PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
Oleh :
IZZATUL LAILAH 1110045100032
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
SANKSI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN
(LOKIKA SANGGRAHA) PADA MASYARAKAT BALI
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah ( S. Sy)
Oleh:
IZZATUL LAILAH 1110045100032
Dibawah Bimbingan:
Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA.,Ph NIP. 196912161996031001
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 14 Juli 2014
IzzatulLailah. NIM 1110045100032. SANKSI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA
KESUSILAAN ( LOKIKA SANGGRAHA) PADA MASYARAKAT BALI
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM. Konsentrasi Pidana Islam, Program Studi
Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1435 H/2014 M. + 65 halaman + 2lampiran.
Masalah utama dari skripsi ini adalah mengenai Sanksi dari Delik Adat Lokika
Sanggraha di Bali yang merupakan pelanggaran adat kesusilaan di tinjau dari hukum
pidana Islam. Di mana sanksi dalam hukum adat berbeda dengan hukum pidana
Islam.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif, yaitu berupa kalimat- kalimat,
norma-norma, serta doktrin. Penelitian ini juga merupakan penelitian hukum
normative doktriner terutama mengenai Sanksi Lokika Sanggraha.
Hasil dari penelitian ini adalah mengetahui secara spesifik mengenai Sanksi dari delik
adat Lokika Sanggraha jika dilihat dari segi hukum pidana Islam, sehingga kita dapat
mengetahui perbedaan hukum antara hukum adat dan hukum pidana Islam.
Kata Kunci : Lokika Sanggraha, Hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan yang sah
Pembimbing : Dr. Phil, Asep Saepudin Jahar, MA
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “ SANKSI BAGI PELAKU
TINDAK PIDANA KESUSILAAN ( LOKIKA SANGGRAHA) PADA MASYARAKAT BALI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM” yang
merupaka kewajiban bagi Program sarjana ( S1) Program Studi Jinayah Siyasah
Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syari’ ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan merupakan tugas
akhir untuk memperoleh Gelar sarjana ( S1). Dalam penulisan Skripsi ini, sudah tentu
penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai
pihak baik moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan
Skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih, yang setulus- tulusnya kepada:
1. H. JM. Muslimin, MA., Ph.,D., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, S.Ag., M.Ag., selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas
iii
4. Dr. Phil. Asep Saepuddin Jahar, MA., selaku dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing Skripsi.
5. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis.
6. Kepala dan Seluruh Staff/ Karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum
maupun Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memfasilitasi
tempat serta buku- buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini.
7. Lebih Khusus lagi adalah ucapan terima kasih kepada :
a. Kepada Ayahanda ( Drs. KH. Ketut Daimuddin Hasyim) dan Ibunda (
Rukayah Tabrani BA) yang tiada henti- hentinya berdo’a sehingga penulis
dapat bersemangat dalam menyelesaikan Skripsi. ( I Love You Dad and
Mom)
b. Kepada nenek tercinta Umi Hj. Maswanih yang selalu memberi semangat
dalam mengerjakan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
kuliah.
c. Kepada kakak Zhul fikri S. Hi ( a wayan) dan kakak ipar Faizah S. Pdi yang
selalu memberi support dan tiada henti- hentinya berdo’a sehingga penulis
dapat menyelesaikan Skripsi.
d. Kepada Ncing Ito, om Faisal, Ncing Wawai, Umi Dedeh, Ayah Yamin,
iv
yang tiada henti- hentinya memberikan support sehingga penulis dapat
menyelesaikan Skripsi.
e. Kepada Wayah Imaduddin Jamal yang telah memberikan masukan serta
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
f. Kepada Mbah tercinta, Ayah Bisyri, Umi, Bli Ketut Thantowi, Bli Ketut Edi,
Mba Nia, Ka Ketut Titi, serta Keluarga Besar Desa Pegayaman Bali yang
selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan Skripsi ini.
8. Prince Aizza Faqih yang dengan senang hati dan tiada henti- hentinya
memberikan dorongan serta membantu dalam penulisan Skripsi sehingga penulis
dapat menyelesaikan Skripsi ini.
9. Evi Shofiah, Rachmadyanti Dewi, Ely, dan Ayu Safitri yang selalu memberi
support sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi.
10. Teman- teman PI ( 2010) seperti, Azizah, Amanah, Dijah, Reni, Lulu, Imas,
Siska, Ika, dll. Kebersamaan dan kesolidan kita selama perkuliahan dan pergaulan
yang terkadang diselingi dengan aktivitas canda tawa memberikan arti pentingnya
sebuah persahabatan yang tak terlupakan dan menjadi catatan sejarah bagi kita
semua. “ Aku mengenal kalian tanpa sengaja mencoba akrab dengan kalian
menjalani persahabatan yang tak pernah pudar saling melengkapi satu sama lain
bersatu dalam ikatan persaudaraan, kelak…suatu saat kita telah hidup masing-
masing semoga ikatan ini tidak akan putus dan bangga mempunyai sahabat
v
12.Kepada Kepala/ Staff/ Karyawan Perpustakaan Universitas Indonesia yang telah
memfasilitasi tempat serta buku- buku referensi yang berkaitan dengan penulisan
skripsi ini.
13.Kepada Bapak I Nyoman Surata, SH., M.Hum dan Bapak I Putu Sugiardana, SH.,
MH selaku Dekan dan Dosen Hukum Pidana Adat Universitas Panji Sakti yang
telah meluangkan waktu untuk penulis melakukan wawancara mengenai skripsi
ini.
14.Kepada Bapak Drs. I Putu Wilasa selaku Ketua PHDI ( Parisada Hindu Dharma
Indonesia) yang dengan senang hati meluangkan waktu untuk saya melakukan
wawancara mengenai skripsi ini.
15.Kepada Bapak Ida Pandita Mpu Nabe Yoga Manik Geni selaku Pedande atau
Bendesa adat yang dengan senang hati memberi masukan dalam penulisan skripsi
ini.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat
membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan
masalah ini. Amien. Suksema.
Jakarta, Juni 2014
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Tinjauan Pustaka/ Penelitian Terdahulu... 9
E. Metode Penelitian... 10
F. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II TINDAK PIDANA KESUSILAAN DALAM HUKUM ADAT BALI A. Tindak Pidana Kesusilaan ... 13
B. Jenis- jenis Delik Adat Yang Menyangkut Kesusialaan ... 16
C. Sanksi Adat dan Jenis- jenis Sanksi Adat ... 18
BAB III PIDANA ZINA DARI DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA A. Definisi Lokika Sanggraha ... 22
B. Unsur- unsur Lokika Sanggraha... 31
vii
A. Terjadinya Hubungan Seksual ... 40
1. Definisi Zina ... 40
2. Unsur- unsur Tindak Pidana Zina ... 43
3. Dasar Hukum Larangan Zina ... 46
4. Macam- Macam Zina ... 48
5. Sanksi Pidana Perzinaan ( Lokika Sanggraha) dalam Hukum Pidana Islam ... 49
B. Ingkar Janji/ Khiyanat ... 55
1. Definisi Khianat ... 55
2. Hukuman Bagi Pelaku Khiyanat ... 57
C. Delik Lokika Sanggraha Dalam Hukum Pidana Islam ... 59
D. Persamaan dan Perbedaan Lokika Sanggraha pada Hukum Adat Bali dengan Zinâ Gairu Muhsan pada Hukum Pidana Islam ... 61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 63
B. Saran ... 64
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat majemuk mempunyai arti yang sama dengan istilah
masyarakat plural atau pluralistic. Biasanya diartikan sebagai masyarakat yang
terdiri dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang berbhineka
Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa arab yang artinya kebiasaan.
Pendapat ini menyatakan bahwa adat sebenarnya berarti sifat immaterial, artinya
adat menyangkut hal- hal yang berkaitan dengan system kepercayaan.1
Menurut Van Vollenhoven yang dimaksud dengan delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, walaupun dalam kenyataannya peristiwa
itu hanya merupakan sumbang yang kecil saja. Jadi, yang dimaksud dengan delik
adat itu adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan
kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum
masyarakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun
perbuatan penguasa adat sendiri.
