• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pola Sebaran Titik Panas dan Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pola Sebaran Titik Panas dan Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POLA SEBARAN TITIK PANAS DAN

PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN KEBAKARAN

HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS,

KALIMANTAN TENGAH

DINI TRESNA DININGTYAS

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pola Sebaran Titik panas dan Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

DINI TRESNA DININGTYAS. Analisis Pola Sebaran Titik Panas dan Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan KOMARSA GANDASASMITA.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi masalah serius sejak tahun 1982/1983. Kabupaten Kapuas merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan. Tujuan penelitian untuk menganalisis sebaran titik panas di Kabupaten Kapuas, mengidentifikasi faktor-faktor pemicu yang menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan, membangun model spasial kerentanan kebakaran, dan memetakan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di wilayah tersebut. Metode Composite Mapping Analysis (CMA) digunakan untuk membangun model spasial. Sebaran titik panas selama tahun 2005 sampai 2012 terindikasi maksimum pada tahun 2006 dan 2009, hal ini diduga karena adanya pengaruh kekeringan panjang (El-Nino), sehingga intensitas kebakaran meningkat. Faktor-faktor dominan yang menentukan kerentanan kebakaran hutan dan lahan secara berurutan dari paling tinggi ke rendah adalah kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, penutupan/penggunaan lahan, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai. Faktor kedalaman gambut memiliki pengaruh yang tinggi dibanding faktor lainnya. Model spasial kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang terbaik adalah model dengan 5 faktor, yaitu kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, penutupan/penggunaan lahan, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai. Hasil pemetaan kerentanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan tingkat kerentanan tinggi dan sangat tinggi di Kecamatan Mantangai memiliki luas wilayah terbesar.

(5)

ABSTRACT

DINI TRESNA DININGTYAS. Analysis of Hotspot Pattern and Spatial Modeling for Vulnerability of Land and Forest Fires in Kapuas District, Central Kalimantan. Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and KOMARSA GANDASASMITA.

Land and forest fires in Indonesia become a serious problem since 1982/1983. Kapuas District is one of districts in Central Kalimantan which often experiences land and forest fire. Aim of this research is to analyze the distribution of hotspot in Kapuas District, to identify the driver factors which cause land and forest fire, to build spatial modeling and to map land and forest fire vulnerability index in that area. A Composite Mapping Analysis (CMA) method was used to build spatial modeling. The maximum distribution of hotspot during 2005 to 2012 occured in 2006 and 2009, and it was estimated due to the influence of El-Nino, so the intensity of the land and forest fire increased. Dominant driving factors of land and forest fire vulnerability from the highest to the lowest are depth of peat, distance to central village, land use/cover, road distance, and river distance. Depth of peat is a factor that has a higher influence than others factors. The best spatial modeling for vulnerability of land and forest fire is a model with 5 factors, those are depth of peat, distance to central village, land use/cover, road distance, and river distance. The result of land and forest fire vulnerability mapping showed that high to the very high vulnerability index of the Mantangai sub-district in very large region.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

ANALISIS POLA SEBARAN TITIK PANAS DAN

PEMODELAN SPASIAL KERENTANAN KEBAKARAN

HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS,

KALIMANTAN TENGAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Analisis Pola Sebaran Titik Panas dan Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

Nama : Dini Tresna Diningtyas NIM : A14090067

Disetujui oleh

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Pembimbing I

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Baba Barus, MSc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Desember 2013 ini ialah kerentanan kebakaran hutan dan lahan, dengan judul Analisis Pola Sebaran Titik panas dan Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku pembimbing skripsi utama dan Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc selaku pembimbing dua yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan saran, arahan, dan bimbingannya kepada penulis.

2. Dr. Boedi Tjahjono selaku dosen penguji atas kritikan dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan penyusunan skripsi ini.

3. Keluarga tercinta papa, mama, Zakki, Mia, dan Ridha, terima kasih atas doa, kasih sayang, motivasi serta dukungan moral dan spiritual yang tak kunjung berhenti kepada penulis.

4. Proyek Columbia University and Institut Pertanian Bogor Partnership to Build Capacity for Adaptation to Climate Risk in Indonesia yang telah memberikan dukungan data dan dana dalam penelitian ini.

