartikan perubahan sosial sebagai suatu variasi dan cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut.

(27)

17

mengalami perubahan sosial tersebut, perubahan ini bukan hanya terjadi pada bentuk fisik saja, tetapi juga mencakup nilai, norma, stuktur dan budaya dalam masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak selalu berarti sebuah kemajuan yang dialami oleh masyarakat, tetapi ada kalanya perubahan sosial yang terjadi didalam masyarakat menimbulkan kemunduran bagi kualitas hidup masyarakat, meskipun gejala perubahan biasanya selalu di usahakan agar mengarah pada tujuan yang lebih baik.

Pada dasarnya manusia ingin terus berubah untuk maju dan meningkatkan kualitas hidupnya dan kelompoknya, hal ini lah yang membuat dan mendorong kehidupan sosial senantiasa mengalami perubahan, baik dalam perubahan sosial maupun budaya salah satu faktor yang mendorong timbulnya perubahan sosial dan kebudayaan adalah, karena manusia senantiasa menghadapi masalah-masalah dan persoalan-persoalan hidup yang baru yang lebih rumit. Kerumitan ini membuat manusia untuk senantiasa berpikir untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapinya. Masalah dan kerumitan yang dihadapi akan terus ada dan berubah, sehingga, seiring waktu berjalan maka perubahan sosial dan budaya pun terus terjadi.

2.2. Dampak Perubahan Sosial

(28)

18

secara bertahap, dampak ini tidak langsung dirasakan oleh masyarakat. Sedangkan efek langsung adalah perubahan yang terjadi dan menyentuh sendi kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan, dan akibatnya dirasakan oleh masyarakat. Dampak perubahan sosial yang terjadi bisa menjadi hal yang positif dan bisa juga hal yang negatif bagi masyarakat yang mengalami perubah dalam (Martono 2013:26).

Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat yang menyangkut berbagai sendi kehidupan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh keadaan pariwisata maupun kedatangan, diantaranya

(29)

19

kerajinan dan fasilitas pendukung lainnya. Selanjutnya, pengaruh wisata terhadap aspek sosial yaitu terjadi peningkatan pengetahuan dan peran dari masyarakat dalam mengembangkan kawasan wisata Sendang Asri melalui pelatihan pembuatan produk kuliner dan memperkenalkan kesenian dan budaya asli. Kemudian pengaruh kawasan wisata Sendang Asri terhadap aspek ekonomi yaitu terjadinya perubahan kesempatan kerja bagi masyarakat yang awalnya belum memiliki pekerjaan, serta memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat di kawasan wisata.

(30)

20

maksiat di tenda-tenda di sepanjang jalan Pantai Taplau Kota Padang. Selanjutnya terjadi penurunan kualitas lingkungan dimana di sekitar pantai banyak ditemukan sampah karena minimnya perawatan kebersihan dalam pengelolaan pantai ini.

(31)

21

adanya obyek wisata Goa kreo, kini memiliki lebih banyak pilihan mata pencaharian, seperti penjualan souvenir, berjualan/berdagang, menjadi pemandu wisata dan sebagainya. Selanjutnya dalam bidang soial, yaitu masalah tempat tinggal yang dulu hanya papan kayu atau anyaman bambu sekarang beralih ke tembok batu-bata. Kemudian dalam bidang pendidikan, masyarakat yang dulu hanya tamatan SD, sekarang mulai membaik bahkan beberapa sampai ke perguruan tinggi. Untuk masalah budaya kehidupan para masyarakat yang sebagian besar sebagai petani atau pekebun berpengaruh pada masyarakatnya yang turun temurun. Tetapi dengan adanya Waduk Jatibarang sebagai pendukung obyek wisata Goa Kreo, tentunya ada peralihan mata pencaharian yang semula dari sektor pertanian ke sektor pariwisata.

(32)

22

pendidikan pembangunan Jembatan Suramadu membawa dampak yang positif bagi masyarakat di Desa Sukolilo Barat Kecamatan Labang Kabupaten Bangkalan yakni muncul dua sekolah negeri baru yakni SMK dan SMP. Dampak dalam bidang budaya dimana terdapat kerjasama budaya antar Suku Madura dengan Suku Jawa, yakni kirab dan lomba perahu hias di daerah pesisir dekat Jembatan Suramadu untuk memperingati Hari Raya Ketupat, dan juga dampak dalam bidang tingkat pendapatan masyarakat, yaitu membuat mereka yang aktif dan kreatif mempunyai pekerjaan yang baru yang juga berpengaruh pada peningkatan pendapatan.

2.3. Hubungan Perubahan Sosial dengan Perubahan Kebudayaan

Budaya selalu mengandung nilai, Hans Jonas dalam (Bertens, 2001:139-140) mengatakan bahwa nilai adalah alamat sebuah kata iya (value is address of a yes), atau kalau diterjemahkan secara konstektual, nilai adalah sesuatu yang

ditunjukkan dengan kata iya. Definisi ini merupakan definisi yang memiliki kerangka lebih umum dan luas. Kata iya dapat mencakup nilai keyakinan individu secara psikologis maupun nilai patokan normative secara sosiologis. Demikian pula penggunaan kata alamat dalam definisi itu dapat mewakili arah tindakan yang ditentukan oleh keyakinan individu maupun norma sosial.

