• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi dan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi dan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

SEKITAR LOKASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

KABUPATEN CIANJUR

MAMAN SUDRAJAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

DAMPAK BUDIDAYA IKAN JARING APUNG DI WADUK

CIRATA TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

SEKITAR LOKASI

DAN PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN CIANJUR

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan oleh sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 12 Pebruari 2009

(3)

Maman Sudrajat. 2009. The Impact of Floating Net Fish Culture at Cirata Reservoire on the Welfare of Surrounding Aquaculture Community and Economic Development in Cianjur. Supervised by Setia Hadi and Luky Adrianto

The development of floating net aquaculture at Cirata Reservoire aims to increase the welfare of it surrounding community. The data indicate that the fish farmer households are wealthier than that non fish farmer, this in indication that the floating net fish farming have positive impact on the economic development in Kabupaten Cianjur. This impact can be seen from the linkage of the floating net on other sectors. Although the direct backward linkage and direct forward linkage is small, but it indirect backward linkage and indirect forward linkage is middle, in addition that multiplier effect of floating net fish farming on the support and income is high. Floating net farmer is still enjoying the surplus up to now, but comparing to the previous year the surplus is lower due to the decrease of fish production caused by the decrease of water quality.

(4)

Cirata Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Lokasi dan Pembangunan Ekonomi Kabupaten Cianjur (dibawah bimbingan SETIA HADI, sebagai ketua danLUKY ADRIANTO, sebagai anggota).

Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari tiga waduk di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Provinsi Jawa Barat. Fungsi utama Waduk Cirata adalah untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang sebagian wilayah genangannya dimanfaatkan untuk usaha budidaya ikan di jaring apung.

Perkembangan usaha budidaya ikan di jaring apung berpengaruh terhadap sektor-sektor lain baik secara langsung maupun tidak langsung seperti : pembenihan ikan, pendederan ikan, pembuatan pakan ikan, pembuatan jaring, pembuatan kolam jaring apung, pemasaran ikan, usaha rumah makan, pariwisata, dan permintaan tenaga kerja. Namun disisi lain berpengaruh pula terhadap penurunan sumberdaya perairan, terutama kualitas air yang mengancam keberlanjutan usaha budidaya ikan jaring apung itu sendiri, pada akhirnya mengancam keberlangsungan sektor-sektor yang terkait.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak keberadaan budidaya ikan jaring apung Waduk Cirata terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi dan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur. Penelitian tingkat kesejahteraan masyarakat menggunakan analisis kesejahteraan BPS dan penelitian dampak terhadap pembangunan ekonomi menggunakan analisis input – output.

Dari data yang diperoleh produksi ikan di jaring apung per satuan luas bahkan secara keseluruhan sejak tahun 2000 produksinya terus menurun, namun hasil analisis financial menunjukkan usaha budidaya ikan di jaring apung masih layak untuk dilaksanakan, dan hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa rumah tangga sekitar lokasi yang menjadi petani/pengusaha ikan jaring apung tingkat kesejahteraannya lebih tinggi dibadingkan dengan rumah tangga bukan petani/pengusaha ikan jaring apung.

Lebih rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga bukan petani/pengusaha ikan di jaring apung, karena pada umumnya mata pencaharian penduduk sekitar lokasi adalah petani padi sawah atau lahan darat dengan luas < 0,25 Ha atau buruh tani yang upahnya di bawah upah minimum.

Petani/pengusaha budidaya ikan di jaring apung sampai saat ini masih mengalami surplus produsen cukup tinggi walaupun dari tahun ke tahun sejak tahun 2000 terus mengalami penurunan, karena produksi ikannya semakin menurun akibat kualitas air waduk yang terus menurun. Penurunan kualitas air ini disebabkan oleh akumulasi pencemaran dari hulu dan pencemaran dari budidaya ikan itu sendiri.

(5)
(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

SEKITAR LOKASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

KABUPATEN CIANJUR

MAMAN SUDRAJAT

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi

Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama : Maman Sudrajat

NIM : H151060131

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(9)
(10)

Puja dan puji serta syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah S.W.T., yang telah memberikan rakhmat dan khidayat serta karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa pula penulis sampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dorongannya kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si., sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc., sebagai anggota pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

2. Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S., sebagai ketua program studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan beserta staf atas segala kemudahan dan dorongannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 3. Seluruh dosen Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis sehingga dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam penulisan tesis ini.

4. Pimpinan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPTK) Pertanian Cianjur yang telah memberikan kesempatan, dorongan, bantuan, dan kemudahan untuk menempuh jenjang pendidikan Progam Master (S2) sampai tersusunnya tesis ini.

5. Ibunda dan ayahanda serta mertua yang telah memberikan dorongan moril dan doanya, sehingga ananda dapat menyelesaikan pendidikan sampai tersusunnya tesis ini.

6. Istri dan anak-anakku tercinta atas dorongan moril dan doanya.

Bogor, 12 Pebruari 2009

(11)

Penulis lahir pada tanggal 26 Maret 1961 di Cianjur - Jawa Barat, sebagai anak kedua dari enam bersaudara, dengan Ayahanda Bapak H. Abdul Hamid; BA. dan Ibunda Hj. Epon Saripah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Ciranjang – Cianjur tahun 1973 dan pendidikan menengah di SMP Negeri Ciranjang – Cianjur tahun 1976 serta pendidikan menengah atas di SPMA Bogor tahun 1980.

Pada tahun 1980 sampai dengan tahun 1983 penulis mengabdikan diri kepada negara sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pusat Penelitian Tanah (Puslittan) Bogor. Tahun 1983 mengundurkan diri dari PNS dan melanjutkan pendidikan di Akademi Pertanian Tanjungsari (APT) Program Studi Pertanian lulus tahun 1986.

Pada tahun 1986 sampai dengan tahun 1989 penulis menjadi tenaga guru honorer di SMP Negeri Bojong Picung – Cianjur dan SMP PGRI Ciranjang – Cianjur. Pada tahun 1990 sampai dengan sekarang mengabdikan diri sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian Cianjur.

Pada tanggal 15 Desember 1991 penulis menikah dengan Lidia Br. Tarigan dan dikaruniai dua orang anak, Kurniawan Faturochman lahir tanggal 7 Mei 1993 dan Widadarojati Yumnaramdhani lahir tanggal 1 Januari 1999.

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Upaya pembangunan pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik, yang tercermin dalam peningkatan pendapatan per kapita dan pemenuhan kebutuhan pokok, juga menurunnya angka kemiskinan, memperluas kesempatan kerja dan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan dalam masyarakat (Jhingan, 2004). Namun pembangunan juga sangat berkaitan erat dengan kondisi sumberdaya alam dan ekosistem wilayah yang bersangkutan baik dalam kualitas maupun kuantitasnya (Anwar, 1977). Pembangunan yang baik adalah apabila pembangunan tersebut tidak hanya mampu memanfaatkan sumberdaya alam tetapi sekaligus juga mempertahankan kelestariannya. Karena apabila pemanfaatan sumberdaya alam tersebut kurang bijaksana dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan, sehingga pembangunan yang berkelanjutan tidak dapat terwujud. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diadakan berbagai fasilitas atau pun kebijakan yang memberi kemungkinan atau kemudahan bagi masyarakat suatu daerah untuk memenuhi kebutuhannya sekaligus juga melestarikan sumberdaya alam tersebut.

Upaya membangun merupakan salah satu usaha untuk membantu masyarakat agar mereka dapat dan mampu bergerak sendiri meningkatkan pendapatannya. Dalam membangun suatu daerah masih memerlukan campur tangan atau bantuan dari luar daerah itu, karena umumnya suatu daerah pasti masih memiliki banyak keterbatasan, baik keterbatasan ide, pemikiran, perencanaan, pembiayaan, dan sebagainya. Campur tangan dari luar biasanya dari pihak pemerintah, karena pemerintah mempunyai tugas dan kewajiban untuk mensejahterakan warganya. Bantuan yang dimaksud adalah memberi kemudahan kepada masyarakat agar dapat bangkit membangun dirinya sendiri untuk meningkatkan taraf hidupnya.

(13)

Cirata merupakan Waduk ketiga di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Provinsi Jawa Barat. Waduk pertama adalah Waduk Jatiluhur di Kabupaten Purwakarta yang menggenangi sebagian wilayah Kabupaten Purwakarta. Waduk ini dibangun pada era presiden Soekarno. Waduk kedua adalah Waduk Saguling di Kabupaten Bandung yang menggenangi sebagian wilayah Kabupaten Bandung, Waduk ini dibangun pada era presiden Soeharto.

