• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Faktor Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Larva Nyamuk AedesAegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Faktor Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Larva Nyamuk AedesAegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:

Mentary Putry Rendy 109101000043

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

(2)
(3)

MENTARY PUTRY RENDY, NIM : 109101000043

Hubungan Faktor Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Larva Nyamuk AedesAegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013

XVII + 112halaman, 3 bagan, 2 gambar, 20 tabel, 4lampiran ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia dan sering menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di berbagai wilayah. Salah satu cara mencegahnya adalah dengan memutus siklus kehidupan nyamuk, khususnya pada stadium larva. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada penelitian ini, ditemukan larva nyamuk Aedes aegypti pada 4 dari 10 rumah yang diperiksa.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional, yang dilakukan pada bulan Juni-Juli di Kelurahan Sawah Lama Kota Tangerang Selatan tahun 2013. Tujuannya untuk mengetahui hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. Sampel pada penelitian ini merupakan ibu-ibu yang bertempat tinggal di Kelurahan Sawah Lama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 55% rumah responden ditemukan larva Aedes aegypti. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti dalam penelitian ini yaitu pengetahuan (p value 0,001), sikap (p value 0,004), praktek menguras tempat penampungan air (p value 0,013),praktekmenyingkirkanbarang-barangbekas yang dapatmenjaditempatpenampungan air(p value 0,032), jenis tempat penampungan air(p value 0,007). Sedangkan faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti dalam penelitian ini yaitu praktek menutup tempat penampungan air (p value 0,099) dan ketersediaan tutup pada tempat penampungan air (p value 0,621). Faktor yang paling dominan dengan keberadaan larva Aedes aegypti adalah pengetahuan.

Untuk mengurangi adanya keberadaan larva Aedes aegypti disarankan agar setiap masyarakat dan stakeholder bekerjasama untuk mencegah adanya larva dengan selalu berperilaku hidup bersih dan sehat sehingga dapat meniadakan tempat-tempat yang berpotensi untuk kelangsungan siklus hidup nyamuk.

Kata kunci : DBD, larva nyamuk Aedes aegypti, perilaku dan lingkungan Daftar bacaan : 62 (1971 - 2012)

(4)

Mentary Putry Rendy, NIM : 109101000043

Behavioral Factors Relationships And Environmental Factors With Aedes Aegypti Mosquito Larvae Presence In Kampung Sawah 2013

XVII + 112 pages, 3 charts, 2 images, 20 tables, 4 attachments ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a kind of diseases which causes an extra ordinary ambience in Indonesia and often become a major healthy problem of people among the citizen. One of the way to prevent this disease is to break the life cycle of mosquitoes, especially over the larva level. Based on result of the preliminary study in this research, 4 from 10 houses that had been checked there are larvae to be found over the research.

This research is quantitative research by approaching cross sectional, the research conducted on June-July at Sawah Lama village of Tanggerang Selatan in 2013. The objection of this research is to know about the correlation of the behavior factor and the environment factor over the larvae of Aedes aegypti that has exist on it at Sawah Lama district of Tanggerang Selatan in 2013. The samples of the research are the house wives as the resident of Sawah Lama district.

The result of the research showed that 55% houses as respondent have been found larve Aedes aegypti. The common factors that has a correlation with the existence of Aedes aegypti larva in this research is a knowledge (p value 0,001), behavior (p value 0,004), act of draining the water container (p value 0,013), act of throw out unusable thing that can be mosquito’s nest (p value 0,032), kind of water container (p value 0,007). More over factors that not related to Aedes aegypti larva in this research is the act of closing the water container cap (p value 0,099) and the existence of the water lid (p value 0,621). Dominantly, a knowledge factor as the most factor of the existence of Aedes aegypti larvae.

For reducing the existence of Aedes aegypti larvae, suggested to every people over the community and stakeholder work together to break the existence Aedes aegypti larva by applying clean and health life behavior in order to leave the environment prospects of mosquito’s life cycle.

Keywords : dengue, mosquito larvae of Aedes aegypti, behavioral and environmental References : 62 (1971 - 2012)

(5)
(6)
(7)

TTL : Pasir, 25Februari 1992

AlamatAsal : Surau Kamba No. 25, IV Angkat, Kab. Agam, Sumatera Barat AlamatSekarang : Jalan Nubala No. 25 B, RT. 004 / RW. 08, Pisangan, Ciputat,

Tangerang Selatan

Agama : Islam

Gol.Darah : A

Status : BelumMenikah No. Telp : 085697258905

Email : mentary.putry@yahoo.com

RiwayatPendidikan

2009 - sekarang : S1-Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2006 - 2009 : SMA Negeri 3 TeladanBukittinggi

2003 - 2006 : SMP Negeri 2 Bukittinggi 1997 - 2003 : SD Negeri 01 BPA Bukittinggi

PengalamanOrganisasi

2009 - 2010 : Anggota KSR PMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2010 – 2011 : Staff Publikasi dan Humas KSR PMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010 - 2011 : Koordinator Departemen Seni dan Budaya IKMM Ciputat

2011 - sekarang : Anggota Environmental Health Student Association (ENVIHSA) Indonesia

2011 - sekarang : Sekretaris I IKMM Ciputat

(8)

Engineering dengan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013 : Kerja Praktek di PT. Chevron Pacific Indonesia

(9)

Skripsi yang berjudul “Hubungan Faktor Perilaku dan Faktor Lingkungan dengan Keberadaan Larva Nyamuk Aedes Aegypti di Kelurahan Sawah Lama Kota Tangerang Selatan tahun 2013”. Sholawat dan salam juga dihaturkan kepada Rasulullah SAW, semoga kita memperoleh syafaatnya di akhirat nanti. Amin.

Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan hingga terselesaikannya laporan skripsi ini, diantaranya:

1. Orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan dukungan moril dan materil serta doa yang tulus untuk keberhasilan penulis.

2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjuddin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Febrianti, MSi, selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat.

4. Ibu Ela Laelasari, S.KM, M.Kes dan Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku pembimbing skripsi yang telahbanyakmembantupenelitidariawalsampai akhir penulisan laporan skripsi ini serta telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes selaku penguji dalam ujian proposal skripsi, terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi penguji dalam ujian proposal skripsi dan saran-saran yang sangat berarti bagi penulis.

6. Bapak/Ibu dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan banyak ilmu yang sangat bermanfaat dan semoga dapat diaplikasikan dalam kehidupan peneliti.