Timbulnya reaksi masyarakat bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan
masyarakat kembali. Tetapi oleh karena reaksi masyarakat diberbagai lingkungan
masyarakat adat itu berbeda- beda maka hukum pidana adat diseluruh Indonesia
tidak sama.2
1
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm 70
2
Hukum pidana adat adalah terjemahan dari istilah Belanda “ adat delicten
recht” atau “ hukum pelanggaran adat”. apabila dikatakan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum pidana adat, maka ia harus diartikan lebih luas dari
istilah Belanda “ onrecht matigedaad” sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1365
KUH Perdata ( BW) yang menyatakan setiap perbuatan melanggar hukum yang
merugikan itu mengganti kerugian.3
Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup ( living law) dan akan terus
hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan
perundang- undangan. Andai kata diadakan juga undang- undang yang
menghapuskannya, akan percuma juga, malahan hukum pidana perundang-
undangan akan kehilangan sumber kekayaannya, oleh karena hukum pidana adat
itu lebih dekat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada hukum
perundang- undangan. 4
Menurut hukum adat kesalahan kesopanan ialah semua kesalahan yang
mengenai tata tertib tingkah laku sopan santun seseorang didalam
pengulangannya dengan anggota kerabat dan masyarakat. Misalnya seorang
pemuda tidak menghormati orang tua, wanita duduk dengan aurat setengah
terbuka kesemuanya kesalahan kesopanan. Kesalahan kesusilaan ialah semua
kesalahan yang menyangkut watak budi pekerti pribadi seseorang yang bernilai
buruk dan perbuatannya mengganggu keseimbangan masyarakat. Misalnya
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, ( Bandung: PT Alumni, 1989), hlm. 7
4
3
melakukan perbuatan maksiat, berzina, berjudi, minum- minuman keras, dan
sebagainya. Kesemuanya merupakan perbuatan asusila. Walaupun dalam hukum
adat tidak dibedakan antara yang bersifat kejahatan dan pelanggaran, maka
dapatlah dikatakan bahwa kesalahan kesopanan itu termasuk pelanggaran,
sedangkan kesalahan kesusilaan termasuk kejahatan.5
Dharma adalah hukum hindu duniawi baik yang ditetapkan maupun tidak.
Dharma adalah hukum yang bersumber dari karma phala atau hasil perbuatan
yang dijadikan ukuran atau nilai- nilai untuk berbuat yang pantas atau
seyogyanya. Menurut Kautilya Dharma dapat dibedakan menjadi dua bagian
yaitu Kantaka Sodhana dan Dharmasthiya.
Kantaka Sodhana pada umunya mengatur hal- hal yang menyangkut
tentang dusta, corah dan paradara serta sanksi hukum yang patut dijatuhkan
kepadanya. Dusta adalah kejahatan terhadap nyawa orang lain, Corah adalah
kejahatan terhadap harta benda orang lain. Paradara adalah kejahatan terhadap
kesopanan dan kesusilaan. Sedangkan Dharmasthiya pada umumnya mengatur
tentang hukum keluarga dharma badhu, hukum perkawinan dharma vivaha dan
hukum waris dharma vibhaga, serta perbuatan- perbuatan yang berisikan suatu
perjanjian dan pengingkaran terhadap suatau yang diperjanjikan yang telah
disepakati serta ganti rugi. 6
5
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, hlm. 70
6
I Made Suastika Ekasana, Seri Dharmasthya ( Hukum Perdata Hindu) Dharma Bandhu
Pada masyarakat Bali jika terjadi pelanggaran hukum misalnya
pelanggaran yang menyangkut kesusilaan, maka dapat diberikan sanksi sesuai
dengan hukum adatnya. Masalah kesusilaan bagi masyarakt adat Bali memiliki
nilai- nilai yang sangat tinggi dan harus dijunjung tinggi. Hal tersebut terkait
dengan pemahaman masyarakat Bali yang memandang kesusilaan sebagai sesuatu
adalah menciptakan keseimbangan atau keharmonisan antara makro kosmos
(bwuana agung) dan makso kosmis ( bwuana alit). Salah satu bentuk pelanggaran
yang dikenal pada masyarakat Bali adalah lokika sanggraha.7
Di daerah Bali ada perbuatan pidana ( delik) yang dikenal dengan
kualifikasi Delik Adat Lokika Sanggraha. Perbuatan yang di daerah Bali dikenal
sebagai Lokika Sanggraha terjadi pula di daerah- daerah lain, hanya saja
kualifikasinya mungkin berbeda atau mungkin tidak ada kualifikasi tertentu dan
tidak pernah sampai diselesaikan lewat pengadilan, hal mana tentu tidak adil bagi
si korban, tidak adanya kepastian hukum dan keadaan yang demikian itu akan
dapat menimbulkan keresahan masyarakat.8
Di dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana Republik Indonesia tidak
dikenal adanya suatu delik Adat Lokika Sanggraha, Delik Lokika Sanggraha
diatur dalam kitab Adhigama. Delik Lokika Sanggraha berawal dari seorang laki-
laki telah menjanjikan kelak dikemudian hari akan mempersuntingnya sebagai
istri sehingga wanita tersebut yang akhirnya bersedia menyerahkan segalanya
7
Thesis, Unika Soegijapranata, pdf.
8
5
sampai terjadi hubungan biologis dan ternyata kemudiaan hari pria tersebut
memutus hubungan cintanya tanpa alasan yang sah.9
Ketentuan adat yang mengatur Delik Adat Lokika Sanggraha ini masih
dipertahankan di dalam kehidupan masyarakat di Bali, sehingga pelanggaran
terhadap delik- delik adat, khususnya Delik Adat Lokika Sanggraha yang
dirasakan sebagai pelanggaran hukum masyarakat dan pelanggran keadilan
masyarakat.
Suatu hubungan biologis tersebut haruslah dijaga dan diarahkan agar
terpelihara keseimbangan hubungan tersebut. Apabila aktivitas yang berhubungan
dengan kebutuhan biologis yang dilaksanakan dengan tidak patut, maka akan
menimbulkan gangguan baik yang bersifat “ sekala” ( nampak dengan panca
indera) maupun bersifat “ niskala” ( tidak nampak dengan panca indera), yang
justru mengganggu hubungan baik yang sifatnya horizontal maupun yang sifatnya
vertikal.10
Sehubungan dengan Delik Lokika Sanggraha jika dikaitkan dengan
Hukum Pidana Islam merupakan suatu jarimah zina. Hamka membuat definisi
singkat tentang zina, yaitu:
“Segala persetubuhan yang tidak disahkan dengan nikah, atau yang tidak
sah nikahnya. “ perbuatan zina yang dianggap hal biasa oleh masyarakat secular
9
I Gusti Ketut Sutha, Bunga Rampai Beberapa Aspek Hukum Adat, (Liberty: Yogyakarta,
1987) hlm. 72
10
modern merupakan tindakan yang terkutuk dan kejahatan berat dalam tinjauan
syariat Islam. Maka, Allah mencegah terjadinya perbuatan zina.11
Konsep tindak pidana perzinaan menurut hukum Islam jauh berbeda
dengan system hukum Barat, karena dalam hukum Islam, setiap hubungan seksual
yang diharamkan itulah zina, baik yang dilakukan oleh orang yang telah
berkeluarga maupun yang belum berkeluarga asal ia tergolong orang mukallaf,
meskipun dilakukan dengan rela sama rela.
Kerusakan moral yang melanda dunia Barat menurut para ahli justru
karena diperbolehkannya perzinaan yang dilakukan oleh orang dewasa.
Perkawinan dalam bentuk rumah tangga di bentuk jika telah ada kecocokan,
terutama setelah bertahun- tahun bersama. Inilah makna rumah tangga lebih di
maknai sebagai pilihan yang sulit, kecuali setelah menjalani hidup bersama dan
mengenal jauh pasangan masing- masing.