(33)

23

seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai-nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

Perbedaan antara perubahan sosial dengan perubahan budaya dalam masyarakat sering dipertanyakan, perbedaan tersebut bisa dilihat dari bagaimana masyaratkat itu sendiri melihat perbedaan antara perubahan sosial dengan perubahan kebudayaan. Apabila perbedaan pengertian tersebut dapat dijelaskan dengan benar maka dengan sendirinya perbedaan antara perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan dapat diterangkan dengan jelas juga.

Kingsley Davis (dalam Setiadi, 2010:642) dalam berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan-perubahan dalam kebudayaan. Perubahan-perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian kebudayaan termasuk dalamnya kesenian, ilmu pengetahuan teknologi, filsafat maupun perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.

(34)

24

masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan. Sebaliknya, tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam masyarakat. Dengan kata lain, perubahan sosial dan budaya memiliki satu aspek yang sama, yaitu kedua-keduanya bersangkut paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan tentang cara suatu masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya.

Meskipun perubahan sosial dan budaya memiliki hubungan atau keterkaitan yang erat, namun keduanya juga memiliki perbedaan. Perbedaan antara perubahan sosial dan budaya dapat dilihat dari arahnya. Perubahan sosial merupakan perubahan dalam segi struktur dan hubungan sosial, sedangkan perubahan budaya merupakan perubahan dalam segi budaya masyarakat. Perubahan sosial terjadi dalam segi distribusi kelompok umur, jenjang pendidikan dan tingkat kelahiran penduduk. Perubahan budaya meliputi penemuan, penyebaran masyarakat, perubahan konsep nilai susila, moralitas, bentuk seni baru dan kesetaraan gender.

(35)

25

Misalnya, lembaga keluarga, perkawinan atau negara tidak akan mengalami perubahan apabila tidak ada perubahan yang fundamental dalam masyarakat.

Suatu perubahan sosial dalam bidang kehidupan tertentu juga tidak akan berhenti dalam suatu titik. Maksudnya, perubahan sosial akan diikuti oleh perubahan-perubahan sosial lainnya. Hal ini terjadi karena struktur lembaga-lembaga kemasyarakatan bersifat jalin-menjalin. Misalnya, apabila suatu negara mengubah undang-undang dasarnya, akan terjadi banyak perubahan yang turut mempengaruhi bidang lain seperti bidang ekonomi, struktur kelas sosial, dan bidang-bidang lainnya yang saling berkaitan.

Martono (2011:13) berpendapat bahwa saat ini proses perubahan sosial yang terjadi, dapat di ketahui dari ciri-ciri tertentu seperti :

a. Tidak ada masyarakat yang berhenti berkembang, oleh karena itu setiap masyarakat pasti akan mengalami perubahan-perubahan sosial dan budaya yang terjadi secara lambat atau secara cepat, perubahan ini juga telah terjadi terhadap masyarakat Bawomataluo dimana makna dari hombo batu yang awalnya untuk latihan fisik prajurit desa, saat ini telah berubah menjadi objek wisata

(36)

26

c. Perubahan-perubahan sosial yang cepat, biasanya mengakibatkan perubahan struktural didalam masyarakat yang sementara selama proses penyesuaian dengan perubahan-perubahan yang terjadi tersebut.

d. Secara tipologis maka perubahan-perubahan sosial dapat dikategorikan sebagai, proses sosial, segmentasi, perubahan struktur dan perubahan dalam struktur kelompok.

Sesuai dengan penjelasan di atas maka setiap perubahan harus diteliti secara seksama, apakah ada hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan sosial dengan perubahan-perubahan kebudayaan di dalam suatu masyarakat, Apakah dengan adanya perubahan fungsi dan makna dari hombo batu membuat masyarat Desa Bawomataluo merubah pola kehidupan yang sebelumnya, seperti cara berinteraksi, berpikir dan menjalankan hidup sehari-hari. Walaupun seperti yang kita ketahui selama ini ketika terjadinya suatu perubahan dalam budaya ataupun sosial, mempunyai kecenderungan untuk diikuti dengan suatu perubahan sosial yang lainnya.

