• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga sebagai Caregiver dalam Merawat Pasien Stroke di Rumah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga sebagai Caregiver dalam Merawat Pasien Stroke di Rumah"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN KELUARGA

SEBAGAI CAREGIVER DALAM MERAWAT

PASIEN STROKE DI RUMAH

TESIS

Oleh

NANDA MASRAINI DAULAY

127046041 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN KELUARGA

SEBAGAI CAREGIVER DALAM MERAWAT

PASIEN STROKE DI RUMAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NANDA MASRAINI DAULAY

127046041 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)
(5)

Telah diuji

Pada tanggal : 26 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D

Anggota : 1. Nunung Febriany Sitepu, S.Kep, Ns., MNS

2. Dr. Ir. Evawani Yunita Aritonang., M.Si

(6)

Judul Tesis : Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga sebagai

Caregiver dalam Merawat Pasien Stroke di Rumah

Nama Mahasiswa : Nanda Masraini Daulay

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Pasien stroke yang kembali ke rumah mengalami kecacatan. Kecacatan

akibat stroke tidak hanya berdampak bagi pasien stroke, akan tetapi juga

berdampak bagi anggota keluarga yang akan menjadi caregiver. Perhatian pada

caregiver ini penting karena keberhasilan pengobatan dan perawatan pasien stroke

tidak terlepas dari bantuan dan dukungan yang diberikan oleh caregiver.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam tentang makna

pengalaman keluarga sebagai caregiver pasien stroke di rumah. Penelitian ini

merupakan studi fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan

indepth interview, observasi, dan fieldnote. Partisipan dalam penelitian ini

berjumlah 16 orang yang dipilih dengan teknik purpossive sampling. Data yang

diperoleh dianalisis dengan pendekatan Colaizzi. Hasil analisis penelitian

ditemukan 5 tema yaitu: memberikan dukungan total, memenuhi kebutuhan dasar,

penderitaan dan hikmah bagi caregiver, kurangnya keterampilan dalam merawat,

(7)

sosial. Pada umumnya, caregiver merasa terabaikan, mereka membutuhkan

informasi terkait penyakit pasien, cara merawat pasien stroke, dan sumber-sumber

komunitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan

perencanaan pulang individual lebih berpusat pada keluarga daripada pendekatan

berpusat pada pasien.

(8)

Thesis Title : The Phenomenology Study on the Experience of

Family as Caregiver in Treating Stroke Patient at

Home.

Name : Nanda Masraini Daulay

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Stroke patients who returned home have disabilities. Disability from stroke

not only impact on stroke patients, but also has implications for family members

who will be the caregiver. Attention to the caregiver is important because the

success of the treatment and care of stroke patients can not be separated from the

help and support provided by the caregiver. This study aims to explore the depth

of the meaning of experience as a family caregiver for stroke patients at home.

This study is a descriptive phenomenological study. Data was collected through

in-depth interview, observation, and fieldnote. Participants in this study of 16

people were selected by purposive sampling technique. Data were analyzed with

Collaizi approach. Results of analysis found 5 (five) themes, namely: total

support, meet basic needs, suffering and wisdom for the caregiver, lack of skills in

caring for, and limitations of caregiver. Caregiver suffering from physical

(9)

require information related to the patient's illness, how to care for stroke patients,

and other sources of community health services. Based on the research results, it

is suggested that discharge planning more individualized family-centered rather

than patient-centered approach.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan

judul “Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga sebagai Caregiver dalam

Merawat Pasien Stroke di Rumah”, disusun untuk memenuhi sebagian dari syarat

untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan di Program Studi Magister

Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan dapat diselesaikan

dengan baik tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, saya ingin

menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU) beserta

jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk

melanjutkan studi ke jenjang Magister Keperawatan.

2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Keperawatan Fakultas Keperawatan USU sekaligus dosen pembimbing I.

Terima kasih telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis

dalam mengerjakan tesis ini hingga selesai. Terima kasih juga atas

kesempatan yang telah beliau berikan kepada penulis dalam meningkatkan

aktualisasi diri selama masa pendidikan.

3. Nunung Febriany, S, S.Kep, Ns, MNS selaku dosen pembimbing II yang

tidak henti-hentinya memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi

(11)

4. Dr. Ir. Evawani J. Aritonang, M.Si, dan bapak Ikram, S.Kep, Ns, M.Kep

sebagai penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan

penulisan tesis ini.

5. RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk

melakukan penelitian di rumah sakit tersebut.

6. Ayah, Ibu, dan Keluarga penulis yang telah banyak memberikan dukungan

materil dan moril dalam penyelesaian tesis ini.

7. Yayasan Pendidikan Haji Sumatera Utara atas kesempatan dan dukungan

yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini

dengan baik.

8. Rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan II 2012/2013 dan semua

pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu

dan memberi dorongan untuk menyelesaikan laporan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan

penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya

profesi keperawatan.

Medan, 26 Agustus 2014 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Nanda Masraini Daulay

Tempat Tanggal Lahir : Padang Sidempuan, 12 Januari 1988

Alamat Asal : Jln. Perwakilan/Perdata No. 8B, Kec. Medan

Timur, Medan

No. Telp/HP : 085297737764

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri 142442/ 26 Padangsidempuan 2000

SLTP MTs Negeri Model Padangsidempuan 2003

SMA SMA Negeri 1 (Plus) Matauli Pandan 2006

Ners Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara

2011

Magister Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara

2014

Riwayat Pekerjaan :

Bekerja sebagai Staf Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Haji

(13)

Kegiatan Akademik Selama Studi :

Peserta pada acara “Seminar Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan

Pengembangan Pengetahuan Disiplin Ilmu Kesehatan & Workshop

Analisis Data dengan Content Analysis & Weft-QDA”, 31 Januari 2012,

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta Seminar Keperawatan Nursing Leadership menyongsong Asean

Community 2015, 30 Januari 2013 Fakultas Keperawatan, USU.

Peserta pada 2013 MEDAN INTERNATIONAL NURSING CONFERENCE

“The Application of Nursing Education Advanced Research and Clinical

Practice”, 1 – 2 April 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan, Sumatera

Utara.

Presentasi poster pada Seminar Nasional "Peningkatan Kualitas Pelayanan Pada

Neonatus melalui Implementasi Developmental Care" pada tanggal 10

Oktober 2013.

Peserta “Seminar & Workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic,

24 November 2014, Fakultas Keperawatan, USU.

Peserta “Pelatihan Perawatan Luka Dasar Certified Wound Care Clinician

(14)
(15)

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 63

4.1. Karakteristik Demografi Partisipan ... 63

4.2. Pengalaman Caregiver dalam Merawat Penderita Stroke di Rumah ... 65

4.2.1. Memberikan dukungan secara total terhadap anggota keluarga yang menderita Stroke ... 66

4.2.2. Membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarga yang menderita stroke ... 72

4.2.3. Penderitaan dan hikmah bagi caregiver selama merawat anggota keluarga yang menderita stroke ... 76

4.2.4. Kurangnya keterampilan caregiver dalam merawat anggota keluarga yang menderita stroke ... 80

4.2.5. Keterbatasan Caregiver ... . 83

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Responden ... 64

Tabel 4.2 Tema 1 Memberikan Dukungan Secara Total Terhadap Anggota Keluarga Yang Menderita ... 71

Tabel 4.3 Tema 2 Memenuhi Kebutuhan Dasar Penderita Stroke ... 75

Tabel 4.4 Tema 3 Penderitaan Dan Hikmah Bagi Caregiver Selama

Merawat Anggota Keluarga ... 79

Tabel 4.5 Tema 4 Kurangnya Keterampilan Dalam Merawat Keluarga

yang Menderita ... 82

Tabel 4.6 Tema 5 Keterbatasan Caregiver Dalam Merawat Pasien Stroke 85

Tabel 4.7 Hasil Observasi dukungan caregiver mencakup berbagai aspek 86

Tabel 4.8 Hasil Observasi caregiver membantu dalam memenuhi

kebutuhan dasar pasien ... 87

Tabel 4.9 Hasil observasi penderitaan dan hikmah bagi caregiver ... 87

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Perawatan Stroke Berkelanjutan dan Beban Caregiver