Menurut penulis Delik Lokika Sanggraha dapat dikatakan sebagai jarimah
zina, yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh laki- laki dan perempuan tanpa
adanya ikatan pernikahan. Akan tetapi meskipun sama-sama merupakan sebuah pelanggaran hukum, sanksi dari pelanggaran itu berbeda dengan sanksi yang terdapat dalam hukum pidana Islam. Bahkan apabila di laki-laki tersebut menepati janjinya, yakni menikahi si perempuan maka tidak ada sanksi/ hukuman baginya. Bagaimana hukum pidana islam memandang
11
Adian Husaini, Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat ( Penerapan Hukum Rajam di
7
hal itu ? Untuk sanksi yang diterapkan bagi pelaku Delik Lokika Sanggraha akan dijelaskan lebih detail dalam skripsi ini. Maka dari itu penulis mengangkat
judul “ Sanksi Bagi Pelaku Tindak Kesusilaan ( Lokika Sanggraha) Pada
Masyarakat Bali Perspektif Hukum Pidana Islam”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Focus masalah dalam studi ini berkisar pada masalah sanksi pelaku tindak
pidana kesusilaan ( lokika sanggraha) pada masyarakat Bali perspektif hukum
pidana Islam. Dengan demikian dalam penulisan ini yang dijadikan masalah
pokok ialah:
1. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana ( Lokika Sanggraha) di Bali?
2. Bagaimana sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha)
menurut hukum adat Bali?
3. Bagaimana sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha)
menurut hukum pidana Islam?
Tindak pidana kesusilaan yang dijadikan focus kajian dalam studi ini
dibatasi pada (a) Delik adat mengenai Lokika Sanggraha (b) Sanksi bagi pelaku
tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) dalam hukum adat Bali dan Sanksi
bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) dalam hukum pidana
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Secara umum, studi ini bertujuan, pertama, menjelaskan tentang tindak
pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) dalam hukum adat dan hukum pidana
Islam; kedua, merumuskan dan menjelaskan mengenai sanksi bagi pelaku
tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha) dalam hukum Adat dan hukum
pidana Islam; Secara spesifik, penelitian ini bertujuan :
a. Menjelaskan secara komprehensif tindak pidana kesusilaan ( Lokika
Sanggraha) dalam hukum adat dan hukum pidana Islam.
b. Menjelaskan secara komprehensif sanksi bagi pelaku tindak pidana
kesusilaan ( Lokika Sanggraha) pada masyarakat Bali perspektif hukum
pidana Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun signifikansi penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha)
perspektif hukum pidana Islam
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membuka pemikiran pembaca
mengenai sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika
Sanggraha) perspektif hukum pidana Islam.
9
antara sanksi bagi pelaku tindak pidana kesusilaan ( Lokika Sanggraha)
perspektif hukum pidana islam.
D. Tinjauan Pustaka/ Penelitian Terdahulu
Penulis belum menemukan penelitian yang secara spesifik membahas
tentang Delik Adat Lokika Sanggraha, Akan tetapi banyak penelitian yang
menyinggung secara terpisah, baik mengenai Delik Adat tersebut. baik secara
spesifik membahas tentang topik Lokika Sanggraha maupun hanya
menyinggungnya secara umum atau di masukkan ke dalam sub-bab dari
penelitian tersebut. Berikut ini paparan tinjauan umum atas salah satu karya
penelitian tersebut.
Karya I Made Widnyana, SH yang bertajuk Kapita Selekta Hukum Pidana
Adat. Inti/ hakikat yang tercermin melalui perumusan tersebut, ternyata delik adat
Lokika Sanggraha yaitu suatu delik adat yang berupa seorang laki-laki
menghamili perempuan di luar perkawinan dengan janji akan mengawini, tetapi
ternyata tidak dikawini.
Karya Lilik Mulyadi yang bertajuk Delik Adat “Lokika Sanggraha“ Di
Bali. Inti/hakikat yang tercermin melalui perumusan tersebut, ternyata delik adat
Lokika Sanggraha merupakan delik formal karena unsur kehamilan bukanlah
merupakan unsur esensial untuk adanya Delik Adat ini dimana yang penting
adalah unsur “janji” tidak ditepati oleh si pria. Sedangkan munculnya pelaku
pihak wanita dimana si pria mengingkari janjinya. Dengan demikian Delik Adat
ini merupakan delik aduan (Kracht-Delicten).12
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan kualitatif yaitu penelitian yang data- datanya
diungkapkan melalui kata- kata, norma atau aturan- aturan, dengan kata lain
penelitian ini memanfaatkan data kualitatif.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif doktriner, yaitu
penelitian yang mengkaji asas- asas dan norma- norma hukum.
2. Metode Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer yaitu: Undang- undang Darurat no. 1 tahun 1951
serta dalil- dalil yang terdapat pada al- Qur’an dan al- Hadits serta
ketentuan- ketentuan fiqh yang mengatur masalah perzinaan.
b. Bahan hukum sekunder yaitu: bahan- bahan yang memberi penjelasan
dalam mengkaji bahan hukum primer, yaitu data- data yang diperoleh dari
buku- buku yang masih memiliki keterkaitan dengan pokok masalah yang
akan diteliti. Seperti: Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Buku Bunga
12
Lilik Mulyadi, Delik Adat “Lokika Sanggraha“ Di Bali, Majalah Varia Peradilan, Penerbit
11
Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, Serta Buku Simposium Pengaruh
Kebudayaan/ Agama Terhadap Hukum Pidana.
c. Bahan Hukum Tersier, bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap hukum primer dan sekunder. Contohnya: Kamus, Ensiklopedia,
Buku Adat Bali dan Tokoh Adat Bali.13
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh
informasi yang diperlukan tentang masalah yang diteliti melalui studi
documenter dan studi lapangan . Yaitu merujuk kepada penulisan-penulisan
ilmiah yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berhubungan dan
berkenaan dengan judul skripsi.
Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
pedoman penulisan skripsi, cet- 1 yang diterbitkan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika disajikan untuk mempermudah pembaca dan memahami
materi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Dengan adanya sistematika ini
diharapkan pembaca dapat mengetahui secara garis besar isi skripsi ini. Materi
laporan penelitian skripsi ini dibagi menjadi 4 (empat) bab. Bab pertama bertajuk
“ pendahuluan” Di dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang
13
melatarbelakangi penelitian ini dibahas mengenai (1) Latar belakang masalah, (2)
Rumusan masalah,(3) Tujuan penulisan, (4) Metode penulisan, (5) Tinjauan
pustaka serta (6) Sistematika penulisan.
Bab kedua berjudul Tindak Pidana Kesusilaan dalam Hukum Adat Bali.
Pada bab ini terdiri dari 3 ( tiga ) sub-bab, yaitu (1) Tindak Pidana Kesusilaan,
(2)Jenis- jenis Delik Adat yang menyangkut kesusilaan (3) Jenis- jenis Sanksi
Adat.
Bab ketiga bertajuk tentang Pidana Zina Dari Delik Adat Lokika
Sanggraha . Pada bab ini terdiri dari 3 ( tiga) sub- bab yaitu (1) Definisi Lokika
Sanggraha, (2) Unsur- unsur Lokika Sanggraha dan (3) Sanksi Lokika Sanggraha
Dalam Hukum Adat Bali.
Bab keempat bertajuk tentang Bagaimana Hukum Pidana Islam
Menjelaskan Tentang Delik Adat Lokika Sanggraha. Dalam bab ini menguraikan
tentang Sanksi Tindak Pidana Kesusilaan ( Lokika Sanggraha) menurut Hukum
Pidana Islam.
Bab kelima merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan
rekomendasi. Dalam bab ini diuraikan pokok- pokok/ inti temuan penelitian yang
dihasilkan. Selain itu, dimuat juga saran terkait tindak lanjut atas temuan
13
BAB II
TINDAK PIDANA KESUSILAAN DALAM HUKUM ADAT BALI
A. Tindak Pidana Kesusilaan
Sebelum kita langsung meninjau permasalahannya, maka baiknya kita
mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tindak pidana kesusilaan
di Bali.
Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun
Departamen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1989. Kata “susila” dimuat arti
sebagai berikut :
1. Baik budi bahasanya, beradab, sopan,tertib;
2. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaan;
3. Pengetahuan tentang adat.
Kata “susila” dalam bahasa Inggris adalah moral, ethics, decent, kata- kata
tersebut biasa diterjemahkan berbeda. Kata moral diterjemahkan dengan
moril.Kesopanan sedang ethics diterjemahkan dengan Kesusilaan dan decent
diterjemahkan dengan Kepatutan.1
Dengan demikian makna dari “kesusilaan” adalah tindakan yang
berkenaan dengan moral yang terdapat pada setiap diri manusia, makna dapatlah
disimpulkan bahwa pengertian delik kesusilaan adalah perbuatan yang melanggar
1
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, ( Jakarta:
hukum, dimana perbuatan tersebut menyangkut etika yang ada dalam diri manusia
yang telah diatur dalam perundang-undangan.2
Secara singkat yang disebut tindak pidana kesusilaan adalah delik yang
berhubungan dengan ( masalah) kesusilaan. Namun, tidaklah mudah menetapkan
batas- batas atau ruang lingkup delik kesusilaan karena pengertian dan batas-
batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat berbeda- beda menurut pandangan dan
nilai- nilai yang berlaku di dalam masyarakat.3
Terlebih karena hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai- nilai
kesusilaan yang minimal ( das Recht ist das ethische Minimum) sehingga pada
dasarnya setiap delik atau tindak pidana merupakan delik kesusilaan. Ungkapan
serupa dikemukakan Alfred Denning bahwa without religion there can be no
morality, and without morality there can be no law.
Dharma adalah hukum hindu yang bersumber dari hasil perbuatan yang
dijadikan ukuran atau nilai- nilai untuk berbuat yang pantas di Bali. Dharma dapat
dibedakan menjadi dua bagian yaitu Kantaka Sodhana dan Dharmasthiya. Delik
kesusilaan yang terdapat dalam Dharma yaitu termasuk kategori Kantaka Sodhana
dalam istilah Paradara yaitu Kejahatan terhadap kesopanan dan kesusilaan.4
2
Abd. Kadir, Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Incest Dengan Korban Anak, ( Makassar, Skripsi, 2012), hlm.27
3
Hans C. Tangkau, Cyber Crime Di Bidang Kesusilaan Upaya Penanggulangannya Di
Indonesia, ( Manado, Karya Tulis Ilmiah, 2008) hlm. 11
4
I Made Suastika Ekasana, Seri Dharmasthya ( Hukum Perdata Hindu) Dharma Badhu
15
Di Bali, masih dikenal empat jenis Delik Adat salah satunya adalah Delik
Adat yang menyangkut kesusilaan.
Berbicara tentang kesusilaan tidaklah dapat dipisahkan dari kelahiran
manusia itu sendiri karena tujuan dari kesusilaan itu adalah untuk menciptakan
keseimbangan atau keharomisan hubungan antara makro kosmos ( bhuwana
agung ) dengan mikro kosmos ( bhuwana alit). Berkaitan dengan ini Coka 160
Sarasamuccaya menyatakan bahwa:
Cilam pradhanam puruse tadyasyeha pranacyati, Na tasya jivitenatho duchilam
kinprayojanam.
Artinya: susila itu adalah yang paling utama pada titisan sebagai manusia
sehingga jika ada perilaku ( tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila,
apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan
kebijaksanaan, sebab sia- sia itu semuanya ( hidup, kekuasaan dan
kebijaksanaan) jika tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan. (
kajeng,dkk, 1977: 114)5
Walaupun demikian, kenyataannya dalam praktik ( das Sein) tidaklah
selalu sesuai dengan apa yang diharapkan ( das Sollen), sehingga terjadilah
pelanggaran terhadap kesusilaan itu sendiri dengan beraneka ragam bentuknya
sehingga dalam pertumbuhannya.
5
B. Jenis- jenis Delik Adat Yang Menyangkut Kesusialaan 1. Drati Krama
Yaitu delik adat yang merupakan hubungan seksual antara seorang
wanita dengan seorang laki- laki sedangkan mereka masih dalam ikatan
perkawinan dengan orang lain; dengan singkat dikatakan drati karma ialah “
berzina dengan istri/ suami orang lain”. 6
2. Gamia Ganama
Yaitu delik adat yang berupa larangan hubungan seksual antara orang-
orang yang masih ada hubungan keluarga dekat baik garis lurus maupun ke
samping. Jadi pengertian Gamia Gemana sama dengan incest.
3. Mamitra Ngalang
Yaitu suatu delik adat yang berupa seorang laki- laki yang sudah
beristri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberinya nafkah lahir
batin seperti layaknya suami istri, tetapi wanita ini belum dikawini secara sah.
Hubungan mereka bersifat terus menerus ( berkelanjutan) dan biasanya si
wanita ditempatkan dalam rumah tersendiri. Delik adat ini sangat mirip
dengan Drati Krama, tetapi titik berat pelakunya adalah laki- laki yang sudah
beristri, sedang pihak wanitanya tidak terikat perkawinan. Jadi mungkin
masih gadis atau sudah janda. Si wanita tidak ( belum) dikawini secara sah.
Unsur yang khusus di sini dan membedakannya dengan Drati Krama, adalah
sifat hubungannya yang terus menerus dan biasanya si wanita ditempatkan
6
17
dalam satu rumah serta diberi nafkah lahir batin. Dapat dikatakan bahwa si
wnaita merupakan wanita simpanan dari si laki- laki tersebut.
4. Salah Krama
Ialah melakukan hubungan kelamin dengan makhluk yang tidak
sejenis. Tegasnya hubungan kelamin tersebut terjadi antara manusia dengan
hewan seperti seorang laki- laki melakukan hubungan kelamin dengan seekor
sapi betina. 7
5. Kumpul Kebo
Ialah seorang laki- laki dengan seorang perempuan hidup bersama
dalam satu rumah dan mengadakan hubungan seksual, seperti layaknya suami
istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan. Istilah kumpul kebo ini,
tidak hanya menjadi monopoli masyarakat Bali, tetapi sudah merupakan
istilah yang sudah dikenal diseluruh tanah air, yang merupakan perbuatan
seperti diuraikan diatas. Bedanya mungkin kalau di Bali perbuatan ini
disamping merupakan perbuatan yang asusila, juga dipandang dapat
mengganggu keseimbangan kosmis, sehingga dipandang oleh masyarakat adat
sebagi perbuatan yang patut dilarang dan pelakunya dapat dikenakan sanksi
adat.
6. Lokika Sanggraha
Sebagaimana dirumuskan didalam Kitab Adi Agama pasal 359 serta
perkembangan pandangan masyarakat dan praktik peradilan di Daerah Bali
7
adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama-
sama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas
dasar suka sama suka karena adanya janji dari si pria untuk mengawini si
wanita, namun setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk
mengawin si wanita dan memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang
sah.8
Lokika Sanggraha, merupakan salah satu delik ( perbuatan pidana) di
bidang kesusilaan yang diciptakan, hidup dan ditaati oleh masyarakat Bali sejak
zaman kerajaan dahulu hingga sekarang.
Lokika Sanggraha merupakan suatu perbuatan yang sangat bertentangan
dengan norma- norma hukum adat, karena dianggap tidak selaras dengan
keselamatan masyarakat, keselamatan golongan, ataupun keselamatan sesama
anggota dalam lingkungan masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, pelanggran
terhadap delik adat Lokika Sanggraha selalu dikenakan sanksi ( adat). 9
C. Sanksi Adat dan Jenis- jenis Sanksi Adat
Emile Durkheim, mengatakan bahwa reaksi sosial yang berupa
penghukuman atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud
untuk mengadakan perawatan agar tradisi- tradisi kepercayaan adat menjadi tidak
goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud. ( Emile Durkheim, 1976:
502).
8
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, hlm. 17
9
19
Lesquillier, juga mengemukakan bahwa reaksi adat ini merupakan tindak-
tindakan yang bermaksud mengembalikan ketenteraman magis yang diganggu
dan meniadakan atau menetralisasi suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh
suatu pelanggaran adat.
Dari beberapa pendapat para sarjana di atas dapat disimpulkan bahwa
sanksi adat atau disebut pula dengan reaksi adat ataupun koreksi adat adalah
merupakan bentuk tindakan ataupun usaha- usaha untuk mengembalikan ketidak-
seimbangan termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magis akibat adanya
gangguan yang merupakan pelanggaran adat.10
Sanksi adat mempunyai fungsi dan peranan sebagai stabilisator untuk
mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Di Bali
sanksi adat memiliki peranan penting untuk mengembalikan keseimbangan
tersebut.