2.4. Defenisi Konsep

(37)

27

Agar penelitian ini tetap pada fokus penelitian dan supaya tidak menimbulkan penafsiran ganda dikemudian hari, maka perlu dibuat defenisi konsep antara lain sebagai berikut:

a. Nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Dalam hal ini yang ingin dilihat apa hal-hal yang mereka anggap amat mulia dalam memaknai kebudayaan hombo batu di Desa Bawomataluo Kecamatan Fanayama.

b. Budaya hombo batu merupakan unsur kebudayaan khas Nias Selatan, Penulis memilih desa Bawomataluo Kecamatan Fanayama dalam hal ini karena desa ini merupakan satu-satunya desa yang masih memelihara keaslian daerahnya, dengan desa adat yang dilengkapi atribut-atribut tradisional Nias Selatan, dan desa ini yang sering dikunjungi wisatawan, ketika ingin mengetahui hasil kebudayaan Nias Selatan.

c. Pergeseran Makna dalam penelitian ini merupakan perubahan arti dan fungsi hombo batu yang diketahui dan dirasakan oleh masyakat Nias Selatan. Seperti

di jelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa pada awalnya hombo batu ada untuk melatih para prajurit perang, setelah tidak ada lagi perang, maka budaya ini beralih fungsi menjadi salah satu icon wisata di Nias Selatan, sehingga masyarakat merasakan manfaat ekonomi, selain manfaat sosial dan budaya. d. Perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada

(38)

28

ini adalah, makna dan nilai sesungguhnya dari hombo batu di Desa Bawomataluo Kecamatan Fanayama, ketika awalnya sebatas untuk melatih dan mencari fisik, saat ini nilainya sudah berubah, yang membuat masyarakat merasakan nilai ekonomi dari hombo batu.

e. Budaya tradisional merupakan kebudayaan yang dibentuk dari beraneka ragam hombo batu yang ada di Desa Bawomataluo Kecamatan Fanayama yang

sampai saat ini masih ada dan menjadi salah satu tujuan wisata ketika berkunjung ke Nias Selatan, dan mejadi salah satu kekayaan dan keanekaragaman budaya di Indonesia.

(39)

29 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian studi kasus (case study) ialah suatu jenis penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik dari keseluruhan personalitas. Objek dari penelitian dapat bermacam-macam misalnya individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. Dalam hal ini, metode ini digunakan karena penelitian ini bertujuan melihat masalah yang lebih spesifik. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lai-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2005:6).

3.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Pulau Nias dikenal banyak memiliki peninggalan bertradisi megalitik, dalam berbabagai bentuk termasuk pula adat. Seperti halnya dengan belahan lain Nusantara, Pulau Nias dan pulau-pulau di sekitarnya juga mempunyai masa dimana sentuhan dengan bangsa dan budaya lain terjadi. Secara garis besar hal itu terkait dengan masa-masa klasik Indonesia, masa kedatangan Islam dan kelak diikuti dengan masa pengaruh kebudayaan barat berikut agama Kristennya.

(40)

30

pinggang atau dasar bukit. Tindakan terakhir itu lebih dikaitkan dengan memudahkan upaya pihak Belanda untuk memantau dan mengawasi aktivitas masyarakatnya. Sampai sekitar tahun 1950 an tradisi megalitik di Pulau Nias masih dapat dikatakan living monument atau monumen yang masih hidup, dimana beberapa upacara besar yang dilakukan kelompok masyarakat dilanjutkan dengan pendirian bangunan megalitik owasa, sekalipun ukurannya sangat kecil. Adapun manfaatnya bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Pulau Nias pada khususnya terutama dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi, sosial dan ideologi dalam upaya pembentukan jati diri.

Jejak megalitik di Pulau Nias cukup banyak. Di berbagai pelosok Pulau Nias ditemui peninggalan peninggalan lama, yang sebagian tidak terawat. Batu alam yang berukuran besar disusun dan dibuat menjadi berbagai bentuk karya budaya bertradisi megalitik. Gowe misalnya, adalah peninggalan yang memiliki latar belakang historis yang sangat ritual. Hal itu berupa dua batu berukuran besar yang masing-masing berbentuk lonjong yang merupakan lambang laki-laki dan bulat ceper yang melambangkan perempuan. Material yang digunakan dibawa dari sungai yang berada cukup jauh dari tempat upacara dilakukan. Ratusan orang terlibat dalam pengangkutannya, dan tukang pahat berbakat mengerjakannya dengan serius.

Gowe didirikan sebagai peringatan bagi penduduk suatu wilayah

(41)

31

bahwa keluarga penyelenggara upacara tersebut memang memiliki kekuatan sosial yang tinggi (Zaluchu,1993:16).

Bagi penduduknya keberadaan tradisi megalitik tetap menjadi dasar dalam menyikapi sentuhan, pertukaran, penyerapan dan perubahan kebudayaan yang terjadi. Dinamikanya tetap meninggalkan jejak dalam sisa budaya materialnya. Pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang juga mengalami permasalahan yang sama dengan wilayah lainnya. Berkenaan dengan upaya pengaturan hidup keseharian masyarakatnya, jauh sebelum Belanda memperkenalkan pengadilan dengan sistem hukum barat, masyarakat Pulau Nias menerapkan hukum wilayah yang disebut banua.