(10)

8. Sahabat-sahabat terbaik cumi-cumi (Amelia Marif, Indryani, Nani Sulistyarini dan Rahmi Fadhila).

9. Sahabat-sahabat di kosan (Ami, Rosita, Emmy dan Reni).

10.Sahabat-sahabat Jamaah Kesehatan Lingkungan 2009 (Nisa, Agung,Ima, Ersa, Ratna, Rudi, Zia, Yeni, Maya, Dilla, Cita, Udin, Reni, Yudi, Ami, Aan, Nita, Morrys, Risma) serta adik-adik kelas Kesehatan Lingkungan.

11.Sahabat-sahabat di Program Studi Kesehatan Masyarakat angkatan 2009. 12.Dunsanak-dunsanak IKMM Ciputat.

13.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.

Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan laporan skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan dimasa mendatang. Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Jakarta, 2013

Peneliti

(11)

ABSTRAK ii

ABSTRAC iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iv

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP vi

KATA PENGANTAR viii

C. Pertanyaan Penelitian 6

D. Tujuan Penelitian 8

1. Tujuan Umum 8

2. Tujuan Khusus 8

E. Manfaat Penelitian 10

1. Bagi Dinas Kesehatan 10

2. Bagi Puskesmas 10

3. Bagi Kelurahan 10

4. Bagi Program Kesehatan Lingkungan 10

F. Ruang Lingkup 11

BAB II TINJAUAN PUSAKA 12

A. Demam Berdarah Dengue (DBD) 12

B. Vektor Penular 17

C. Pengendalian Vektor DBD 24

D. Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan 33 E. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Larva

Aedes Aegypti 34

F. KerangkaTeori 43

(12)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 54

A. Desain Penelitian 54

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 54

C. Populasi dan Sampel 54

D. Pengumpulan Data 57

E. Instrument Penelitian 58

F. Jenis Data 59

G. Pengolahan Data 59

H. Analisis Data 60

BAB V HASIL 62

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian 62

B. Analisis Univariat 62

1. Gambaran Keberadaan Larva 63

2. Gambaran Pengetahuan 64

3. Gambaran Sikap 64

4. Gambaran Praktek Menguras Tempat Penampungan Air 65 5. Gambaran Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas 66 6. Gambaran Praktek Menutup Tempat Penampungan Air 67 7. Gambaran Ketersediaan Tutup Pada TPA 67

8. Gambaran Jenis TPA 68

C. Analisis Bivariat 69

1. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Keberadaan Larva

Aedes Aegypti 69

2. Hubungan Antara Sikap Dengan Keberadaan Larva Aedes

Aegypti 71

3. Hubungan Antara Praktek Menguras Tempat Penampungan Air Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 72 4. Hubungan Antara Praktek Menyingkirkan Barang-Barang

Bekas Yang Dapat Menjadi Tempat Penampungan Air Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 73 5. Hubungan Antara Praktek Menutup Tempat Penampungan

Air Dengan Keberadaan Larva Aedes Aegypti 75

(13)

D. Analisis Multivariat 79 1. Pemilihan Variabel Kandidat Analisis Multivariat 79 2. Pembuatan Model Faktor Penentu Variabel yang Paling

Berpengaruh 80

BAB VI PEMBAHASAN 83

A. Keterbatasan Penelitian 83

B. Gambaran Keberadaan Larva Aedes Aegypti 84 C. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Keberadaan Larva

Aedes Aegypti 86

1. Pengetahuan 86

2. Sikap 88

3. Praktek Menguras Tempat Penampungan Air 91 4. Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas 93 5. Praktek Menutup Tempat Penampungan Air 96 6. Ketersediaan Tutup pada Tempat Penampungan Air 97

7. Jenis Tempat Penampungan Air 100

BAB VII PENUTUP 102

A. Simpulan 102

B. Saran 104

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(14)

4.1 Hasil Perhitungan Sampel 56 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan

Larva Aedes aegypti 63

5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan 64 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap 64 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menguras

Tempat Penampungan Air 65

5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek

Menyingkirkan Barang – Barang Bekas 66

5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menutup

Tempat Penampungan Air 67

5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Tutup

Pada Tempat Penampungan Air 68

5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Tempat

Penampungan Air 69

5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 70 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap dan Keberadaan Larva

Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 71 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menguras Tempat

Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegyptidi

KelurahanSawah Lama Tahun 2013 72

5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menyingkirkan Barang – Barang Bekas dan Keberadaan Larva Aedes aegyptidi

Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 74

5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Praktek Menutup Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di

Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 75

5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Tutup Pada Tempat Penampungan Air dan Keberadaan Larva Aedes aegypti

Di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 77

5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Tempat Penampungan Air Dan Keberadaan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama

Tahun 2013 78

(15)

di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 80 5.17 Hasil Analisis Multivariat di Kelurahan Sawah Lama

Tahun 2013 81

5.18 Hasil Analisis Multivariat Antara Pengetahuan, Sikap, Praktek Menyingkirkan Barang-Barang Bekas yang dapat Menjadi Tempat Penampungan Air dan Jenis Tempat Penampungan Air

Di Kelurahan Sawah Lama Tahun 2013 82

(16)

2.2 Tempat yang Diperlukan untuk Siklus

Perkembangan Nyamuk 22

(17)

Dan Kependudukan 33

2.1 Kerangka Teori 43

3.1 Kerangka Konsep 45

(18)

Lampiran 3 Lembar Observasi Lampiran4 Output

(19)

1 A.Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever (DHF) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue ke manusia. Virus dengue mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Penyakit DBD dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, (Kemenkes RI, 2010).

(20)

Dalam epidemiologi terdapat ukuran-ukuran yang dapat menggambarkan angka kesakitan/angka insiden (IR/Incident Rate) dan angka kematian (CFR/Case Fatality Rate) kasus DBD. IR merupakan frekuensi penyakit baru yang berjangkit dalam masyarakat di suatu wilayah/tempat pada waktu tertentu. Sedangkan CFR merupakan persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, (Notoatmodjo, 2007).

Data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009) dalam Kemenkes RI (2010), menunjukkan angka insiden DBD per 100.000 penduduk di Indonesia tahun 1968-2009 terjadi tren yang terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus termasuk lemahnya upaya program pengendalian DBD, sehingga upaya program pengendalian DBD perlu mendapat perhatian lebih terutama pada tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas.

(21)

dikarenakan penyakit DBD di wilayah Indonesia dan Banten sering terjadi pada populasi secara konstan dalam jumlah sedikit atau sedang.

Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu kota Endemis DBD di Provinsi Banten. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan (2013), IR tahun 2012 adalah 60 per 100.000 penduduk, tercatat juga beberapa Puskesmas masih memiliki angka kesakitan DBD diatas target nasional. Selain itu, berdasarkan data tersebut diketahui pula bahwa Puskesmas Kampung Sawah merupakan daerah dengan kasus DBD yang tinggi dibandingkan dengan Puskesmas lainnya yang berada di wilayah Tangerang Selatan. Dari 66.496 jumlah penduduk terdapat 79 total kasus DBD dengan 1 orang meninggal dengan IR 11,9 per 10.000 penduduk dan CFR 1,3.

