STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN KELUARGA
SEBAGAI CAREGIVER DALAM MERAWAT
PASIEN STROKE DI RUMAH
TESIS
Oleh
NANDA MASRAINI DAULAY
127046041 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN KELUARGA
SEBAGAI CAREGIVER DALAM MERAWAT
PASIEN STROKE DI RUMAH
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Oleh
NANDA MASRAINI DAULAY
127046041 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Telah diuji
Pada tanggal : 26 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D
Anggota : 1. Nunung Febriany Sitepu, S.Kep, Ns., MNS
2. Dr. Ir. Evawani Yunita Aritonang., M.Si
Judul Tesis : Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga sebagai
Caregiver dalam Merawat Pasien Stroke di Rumah
Nama Mahasiswa : Nanda Masraini Daulay
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
Pasien stroke yang kembali ke rumah mengalami kecacatan. Kecacatan
akibat stroke tidak hanya berdampak bagi pasien stroke, akan tetapi juga
berdampak bagi anggota keluarga yang akan menjadi caregiver. Perhatian pada
caregiver ini penting karena keberhasilan pengobatan dan perawatan pasien stroke
tidak terlepas dari bantuan dan dukungan yang diberikan oleh caregiver.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam tentang makna
pengalaman keluarga sebagai caregiver pasien stroke di rumah. Penelitian ini
merupakan studi fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan
indepth interview, observasi, dan fieldnote. Partisipan dalam penelitian ini
berjumlah 16 orang yang dipilih dengan teknik purpossive sampling. Data yang
diperoleh dianalisis dengan pendekatan Colaizzi. Hasil analisis penelitian
ditemukan 5 tema yaitu: memberikan dukungan total, memenuhi kebutuhan dasar,
penderitaan dan hikmah bagi caregiver, kurangnya keterampilan dalam merawat,
sosial. Pada umumnya, caregiver merasa terabaikan, mereka membutuhkan
informasi terkait penyakit pasien, cara merawat pasien stroke, dan sumber-sumber
komunitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan
perencanaan pulang individual lebih berpusat pada keluarga daripada pendekatan
berpusat pada pasien.
Thesis Title : The Phenomenology Study on the Experience of
Family as Caregiver in Treating Stroke Patient at
Home.
Name : Nanda Masraini Daulay
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
Stroke patients who returned home have disabilities. Disability from stroke
not only impact on stroke patients, but also has implications for family members
who will be the caregiver. Attention to the caregiver is important because the
success of the treatment and care of stroke patients can not be separated from the
help and support provided by the caregiver. This study aims to explore the depth
of the meaning of experience as a family caregiver for stroke patients at home.
This study is a descriptive phenomenological study. Data was collected through
in-depth interview, observation, and fieldnote. Participants in this study of 16
people were selected by purposive sampling technique. Data were analyzed with
Collaizi approach. Results of analysis found 5 (five) themes, namely: total
support, meet basic needs, suffering and wisdom for the caregiver, lack of skills in
caring for, and limitations of caregiver. Caregiver suffering from physical
require information related to the patient's illness, how to care for stroke patients,
and other sources of community health services. Based on the research results, it
is suggested that discharge planning more individualized family-centered rather
than patient-centered approach.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan
judul “Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga sebagai Caregiver dalam
Merawat Pasien Stroke di Rumah”, disusun untuk memenuhi sebagian dari syarat
untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan di Program Studi Magister
Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan dapat diselesaikan
dengan baik tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, saya ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU) beserta
jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk
melanjutkan studi ke jenjang Magister Keperawatan.
2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Fakultas Keperawatan USU sekaligus dosen pembimbing I.
Terima kasih telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis
dalam mengerjakan tesis ini hingga selesai. Terima kasih juga atas
kesempatan yang telah beliau berikan kepada penulis dalam meningkatkan
aktualisasi diri selama masa pendidikan.
3. Nunung Febriany, S, S.Kep, Ns, MNS selaku dosen pembimbing II yang
tidak henti-hentinya memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi
4. Dr. Ir. Evawani J. Aritonang, M.Si, dan bapak Ikram, S.Kep, Ns, M.Kep
sebagai penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini.
5. RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk
melakukan penelitian di rumah sakit tersebut.
6. Ayah, Ibu, dan Keluarga penulis yang telah banyak memberikan dukungan
materil dan moril dalam penyelesaian tesis ini.
7. Yayasan Pendidikan Haji Sumatera Utara atas kesempatan dan dukungan
yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini
dengan baik.
8. Rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan II 2012/2013 dan semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu
dan memberi dorongan untuk menyelesaikan laporan tesis ini.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan
penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya
profesi keperawatan.
Medan, 26 Agustus 2014 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama : Nanda Masraini Daulay
Tempat Tanggal Lahir : Padang Sidempuan, 12 Januari 1988
Alamat Asal : Jln. Perwakilan/Perdata No. 8B, Kec. Medan
Timur, Medan
No. Telp/HP : 085297737764
Riwayat Pendidikan :
Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus
SD SD Negeri 142442/ 26 Padangsidempuan 2000
SLTP MTs Negeri Model Padangsidempuan 2003
SMA SMA Negeri 1 (Plus) Matauli Pandan 2006
Ners Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara
2011
Magister Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara
2014
Riwayat Pekerjaan :
Bekerja sebagai Staf Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Haji
Kegiatan Akademik Selama Studi :
Peserta pada acara “Seminar Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan
Pengembangan Pengetahuan Disiplin Ilmu Kesehatan & Workshop
Analisis Data dengan Content Analysis & Weft-QDA”, 31 Januari 2012,
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Peserta Seminar Keperawatan Nursing Leadership menyongsong Asean
Community 2015, 30 Januari 2013 Fakultas Keperawatan, USU.
Peserta pada 2013 MEDAN INTERNATIONAL NURSING CONFERENCE
“The Application of Nursing Education Advanced Research and Clinical
Practice”, 1 – 2 April 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan, Sumatera
Utara.
Presentasi poster pada Seminar Nasional "Peningkatan Kualitas Pelayanan Pada
Neonatus melalui Implementasi Developmental Care" pada tanggal 10
Oktober 2013.