Pemerintahan-pemerintahan lokal dikepalai oleh seorang Sanuhe atau Siulu yang dalam mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tata hidup

masyarakat, hukum dijalankan oleh sebuah lembaga disebut fondrako. Hal-hal yang ditentukan atau diatur melalui fondrako mencakup aspek-aspek fondu atau kepercayaan/agama, fangaso (perekonomian), hao-hao atau ele-ele atau kebudayaan, forara haofowanua atau hak dan kewajiban, serta bowo atau keadilan sosial. Adapun untuk kepentingan perluasan kekuasaan maka sanuhe atau salawa mbanua membentuk perikatan yang disebut ori dan dikepalai oleh salah seorang

(42)

32 Gambar 3.1 Gedung Bale (balai pertemuan).

Berada di bagian barat daya wilayah Provinsi Sumatera Utara, Pulau Nias berjarak sekitar 85 mil laut dari Pelabuhan Sibolga di daratan Pulau Sumatera. Kepulauan Nias yang terdiri atas 132 buah pulau, Pulau Nias merupakan pulau terbesar dengan luas tidak kurang dari 5.449,70 km. Pulau Nias berbatasan dengan Pulau Banyak di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, di sebelah utara Pulau Mursala di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah di sebelah timur, Pulau Mentawai di wilayah Provinsi Sumatera Barat di sebelah selatan, sedangkan di sebelah barat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

(43)

33

tebing karang yang menyulitkan pencapaiannya dari arah laut. Daerah perbukitan berada di bagian tengah pulau. Kepulauan Nias yang masih tercatat sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara ini, telah dimekarkan menjadi empat kabupaten yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Utara dan Kabupaten Nias Barat ditambah satu Kotamadya Gunung Sitoli.

Gambar 3.2 Peta Pulau Nias. 3.2.1 Kabupaten Nias Selatan

(44)

34

terletak di sebelah barat Pulau Sumatera, berjarak sekitar 92 mil laut dari Kota Sibolga dengan perbatasan wiyalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara: Kabupaten Nias

2. Sebelah Selatan: Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat

3. Sebelah Timur: Kabupaten Mandailing Natal dan Pulau-Pulau Mursala, Kabupaten Tapanuli Tengah

4. Sebelah Barat: Kabupaten Nias Barat

Sebelum pemekaran Pulau Nias menjadi beberapa kabupaten, daerah Kabupaten Nias Selatan dewasa ini adalah himpunan desa-desa yang ada di daerah Kecamatan Teluk Dalam saat itu dan beberapa pulau yang terletak di bagian Selatan Pulau Nias. Menurut catatan yang diinformasikan oleh tim Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Nias Selatan, leluhur orang Nias di daerah Teluk Dalam yang migrasi dari daerah Gomo saat itu ada empat orang dengan daerah pendudukan mereka masing-masing yang disebut Ori, yakni:

1. Molo, keturunannya mendiami Ori Maenamolo saat ini 2. Lalu, keturunannya mendiami Ori Onolalu sekarang 3. Zino, keturunannya mendiami Ori Mazino dewasa ini 4. Ene, keturunannya mendiami Ori To’ene hingga kini.

Dari keterangan ini jelas menggambarkan bahwa tradisi-tradisi Nias Selatan dewasa ini bersumber dan identik dengan kebudayaan daerah Teluk Dalam yang berasal dari keempat nenek moyang tersebut di atas.

(45)

35

masih kental dengan tradisi hombo batu dan rumah adat (omo nifobawalasara) yang masih tertata dengan rapi, yakni di Desa Bawomataluo. Oleh karena daerah Maenamolo terus dimekarkan menjadi beberapa kecamatan sehingga terasa begitu luas wilayahnya, keempat desa tersebut sudah berbeda kecamatan saat ini. Misalnya, Desa Bawomataluo dan Orahili Fau termasuk dalam Kecamatan Fanayama, Desa Hiliamaetaniha tercatat di Kecamatan Luaha Gundre dan Desa Hili Simaetano masuk Kecamatan Mania Molo.

3.2.2 Letak dan Keadaan Geografis Desa Bawomataluo

Desa Bawomataluo saat ini termasuk dalam Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Luas area pedesaan ± 5 (lima) hektar dan berada pada ketinggian sekitar 400 meter atau 1.313 kaki di atas permukaan laut. Nama Bawomataluo sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “Bukit Matahari”. Dari nama ini sudah dapat dibayangkan bahwa desa ini memang dibangun di atas perbukitan sehingga relatif aman terhadap ancaman gelombang besar atau tsunami, meskipun jaraknya hanya sekitar 4 km dari tepi laut.

Wilayah Bawomataluo sendiri seluas 17.000 hektar dan berbatasan dengan beberapa desa berikut:

Sebelah utara: Desa Lahusa Fau dan Desa Siwalawa Sebelah selatan: Desa Hili Zihono dan Desa Sondege Asi Sebelah timur: Desa Hili Geho dan Desa Hili Sondekha Sebelah barat: Desa Orahili Fau dan Desa Hili Simaetano.

(46)

36

maupun roda empat. Sarana transportasi jalur laut dapat dicapai ke Kota Teluk Dalam dengan kapal Ferry dari Pelabuhan Teluk Bayur Sumatera Barat. Dari Kota Gunungsitoli yang merupakan Ibukota Kabupaten Nias, digunakan kendaraan umum ke Kota Teluk Dalam yang berjarak sekitar 100 km dan ditempuh selama sekitar dua jam perjalanan. Untuk jalur penerbangan, sementara ini yang telah beroperasi bandar udara Binaka yang berjarak 20 km dari Kota Gunungsitoli.