Keluarga ... 28

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 118

a. Lembar Penjelasan tentang Penelitian ... 119

b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 120

c. Kuesioner Data Demografi ... 121

d. Panduan Wawancara ... 122

e. Lembar Observasi ... 123

f. Field Note ... 124

Lampiran 2 Biodata Expert ... 125

Lampiran 3 Izin Penelitian ... 127

a. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ... 128

b. Surat Persetujuan Etik Peneltian ... 129

(19)

Judul Tesis : Studi Fenomenologi Pengalaman Keluarga sebagai

Caregiver dalam Merawat Pasien Stroke di Rumah

Nama Mahasiswa : Nanda Masraini Daulay

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Pasien stroke yang kembali ke rumah mengalami kecacatan. Kecacatan

akibat stroke tidak hanya berdampak bagi pasien stroke, akan tetapi juga

berdampak bagi anggota keluarga yang akan menjadi caregiver. Perhatian pada

caregiver ini penting karena keberhasilan pengobatan dan perawatan pasien stroke

tidak terlepas dari bantuan dan dukungan yang diberikan oleh caregiver.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam tentang makna

pengalaman keluarga sebagai caregiver pasien stroke di rumah. Penelitian ini

merupakan studi fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan

indepth interview, observasi, dan fieldnote. Partisipan dalam penelitian ini

berjumlah 16 orang yang dipilih dengan teknik purpossive sampling. Data yang

diperoleh dianalisis dengan pendekatan Colaizzi. Hasil analisis penelitian

ditemukan 5 tema yaitu: memberikan dukungan total, memenuhi kebutuhan dasar,

penderitaan dan hikmah bagi caregiver, kurangnya keterampilan dalam merawat,

(20)

sosial. Pada umumnya, caregiver merasa terabaikan, mereka membutuhkan

informasi terkait penyakit pasien, cara merawat pasien stroke, dan sumber-sumber

komunitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan

perencanaan pulang individual lebih berpusat pada keluarga daripada pendekatan

berpusat pada pasien.

(21)

Thesis Title : The Phenomenology Study on the Experience of

Family as Caregiver in Treating Stroke Patient at

Home.

Name : Nanda Masraini Daulay

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

Stroke patients who returned home have disabilities. Disability from stroke

not only impact on stroke patients, but also has implications for family members

who will be the caregiver. Attention to the caregiver is important because the

success of the treatment and care of stroke patients can not be separated from the

help and support provided by the caregiver. This study aims to explore the depth

of the meaning of experience as a family caregiver for stroke patients at home.

This study is a descriptive phenomenological study. Data was collected through

in-depth interview, observation, and fieldnote. Participants in this study of 16

people were selected by purposive sampling technique. Data were analyzed with

Collaizi approach. Results of analysis found 5 (five) themes, namely: total

support, meet basic needs, suffering and wisdom for the caregiver, lack of skills in

caring for, and limitations of caregiver. Caregiver suffering from physical

(22)

require information related to the patient's illness, how to care for stroke patients,

and other sources of community health services. Based on the research results, it

is suggested that discharge planning more individualized family-centered rather

than patient-centered approach.

(23)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dan

penyebab paling sering kecacatan pada orang dewasa (Abubakar & Isezuo, 2012).

Stroke juga merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika Serikat.

American Heart Association tahun 2009 melaporkan sekitar 795.000 orang di

Amerika Serikat terserang stroke setiap tahunnya. Jumlah penderita stroke di

Amerika Serikat tersebut tercatat sebagai serangan stroke pertama sebanyak

610.000 orang, sedangkan 185.000 merupakan stroke yang berulang. Saat ini ada

4 juta orang di Amerika Serikat yang hidup dalam keterbatasan fisik akibat stroke

dan 15-30% di antaranya menderita cacat menetap (Centers for Disease Control

and Prevention, 2009).

Jumlah penderita stroke terus meningkat setiap tahun, bukan hanya

menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda

dan produktif. Prevalensi penderita stroke di Amerika pada tahun 2009 meliputi

penderita stroke dengan pemulihan total sekitar 460 orang dari 100.000 penderita,

50-70% dari penderita stroke mengalami perbaikan fungsional, namun 15-30%

cacat permanen, dan 20% memerlukan perawatan institusional pada 3 bulan

setelah onset. Sebagian besar pasien stroke mengalami cacat tetap stabil antara 6-9

bulan dan 5 tahun setelah stroke dan sepertiganya memerlukan perawatan dan

(24)

Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penderita stroke terbesar

di Asia. Setiap 7 orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena stroke

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Jumlah penderita stroke di

Indonesia mencapai 500.000 penduduk setiap tahunnya, sekitar 2,5 % atau

125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat (Yayasan

Stroke Indonesia, 2009). Riset Kesehatan Dasar (2013) melaporkan prevalensi

stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara

(10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta

masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke di Sumatera Utara mencapai 10, 3%.

Laporan World Stroke Organization (WSO) tahun 2009, memperlihatkan

bahwa stroke merupakan penyebab utama hilangnya pekerjaan dan kualitas hidup

yang buruk. Kecacatan akibat stroke tidak hanya berdampak bagi penyandangnya,

akan tetapi juga berdampak bagi anggota keluarga. Penderita stroke yang

mengalami kecacatan bergantung pada dukungan emosional dan fisik dari

informal caregiver yang biasanya adalah anggota keluarga (Akosile, Okoye,

Nwankwo, Akosile & Mbada, 2011). Penelitian Artal dan Egido (2009) di

Amerika, sebesar 38% penderita stroke mengalami depresi yang disebabkan

ketidakmampuan bekerja karena cacat dan kegiatan sosial berkurang. Status

fungsional dan depresi yang dialami penderita stroke diidentifikasi sebagai

prediktor kualitas hidup

Kualitas hidup penderita stroke sangat bergantung pada kualitas

penatalaksanaan stroke yang diberikan secara holistik oleh tenaga kesehatan dan

(25)

al, 2009). Penanganan stroke secara umum dibagi menjadi dua tahap. Tahap akut

dan tahap paska akut atau tahap pemulihan. Sasaran pengobatan dititikberatkan

pada tindakan rehabilitasi, pencegahan komplikasi dan terjadinya stroke berulang

(National Institute of Neurological Disorder and Stroke, 2008, Harsono, 2000).

Namun apabila pasien stroke ini ditangani dengan baik, maka akan dapat

meminimalkan kecacatan dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam

beraktifitas. Perawat mempunyai peranan yang sangat besar dalam memberikan

asuhan keperawatan dan dukungan pada pasien stroke dan keluarganya. Peran

perawat dimulai dari tahap akut hingga tahap rehabilitasi, serta pencegahan

terjadinya komplikasi pada pasien stroke (National Institute of Neurological

Disorder and Stroke, 2008).

Peran perawat pada tahap paska rehabilitasi bukan hanya dalam hal

pencegahan komplikasi dan mengurangi faktor resiko terjadinya stroke berulang,

tetapi juga mengidentifikasi kebutuhan akan perencanaan pulang yang sesuai

dengan kebutuhan keluarga, dan memberikan informasi yang dibutuhkan, serta

mendorong keluarga untuk lebih efektif dalam melaksanakan perannya dan

bergerak melampaui ketidakmampuan mereka. Sedangkan peran utama perawat

terhadap keluarga pasien stroke yaitu meningkatkan koping keluarga melalui

penyuluhan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2002). Keluarga pasien sendiri berperan

besar dalam tahap pemulihan, sehingga sejak awal perawatan keluarga diharapkan

ikut terlibat pada penanganan pasien stroke.

Keluarga sebagai caregiver merupakan mitra penting dalam pemberian

(26)

pasien pasca stroke. Menurut Wilkinson (2009), dengan tren penyakit kronis saat

ini, seperti stroke yang menimbulkan ketidakberdayaan, kebutuhan perawatan

jangka panjang dan berkurangnya masa rawat di rumah sakit, keberadaan keluarga

sebagai caregiver dalam memberikan perawatan sangat berarti bagi pemulihan

pasien. Informal caregiver (anggota keluarga atau teman) memberikan perawatan

kepada individu dengan berbagai kondisi, seperti pada lansia, demensia dan

stroke.