Peserta “Seminar & Workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic,
24 November 2014, Fakultas Keperawatan, USU.
Peserta “Pelatihan Perawatan Luka Dasar Certified Wound Care Clinician
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 63
4.1. Karakteristik Demografi Partisipan ... 63
4.2. Pengalaman Caregiver dalam Merawat Penderita Stroke di Rumah ... 65
4.2.1. Memberikan dukungan secara total terhadap anggota keluarga yang menderita Stroke ... 66
4.2.2. Membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarga yang menderita stroke ... 72
4.2.3. Penderitaan dan hikmah bagi caregiver selama merawat anggota keluarga yang menderita stroke ... 76
4.2.4. Kurangnya keterampilan caregiver dalam merawat anggota keluarga yang menderita stroke ... 80
4.2.5. Keterbatasan Caregiver ... . 83
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Responden ... 64
Tabel 4.2 Tema 1 Memberikan Dukungan Secara Total Terhadap Anggota Keluarga Yang Menderita ... 71
Tabel 4.3 Tema 2 Memenuhi Kebutuhan Dasar Penderita Stroke ... 75
Tabel 4.4 Tema 3 Penderitaan Dan Hikmah Bagi Caregiver Selama
Merawat Anggota Keluarga ... 79
Tabel 4.5 Tema 4 Kurangnya Keterampilan Dalam Merawat Keluarga
yang Menderita ... 82
Tabel 4.6 Tema 5 Keterbatasan Caregiver Dalam Merawat Pasien Stroke 85
Tabel 4.7 Hasil Observasi dukungan caregiver mencakup berbagai aspek 86
Tabel 4.8 Hasil Observasi caregiver membantu dalam memenuhi
kebutuhan dasar pasien ... 87
Tabel 4.9 Hasil observasi penderitaan dan hikmah bagi caregiver ... 87
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Perawatan Stroke Berkelanjutan dan Beban Caregiver
Keluarga ... 28
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 118
a. Lembar Penjelasan tentang Penelitian ... 119
b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 120
c. Kuesioner Data Demografi ... 121
d. Panduan Wawancara ... 122
e. Lembar Observasi ... 123
f. Field Note ... 124
Lampiran 2 Biodata Expert ... 125
Lampiran 3 Izin Penelitian ... 127
a. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ... 128
b. Surat Persetujuan Etik Peneltian ... 129
Judul Tesis : Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga sebagai
Caregiver dalam Merawat Pasien Stroke di Rumah
Nama Mahasiswa : Nanda Masraini Daulay
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
Pasien stroke yang kembali ke rumah mengalami kecacatan. Kecacatan
akibat stroke tidak hanya berdampak bagi pasien stroke, akan tetapi juga
berdampak bagi anggota keluarga yang akan menjadi caregiver. Perhatian pada
caregiver ini penting karena keberhasilan pengobatan dan perawatan pasien stroke
tidak terlepas dari bantuan dan dukungan yang diberikan oleh caregiver.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam tentang makna
pengalaman keluarga sebagai caregiver pasien stroke di rumah. Penelitian ini
merupakan studi fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan
indepth interview, observasi, dan fieldnote. Partisipan dalam penelitian ini
berjumlah 16 orang yang dipilih dengan teknik purpossive sampling. Data yang
diperoleh dianalisis dengan pendekatan Colaizzi. Hasil analisis penelitian
ditemukan 5 tema yaitu: memberikan dukungan total, memenuhi kebutuhan dasar,
penderitaan dan hikmah bagi caregiver, kurangnya keterampilan dalam merawat,
sosial. Pada umumnya, caregiver merasa terabaikan, mereka membutuhkan
informasi terkait penyakit pasien, cara merawat pasien stroke, dan sumber-sumber
komunitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan
perencanaan pulang individual lebih berpusat pada keluarga daripada pendekatan
berpusat pada pasien.
Thesis Title : The Phenomenology Study on the Experience of
Family as Caregiver in Treating Stroke Patient at
Home.
Name : Nanda Masraini Daulay
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
Stroke patients who returned home have disabilities. Disability from stroke
not only impact on stroke patients, but also has implications for family members
who will be the caregiver. Attention to the caregiver is important because the
success of the treatment and care of stroke patients can not be separated from the
help and support provided by the caregiver. This study aims to explore the depth
of the meaning of experience as a family caregiver for stroke patients at home.
This study is a descriptive phenomenological study. Data was collected through
in-depth interview, observation, and fieldnote. Participants in this study of 16
people were selected by purposive sampling technique. Data were analyzed with
Collaizi approach. Results of analysis found 5 (five) themes, namely: total
support, meet basic needs, suffering and wisdom for the caregiver, lack of skills in
caring for, and limitations of caregiver. Caregiver suffering from physical
require information related to the patient's illness, how to care for stroke patients,
and other sources of community health services. Based on the research results, it
is suggested that discharge planning more individualized family-centered rather
than patient-centered approach.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dan
penyebab paling sering kecacatan pada orang dewasa (Abubakar & Isezuo, 2012).
Stroke juga merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika Serikat.
American Heart Association tahun 2009 melaporkan sekitar 795.000 orang di
Amerika Serikat terserang stroke setiap tahunnya. Jumlah penderita stroke di
Amerika Serikat tersebut tercatat sebagai serangan stroke pertama sebanyak
610.000 orang, sedangkan 185.000 merupakan stroke yang berulang. Saat ini ada
4 juta orang di Amerika Serikat yang hidup dalam keterbatasan fisik akibat stroke
dan 15-30% di antaranya menderita cacat menetap (Centers for Disease Control
and Prevention, 2009).
Jumlah penderita stroke terus meningkat setiap tahun, bukan hanya
menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda
dan produktif. Prevalensi penderita stroke di Amerika pada tahun 2009 meliputi
penderita stroke dengan pemulihan total sekitar 460 orang dari 100.000 penderita,
50-70% dari penderita stroke mengalami perbaikan fungsional, namun 15-30%
cacat permanen, dan 20% memerlukan perawatan institusional pada 3 bulan
setelah onset. Sebagian besar pasien stroke mengalami cacat tetap stabil antara 6-9
bulan dan 5 tahun setelah stroke dan sepertiganya memerlukan perawatan dan
Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penderita stroke terbesar
di Asia. Setiap 7 orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena stroke
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Jumlah penderita stroke di
Indonesia mencapai 500.000 penduduk setiap tahunnya, sekitar 2,5 % atau
125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat (Yayasan
Stroke Indonesia, 2009). Riset Kesehatan Dasar (2013) melaporkan prevalensi
stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara
(10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta
masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke di Sumatera Utara mencapai 10, 3%.
Laporan World Stroke Organization (WSO) tahun 2009, memperlihatkan
bahwa stroke merupakan penyebab utama hilangnya pekerjaan dan kualitas hidup
yang buruk. Kecacatan akibat stroke tidak hanya berdampak bagi penyandangnya,
akan tetapi juga berdampak bagi anggota keluarga. Penderita stroke yang
mengalami kecacatan bergantung pada dukungan emosional dan fisik dari
informal caregiver yang biasanya adalah anggota keluarga (Akosile, Okoye,
Nwankwo, Akosile & Mbada, 2011). Penelitian Artal dan Egido (2009) di
Amerika, sebesar 38% penderita stroke mengalami depresi yang disebabkan
ketidakmampuan bekerja karena cacat dan kegiatan sosial berkurang. Status
fungsional dan depresi yang dialami penderita stroke diidentifikasi sebagai
prediktor kualitas hidup
Kualitas hidup penderita stroke sangat bergantung pada kualitas
penatalaksanaan stroke yang diberikan secara holistik oleh tenaga kesehatan dan
al, 2009). Penanganan stroke secara umum dibagi menjadi dua tahap. Tahap akut
dan tahap paska akut atau tahap pemulihan. Sasaran pengobatan dititikberatkan
pada tindakan rehabilitasi, pencegahan komplikasi dan terjadinya stroke berulang
(National Institute of Neurological Disorder and Stroke, 2008, Harsono, 2000).
Namun apabila pasien stroke ini ditangani dengan baik, maka akan dapat
meminimalkan kecacatan dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam
beraktifitas. Perawat mempunyai peranan yang sangat besar dalam memberikan
asuhan keperawatan dan dukungan pada pasien stroke dan keluarganya. Peran
perawat dimulai dari tahap akut hingga tahap rehabilitasi, serta pencegahan
terjadinya komplikasi pada pasien stroke (National Institute of Neurological
Disorder and Stroke, 2008).
Peran perawat pada tahap paska rehabilitasi bukan hanya dalam hal
pencegahan komplikasi dan mengurangi faktor resiko terjadinya stroke berulang,
tetapi juga mengidentifikasi kebutuhan akan perencanaan pulang yang sesuai
dengan kebutuhan keluarga, dan memberikan informasi yang dibutuhkan, serta
mendorong keluarga untuk lebih efektif dalam melaksanakan perannya dan
bergerak melampaui ketidakmampuan mereka. Sedangkan peran utama perawat
terhadap keluarga pasien stroke yaitu meningkatkan koping keluarga melalui
penyuluhan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2002). Keluarga pasien sendiri berperan
besar dalam tahap pemulihan, sehingga sejak awal perawatan keluarga diharapkan
ikut terlibat pada penanganan pasien stroke.