Tujuan utama pembuatan Waduk tersebut, khususnya Waduk Cirata adalah untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), namun untuk mengurangi biaya sosial (social cost), maka sebagian genangan Waduk (1%) dimanfaatkan/ difungsikan pula sebagai tempat/lokasi budidaya ikan di jaring terapung, dengan maksud memberikan peluang atau kesempatan terutama bagi masyarakat yang terkena dampak genangan Waduk atau masyarakat di sekitar Waduk agar mempunyai mata pencaharian baru atau mata pencaharian tambahan. Namun sekarang ini sudah banyak orang yang bukan merupakan masyarakat yang terkena dampak genangan Waduk atau masyarakat yang bukan sekitar Waduk menginvestasikan atau menanamkan modalnya baik langsung pada sektor budidaya ikan di jaring terapung maupun sektor yang terkait dengan budidaya ikan di jaring apung, seperti : pembenihan ikan, penyediaan sarana dan prasarana jaring apung, trasnportasi, perdagangan, dan lain-lain. Bahkan bukan hanya masyarakat Kabupaten Purwakarta, Bandung, dan Cianjur saja, tetapi orang-orang di luar Kabupaten tersebut atau bahkan orang-orang diluar Provinsi Jawa Barat.

(14)

Dalam kondisi tertentu, modal untuk membuat karamba jaring apung relatif lebih kecil dibandingkan dengan pembuatan wadah budidaya ikan lainnya seperti kolam tanah atau tambak dengan jumlah padat tebar yang sama. Hal ini karena dalam pembuatan karamba jaring apung, terdapat berbagai pilihan bahan untuk membentuk konstruksi seperti besi geladak dapat digantikan dengan bambu, pelampung dapat diganti dengan drum atau stryfoam.

Akibat kegiatan usaha budidaya ikan air tawar di jaring apung inilah, sehingga terjadi perkembangan perekonomian di wilayah sekitar Waduk. Perkembangan perekonomian di sekitar waduk tersebut, tidak hanya sektor budidaya ikan di jaring apung saja, tetapi terjadi pula perkembangan sektor-sektor lain yang terkait dengan budidaya ikan di jaring apung serta sektor-sektor pendukung lainnya, seperti penyediaan benih ikan, pakan ikan, transportasi baik untuk mengangkut benih ikan, pakan ikan, pemasaran ikan, maupun sarana pendukungnya, penyediaan sarana prasarana jaring apung, serta sektor-sektor lain yang dibutuhkan untuk kebutuhan yang terkait dengan keberadaan kolam jaring apung. Bahkan sekarang sudah berkembang menjadi tempat rekreasi dan pemancingan ikan.

(15)

1.2. Perumusan Masalah

Dari data Kabupaten Cianjur dalam Angka tahun 2006 diketahui bahwa sektor pertanian merupakan sektor terbesar dalam struktur perekonomian Kabupaten Cianjur. Sektor pertanian tersebut terbagi atas pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan.

Sub sektor perikanan yang merupakan bagian dari sektor pertanian terbagi atas kegiatan penangkapan (fishing) dan kegiatan budidaya (fish culture). Kegiatan penangkapan terdiri dari penangkapan laut sebesar 229,73 ton dengan nilai Rp. 13.805,92 juta dan penangkapan dari perairan umum sebesar 182,90 ton dengan nilai Rp. 1.175.055,00 juta. Sedangkan kegiatan budidaya terbagi atas hasil tambak sebesar 934,91 ton dengan nilai Rp. 6.492,00 juta, kolam sebesar 4.220,17 ton dengan nilai Rp. 334,37 juta, sawah sebesar 1.791,60 ton dengan nilai Rp. 13.680,00 juta, keramba sebesar 611,85 ton dengan nilai Rp. 1.852.225,00 juta, dan jaring apung sebesar 34.903,30 ton dengan nilai Rp. 265.561,00 juta.

Dari data tersebut di atas ternyata nilai dari kegiatan budidaya lebih besar dibandingkan dengan hasil penangkapan, nilai hasil budidaya sebesar Rp. 2.138.292,37 juta atau 64,27% dari total hasil perikanan, sedangkan nilai dari hasil penangkapan sebesar Rp. 1.188.860,92 juta atau 35,73% dari total hasil perikanan. Nilai hasil budidaya di jaring apung berada di urutan kedua yaitu sebesar Rp. 265.561 juta atau 12.42% dari total hasil perikanan budidaya. Namun bila dilihat dari jumlah produksi, hasil budidaya ikan jaring apung ini berada pada urutan pertama yaitu sebesar 34.903,30 ton.

(16)

Jadi peran perikanan budidaya jaring apung dari Waduk baik Jatiluhur, Saguling, maupun Cirata saat ini merupakan salah satu sektor perikanan yang penting dalam mendukung perekonomian Provinsi Jawa Barat pada umumnya dan Kabupaten Bandung, Purwakarta serta Cianjur pada khususnya selain sektor-sektor perikanan budidaya lainnya seperti : tambak, kolam, sawah, laut, keramba, dan kolam air deras.

Perkembangan ekonomi suatu wilayah tidak terlepas dari saling terkaitnya sektor satu dengan sektor lainnya, demikian juga perkembangan ekonomi di wilayah Kabupaten Cianjur pada sub sektor budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata ini sangat terkait erat dengan sektor-sektor lain seperti :

a. Pembenihan ikan. Semakin berkembang budidaya ikan di jaring apung ini semakin banyak membutuhkan benih ikan, sehingga mendorong perkembangan usaha pembenihan ikan bahkan usaha pembenihan ikan ini tidak hanya berkembang di Kabupaten Cianjur saja, tetapi juga di Kabupaten lain yang berdekatan, seperti : Kabupaten/Kota Sukabumi, Kabupaten/Kota Bandung, Kabupaten Subang, dan lain-lain.

b. Pakan ikan. Semakin berkembang budidaya ikan di jaring apung dan berkembang pula usaha pembenihan ikan, maka semakin banyak pakan ikan yang dibutuhkan, sehingga semakin mendorong perkembangan pabrik-pabrik pakan, perkembangan pabrik-pabrik pakan ini banyak berkembang di daerah Kabupaten/Kota Tangerang, Kabupaten/Kota Bekasi, dan Kabupaten/Kota Cirebon.

c. Tenaga Kerja. Semakin berkembang usaha budidaya ikan di jaring apung juga menyebabkan peningkatan kebutuhan akan tenaga kerja, baik kebutuhan tenaga kerja yang langsung sebagai tenaga di jaring apung, maupun sebagai tenaga di tempat usaha pembenihan ikan, pendederan ikan, penjualan pakan, penjualan ikan konsumsi, penjualan benih ikan, sarana dan prasarana jaring apung, jasa panen, pabrik pakan serta transportasi.

(17)

lain-lain. Juga semakin meningkatnya kebutuhan bahan-bahan yang secara tidak langsung berhubungan dengan budidaya ikan, yaitu semen, pasir, keramik, kayu, paku, atap (genting/seng/asbes) untuk membuat bangunan penjualan pakan, penjualan es pembeku ikan, dan lain-lain.

e. Perbankan. Semakin berkembang usaha budidaya ikan di jaring apung semakin banyak pula perbankan yang dibutuhkan, baik untuk permodalan maupun transaksi lainnya. Baik keterkaitan langsung dengan usaha budidaya ikan di jaring apung maupun keterkaitan tidak langsung dengan usaha budidaya ikan, seperti : usaha pembenihan ikan, usaha pendederan ikan, usaha penjualan pakan, usaha sarana dan prasarana jaring apung, usaha pembuatan pakan ikan (pabrik pakan) dan lain-lain.

f. Transportasi. Semakin berkembang usaha budidaya ikan di jaring apung semakin berkembang pula kegiatan usaha transportasi baik untuk mengangkut hasil ikan konsumsi, benih ikan, pakan ikan, bahan pendukung lainnya, maupun penumpangnya. Transportasi tersebut bukan hanya transportasi darat, tetapi juga transportasi di perairan Waduk.

g. Pariwisata dan pemancingan ikan. Dengan berkembangnya usaha budidaya ikan di jaring apung secara tidak langsung mendorong juga kegiatan usaha pariwisata dan pemancingan ikan. Akibat banyak orang yang berkunjung ke daerah sekitar Waduk bukan karena kepentingan bisnis atau usaha melainkan hanya melihat-lihat atau rekreasi untuk melihat keindahan perairan Waduk atau melihat-lihat kondisi budidaya ikan di jaring apung atau sekedar jalan-jalan dengan perahu di perairan Waduk, ada juga orang yang datang hanya untuk memancing ikan.