Perhatian kesehatan lebih banyak berfokus pada penderita stroke.

Keluarga pasien sebagai caregiver yang selalu setia mendampingi selama hampir

24 jam disamping pasien, memberikan perawatan dan memberikan dukungan

emosional sering terlupakan untuk diteliti. Perawat menghabiskan waktu

terbanyak dengan pasien selama rawat inap, akan tetapi tetap saja mempunyai

waktu yang terbatas dalam interaksi dengan pasien stroke (Reinhard et al, 2008).

Perhatian pada caregiver ini penting karena keberhasilan pengobatan dan

perawatan pasien stroke tidak lepas dari bantuan dan dukungan yang diberikan.

Informasi tentang fluktuatif kondisi pasien, tanda dan gejala, respon pasien akan

pengobatan yang dijalani, hanya bisa didapatkan dari keluarga pasien yang

menjadi caregiver. Given, Given & Sherwood (2011), menyatakan bahwa

caregiver merupakan sumber dukungan utama individu dengan stroke dan

merupakan orang pertama yang merespon perubahan status pasien selama fase

perjalanan penyakitnya.

Seseorang yang menjadi caregiver dalam keluarga biasanya dilihat dari

(27)

baik sebagai suami/istri, yang menjadi caregiver primer adalah pasangannya,

sementara bagi pasien stroke lansia, anak yang sudah beranjak dewasalah yang

menjadi caregiver sekunder setelah pasangan lansia tersebut. Caregiver yang

sudah berusia lanjut memiliki level ketidakberdayaan lebih besar (Lowenstein &

Gilbar, 2000). Given et al (2005) menguraikan bahwa caregiver usia dewasa

pertengahan dan bekerja memiliki tingkat gejala depresi tertinggi daripada yang

lain, memiliki perasaan seolah akan ditinggalkan pasien, dan gangguan rutinitas

sehari-hari menjadi sumber konflik mereka.

Beberapa penelitian tentang caregiver menunjukkan hasil bahwa caregiver

merasa terbebani dalam merawat pasien stroke dan berdampak negatif terhadap

kesehatannya. Sekitar 30-48% caregiver keluarga mengalami stress psikologis

lebih besar dibandingkan dengan pasien yang dirawatnya. Williams (2003, dalam

Smith & Liehr, 2008) mengungkapkan dalam teori keperawatannya dinamika

caregiving (the dinamics of caregiving) bahwa komitmen, harapan dan hubungan

caregiver dengan pasien baik di masa lalu, sekarang dan masa depan memiliki

pengaruh dalam bentuk caring yang diberikan oleh caregiver. Penelitian kualitatif

tentang persepsi keluarga sebagai caregiver di Tanzania, oleh Walker (2007),

menunjukkan adanya dampak emosional negatif pada caregiver.

Pengalaman caregiver dalam merawat pasien stroke beragam dirasakan

masing-masing individu, mengingat keunikan yang ada pada diri manusia.

Penelitian kualitatif digunakan dalam menggali hal tersebut. Perhatian pemerintah

di beberapa negara maju terhadap caregiver sudah sangat luar biasa, dengan

(28)

Family Caregiver Association), National Alliance of caregiver di Amerika

Serikat. Semenjak tahun 1997, Amerika Serikat sudah menghargai keberadaan

caregiver, hak-hak caregiver dituangkan dalam a caregiver’s bill of right, dan

bulan November dijadikan sebagai bulan nasional caregiver keluarga (NFCA,

2012).

Melihat berbagai fenomena terkait peran keluarga sebagai caregiver

pasien stroke, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih dalam bagaimana

pengalaman keluarga sebagai caregiver dalam merawat pasien stroke di rumah.

Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan fenomenologi karena masih

sangat sedikit penelitian terkait pengalaman keluarga sebagai caregiver dalam

merawat pasien stroke di rumah yang dilakukan dengan desain kualitatif. Selain

itu, dengan menggunakan pendekatan fenomenologi akan diperoleh informasi

baru yang lebih banyak secara komprehensif dan mendalam terkait fenomena

keluarga sebagai caregiver dalam merawat pasien stroke di rumah yang belum

tentu dapat diperoleh melalui desain penelitian lain.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengalaman

keluarga sebagai caregiver dalam merawat pasien stroke di rumah?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam tentang

(29)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat berkontribusi terhadap praktik keperawatan terkait

peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara holistik pada pasien

stroke dan keluarga sebagai caregiver. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan makna pengalaman keluarga sebagai caregiver pasien stroke

sehingga dapat diidentifikasi intervensi keperawatan terhadap caregiver dalam

merawat pasien stroke agar dapat meningkatkan kualitas hidup pasien stroke yang

dirawatnya di rumah serta kualitas hidup caregiver yang merawatnya, sehingga

pada akhirnya akan menurunkan kejadian stroke berulang.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengembangkan riset

keperawatan. Data yang ditemukan dapat dipakai sebagai data dasar penelitian

selanjutnya terkait permasalahan yang muncul pada keluarga sebagai caregiver

dalam merawat pasien stroke di rumah.

Penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi pendidikan keperawatan.

Peran keluarga sebagai caregiver selama mendampingi pasien sangat penting

dalam pemulihan pasien stroke, sehingga penting dipelajari tentang cara

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Stroke

2.1.1 Definisi

Stroke merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan

suatu gangguan neurologis yang disebabkan terputusnya aliran darah ke sebagian

otak (Black & Hawks, 2009). Smeltzer dan Bare (2008) mendefinisikan stroke/

Gangguan Pembuluh Darah Otak (GPDO)/ Cerebro Vascular Disease (CVD),

Cerebro Vascular Accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang

diakibatkan oleh berhentinya suplai darah sebagian otak Sedangkan menurut

Ginsberg (2007), stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan atau gejala

hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal atau global yang berkembang cepat.

Istilah Cerebro Vascular Disease (CVD) menunjukkan setiap kelainan

serebral yang disebabkan karena proses patologis pembuluh darah serebral yang

disebabkan karena proses patologis pembuluh darah serebral seperti sumbatan

pada lumen pembuluh darah otak oleh trombus atau embolus, pecahnya pembuluh

darah serebri, lesi atau perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan

peningkatan viskositas atau perubahan lain pada kualitas darah yang

menyebabkan pasokan oksigen dan nutrisi ke serebral terhambat (Mokhtar, 2009

dan Standford Stroke Center, 2009).

Stroke merupakan penyebab kematian ke tiga paling sering di Amerika

Serikat, disamping kanker dan penyakit jantung. Lebih dari 275.000 orang

(31)

ketidakmampuan/kecacatan pada orang dewasa dan membutuhkan perawatan

jangka panjang. Lebih dari 4 juta penderita stroke hidup dalam derajat

ketidakmampuan di Amerika Serikat. Dari penderita stroke tersebut, 31%

membutuhkan bantuan dalam perawatan diri, 20% membutuhkan bantuan dalam

hal ambulasi, 71% mengalami beberapa kerusakan dalam kemampuan bicara

bahkan sampai 7 tahun setelah terkena stroke, dan 16% membutuhkan perawatan

institusional (Black & Hawks, 2009).

2.1.2 Klasifikasi Stroke

Price dan Wilson (2006) mengklasifikasikan stroke berdasarkan patologi

anatomi dan penyebabnya, yaitu:

1. Stroke Iskemia

Iskemia serebrum ini menduduki 80-85% dari seluruh kasus stroke.

Penyakit serbrovaskular iskemia ini dibagi menjadi dua kategori besar yaitu oklusi

trombolitik dan oklusi embolitik. Penyebab pasti stroke iskemia masih belum

dapat ditentukan dengan pasti. Lima belas persen stroke iskemia disebabkan oleh

stroke lakunar. Iskemia serebrum disebabkan karena berkurangnya aliran darah ke

otak yang berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit, dimana bila

terjadi lebih dari beberapa menit akan terjadi infark pada jaringan otak Price dan

Wilson (2006).