Keluarga sebagai caregiver merupakan mitra penting dalam pemberian
pasien pasca stroke. Menurut Wilkinson (2009), dengan tren penyakit kronis saat
ini, seperti stroke yang menimbulkan ketidakberdayaan, kebutuhan perawatan
jangka panjang dan berkurangnya masa rawat di rumah sakit, keberadaan keluarga
sebagai caregiver dalam memberikan perawatan sangat berarti bagi pemulihan
pasien. Informal caregiver (anggota keluarga atau teman) memberikan perawatan
kepada individu dengan berbagai kondisi, seperti pada lansia, demensia dan
stroke.
Perhatian kesehatan lebih banyak berfokus pada penderita stroke.
Keluarga pasien sebagai caregiver yang selalu setia mendampingi selama hampir
24 jam disamping pasien, memberikan perawatan dan memberikan dukungan
emosional sering terlupakan untuk diteliti. Perawat menghabiskan waktu
terbanyak dengan pasien selama rawat inap, akan tetapi tetap saja mempunyai
waktu yang terbatas dalam interaksi dengan pasien stroke (Reinhard et al, 2008).
Perhatian pada caregiver ini penting karena keberhasilan pengobatan dan
perawatan pasien stroke tidak lepas dari bantuan dan dukungan yang diberikan.
Informasi tentang fluktuatif kondisi pasien, tanda dan gejala, respon pasien akan
pengobatan yang dijalani, hanya bisa didapatkan dari keluarga pasien yang
menjadi caregiver. Given, Given & Sherwood (2011), menyatakan bahwa
caregiver merupakan sumber dukungan utama individu dengan stroke dan
merupakan orang pertama yang merespon perubahan status pasien selama fase
perjalanan penyakitnya.
Seseorang yang menjadi caregiver dalam keluarga biasanya dilihat dari
baik sebagai suami/istri, yang menjadi caregiver primer adalah pasangannya,
sementara bagi pasien stroke lansia, anak yang sudah beranjak dewasalah yang
menjadi caregiver sekunder setelah pasangan lansia tersebut. Caregiver yang
sudah berusia lanjut memiliki level ketidakberdayaan lebih besar (Lowenstein &
Gilbar, 2000). Given et al (2005) menguraikan bahwa caregiver usia dewasa
pertengahan dan bekerja memiliki tingkat gejala depresi tertinggi daripada yang
lain, memiliki perasaan seolah akan ditinggalkan pasien, dan gangguan rutinitas
sehari-hari menjadi sumber konflik mereka.
Beberapa penelitian tentang caregiver menunjukkan hasil bahwa caregiver
merasa terbebani dalam merawat pasien stroke dan berdampak negatif terhadap
kesehatannya. Sekitar 30-48% caregiver keluarga mengalami stress psikologis
lebih besar dibandingkan dengan pasien yang dirawatnya. Williams (2003, dalam
Smith & Liehr, 2008) mengungkapkan dalam teori keperawatannya dinamika
caregiving (the dinamics of caregiving) bahwa komitmen, harapan dan hubungan
caregiver dengan pasien baik di masa lalu, sekarang dan masa depan memiliki
pengaruh dalam bentuk caring yang diberikan oleh caregiver. Penelitian kualitatif
tentang persepsi keluarga sebagai caregiver di Tanzania, oleh Walker (2007),
menunjukkan adanya dampak emosional negatif pada caregiver.
Pengalaman caregiver dalam merawat pasien stroke beragam dirasakan
masing-masing individu, mengingat keunikan yang ada pada diri manusia.
Penelitian kualitatif digunakan dalam menggali hal tersebut. Perhatian pemerintah
di beberapa negara maju terhadap caregiver sudah sangat luar biasa, dengan
Family Caregiver Association), National Alliance of caregiver di Amerika
Serikat. Semenjak tahun 1997, Amerika Serikat sudah menghargai keberadaan
caregiver, hak-hak caregiver dituangkan dalam a caregiver’s bill of right, dan
bulan November dijadikan sebagai bulan nasional caregiver keluarga (NFCA,
2012).
Melihat berbagai fenomena terkait peran keluarga sebagai caregiver
pasien stroke, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih dalam bagaimana
pengalaman keluarga sebagai caregiver dalam merawat pasien stroke di rumah.
Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan fenomenologi karena masih
sangat sedikit penelitian terkait pengalaman keluarga sebagai caregiver dalam
merawat pasien stroke di rumah yang dilakukan dengan desain kualitatif. Selain
itu, dengan menggunakan pendekatan fenomenologi akan diperoleh informasi
baru yang lebih banyak secara komprehensif dan mendalam terkait fenomena
keluarga sebagai caregiver dalam merawat pasien stroke di rumah yang belum
tentu dapat diperoleh melalui desain penelitian lain.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengalaman
keluarga sebagai caregiver dalam merawat pasien stroke di rumah?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam tentang
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat berkontribusi terhadap praktik keperawatan terkait
peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara holistik pada pasien
stroke dan keluarga sebagai caregiver. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan makna pengalaman keluarga sebagai caregiver pasien stroke
sehingga dapat diidentifikasi intervensi keperawatan terhadap caregiver dalam
merawat pasien stroke agar dapat meningkatkan kualitas hidup pasien stroke yang
dirawatnya di rumah serta kualitas hidup caregiver yang merawatnya, sehingga
pada akhirnya akan menurunkan kejadian stroke berulang.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengembangkan riset
keperawatan. Data yang ditemukan dapat dipakai sebagai data dasar penelitian
selanjutnya terkait permasalahan yang muncul pada keluarga sebagai caregiver
dalam merawat pasien stroke di rumah.
Penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi pendidikan keperawatan.
Peran keluarga sebagai caregiver selama mendampingi pasien sangat penting
dalam pemulihan pasien stroke, sehingga penting dipelajari tentang cara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan
suatu gangguan neurologis yang disebabkan terputusnya aliran darah ke sebagian
otak (Black & Hawks, 2009). Smeltzer dan Bare (2008) mendefinisikan stroke/
Gangguan Pembuluh Darah Otak (GPDO)/ Cerebro Vascular Disease (CVD),
Cerebro Vascular Accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah sebagian otak Sedangkan menurut
Ginsberg (2007), stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan atau gejala
hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal atau global yang berkembang cepat.
Istilah Cerebro Vascular Disease (CVD) menunjukkan setiap kelainan
serebral yang disebabkan karena proses patologis pembuluh darah serebral yang
disebabkan karena proses patologis pembuluh darah serebral seperti sumbatan
pada lumen pembuluh darah otak oleh trombus atau embolus, pecahnya pembuluh
darah serebri, lesi atau perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
peningkatan viskositas atau perubahan lain pada kualitas darah yang
menyebabkan pasokan oksigen dan nutrisi ke serebral terhambat (Mokhtar, 2009
dan Standford Stroke Center, 2009).
Stroke merupakan penyebab kematian ke tiga paling sering di Amerika
Serikat, disamping kanker dan penyakit jantung. Lebih dari 275.000 orang
ketidakmampuan/kecacatan pada orang dewasa dan membutuhkan perawatan
jangka panjang. Lebih dari 4 juta penderita stroke hidup dalam derajat
ketidakmampuan di Amerika Serikat. Dari penderita stroke tersebut, 31%
membutuhkan bantuan dalam perawatan diri, 20% membutuhkan bantuan dalam
hal ambulasi, 71% mengalami beberapa kerusakan dalam kemampuan bicara
bahkan sampai 7 tahun setelah terkena stroke, dan 16% membutuhkan perawatan
institusional (Black & Hawks, 2009).
2.1.2 Klasifikasi Stroke
Price dan Wilson (2006) mengklasifikasikan stroke berdasarkan patologi
anatomi dan penyebabnya, yaitu:
1. Stroke Iskemia
Iskemia serebrum ini menduduki 80-85% dari seluruh kasus stroke.