(18)

perdagangan lainnya, seperti: restoran, perlengkapan pemancingan dan pedagang konsumtif lainnya.

Dari sekian banyak dampak budidaya ikan di jaring apung tersebut terhadap perkembangan ekonomi sektor-sektor lainnya memungkinkan banyak peluang bagi masyarakat di sekitar Waduk untuk turut berperan serta memperoleh kesempatan agar dapat meningkatkan taraf hidupnya baik sebagai tenaga atau pengusaha ikan jaring apung secara langsung maupun sektor-sektor lain yang terkait dengan budidaya ikan secara langsung seperti pembenihan ikan, maupun secara tidak langsung seperti pedagang-pedagang yang menyediakan kebutuhan orang yang bekerja di sekitar Waduk atau orang yang berkunjung ke Waduk.

Dari uraian tersebut diatas kami coba mengkaji tentang dampak keberadaan jaring apung di Waduk Cirata terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi dan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur. Ada beberapa fenomena yang timbul dari kegiatan usaha budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata tersebut, diantaranya adalah :

a. Semakin berkembang kegiatan usaha budidaya ikan dijaring apung, maka semakin mendorong perkembangan sektor ekonomi yang lain, seperti : permintaan benih ikan, permintaan pakan ikan, permintaan modal (lembaga keuangan), permintaan tenaga kerja, dan perkembangan lembaga tataniaga. b. Akibat perkembangan sektor-sektor ekonomi tersebut diharapkan dapat

mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat sekitar lokasi atau masyarakat pengungsi karena terkena genangan Waduk serta pembangunan ekonomi wilayah Kabupaten Cianjur.

c. Namun kegiatan usaha budidaya ikan di jaring apung selain dapat mendorong perkembangan ekonomi juga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekosistem Waduk, akibat dari penumpukan : sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan, kotoran ikan, dan bekas-bekas peralatan kolam jaring apung. Akibatnya dapat menurunkan daya dukung Waduk terhadap kegiatan usaha budidaya ikan tersebut.

(19)

Dengan demikian kami mencoba untuk mengkaji tentang dampak keberadaan budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata yang termasuk wilayah Kabupaten Cianjur terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar Waduk dan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur (Gambar 1).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana sistem usaha budidaya di jaring apung di Waduk Cirata.

b. Bagaimana dampak dan peranan usaha budidaya ikan di jaring apung terhadap pendapatan, kesempatan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi Waduk.

c. Bagaimana dampak dan peranan usaha budidaya ikan di jaring apung terhadap pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur, serta aspek multiplier terhadap pendapatan dan kesempatan kerja.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk menganalisis usaha budidaya ikan di jaring apung di Waduk Cirata b. Untuk mengetahui dampak budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata

terhadap kesejahteraan petani/pengusaha budidaya ikan di jaring apung dan masyarakat sekitar lokasi Waduk.

c. Untuk mengetahui dampak budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata terhadap pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur.

1.4. Manfaat Penelitian

(20)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah menelaah usaha budidaya ikan di jaring apung di Waduk Cirata yang termasuk wilayah Kabupaten Cianjur dan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar Waduk dan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur.

1.6. Kerangka Pemikiran

Perkembangan suatu wilayah yang baik ditunjukkan oleh keterkaitan antara sektor ekonomi di wilayah tersebut, dalam hal ini terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor secara dinamis. Demikian juga keberadaan usaha budidaya ikan jaring apung Waduk Cirata dapat dikatakan mempunyai peranan yang baik dalam pengembangan wilayah apabila memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya di wilayah tersebut, seperti : usaha pembenihan ikan, usaha pembuatan pakan ikan (pabrik pakan), usaha pendederan ikan, pemasaran benih ikan, pemasaran pakan ikan, usaha pembuatan kolam jaring terapung, usaha pembuatan kerangka jaring apung, usaha transportasi, usaha pemasaran bahan-bahan untuk pengepakan (seperti : oksigen, es balok, kantong plastik, karet), dan sektor penunjang lainnya.

(21)

Lingkungan Ekonomi Sosial

Lingkungan

Ekonomi Sosial

Kualitas air

Sarana

produksi

Prasarana

Tenaga

Kerja

Kegiatan

produksi

Sisa pakan

Kotoran

ikan

Bekas

sarana dan

prasarana

Limbah

lainnya

Hasil

Budidaya

ikan

Pajak

Hasil sektor

terkait

Hasil sektor

lain

Peluang kerja

INPUT

PROSES

BUDIDAYA

IKAN DI

JARING

APUNG

OUTPUT

Lingkungan Ekonomi Sosial

Lingkungan

Ekonomi Sosial

Pencemaran

lingkungan

Produksi

ikan

Kesempatan

kerja

Aktivitas

ekonomi

Penurunan

kualitas air

Penurunan

Kualitas Air

Pendapatan

Petani

PDRB

Kabupaten

Mengurangi

pengangguran

Trade

off

(22)

seringkali bersifat eksploratif dengan menggunakan teknologi yang padat modal dan kurang memanfaatkan tenaga kerja setempat, sehingga manfaatnya bocor ke luar wilayah. Selain itu multiplier yang terjadi kurang dapat ditangkap secara lokal atau regional, sehingga penduduk setempat hanya menjadi penonton.

Menurut Mahyudi (2004), pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan diantaranya adalah tersedianya lapangan pekerjaan. Jadi keberadaan budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata dikatakan baik apabila mempunyai peranan atau dampak dalam penyediaan lapangan pekerjaan, baik lapangan pekerjaan secara langsung pada sektor budidaya ikan jaring apung itu sendiri maupun lapangan pekerjaan secara tidak langsung namun masih terkait dengan keberadaan budidaya ikan jaring apung, seperti : tenaga kerja teknis pembenihan ikan, tenaga kerja teknis pendederan ikan, tenaga kerja teknis pembuatan pakan ikan (pabrik pakan ikan), tenaga kerja penjualan pakan, tenaga kerja pengangkutan ikan, tenaga kerja pemasaran benih ikan, tenaga kerja pemasaran ikan hasil jaring terapung, tenaga kerja pembuatan kolam jaring apung, tenaga kerja pemasaran sarana dan prasarana penunjang, tenaga kerja permodalan, dan lain-lain.

Selain itu suatu sektor dikatakan mempunyai peranan yang positif apabila sektor tersebut dapat meningkatkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di wilayah tersebut. Jadi keberadaan budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata mempunyai peranan atau berdampak positif apabila keberadaan budidaya ikan di Waduk tersebut dapat meningkatkan PDRB wilayah tersebut, baik langsung maupun tidak langsung.

(23)

unit-unit usaha yang memiliki keterkaitan kedepan lebih tinggi dibandingkan dengan unit-unit usaha yang memiliki keterkaitan kebelakang. Sebaliknya apabila tingkat keterkaitan ke belakang (backward linkages) lebih tinggi dibandingkan dengan keterkaitan ke depannya (forward linkages), maka hal itu menandakan adanya kebocoran suatu wilayah (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju, 2007).

Kriteria lainnya untuk mengetahui bahwa suatu sektor dikatakan memiliki peranan yang baik apabila sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah (value added) sehingga memberikan dampak pengganda (multiplier effect) di wilayah tersebut. Sebaliknya apabila dampak pengganda (multiplier effect) rendah karena nilai tambah (value added) rendah, hal ini menandakan bahwa nilai tambah yang ada tidak dapat ditangkap wilayah tersebut melainkan justru manfaatnya diambil wilayah lain. Jadi bila keberadaan jaring apung tersebut tidak memberikan nilai tambah di wilayah tersebut, maka tidak akan memberikan dampak pengganda di wilayah tersebut, sehingga kemungkinan besar keberadaan jaring apung tersebut justru dimanfaatkan oleh wilayah lain.

Namun akibat perkembangan budidaya ikan di jaring apung yang terus meningkat juga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan ekosistem Waduk, sehingga dapat menurunkan daya dukung waduk terhadap keberlanjutan budidaya ikan di jaring apung atau paling tidak setiap satuan input yang ditanamkan produksinya akan terus menurun bahkan bisa sampai tidak menguntungkan lagi. Untuk mengembalikan kondisi waduk tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu, akibatnya dapat berpengaruh terhadap penurunan perkembangan sektor-sektor lain, yang pada akhirnya dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan sekonomi Kabupaten Cianjur.