Sanksi mempunyai peranan penting di dalam kehidupan masyarakat di
Bali. Tidak hanya pelanggaran adat saja yang oleh masyarakatnya dikenakan
sanksi adat, bahkan terhadap delik biasapun sering kali oleh masyarakatnya
dibebani sanksi adat meskipun si pelaku sudah dipidana oleh Peradilan Umum.
Sanksi adat tersebut di atas tidak jauh berbeda dengan sanksi adat yang
ada di daerah Bali hanya di pergunakan istilah- istilah tertentu guna memberi
nama terhadap bentuk sanksi adat tersebut.
10
Untuk daerah Bali dikenal jenis- jenis sanksi- sanksi adat yang berupa:
1. Mengadakan upacara pembersihan ( pemarisudan, prayascita, dan lain- lain).
2. Denda ( dedosan), sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang
melanggar suatu ketentuan ( awig- awig) di banjar/ desa.
3. Minta maaf ( mengaksama atau mapilaku, lumaku, mengolas- olas)
4. Untuk golongan pendeta ada jenis sanksi yang disebut “ metirta Gemana atau
metirta yatra”
5. Dibuang ( maselong), adalah jenis sanksi adat yang sering didapat pada zaman
kerajaan Bali dahulu, seperti halnya dibuang keluar kerajaan bahkan ada
kalanya ke luar Bali
6. Ditenggelamkan ke laut ( merarung, mapulang ke pasih)
7. Meblagbag ( diikat)
8. Diusir ( ketundung)
9. Kerampag
10.Tidak diajak ngomong ( kesepekang)
11.Dan lain- lain ( Dherana dan Widnyana , 1975: 5)
Penerapan sanksi- sanksi adat tersebut di atas tidaklah sama pada tiap- tiap
desa atau lingkungan masyarakat tertentu. Sebab terdapat beberapa factor yang
ikut menentukan pilihan jenis serta beratnya sanksi yang dikenakan terhadap
21
Dengan adanya perkembangan masyarakat adat dewasa ini, beberapa
sanksi adat di daerah Bali kurang menampakkan diri lagi karena diaggap kurang
manusiawi, misalnya maselog, mapulang kepasih dan meblagbag.11
Ini berarti bahwa sanksi- sanksi adat tidaklah bersifat statis namun selalu
mengikuti perkembangan masyarakat serta perkembangan hukum (tertulis) itu
sendiri.
Lokika Sanggraha adalah merupakan salah satu bentuk delik adat
kesusilaan yang dikenal di Bali, di samping bentuk- bentuk lainnya, seperti:
- Drati Krama
- Gamia Gemana
- Memitra Ngalang
- Salah Krama dan kumpul kebo.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa perbuatan- perbuatan yang dilarang
oleh ketentuan- ketentuan hukum adat haruslah benar- benar dirasakan oleh
masyarakat adat setempat sebagai perbuatan yang tidak dibolehkan atau tidak
patut dilakukan. Apabila dilakukan akan menimbulkan kerugian bagi warga
masyarakat tertentu atau keseluruhan warga masyarakat adat itu sendiri, sehingga
dengan demikian akan menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat
sebagaimana yang dicita- citakan, yaitu suatu keadaan yang damai dan tertib.12
11
I Made Widnyana, Kapita Selekta HUkum Pidana Adat, hlm. 45
12
22
A. Definisi Lokika Sanggraha
Sebelum kita langsung meninjau permasalahannya, maka baiknya kita
mengetahui terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan sex.
Sex in the character of being either male or female, the sum of anatomical
and physical differences with reverence to which the male and female are
distinguished ( Jess Stein. 1955). Jadi, menurut Jess Stein, sex adalah ciri
makhluk entah jantan entah betina : ( dalam makna terkandung) masalah
perbedaan anatomis dam phisiologis, atas dasar mana kedua jenis kelamin ( jantan
atau betina) dapat dibedakan. 1
Menurut konsepsi hukum adat, apabila terjadi perbuatan pelanggran
terhadap ketentuan norma adat, maka sanksi adat yang ada pada hakekatnya
merupakan reaksi adat, isinya bukanlah berupa siksaan atau penderitaan ( leed)
tetapi yang terutama adalah mengembalikan keseimbangan kosmisch, yang
terganggu sebagai akibat adanya pelangaran. Jadi delict adat yang berhubungan
dengan aktivitas sex adalah perbuatan yang berkaitan dengan sex yang dapat
mengganggu keseimbangan baik yang bersifat materiil maupun interiil, perbuatan
1
23
mana menimbulkan reaksi yang disebut reaksi adat. Delict adat yang
berhubungannya dengan sex adalah Delict Lokika Sanggraha.2
Lokika Sanggraha, merupakan salah satu delik ( perbuatan pidana) di
bidang kesusilaan yang diciptakan, hidup dan ditaati oleh masyarakat Bali sejak
zaman kerajaan dahulu hingga sekarang.
Sebagai Delik Adat yang sudah ada sejak zaman dahulu, tentu saja dalam
perkembangannya mengalami perkembangan / penyesuaian dalam luas lingkup
pengertian dan wujud sanksinya sesuai dengan perkembangan zaman.
Lokika Sanggraha merupakan suatu perbuatan yang sangat bertentangan
dengan norma- norma hukum adat, karena dianggap tidak selaras dengan
keselamatan sesame anggota dalam lingkungan masyarakat hukum adat. Oleh
karena itu, pelanggaran terhadap delik adat Lokika Sanggraha selalu dikenakan
sanksi ( adat).
“Lokika Sanggraha” berasal dari bahasa sansekerta, yakniLokika berasal
dari kata “laukika” berarti orang umum, orang banyak. Sedangkan Sanggraha
berasal dari kata “Samgraha” yang berarti pegang (dalam arti luas), sentuh,
hubungan.3 Jadi secara harfiah Lokika Sanggraha akan berarti ( di) pegang/
sentuh/ jamah orang banyak, usud ajak anak liu ( bahasa Bali) ( Institut Hindu
Dharma, 1985: 2).
2
I Gusti Ketut Sutha, Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat, hlm. 76
3
Lilik Mulyadi, Delik Adat “ Lokika Sanggraha” Di Bali, Majalah Varia Peradilan. IKAHI
Lokika Sanggraha merupakan satu kata majemuk yang terdiri dari, serta
secara harfiah mengandung arti:
1. Lokika berarti pertimbangan, perhitungan, estimit, perkiraan yang logis dan
sebagainya.
2. Sanggraha yang mengandung makna: meladeni, melayani dan sebagainya.
Khusus bagi yang kedua ini, perlu ditegaskan bahwa ia sangat mungkin
bernilai negative atau positif secara moral dan spiritual, tergantung atas sifat
hasrat/ keinginan yang diberi layanan bersangkutan. Sanggraha/ melayani, berarti
berusaha agar pihak yang mendapat layanan itu merasa senang, nikmat dan
sebagainya. Nikmat mengenai apa? Bila terwujud puas karena hasrat nurani luhur
seseorang yang mendapat layanan ( layanan dalam belajar, dalam membela
kebenaran/ keadilan dan sebagainya), maka upaya Sanggraha bersangkutan tentu
saja bernilai positif secara etika kemanusiaan.
Tetapi bila yang dipuaskan itu adalah,,,,, gejolak nafsu? Tak pelak lagi,
negatiflah nilai Sanggraha yang diberikan, bukan? Lalu, betapa artinya dalam
rangkaian kata majemuk sebagai suatu istilah. Dengan demikian, arti Lokika
Sanggraha adalah perbuatan yang dilakukan oleh seorang pria menghendaki (
layanan pemuas nafsu birahi) seorang wanita bebas ( muda/ janda) hingga hamil,
kemudian tidak mengawini wanita bersangkutan, perbuatan mana bertentangan
dengan lokika, bahwa setiap kehamilan hendaklah di upacarai/ biakaonan untuk
sucinya nilai kehamilan tersebut ( menurut agama) serta pastinya status anak yang
25
Selanjutnya di dalam Mewana Dharma Sastra, Bab VIII, pasal 357 dan
358 disebutkan sebagai berikut:
- Upacarakrya kelih sparo
bhusana wasasan
saha khatwasanam
sarwan samgrahanam smrtam
- Striyam sprseda dese yah
sprsto wasasan
paras- paras yanumate
parwan samgrahanam smrtam
terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
- Memberi hadiah kepada seorang wanita, bergurau bersamanya, memegang
pakaiannya dan perhiasannya, duduk ditempat tidur dengannya, semua
perbuatan ini dianggap perbuatan sanggraha.