Puskesmas Kampung Sawah mempunyai 2 kelurahan wilayah kerja, yakni Kelurahan Sawah Lama dan Sawah Baru. Untuk kasus DBD Kelurahan Sawah Lama memiliki angka kasus paling tinggi dibandingkan dengan Kelurahan Sawah Baru dan Kelurahan lainnya di Kota Tangerang Selatan, yaitu dengan total 41 kasus dari 35.130 jumlah penduduk. Disamping itu IR dan CFR masing-masing yaitu 11,671 per 10.000 penduduk dan 0,00. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga memungkinkan untuk perkembangan siklus hidup vektor DBD, (Dinkes Tangsel, 2013).

(22)

Memberantas jentik-jentik/larva nyamuknya adalah cara yang tepat untuk mencegah kejadian DBD, (Depkes, 2000).

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2005) menetapkan bahwa standar nasional untuk Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu 95%. Namun, yang sangat penting diperhatikan adalah peningkatan pemahaman, sikap dan perubahan perilaku masyarakat terhadap penyakit ini akan sangat mendukung percepatan untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit DBD, (Ginanjar, 2008).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Angka Bebas Jentik (ABJ) di wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah ini sangat rendah yaitu 69%. Sedangkan untuk kelurahan wilayah kerjanya yakni Kelurahan Sawah Lama dan Kelurahan Sawah Baru memiliki Angka Bebas Jentik masing-masing wilayah 53% dan 83%. Studi pendahulan yang dilakukan peneliti pada 10 rumah di Kelurahan Sawah Lama ditemukan 4 rumah dengan jentik nyamuk. Hal ini menandakan kurangnya perilaku untuk hidup bersih dan sehat di masyarakat.

(23)

keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan.

Penelitian lain, Setiawan (2002) menunjukkan ada hubungan antara letak TPA/tempat penampungan air, tutup TPA dan frekuensi pembersihan TPA. Selain itu penelitian Damyanti (2009) mengenai hubungan pengetahuan, sikap dan praktek 3M (menutup, mengubur dan menguras) dengan keberadaan jentik Aedes aegypti menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, praktek menguras tempat penampungan air dan praktek mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Kepolorejo, Magetan.

Berdasarkan uraian di atas, penyebab terjadinya DBD bukan hanya terjadi karena adanya vektor pembawa virus DBD saja, namun ada faktor lain seperti perilaku masyarakat terhadap pemberantasan sarang nyamuk atau yang dikenal PSN DBD dengan kegiatan 3M (mengubur, menutup dan menguras tempat penampungan air/TPA) serta lingkungan yang mempengaruhi keberadaan vektor tersebut yang menyebabkan keberadaan vektor tetap ada. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti mengenai hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

B.Rumusan Masalah

(24)

Indonesia sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) DBD dan sering menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di berbagai wilayah. Faktor manusia, faktor agen dan faktor lingkungan merupakan faktor yang saling berhubungan dengan kejadian penyakit ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan untuk mengurangi dan menghabiskan penyakit ini.

Salah satu caranya adalah dengan memutus siklus vektor pembawa penyakit DBD yaitu siklus kehidupan nyamuk Aedes aegypti. Keberadaan larva/jentik nyamuk Aedes aegypti pada tempat penampungan air rumah tangga merupakan keadaan yang harus dihilangkan. Standar nasional menetapkan standar untuk Angka Bebas Jentik yaitu 95%. Kelurahan Sawah Lama memiliki Angka Bebas Jentik 53%.

Disamping itu, total kasus DBD di Kelurahan Sawah Lama juga tinggi dibandingkan dengan total kasus yang ada di tiap kelurahan yang ada di Kota Tangerang Selatan yakni 41 total kasus. Berdasarkan hal di atas penelitian ingin meneliti hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

C.Pertanyaan Penelitian

1.

Bagaimana gambaran keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

(25)

3. Bagaimana gambaran sikap di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

4. Bagaimana gambaran praktek menguras tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

5. Bagaimana gambaran praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013? 6. Bagaimana gambaran praktek menutup tempat penampungan air di Kelurahan

Sawah Lama tahun 2013?

7. Bagaimana gambaran ketersediaan tutup pada TPA di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

8. Bagaimana gambaran jenis TPA di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013? 9. Bagaimana hubungan pengetahuan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes

aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

10. Bagaimana hubungan sikap dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

11. Bagaimana hubungan praktek menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

(26)

13. Bagaimana hubungan praktek menutup tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

14. Bagaimana hubungan ketersediaan tutup pada TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

15. Bagaimana hubungan jenis TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

16. Apakah faktor yang paling dominan terhadap keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013?

D.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan faktor perilaku dan faktor lingkungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

b. Mengetahui gambaran pengetahuan di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. c. Mengetahui gambaran sikap di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

(27)

e. Mengetahui gambaran praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

f. Mengetahui gambaran praktek menutup tempat penampungan air di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

g. Mengetahui gambaran ketersediaan tutup pada TPA di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

h. Mengetahui gambaran jenis TPA di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. i. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes

aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

j. Mengetahui hubungan sikap dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

k. Mengetahui hubungan praktek menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

l. Mengetahui hubungan praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

m.Mengetahui hubungan praktek menutup tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. n. Mengetahui hubungan ketersediaan tutup pada TPA dengan keberadaan

(28)

o. Mengetahui hubungan jenis TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

p. Mengetahui faktor yang paling dominan yang mempengaruhi keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

E.Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan

Untuk memberikan masukan bagi pengambil keputusan dan pengelola program pada Dinas Kesehatan dalam melakukan intervensi yang tepat untuk program pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD.

2. Bagi Puskesmas

Untuk meningkatkan kinerja dan intervensi dalam program pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD melalui Puskesmas.

3. Bagi Kelurahan

Untuk memberikan masukan sebagai upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD. 4. Bagi Program Kesehatan Lingkungan

(29)

F. Ruang Lingkup

(30)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Berdarah Dengue (DBD)

1. Pengertian Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorraghic Fever) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, diatesis hemoragik dan perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh, (Nisa, 2007).

2. Etiologi DBD

Virus dengue memiliki 4 tipe virus penyebab DBD, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Tiap virus dapat dibedakan melalui isolasi virus di laboratorium. Infeksi oleh satu tipe virus dengue akan memberikan imunitas yang menetap terhadap infeksi virus yang sama pada masa yang akan datang. Namun hanya memberikan imunitas sementara dan parsial terhadap infeksi tipe virus lainnya, (Ginanjar, 2008).