(24)

Secara diagramtik, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

PERKEMBANGAN BUDIDAYA IKAN

JARING APUNG

D1 D2

EKONOMI RUMAH TANGGA

KJA

EKONOMI RUMAH TANGGA NON

KJA PS

MIKRO

MASYARAKAT SEKITAR LOKASI

D3 D4

MAKRO

EKONOMI KABUPATEN

CIANJUR

LINGKUNGAN PERAIRAN

WADUK Keterangan :

D1 = Dampak BD Ikan di Jaring Apung terhadap RT BD Ikan KJA D2 = Dampak BD Ikan di Jaring Apung terhadap RT Non BD Ikan KJA PS = Pruducers Surplus RT BD Ikan KJA

D3 = Dampak BD Ikan di Jaring Apung terhadap Pembangunan Ekonomi Kabupaten Cianjur

D4 = Dampak BD Ikan di Jaring Apung terhadap Lingkungan Perairan Waduk RT = Rumah Tangga

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan

Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir serta proses pembangunan merupakan perubahan sosial budaya (Tjokroamidjojo dan Mutopadidjaya, 1980). Jadi pembangunan bermakna perubahan, yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan manusia, peningkatan standar hidup, perbaikan pendidikan dan kesehatan serta keadilan dalam berbagai kesempatan adalah unsur-unsur yang esensial dalam pembangunan ekonomi. Pendapatan perkapita tanpa disertai dengan adanya transformasi sosial dan struktur ekonomi belum dipandang sebagai pembangunan. Karena mengukur pembangunan adalah sulit, karena menyangkut aspek-aspek bukan material, sehingga pengukuran pembangunan sering dipersempit dengan pembangunan ekonomi.

Menurut Todaro (2000), pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional sebagai akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Sedangkan menurut Budiharso (2001), pembangunan merupakan suatu usaha untuk menyediakan banyak alternatif yang sahih bagi setiap warga negara untuk mencapai aspirasi yang palinghumanistic.

(26)

bukan hanya terhadap orang atau negara bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sedangkan Jhingan (2004), menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai kenaikan jangka panjang dari kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang ekonomi pada penduduk dan kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan serta idiologis yang diperlukan. Adapun ciri yang menandai pertumbuhan ekonomi dapat dikemukakan sebagai berikut : (1) laju pertumbuhan penduduk dan produk per kapita, (2) peningkatan produktivitas, (3) laju pertumbuhan struktural yang tinggi, (4) urbanisasi, (5) ekspansi negara maju, dan (6) arus modal dan orang antar bangsa atau wilayah. Ciri-ciri pertumbuhan ekonomi modern sebagaimana tersebut di atas adalah saling mengait, semuanya tejalin dalam urusan sebab akibat.

Pembangunan juga sebagai “the process of improving the quality of all human lives” yang dibatasi dengan tiga aspek (Todaro, 1977), yaitu :

a. Mempertinggi tingkat penghidupan bangsa, yaitu tingkat pendapatan dan konsumsi pangan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya melalui proses pembangunan ekonomi.

b. Menciptakan keadaan yang dapat membantu pertumbuhan rasa harga diri melalui pembangunan sistem dan lembaga sosial, politik dan ekonomi yang dapat mengembangkan rasa harga diri dan rasa hormat terhadap kemanusiaan . c. Mengembangkan kebebasan untuk memilih dengan jalan memperluas rangkaian kesempatan untuk memilih, misalnya dengan menambah keanekaragaman jenis barang konsumsi dan jasa yang tersedia.

Fenomena umum dari ketidak terpaduan kebijakan pembangunan (Stohr, 1981), adalah :

a. Penarikan kembali faktor-faktor produksi dari wilayah-wilayah yang telah diseleksi untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya (nasional atau internasional)

(27)

c. Kerusakan lingkungan dan ketidak seimbangan hubungan manusia dengan lingkungan akibat frekuensi kepuasan yang berlebihan dari pengambilan sumber daya yang ada di daerah tersebut.

d. Memperkenalkan faktor-faktor produksi yang dominan (modal, teknologi, bentuk organisasi dan sebagainya) kepada daerah-daerah yang kurang berkembang. Dengan demikian kenaikan share dari pada aktivitas wilayah menjadi tergantung pada organisasi yang diawasi dari luar (multi-regional atau multi-nasional).

e. Ketidak terpaduan struktur sosial dan struktur politik, sehingga berpengaruh terhadap keadaan perekonomian dan pembangunan, terutama bagi orang-orang miskin dan golongan penduduk yang kurang efektif.

f. Penarikan kembali sumber-sumber ekonomi, sehingga melemahkan perekonomian daerah dan struktur sosial politik. Hal ini akan mengakibatkan wilayah tersebut sangat tergantung pada pihak dan organisasi dari pemerintah pusat.

2.2. Pendekatan Pembangunan

2.2.1. Pendekatan pada Pertumbuhan Ekonomi

Sumber yang dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan ekonomi, yaitu : peningkatan modal per tenaga kerja dan penggunaan teknologi (Oliver Blanchard, 2002). Seiring dengan itu kebijakan pembangunan ekonomi selalu ditujukan untuk mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat dan dipandang seluruhnya merupakan usaha pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Parameter yang digunakan adalah Gross National Product (GNP). Pengukuran ini akan tercermin dari pendapatan per kapita. Hal ini sejalan dengan pendapat Sukirno (1978), bahwa kebijakan dan perencanaan pembangunan bertujuan menciptakan pembangunan ekonomi yang hasilnya secara merata dapat dirasakan oleh masyarakat, menciptakan pembangunan yang seimbang antar daerah, menciptakan kesempatan kerja semaksimum mungkin, dan melindungi perkembangan perusahaan-perusahaan nasional.

(28)

kapita, jadi bisa saja orang kayanya sedikit tapi kaya sekali sehingga gap antara orang kaya dan orang miskin tinggi sekali, jadi bisa saja orang miskinnya banyak, sehingga banyak kritikan tentang pengukuran kemajuan pembangunan bila ditinjau hanya dari GNP saja.

2.2.2. Pendekatan pada Penyediaan Lapangan Kerja

Pertambahan penduduk dan angkatan kerja di satu pihak dan laju serta arah investasi di lain pihak mempengaruhi masalah pengangguran dan perluasan kesempatan kerja. Pertambahan angkatan kerja juga mempengaruhi tingkat upah (dalam arti nyata) maupun aspek pembagian pendapatan masyarakat. Ditambah pula bahwa pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja serta tingkat fertilitas dari yang bersangkutan juga mempengaruhi tingkat tabungan masyarakat dan investasi untuk perluasan dasar ekonomi (Djojodikusumo, 1975).

Sehingga pendekatan pada sumber daya manusia merupakan kunci keberhasilan bagi pembangunan bangsa. Pendapat ini didasarkan kepada, bahwa setiap investasi harus di arahkan bukan hanya untuk meningkatkan ”physical capital stock”, tetapi juga harus memperhatikan juga ”human capital stock” sehingga dapat terjamin kemajuan ekonomi dan stabilitas sosial (Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya, 1980).

Dengan demikian dalam mengejar pertumbuhan harus sekaligus memperhatikan masalah ketenaga kerjaan, seperti :

a. Daya serap terhadap tenaga kerja

b. Berbasis pada kondisi dan potensi wilayah c. Peningkatan tingkat pendidikan masyarakat d. Peningkatan tingkat kesehatan masyarakat

Penyediaan dan perencanaan tenaga kerja antara lain dapat ditentukan dengan analisis input – output. Untuk analisis impak dapat menggunakan koefisien-koefisien yang dihasilkan dari tabel tersebut, dengan demikian total koefisien tenaga kerja dapat diketahui.

2.2.3. Pendekatan pada Keterkaitan Antar Sektor

(29)

(2007) bahwa kegagalan pemerintah (governance failure) di masa lalu adalah kegagalan di dalam menciptakan keterpaduan sektoral yang sinergis di dalam kerangka pembangunan wilayah. Pemerintahan yang sentralistik pada saat itu seringkali lembaga-lembaga (instansi) sektoral di tingkat wilayah/daerah hanya merupakan perpanjangan dari lembaga sektoral di tingkat nasional/pusat, dengan sasaran pembangunan, pendekatan, dan perilakunya tidak sinergis dengan institusi-institusi di tingkat daerah. Akibatnya, lembaga pemerintah daerah gagal memahami dan menangani kompleksitas pembangunan yang ada di wilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat sebagaimana mestinya.

Selanjutnya Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju (2007), menambahkan bahwa dalam kacamata sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang dinamis.