Penyakit serbrovaskular iskemia ini dibagi menjadi dua kategori besar yaitu oklusi
trombolitik dan oklusi embolitik. Penyebab pasti stroke iskemia masih belum
dapat ditentukan dengan pasti. Lima belas persen stroke iskemia disebabkan oleh
stroke lakunar. Iskemia serebrum disebabkan karena berkurangnya aliran darah ke
otak yang berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit, dimana bila
terjadi lebih dari beberapa menit akan terjadi infark pada jaringan otak Price dan
Wilson (2006).
Lewis et al (2011) menyatakan bahwa stroke iskemik dihasilkan dari tidak
adekuatnya aliran darah ke otak yang disebabkan adanya sumbatan sebagian atau
total pembuluh darah arteri. Transient Ischemic Attack (TIA) biasanya prekursor
stroke iskemik dapat dibagi menjadi: Transient Ischemic Attack (TIA), Thrombotic
Stroke, A Lacunar Stroke, dan Embolic Stroke (Lewis et al, 2011).
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik menduduki 15-20% dari semua kasus stroke. Pendarahan
intrakranium ini dapat terjadi di jaringan otak itu sendiri (parenkim), ruang
subarachnoid, subdural atau epidural. Stroke jenis ini disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadian berlangsung
saat melakukan aktifitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat.
Kesadaran pasien umumnya menurun. Perdarahan otak dibagi 2 yaitu:
a. Perdarahan Intraserebral
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisme) terutama karena hipertensi
yang mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa
yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema otak. Peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak
karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hipertensi
sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons, dan serebelum.
b. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisme berry atau arterivenous
malvormation (AVM). Aneurisma yang pecah ini berasalh dari pembuluh darah
sirkulasi willis dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak
(Juwono, 1993). Pecahnya arteri dan keluar ke ruang subarachnoid menyebabkan
TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka nyaeri dan vasospasme
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparesis, gangguan hemisensorik, afasia,
dll). Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subarachnoid mengakibatkan
terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri,
sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan
tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya.
Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subarachnoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid
dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme
seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya
pada hari kelima sampai kesembilan, dan dapat menghilang setelah minggu kedua
sampai kelima. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara
bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serbrospinalos
dengan pembuluh arteri di ruang subarachnoid. Vasospasme ini dapat
mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun
fokal (hemiparesis, gangguan hemisensorik, afasia dan lain-lain). Otak dapat
berfungsi jika kebutuhan oksigen dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang
dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kerusakan dan kekurangan aliran darah
otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
disfungsi serebral. Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi oksigen
melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah otak (Price & Wilson, 2006).
2.1.3 Faktor Risiko Stroke
Lewis, et al (2011) membagi faktor resiko stroke menjadi dua bagian yaitu
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, riwayat
keluarga, jenis kelamin, dan ras. Usia sangat berperan dalam resiko peningkatan
penyakit stroke, yaitu pada usia 55 tahun ke atas. Prevalensi kejadian stroke pada
pria dan wanita hampir sama, hanya saja wanita lebih banyak meninggal akibat
stroke dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan wanita lebih rendah dalam bertahan
hidup. Ras African American mempunyai insiden tertinggi dari stroke dan
kejadian meninggal lebih tinggi dibandingkan berkulit putih.
Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi, kadar
kolesterol dan lemak darah, diabetes mellitus, kebiasaan merokok, aktivitas fisik,
penggunaan kontrasepsi hormonal, dan obesitas. Faktor resiko yang dapat diubah
ini sangat berhubungan dengan gaya hidup, sehingga sangat diperlukan kerjasama
keluarga dalam perubahan gaya hidup ke arah yang lebih sehat.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Smeltzer dan Bare (2008) menyebutkan stroke dapat menyebabkan
berbagai defisit neurologis yang bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah
darah kolateral (sekunder atau aksesoris). Beberapa defisit neurologis yang dapat
ditimbulkan akibat stroke yaitu defisit motorik, defisit sensori, defisit perceptual,
kerusakan bahasa dan komunikasi, kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik,
disfungsi aktifitas mental dan psikologik, dan gangguan eliminasi.
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
control volenteer terhadap gerakan motorik. Disfungsi motor paling umum adalah
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi tubuh), dan hemiparesis (kelemahan
pada salah satu sisi tubuh). Defisit motorik yang lainnya adalah disatria
(kerusakan otot-otot bicara) dan disfagia (kerusakan otot-otot menelan) (Smeltzer
& Bare 2002). Lewis et al (2011) menyebutkan bahwa defisit motorik pada stroke
adalah efek yang paling sering ditemukan. Defisi motorik meliputi kerusakan (1)
mobilitas, (2) fungsi respirasi, (3) menelan dan berbicara, (4) reflex gag, (5)
ketidakmampuan self-care.
Defisit sensori pada pasien stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan
atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan audiotorius (Smeltzer & Bare,
2008). Defisit visual umum terjadi karena jaras visual terpotong sebagian besar
pada hemisfer serebri. Defisit visual ini terdiri dari hemianopsia homonimosa
(kehilangan pandangan pada setengah bidang pandang pada sisi yang sama),
diplopia (penglihatan ganda), serta penurunan ketajaman penglihatan. Defisit
nyeri, tekanan, panas dan dingin) dan tidak memberikan atau hilangnya respon
terhadap proprioresepsi (pengetahuan tentang posisi bagian tubuh).
Defisit perseptual (gangguan dalam merasakan dengan tepat dan
menginterpretasi diri dan/ atau lingkungan) juga dapat terjadi pada penderita
stroke. Defisit perseptual ini terdiri dari gangguan skem/maksud tubuh (amnesia
atau menyangkal terhadap ektremitas yang mengalami paralisis; kelainan
unilateral), disorientasi (waktu, tempat, orang), apraksia (kehilangan kemampuan
untuk menggunakan objek dengan tepat) dan agnosia (ketidakmampuan untuk
mengidentifikasi lingkungan melalui indera). Selain itu juga dapat terjadi kelainan
dalam menemukan letak objek dalam ruang, memperkirakan ukurannya dan
menilai jauhnya, kerusakan memori untuk mengingat letak spasial objek atau
tempat, serta disorientasi kanan kiri (Smeltzer & Bare, 2008).
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi. Defisit bahasa dan kemunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal
berikut yaitu afasia ekspresif, berupa kesulitan dalam mengubah suara menjadi
pola-pola bicara yang dapat dipahami. Pada afasia ekspresif, pasien stroke dapat
berbicara dengan menggunakan respons satu kata. Afasia reseptif yaitu kerusakan
kelengkapan kata yang diucapkan. Pada afasia jenis ini, pasien stroke mampu
untuk berbicara, tetapi menggunakan kata-kata dengan tidak tepat dan tidak sadar
tentang kesalahan ini. Afasia global adalah kombinasi afasia ekspresif dan
reseptif, dimana pasien stroke tidak mampu berkomunikasi pada setiap tingkat.
dituliskan. Sedangkan agrafasia dimanifestasikan sebagai ketidakmampuan untuk
mengekspresikan ide-ide dalam tulisan (Smeltzer & Bare, 2002).
Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik pada pasien stroke muncul
bila terjadi kerusakan pada lobus frontal serebrum. Disfungsi dapat ditujukan
dengan lapang perhatian yang terbatas, peningkatan distraksibilitas (mudah
buyar), kesulitan dalam pemahaman, kehilangan memori (mudah lupa),
ketidakmampuan untuk menghitung, memberi alasan atau berpikir secara abstrak,
ketidakmampuan untuk mentransfer pembelajaran dari satu situasi ke situasi yang
lain, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien mengalami rasa frustasi
dalam program rehabilitasi yang dilakukan (Smeltzer & Bare, 2008).