5. Bapak Achmad Siddiq Thoha yang telah membimbing penulis dalam pengolahan data.

6. Saudara-saudara SOIL 46 terutama teman satu bimbingan Sulistiyanti dan teman seperjuangan Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial (Swaesti, Prapti, Lusy, Ega, Vita, Kak Merina, Kak Novia, Bang Farid, dan lainnya), sahabat Wisma Kristal (Anita, Nurila, Putri, Athu, Tia, Surini, dan Khairunnisa) terima kasih atas canda tawa, masukan, dukungan, dan kebersamaannya selama ini, senang bisa menjadi bagian dari kalian.

7. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kebakaran Hutan dan Lahan 2

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan 3

Teknologi Penginderaan Jauh 5

Sistem Informasi Geografis 9

METODE 11

Bahan dan Alat 11

Tahap Penelitian 11

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 15

Letak Geografis 15

Topografi 16

Iklim 16

Jumlah Penduduk 17

Perekonomian 17

HASIL DAN PEMBAHASAN 18

Jumlah Titik Panas di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2012 18 Evaluasi Kerapatan Titik Panas Terhadap Berbagai Faktor 20 Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan 26 Pemetaan Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan 29

SIMPULAN DAN SARAN 32

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 35

(12)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik band Landsat 7 ETM+ 8

2 Bahan yang digunakan dalam penelitian 11

3 Kerapatan titik panas pada berbagai penutupan/penggunaan lahan 23 4 Kerapatan titik panas pada berbagai kedalaman gambut 25 5 Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 1 27 6 Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 2 28 7 Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 3 28

8 Matrik akurasi model terpilih 30

9 Persentase luas daerah berdasarkan kelas kerentanan kebakaran 30 10 Persentase luas kerentanan kebakaran per kecamatan 32

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram tahap penelitian 15

2 Peta lokasi penelitian 16

3 Jumlah titik panas tahun 2005-2012 18

4 Jumlah titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas 19 5 Peta sebaran titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas 20 6 Pola hubungan kerapatan titik panasterhadap jarak dari desa 21

7 Sebaran titik panas terhadap pusat desa 21

8 Pola hubungan kerapatan titik panasterhadap jarak dari jalan 22 9 Sebaran titik panas terhadap jarak dari jalan 22 10 Pola hubungan kerapatan titik panasterhadap jarak dari sungai 22 11 Sebaran titik panas terhadap jarak dari sungai 23 12 Pola hubungan kerapatan titik panasterhadap penutupan/penggunaan

lahan 24

13 Sebaran titik panas terhadap penutupan/penggunaan lahan 24 14 Pola hubungan kerapatan titik panas berdasarkan kedalaman gambut 25 15 Peta sebaran titik panas tahun 2009 pada gambut di Kabupaten

Kapuas 26

16 Grafik hubungan antara skor komposit model 1 dan kerapatan titik

(13)

17 Grafik hubungan antara skor komposit model 2 dan kerapatan titik

panas 28

18 Grafik hubungan antara skor komposit model 3 dan kerapatan titik

panas 29

19 Peta tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten

Kapuas 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Skor masing‐masing sub faktor pada faktor kedalaman gambut 35

2 Skor masing‐masing sub faktor pada faktor penutupan/penggunaan lahan 35

3 Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap sungai 35 4 Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap jalan 36 5 Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat desa 36 6 Presentase luas kerentanan kebakaran per kecamatan 37

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi masalah serius sejak tahun 1982/1983, berawal dari kebakaran hutan di Kalimantan Timur seluas 3.6 juta ha yang terjadi karena musim kering panjang yang disebabkan oleh El-Nino. Sejak tahun 1991 peristiwa El-Nino lebih sering terulang dan makin panjang, yaitu setiap tiga tahun sehingga menimbulkan kebakaran yang makin meluas. Menurut Suratmo (2003) beberapa pakar berpendapat bahwa makin meluasnya areal yang terbakar sejak tahun 1991 disebabkan oleh makin banyaknya hutan alam yang diubah menjadi hutan produksi (HPH dan HTI), perkebunan, pertanian, permukiman, dan lain sebagainya. Perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan kebijakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akibat peningkatan jumlah penduduk.