Desa Bawomataluo merupakan perkampungan tradisional yang menjadi aset pariwisata Pulau Nias, dimana orang dapat melihat atraksi hombo batu, yang pada masa lalu. Ini merupakan bagian dari rangkaian tradisi yang ditujukan khusus bagi kaum remaja yang beranjak dewasa. Desa di gugusan perbukitan ini. Rumah penduduk berjajar rapat mengikuti jalan utama dengan orientasi tenggara-barat laut. Di depan rumah-rumah tradisional itu sering diselenggarakan tari-tarian Pulau Nias, termasuk tari perang maena baluse yang dimainkan oleh puluhan penari dalam nada dinamis dan demikian mempesona penontonnya. Karena itu, maka penelitian difokuskan di Desa Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara.

3.2.3 Penduduk

Jumlah penduduk Desa Bawomataluo per Juni 2014 sebanyak 5.890 jiwa dengan 1.322 KK, yang terdiri atas laki-laki 2.730 jiwa dan perempuan 3.160 jiwa. Berikut ini tabel komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin:

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 2.730 46,35 %

Perempuan 3.160 53,65 %

Total 5.890 100 %

(47)

37

Pemukiman Desa Bawomataluo terdapat sekitar 794 rumah yang terdiri dari 142 omo hada (rumah adat), 462 omo ndrawa (rumah permanen biasa) dan 192 rumah darurat atau rumah sangat sederhana. Menurut laporan bulanan di Desa Bawomataluo, masih terdapat 300 KK yang belum memiliki rumah. Jumlah besar keluarga yang belum memiliki rumah ini biasanya keluarga baru menikah dan masih tinggal dengan orang tua mereka. Ada juga keluarga yang memang tidak mampu memiliki tempat tinggal dan mereka biasanya menumpang di rumah sanak saudara mereka yang memiliki rumah.

Jumlah rumah adat (omo hada) di desa Bawomataluo yang hanya 142 unit, memang tidak sebanyak rumah biasa lainnya. Namun rumah-rumah adat ini berada tepat di jantung kampung Bawomataluo. Berdasarkan ukurannya terdapat 3 jenis omo hada di desa ini yakni omo hada sebua (rumah adat yang sangat besar milik raja di desa tersebut) sebanyak 1 unit, omo hada sito’olo (rumah adat dengan ukuran agak besar) sebanyak 15 unit, dan sisanya omo hada side-ide (rumah adat ukuran kebanyakan).

(48)

38

3.2.4 Sarana Ibadah dan Pendidikan di Desa Bawomataluo

Di Desa Bawomataluo terdapat lima unit sarana ibadah berupa gereja sebab mayoritas penduduk desa ini menganut agama Kristen. Penganut agama Katolik hanya sekitar 1.857 atau dari total jumlah penduduk di desa ini. Agama Protestan jauh lebih banyak dengan jumlah umat mayoritas yakni 4.015 orang atau sekitar dari jumlah penduduk Desa Bawomataluo. Berikut ini tabel yang menunjukkan persentasi umat beragama di Desa Bawomataluo:

Sumber: Diadaptasi dari Laporan Bulanan Desa Bawomataluo Periode Juni 2014.

Sarana pendidikan di Desa Bawomataluo termasuk memadai sebab desa ini telah ada 1 (satu) Taman Kanak-Kanak, 2 (dua) lembaga Sekolah Dasar, 2 (dua) perguruan Sekolah Menengah Pertama, 1 (satu) Sekolah Menengah Atas, 1 (satu) Sekolah Menengah Kejuruan dan bahkan sudah terdapat kursus bahasa Inggris di bawah pimpinan Petrus Zagoto dan asuhan Elmina Hura.

3.2.5 Sosial Ekonomi Desa Bawomataluo

Pengembangan pariwisata di Nias Selatan, khususnya di Desa Bawomataluo terus diupayakan. Utamanya pada empat tahun belakangan ini. Desa Bawomataluo di bawah pimpinan Bapak Ariston Manao terus berbenah diri dalam pembangunan ekonomi berbasis pariwisata budaya. Bahkan sejak tahun 2009, Desa Bawomataluo telah didaftarkan menjadi salah satu warisan budaya

Agama Jumlah penganut Persentase

Kristen Protestan 4.015 68,17 %

Kristen Katolik 1875 31,83 %

(49)

39

dunia di UNESCO dan desa ini tidak patah semangat dalam memperkenalkan budayanya ke seluruh nusantara, bahkan dunia.

Perjuangan ini dapat dilihat dari kunjungan wisatawan yang melonjak setiap tahunnya. Penyebabnya adalah ketika diadakannya suatu pagelaran budaya di desa ini yang biasa dinamakan “Festival Bawomataluo”. Kunjungan wisatawan yang meningkat sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi berupa pendapatan daerah dan kesempatan kerja yang terbuka bagi masyarakat di Desa Bawomataluo. Pertumbuhan perekonomian suatu dareah berkaitan erat dengan kesejahteraan kehidupan masyarakatnya, sehingga pertumbuhan ekonomi di harapkan bisa terjadi di setiap daerah. Banyak hal-hal yang unik dan menarik ketika berkunjung ke Desa Bawomataluo, diantaranya adalah seperti tampak pada beberapa gambar berikut ini:

(50)

40

Gambar 3.5 Pintu Gerbang Menuju Desa Bawomataluo.