Disfungsi aktifitas mental dan psikologik yang umumnya terjadi pada
pasien stroke, biasanya dimanifestasikan dengan labilitas emosional yang
menunjukkan reaksi dengan mudah atau ridak tepat. Selain itu, biasanya pasien
stroke menunjukkan kehilangan kontrol diri dan hambatan sosial, penurunan
toleransi terhadap stres, rasa ketakutan, pemusuhan, frustasi, dan mudah marah.
Pada tahap lanjut dapat terjadi kekacauan mental, menarik diri, isolasi dan depresi
(Smeltzer & Bare, 2008).
Disfungsi kandung kemih biasanya dimanifestasikan dengan inkontinesia
urinarius yang biasanya terjadi sementara. Hal ini terjadi karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal/bedpan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Lesi
unilateral karena stroke mengakibatkan sensasi dan kontrol parsial kandung
inkontinensia urine. Jika lesi ada pada batang otak, maka akan terjadi kerusakan
lateral yang mengakibatkan neuron motorik bagian atas kandung kemih
kehilangan semua kontrol miksinya. Sedangkan kerusakan fungsi usus biasanya
diakibatkan karena penurunan tingkat kesadaran, dehidrasi atau immobilisasi. Hal
ini biasanya menimbulkan masalah konstipasi dan pengerasan feses pada pasien
stroke. Inkontinensia urine dan alvi yang berkelanjutan menunjukkan kerusakan
neurologi luas (Smeltzer & Bare, 2008).
Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke
sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami
oleh penderita kelumpuhan pascastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan
penderita. Untuk melihat tingkat keparahan kelumpuhan atau kecacatan stroke,
berikut ada skala yang digunakan yaitu Skala Kecacatan Stroke (The Modified
Rankin Scale):
1. Kecacatan derajat 0
Tidak ada gangguan fungsi
2. Kecacatan derajat 1
Hampir tidak ada gangguan fungsi pada aktivitas sehari-hari atau gangguan
minimal. Pasien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari-hari.
3. Kecacatan derajat 2 (Slight disability)
Pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi
4. Kecacatan derajat 3 (Moderate disability)
Pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan sendiri
tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin membutuhkan tongkat.
5. Kecacatan derajat 4 (Moderately severe disability)
Pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain, perlu bantuan orang lain
untuk menyelesaikan sebagian aktivitas diri seperti mandi, pergi ke toilet, merias
diri, dan lain-lain.
6. Kecacatan derajat 5 (Severe disability)
Pasien tepaksa terbaring di tempat tidur dan kegiatan buang air besar dan kecil
tidak terasa (inkontinensia), memerlukan perawatan dan perhatian.
7. Derajat 6 (Kematian)
Peneliti memasukkan skala kecacatan stroke tersebut mengingat bahwa
asumsi peneliti yang mengganggap bahwa tingkat keparahan dari kelumpuhan
yang dialami oleh penderita pascastroke akan berdampak pada penyesuaian
individu tersebut.
2.1.5 Penatalaksanaan Stroke
Lewis (2011) dan Harsono (2000) membedakan penatalaksanaan stroke ke
dalam tahap akut dan paska tahap akut, yang meliputi:
1. Tahap Akut (hari ke 0-14 setelah onset penyakit)
Pada tahap akut ini sasaran pengobatan yaitu menyelamatkan neuron yang
cedera agari tidak terjadi nekrosis, serta agar proses patologis lainnya yang
menyertai tidak mengganggu/mengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang
beberapa fungsi diantaranya respirasi yang ahrus dijaga agar tetap bersih dan
bebas dari benda asing. Fungsi jantung harus tetap dipertahankan pada tingkat
yang optimal agar tidak menurunkan perfusi otak. Kadar gula darah yang tinggi
pada tahap akut, tidak diturunkan dengan drastis.
Bila pasien telah masuk dalam kondisi kegawatan dan terjadi penurunan
kesadaran, maka kesimbangan cairan, elektrolit dan asam basa darah harus
dipantau dengan ketat. Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan aliran darah
dan metabolisme otak diantaranya adalah obat-obatan anti edema seperti gliserol
10% dan kortikosteroid. Selain itu digunakan anti agregasi trombosit dan
antikoagulansia. Untuk stroke hemoragik, pengobatan perdarahan otak ditujukan
untuk hemostasis (Lewis, 2011 & Harsono, 2000).
2. Tahap paska akut/ tahap rehabilitasi
Setelah tahap akut berlalu, sasaran pengobatan dititikberatkan pada tindakan
rehabilitasi penderita dan pencegahan terjadinya stroke berulang. Rehabilitasi
yang dilakukan berujuan untuk pemulihan keadaan dan mengurangi derajat
ketidakmampuan. Ini dilakukan dengan pendekatan memulihkan keterampilan
lama, untuk anggota tubuh yang lumpuh, memperkenalkan sekaligus melatih
keterampilan baru untuk anggota tubuh yang tidak mengalami kelumpuhan,
memperoleh kembali hal-hal atau kapasitas yang telah hilang diluar kelumpuhan,
serta mempengaruhi sikap penderita, keluarga, dan terapeutik tim
2.1.6 Dukungan Sosial bagi Pasien Stroke Paska Akut
Dukungan sosial adalah derajat dukungan yang diberikan kepada individu,
khususnya saat dibutuhkan oleh orang yang memiliki hubungan emosional yang
dekat dengan orang tersebut. Dukungan sosial ini dapat bersumber dari keluarga,
teman atau sahabat, dokter, perawat atau siapapun yang memiliki hubungan
berarti bagi individu tersebut (Gonallen & Bloney, dalam As’ari, 2005).
Keluarga sangat memegang peranan penting selama perawatan tahap paska
akut pasien stroke di rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan perawatan
sehari-hari dan rehabilitasi. Merawat pasien dengan stroke merupakan suatu hal yang
serius. Keluarga, berapapun usia dan keadaan mereka, memerlukan informasi,
edukasi dan dukungan sosial untuk dapat melaksanakan perawatan pasien dan
dapat beradaptasi dengan peran baru mereka.
2.2. Konsep Caregiver
2.2.1 Definisi
Definisi caregiver dalam Merriam-Webster Dictionary (2012) adalah
orang yang memberikan perawatan langsung pada anak atau orang dewasa yang
menderita penyakit kronis. Elsevier (2009) menyatakan caregiver sebagai
seseorang yang memberikan bantuan medis, sosial, ekonomi, atau sumber daya
lingkungan kepada seseorang individu yang mengalami ketergantungan baik
Definisi caregiver dari literatur bahasa Indonesia, dikemukakan oleh
Subroto (2012) sebagai:
.. seseorang yang bertugas untuk membantu orang-orang yang ada hambatan untuk melakukan kegiatan fisik sehari-hari baik yang bersifat kegiatan harian personal (personal activity daily living) seperti makan, minum, berjalan, atau kegiatan harian yang bersifat instrumental (instrumental daily living) seperti memakai pakaian, mandi, menelpon atau belanja.
Menurut Mifflin (2007) menyatakan caregiver sebagai seseorang dalam
keluarga, baik itu orang tua angkat, atau anggota keluarga lain yang membantu
memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang mengalami ketergantungan.
Caregiver keluarga (family caregiver) didefinisikan sebagai individu yang
memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan untuk sebagai waktunya secara
sungguh-sungguh setiap hari dan dalam waktu periode yang lama, bagi anggota
keluarganya yang menderita penyakit kronis (Pfeiffer, dalam Tantono dkk, 2006).
Caregiving merupakan suatu istilah yang berarti memberikan perawatan kepada
seseorang dengan kondisi medis yang kronis. Informal atau lay caregiving adalah
aktivitas membantu individu yang memiliki hubungan personal dengan caregiver
(Tantono, 2006).
2.2.2. Jenis Caregiver
Caregiver dibagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal.
Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota keluarga, teman, atau
tetangga) yang memberikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang
waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan
formal caregiver adalah caregiver yang merupakan bagian dari sistem pelayanan,
Timonen (2009) menyebutkan terdapat dua jenis caregiver, yaitu formal
dan informal. Caregiver formal atau disebut juga penyedia layanan kesehatan
adalah anggota suatu organisasi yang dibayar dan dapat menjelaskan norma
praktik, profesional, perawat atau relawan. Sementara informal caregiver
bukanlah anggota organisasi, tidak memiliki pelatihan formal dan tidak
bertanggung jawab terhadap standar praktik, dapat berupa anggota keluarga
ataupun teman. Dengan demikian caregiver keluarga merupakan bagian dari
informal caregiver.
Family caregiver atau caregiver keluarga menurut Wenberg (2011) adalah
pasangan, anak dewasa, kenalan pasangan atau teman yang memiliki hubungan
pribadi dengan pasien, dan memberikan berbagai bantuan yang tidak dibayar
untuk orang dewasa yang lebih tua dengan kondisi kronis atau lemah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa caregiver keluarga adalah
anggota keluarga pasien, yang bersedia dan bertanggung jawab dalam merawat,
memberikan dukungan secara fisik, sosial, emosional serta menyediakan
waktunya untuk pasien yang menderita stroke hingga pulih atau bahkan hingga
akhir hayatnya.
2.2.3. Tugas dan Peran Caregiver Keluarga
Fungsi dari caregiver adalah menyediakan makanan, membawa pasien ke
dokter, dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian
(Tantono, 2006). Seperti kita ketahui gangguan fisik pasien stroke sendiri adalah
gangguan dimana faktor psikis yang berperan. Caregiver juga membantu pasien
caregiver ini yang membuat keputusan untuk pasiennya. Keluarga sebagai
caregiver merupakan penasihat yang sangat penting dan diperlukan oleh pasien
(Tantono, 2006).
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Arksey, et al (2005) tentang
tugas-tugas yang dilakukan caregiver di United Kingdom, antara lain termasuk:
a. Bantuan dalam perawatan diri yang terdiri dari dressing, bathing, toileting.
b. Bantuan dalam mobilitas seperti: berjalan, naik atau turun dari tempat tidur
c. Melakukan tugas keperawata seperti: memberikan obat dan mengganti balutan
luka.
d. Memberikan dukungan emosional
e. Menjadi pendamping
f. Melakukan tugas-tugas rumah tangga seperti: memasak, belanja, pekerjaan
kebersihan rumah, dan
g. Bantuan dalam masalah keuangan dan pekerjaan kantor.
Milligan (2004) dalam penelitiannya menarik perhatian terhadap fakta
tugas caregiver pada lansia. Tugas yang dilakukan caregiver tidak hanya terbatas
kepada pekerjaan rumah tangga, akan tetapi dibagi ke dalam 4 kategori, sebagai
berikut:
a. Physical Care/ Perawatan fisik, yaitu: memberi makan, mengganti pakaian,
memotong kuku, membersihkan kamar, dan lain-lain.
b. Social Care/ Kepedulian sosial, antara lain: mengunjungi tempat hiburan,
menjadi supir, bertindak sebagai sumber informasi dari seluruh dunia di luar
c. Emotional Care, yaitu menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih sayang kepada
pasien yang tidak selalu ditunjukkan ataupun dikatakan namun ditunjukkan
melalui tugas-tugas lain yang dikerjakan.
d. Quality care, yaitu: memantau tingkat perawatan, standar pengobatan, dan
indikasi kesehatan, serta berurusan dengan masalah yang timbul.
2.2.4. Beban pada Caregiver
Beban keluarga merupakan suatu tolak ukur utama dalam menilai dampak
terhadap anggota keluarga lain dari perawatan penderita gangguan jiwa
(Djatmiko, 2004). Beban caregiver (caregiver burden) didefinisikan sebagai
tekanan-tekanan mental atau beban yang muncul pada orang yang merawat lansia,
penyakit kronis, anggota keluarga atau orang lain yang cacat. Beban caregiver
merupakan stress multidimensi yang tampak pada diri seorang caregiver.
Pengalaman caregiving berhubungan dengan respon yang multidimensi terhadap
tekanan-tekanan fisik, psikologis, emosi, sosial dan financial (Tantono, 2006).
Beban caregiver dibagi atas dua yaitu beban subjektif dan beban objektif.
Beban subjektif caregiver adalah respon psikologis yang di alami caregiver
sebagai akibat perannya dalam merawat pasien. Sedangkan beban objektif
caregiver yaitu masalah praktis yang di alami oleh caregiver, seperti masalah
keuangan, gangguan pada kesehatan fisik, masalah dalam pekerjaan, dan aktivitas
sosial (Sukmarini, 2009).
Ada 3 faktor beban caregiver yaitu efek dalam kehidupan pribadi dan
sosial caregiver, beban psikologis dan perasaan bersalah. Caregiver harus
menyenangkan, menyebabkan stress psikologis dan melelahkan secara fisik.
Beban psikologis yang dirasakan oleh caregiver antara lain rasa malu, marah,
tegang, tertekan, lelah dan tidak pasti. Faktor terakhir berhubungan dengan
perasaan bersalah seperti seharusnya dapat melakukan lebih banyak, tidak dapat
merawat dengan baik dan sebagainya (Anneke, 2009).
Perawatan yang dilakukan caregiver tergantung pada level
ketidakmampuan pasien (progress penyakit). Lefley (1996, dalam Sales, 2003),
menjabarkan beban caregiver dengan penyakit kronis secara rinci antara lain:
(1) Ketergantungan ekonomi pasien, (2) Gangguan rutinitas harian,
(3) Manajemen perilaku, (4) Permintaan waktu dan energi, (5) Interaksi yang
membingungkan atau memalukan dengan penyedia layanan kesehatan, (6) Biaya
pengobatan dan perawatan, (7) Penyimpangan kebutuhan anggota keluarga lain,
(8) Gangguan bersosialisasi, (9) Ketidakmampuan menemukan setting perawatan
yang memuaskan.
Penelitian yang dilakukan Aoun (2004), menemukan dampak caregiving
pada caregiver dengan pasien paliatif di Australia, yaitu:
a. Pendapatan sering tidak cukup karena biaya yang dikeluarkan selama
perawatan.
b. Dampak kesehatan yang umum pada caregiver, akan tetapi caregiver sering
mengabaikannya atau mengurangi pentingnya menjaga kesehatan.
c. Gangguan tidur menyebabkan kelelahan caregiver.
d. Berkurangnya kegiatan sosial dan aktivitas fisik caregiver sehingga
e. Perawatan pada pasien dengan paliative care secara emosional menuntut
caregiver sehingga mengalami rasa bersalah, kecemasan, kemarahan, frustasi,
takut, depresi, kehilangan kendali, dan perasaan tidak mampu.
2.2.5. Dukungan dan Kebutuhan Caregiver
Dukungan yang diberikan oleh caregiver adalah penting untuk membantu
kesembuhan pasien baik dari segi fisik, psikososial, dan spiritual. Tujuan dari
rencana pendidikan kesehatan juga berbeda antara pasien dan caregiver.
Caregiver mungkin membutuhkan bantuan dalam mempelajari perawatan fisik
dan teknik penggunaan alat bantu perawatan., menemukan sumber home care,
menempatkan peralatan, menata lingkungan rumah untuk mengakomodasi
kesembuhan pasien (Lewis, et al, 2011).
Pasien dan caregiver mungkin memiliki kebutuhan akan pengajaran yang
berbeda. Misalnya, prioritas utama untuk pasien lansia yang menderita diabetes
dengan luka ynag luas di telapak kaki perlu pengajaran tentang bagaimana
berpindah dari kursi dengan cara yang benar. Di lain pihak, caregiver harus lebih
fokus mengetahui teknik mengganti balutan luka. Pemberian rencana pengajaran
yang sukses disarankan untuk melihat dari kebutuhan pasien dan kebutuhan
caregiver yang merawat pasien (Lewis, et al, 2011).