Titik panas (hotspots) merupakan sebuah istilah untuk area yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ambang batas yang telah ditentukan oleh data digital satelit. Data setelit tersebut dapat diperoleh dari sensor yang terpasang pada sebuah satelit, seperti sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) pada satelit Terra dan Aqua atau sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) pada satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration). Selama ini titik panas banyak dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pemantauan kebakaran hutan/lahan, penduga terjadinya kebakaran hutan/lahan, pengendalian kebakaran hutan/lahan, atau prediksi kebakaran hutan/lahan berdasarkan pola penyebaran titik panas. Berdasarkan data titik panas tahun 2002-2006, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi dengan jumlah titik panas terbanyak, selain Provinsi Riau dan Sumatera Selatan (Samsuri et al. 2012). Kabupaten Kapuas merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan dengan jumlah titik panas yang cukup tinggi setiap tahunnya.

Purbowaseso (2004) mendefinisikan bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan diantaranya terjadi karena faktor alam dan faktor aktifitas manusia. Faktor alam yang dapat menyebabkan kebakaran misalnya aktifitas vulkanis dan sembaran petir pada hutan atau lahan yang kering. Sementara, faktor aktifitas manusia yang menyebabkan kebakaran misalnya adalah kegiatan penyiapan lahan untuk ladang, perkebunan, dan HTI. Kebakaran hutan dan lahan dapat memberikan dampak buruk seperti kerusakan ekologis, merosotnya nilai ekonomi hutan, dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan menurunkan keanekaragaman sumber daya alam hayati.

(16)

2

Informasi Geografis (SIG). Hasil analisis menghasilkan model spasial, yang dapat memetakan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Peta kerentanan kebakaran hutan dan lahan tersebut diharapkan dapat memudahkan untuk pemantauan resiko kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas, dan dapat menjadi masukan bagi pengambilan kebijakan dalam rencana pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pola sebaran titik panas tahun 2005-2012 di Kabupaten Kapuas

2. Mengidentifikasi faktor-faktor pemicu yang menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas

3. Membangun model spasial tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas

4. Memetakan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan (PERMENHUT No. P. 12/Menhut-II/2009 pasal 1 angka 2). Menurut Syaufina (2008) kebakaran hutan merupakan kejadian di mana api membakar bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan bukan hutan di mana api membakar material organik di bawah permukaan serasah seperti yang terjadi pada lahan gambut. Kebakaran di Indonesia seringkali membakar areal hutan dan areal bukan hutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api dari kawasan hutan ke kawasan bukan hutan, atau sebaliknya.

Berdasarkan posisi terjadinya kebakaran hutan, Sahardjo (2003) membedakan kebakaran hutan menjadi tiga tipe :

a. Kebakaran Bawah (Ground Fire)

(17)

3

b. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Kebakaran permukaan merupakan kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, seperti serasah dan vegetasi-vegetasi kecil yang ada di permukaan lantai hutan. Kebakaran jenis ini paling sering terjadi pada tegakan hutan sekunder dan hutan alam, kecuali di daerah rawa gambut yang dominan dengan kebakaran bawah. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih tinggi bahkan sampai pada tajuk pohon, sesuai dengan tingkat perkembangannya.

c. Kebakaran atas (Crown Fire)

Kebakaran atas atau kebakaran tajuk adalah kebakaran yang berkembang dari bagian atas pohon yang satu ke tajuk pohon yang lainnya, dan berasal dari kebakaran permukaan yang menjalar kearah tajuk permukaan pohon. Dalam tegakan hutan yang rapat pada kondisi tanah yang curam dan dengan tiupan angin yang cepat, kebakaran tajuk dapat pula menyebabkan kebakaran permukaan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh faktor biofisik dan faktor aktivitas manusia. Menurut Suratmo (2003) penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah Indonesia dipengaruhi oleh faktor manusia baik karena kelalaian maupun kesengajaan (pembukaan lahan) dan kecil kemungkinan disebabkan oleh fenomena alamiah seperti sembaran petir, gesekan kayu, dan lain-lain. Purbowaseso (2004) juga menjelaskan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan meliputi bahan bakar, cuaca, waktu, jenis tanah dan topografi. Selain itu, Kayoman (2010) mengungkapkan bahwa faktor aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap kebakaran hutan dan lahan.