(31)

muncul pada penderita, virus ini sudah terlebih dulu berada dalam darah 1-2 hari. Setelahnya penderita berada dalam kondisi virenia selama 4-7 hari, (Ginanjar, 2008).

3. Gejala Klinis

Gejala klinis yang mungkin timbul pasca-infeksi virus dengue sangat beragam, mulai dari demam tidak spesifik (sindrom infeksi demam virus), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD), hingga yang terberat yaitu sindrom syok dengue, (Ginanjar, 2008).

Pada penderita penyakit DBD dapat ditemukan gejala-gejala klinis dan laboratoris, sebagai berikut, (Tumbelaka, 2004):

a. Kriteria Klinis

1) Demam tinggi yang berlangsung dalam waktu singkat, antara 2-7 hari, yang dapat mencapai 40oC. Demam sering disertai gejala tidak spesifik, seperti tidak nafsu makan (anoreksia), lemah badan (malaise), nyeri sendi dan tulang serta rasa sakit di daerah bola mata (retro orbita) dan wajah yang kemerah-merahan (flusing).

2) Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan (epistaksis), perdarahan gusi, perdarahan pada kulit seperti tes Rumpeleede (+), ptekiae dan ekimosis, serta buang air besar berdarah berwarna merah kehitaman (melena).

(32)

4) Kegagalan sirkulasi darah yang ditandai dengan denyut nadi yang teraba lemah dan cepat, ujung-ujung jari terasa dingin serta dapat disertai penurunan kesadaran dan renjatan (syok) yang dapat menyebabkan kematian.

b. Kriteria Laboratoris

Diagnosis penyakit DBD ditegakkan berdasarkan adanya dua kriteria klinis atau lebih, ditambah dengan adanya minimal satu kriteria laboratoris. Kriteria laboratoris meliputi:

1) Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) ≤ 100.000/mm3. 2) Peningkatan kadar hematokrit >20% dari normal.

c. Derajat Keparahan/Besar Penyakit DBD

Derajat keparahan penyakit DBD berbeda-beda menurut tingkat keparahannya. Tingkat keparahan penyakit DBD terbagi menjadi:

(33)

3) Derajat 3 : ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah, seperti denyut nadi teraba lemah dan cepat (>120x/menit), tekanan nadi (selisih antara tekanan darah sistolik dan diastolik) menyempit (<20 mmHg). DBD derajat 3 merupakan peringatan awal yang mengarah pada terjadinya renjatan (syok).

4) Derajat 4 : denyut nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur, denyut jantung >140x/menit, ujung-ujung jari kaki dan tangan terasa dingin, tubuh berkeringat, kulit membiru. DBD derajat 4 merupakan manifestasi syok, yang sering kali berakhir dengan kematian.

4. Epidemiologi DBD

a. Distribusi penyakit DBD menurut orang

Menurut WHO (1998), DBD dapat menyerang semua umur walaupun sampai sampai saat ini DBD lebih banyak menyerang anak-anak tetapi dalam dekade terakhir DBD terlihat kecendrungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan tertularnya virus dengue lebih besar.

(34)

menunjukkan angka kematian yang tinggi daripada laki-laki. Singapura dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka kejadian infeksi di antara kelompok etnik. Penduduk Cina banyak terserang DBD dari pada yang lain (Soegijanto, 2003).

b. Distribusi penyakit DBD menurut tempat

Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah siklus perkembangan Aedes aegypti tidak sempurna, (Depkes RI, 2007).

Depkes (2005), menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit meningkat pesat. Hingga saat ini DBD telah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa dengan IR meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun 2004.

(35)

c. Distribusi penyakit DBD menurut waktu

Menurut Djunaedi (2006), menyebutkan bahwa epidemi DBD di negara-negara 4 musim, berlangsung pada musim panas walaupun ditemukan kasus DBD yang sporadis pada musim dingin. Negara-negara kawasan Asia Tenggara, epidemik DBD terutama terjadi pada musim hujan. Epidemi DBD yang berlangsung pada musim hujan, erat kaitannya dengan kelembaban yang tinggi pada musim hujan. Kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan yang optimal bagi masa inkubasi (dapat mempersingkat masa inkubasi) dan juga dapat meningkatkan aktivitas vektor penular virus DBD.

B. Vektor Penular

1. Morfologi Nyamuk Aedes Aegypti

Nyamuk Aedes aegypti betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam kecoklatan. Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina antara 3-4 cm dengan mengabaikan panjang kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian dorsal (punggung) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari nyamuk Aedes aegypti, (Ginanjar, 2008).

(36)

kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan, (Ginanjar, 2008).

Dalam hal ukuran nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan nyata. Biasanya, nyamuk jantan memiliki tubuh lebih kecil dari pada betina dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang, (Ginanjar, 2008).

2. Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti

Nyamuk termasuk hewan yang bermetamorfosis sempurna atau holometabola. Masa pertumbuhan dan perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dibagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa, (Soegijanto, 2006).

a. Stadium Telur

(37)

tempat kering (tanpa air) dapat bertahan hingga 6 bulan. Telur-telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva/jentik, (Herms, 2006). b. Stadium Larva

Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas yakni memiliki siphon yang pendek, besar dan berwarna hitam. Tubuh larva ini langsing, bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira setiap ½-1 menit, guna mendapatkan oksigen untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari, (Herms, 2006).

Larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Contohnya, populasi larva yang melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam menghisap darah, (Ginanjar, 2008).

Menurut Depkes RI (2005) terdapat empat tahapan pada perkembangan larva yang disebut instar. Pertumbuhan larva tersebut yaitu: 1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

2) Instar II : 2,5-3,8 mm

(38)

Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah mencapai instar keempat, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman (inaktif/tidur), (Ginanjar, 2008).

c. Stadium Pupa

Pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk bengkok dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya sehingga tampak seperti tanda baca „koma’. Tahap pupa

pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung selama 2-4 hari. Pupa akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air saat nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang pupa untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa, (Achmadi, 2011). d. Nyamuk Dewasa

(39)

darah manusia. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan, (Achmadi, 2011).

Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Sumber: Febrianto (2012)

3. Prilaku Nyamuk

(40)

Gambar 2.2

Tempat yang Diperlukan untuk Siklus Perkembangan Nyamuk Sumber : Sumantri (2010)

Perilaku vektor yang berhubungan dengan ketiga macam habitat tersebut penting diketahui untuk menunjang program pemberantasan vektor, (Sumantri, 2010).

a. Tempat Perkembangbiakan Vektor

Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti adalah tempat penampungan air bersih di dalam atau sekitar rumah, berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung dan barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang dapat terisi air pada waktu hujan. Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembangbiak pada genangan air yang berhubungan langsung dengan tanah, (Depkes RI, 2005).

Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian Nelson (1976), bahwa tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti di Jakarta sebagian besar terletak di rumah. Sedangkan penelitian Chan (1971) 95% tempat

Tempat untuk mencari makan Tempat untuk

berkembang biak

Tempat untuk istirahat

(41)

perindukan Aedes aegypti adalah di rumah. Serta penelitian Suzuki (1976), menunjukkan bahwa 70% bejana penyimpanan air di dalam rumah merupakan tempat berkembangbiaknya Aedes aegypti.

Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2005), jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan menjadi:

1) Tempat penampunga air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki reservoir, bak mandi/wc, tempayan dan ember.

2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non TPA), seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, botol, kaleng, dan lain-lain).

3) Tempat penampungan air alamiah, seperti: lubang pohon, lubang batu, potongan bambu dan lain-lain.

b. Tempat Mencari Makan Vektor

(42)

darah untuk pemenuhan kebutuhan proteinnnya. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali. Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang. Posisi menghisap darah nyamuk Aedes aegypti sejajar dengan permukaan kulit manusia. Jarak terbang nyamuk ini sekitar 100 meter.

c. Tempat Istirahat Vektor

Setelah selesai menghisap darah, nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telurnya. Nyamuk Aedes aegypti hidup domestik, artinya lebih menyukai tinggal di dalam rumah daripada di luar rumah. Tempat-tempat yang lembab dan kurang terang seperti kamar mandi, dapur dan WC adalah tempat-tempat beristirahat yang disenangi nyamuk. Di dalam rumah nyamuk ini beristirahat di baju-baju yang digantung, kelambu dan tirai. Sedangkan di luar rumah nyamuk ini beristirahat pada tanaman-tanaman yang ada di luar rumah, (Depkes RI, 2004).

C. Pengendalian Vektor DBD

(43)

DBD dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Jika ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Apabila kegiatan PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan sehingga penyakit DBD tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat harus dilakukan secara terus-menurus karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan prilaku masyarakat, (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005).

PSN DBD dalam program kesehatan dikenal dengan istilah 3M. Pelaksanaan 3M meliputi, (WHO, 2009):

a. Menguras tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, bak WC dan lain-lain.

Praktek ini merupakan banyaknya jumlah pengurasan yang dilaku-kan oleh masyarakat dalam 1 minggu. Dikatadilaku-kan baik adalah jika responden menguras lebih atau sama dengan 1 kali per minggu (≥ 1x

minggu), dan tidak baik jika melakukan pengurasan kurang dari 1 kali per minggu (< 1x minggu), (Rahman, 2012).

b. Menutup rapat tempat-tempat penampungan air, seperti tong, gendi, drum maupun yang lainnya yang ada di luar maupun di dalam rumah.

(44)

pada tempat penampungan air sehingga nyamuk tidak dapat berkem-bangbiak di dalamnya, (Rahman, 2012).

c. Mengubur, memusnahkan atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air seperti kaleng bekas dan plastik bekas.

Praktek ini merupakan kebiasaan masyarakat dalam memperlakukan sampah rumah tangga ataupun barang bekas yang ada disekitar rumahnya seperti plastik, kaleng bekas, pecahan kaca, ember bekas dan lainnya yang memungkinkan menjadi tempat berkem-bangbiakkan nyamuk dengan cara dikubur, (Rahman, 2012).

Kegiatan diatas dapat menjadikan tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti tidak ada, sehingga dapat memutus mata rantai perkembangbiakan nyamuk. Selain kegiatan 3M, kegiatan PSN DBD ditambah dengan tindakan plus yaitu:

a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali

b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak

c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon dan lain-lain, seperti dengan tanah

d. Menaburkan bubuk larvasida, misalnya pada tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air

e. Memasang kawat kasa

(45)

g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian

h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai i. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk

j. Menggunakan kelambu

Berdasarkan penelitian Ayubi dan Hasan (2007), menemukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan melakukan PSN DBD dengan kejadian DBD di Kota Bandar Lampung. Individu yang tidak melakukan dan melakukan 1M (menguras atau menutup atau mengubur saja) berisiko 2,22 kali dan 5,85 kali lebih besar untuk menderita DBD dari pada yang melakukan PSN (2M atau 3M). Selain itu, penelitian Setyobudi (2011) menunjukkan bahwa partisipasi PSN memiliki hubungan yang bermakna dengan keberadaan jentik nyamuk dengan nilai p = 0,0001.

2. Pengendalian secara Kimia

(46)

Insektisida untuk pengendalian DBD harus digunakan dengan bijak dan merupakan media yang ampuh untuk pengendalian vektor, (Sukowati, 2010).

3. Pengendalian secara Biologi

Pengendalian secara biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DBD adalah dari kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda), (Sukowati, 2010).

4. Manajemen Lingkungan

Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan baik kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan, (Sukowati, 2010).

a. Predator

(47)

alami dan biasa digunakan di Indonesia adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang. Meskipun terbukti efektif untuk pengendalian larva Aedes aegypti, namun sampai sekarang belum digunakan oleh masyarakat secara luas dan berkesinambungan.

Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops, jenis ini merupakan jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain Mesocyclops aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar Penelitian Vektor dan Reservoir, Salatiga. Peran Copepoda dalam pengendalian larva DBD masih harus diuji coba lebih rinci ditingkat operasional.

b. Bakteri

(48)

pengaruh negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan sampai sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana spora telah berkecambah maka agent tersebut tidak efektif lagi.

5. Kepadatan Vektor

Menurut WHO-South East Region (2010), kepadatan vektor DBD dapat diketahui dengan melakukan surveilans nyamuk Aedes aegypti. Kegiatan ini dapat memperoleh distribusi, kepadatan vektor, habitat utama vektor serta faktor resiko lainnya seperti tempat dan waktu yang berhubungan dengan transmisi virus dengue dan level insektisida yang rentan atau resisten untuk menentukan wilayah dan musim yang menjadi prioritas kegiatan pengendalian vektor.

(49)

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2005) pemeriksaan jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Memeriksa keberadaan jentik nyamuk pada semua TPA atau kontainer di rumah tangga yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Pemeriksaan dilakukan dengan mata telanjang.

b. Pemeriksaan pada TPA yang berukuran besar (bak mandi, drum dan lain-lain), jika pada pandangan pertama tidak menemukan jentik maka tunggu kira-kira ½ - 1 menit untuk memastikan bahwa jentik benar-benar tidak ada.

c. Pemeriksaan pada TPA berukuran kecil (vas bunga, air tampungan kulkas, tempat minum burung dan lain-lain), airnya harus dipindahkan dahulu ke tempat lain.

d. Pemeriksaan pada tempat yang agak gelap atau airnya keruh dapat menggunakan senter.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2005), menyebutkan bahwa terdapat 2 metode yang digunakan pada survei jentik, yaitu:

a. Single larva, dimana dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.