Lewis et al (2011) menyatakan bahwa stroke iskemik dihasilkan dari tidak

adekuatnya aliran darah ke otak yang disebabkan adanya sumbatan sebagian atau

total pembuluh darah arteri. Transient Ischemic Attack (TIA) biasanya prekursor

(32)

stroke iskemik dapat dibagi menjadi: Transient Ischemic Attack (TIA), Thrombotic

Stroke, A Lacunar Stroke, dan Embolic Stroke (Lewis et al, 2011).

2. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik menduduki 15-20% dari semua kasus stroke. Pendarahan

intrakranium ini dapat terjadi di jaringan otak itu sendiri (parenkim), ruang

subarachnoid, subdural atau epidural. Stroke jenis ini disebabkan oleh pecahnya

pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadian berlangsung

saat melakukan aktifitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat.

Kesadaran pasien umumnya menurun. Perdarahan otak dibagi 2 yaitu:

a. Perdarahan Intraserebral

Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisme) terutama karena hipertensi

yang mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa

yang menekan jaringan otak dan menimbulkan edema otak. Peningkatan tekanan

intrakranial (TIK) yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak

karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hipertensi

sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons, dan serebelum.

b. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisme berry atau arterivenous

malvormation (AVM). Aneurisma yang pecah ini berasalh dari pembuluh darah

sirkulasi willis dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak

(Juwono, 1993). Pecahnya arteri dan keluar ke ruang subarachnoid menyebabkan

TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka nyaeri dan vasospasme

(33)

penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparesis, gangguan hemisensorik, afasia,

dll). Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subarachnoid mengakibatkan

terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri,

sehingga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan

tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya.

Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan

subarachnoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid

dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme

seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya

pada hari kelima sampai kesembilan, dan dapat menghilang setelah minggu kedua

sampai kelima. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara

bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serbrospinalos

dengan pembuluh arteri di ruang subarachnoid. Vasospasme ini dapat

mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun

fokal (hemiparesis, gangguan hemisensorik, afasia dan lain-lain). Otak dapat

berfungsi jika kebutuhan oksigen dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang

dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak

tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kerusakan dan kekurangan aliran darah

otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.

Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar

metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan

koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,

(34)

disfungsi serebral. Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi oksigen

melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh

darah otak (Price & Wilson, 2006).

2.1.3 Faktor Risiko Stroke

Lewis, et al (2011) membagi faktor resiko stroke menjadi dua bagian yaitu

faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat

dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, riwayat

keluarga, jenis kelamin, dan ras. Usia sangat berperan dalam resiko peningkatan

penyakit stroke, yaitu pada usia 55 tahun ke atas. Prevalensi kejadian stroke pada

pria dan wanita hampir sama, hanya saja wanita lebih banyak meninggal akibat

stroke dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan wanita lebih rendah dalam bertahan

hidup. Ras African American mempunyai insiden tertinggi dari stroke dan

kejadian meninggal lebih tinggi dibandingkan berkulit putih.

Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi meliputi hipertensi, kadar

kolesterol dan lemak darah, diabetes mellitus, kebiasaan merokok, aktivitas fisik,

penggunaan kontrasepsi hormonal, dan obesitas. Faktor resiko yang dapat diubah

ini sangat berhubungan dengan gaya hidup, sehingga sangat diperlukan kerjasama

keluarga dalam perubahan gaya hidup ke arah yang lebih sehat.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Smeltzer dan Bare (2008) menyebutkan stroke dapat menyebabkan

berbagai defisit neurologis yang bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah

(35)

darah kolateral (sekunder atau aksesoris). Beberapa defisit neurologis yang dapat

ditimbulkan akibat stroke yaitu defisit motorik, defisit sensori, defisit perceptual,

kerusakan bahasa dan komunikasi, kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik,

disfungsi aktifitas mental dan psikologik, dan gangguan eliminasi.

Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan

control volenteer terhadap gerakan motorik. Disfungsi motor paling umum adalah

hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi tubuh), dan hemiparesis (kelemahan

pada salah satu sisi tubuh). Defisit motorik yang lainnya adalah disatria

(kerusakan otot-otot bicara) dan disfagia (kerusakan otot-otot menelan) (Smeltzer

& Bare 2002). Lewis et al (2011) menyebutkan bahwa defisit motorik pada stroke

adalah efek yang paling sering ditemukan. Defisi motorik meliputi kerusakan (1)

mobilitas, (2) fungsi respirasi, (3) menelan dan berbicara, (4) reflex gag, (5)

ketidakmampuan self-care.

Defisit sensori pada pasien stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan

atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk

merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam

menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan audiotorius (Smeltzer & Bare,

2008). Defisit visual umum terjadi karena jaras visual terpotong sebagian besar

pada hemisfer serebri. Defisit visual ini terdiri dari hemianopsia homonimosa

(kehilangan pandangan pada setengah bidang pandang pada sisi yang sama),

diplopia (penglihatan ganda), serta penurunan ketajaman penglihatan. Defisit

(36)

nyeri, tekanan, panas dan dingin) dan tidak memberikan atau hilangnya respon

terhadap proprioresepsi (pengetahuan tentang posisi bagian tubuh).

Defisit perseptual (gangguan dalam merasakan dengan tepat dan

menginterpretasi diri dan/ atau lingkungan) juga dapat terjadi pada penderita

stroke. Defisit perseptual ini terdiri dari gangguan skem/maksud tubuh (amnesia

atau menyangkal terhadap ektremitas yang mengalami paralisis; kelainan

unilateral), disorientasi (waktu, tempat, orang), apraksia (kehilangan kemampuan

untuk menggunakan objek dengan tepat) dan agnosia (ketidakmampuan untuk

mengidentifikasi lingkungan melalui indera). Selain itu juga dapat terjadi kelainan

dalam menemukan letak objek dalam ruang, memperkirakan ukurannya dan

menilai jauhnya, kerusakan memori untuk mengingat letak spasial objek atau

tempat, serta disorientasi kanan kiri (Smeltzer & Bare, 2008).

Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan

komunikasi. Defisit bahasa dan kemunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal

berikut yaitu afasia ekspresif, berupa kesulitan dalam mengubah suara menjadi

pola-pola bicara yang dapat dipahami. Pada afasia ekspresif, pasien stroke dapat

berbicara dengan menggunakan respons satu kata. Afasia reseptif yaitu kerusakan

kelengkapan kata yang diucapkan. Pada afasia jenis ini, pasien stroke mampu

untuk berbicara, tetapi menggunakan kata-kata dengan tidak tepat dan tidak sadar

tentang kesalahan ini. Afasia global adalah kombinasi afasia ekspresif dan

reseptif, dimana pasien stroke tidak mampu berkomunikasi pada setiap tingkat.

(37)

dituliskan. Sedangkan agrafasia dimanifestasikan sebagai ketidakmampuan untuk

mengekspresikan ide-ide dalam tulisan (Smeltzer & Bare, 2002).

Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik pada pasien stroke muncul

bila terjadi kerusakan pada lobus frontal serebrum. Disfungsi dapat ditujukan

dengan lapang perhatian yang terbatas, peningkatan distraksibilitas (mudah

buyar), kesulitan dalam pemahaman, kehilangan memori (mudah lupa),

ketidakmampuan untuk menghitung, memberi alasan atau berpikir secara abstrak,

ketidakmampuan untuk mentransfer pembelajaran dari satu situasi ke situasi yang

lain, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien mengalami rasa frustasi

dalam program rehabilitasi yang dilakukan (Smeltzer & Bare, 2008).

Disfungsi aktifitas mental dan psikologik yang umumnya terjadi pada

pasien stroke, biasanya dimanifestasikan dengan labilitas emosional yang

menunjukkan reaksi dengan mudah atau ridak tepat. Selain itu, biasanya pasien

stroke menunjukkan kehilangan kontrol diri dan hambatan sosial, penurunan

toleransi terhadap stres, rasa ketakutan, pemusuhan, frustasi, dan mudah marah.