(51)

41

Gambar 3.7 Bale (Balai Desa) Sebagai Tempat Orahu Mbanua Atau Rapat Untuk Wadah Musyawarah Desa di Desa Bawomataluo.

(52)

42

Gambar 3.9 Batu Va’ulu yang Tepat Berada di Depan Rumah Si’ulu di Desa Bawomataluo.

(53)

43

Gambar 3.11 Pemandangan ke Pantai Sorake, Dilihat dari Puncak Pintu Gerbang Utama di Desa Bawomataluo.

Bebarapa gambar di atas merupakan dokumentasi penulis ketika meneliti di Desa Bawomataluo. Gambar tersebut menunjukkan bahwa daya tarik Desa Bawomataluo, bukan hanya pada hombo batu yang begitu populer di desa ini, tetapi banyak hal lain yang mengagumkan yang bisa di nikmati para wisata ketika berkunjung ke desa ini seperti. Omo sebua (rumah adat milik raja desa setempat) juga menjadi kebanggaan Desa Bawomataluo, Rumah adat yang masih tertata rapi ba mboto mbanua (pada kampung inti), batu megalit yang berumur ratusan tahun

(54)

44 3.3. Teknik Pemilihan Informan

Teknik yang dilakukan dalam pemilihan informan pada hakekatnya sejalan dengan tujuan yang akan dicapai melalui penelitian ini, yang terkait dengan pemaknaan hombo batu dari budaya tradisional menjadi budaya wisata. Untuk itu pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive, dengan dasar pertimbangan bahwa informan yang dipilih adalah benar-benar memahami persoalan penelitian baik yang terlibat langsung dalam kegiatan hombo batu yang menjadi topik penelitian maupun yang memiliki kompetensi dengan pokok permasalahan penelitian. Melalui teknik purposive ini informan dipilih berdasarkan kriteria penilaian tertentu yang dipandang dapat mewakili data berkaitan dengan objek penelitian. Maka dalam penelitian ini, peneliti memilih informan pelompat hombo batu dari Desa Bawomataluo maupun diluar yang masih berada di Nias selatan. Peneliti juga memilih informan yang dianggap sebagi tokoh adat, masyarakat setempat dan wisatawan yang mengunjungi Desa Bawomataluo.

Pemilihan informan yang dilakukan juga didasarkan pada pengamatan yang dilakukan peneliti selama dalam proses penelitian. Oleh karena itu dalam pemilihan informan juga harus diperhatikan mengenai faktor latar belakang informan maupun ketersediaan waktu dari informan dalam memberikan informasi maupun penjelasan atas pertanyaan yang diberikan oleh peneliti.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

(55)

45

1. Data Primer yaitu informasi yang langsung diperoleh dari informan penelitian di lokasi penelitian. Untuk mendapatkan data primer dapat dilakukan dengan: a. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman guide wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin, 2007).

b. Observasi yaitu pengamatan oleh peneliti baik secara langsung ataupun tidak langsung. Metode observasi langsung dilakukan melalui pengamatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian pada saat peristiwa sedang berlangsung (Nawawi, 2006:67). Metode observasi langsung ini dilakukan jika informan tidak dapat menjelaskan mengenai tindakan yang ia lakukan atau karena ia tidak ingin menjelaskan mengenai tindakannya. Oleh karena itu data dari metode observasi langsung diharapkan dapat menjadi penunjang data dari metode wawancara. Data yang diperoleh dari observasi ini adalah untuk melihat kondisi geografis lokasi penelitian tempat dimana masyarakat Desa Bawomataluo tinggal.

(56)

46 3.5. Interpretasi Data

Dalam penelitian kualitatif peneliti dapat mengumpulkan banyak data baik dari hasil wawancara, observasi maupun dari dokumentasi. Data tersebut semua umumnya masih dalam bentuk catatan lapangan. Oleh karena itu perlu diseleksi dan dibuat kategori-kategori. Data yang telah diperoleh dari studi kepustakaan juga terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan relevansinya dengan permasalahan penelitian. Setelah itu data dikelompokkan menjadi satuan yang dapat dikelola, kemudian dilakukan interpretasi data mengacu pada tinjauan pustaka. Sedangkan hasil obsevasi dinarasikan sebagai pelengkap data penelitian. Akhir dari semua proses ini adalah penggambaran atau penuturan dalam bentuk kalimat-kalimat tentang apa yang telah diteliti sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan-kesimpulan (Faisal,2007:257).