(50)

Ukuran-ukuran yang digunakan untuk mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti yaitu (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005):

a. Angka Bebas jentik (ABJ)

X 100%

Angka bebas jentik yang tergolong aman yaitu lebih dari sama dengan 95%.

b. House index (HI)

X 100%

House index yang dianggap aman untuk penularan penyakit DBD adalah kurang dari 5 %.

c. Container Index (CI)

X 100%

Container index menyediakan informasi mengenai proporsi kontainer atau tempat penampungan air yang positif jentik.

d. Breateau Index (BI)

X 100%

(51)

D.Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan

Menurut Achmadi (2011), hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit akan menghasilkan kejadian penyakit, dengan kata lain kejadian penyakit hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel kependudukan dan variabel lingkungan. Patogenensis penyakit dalam prespektif lingkungan dan kependudukan digambarkan dalam teori simpul, (Achmadi, 2008) berikut:

Bagan 2.1

Patogenesis Penyakit Dalam Perspektif Lingkungan Dan Kependudukan

Sumber : (Achmadi, 2011)

(52)

Berdarkan bagan diatas, proses kejadian suatu penyakit diuraikan pada 5 simpul, yakni:

1. Simpul 1, yaitu sumber penyakit.

2. Simpul 2, yaitu Komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit.

3. Simpul 3, yaitu penduduk dengan berbagai variabel kependudukan seperti pendidikan, perilaku, gizi, dan lain-lain.

4. Simpul 4, yaitu penduduk dengan keadaan sehat atau sakit.

5. Simpul 5, yaitu semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap keempat simpul tersebut, seperti lingkungan, iklim, topografi, dan lain-lain.

E.Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti

1. Faktor Individu (Perilaku)

Para ahli psikologi pendidikan dalam Notoatmodjo (2007), perilaku dibagi menjadi perilaku dalam bentuk operasional menjadi:

1) Pengetahuan (Knowledge)

(53)

Pengetahuan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dimana pengetahuan kesehatan akan berpengaruh pada perilaku sebagai hasil jangka menengah dari pendidikan kesehatan, perilaku kesehatan akan berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai hasil dari pendidikan, (Notoatmodjo, 2003). Prilaku yang didasarkan pada pengetahuan akan lebih bertahan daripada yang tidak didasarkan pada pengetahuan, (Notoatmodjo, 2007).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoadmodjo, 2007). Pengukuran pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) dapat dikategorikan menjadi:

a) Baik, apabila subjek mampu menjawab dengan benar 76-100% dari semua pertanyaan.

b) Cukup, apabila subjek mampu menjawab dengan benar 60-75% dari semua pertanyaan.

c) Buruk, apabila subjek mampu menjawab pertanyaan benar < 60% dari semua pertanyaan.

(54)

hubungan yang signifikan (p = 0,047) dengan sikap seseorang terkait pengontrolan nyamuk Aedes aegypti.

Berbeda dengan penelitian Santoso, (2008), pengetahuan tidak memiliki hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di rumah dengan p value 0,40. Sejalan dengan penelitian Nugrahaningsih (2010), bahwa pengetahuan tidak berhubungan dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di wilayah kerja Puskesmas Kuta Utara. Penelitian Suyasa (2008), yang juga menunjukkan tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan.

2) Sikap

Sikap yaitu tanggapan bathin terhadap keadaan atau ransangan dari luar diri subjek atau kecendrungan untuk berespon (secara positif dan negatif) terhadap orang banyak, objek dan situasi tertentu. Menurut Notoatmodjo (2007), sikap adalah suatu stimulus atau objek yang diterima seseorang yang digambarkan melalui reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup. Sikap tidak dapat langsung terlihat tetapi hanya dapat diartikan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu secara nyata.

(55)

pernyataan responden terhadap suatu objek yang bersangkutan. Pengukuran secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pertanyaan

-pertanyaan terhadap objek tertentu.

Beberapa penelitian sebelumnya, seperti penelitian Nugrahaningsih (2010) menunjukkan bahwa sikap dan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai hubungan yang signifikan. Menurut Fathi (2005), semakin kurang sikap seseorang atau masyarakat terhadap penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya kejadian luar biasa (KLB) DBD.

Sikap baik responden terhadap upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) berupa gerakan 3M perlu diikuti dengan tindakan/praktek yang nyata. Sikap yang mau berperan dan terlibat aktif dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk akan sangat berpengaruh dalam tindakan dan upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD, (Nugrahaningsih, 2010).

3) Tindakan

(56)

faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Faktor pendukung tersebut seperti fasilitas, dukungan dari pihak lain (support).

Pengukuran tindakan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Sedangkan pengukuran secara langsung dapat dilakukan dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

Penelitian Suyasa (2008), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan responden dengan keberadaan vektor DBD di wilayah kerja Puskesmas I Denpasar Selatan. Penelitian Sumekar (2007) dalam Suyasa (2008) juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan PSN dengan keberadaan jentik DBD.

Penelitian Nugrahaningsih (2010), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan responden dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Suroso (2003) dan Sumekar (2007) dalam Suyasa (2008), yang menyatakan bahwa cara yang tepat dalam pemberantasan penyakit DBD adalah dengan pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).

2. Faktor Lingkungan a. Suhu dan Kelembaban

(57)

sehingga berpengaruh terhadap ekosistem daratan dan lautan serta kesehatan terutama pada perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes dan lainnya. Hampir sama dengan pernyataan Achmadi (2011), bahwa suhu lingkungan dan kelembaban akan mempengaruhi bionomik nyamuk, seperti perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur dan lain sebagainya.

Menurut Iskandar (1985) dalam Nugrahaningsih (2010), nyamuk pada umumnya akan meletakkan telurnya pada temperatur udara sekitar 20o C-30oC. Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk. Susanna, et al. (2011), suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk Aedes berkisar antara 25oC-27oC dan pertumbuhan akan terhenti pada suhu kurang dari 10oC atau di atas 40oC.

(58)

b. Ketersediaan Kontainer/ Tempat Penampungan Air (TPA)

Adanya keberadaan tempat penampungan air (TPA)/breeding place akan menciptakan peluang bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak. Hal ini dikarenakan sebagian besar siklus hidup nyamuk (telur, larva, pupa) terjadi di dalam air. Nyamuk yang berkembang biak di sekitar rumah akan lebih mudah dalam menjangkau manusia (host), dengan hal ini keberadaan tempat penampungan air di sekitar rumah akan meningkatkan angka kejadian DBD, (Rahman, 2012; Nugrahaningsih, 2010).