Pada umumnya setiap daerah pasti memiliki keterbatasan sumberdaya, oleh karena itu dalam merencanakan pembangunan memerlukan skala prioritas sektor mana yang perlu didahulukan. Menurut Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju (2007), sektor-sektor yang diprioritaskan untuk dikembangkan terlebih dahulu adalah (1) sektor-sektor yang memiliki sumbangan langsung maupun tidak langsung paling besar terhadap pencapaian sasaran pembangunan, (2) sektor-sektor yang memiliki banyak keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya di wilayah tersebut, dan (3) sektor-sektor yang aktivitasnya lebih marata penyebarannya.

(30)

Tingkat keterkaitan ke belakang yang disebut daya penyebaran dapat diturunkan indeks daya penyebaran. Indeks derajat kepekaan dan indeks daya penyebaran dapat digunakan untuk menganalisa dan menentukan sektor kunci (key sector) yang akan dikembangkan dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah (BPS, 1995).

2.2.4. Pendekatan pada Keterkaitan dengan Aspek Lingkungan

Peningkatkan perekonomian yang disesuaikan dengan sumberdaya yang dimiliki (resources based approach) merupakan bagian yang mendasar dalam pembangunan, agar pembangunan tersebut tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masa kini saja melainkan juga memikirkan keberlanjutananya di masa yang akan datang. Walaupun dalam pelaksanaannya sering menghadapi banyak kendala (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro, 1977) antara lain :

1. Adanya pendapat bahwa bertambahnya pencemaran terhadap lingkungan terjadi sedikit demi sedikit, sehingga tambahan pencemaran tidak berpengaruh dan manusia tetap dapat hidup.

2. Adanya pihak-pihak yang menentang kebijakan yang memperhatikan aspek lingkungan karena merasa kegiatannya dibatasi.

3. Adanya pihak yang berpegang teguh pada hal-hal tradisional dan menentang adanya perubahan.

4. Adanya pihak-pihak yang menolak pembagian insentif ekonomi yang dimaksudkan untuk perlindungan lingkungan karena menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat.

(31)

mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya juga.

2.3. Kebocoran Wilayah (Regional Leakage)

Pembangunan yang dilaksanakan di suatu wilayah pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut tanpa melupakan tujuan pembangunan yang lebih luas atau nasional. Kegagalan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan akan terlihat apabila laju pertumbuhan ekonomi meningkat, namun tingkat pendapatan masyarakat tidak meningkat atau tetap rendah. Ini mengindikasikan bahwa kegiatan pembangunan di wilayah tersebut belum mampu menciptakanspread effect di wilayah tersebut.

Kegiatan pembangunan seringkali kurang dapat ditangkap secara lokal dan regional, sehingga penduduk setempat hanya menjadi penonton. Hal ini dapat terjadi karena berbagai hal, seperti sumberdaya manusianya yang belum siap menerima perubahan, kebijakan pemerintah yang kurang mendukung perkebangan wilayah tersebut, memerlukan dana yang cukup besar serta dukungan pendanaannya yang sulit di akses oleh masyarakat di wilayah tersebut, sumberdaya alam yang tidak mendukung, dan lain-lain.

Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat ditandai dengan tingginya keterkaitan ke belakang (backward linkage) sedangkan keterkaitan ke depannya (forward linkage) cenderung rendah dan juga berkaitan dengan rendahnya dampak pengganda (multiplier effect), karena nilai tambah (value added) yang semestinya ditangkap wilayah tersebut justru manfaatnya diambil wilayah lain.

Beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat kebocoran wilayah, antara lain (Anwar, 1995) :

a. Sifat Komoditas

(32)

komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga nilai tambahnya sebagian besar ditangkap wilayah lain.

b. Sifat Kelembagaan

Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan (owners), karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi. Faktor pemilikan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara nyata, namun sering terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah misalnya warga negara Indonesia atau warga negara asing dalam mengambil keputusan atau kebijakan akan berbeda jika dibandingkan dengan yang berasal dari daerah setempat.

Pada umumnya tingkat kebocoran suatu wilayah dapat dilihat dari komposisi impornya, baik impor sebagai input antara maupun sebagai input dari komponen permintaan akhir. Biasanya untuk mengukur tingkat kebocoran wilayah digunakan rasio input antara yang berasal dari impor dengan total input yang berasal dari luar daerah lebih mementingkan profit sedangkan yang berasal dari daerah setempat yang dipentingkan selain profit, juga sosial budaya yang ada di daerah tersebut harus lebih terjamin kelangsungannya.

2.4. Efek Pengganda (Multplier Effect)

(33)

2.4.1. Output Multiplier

Output multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap total output seluruh sektor di wilayah tersebut. Hubungan antara output dan permintaan akhir dijabarkan sebagai berikut :

(

)

d

P A I X = − −1. Dimana :

X = matriks output

2.4.2. Total Value Added Multiplier atau PDRB Multiplier

Total value added multiplier atau PDRB multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan PDRB. Total value added multiplier atau PDRB multiplier berhubungan dengan output secara linier yang dapat diasumsikan dengan persamaan matriks berikut :

X v V = Dimana :

V = matriks PDRB

v = matriks diagonal koefisien PDRB X = matriks output, X

(

I A

)

−1.Pd

− =

2.4.3. Income Multiplier

Income multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga di wilayah tersebut secara keseluruhan. Karena :

j j

j W T

V = + Dimana :

Vj = input primer sektorj

Wj = pendapatan rumah tangga (income) sektorj

Tj = pendapatan prerusahaan sektorj

Koefisien IncomeWj adalah :

i j j

X W W =

Sehinggaincome multiplier dapat dihitung dengan matriks : X

w W = Dimana :

(34)

w =matriks diagonal koefisien income X =matriks output,

(

)

d

P A I X = − −1. 2.4.4. Tax Multiplier

Tax multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan pajak langsung neto.

2.4.5. Employment Multiplier

Employment multiplier adalah dampak meningkatnya permintaan akhir suatu sektor terhadap peningkatan kesempatan kerja. Employment multiplier dapat dihitung jika diketahui koefisien tenaga kerjanya. koefisien tenaga kerja dapat dihitung sebagai berikut :

i i i

X L

t =

Dimana :

ti = koefisien tenaga kerja sektori

Li = jumlah tenaga kerja di sektori

Xi = output sektori Sehingga :

X L

L=

Dimana :

L = matriks jumlah tenaga kerja

L = matriks diagonal koefisien tenaga kerja X = matriks output, X =

(

IA

)

−1.Pd

Karena X

(

I A

)

−1.Pd

= , maka L L

(

I A

)

−1.Fd

=

Dengan demikian L pada dasarnya dapat diterjemahkan sebagai jumlah tenaga yang diserap yang dipengaruhi oleh permintaan akhir. Karena L adalah matriks, maka matriks L dapat merinci dampak dari penyerapan kerja akibat pengaruh dari masing-masing komponen permintaan akhir.

2.4.6. Land Use Multiplier

(35)

Type I : Dampak (H)

kj ij k

iV BV

H :

Multipleir (M) =

kj k i

V V H

Dimana :

HiVk= dampak peningkatan permintaan akhir sektor i terhadap total input primer k

Bi = vektor kolom ke j dari matriksB

Vk = vektor baris koefisien teknologi input primer ke-k

Vkj = koefisien hubungan langsung pemakaian input primer ke-k untuk sektor-i

Type II : Dampak (H)

kj ij k

iV q V

H :~ ~

Multiple (M) =

kj k i

V V H

Dimana :

ij

q~ = vektor kolom ke j matrik (I – D)-1

kj

V~ = vektor baris koefisien teknologi input primer ke-k untuk sektor-i

2.5. Model Input – Output

2.5.1. Penggunaan Model Input-Output (I – O)

(36)

programming models, dengan model ini dapat menentukan efisiensi dari penggunakan sumber daya di suatu daerah (Richardson, 1977).

Saat ini analisis I – O telah berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat struktur keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian (Rustiadi, Nasoetion, dan Saefulhakim, 2000).