- Bila seseorang ( laki) menyentuh wanita dibagian yang tidak harus disentuh
atau membiarkan seseorang menyentuh bagian itu, semua itu dilakukan atas
persetujuan bersama, dinyatakan sebagai perbuatan sanggraha ( Institut Hindu
Dharma, 1985:8-9).4
Lokika Sanggraha ialah apabila seorang laki- laki mengadakan hubungan
sexual dengan seorang wanita di luar ikatan perkawinan yang sah dan kemudian
4
menyebabkan hamilnya si wanita maka perbuatan atau peristiwa tersebut
dinamakan “ Lokika Sanggraha”.5
“Lokika Sanggraha” merupakan Delik Adat diatur dalam ketentuan Pasal
359 Kitab Adiagama, perumusan Delik Adat Lokika Sanggraha adalah:
Malih lokika sanggraha, loewir ipoen, djadma mededemenan, sane mowani
neherang deen ipoen, djening djirih patjang kesisipang, awanan ipoen
ngererehang daja, saoebajan iloeh kesanggoepin ; wastoeraoeh ring
papadoewantoengkas paksana, sane loeh ngakoe kasanggama, sane mowani
nglisang mapaksa ngoetjapang dewek ipoen kaparikosa antoek iloeh, jan
aspoenika patoet tetes terangang pisan, jan djati imowani menemenin wenang
ipoen sisipang danda oetama sahasa 24.000, poenika mawasta Lokia Sanggraha,
oetjaping sastra.
Sedangkan terjemahan bebasnya :
Lagi Lokika Sanggraha yaitu : orang bersanggama, yang pria tidak
berlanjut sukanya, karena takut akan dipersalahkan, makanya mencari daya
upaya, janji si wanita disanggupi, akhirnya sampai di pengadilan, berbeda
pengakuannya si wanita mengaku disenggama, si peria seketika menyatakan
malah dirinya yang diperkosa oleh si wanita. Kalau demikian harus diusut agar
jelas, kalau benar si pria yang berbuat, patut ia dihukum denda ; 24.000,- itu yang
disebut Lokika Sanggraha sesuai bunyi sastra.
5
27
Pengertian Lokika Sanggraha ini lebih dipertegas lagi seperti definisi yang
dikemukakan I Made Widnyana, yaitu suatu delik adat yang berupa seorang laki-
laki menghamili perempuan di luar perkawinan dengan janji akan mengawini,
tetapi ternyata tidak dikawini. Reaksi masyarakat terhadap peristiwa yang
demikian adalah bahwa para pelaku dalam hal ini si laki diharuskan mengawini si
wanita yang hamil karena perbuatannya. Apabila tidak mau maka sanksi- sanksi
lainnya akan dijatuhkan. Jadi, perlindungan Hukum Agama terhadap perempuan
korban delik adat lokika sanggraha hanya terbatas pada dikenakannya sanksi
24.000 uang kepeng.6
Menurut Drs. I Putu Wilasa inti dari delik Lokika Sanggraha merupakan
hubungan suami istri tanpa ada upacara (pernikahan). Hubungan seksual baru bisa
dilakukan setelah adanya upacara (pernikahan). Lokika Sanggraha dalam ajaran
agama Hindu dapat dikatakan tindak pidana kesusilaan karena hubungan seksual
hanya boleh dilakukan setelah adanya upacara karena itu termasuk masalah sacral
atau suci.7
Menurut Putu Sugi Ardana Lokika Sanggraha merupakan hubungan
seksual atas dasar suka sama suka di mana laki- laki menjanjikan kepada
perempuan akan menikahinya namun ketika si perempuan itu hamil si laki- laki
mengingkari janjinya. Kalau berbicara dalam perspektif hukum adat adat Hindu di
6
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, ( Bandung: Eresco, 1993), hlm. 37
7
desa Hindu sangat diharamkan apabila si perempuan itu hamil sampai dengan
melahirkan tanpa adanya upacara. 8
Tindak pidana adat Lokika Sanggraha sampai kini oleh masyarakat adat
Hindu di Bali masih diperhatikan dan tetap dipertahankan oleh masyarakat.
Lokika Sanggraha merupakan tindak pidana adat yang melanggar norma
kesusilaan dan terhadap pelanggarnya dikenai sanksi adat. Kalau dilihat dari
bunyi kitab Adhi Agama di atas, terhadap pelanggarnya diancam pidana denda
yang cukup besar ialah denda utama sahasa 24.000 ( uang kepeng bolong Bali),
karena pelanggaran terhadap Lokika Sanggraha dipandang sebagai tindak pidana
yang cukup berat.9
Di samping pengertian tersebut, di dalam Kitab Adi Agama lebih lanjut
mengenal Lokika Sanggraha juga dirumuskan sebagai berikut:
- Malih “ Lokika Sanggraha” djanma soewe madedemenan, tan wenten anak
lian saoeninga, ring tingkahe madedemenan, katakenan pada tan ngangken,
djantos anak oening kekalih, patpat, pemoepoet madewagama, dening sakeng,
djerihnjah, raris pada ngangken’ ipoen mededemenan.
- Malih “ Lokika Sanggraha” djanma madedemenan masanggama toer soewe
tan wenten saoeninga, wastoe sane moewani manoeteorang anak olih demen,
8
Wawancara Pribadi dengan Bapak Putu Sugi Ardana Selaku Dosen Hukum Pidana Adat di Universitas Panji Sakti, Bali, 14 Mei 2014, Pukul. 10.29 WITA
9
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
29
sarawoehe ring padaoewan sane loeh noengkas angas tan ngakoe, poepoeting
baos wenang madewa- gama, wastoe iloeh ngakoe kademenin.
- Malih “ Lokika Sanggraha” djadma kadalih madedemenan, tan j’ wakti kadi
pendalihe, kemaon memanah ngarjanang iwang anak, sakandan sang mandali
sami kaatur ring papadoewan mapadoe tiga loeh moewani, djati ipoen padatan
wenten. Wenang sang kadalih katjoran, jan pada poeroen, danda sang
mandalih, kawalik sadia antoek djaman kakalih 20.000, andalame oetjaping
sastra.
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
- Lagi Lokika Sanggraha, orang yang lama bersanggama tak seorangpun yang
tahu, akhirnya ada orang lain yang mengetahui perbuatannya itu, tetapi kalau
ditanya tidak mengakui, kemudian lalu diketahui 2, 3, 4 orang, akhirnya harus
mendewa saksi ( disumpah), namun karena takutnya akhirnya mengakui
perbuatannya.
- Lagi Lokika Sanggraha, orang bersenggama, dan lama tidak ada yang
mengetahui, sampai si laki menceritakan perbuatannya, lalu sampai ke
Pengadilan tetapi si wanita, menolak dan tidak mengakui, akhirnya harus
madewa saksi ( disumpah), dalam pada itu si wanita mengakui dirinya
disenggama.
- Lagi Lokika Sanggraha, orang yang dituduh bersenggama namun
sesungguhnya tidak benar seperti yang dituduhkan itu, hanya bermaksud
berperkara segi tiga laki perempuan. Tertuduh tetap tidak mengakui sampai
yangbersangkutan harus kenai “ cor” ( sumpah), si tertuduhpun berani. Yang
menuduh dikenai denda, “ dibalik untung” oleh yang tertuduh. 10
Dari pengertian yang ada memberikan kesan satu dengan lainnya saling
melengkapi dan bahkan menegaskan arti dari salah satu aspek Lokika Sanggraha.
Tindak pidana Adat Lokika Sanggraha di Bali sampai kini masih
dipertahankan dengan latar belakang sebagai berikut:
1. Melindungi derajat kaum wanita, agar tidak dihina dan dipermainkan oleh
kaum pria.