Bahan Bakar

a. Ukuran Bahan Bakar

Semakin halus bahan bakar menunjukkan bahan bakar tersebut akan lebih mudah mengering jika terkena cahaya matahari tetapi bahan bakar halus akan lebih mudah dalam menyerap air akibat dari luas permukaan yang besar. Sehingga, dari sifat tersebut dapat diketahui bahwa apabila nyala api mengenai bahan bakar yang halus maka api akan terbakar dengan cepat tetapi cepat pula padam.

b. Susunan Bahan Bakar

Bahan bakar yang terdapat di alam dapat tersusun secara horizontal maupun vertikal. Susunan horizontal akan berpengaruh terhadap luasan penyebaran kebakaran, sedangkan susunan vertikal akan mempengaruhi ukuran dan kemampuan nyala api.

c. Volume Bahan Bakar

Volume bahan bakar akan menunjukkan intensitas besarnya kebakaran sehingga dapat pula digunakan untuk memprediksi kerusakan yang terjadi. d. Jenis Bahan Bakar

(18)

4

e. Kandungan Air Bahan Bakar

Kandungan air akan berpengaruh terhadap kemudahan bahan bakar menyala serta kecepatan menyebarnya api (Purbowaseso 2004).

Cuaca

a. Angin

Angin akan menurunkan kelembaban udara sehingga mempercepat pengeringan bahan bakar serta memperbesar ketersediaan oksigen sehingga api dapat berkobar dan cepat merambat ke daerah sekitarnya.

b. Suhu

Suhu yang tinggi akan mempercepat bahan bakar mengering sehingga lebih rentan terhadap kebakaran.

c. Curah Hujan

Curah hujan tinggi menyebabkan bahan bakar akan mengandung kadar air tinggi serta mempengaruhi kelembaban udara lingkungan sekitar menjadi lebih tinggi sehingga akan sulit terjadi kebakaran.

d. Keadaan Air Tanah

Faktor air tanah akan terlihat pengaruhnya pada kebakaran lahan gambut. Pada musim kemarau, kondisi air tanah bisa menurun sehingga menyebabkan permukaan air tanah juga menurun sehingga menyebabkan lapisan atas gambut menjadi kering.

e. Kelembaban Nisbi

Kelembaban udara yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan bakar, dimana bahan bakar tersebut akan menyerap air dari udara yang lembab tersebut sehingga bahan bakar menjadi sulit untuk terbakar (Purbowaseso 2004).

Waktu

Dalam hal ini, waktu terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Pada waktu siang hari, umumnya kondisi cuaca yang terjadi adalah kelembaban udara rendah, suhu udara tinggi, dan angin bertiup kencang, sedangkan pada waktu malam hari kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu kelembaban udara tinggi, suhu udara rendah dan angin bertiup lebih kencang (Purbowaseso 2004).

Topografi

Kelerengan mempengaruhi penjalaran api, sifat-sifat nyala api, dan perilaku api lainnya. Api menjalar lebih cepat ke arah atas lereng daripada ke bawah lereng. Kecepatan penjalaran api menaiki lereng sampai kelerengan 20º relatif sama. Akan tetapi pada kelerengan 30º, kecepatan penjalaran akan meningkat secara signifikan. Hal ini berbeda pada saat api menuruni lereng, kecepatan api saat menuruni lereng akan lebih lambat daripada menaiki lereng (Purbowaseso 2004).

Tipe Tanah

(19)

5

yang terjadi pada tipe tanah gambut sangat berbahaya dan sulit dideteksi, karena tipe kebakaran gambut penjalarannya melalui bawah permukaan (Purbowaseso 2004).

Faktor Aktifitas Manusia

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia berawal dari pembakaran yang dilakukan oleh manusia baik masyarakat maupun perusahaan. Pembakaran tersebut dilakukan untuk kegiatan pembersihan lahan (land clearing) yang akan digunakan untuk lahan pertanian maupun perkebunan. Kebakaran hutan dan lahan yang yang terjadi karena aktifitas manusia dipengaruhi oleh jarak terhadap jalan dan jarak terhadap sungai. Kejadian kebakaran banyak terjadi pada jarak yang dekat terhadap jalan dan sungai, karena jalan dan sungai merupakan akses yang akan memudahkan masyarakat untuk masuk ke lokasi yang akan dibuka menjadi lahan pertanian maupun perkebunan (Kayoman 2010).