Pada tahap lanjut dapat terjadi kekacauan mental, menarik diri, isolasi dan depresi

(Smeltzer & Bare, 2008).

Disfungsi kandung kemih biasanya dimanifestasikan dengan inkontinesia

urinarius yang biasanya terjadi sementara. Hal ini terjadi karena konfusi,

ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk

menggunakan urinal/bedpan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Lesi

unilateral karena stroke mengakibatkan sensasi dan kontrol parsial kandung

(38)

inkontinensia urine. Jika lesi ada pada batang otak, maka akan terjadi kerusakan

lateral yang mengakibatkan neuron motorik bagian atas kandung kemih

kehilangan semua kontrol miksinya. Sedangkan kerusakan fungsi usus biasanya

diakibatkan karena penurunan tingkat kesadaran, dehidrasi atau immobilisasi. Hal

ini biasanya menimbulkan masalah konstipasi dan pengerasan feses pada pasien

stroke. Inkontinensia urine dan alvi yang berkelanjutan menunjukkan kerusakan

neurologi luas (Smeltzer & Bare, 2008).

Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke

sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami

oleh penderita kelumpuhan pascastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan

penderita. Untuk melihat tingkat keparahan kelumpuhan atau kecacatan stroke,

berikut ada skala yang digunakan yaitu Skala Kecacatan Stroke (The Modified

Rankin Scale):

1. Kecacatan derajat 0

Tidak ada gangguan fungsi

2. Kecacatan derajat 1

Hampir tidak ada gangguan fungsi pada aktivitas sehari-hari atau gangguan

minimal. Pasien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari-hari.

3. Kecacatan derajat 2 (Slight disability)

Pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi

(39)

4. Kecacatan derajat 3 (Moderate disability)

Pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan sendiri

tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin membutuhkan tongkat.

5. Kecacatan derajat 4 (Moderately severe disability)

Pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain, perlu bantuan orang lain

untuk menyelesaikan sebagian aktivitas diri seperti mandi, pergi ke toilet, merias

diri, dan lain-lain.

6. Kecacatan derajat 5 (Severe disability)

Pasien tepaksa terbaring di tempat tidur dan kegiatan buang air besar dan kecil

tidak terasa (inkontinensia), memerlukan perawatan dan perhatian.

7. Derajat 6 (Kematian)

Peneliti memasukkan skala kecacatan stroke tersebut mengingat bahwa

asumsi peneliti yang mengganggap bahwa tingkat keparahan dari kelumpuhan

yang dialami oleh penderita pascastroke akan berdampak pada penyesuaian

individu tersebut.

2.1.5 Penatalaksanaan Stroke

Lewis (2011) dan Harsono (2000) membedakan penatalaksanaan stroke ke

dalam tahap akut dan paska tahap akut, yang meliputi:

1. Tahap Akut (hari ke 0-14 setelah onset penyakit)

Pada tahap akut ini sasaran pengobatan yaitu menyelamatkan neuron yang

cedera agari tidak terjadi nekrosis, serta agar proses patologis lainnya yang

menyertai tidak mengganggu/mengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang

(40)

beberapa fungsi diantaranya respirasi yang ahrus dijaga agar tetap bersih dan

bebas dari benda asing. Fungsi jantung harus tetap dipertahankan pada tingkat

yang optimal agar tidak menurunkan perfusi otak. Kadar gula darah yang tinggi

pada tahap akut, tidak diturunkan dengan drastis.

Bila pasien telah masuk dalam kondisi kegawatan dan terjadi penurunan

kesadaran, maka kesimbangan cairan, elektrolit dan asam basa darah harus

dipantau dengan ketat. Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan aliran darah

dan metabolisme otak diantaranya adalah obat-obatan anti edema seperti gliserol

10% dan kortikosteroid. Selain itu digunakan anti agregasi trombosit dan

antikoagulansia. Untuk stroke hemoragik, pengobatan perdarahan otak ditujukan

untuk hemostasis (Lewis, 2011 & Harsono, 2000).

2. Tahap paska akut/ tahap rehabilitasi

Setelah tahap akut berlalu, sasaran pengobatan dititikberatkan pada tindakan

rehabilitasi penderita dan pencegahan terjadinya stroke berulang. Rehabilitasi

yang dilakukan berujuan untuk pemulihan keadaan dan mengurangi derajat

ketidakmampuan. Ini dilakukan dengan pendekatan memulihkan keterampilan

lama, untuk anggota tubuh yang lumpuh, memperkenalkan sekaligus melatih

keterampilan baru untuk anggota tubuh yang tidak mengalami kelumpuhan,

memperoleh kembali hal-hal atau kapasitas yang telah hilang diluar kelumpuhan,

serta mempengaruhi sikap penderita, keluarga, dan terapeutik tim

(41)

2.1.6 Dukungan Sosial bagi Pasien Stroke Paska Akut

Dukungan sosial adalah derajat dukungan yang diberikan kepada individu,

khususnya saat dibutuhkan oleh orang yang memiliki hubungan emosional yang

dekat dengan orang tersebut. Dukungan sosial ini dapat bersumber dari keluarga,

teman atau sahabat, dokter, perawat atau siapapun yang memiliki hubungan

berarti bagi individu tersebut (Gonallen & Bloney, dalam As’ari, 2005).

Keluarga sangat memegang peranan penting selama perawatan tahap paska

akut pasien stroke di rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan perawatan

sehari-hari dan rehabilitasi. Merawat pasien dengan stroke merupakan suatu hal yang

serius. Keluarga, berapapun usia dan keadaan mereka, memerlukan informasi,

edukasi dan dukungan sosial untuk dapat melaksanakan perawatan pasien dan

dapat beradaptasi dengan peran baru mereka.

2.2. Konsep Caregiver

2.2.1 Definisi

Definisi caregiver dalam Merriam-Webster Dictionary (2012) adalah

orang yang memberikan perawatan langsung pada anak atau orang dewasa yang

menderita penyakit kronis. Elsevier (2009) menyatakan caregiver sebagai

seseorang yang memberikan bantuan medis, sosial, ekonomi, atau sumber daya

lingkungan kepada seseorang individu yang mengalami ketergantungan baik

(42)

Definisi caregiver dari literatur bahasa Indonesia, dikemukakan oleh

Subroto (2012) sebagai:

.. seseorang yang bertugas untuk membantu orang-orang yang ada hambatan untuk melakukan kegiatan fisik sehari-hari baik yang bersifat kegiatan harian personal (personal activity daily living) seperti makan, minum, berjalan, atau kegiatan harian yang bersifat instrumental (instrumental daily living) seperti memakai pakaian, mandi, menelpon atau belanja.

Menurut Mifflin (2007) menyatakan caregiver sebagai seseorang dalam

keluarga, baik itu orang tua angkat, atau anggota keluarga lain yang membantu

memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang mengalami ketergantungan.

Caregiver keluarga (family caregiver) didefinisikan sebagai individu yang

memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan untuk sebagai waktunya secara

sungguh-sungguh setiap hari dan dalam waktu periode yang lama, bagi anggota

keluarganya yang menderita penyakit kronis (Pfeiffer, dalam Tantono dkk, 2006).

Caregiving merupakan suatu istilah yang berarti memberikan perawatan kepada

seseorang dengan kondisi medis yang kronis. Informal atau lay caregiving adalah

aktivitas membantu individu yang memiliki hubungan personal dengan caregiver

(Tantono, 2006).

2.2.2. Jenis Caregiver

Caregiver dibagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal.

Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota keluarga, teman, atau

tetangga) yang memberikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang

waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan

formal caregiver adalah caregiver yang merupakan bagian dari sistem pelayanan,

(43)

Timonen (2009) menyebutkan terdapat dua jenis caregiver, yaitu formal

dan informal. Caregiver formal atau disebut juga penyedia layanan kesehatan

adalah anggota suatu organisasi yang dibayar dan dapat menjelaskan norma

praktik, profesional, perawat atau relawan. Sementara informal caregiver

bukanlah anggota organisasi, tidak memiliki pelatihan formal dan tidak

bertanggung jawab terhadap standar praktik, dapat berupa anggota keluarga

ataupun teman. Dengan demikian caregiver keluarga merupakan bagian dari

informal caregiver.