2. Menghindari lahirnya anak dengan status anak bebinjat ( anak haram).
3. Salah satu dari ketentuan Agama Hindu juga menetapkan bahwa umat Hindu
hendaklah secara dread bhakti melaksanakan pitra/ pemujaan kepada leluhur,
yang dimaksud adalah leluhur dalam garis kepurusan ( garis lelaki).11
Pada dasarnya, delik adat Lokika Sanggraha banyak terjadi dalam praktik
peradilan di Bali. Kalau dikaji lebih detail, bagi masyarakat Bali Delik Adat
Lokika Sanggraha merupakan perbuatan pidana yang mengganggu perasaan
hukum dan perasaan keadilan dalam masyarakat adat yakni mengganggu
keseimbangan kosmos baik alam lahir dan alam gaib. Apabila kalau
dikorelatifkan ke dalam KUHP ternyata perbuatan tersebut tidak diatur di
10
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, hlm. 38
11
31
dalamnya. Dalam ketentuan Pasal 10 KUHP maka jenis pemidanaan berupa
“pemulihan kewajiban adat” tidak dikenal di dalamnya. Kalau seorang pelaku
Delik Adat Lokika Sanggraha telah dijatuhi pidana penjara, ternyata bagi
masyarakat adat kuranglah sempurna tanpa diikuti “pemulihan kewajiban adat”
guna mengembalikan keadaan kosmos yang terganggu. Sehingga bagi masyarakat
adat Bali menghendaki penyelesaian bersifat materiil juga hendaknya diikuti pula
penyelesaian bersifat immateriil serta berorientasi bersifat keagamaan. Penjatuhan
pidana dalam hukum adat Bali bertujuan mengembalikan keseimbangan alam
kosmos yakni alam lahir (“sekala”) dengan alam gaib (“niskala”) yang telah
terganggu, oleh karena itu aspek agama Hindu berupa tata upacara keagamaan
merupakan hal fundamental di dalamnya.12
B. Unsur- unsur Lokika Sanggraha
Menurut I Made Widnyana unsur- unsur delik adat Lokika Sanggraha
sebagai berikut:
1. Adanya hubungan cinta ( pacaran) antara seorang pria yang sudah menikah
dengan seorang wanita yang belum terikat perkawinan.
2. Antara pria dan wanita yang sedang bercinta tersebut terjadi hubungan seksual
yang didasarkan atas suka sama suka.
3. Si pria telah berjanji akan mengawini si wanita
12
4. Hubungan seksual yang telah dilakukan menyebabkan si wanita menjadi
hamil.
5. Si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita tanpa alasan.13
Penjelasan dari unsur - unsur Lokika Sanggraha yaitu:
1) Tentang adanya hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita,
disyaratkan si pria maupun si wanita harus masih berstatus “single” yaitu
belum terikat tali perkawinan. Andaikata salah satu pihak atau kedua- duanya
masing- masing telah terikat tali perkawinan, tidaklah dapat perbuatan yang
demikian disebut Lokika Sanggraha, namun dapat dikualifikasikan sebagai
drati karma sebagaimana tercantum pada pasal 284 Kitab Undang- undang
Hukum Pidana. Hubungan cinta ini dapat dibuktikan melalui petnjuk-
petunjuk yang menunjukan ke arah itu, misalnya surat- surat yang bernada
cinta yang pernah dikirimkan oleh si pria kepada gadisnya atau kunjungan
tetap si pria kepada gadisnya dan lain- lainnya.14
2) Yang dimaksud hubungan seksual atau persetubuhan sesuai dengan Arrest
Hoge Raad 5 Februari 1912, adalah perpaduan antara anggota kemaluan laki-
laki dan perempuan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan anak. Menurut
Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, apabila kenyataan seorang laki- laki
dewasa terbukti tidur bersama dengan seorang perempuan dewasa dalam satu
kamar ( yang keduanya dalam keadaan normal), merupakan petunjuk bahwa
13
http://www. Hukum Hindu Hidup Teratur Berdasarkan Dharma.html
14
33
lelaki itu telah bersetubuh dengan perempuan tersebut. Hubungan seksual ini
haruslah didasarkan atas suka sama suka atau penyerahan secara pasrah serta
ikhlas atas kehormatan si wanita, tanpa sedikitpun adanya unsure paksaan.
Andaikata ada unsur paksaan maka sudah mengarah pada kejahatan
pemerkosaan dari pasal 285 KUHP.
3) Menurut unsur ini si pria berjanji akan bertanggung jawab atas perbuatannya
apabila terjadi kehamilan atas perbuatan mereka. Dari unsur inilah kemudian
terjadi perkembangan pengertian dari Lokika Sanggraha dalam praktik
pengadilan ( termasuk Raad Kerta), yaitu dengan menambah satu unsur lagi,
unsur adanya kehamilan. Karena si gadis atau orang tuanya atau keluarganya
baru merasa mendapat malu kemudian mengadu kepada yang berwajib
apabila terjadi kehamilan ini. Andai kata kehamilan ini tidak terjadi, maka
biasanya si gadis tidak pernah melaksanakan pemutusan hubungan cinta dari
pacarnya, dan otomatis kasus Lokika Sanggraha pun tidak ada.
4) Syarat untuk adanya Lokika Sanggraha adalah hamilnya si wanita. Apabila
hubungan seksual terebut tidak mengakibatkan si wanita hamil, konsekwensi
logisnya adalah tidak ada Lokika Sanggraha.
5) Yang dimaksud dengan unsur ini adalah si pria mungkir atau mengaku tidak
pernah berjanji untuk mengawini si wanita serta tidak melanjutkan hubungan
cinta dengan gadisnya hingga ke jenjang perkawinan. Pemutusan ini secara
sepihak, yaitu datangnya dari pihak si pria. Dan andaikata pemutusan itu
Sanggraha. Ada beberapa factor penyebab pemutusan ini, misalnya:
kebosanan, si laki- laki mendapat pacar baru, ketidak setujuan orang tua dan
lain- lain.15
Melihat unsur- unsur Delik Lokika Sanggraha diuraikan diatas maka jenis
ini adalah delik formil perbuatannya dilarang. Akan tetapi menurut pasal 359
Adhigama. Dalam praktek peradilan selama ini, mereka yang dapat dipidana
hanya laki- laki terbukti berjanji untuk mengawini wanita, lalu mengadakan
persetubuhan sehingga terjadi kehamilan, dan selanjutnya laki- laki itu tidak mau
bertanggungjawab atas akibat perbuatannya itu. Jadi peradilan selama ini
memberikan arti dari Delik Lokika Sanggraha adalah delik Materiil ( delik
dianggap terlaksana dengan timbulnya akibat yang dilarang). Disamping itu,
dalam praktek peradilan Delik Lokika Sanggraha lazim dipraktekan sebagai delik
aduan.16
Jadi Lokika Sanggraha perbuatan yang dilakukan seorang pria
menghendaki (layanan pemuas nafsu pribadi) seorang wanita bebas ( muda/
janda) kemudian tidak mengawini wanita bersangkutan, perbuatan mana
bertentangan dengan Lokika Sanggrha, bahwa setiap kehamilan, hendaklah
(menurut agama) serta pastinya status anak yang lahir dan kehamilan tersebut
menurut hukum.
15
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, hlm. 42
16
I Gusti Made Darmayana, Kedudukan Anak Luar Kawin Akibat Delik Lokika Sanggraha
35
Sebagaimana yang dimaksud di atas perbuatan ini menurut hukum adat
adalah delik. Atas ini kita bersyukur, khususnya adanya ketentuan Delik Lokika
Sanggraha itu. Sedang menurut penegasan para ahli, dalam KUHP perbuatan jenis
Lokika Sanggraha didepan tidak diatur. Lokika Sanggraha bukanlah norma
hukum adat yang bernilai lahiriah social, melainkan social- religious adanya. 17
Dari apa yang telah diuraikan di atas ternyatalah banyak bentuk- bentuk
atau wujud- wujud budaya yang timbul yang erat kaitannya dengan masalah sex.