Teknologi Penginderaan Jauh

Penginderaan jarak jauh merupakan suatu sarana yang sangat bermanfaat dalam berbagai aspek yang terkait dengan masalah-masalah manajemen kebakaran. Penginderaan jarak jauh dapat digunakan pada pra-perencanaan kebakaran yang terkait langsung dengan organisasi sumberdaya guna menangani kondisi darurat tersebut. Tahap ini mencakup pengetahuan tentang kondisi rawan, nilai hutan, kualitas lahan, pola cuaca, kondisi bahan bakar dan topografi (Jaya 2003).

Titik Panas

Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Definisi tersebut tertulis dalam pasal 1 angka 9 Permenhut No.P12//P Menhut-II/2009. Titik panas diperoleh dari data setelit yang ditangkap oleh sensor yang terpasang pada sebuah satelit, seperti sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) pada satelit Terra dan Aqua atau sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) pada satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration). Titik panas yang ditangkap oleh satelit akan diproyeksikan menjadi suatu pixel yang juga akan menunjukkan koordinat geografisnya. Pixel merupakan unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu pixel pada citra satelit NOAA, Aqua, dan Terra setara dengan area seluas 1 km2 di lapangan. Namun 1 pixel tidak setara dengan 1 km2 luas kebakaran. Jika terjadi kebakaran pada koordinat tertentu, koordinat tersebut akan ditampilkan di tengah pixel, meskipun kebakaran yang terjadi berada di pinggir pixel, sehingga untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang lebih 1 km2 dari lokasi koordinat titik panas tersebut (Purwanto 2012). Oleh sebab itu, titik panas dari lokasi kebakaran di lapang dapat bergeser hingga radius ±1 km di sekeliling koordinat titik panas tersebut.

(20)

6

satelit Aqua diluncurkan pada 4 Mei 2002. Satelit Terra melintas dari utara ke selatan memotong garis khatulistiwa pada jam 10.30 dan 22.30 setiap hari. Satelit Aqua melintas dari selatan ke utara melewati garis khatulistiwa pada jam 13.30 spasialnya bervariasi antara 250 m hingga 1000 m diantaranya 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7), dan 1000 m (band 8-36) (Prahasta 2009).

NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administartion) merupakan satelit cuaca milik Amerika Serikat yang didesain untuk memperoleh informasi tentang hidrologi kelautan dan studi-studi iklim untuk kepentingan meterologi. Satelit ini mengorbit pada ketinggian orbit 833±18.5 km, inklinasi sekitar 98.7°– 98.9°, dan mempunyai kemampuan mengindera suatu daerah yang sama setiap 12 jam, serta data direkam dengan resolusi radiometrik 10 bit. Satelit ini dilengkapi dengan 6 (enam) sensor utama, yaitu : AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde), HIRS (High Resolution Infrared Sounder) bagian dari TOVS, DCS (Data Collection System), SEM (Space Environment Monitor), dan SARSAT (Search And Rescue Sattelite System). Sensor yang relevan untuk pemantauan bumi adalah sensor AVHRR, sensor ini mampu mendeteksi adanya anomali panas permukaan bumi untuk mendapatkan titik panas. Sensor AVHRR-NOAA mampu mendeteksi permukaan bumi dengan resolusi spasial sebesar 1,1 km x 1,1 km atau sekitar 100 ha. Meskipun demikian, untuk kondisi suhu yang sangat tinggi, misalnya pembukaan lahan dengan pembakaran atau kebakaran hutan akan terdeteksi meskipun luasannya belum mencapai 100 ha, karena sensor AVHRR sangat peka (sensitif) terhadap panas (Sutanto 2000).

Titik panas yang dideteksi oleh satelit NOAA maupun MODIS banyak dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pemantauan kebakaran hutan/lahan, penduga terjadinya kebakaran hutan/lahan, pengendalian kebakaran hutan/lahan, atau prediksi kebakaran hutan/lahan berdasarkan pola penyebaran titik panas. Mendeteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan cara melakukan pengamatan terhadap jumlah dan sebaran titik panas yang diperoleh dengan melakukan pengolahan terhadap data citra satelit. Pengolahan dilakukan dengan menggunakan metode deteksi titik panas sesuai dengan karakteristik dari sensor yang digunakan.

Menurut Hiroki dan Prabowo (2003), metode deteksi titik panas ada tiga, yaitu (1) perolehan data dan prapemrosesan, (2) metode sederhana, dan (3) metode algoritma kontekstual.