Family caregiver atau caregiver keluarga menurut Wenberg (2011) adalah

pasangan, anak dewasa, kenalan pasangan atau teman yang memiliki hubungan

pribadi dengan pasien, dan memberikan berbagai bantuan yang tidak dibayar

untuk orang dewasa yang lebih tua dengan kondisi kronis atau lemah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa caregiver keluarga adalah

anggota keluarga pasien, yang bersedia dan bertanggung jawab dalam merawat,

memberikan dukungan secara fisik, sosial, emosional serta menyediakan

waktunya untuk pasien yang menderita stroke hingga pulih atau bahkan hingga

akhir hayatnya.

2.2.3. Tugas dan Peran Caregiver Keluarga

Fungsi dari caregiver adalah menyediakan makanan, membawa pasien ke

dokter, dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang dan perhatian

(Tantono, 2006). Seperti kita ketahui gangguan fisik pasien stroke sendiri adalah

gangguan dimana faktor psikis yang berperan. Caregiver juga membantu pasien

(44)

caregiver ini yang membuat keputusan untuk pasiennya. Keluarga sebagai

caregiver merupakan penasihat yang sangat penting dan diperlukan oleh pasien

(Tantono, 2006).

Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Arksey, et al (2005) tentang

tugas-tugas yang dilakukan caregiver di United Kingdom, antara lain termasuk:

a. Bantuan dalam perawatan diri yang terdiri dari dressing, bathing, toileting.

b. Bantuan dalam mobilitas seperti: berjalan, naik atau turun dari tempat tidur

c. Melakukan tugas keperawata seperti: memberikan obat dan mengganti balutan

luka.

d. Memberikan dukungan emosional

e. Menjadi pendamping

f. Melakukan tugas-tugas rumah tangga seperti: memasak, belanja, pekerjaan

kebersihan rumah, dan

g. Bantuan dalam masalah keuangan dan pekerjaan kantor.

Milligan (2004) dalam penelitiannya menarik perhatian terhadap fakta

tugas caregiver pada lansia. Tugas yang dilakukan caregiver tidak hanya terbatas

kepada pekerjaan rumah tangga, akan tetapi dibagi ke dalam 4 kategori, sebagai

berikut:

a. Physical Care/ Perawatan fisik, yaitu: memberi makan, mengganti pakaian,

memotong kuku, membersihkan kamar, dan lain-lain.

b. Social Care/ Kepedulian sosial, antara lain: mengunjungi tempat hiburan,

menjadi supir, bertindak sebagai sumber informasi dari seluruh dunia di luar

(45)

c. Emotional Care, yaitu menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih sayang kepada

pasien yang tidak selalu ditunjukkan ataupun dikatakan namun ditunjukkan

melalui tugas-tugas lain yang dikerjakan.

d. Quality care, yaitu: memantau tingkat perawatan, standar pengobatan, dan

indikasi kesehatan, serta berurusan dengan masalah yang timbul.

2.2.4. Beban pada Caregiver

Beban keluarga merupakan suatu tolak ukur utama dalam menilai dampak

terhadap anggota keluarga lain dari perawatan penderita gangguan jiwa

(Djatmiko, 2004). Beban caregiver (caregiver burden) didefinisikan sebagai

tekanan-tekanan mental atau beban yang muncul pada orang yang merawat lansia,

penyakit kronis, anggota keluarga atau orang lain yang cacat. Beban caregiver

merupakan stress multidimensi yang tampak pada diri seorang caregiver.

Pengalaman caregiving berhubungan dengan respon yang multidimensi terhadap

tekanan-tekanan fisik, psikologis, emosi, sosial dan financial (Tantono, 2006).

Beban caregiver dibagi atas dua yaitu beban subjektif dan beban objektif.

Beban subjektif caregiver adalah respon psikologis yang di alami caregiver

sebagai akibat perannya dalam merawat pasien. Sedangkan beban objektif

caregiver yaitu masalah praktis yang di alami oleh caregiver, seperti masalah

keuangan, gangguan pada kesehatan fisik, masalah dalam pekerjaan, dan aktivitas

sosial (Sukmarini, 2009).

Ada 3 faktor beban caregiver yaitu efek dalam kehidupan pribadi dan

sosial caregiver, beban psikologis dan perasaan bersalah. Caregiver harus

(46)

menyenangkan, menyebabkan stress psikologis dan melelahkan secara fisik.

Beban psikologis yang dirasakan oleh caregiver antara lain rasa malu, marah,

tegang, tertekan, lelah dan tidak pasti. Faktor terakhir berhubungan dengan

perasaan bersalah seperti seharusnya dapat melakukan lebih banyak, tidak dapat

merawat dengan baik dan sebagainya (Anneke, 2009).

Perawatan yang dilakukan caregiver tergantung pada level

ketidakmampuan pasien (progress penyakit). Lefley (1996, dalam Sales, 2003),

menjabarkan beban caregiver dengan penyakit kronis secara rinci antara lain:

(1) Ketergantungan ekonomi pasien, (2) Gangguan rutinitas harian,

(3) Manajemen perilaku, (4) Permintaan waktu dan energi, (5) Interaksi yang

membingungkan atau memalukan dengan penyedia layanan kesehatan, (6) Biaya

pengobatan dan perawatan, (7) Penyimpangan kebutuhan anggota keluarga lain,

(8) Gangguan bersosialisasi, (9) Ketidakmampuan menemukan setting perawatan

yang memuaskan.

Penelitian yang dilakukan Aoun (2004), menemukan dampak caregiving

pada caregiver dengan pasien paliatif di Australia, yaitu:

a. Pendapatan sering tidak cukup karena biaya yang dikeluarkan selama

perawatan.

b. Dampak kesehatan yang umum pada caregiver, akan tetapi caregiver sering

mengabaikannya atau mengurangi pentingnya menjaga kesehatan.

c. Gangguan tidur menyebabkan kelelahan caregiver.

d. Berkurangnya kegiatan sosial dan aktivitas fisik caregiver sehingga

(47)

e. Perawatan pada pasien dengan paliative care secara emosional menuntut

caregiver sehingga mengalami rasa bersalah, kecemasan, kemarahan, frustasi,

takut, depresi, kehilangan kendali, dan perasaan tidak mampu.

2.2.5. Dukungan dan Kebutuhan Caregiver

Dukungan yang diberikan oleh caregiver adalah penting untuk membantu

kesembuhan pasien baik dari segi fisik, psikososial, dan spiritual. Tujuan dari

rencana pendidikan kesehatan juga berbeda antara pasien dan caregiver.

Caregiver mungkin membutuhkan bantuan dalam mempelajari perawatan fisik

dan teknik penggunaan alat bantu perawatan., menemukan sumber home care,

menempatkan peralatan, menata lingkungan rumah untuk mengakomodasi

kesembuhan pasien (Lewis, et al, 2011).

Pasien dan caregiver mungkin memiliki kebutuhan akan pengajaran yang

berbeda. Misalnya, prioritas utama untuk pasien lansia yang menderita diabetes

dengan luka ynag luas di telapak kaki perlu pengajaran tentang bagaimana

berpindah dari kursi dengan cara yang benar. Di lain pihak, caregiver harus lebih

fokus mengetahui teknik mengganti balutan luka. Pemberian rencana pengajaran

yang sukses disarankan untuk melihat dari kebutuhan pasien dan kebutuhan

caregiver yang merawat pasien (Lewis, et al, 2011).

Penelitian Yedidia dan Tiedemann, (2008) berdasarkan tugas caregiver,

menyimpulkan kebutuhan caregiver yaitu: (1) Kebutuhan akan informasi tentang

pelayanan yang tersedia, (2) Manajemen stress dan strategi koping, (3) Masalah

keuangan dan asuransi, (4) Masalah komunikasi dengan profesional kesehatan,

(48)

(7) Bantuan tentang tugas-tugas perawatan, (8) Bantuan berkomunikasi dengan

pasien, (9) Nasihat hukum, (10) Informasi tentang obat, (11) Bantuan mengatasi

masalah akhir kehidupan, (12) Panduan memindahkan pasien ke fasilitas yang

mendukung, (13) Bantuan berurusan dengan keluarga.