Penelitian Yedidia dan Tiedemann, (2008) berdasarkan tugas caregiver,
menyimpulkan kebutuhan caregiver yaitu: (1) Kebutuhan akan informasi tentang
pelayanan yang tersedia, (2) Manajemen stress dan strategi koping, (3) Masalah
keuangan dan asuransi, (4) Masalah komunikasi dengan profesional kesehatan,
(7) Bantuan tentang tugas-tugas perawatan, (8) Bantuan berkomunikasi dengan
pasien, (9) Nasihat hukum, (10) Informasi tentang obat, (11) Bantuan mengatasi
masalah akhir kehidupan, (12) Panduan memindahkan pasien ke fasilitas yang
mendukung, (13) Bantuan berurusan dengan keluarga.
Kebutuhan-kebutuhan caregiver tersebut hendaknya dapat dikaji oleh
perawat agar beban yang dirasakan caregiver stroke dapat berkurang. WGBH
(Western Great Blue Hill) Educational Foundation (2008) menyatakan bahwa
dalam memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuan caring, caregiver
diharapkan memiliki keahlian dalam:
a. Berkomunikasi
Mengekspresikan kebutuhan dan perasaan serta mampu mendengar
kebutuhan dan perasaan orang lain merupakan keterampilan penting dalam
menangani pasien stroke. Saat perasaan pasien dan caregiver mampu diutarakan,
hal tersebut dapat mendukung satu sama lain, dan mengurangi stres yang diikuti
oleh kemarahan atau kesedihan. Dengan melepaskan masalah, perawatan pasien
stroek dapat ditata sedemikian rupa sehingga pengobatan dapat lebih efektif.
b. Menemukan informasi
Kebutuhan akan informasi stroke sangat diperlukan untuk membuat
keputusan, memecahkan masalah, dan mencari pertolongan. Dengan mencari
informasi, caregiver akan lebih mampu memahami penyakit dan pengobatan,
c. Membuat keputusan
Diagnosis stroke membutuhkan keputusan penting tentang pilihan
pengobatan dan gaya hidup. Bagi pasien stroke ini membutuhkan bantuan
caregiver dan pandangannya dalam memutuskan sesuatu.
d. Memecahkan masalah
Dalam menghadapi perubahan yang disebabkan oleh stroke dan
beradaptasi akan kondisi tersebut, membutuhkan bantuan luar, seperti dari
perawat, pekerja sosial, organisasi stroke, kelompok sosial lainnya, internet,
teman dan keluarga.
e. Bernegosiasi
Dengan adanya persetujuan kerja bagi masing-masing orang, akan
mengurangi ketegangan peran caregiver.
f. Memberanikan diri
Menghilangkan keraguan untuk mencari bantuan apa saja untuk caregiver
Gbr. 2.1. Perawatan Stroke Berkelanjutan dan Beban Caregiver Keluarga Sumber: (Mc Cockle, Grant, Frank-Stromborg, & Baird, 1996)
Dari gambaran di atas, latar belakang keluarga berupa hubungan keluarga
terdahulu, harmonis, penuh konflik atau tidak, perlu dikaji sehubungan dengan
kualitas rawatan yang akan diberikan pada pasen stroke. Integrasi sosial mereka
sebelumnya mempengaruhi keefektifan perawatan dan ketegangan yang
dihasilkan. Tahap perkembangan keluarga caregiver juga perlu dikaji, oleh karena
pada caregiver dewasa dan bekerja, ketegangan peran timbul dikarenakan ia
harus mengurangi waktu untuk dirinya sendiri. Aktivitas sosial dan privasi bagi Latar belakang
yang pensiun tidak menimbulkan masalah, namun bagi anak dewasa merupakan
masalah penting.
Karakteristik pasien berupa faktor usia menimbulkan pengaruh, seperti
pada caregiver lansia dengan masalah penurunan kemampuan fisiknya,
memerlukan bantuan untuk perawata fisik dan masalah administrasi yang
mengarah kepada ketegangan dan stres caregiver. Dari segi pengaturan hidup,
dengan adanya perpindahan pasien dari rumah ke rumah sakit atau sebaliknya
misalnya, alam menimbulkan distres. Karakteristik pasien berupa usia, jenis
kelamin, pekerjaan, status finansial, status pernikahan, pengaturan hidup dan
peran biasanya, ini perlu dipertimbangkan dalam kontribusinya terhadap beban
caregiver.
Semakin jauh hubungan kekerabatan dengan caregiver, semakin kurang
pula perasaan caregiver untuk merawat pasien. Pada caregiver pasangan,
memiliki beban tertentu oleh karena perawatan yang diberikannya mencakup
aspek keseluruhan, berperan lebih lama, toleransi lebih tinggi, apabila
dibandingkan dengan yang bukan pasangannya, kewajiban dan harapannya dalam
merawat kurang.
Menurut Walker (2007), beban yang dirasakan caregiver, dapat dibagi atas
2 hal, yaitu: respon emosi caregiver dankesehatan fisik caregiver.
a. Respon emosi caregiver.
Distres pada caregiver biasanya diperlihatkan sebagai depresi atau beban
penyedia layanan keperawatan, yang dimanifestasikan oleh perasaan kesendirian,
isolasi, ketakutan dan merasa mudah diganggu.
Hirst (2005) menemukan masalah kesehatan mental yang timbul secara
langsung terhadap caregiver dalam proses perawatan pasien. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa caregiver yang memberikan perawatan kepada pasien/
keluarga lebih dari 20 jam atau lebih per minggu adalah dua kali lipat berisiko
mengalami tekanan psikologis dan efek ini lebih besar pada caregiver wanita.
Penelitian yang dilakukan Kalliath dan Kalliath (2000) di Selandia Baru pada
caregiver pasien stroke, menemukan terdapat kelelahan emosional dikaitkan
dengan gejala kelelahan, depersonalisasi, dan penurunan prestasi pribadi.
Cameron et al (2006) menemukan sebesar 44% dari 94 orang caregiver
berkebangsaan Canada pada pasien stroke beresiko terkena depresi klinis.
b. Kesehatan fisik caregiver.
Pengalaman caregiver akan kondisi yang menghasilkan stres kronik yang
kemudian menimbulkan respon dengan melepas glukokortikoid dan katekolamin
sebagai hasil progres penyakit dan pengobatan yang lama, dimana dapat
berdampak negatif pada sistem imunitas caregiver dan mempengaruhi
kesehatannya.
Hasil survey yang dilakukan oleh Vitaliano, et al (2003, 2004)
menemukan dampak kesehatan fisik bagi caregiver pada lansia dengan demensia.
Pada penelitian tersebut, caregiver melaporkan mengalami gangguan kesehatan
fisik dan membutuhkan pengobatan yang lebih sering dibandingkan bukan
lain menunjukkan bahwa caregiver menghasilkan produksi antibodi yang rendah,
tingginya gangguan tidur dan kurang adekuatnya diet.
Sebagian besar caregiver adalah wanita. Menurut Montgomery, Rowse,
dan Kosloski (2007), wanita diketahui memiliki waktu istirahat dan latihan yang
kurang dibandingkan pria. Sehingga terjadi perubahan kardiovaskuler seperti
tekanan darah meningkat. Kurangnya waktu untuk merawat diri sendiri karena
permintaan rawatan yang berkesinambungan dapat berdampak negatif pada
kesehatan caregiver.
2.3. Landasan Teori Keperawatan (Theory of Caregiving Dynamics)
Theory of Caregiving Dynamics merupakan bagian dari pengembangan
middle range theory dalam keperawatan. Teori ini diciptakan oleh Loretta A.
Williams pada tahun 2003 dengan konsep nama “ Informal Caregiving Dynamic”.