3.6. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menyadari masih banyak keterbatasan peneliti dalam segi isi maupun penulisan, baik karena faktor internal di mana peneliti memiliki keterbatasan ilmu dan materi juga karena faktor eksternal seperti informan. Untuk itu bagi para akademisi yang ingin menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pengambilan keputusan diharapkan memperhatikan keterbatasan peneliti dalam penelitian ini yaitu:

(57)

47

2. Ruang dan waktu dalam penelitian juga cukup terbatas, sehingga diharapkan penelitian ini sebaiknya dilakukan dalam waktu yang relatif lama agar data-data lapangan dapat terkumpul lebih mendalam lagi.

(58)

48 BAB IV

PANDANGAN INFORMAN TENTANG MAKNA LOMPAT BATU (HOMBO BATU): SEBAGAI BUDAYA TRADISIONAL

ATAU BUDAYA WISATA

4.1. Sejarah dan Pergerseran Bentuk, Fungsi Serta Makna Hombo Batu dari Sudut Pandang Para Informan

4.1.1 Wawancara dengan Bapak Bajamaoso Fau Tentang Sejarah Hombo Batu

Bajamaoso Fau (laki-laki, 58 tahun) selaku kepala adat (balo zi’ulu) Desa Bawomataluo, mengatakan bahwa munculnya hombo batu pada mulanya bukan sebagai olah raga atau hiburan semata seperti yang kita saksikan dewasa ini. Hombo batu memiliki sejarah yang sarat oleh peperangan, patriotisme dan bersifat

heroik. Hombo batu pada mulanya tercetus karena sering terjadi perang antar-daerah atau Ori. Kala itu, Ori Maenamolo yang dipimpin oleh Amada Samofo ingin direbut oleh Ori Laraga yang dipimpin oleh Etebaekhu.

Melihat jumlah prajuritnya yang tidak sebanding dengan jumlah prajurit Ori Laraga, Amada Samofo membuat strategi dengan cara menunjuk sebatang pohon beringin besar yang sudah roboh dengan ketinggian diameternya sekitar empat meter, untuk dilompati. Fau menjelaskan bahwa Amada Samofo memberi syarat, siapa di antara kedua pemimpin ori yang berhasil muhomboi (melompati/melampaui) pohon beringin tersebut maka ori-nyalah yang berhak menduduki Ori Maenamolo. Sebaliknya, apabila Ori Laraga yang kalah, maka mereka harus meninggalkan Maenamolo.

(59)

49

beliau minta giliran pertama untuk melompati batang pohon tersebut, dan dia berhasil melakukannya. Beliau tidak rela apabila Ori Maenamolo dikuasai oleh Laraga. Maka, ketika akan tiba giliran Etebaekhu yang melompati batang pohon itu, Amada Samofo memberikan isyarat kepada prajuritnya untuk menyambut Etebaekhu di seberang pohon tersebut dengan menebas paha dan lehernya ketika dia akan mendarat dari lompatan terhadap pohon beringin tersebut. Pada akhirnya, Laraga dipukul kalah dan pimpinannya yakni Etebaekhu mati dibunuh. Dengan demikian Ori Maenamolo tetap dipertahankan hingga saat ini.

Ketika memukul kalah Laraga, Amada Samofo menancapkan tongkatnya di Hilimaera yang kini populer disebut sebagai Daro’o Ji’o (ujung tongkat) sebagai perbatasan daerah Maenamolo dengan Laraga yang sekarang dikenal sebagai daerah Aramo di Pulau Nias bagian tengah. Menyadari bahwa Laraga belum musnah dan pasti akan menuntut balas akan kekalahan dan kematian pimpinan mereka, maka Ori Maenamolo dihimbau untuk manoli, yakni memagari setiap desa di daerah Maenamolo dengan bambu runcing setinggi lebih dari 4 meter sehingga tidak dapat dilewati oleh musuh. Selain itu, para pemuda di tiap-tiap desa di Maenamolo dilatih untuk dapat melompati pagar-pagar tersebut. Barang siapa yang mampu melewati pagar tersebut maka akan dicalonkan jadi prajurit perang. Mengingat bambu runcing tidak begitu tebal sehingga mudah dilewati oleh musuh, maka para pemuda mulai memiliki inisiatif untuk meningkatkan kemampuan mereka di medan perang.

(60)

50

pemuda yang mampu melompatinya sehingga ketinggian diturunkan menjadi 2 meter. Pada ketinggian 2 meter, para pemuda mampu melompati tanah liat tersebut. Agar terdapat lompatan maksimal, di atas penutup tanah liat tersebut ditambahkan janur sehingga ketinggian menjadi 2,5 meter. Ternyata, para pemuda masih mampu melewati tantangan tersebut. Kelemahan tanah liat adalah mudah roboh dan rusak. Oleh karena itu, para Si’ulu mbanua (golongan bangsawan) membuat batu bersusun setinggi 2,5 meter, tebal bagian bawah satu meter dan bagian atas (lago- lago) sekitar 80 cm. Si’ulu menjajikan kepada para pemuda desa bahwa siapa pun yang mampu melompati batu bersusun tersebut secara berturut-turut sebanyak tiga kali, akan dipilih menjadi prajurit perang. Ketika berhasil memenangkan pertempuran, maka akan diberi hadiah berupa gelar, uang dan emas kepada prajurit tersebut, sehingga begitu banyak anak muda yang ingin berlatih untuk melewati hombo batu tersebut. Ini lah awal mula sehingga dibuatnya hombo batu.