Kebutuhan-kebutuhan caregiver tersebut hendaknya dapat dikaji oleh

perawat agar beban yang dirasakan caregiver stroke dapat berkurang. WGBH

(Western Great Blue Hill) Educational Foundation (2008) menyatakan bahwa

dalam memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuan caring, caregiver

diharapkan memiliki keahlian dalam:

a. Berkomunikasi

Mengekspresikan kebutuhan dan perasaan serta mampu mendengar

kebutuhan dan perasaan orang lain merupakan keterampilan penting dalam

menangani pasien stroke. Saat perasaan pasien dan caregiver mampu diutarakan,

hal tersebut dapat mendukung satu sama lain, dan mengurangi stres yang diikuti

oleh kemarahan atau kesedihan. Dengan melepaskan masalah, perawatan pasien

stroek dapat ditata sedemikian rupa sehingga pengobatan dapat lebih efektif.

b. Menemukan informasi

Kebutuhan akan informasi stroke sangat diperlukan untuk membuat

keputusan, memecahkan masalah, dan mencari pertolongan. Dengan mencari

informasi, caregiver akan lebih mampu memahami penyakit dan pengobatan,

(49)

c. Membuat keputusan

Diagnosis stroke membutuhkan keputusan penting tentang pilihan

pengobatan dan gaya hidup. Bagi pasien stroke ini membutuhkan bantuan

caregiver dan pandangannya dalam memutuskan sesuatu.

d. Memecahkan masalah

Dalam menghadapi perubahan yang disebabkan oleh stroke dan

beradaptasi akan kondisi tersebut, membutuhkan bantuan luar, seperti dari

perawat, pekerja sosial, organisasi stroke, kelompok sosial lainnya, internet,

teman dan keluarga.

e. Bernegosiasi

Dengan adanya persetujuan kerja bagi masing-masing orang, akan

mengurangi ketegangan peran caregiver.

f. Memberanikan diri

Menghilangkan keraguan untuk mencari bantuan apa saja untuk caregiver

(50)

Gbr. 2.1. Perawatan Stroke Berkelanjutan dan Beban Caregiver Keluarga Sumber: (Mc Cockle, Grant, Frank-Stromborg, & Baird, 1996)

Dari gambaran di atas, latar belakang keluarga berupa hubungan keluarga

terdahulu, harmonis, penuh konflik atau tidak, perlu dikaji sehubungan dengan

kualitas rawatan yang akan diberikan pada pasen stroke. Integrasi sosial mereka

sebelumnya mempengaruhi keefektifan perawatan dan ketegangan yang

dihasilkan. Tahap perkembangan keluarga caregiver juga perlu dikaji, oleh karena

pada caregiver dewasa dan bekerja, ketegangan peran timbul dikarenakan ia

harus mengurangi waktu untuk dirinya sendiri. Aktivitas sosial dan privasi bagi Latar belakang

(51)

yang pensiun tidak menimbulkan masalah, namun bagi anak dewasa merupakan

masalah penting.

Karakteristik pasien berupa faktor usia menimbulkan pengaruh, seperti

pada caregiver lansia dengan masalah penurunan kemampuan fisiknya,

memerlukan bantuan untuk perawata fisik dan masalah administrasi yang

mengarah kepada ketegangan dan stres caregiver. Dari segi pengaturan hidup,

dengan adanya perpindahan pasien dari rumah ke rumah sakit atau sebaliknya

misalnya, alam menimbulkan distres. Karakteristik pasien berupa usia, jenis

kelamin, pekerjaan, status finansial, status pernikahan, pengaturan hidup dan

peran biasanya, ini perlu dipertimbangkan dalam kontribusinya terhadap beban

caregiver.

Semakin jauh hubungan kekerabatan dengan caregiver, semakin kurang

pula perasaan caregiver untuk merawat pasien. Pada caregiver pasangan,

memiliki beban tertentu oleh karena perawatan yang diberikannya mencakup

aspek keseluruhan, berperan lebih lama, toleransi lebih tinggi, apabila

dibandingkan dengan yang bukan pasangannya, kewajiban dan harapannya dalam

merawat kurang.

Menurut Walker (2007), beban yang dirasakan caregiver, dapat dibagi atas

2 hal, yaitu: respon emosi caregiver dankesehatan fisik caregiver.

a. Respon emosi caregiver.

Distres pada caregiver biasanya diperlihatkan sebagai depresi atau beban

(52)

penyedia layanan keperawatan, yang dimanifestasikan oleh perasaan kesendirian,

isolasi, ketakutan dan merasa mudah diganggu.

Hirst (2005) menemukan masalah kesehatan mental yang timbul secara

langsung terhadap caregiver dalam proses perawatan pasien. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa caregiver yang memberikan perawatan kepada pasien/

keluarga lebih dari 20 jam atau lebih per minggu adalah dua kali lipat berisiko

mengalami tekanan psikologis dan efek ini lebih besar pada caregiver wanita.

Penelitian yang dilakukan Kalliath dan Kalliath (2000) di Selandia Baru pada

caregiver pasien stroke, menemukan terdapat kelelahan emosional dikaitkan

dengan gejala kelelahan, depersonalisasi, dan penurunan prestasi pribadi.

Cameron et al (2006) menemukan sebesar 44% dari 94 orang caregiver

berkebangsaan Canada pada pasien stroke beresiko terkena depresi klinis.

b. Kesehatan fisik caregiver.

Pengalaman caregiver akan kondisi yang menghasilkan stres kronik yang

kemudian menimbulkan respon dengan melepas glukokortikoid dan katekolamin

sebagai hasil progres penyakit dan pengobatan yang lama, dimana dapat

berdampak negatif pada sistem imunitas caregiver dan mempengaruhi

kesehatannya.

Hasil survey yang dilakukan oleh Vitaliano, et al (2003, 2004)

menemukan dampak kesehatan fisik bagi caregiver pada lansia dengan demensia.

Pada penelitian tersebut, caregiver melaporkan mengalami gangguan kesehatan

fisik dan membutuhkan pengobatan yang lebih sering dibandingkan bukan

(53)

lain menunjukkan bahwa caregiver menghasilkan produksi antibodi yang rendah,

tingginya gangguan tidur dan kurang adekuatnya diet.

Sebagian besar caregiver adalah wanita. Menurut Montgomery, Rowse,

dan Kosloski (2007), wanita diketahui memiliki waktu istirahat dan latihan yang

kurang dibandingkan pria. Sehingga terjadi perubahan kardiovaskuler seperti

tekanan darah meningkat. Kurangnya waktu untuk merawat diri sendiri karena

permintaan rawatan yang berkesinambungan dapat berdampak negatif pada

kesehatan caregiver.

2.3. Landasan Teori Keperawatan (Theory of Caregiving Dynamics)

Theory of Caregiving Dynamics merupakan bagian dari pengembangan

middle range theory dalam keperawatan. Teori ini diciptakan oleh Loretta A.

Williams pada tahun 2003 dengan konsep nama “ Informal Caregiving Dynamic”.

Kata informal menimbulkan kesalahpahaman dalam mengartikannya, sehingga

konsep nama teori tersebut diganti menjadi theory of caregiving dynamics. Proses

caregiving dalam hal ini mengacu terhadap perawatan yang dilakukan oleh

anggota keluarga, teman, dan tetangga (Williams, 2003).