Tabel I – O adalah tabel transaksi yang menggambarkan hubungan antara penawaran (supply) dengan permintaan (demand) antara berbagai sektor perekonomian dalam suatu wilayah. Menurut Saefulhakim (2000) pada dasarnya tabel I - O adalah gambaran lebih rinci dari sistem neraca ekonomi wilayah/nasional (neraca konsumsi, neraca akumulasi kapital/investasi, dan neraca eksternal wilayah/ luar negeri). Tabel I–O dapat digunakan untuk (1) memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor) terhadap berbagai output sektor produksi, nilai tambah (PDB-PDRB), pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, pajak (PAD untuk tingkat daerah) dan sebagainya, (2) mengetahui komposisi penyediaan dan penggunaan barang atau jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan impor dan kemungkinan substitusinya, dan (3) memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kelebihan tabel I – O dibandingkan alat analisis lain dalam ekonomi perencanaan dan pembangunan adalah sifat keseimbangan tabel I – O yang termasuk dalam modelGeneral Equilibrium (Saputra, 1999). Model dasar input – output yang telah dikembangkan oleh leontief adalah :

a. Struktur perekonomian tersusun atas beberapa sektor yang saling berintegrasi melalui transaksi jual beli antara pemenuhan input dengan penjualan produk. b. Output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya dan untuk memenuhi

permintaan akhir.

c. Input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya dari rumah tangga (dalam bentuk tenaga kerja) dari pemerintah (dalam bentuk pajak), penyusutan, surplus usaha, serta impor dari wilayah lain.

(37)

e. Dalam suatu kurun waktu analisis (yang biasanya dilakukan selama satu tahun) total input sama dengan output.

f. Suatu sektor terdiri dari satu atau lebih beberapa perusahaan dan input itu diproduksi oleh satu teknologi.

Menurut Budhiharsono (1996), keuntungan yang diperoleh bila menggunakan tabel I – O dalam perencanaan pembangunan wilayah adalah : a. Dapat menjelaskan dengan baik keterkaitan antara berbagai macam sektor

dalam perekonomian nasional atau pun perekonomian wilayah.

b. Dapat ditentukan besarnya output dan kebutuhan faktor produksi lain dari satu sektor permintaan akhir.

c. Akibat yang ditimbulkan perubahan permintaan, baik yang disebabkan oleh pemerintah maupun swasta terhadap perekonomian dapat diramalkan dengan rinci dan tepat.

d. Adanya perubahan teknologi dan harga relatif dapat diintegrasikan kedalam model melalui penyesuaian koefisien.

2.5.2. Metode Membangun Tabel Input-Output

Sejak pertama kali dikemukakan oleh Leontief pada tahun 1930-an, Tabel Input-Output (I-O) terus mengalami perkembangan dan menjadi salah satu alat analisis yang populer untuk melihat perekonomian baik tingkat nasional maupun regional. Walaupun ada beberapa kelemahan yang terletak pada asumsi yang digunakan pada analisis Tabel I-0. namun untuk melihat potensi perekonomian suatu wilayah dan keterkaitan antar sektor perekonomian, analisis Tabel I-0 masih merupakan pilihan terbaik dan banyak diminati.

Analisis Tabel I-0 hanya melihat kondisi perekonornian pada satu tahun tertentu. Oleh karena itu, idealnya Tabel I-O dibuat setiap tahun. Namun untuk memenuhi keinginan tersebut tidak mudah (bahkan boleh dikatakan tidak mungkin). Hal ini terkait dengan keperluan melakukan survei yang komprehensif untuk seluruh sektor perekonomian yang tentunya memerlukan waktu lama dan biaya yang besar.

(38)

untuk merefleksikan kondisi perekonomian saat ini (updating). Selain itu berkembang juga pendekatan lain yakni menggunakan informasi perekonomian Tabel I-0 suatu daerah untuk diterapkan pada daerah lain (derivasi). Dengan dua pendekatan tersebut, maka Tabel I-O dapat dimodifikasi setiap tahun dan dapat dibuat di semua daerah (Miller dan. Blair, 1985).

MetodeUpdatingdikenal juga dengan sebutan metode survei parsial, karena tidak perlu melakukan survei secara komprehensif seperti pembuatan Tabel I-O metode survei. Metode yang umum digunakan untuk melakukanupdating adalah metode RAS. Dengan metode ini data yang diperlukan adalah matrik koefisien input atau koefisien teknologi (sebagai tabel dasar), total output, total permintaan antara dan total input antara masing-masing sektor. Untuk memperoleh total permintaan dan input antara masing-masing sektor biasanya dilakukan survei khusus atau survei parsial.

Derivasi Tabel I-0 atau sering juga disebut metode non-survei dilakukan apabila suatu daerah sama sekali belum mempunyai Tabel I-O. Oleh karena itu harus menggunakan Tabel I-0 daerah lain untuk dijadikan sebagai tabel dasar untuk menderivasi.

Menurut Saefulhakim (2000) tabel I – O dapat dibangun melalui dua teknik, yaitu :

a. Survei (pengamatan lapangan) dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu : 1) PendekatanTrade Margin Analysis (TMA) dengan melakukan pendekatan kuantitatif input dan output masing-masing sektor melalui pertanyaan/ kuesioner.

2) Pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP) pengumpulan data kuantitatif input dan output perkiraan.

(39)

tingkat propinsi atau membuat tabel I – O tingkat propinsi dengan menurunkannya dari Tabel I – O tingkat nasional.

Tabel I – O disusun berdasarkan tiga asumsi pokok (Saefulhakim, 2000), yaitu :

a. Prinsip homogenitas, aktifitas-aktifitas ekonomi yang dikategorikan kedalam suatu sektor tertentu diasumsikan memiliki karakteristik sistem produksi yang homogen yakni struktur input dan output yang homogen dan tidak ada substitusi antar aktifitas lainnya.

b. Prinsip Linieritas/Proporsionalitas, proporsi input-input suatu sektor bersifat tetap, tidak bergantung pada skala produksi/output (constant return to scale). c. Prinsip Additivitas, kinerja sistem produksi suatu sektor ditentukan oleh

kinerja sistem produksi sektor-sektor lainnya, namun pengaruh dari masing-masing sektor tersebut bersifatadditive, bukan interaktif atau multiplikatif.

[image:39.612.130.514.388.448.2]

Secara lebih sederhana Tabel input – output terbagi atas empat kuadran sebagaimana pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Tabel Input – Output

Permintaan Permintaan Akhir (Yi) Xi Input Antara Kuadran I Kuadran II

Nilai Tambah Kuadran III Kuadran IV

Kuadran 1 merupakan gambaran transaksi antar sektor dalam proses produksi, kuadran II menunjukkan matriks permintaan akhir terhadap output masing-masing sektor, kuadran III menunjukkan matriks nilai tambah (value added) masing-masing sektor faktor produksi (kecuali impor), dan kuadran IV merupakan transfer nilai tambah antar institusi. Berdasarkan tabel I – O terlihat jelas bahwa baris merepresentasikan distribusi penjualan output suatu faktor tertentu ke sektor lain. Sedangkan kolom/lajur mempresentasikan distribusi pembelian sektor tertentu pada sektor lainnya.

(40)
[image:40.612.131.519.89.308.2]

Tabel 2. Tabel Input – Output Lebih Rinci Permintaan Antara

Sektor Produksi

Permintaan Akhir Output

Total

1 ... j ... n (Y) X

1 X11 ... Xij ... X1n RT1 KP1 PM1 S1 E1 X1 2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... i Xi1 ... Xij ... Xin RTi KPi PMi Si Ei Xi . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

In

pu

t

A

nt

ara

Sek

tor

Produk

si

n Xn1 ... Xnj ... Xnn RTn KPn PMn Sn En Xn Upah dan Gaji

Rumah Tangga

L1 ... Lj ... Ln

Nilai Tambah Lain V1 ... Vj ... Vn Impor M1 ... Mj ... Mn Total Input I1 ... Ij ... In

Kuadran I Kuadran II Kuadran III

Sepanjang baris pada kuadran I memperlihatkan alokasi penyediaan suatu sektor lainnya atau sektor itu sendiri. Angka-angka sepanjang baris menunjukkan alokasi output sektori yang digunakan untuk memenuhi permintaan antara sektor j, dimana permintaan antara adalah permintaan akan suatu input untuk digunakan oleh sektor lain sebagai faktor produksi, termasuk didalamnya permintaan oleh sektor yang bersangkutan.

=

= + n

j

i i

ij Y X

X 1

n = 1, 2, ..., n

Xij = banyaknya output sektori yang digunakan oleh sektorj Yi = permintaan akhir terhadap sektori

=RTi + KPi + PMi + Si+ Ei

RTi = konsumsi rumah tangga

KPi =konsumsi pemerintah

PMi = pembentukan modal

Si = stok

Ei =ekspor

Sektor kolom menunjukkan penggunaan input yang dihasilkan oleh sektor lain untuk kegiatan produksi.