1. Perolehan data dan prapemrosesan

(21)

7

2. Metode sederhana

Metode ini dilakukan dengan menetapkan batas nilai ambang suhu kecerahan tertentu, pada matriks citra. Titik panas akan terdeteksi jika nilai suhu kecerahan suatu pixel pada citra lebih besar atau sama dengan nilai ambang batas, begitu pula sebaliknya, jika nilai suhu kecerahan pada pixel tersebut lebih kecil dari nilai ambang, maka pixel tersebut bukan merupakan titik panas. Menurut bentuk logika boolean pernyataan di atas dinyatakan dengan :

IF nilai citra > 

THEN nilai citra = titik panas, ELSE nilai citra = bukan titik panas

dimana nilai citra adalah suhu kecerahan saluran yang digunakan dan  nilai ambang.

Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang kaku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Kelebihan metode ini adalah pada kesederhanaan proses perhitungannya, yaitu waktu pemrosesannya lebih singkat. Kelemahannya adalah tidak dapat mengeliminasi efek kilau surya (sunglint), karena pada kondisi-kondisi tertentu dapat terjadi efek kilau surya. Misalnya jika sudut perekaman terlalu rendah dan mengenai objek air atau atap rumah pemukiman yang terbuat dari seng, ataupun pada lahan gundul yang berpasir.

3. Metode algoritma kontekstual

Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan pada metode sederhana. Jika pada metode sederhana digunakan hanya satu saluran saja, maka pada metode ini digunakan lebih dari satu saluran untuk memproses data titik panas yang ditangkap oleh citra agar data yang diperoleh lebih akurat.

Hasil pengolahan data citra satelit yang diperoleh masih memiliki ketidakakuratan yang disebabkan oleh kelemahan satelit. Kelemahan dari satelit NOAA-AVHRR salah satunya yaitu sensor tidak mampu menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan pada satelit MODIS yaitu sensornya tidak dapat menembus awan, asap, dan kanopi tajuk, sehingga akan sangat merugikan apabila kebakaran besar terjadi karena wilayah tersebut tertutup asap. Kejadian ini sering terjadi pada musim kebakaran, sehingga jumlah titik panas yang terdeteksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Kedua satelit tersebut juga memiliki kelemahan dalam keakuratan posisi (sudut) saat melintas dengan stasiun penerima.

(22)

8

tidak melakukan pembakaran karena dilarang) (Fire Fight South East Asia 2002 dalam Heryalianto 2006).

Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Satelit Landsat 7 sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) merupakan satelit observasi permukaan bumi yang masih digunakan hingga sekarang. Satelit ini diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, dengan orbit pada ketinggian 705 ± 5 km, dengan siklus 16 hari. Sensor ETM 7 band dengan penambahan band pankromatik (band 8), dan resolusi radiometrik 8 bit. Karakteristik band ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik band Landsat 7 ETM+

Band

Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai, pembeda vegetasi-tanah, dan analisis penggunaan lahan.

2 0.52-0.60 Hijau Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi untuk membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan

3 0.63-0.69 Merah

Untuk penyerapan klorofil, memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi dan membantu dalam penentuan spesies tumbuhan

4 0.76-0.90

Infra merah

dekat

Berguna untuk menentukan tipe vegetasi, dan biomassa vegetasi, dan memperkuat kontras antara tanaman tanah dan tubuh air dan pembeda

Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air vegetasi dan kondisi kelembaban tanah.

6 10.40-12.50

Infra merah termal

Sensitif terhadap gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan untuk klasifikasi vegetasi serta untuk gejala lain yang berhubungan dengan panas.

7 2.09-2.35

Infra merah sedang

Sangat berguna sebagai pembeda tipe mineral dan batuan.

(23)

9

Menurut Jaya (2003) pada daerah sinar tampak dan inframerah dekat serta sedang, energi yang direflektansikan dan direkam oleh sensor sangat bergantung pada sifat-sifat obyek yang bersangkutan seperti pigmentasi, kadar air, struktur sel daun atau percabangan dari vegetasi, kandungan mineral, dan kadar air tanah serta tingkat sedimentasi pada air. Oleh karena itu kombinasi dari satu band sinar tampak, satu band dari inframerah dekat, dan satu band dari inframerah sedang dianggap sebagai kombinasi yang cukup ideal digunakan untuk mendeteksi berbagai penutupan lahan.