Theory of Caregiving Dynamics dipilih sebagai model konseptual dalam

penelitian ini karena teori ini sangat cocok dengan tujuan penelitian yaitu untuk

mengeskplorasi pengalaman keluarga/ informal caregiving dalam merawat pasien

stroke di rumah. Informal caregiving adalah seseorang yang memberikan bantuan

tanpa bayaran kepada seseorang yang memiliki masalah kesehatan. Selanjutnya,

yang dimaksud informal caregiving biasanya anggota keluarga, teman, atau

(54)

Informal caregiving sering melakukan beberapa tugas yang melibatkan

tuntutan secara fisik, emosional, sosial, atau finansial (Biegel, Sales, & Schulz,

1991) dan menyebabkan perubahan dalam status kesehatan caregiver. Sebuah

tugas penting bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya untuk membantu

informal caregiver untuk meningkatkan peran caregiver bagi dirinya sendiri dan

keluarga yang dirawat. Untuk mewujudkan peran perawat tersebut, diperlukan

pemahaman tentang konsep dynamics of caregiving.

2.3.1. Konsep Teori

Konsep mayor teori dinamika caregiving adalah komitmen, manajemen

ekspektasi, dan negosiasi peran. Self care (perawatan diri), pengetahuan baru, dan

dukungan adalah konsep yang saling terkait, masing-masing terhubung dengan

konsep mayor. Dinamika caregiving adalah suatu proses interaksi dari komitmen,

manajemen ekspektasi, dan negosiasi peran yang didukung oleh perawatan diri,

pengetahuan baru, dan dukungan yang menggerakkan hubungan caregiving yang

erat sepanjang perjalanan penyakit (Smith & Liehr, 2014).

A. Komitmen

Komitmen yaitu caregiver bertanggung jawab dalam menginspirasi

perubahan hidup dan membuat pasien menjadi prioritas. Komitmen merupakan

panggilan jiwa bagi seorang caregiver untuk selalu ada memberikan dukungan

meskipun mereka tidak memiliki pengalaman yang sama, akan tetapi mempunyai

hubungan kasih sayang dengan pasien. Komitmen menjadi seorang caregiver

merupakan komitmen jangka panjang. Apalagi menjadi caregiver pasien dengan

(55)

(2007), terdapat empat dimensi komitmen, yaitu: (1) enduring responsibility /

bertanggung jawab, (2) making the patient a priority / menjadikan pasien

prioritas, (3) supportive presence/ selalu ada memberikan dukungan, dan (4)

self-affirming loving connection / keyakinan adanya hubungan kasih sayang.

Enduring responsibility adalah tekad caregiver untuk memberikan

perawatan meskipun sulit dan dalam waktu yang lama. Enduring responsibility

berdasarkan kewajiban, hubungan timabal balik, atau cinta yang telah dijalin jauh

sebelum sakit dan terus berlanjut sampai sembuh (Williams, 2007). Making the

patient a priority adalah menempatkan kebutuhan merawat pasien diatas

kebutuhan dan keinginan lainnya karena kesejahteraan pasien adalah tujuan yang

paling penting (Williams, 2007). Supportive presence adalah memberikan pasien

kenyamanan, dorongan, dan sikap yang positif ketika caregiver tidak melakukan

hal lain selain untuk membantu pasien. Perasaan caregiver yang kuat dalam

memahami secara penuh apa yang dirasakan pasien, kebutuhan emosional pasien,

keinginan pasien secara akurat diidentifikasi dan dipenuhi (Williams, 2007).

Self-affirming loving connection adalah suatu perasaan yang saling terbuka antara

caregiver dan pasien sehingga bisa memenuhi kebutuhan pasien adalah kepuasan

tersendiri bagi caregiver (Williams, 2007). Self Care (perawatan diri) adalah

sebuah konsep yang berkaitan dengan komitmen.

Self-Care (Perawatan Diri)

Perawatan diri yaitu bertindak untuk menjaga kesehatan dengan

mengembangkan kebiasaan hidup sehat sambil mengeluarkan perasaan dan

(56)

diperlukan. Terdapat empat dimensi dari self-care, yaitu dukungan lingkungan

fisik, menanamkan kebiasaan hidup sehat, mengungkapkan perasaan, dan

menjauh darinya (Williams, 2007).

Dukungan lingkungan fisik terdiri dari tempat tinggal, makanan, dan

fasilitas lainnya yang memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi caregiver

dan pasien. Menanamkan kebiasaan hidup sehat yaitu melakukan tindakan untuk

mempertahankan dan meningkatkan kesehatan selama proses pemberian

perawatan. Caregiver dan pasien saling mendukung untuk meningkatkan

kesehatan seperti makan teratur dan olahraga. Mengeluarkan perasaan yaitu

menemukan suatu cara untuk mengungkapkan perasaan dan frustasi selama proses

pemberian perawatan. Caregiver bisa komunikasi dengan intens dengan orang

lain untuk mengungkapkan perasaannya atau dengan menulis dan metode lain

untuk mengekspresikan perasaannya. Menjauh darinya diartikan bahwa caregiver

ingin menjauh dari situasi tuntutan penyakit, pengobatan, dan proses pemberian

perawatan. Akan tetapi, secara hati nurani, caregiver merasa bersalah untuk

meninggalkan pasien (Williams, 2007).

B. Expectation Mangement/ Manajemen Ekspektasi

Mengatur ekspektasi pada pasien, merupakan suatu kondisi yang

diharapkan dimasa mendatang untuk kembali kepada kondisi normal. Pandangan

ke masa depan, akan dihadapkan pada ketakutan akan masa depan apakah bisa

kembali kepada kondisi normal atau tidak. Kenyataan dan ekspektasi merupakan

bagian yang perlu dibangun oleh caregiver untuk memperbaiki kualitas hubungan

(57)

ekspektasi, yaitu: (1) envisioning tomorrow/ membayangkan besok, (2) getting

back to normal/ kembali ke keadaan normal, (3) taking one day at time/

menyediakan satu hari pada suatu waktu, (4) gauging behaviour/ mengukur

perilaku, dan(5) reconciling treatment twist and turns.

Envisioning tomorrow yaitu berbaur dengan masa depan yang ambigu

dengan harapan dan ketakutan. Gambaran masa depan berada pada rentang

tertentu dan spesifik serta sangat samar dan umum. Membayangkan masa depan

yang penuh harapan, memiliki caregiver dengan tujuan berjuang untuk bertahan

dalam kesulitan bahkan membayangkan masa depan yang penuh ketakutan

memungkinkan caregiver mengalami kerugian dan mempersiapkan diri kecewa di

masa depan (Williams, 2007). Getting back to normal adalah melihat seberkas

cahaya kecil harapan dan mengantisipasi kembalinya ke keadaan akibat tuntutan

penyakit atau pengobatan (Williams, 2007). Taking one day at time yaitu

berfokus pada saat ini sebagai sarana berurusan dengan masa depan yang tidak

dapat dibayangkan. Sebagai perspektif dan prioritas berubah dengan orientasi saat

ini, upaya dapat dilakukan untuk memperlambat dan membuat yang terbaik saat

ini menuju masa depan yang pasti. Caregiver kadang-kadang menghindari masa

depan karena mereka takut apa yang akan terjadi, tetapi di lain waktu mereka

menikmati aspek-aspek positif pada saat ini (Williams, 2007). Gauging behaviour

yaitu menjelaskan, memprediksi, atau bereaksi terhadap tindakan atau pernyataan

pasien berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pasien. Ekspektasi yang

dikembangkan dari gauging behaviour memungkinkan caregiver dapat bereaksi

Gambar

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Responden
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Telah menerima penjelasan yang diberikan oleh Indra Hizkia P, mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara mengenai

caregiver dalam merawat penderita strok di rumah terkait dengan memberikan dukungan secara total, membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar, penderitaan dan juga hikmah

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan (S.Kep) pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Jika saudara bersedia ikut dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara kepada saudara yang merupakan keluarga yang merawat pasien skizofrenia dirumah

Familycaregiver atau caregiver keluarga menurut Wenberg (2007) adalah pasangan, anak dewasa, kenalan pasangan atau teman yang memiliki hubungan pribadi dengan pasien, dan

Kondisi ini berdampak pada psikologis keluarga, sehingga keluarga merasa semakin terbeban oleh anggota keluarga yang menderita skizofrenia dan penderita

Peneliti merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, ingin melakukan penelitian untuk mengetahui “Pengaruh Minum

Peneliti adalah mahasiswa Program Pascasarjana Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, bermaksud mengadakan penelitian untuk mengetahui