=

= + n

j

i j

ij G X

X 1

n = 1, 2, ..., n

Xij = banyaknya input sektori yang digunakan oleh sektorj Yi = permintaan akhir terhadap sektori

=Lj + Vj + Mj

(41)

Vj =nilai tambah lainnya

Mj = impor

Kuadran II menggambarkan transaksi permintaan akhir yang berasal baik dari output berbagai sektor produksi maupun impor yang dirinci dalam berbagai jenis penggunaan. Permintaan akhir adalah permintaan yang langsung digunakan untuk konsumsi rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, dan ekspor. Secara keseluruhan komponen permintaan akhir merupakan pengeluaran wilayah. Jadi merupakan komponen perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sisi pengeluaran.

Pada kuadran III ditunjukkan penggunaan input primer atau nilai tambah yang terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, pajak tak langsung netto dan penyusutan. Yang dimaksud dengan input primer adalah faktor-faktor produksi yang secara langsung terlibat dalam produksi atau merupakan balas jasa atas pemakaian faktor-faktor produksi yang terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal, dan kewirausahaan. Jumlah seluruh nilai tambah ini adalah PDRB yang dihasilkan seluruh wilayah. PDRB ini akan sama dengan seluruh permintaan akhir dikurangi dengan impor barang dan jasa.

2.5.3. Green Input-OutputPerikanan Budidaya Ikan Jaring Apung

Green input output budidaya ikan di jaring apung adalah analisis input – output yang telah diperluas dengan memasukkan system alami. Yakni dengan memperhitungkan aspek buangan limbah sebagai output negatif dari perekonomian ke sistem alami dan sebagai input dari sistem alami ke perekonomian. Struktur tabelGreen input – output dapat dilihat pada Tabel 3.

2.6. Kesejahteraan

(42)
[image:42.612.132.531.136.433.2]

berbagai pihak menyepakati tentang konsepsi kesenjangan kesejahteraan yang berlaku umum.

Tabel 3. TabelGreen Input–OutputBudidaya Ikan Jaring Apung Permintaan Antara

Sektor Produksi

Permintaan Akhir

Output Total

Output Ekologi

1 ... j ... n (Y) X N

1 X11 ... Xij ... X1n RT1 KP1 PM1 S1 E1 X1 N1 2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... i Xi1 ... Xij ... Xin RTi KPi PMi Si Ei Xi Ni . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

In

pu

t

A

nt

ara

S

ek

to

r

Prod

uk

si

n Xn1 ... Xnj ... Xnn RTn KPn PMn Sn En Xn Nn Upah dan Gaji

Rumah Tangga

L1 ... Lj ... Ln

Nilai Tambah Lain

V1 ... Vj ... Vn

Impor M1 ... Mj ... Mn Total Input I1 ... Ij ... In

Kuadran I Kuadran II Kuadran III Input Ekologi R1 ... Rj ... Rn

Tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah dua pengertian yang saling berkaitan. Tingkat kepuasan merujuk kepada keadaan individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat.

(43)

Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.

Tingkat kesejahteraan masyarakat rendah atau bisa disebut juga kemiskinan tinggi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam (Dahuri, 2000). Selanjutnya dikatakan pula bahwa kemiskinan juga disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan dan berkembangnya kriminilitas. Selain itu juga terkait dengan kurangnya prasarana umum, lemahnya perencanaan spasial yang berakhir dengan tumpang tindihnya berbagai sektor di suatu kawasan, dampak polusi dan kerusakan lingkungan

2.6.1. Indikator Kesejahteraan A. Output Ekonomi Per Kapita

(44)

Menurut Sajogjo (1977), klasifikasi tingkat kesejahteraan (kemiskinan) didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu :

a. Miskin, apabila nilai per kapita lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk daerah kota.

b. Miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk daerah kota. c. Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari

setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 kg untuk daerah kota.

B. Pendapatan Rumah Tangga

Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita, maka pendapatan rumah tangga digunakan sebagai proksi kesejahteraan karena dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah. Pendapatan rumah tangga dapat diketahui dengan menjumlahkan pendapatan keluarga dari semua sumber pendapatan.

Namun, data pendapatan rumah tangga seringkali sulit diperoleh sehingga digunakan informasi tentang konsumsi rumah tangga. Salah satu kelemahan dari konsumsi rumah tangga adalah taksiran yang cenderung berada di bawah angka pendapatan rumah tangga yang sesungguhnya.

C. Indeks Pembangunan Manusia

(45)

1) Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan

Tertinggalnya pembangunan pendidikan di Indonesia akan membawa dampak buruk bagi Indonesia masa depan. Perlu upaya-upaya dan kebijakan yang nyata dan sungguh-sungguh untuk memeratakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Di samping itu diperlukan juga kebijakan pendidikan yang tidak saja ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual, tetapi juga mengembangkan karakter peserta didik.

Dengan demikian pendidikan menyiapkan siswa untuk memiliki kemampuan akademik, dapat beradaptasi dengan lingkungan yang cepat berubah, kreatif dalam mencari solusi masalah, dan memiliki watak yang baik. Indikator akses pendidikan antara lain adalah :

a. Pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.

b. Layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik, ataupun masyarakat penyandang cacat.

c. Penyediaan pendidikan keterampilan dan kewirausahaan ataupun pendidikan non formal yang bermutu.

d. Penyediaan dan pemerataan sarana-sarana pendidikan dan tenaga pendidik. e. Kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik.

f. Kesejahteraan tenaga pendidik agar lebih mampu mengembangkan kompetensinya.

g. Manajemen pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan mutu pendidikan.

h. Kualitas kurikulum dan pelaksanaannya yang bertujuan membentuk karakter dan kecakapan hidup, sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan secara kreatif dan menjadi manusia produktif.

2) Akses Masyarakat Terhadap Layanan Kesehatan

(46)

dimaklumi, keberlanjutan bangsa ini di masa mendatang salah satunya ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya. Oleh karena itu, penyediaan akses kesehatan yang memadai dan merata pada semua lapisan masyarakat merupakan amanat kebangsaan dan tugas sejarah yang besar dan harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Indikator layanan kesehatan antara lain adalah :

a. Jumlah, jaringan dan kualitas pusat kesehatan masyarakat. b. Kuantitas dan kualitas SDM tenaga medis.

c. Sistem jaminan kesehatan, terutama bagi rakyat miskin. d. Sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat.

e. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat yang dimulai sejak usia kanak-kanak.

f. Pemerataan dan kualitas fasilitas kesehatan dasar.

Indikator pelayanan kesehatan yang baik tercermin dari beberapa indikator sebagai berikut:

a. Meningkatnya proporsi keluarga yang berperilaku hidup bersih dan sehat; b. Meningkatnya proporsi keluarga yang memiliki akses terhadap sanitasi dan air

bersih;

c. Meningkatnya cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih;

d. Meningkatnya cakupan pelayanan antenatal, postnatal dan neonatal;

e. Meningkatnya tingkat kunjungan (visit rate) penduduk miskin ke Puskesmas; f. Meningkatnya tingkat kunjungan (visit rate) penduduk miskin ke rumah sakit; g. Meningkatnya cakupan imunisasi;

h. Menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit malaria, demam berdarah dengue (DBD), tuberkulosis paru, diare, dan HIV/AIDS;

i. Menurunnya prevalensi kurang gizi pada balita; j. Meningkatnya pemerataan tenaga kesehatan; k. Meningkatnya ketersediaan obat esensial nasional;

l. Meningkatnya cakupan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi produk terapetik/ obat, obat tradisional, kosmetik, perbekalan kesehatan rumah tangga, produk komplemen dan produk pangan;

(47)

n. Meningkatnya jumlah peraturan dan perundang-undangan di bidang pembangunan kesehatan yang ditetapkan; dan

o. Meningkatnya jumlah penelitian dan pengembangan di bidang pembangunan kesehatan.

3) Kesempatan Kerja

Tingkat pengangguran di Indonesia sangat tinggi. Sejak beberapa tahun terakhir angka pengangguran menunjukkan kondisi yang terus memburuk. Berbagai sasaran pencapaian pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi yang rendah, maupun nilai tukar mata uang yang stabil baru akan berarti apabila masyarakat yang berhak atas pekerjaan dapat memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.

Kerja merupakan fitrah manusia yang asasi. Ekspresi diri diwujudnyatakan dalam bekerja. Apabila dicermati pergolakan dan ketidakamanan yang timbul di berbagai daerah dan tempat sering bersumber dari sulitnya mencari kerja bagi suatu kehidupan yang layak. Demikian juga beban yang berat yang ditanggung oleh pencari kerja, sering berdampak buruk bagi harmoni dan kebahagiaan rumahtangga. Dengan demikian penciptaan lapangan kerja atau pengurangan berdampak langsung bagi pencapaiaan damai dan juga keadilan. Kebijakan nyata diperlukan untuk menciptakan kesempatan kerja yang luas. Indikator kesempatan kerja antara lain adalah :

a. Kepastian hukum, peraturan, dan rasa aman untuk berusaha dan bekerja. b. Hubungan industrial tripartit, yang mendorong terciptanya lapangan kerja

yang luas dan menyejahterakan.