Hal ini sejalan dengan Brunkard, et al., (2004), faktor resiko yang sangat penting pada kejadian penyakit DBD adalah keberadaan habitat larva. Keberadaan kontainer/tempat penampungan air berpotensi untuk perkembangbiakan vektor dalam kontak dengan manusia sebagai hospes. Tingkat endemisitas penyakit DBD dipengaruhi oleh keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti pada kontainer/tempat penampungan air terutama yang digunakan untuk kebutuhan manusia, (Barrera, et al., 2011).

(59)

Berdasarkan penelitian Nugrahaningsih (2010), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara keberadaan kontainer dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti. Penelitian Respati (2007), terdapat hubungan yang bermakna antara keberadaan larva Aedes aegypti dengan kejadian penyakit DBD.

Penelitian Setyobudi (2011), juga menunjukkan keberadaan TPA (breeding place) memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberadaan jentik nyamuk nyamuk Aedes aegypti. Begitu pula dengan penelitian Widyanto (2007) dalam Setyobudi (2011), bahwa DBD disebabkan oleh karena keberadaan breeding place positif jentik.

c. Ketersediaan Tutup Pada Kontainer/Tempat Penampungan Air (TPA) Penggunaan tutup pada kontainer dengan benar memiliki dampak yang signifikan untuk mengurangi keberadaan larva dan pupa nyamuk Aedes aegypti dibandingkan dengan kontainer tanpa penutup, (Tsuzuki, et al., 2009).

(60)

bahwa terdapat hubungan antara ketersediaan tutup pada TPA (p=0,009) dengan kejadian DBD di Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong.

d. Jenis Kontainer

Penelitian yang dilakukan oleh Ririh (2005) di Kelurahan Wonokusumo mengenai keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti berdasarkan jenis kontainer, hasilnya menunjukkan bahwa tempat perindukan nyamuk yang paling potensial untuk perkembangbiakan nyamuk adalah TPA yang digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti drum, bak mandi/WC ember dan sejenisnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo.

Penelitian Medronho, et al. (2009) di Brazil, menunjukkan bahwa kontainer dengan persentase keberadaan larva dan pupa terbanyak ditemukan pada kontainer yang digunakan untuk penyimpanan air (bak mandi, drum, tanki air) dan kontainer pada barang-barang tidak terpakai atau sampah (kaleng dan ban bekas).

(61)

bermakna antara jenis kontainer dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti.

F. Kerangka Teori

Berdasarkan teori-teori diatas, diperoleh kerangka teori sebagai berikut: Bagan 2.2

Kerangka Teori

Modifikasi Achmadi (2011), Notoatmodjo (2007), WHO (2009), Nugrahaningsih (2010), Arsin (2004), Ririh (2005)

(62)

44 A. Kerangka Konsep

Tidak semua faktor yang ada dalam kerangka teori diambil dan diikutsertakan sebagai variabel pada penelitian ini. Variabel yang tidak diteliti yaitu: suhu, kelembaban dan ketersediaan TPA, karena pada penelitian ini diasumsikan sama. Hal ini disebabkan karena keadaan geografis antara rumah yang satu dengan yang lain tidak jauh berbeda. Sedangkan untuk ketersediaan TPA tidak diteliti karena setiap rumah dipastikan mempunyai tempat penampungan air. Oleh karena pertimbangan diatas, hanya beberapa variabel yang diteliti pada penelitian ini.

(63)

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Praktek menguras TPA

Jenis TPA

Praktek menyingkirkan barang-barang bekas

Praktek menutup TPA

Ketersediaan tutup pada TPA

Keberadaan larva Aedes aegypti Sikap

(64)

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur 1 Keberadaan larva Aedes

aegypti

Larva nyamuk Aedes aegypti yang ditemukan dari hasil survai jentik secara visual di tempat penampungan air yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti baik di dalam maupun di luar rumah responden.

Observasi Lembar Observasi

0. Ada larva 1. Tidak ada larva (Setyobudi, 2011; Nugrahaningsih, 2010)

(65)

Tabel Lanjutan …

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur 2 Pengetahuan Kemampuan responden

menjawab pertanyaan

3 Sikap Kemampuan responden

(66)
(67)

Tabel Lanjutan …

(68)

Tabel Lanjutan …

No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur 8 Jenis TPA Jenis tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti menurut Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2005.

Observasi Lembar observasi

0. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki

reservoir, bak mandi/wc, tempayan dan ember.

(69)

Tabel Lanjutan …

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur 1. Tempat

(70)

Tabel Lanjutan …

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur 2. Tempat

(71)

C. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

2. Ada hubungan antara sikap dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

3. Ada hubungan antara praktek menguras tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. 4. Ada hubungan antara praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang

dapat menjadi tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

5. Ada hubungan antara praktek menutup tempat penampungan air dengan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. 6. Ada hubungan antara ketersediaan tutup pada TPA dengan keberadaan

larva Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

7. Ada hubungan antara jenis TPA dengan keberadaan larva nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013.

(72)

54 A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan desain cross sectional melalui pendekatan kuantitatif. Dimana tiap variabel hanya diobservasi dan diukur pada waktu yang bersamaan. Pendekatan ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel yang satu dengan variabel lainnya, (Notoatmodjo, 2010).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sawah Lama Kota Tangerang Selatan. 2. Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli tahun 2013.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Penelitian

(73)

2. Sampel

Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi, (Notoatmodjo, 2010). Perhitungan jumlah sampel yang akan diambil diperoleh dengan rumus menurut Lameshow (1997) dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi, yaitu:

[ ⁄ √ √ ]

Keterangan :

n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan

P1 : Proporsi variabel pada kelompok yang ditemukan larva P2 : Proporsi variabel pada kelompok yang tidak ditemukan larva P : Rata-rata proporsi pada populasi {(P1+P2/2)}

(74)

Tabel 4.1

Berdasarkan hasil perhitungan dari beberapa variabel yang dilakukan, peneliti memilih jumlah sampel yang paling besar yaitu 29 sampel. Dari hasil tersebut, kemudian dikali 2 karena perhitungan sampel menggunakan uji beda dua proporsi. Sehingga diperoleh total sampel sebanyak 58 sampel. Namun untuk menghindari missing jawaban dari responden, maka peneliti menambahkan dan membulatkan jumlah sampel penelitian menjadi 80 responden.

3. Pengambilan Sampel

(75)

ini diutamakan adalah ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga dipilih menjadi sampel karena yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga termasuk masalah kebersihan rumah adalah ibu rumah tangga (Depkes RI, 1998).

D. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan observasi. Menurut Notoatmodjo (2010), wawancara merupakan metode pengumpulan data dimana peneliti mendapatkan informasi atau keterangan secara lisan dari responden. Sedangkan, observasi merupakan suatu prosedur yang terencana, meliputi melihat, mendengar dan melakukan pencatatan-pencatatan.

Penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data berupa lembar kuesioner, lembar observasi dan senter. Kegiatan wawancara dilakukan oleh peneliti. Sedangkan observasi dilakukan Petugas Jumantik dan peneliti. Observasi dilakukan menggunakan metode visual, karena Dinas Kesehatan RI dalam melaksanakan programnya menggunakan metode ini. Pemeriksaan keberadaan jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005):

(76)

2. Pemeriksaan pada TPA yang berukuran besar (bak mandi, drum dan lain-lain), jika pada pandangan pertama tidak menemukan jentik maka tunggu kira-kira ½ - 1 menit untuk memastikan bahwa jentik benar-benar tidak ada. 3. Pemeriksaan pada TPA berukuran kecil (vas bunga, air tampungan kulkas,

tempat minum burung dan lain-lain), airnya harus dipindahkan dahulu ke tempat lain.

4. Pemeriksaan pada tempat yang agak gelap atau airnya keruh dapat menggunakan senter.

E. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dimana kualitas pengumpulan data sangat ditentukan oleh kualitas instrumen atau alat pengukuran yang digunakan peneliti. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Lembar kuesioner untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku 3M responden meliputi: praktek menguras tempat penampungan air, praktek menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air dan praktek menutup tempat penampungan air.

(77)

F. Jenis Data

Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (Amran, 2012):

1. Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti dan diperoleh secara langsung dari responden baik dalam bentuk wawancara dan observasi. Pada penelitian ini meliputi: pengetahuan, sikap, praktek menguras TPA, praktek menyingkirkan barang-barang bekas, praktek menutup TPA, ketersediaan tutup pada TPA dan jenis TPA.

2. Data sekunder yaitu data yang bersumber dari instansi (pihak tertentu) melalui penelusuran dokumen, data pustaka, literatur, catatan, laporan dari perusahaan dan instansi terkait. Pada penelitian ini meliputi: data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas Kampung Sawah, Kelurahan Sawah Lama serta literatur lainnya.

G. Pengolahan Data

Semua data yang telah terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Coding Data

(78)

2. Editing Data

Kegiatan penyuntingan data sebelum proses memasukkan data. Data yang telah dikumpulkan diperiksa kelengkapannya terlebih dahulu, yaitu kelengkapan jawaban kuesioner, konsistensi atas jawaban dan kesalahan jawaban pada kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk penelitian ini.

3. Entry Data

Proses memasukkan data ke dalam program (software) atau fasilitas analisis data statistik. Data dimasukkan ke dalam software statistik untuk dilakukan analisis univariat (untuk mengetahui gambaran secara umum), bivariat (untuk mengetahui variabel yang berhubungan) dan multivariat (untuk mengetahui variabel yang paling dominan).

4. Cleaning Data

Proses pembersihan data setelah data dientri. Hal ini dilakukan supaya data yang telah dimasukkan tidak ada yang salah, sehingga data tersebut telah siap untuk dianalis.

H. Analisis Data

1. Analisis Univariat

(79)

semua variabel, meliputi hasil secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk menguji hipotesis penelitian antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji yang digunakan yaitu Chi-Square yaitu untuk melihat hubungan antara dua variabel yang dikategorikan secara statistik. Derajat kemaknaan 5% dan tingkat keyakinan CI=95%. Jika p ≤ 0,05 artinya ada hubungan secara statistik antara

variabel independen dan variabel dependen, sebaliknya jika p > 0,05 artinya tidak ada hubungan secara statistik antara variabel independen dengan variabel dependen.

3. Analisis Multivariat

(80)

62 A.Gambaran Umum Tempat Penelitian

Puskesmas Kampung Sawah merupakan puskesmas yang berada di Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Puskesmas ini memiliki 2 Kelurahan yakni Kelurahan Sawah Lama dan Kelurahan Sawah Baru yang terdiri dari 559 Ha dengan jumlah penduduk 47.480 jiwa. Di Kelurahan Sawah Lama terdapat 54 RT dan 12 RW dengan luas wilayah 261 Ha sedangkan di Kelurahan Sawah Baru terdapat 55 RT dan 9 RW dengan luas wilayah 289 Ha.

Batas wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah: a. Sebelah utara : Pondok Jaya

b. Sebelah selatan : Serua Indah/Kedaung c. Sebelah barat : Sawah Baru

d. Sebelah timur : Pondok Ranji

B.Analisis Univariat

(81)

1. Gambaran Keberadaan Larva

Variabel dependen pada penelitian ini adalah keberadaan larva Aedes aegypti pada rumah responden di Kelurahan Sawah Lama tahun 2013. Dimana responden dikategorikan menjadi dua, yaitu rumah responden yang ada ditemukan larva Aedes aegypti dan rumah responden yang tidak ditemukan larva Aedes aegypti. Adapun gambaran responden berdasarkan ditemukannya larva Aedes aegypti di rumahnya dapat dilihat pada tabel 5.1 dibawah ini :

Tabel 5.1

Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Larva Aedes Aegypti Keberadaan Larva

Aedes aegypti

Jumlah Persentase (%)

Ada Larva 44 55%

Tidak Ada Larva 36 45%

Total 80 100%

Sumber : Data Primer

Gambar

Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk
Gambar 2.2 Tempat yang Diperlukan untuk Siklus Perkembangan Nyamuk
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Tabel Lanjutan …
+7

Referensi

Dokumen terkait

(WHO), menyusui adalah suatu cara yang tidak dapat tertandingi oleh apapun dalam penyediaan makanan ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan seorang bayi yang juga

Standar kinerja menurut (Wilson, 2012) adalah tingkat yang diharapkan suatu pekerjaan tertentu untuk dapat diselesaikan, dan merupakan pembanding (benchmark)

Dari kelebihan dan kekurangan DL dan GI dapat saling melengkapi sehingga dikembangkanlah model DL yang dikelola dalam GI dengan nama Group Discovery Learning

sekarang, dan masa yang akan datang dalam balutan konflik yang multidimensi sehingga setiap orang berkewajiban memiliki pengetahuan dan keterampilan menyelesaikan

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ilmiwan (2013: 153) tentang pengaruh penerapan ba- han ajar bermuatan nilai-nilai karakter dalam model

Blended Learning , menurut Romi (2007), merupakan salah satu pendekatan metodologi belajaryang dapat dilakukan pada saat sebuah lembaga pendidikan akan

Experiential Learning melalui Media Audio Visual Berbasis Budaya Lokal dalam Pembelajaran Menulis Narasi (Kuasi Eksperimen terhadap Warga Belajar Kelas. III Kejar Paket A

Berdasarkan uraian tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa keterampilan menulis merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap orang karena keterampilan