Terdapat banyak aplikasi dari data Landsat TM: pemetaan penutupan lahan, pemetaan penggunaan lahan, pemetaan tanah, pemetaan geologi, pemetaan suhu permukaan laut, dan lain-lain. Untuk pemetaan penutupan dan penggunaan lahan data Landsat TM lebih dipilih daripada data SPOT multispektral karena terdapat band infra merah menengah. Landsat TM adalah satu-satunya satelit non-meteorologi yang mempunyai band inframerah termal. Data termal diperlukan untuk studi proses-proses energi pada permukaan bumi seperti variabilitas suhu tanaman dalam areal yang diirigasi (Thoha 2008).

Beberapa penelitian yang terkait dengan penyediaan peta penutupan/penggunaan lahan khususnya dibidang kehutanan yang berhubungan dengan sifat-sifat vegetasi telah banyak menggunakan citra Landsat. Penelitian yang memanfaatkan citra Landsat diantaranya Ratnasari (2000) menggunakan citra Landsat untuk pemantauan kebakaran hutan di Kalimantan Timur, Kayoman (2010) menggunakan citra Landsat untuk menentukan penutupan/penggunaan di Kalimantan Barat yang merupakan salah satu variabel yang digunakan penelitiaanya mengenai pemodelan spasial resiko kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat. Menurut Ratnasari (2000) dari hasil interpretasi secara visual citra komposit warna 542 Landsat-TM dapat diketahui bahwa lahan terbuka akibat kebakaran nampak dengan warna merah tua dan pola yang tidak teratur, lahan yang sedang terbakar juga berwarna merah tua namun tampak lebih gelap, hal ini ditandai dengan adanya sumber asap yang tampak berwarna biru muda dan menyebar mengikuti pola arah angin.

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografi (SIG) mencakup juga sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan, manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional. Kemampuan untuk melaksanakan analisis spasial yang kompleks secara cepat mempunyai keuntungan kualitatif dan kuantitatif, dimana skenario-skenario perencanaan, model-model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, dan tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan membuat perbaikan secara terus-menerus (Barus dan Wiradisastra 2000).

(24)

10

lahan yaitu dengan menggunakan Analisis Pemetaan Gabungan (Composite Mapping Analysis/CMA).

Composite Mapping Analysis

Analisis Pemetaan Gabungan (Composite Mapping Analysis/CMA), merupakan metode yang umum digunakan untuk aplikasi di bidang lingkungan, seperti pemodelan spasial kebakaran hutan. Arianti (2006), Jaya et al. (2007), Samsuri (2008) dan Kayoman (2010) menggunakan CMA untuk membuat pemodelan spasial kerawanan kebakaran hutan dan lahan. CMA memanfaatkan overlay poligon atau memanfaatkan kemampuan manipulasi sel (raster) dari SIG. Metode ini dilakukan dengan memberikan bobot terhadap peubah yang telah diskala, sehingga skor total merupakan kombinasi yang linier. Penentuan tingkat bobot ini tergantung kebutuhan sesuai ruang lingkup permasalahan yang akan dipecahkan dengan pengetahuan yang lengkap. CMA yang berbasis SIG biasanya menggabungkan faktor-faktor yang terkait dengan bencana dan manusia (Arianti 2006).

Samsuri (2008) mendefinisikan metode analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis/CMA) merupakan salah satu cara penentuan bobot dan skor suatu peubah spasial yang dilakukan secara empiris. Hubungan antara jumlah titik panas per km² dengan faktor-faktor penyusun kerawanan kebakaran hutan dan lahan dianalisis untuk menurunkan nilai skor masing-masing faktor. Faktor yang memiliki korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan faktor yang lain dipilih dan digunakan untuk menyusun model regresi linear berganda. Bobot masing-masing peubah adalah proporsi setiap koefesien korelasi dari regresi linear terhadap seluruh koefesien regresinya.

Menurut Mapilata (2013) pada metode CMA dilakukan karakteristik lokasi berdasarkan hubungan spasial dari faktor-faktor yang relevan mempengaruhi suatu kejadian yang ada atau diusulkan. Secara spasial metode CMA memanfaatkan fungsi overlay polygon atau manipulasi raster dari SIG. Interaksi antara kejadian kebakaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran dilakukan dengan memberikan pembobotan dan skor faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran terhadap kejadian kebakaran yang telah diskala sehingga menghasilkan suatu indek gabungan yang linier.