(48)

kesehatan. Tenaga kerja yang terampil dan memiliki kemampuan tinggi akan memudahkan untuk diserap oleh yang membutuhkannya.

D. Produsen Surplus dan Konsumen Surplus

Surplus produsen diartikan sebagai seorang produsen mau menyediakan suatu komoditas pada harga-harga yang telah ditentukan oleh biaya marginal produksinya. Surplus konsumen merupakan selisih antara tingkat kesediaan membayar dari konsumen dengan biaya atau harga yang harus dibayarkan atau dikeluarkan untuk memperoleh kepuasan tersebut.

2.6.2. Kesenjangan Kesejahteraan

Pemahaman terhadap konsepsi kesejahteraan menuntut tidak hanya representasi intensitas agregat, tetapi juga representasi distribusional kesejahteraan antarkelompok masyarakat atau antardaerah. Representasi distribusional merupakan muara dari persoalan yang mendasar, yaitu keadilan. Kesenjangan tidak lain adalah suatu representasi distribusional tersebut.

Kondisi kesenjangan kesejahtaraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indikator kesenjangan antardaerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson. Penghitungan indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz, sedangkan indeks Williamson berbasis kepada angka varian dalam distribusi statistik.

(49)

2.7. Budidaya Ikan di Jaring Apung (KJA) 2.7.1. Lokasi Budidaya

Lokasi yang tepat untuk budidaya ikan air tawar yang menggunakan metode karamba jaring apung adalah danau, telaga, waduk, atau rawa. Lokasi pemasangan karamba jaring apung harus memenuhi aspek teknis dan aspek sosial ekonomis seperti : kedalaman perairan minimal 10 meter, kualitas air memenuhi persyaratan hidup ikan, bebas dari pencemaran air, bukan alur lalu lintas kapal, tidak merusak kelestarian lingkungan, kemudahan transportasi, ketersediaan bahan dan pakan, dekat dengan daerah pemasaran, kemudahan suplai benih, keamanan terjamin, legalitas lokasi budidaya, dan ketersediaan tenaga kerja (Balai Budidaya Air Tawar, 2003).

2.7.2. Kontruksi Kolam a. Bentuk karamba jaring apung

Pada umumnya, konstruksi bagian atas karamba jaring apung memiliki bentuk yang sama, yang membedakan hanya ada dan tidaknya bangunan kayu (rumah) yang digunakan sebagai rumah jaga, gudang pakan, peralatan atau untuk tempat berteduh saja. Walaupun tidak terlihat dari permukaan, perbedaan yang jelas adalah dari bagian jaring. Ada karamba jaring apung yang hanya menggunakan 1 lapis jaring, namun ada juga yang menggunakan 2 – 3 lapis jaring tergantung jenis kegiatan dan komoditas budidaya. Contohnya pada karamba jaring apung di Danau Cirata Jawa Barat yang biasanya menggunakan 2 lapis jaring : jaring bagian atas yang terdiri dari 1 petak atau lebih dipergunakan untuk membesarkan ikan mas, kemudian di bawahnya dipasang jaring yang disebut jaring kolor untuk pembesaran nila.

b. Ukuran dan bagian-bagian karamba jaring apung

(50)

Bagian-bagian karamba jaring apung : 1) Rakit/geladak

Rakit berfungsi tempat menggantungkan jaring/karamba, sebagai pijakan/ tempat berjalan orang yang berada di karamba jaring apung, membangun rumah dan semua aktivitas manusia dalam usaha budidaya, seperti memberi pakan, mengangkut dan menyimpan pakan, pengawasan, monitoring, menimbang, mengemas dan panen ikan. Oleh karena itu konstruksi rakit harus kokoh untuk menopang beban yang ada.

Bahan pembuat rakit dapat berupa bambu, kayu, paralon atau besi. Rakit berbentuk kubus terdiri 4 petakan. Satu unit rakit berukuran antara 6 m x 6 m hingga 10 m x 10 m dengan ukuran karamba 3 m x 3 m x 3 m. Rakit kemudian dapat diikat satu dengan yang lainnya hingga mencapai ratusan petak. Pada bagian rakit yang dibangun rumah jaga tidak dipergunakan untuk pemeliharaan ikan.

2) Karamba

Karamba atau kurungan jaring digunakan sebagai wadah pemeliharaan ikan. Berdasarkan fungsinya karamba terdiri dari :

a) Karamba pendederan, bahan PE ukuran mata jaring 4 mm b) Karamba pengglondongan, bahan PE ukuran mata jaring 1 inchi c) Karamba pembesaran, bahan PE ukuran mata jaring 1,5 – 2 inchi.

Sebagai pedoman, ukuran mata jaring yang digunakan tidak melebihi jarak kedua mata ikan yang dipelihara.

Luas karamba bervariasi dari hanya sebesar 1 petak ukuran 3 x 3 m, sampai ada yang seluas 2 – 4 petak.

(51)

3) Pelampung

[image:51.612.166.506.287.507.2]

Pelampung dipilih yang kuat terendam dalam air dan terjemur panas matahari. Pelampung dapat berupa drum isi 200 liter, stryofoam ukuran panjang 80 – 90 cm atau pelampung khusus. Pelampung berfungsi untuk menahan beban yang ada di atas geladak/rakit, jaring dan pemberat di dalam air. Untuk sebuah rakit berukuran 8 x 8 m dengan karamba berukuran 3 x 3 x 3 m3 membutuhkan 9 buah pelampung. Pelampung dipasang tepat di atas rakit/geladak dengan jarak yang sama. Pada satu unit rakit sebaiknya digunakan pelampung dari jenis yang sama sehingga posisi rakit/geladak rata terapung. Pelampung yang dapat digunakan untuk jaring apung dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Bahan Pelampung Jaring Apung

4) Rumah jaga

(52)
[image:52.612.167.507.77.351.2]

Gambar 4. Rumah Jaga Jaring Apung

5) Pemberat

Pemberat yang diikatkan pada tali pada bagian bawah karamba berfungsi untuk menahan karamba agar tetap dengan ukuran dan bentuknya (kubus) di dalam dari pengaruh arus. Pemberat dapat berupa batu, besi, timah atau campuran pasir dan semen seberat 3 – 5 kg.

6) Jangkar

(53)

2.7.3. Penebaran Benih

Jenis ikan yang umum dibudidayakan di jaring terapung air tawar adalah ikan mas dan ikan nila, namun ada beberapa jenis lainnya tetapi jumlahnya tidak begitu banyak, yaitu ikan patin (jambal siam), bawal, dan gurame. Ukuran benih untuk pembesaran ikan mas 10-15 gram dan untu

Gambar

Gambar 1.  Bagan Alir Permasalahan Budidaya Perikanan di Waduk Cirata
Gambar 2 berikut ini.
Tabel 1.  Tabel Input – Output
Tabel 2.  Tabel Input – Output Lebih Rinci
+7

Referensi

Dokumen terkait

Waduk Gajah Mungkur Wonogiri memiliki potensi untuk melakukan usaha budidaya air tawar yaitu keramba jaring apung.Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan

Struktur Komunitas dan Kelimpaban Fitoplankton dalam Kaitannya dengan Kandungan Unsur Hara (Nitrogen dan FosCor) dari Budidaya Ikan dalam Karamba .Jaring Apung di Waduk Ir.

Struktur Komunitas dan Kelimpaban Fitoplankton dalam Kaitannya dengan Kandungan Unsur Hara (Nitrogen dan FosCor) dari Budidaya Ikan dalam Karamba .Jaring Apung di Waduk Ir.

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Studi Parameter Kimia Perairan Bagi Peruntukan Budidaya Keramba Jaring Apung (Studi Kasus Waduk Bilibili Zona

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Darma berpengaruh terhadap produktivitas primer fitoplankton, hal

Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui status kualitas di perairan waduk jatiluhur yang digunakan untuk budidaya Keramba Jaring Apung dan beban limbah yang berasal

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Darma berpengaruh terhadap produktivitas primer fitoplankton, hal

Jika kondisi seperti ini diiringi dengan miskin oksigen maka ikan budidaya pada keramba jaring apung cenderung akan mati, karena tidak mampu meloloskan diri dari kondisi