Kata informal menimbulkan kesalahpahaman dalam mengartikannya, sehingga
konsep nama teori tersebut diganti menjadi theory of caregiving dynamics. Proses
caregiving dalam hal ini mengacu terhadap perawatan yang dilakukan oleh
anggota keluarga, teman, dan tetangga (Williams, 2003).
Theory of Caregiving Dynamics dipilih sebagai model konseptual dalam
penelitian ini karena teori ini sangat cocok dengan tujuan penelitian yaitu untuk
mengeskplorasi pengalaman keluarga/ informal caregiving dalam merawat pasien
stroke di rumah. Informal caregiving adalah seseorang yang memberikan bantuan
tanpa bayaran kepada seseorang yang memiliki masalah kesehatan. Selanjutnya,
yang dimaksud informal caregiving biasanya anggota keluarga, teman, atau
Informal caregiving sering melakukan beberapa tugas yang melibatkan
tuntutan secara fisik, emosional, sosial, atau finansial (Biegel, Sales, & Schulz,
1991) dan menyebabkan perubahan dalam status kesehatan caregiver. Sebuah
tugas penting bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk membantu
informal caregiver untuk meningkatkan peran caregiver bagi dirinya sendiri dan
keluarga yang dirawat. Untuk mewujudkan peran perawat tersebut, diperlukan
pemahaman tentang konsep dynamics of caregiving.
2.3.1. Konsep Teori
Konsep mayor teori dinamika caregiving adalah komitmen, manajemen
ekspektasi, dan negosiasi peran. Self care (perawatan diri), pengetahuan baru, dan
dukungan adalah konsep yang saling terkait, masing-masing terhubung dengan
konsep mayor. Dinamika caregiving adalah suatu proses interaksi dari komitmen,
manajemen ekspektasi, dan negosiasi peran yang didukung oleh perawatan diri,
pengetahuan baru, dan dukungan yang menggerakkan hubungan caregiving yang
erat sepanjang perjalanan penyakit (Smith & Liehr, 2014).
A. Komitmen
Komitmen yaitu caregiver bertanggung jawab dalam menginspirasi
perubahan hidup dan membuat pasien menjadi prioritas. Komitmen merupakan
panggilan jiwa bagi seorang caregiver untuk selalu ada memberikan dukungan
meskipun mereka tidak memiliki pengalaman yang sama, akan tetapi mempunyai
hubungan kasih sayang dengan pasien. Komitmen menjadi seorang caregiver
merupakan komitmen jangka panjang. Apalagi menjadi caregiver pasien dengan
(2007), terdapat empat dimensi komitmen, yaitu: (1) enduring responsibility /
bertanggung jawab, (2) making the patient a priority / menjadikan pasien
prioritas, (3) supportive presence/ selalu ada memberikan dukungan, dan (4)
self-affirming loving connection / keyakinan adanya hubungan kasih sayang.
Enduring responsibility adalah tekad caregiver untuk memberikan
perawatan meskipun sulit dan dalam waktu yang lama. Enduring responsibility
berdasarkan kewajiban, hubungan timabal balik, atau cinta yang telah dijalin jauh
sebelum sakit dan terus berlanjut sampai sembuh (Williams, 2007). Making the
patient a priority adalah menempatkan kebutuhan merawat pasien diatas
kebutuhan dan keinginan lainnya karena kesejahteraan pasien adalah tujuan yang
paling penting (Williams, 2007). Supportive presence adalah memberikan pasien
kenyamanan, dorongan, dan sikap yang positif ketika caregiver tidak melakukan
hal lain selain untuk membantu pasien. Perasaan caregiver yang kuat dalam
memahami secara penuh apa yang dirasakan pasien, kebutuhan emosional pasien,
keinginan pasien secara akurat diidentifikasi dan dipenuhi (Williams, 2007).
Self-affirming loving connection adalah suatu perasaan yang saling terbuka antara
caregiver dan pasien sehingga bisa memenuhi kebutuhan pasien adalah kepuasan
tersendiri bagi caregiver (Williams, 2007). Self Care (perawatan diri) adalah
sebuah konsep yang berkaitan dengan komitmen.
Self-Care (Perawatan Diri)
Perawatan diri yaitu bertindak untuk menjaga kesehatan dengan
mengembangkan kebiasaan hidup sehat sambil mengeluarkan perasaan dan
diperlukan. Terdapat empat dimensi dari self-care, yaitu dukungan lingkungan
fisik, menanamkan kebiasaan hidup sehat, mengungkapkan perasaan, dan
menjauh darinya (Williams, 2007).
Dukungan lingkungan fisik terdiri dari tempat tinggal, makanan, dan
fasilitas lainnya yang memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi caregiver
dan pasien. Menanamkan kebiasaan hidup sehat yaitu melakukan tindakan untuk
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan selama proses pemberian
perawatan. Caregiver dan pasien saling mendukung untuk meningkatkan
kesehatan seperti makan teratur dan olahraga. Mengeluarkan perasaan yaitu
menemukan suatu cara untuk mengungkapkan perasaan dan frustasi selama proses
pemberian perawatan. Caregiver bisa komunikasi dengan intens dengan orang
lain untuk mengungkapkan perasaannya atau dengan menulis dan metode lain
untuk mengekspresikan perasaannya. Menjauh darinya diartikan bahwa caregiver
ingin menjauh dari situasi tuntutan penyakit, pengobatan, dan proses pemberian
perawatan. Akan tetapi, secara hati nurani, caregiver merasa bersalah untuk
meninggalkan pasien (Williams, 2007).
B. Expectation Mangement/ Manajemen Ekspektasi
Mengatur ekspektasi pada pasien, merupakan suatu kondisi yang
diharapkan dimasa mendatang untuk kembali kepada kondisi normal. Pandangan
ke masa depan, akan dihadapkan pada ketakutan akan masa depan apakah bisa
kembali kepada kondisi normal atau tidak. Kenyataan dan ekspektasi merupakan
bagian yang perlu dibangun oleh caregiver untuk memperbaiki kualitas hubungan
ekspektasi, yaitu: (1) envisioning tomorrow/ membayangkan besok, (2) getting
back to normal/ kembali ke keadaan normal, (3) taking one day at time/
menyediakan satu hari pada suatu waktu, (4) gauging behaviour/ mengukur
perilaku, dan(5) reconciling treatment twist and turns.
Envisioning tomorrow yaitu berbaur dengan masa depan yang ambigu
dengan harapan dan ketakutan. Gambaran masa depan berada pada rentang
tertentu dan spesifik serta sangat samar dan umum. Membayangkan masa depan
yang penuh harapan, memiliki caregiver dengan tujuan berjuang untuk bertahan
dalam kesulitan bahkan membayangkan masa depan yang penuh ketakutan
memungkinkan caregiver mengalami kerugian dan mempersiapkan diri kecewa di
masa depan (Williams, 2007). Getting back to normal adalah melihat seberkas
cahaya kecil harapan dan mengantisipasi kembalinya ke keadaan akibat tuntutan
penyakit atau pengobatan (Williams, 2007). Taking one day at time yaitu
berfokus pada saat ini sebagai sarana berurusan dengan masa depan yang tidak
dapat dibayangkan. Sebagai perspektif dan prioritas berubah dengan orientasi saat
ini, upaya dapat dilakukan untuk memperlambat dan membuat yang terbaik saat
ini menuju masa depan yang pasti. Caregiver kadang-kadang menghindari masa
depan karena mereka takut apa yang akan terjadi, tetapi di lain waktu mereka
menikmati aspek-aspek positif pada saat ini (Williams, 2007). Gauging behaviour
yaitu menjelaskan, memprediksi, atau bereaksi terhadap tindakan atau pernyataan
pasien berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pasien. Ekspektasi yang
dikembangkan dari gauging behaviour memungkinkan caregiver dapat bereaksi