Semakin lama, perang semakin berkurang, bahkan tidak ada lagi sama sekali sampai saat ini, membuat audisi mencari prajurit perang tidak ada lagi, tetapi untuk terus melestarikan dan mengenang jasa-jasa para leluhur maka hombo batu terus di giatkan menjadi salah satu ajang olah raga bagi pemuda-pemuda Nias Selatan, ketika ada acara pesta ataupun kemalangan di keluarga si’ulu. Ketika ada acara tersebut maka pertunjukan hombo batu akan di pertunjukkan yang biasanya dahulunya pertunjukan itu berlangsung berhari-hari. Dalam perkembangannya hombo batu kemudian menjadi salah satu cabang olah raga yang sering di

(61)

51

satu objek wisata di Nias Selatan. Tentunya hal ini membawa banyak perubahan dan hal-hal yang baru bagi masyarakat Nias Selatan, khususnya masyarakat di Desa Bawomataluo. Perubahan boleh terjadi, tetapi bagi masyarakat harus selalu mengingat nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya hombo batu ini.

4.1.2 Wawancara dengan Bapak Formil Dakhi Tentang Masuknya Agama Kristen ke Kabupatan Nias Selatan dan Pengaruhnya Terhadap Hombo Batu

Formil Dakhi (laki-laki, 42 tahun) merupakan budayawan Nias Selatan yang saat ini merupakan kepala sekolah dan sekaligus guru kesenian di salah satu sekolah swasta yang ada di Kabupaten Nias Selatan. Dari penuturan Dakhi mengatakan bahwa hombo batu telah mengalami perubahan atau pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa pada mulanya hombo batu tidak seperti yang kita saksikan dewasa ini, Bermula dari bambu

setinggi 4 meter yang ujungnya dibuat tajam sehingga dapat menakuti musuh untuk melewati desa-desa di Maenamolo. Oleh karena mudah patah dan permukaannya tipis, bambu sebagai pagar pertahanan ditingkatkan menjadi tanah liat. Akan tetapi tanah liat tidak tahan terhadap cuaca, maka dibangunlah batu bersusun setinggi hingga 2,5 meter untuk dilompati.

(62)

52

sudah memeluk agama Kristen. Sementara bagian tengah dan selatan Nias, menyerah bukan karena pengabaran Injil, melainkan karena politik yang brutal oleh Belanda. Pada awal tahun 1909, benda-benda seni kepercayaan dihancurkan dan disita dalam jumlah besar di Pulau Nias bagian selatan.

Pergaulan masyarakat Nias dengan misionaris Jerman yang memberi kesan perdamaian dan bukan perang seperti yang dilakukan oleh Belanda, mempengaruhi masyarakat Nias Selatan dalam berperilaku, termasuk dalam sistem kepercayaan mereka. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama Kristen yang tidak percaya tahayul dan tidak memancing genderang peperangan, lambat-laun mempengaruhi budaya Nias Selatan. Tulisan Gea (2013) dalam kolom “sosbud” di kompasiana.com yang berjudul “Ikatan Kuat antara Jerman dan Nias”, sedikit menjelaskan mengenai pengaruh budaya Jerman terhadap kebudayaan Nias. Dicontohkannya, Bendera Jerman yang berwarna hitam, merah dan kuning, memang sangat dominan terhadap pakaian adat di Kepulauan Nias, baik Nias bagian utara maupun selatan.

Gambar

Gambar 1.3 Batu Yang Harus di  Lompati.
Gambar 1.4 Batu Pijakan (Tara Hoso).
Gambar 1.6 Pelompat Hombo Batu yang Menyentuh Permukaan Batu dan Dinyatakan Gagal.
Gambar 1.7 Pelompat Hombo Batu yang Sedang Beraksi dan Berhasil Mendarat dengan Sempurna
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat pesisir pascakonversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan

Terkait dengan penelitian ini, dampak komodifikasi Pura Tirta E mpul dalam konteks pariwisata global terhadap sosial budaya masyarakat setempat tidak dapat secara

Terkait dengan penelitian ini, dampak pemanfaatan Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global terhadap sosial budaya masyarakat setempat tidak dapat secara cepat

Proses perubahan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Desa Cihideung melalui tiga tahap, sebagaimana Soekanto (2008, hlm. 288-291) yaitu: 1) Penyesuaian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi lokal masyarakat nelayan Pancana dalam bentuk modal sosial, modal budaya dan modal kelembagaan sebagai

Terkait dengan penelitian ini, dampak komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global terhadap sosial budaya masyarakat setempat tidak dapat secara cepat

Dalam penelitian ini juga ditemukan dampak perubahan musik arak-arakan terhadap sosial budaya masyarakat Pauh V saat ini adalah adanya perubahan pada gaya hidup, terbentuknya