Kesemuanya itu pada hakekatnya adalah merupakan pandangan adat yaitu dalam
hubungannya dengan bagaimana adat memandang kehidupan sex itu sendiri.18
C. Sanksi Lokika Sanggraha dalam Hukum Adat Bali
Sanksi adat yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 359 Kitab Adi Agama
bila terjadi Lokika Sanggraha adalah berupa denda 24.000 ( dua puluh empat
ribu) uang kepeng, yang dibebankan kepada laki- laki yang mengingkari janjinya
untuk mengawini gadisnya. Dicantumkannya sanksi adat berupa denda dalam
ketentuan tersebut di atas secara spontan yang tujuannya tiada lain untuk
mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu akibat perbuatan
Lokika Sanggraha. Yang tidak jelas dari ketentuan tersebut adalah apakah ada
keharusan si laki- laki mengawini ( menikahi) si gadis yang diputusi cintanya
17
I Gusti Made Darmayana, Kedudukan Anak Luar Kawin Akibat Delik Lokika Sanggraha
Dalam Hukum Adat Waris Bali Di Kabupaten Tabanan Propinsi Bali, hlm. 31
18
tersebut. Atau dengan perkataan lain, apakah ada suatu kewajiban si laki- laki
untuk mengawini ( menikahi) si gadis yang dihamilinya itu.19
Jenis tindak pidana adat semacam Lokika Sanggraha ini juga terdapat di
daerah lain misalnya di Palembang, Dr. Lublink Woddik memberitakan di dalam
disertasinya: “ Adat delicttenrecht in de rapat marga rechtspraak van Palembang”
( 1939), bahwa rapat- rapat marga sering mengadili perkara tentang:
1. Bujang gadis bergubalan lantas bunting
2. Janda bergubalan lantas bunting
3. Laki- laki berzina pada gadis atau janda tidak bunting
4. Bunting gelap
Hukuman yang dijatuhkan oleh rapat- rapat marga tersebut, ialah denda
dan pembasuh dusun. Dimana terang siapa yang menyebabkan bunting itu. Maka
rapat marga memutuskan supaya laki- laki mengawini gadis yang bersangkutan
dan jikalau laki- laki itu tidak sanggup kawin, ia harus membayar uang “
penyingsingan” kepada pihak yang terkena.20
Apa yang terdapat di Palembang tersebut serupa dengan kasus Lokika
Sanggraha yang di kenal di Bali. Di Bali untuk kasus Lokika Sanggraha
penjatuhan sanksi ( reaksi) adatnya hanyalah terbatas pada denda 24.000 uang
kepeng, sedang di Palembang memberikan pilihan kepada si laki- laki apakah ia
19
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, hlm. 47
20
37
akan mengawini si gadis ataukah membayar uang denda. Jadi pemaksaan untuk
kawin atau tidak dikenal dalam Hukum Adat daerah Palembang, apabila terjadi
seorang laki- laki menghamili seorang gadis.
Di Bali, suasana yang tertib dan tentram dalam masyarakat adat dapat
terwujud karena di pengaruhi oleh cara menyelesaikan suatu persoalan yang
timbul dalam masyarakat yang selalu berpegang teguh pada “ Catur Dresta”,yaitu
suatu penuntutan didalam menyelesaikan suatu sengketa atas masalah.
Demikian juga apabila pengurus desa dalam menangani delik adat Lokika
Sanggraha, haruslah berpedoman pada Catur Dresta serta awig- awig yang
berlaku pada masyarakat adat yang bersangkutan. Apabila ada laporan atau
diketahui telah terjadi delik adat Lokika Sanggraha, maka pengurus desa akan
segera mengadakan rapat membicarakan masalah tersebut dengan memanggil si
korban ( si wanita yang hamil) untuk dimintai keterangan. Keterangan dari pihak
korban ini akan dipakai dasar oleh pengurus untuk memanggil si pelaku ( laki-
laki yang menghamili) untuk dimintai keterangan serta penyelesaian
permasalahannya. Tidak ada permasalahan andai kata si laki- laki itu mengakui
perbuatannya, dan pengurus desa hanya menganjurkan agar segera menikahi si
gadis dan mengakui anak yang dikandungnya. Di desa adat Sebatu, kecamatan
Tegalalang, Kabupaten Gianyar walaupun yang laki- laki mau bertanggung jawab
atau mengawini si wanita yang hamil, namun kedua si pelaku itu tetep harus
tetap dianggap telah melanggar adat desa melakukan hubungan seks sebelum
menikah ( Setiabudhi, 1985: 119).
Dalam hal laki- laki yang menghamili tidak mau bertanggung jawab untuk
mengawini wanita yang dihamili dengan berbagai alasan, maka masyarakat adat
akan mengenakan sanksi berupa kewajiban untuk melakukan upacara “
Pemarisudhan” atau melakukan upacara “ Pecaruan”.21
Apabila si laki- laki tidak mau melaksanakan kewajiban adat yang telah
ditentukan oleh pengurus desa, maka untuk mengembalikan keseimbangan yang
terganggu akibat perbuatan itu, maka upacara pembersihan desa itu akan
dilakukan oleh desa adat yang bersangkutan. Dan si laki- laki yang mengotori
desa adat itu dikenakan sanksi adat yang disebut “ kasepekeng”, artinya laki- laki
tersebut oleh warga desa adat bersangkutan tidak akan diajak ngomong
(berbicara) untuk waktu tertentu sampai ia mohon maaf kepada pengurus desa
serta melakukan suatu kewajiban yang ditentukan kemudian oleh pengurus desa.
Atau andaikata terjadi hal yang demikian maka pengurus desa adat dapat
menganjurkan kepada wanita yang dihamili tersebut agar mengadukan
masalahnya kepada polisi untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa kewajiban adat ( sanksi adat) tetap
dikenakan terhadap laki- laki yang menghamili tersebut, bilamana ia telah selesai
menjalani masa pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Di Bali, sanksi adat biasanya
lebih ditakuti dibandingkan dengan pidana yang dijatuhkan oleh hakim, ini
21
39
disebabkan karena sanksi adat dewasa ini lebih menitikberatkan pada penderitaan
batin serta mempunyai kekuatan gaib, di mana norma agama tersebut tercermin di
dalamnya.22
22
40
TERHADAP DELIK ADAT LOKIKA SANGGRAHA
Di sini penulis akan meninjau delik adat Lokika Sanggraha dengan hukum
pidana Islam berdasarkan unsur- unsur yang terdapat di dalam delik adat lokika
sanggraha yang menurut hukum pidana Islam dianggap melanggar. Dari 5 (lima)
unsur yang terdapat dalam delik adat Lokika Sanggraha, terdapat 2 (dua) unsur yang
dapat dianggap melanggar, yakni (1) terjadinya hubungan seksual, dan (2) si pria
mengingkari janji untuk mengawini wanita.
A. Terjadinya Hubungan Seksual
Dalam hukum pidana Islam unsur ini disebut tindak pidana zina yang
termasuk kategori hudud. Selanjutnya akan penulis jelaskan secara rinci sebagai
berikut :
1. Definisi Zina
Zina ialah perbuatan bersenggama antara laki- laki dan perempuan
yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan ( perkawinan) atau perbuatan
bersenggama seorang laki- laki yang terikat perkawinan dengan seorang
perempuan yang bukan istrinya atau seorang perempuan yang terikat
perkawinan dengan orang laki- laki yang bukan suaminya.
Senggama adalah mengadakan hubungan kelamin, bersetubuh.
41
“ zina menurut arti bahasa adalah persetubuhan yang diharamkan, dan zina
menurut Syar‟î ialah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki- laki dengan seorang perempuan melalui ( pada) vagina diluar nikah dan bukan
nikah syubhat”1
Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, zina adalah “ Hubungan seksual
antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan yang tidak atau belum
diikat dalam perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan
seksual tersebut.2
Abdul Qadir Audah berpendapat bahwa zina ialah hubungan badan
yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya. Yang dimaksud dengan
hubungan badan yang diharamkan itu adalah memasukan penis laki- laki ke
vagina perempuan, baik seluruhnya atau sebagian ( Iltiqâ‟ al-Khitânain).3
Beberapa definisi lain tentang pengertian zina yang dikemukakan oleh
berbagai ulama mazhab menunjukan pengertian yang hampir sama. Hanya
seperti ulama Hanabilah dan ulama Zidiyah menambahkan jimak melalui
dubur.
1
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2003) hlm. 25
2
Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang- undangan di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, ( Jakarta: Kencana, 2010. Hlm. 119
3
Abdul Qadir Audah, Al- Tasyri‟ Al- Jina‟i Al- Islami Muqaranan bi Al- Qanun Al- Wad‟i, (
Artinya :“perseng