C = ∑ atau C = + + ⋯+ = 1

(25)

11

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah yang merupakan wilayah dengan jumlah titik panas lebih banyak dibandingkan dengan wilayah kabupaten lain di Kalimantan Tengah. Persiapan dan pengolahan data/citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Pengumpulan data dimulai dari bulan Maret sampai Juni 2013, yang dilanjutkan dengan pengolahan data dari bulan Juni sampai Desember 2013.

Bahan dan Alat

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2009. Data sekunder terdiri atas peta administrasi, penutupan/pengggunaan lahan, jaringan jalan, jaringan sungai, pusat desa, kedalaman gambut, dan data titik panas MODIS tahun 2009. Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Data Sumber Data 3. Peta jaringan jalan, jaringan

sungai, pusat desa, dan kedalaman gambut

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah 4. Data Titik Panas MODIS tahun

2009

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer, perangkat lunak ArcGis versi 9.3, Erdas Imagine versi 9.1, dan MINITAB versi 14.

Tahap Penelitian

Pengumpulan Data Digital

(26)

12

titik panas, digunakan untuk membangun model spasial. Pada penelitian ini tidak menggunakan data curah hujan karena lokasi penelitian hanya mencakup tingkat kabupaten saja sehingga tidak memiliki curah hujan yang beragam, selain itu data topografi juga tidak digunakan karena lokasi penelitian memiliki kemiringan lereng yang relatif datar.

Data penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari hasil pengolahan citra satelit Landsat yang diunduh dari URL glovis.usgs.gov, sedangkan data titik panas MODIS tahun 2009 diunduh dari URL modis.gsfc.nasa.gov. Kedua data tersebut dikonversi atau disiapkan menjadi data vektor sehingga dapat diproses atau diolah dalam SIG. Data kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai diperoleh dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah yang sudah berbentuk data vektor sehingga dapat langsung digunakan untuk pengolahan data.

Pengolahan Data Peubah Model

Data peubah model yang digunakan, yaitu data kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai sudah berupa data vektor sehingga tidak perlu dilakukan digitasi lagi, sedangkan data peubah lainnya, yaitu penutupan/penggunaan lahan, didapatkan dari pengolahan citra satelit Landsat tahun 2009. Proses pengolahan citra akan dijelaskan pada sub-bab selanjutnya. Data tersebut disajikan dengan sistem proyeksi yang sama yaitu UTM (Universal Tranverse Mercator).

Pengolahan Citra Satelit Landsat

Hasil akhir yang diinginkan dari pengolahan citra Landsat adalah peta penutupan/penggunaan lahan sebagai salah satu peubah yang digunakan dalam penelitian ini. Kegiatan dalam pengolahan citra antara lain georeferensi, mosaicing, histogram matching, dan cropping. Kemudian dilakukan interpretasi citra secara visual dengan kombinasi band yang digunakan adalah 5-4-3 (RGB), dengan menggunakan unsur interpretasi: rona (berkaitan dengan derajat keabuan suatu obyek), tekstur (frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk (berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari obyek tunggal), bayangan, dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek-obyek yang lain).

Interpretasi objek dilakukan melalui 3 tahap, yaitu deteksi, identifikasi, dan klasifikasi. Deteksi dilakukan untuk mengamati keberadaan suatu objek, selanjutnya diidentifikasi untuk mencirikan objek. Pada tahap analisis dikumpulkannya keterangan yang lebih lanjut dengan memperhatikan unsur interpretasi. Tahap selanjutnya yaitu klasifikasi untuk membatasi dan membagi penutupan/penggunaan lahan yang berbeda. Tahap ini mengacu pada Petunjuk Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kementerian Kehutanan (Tahun 2010). Hasil dari tahap interpretasi citra adalah peta penutupan/penggunaan lahan tentatif tahun 2009 dengan kelas penutupan /penggunaan lahan sebanyak 20 kelas.

Pengolahan Data Titik panas

(27)

13

koordinat geografisnya. Berdasarkan data ini dilakukan analisis kerapatan titik panas (titik panas per km2), yang selanjutnya digunakan sebagai parameter model spasial tingkat kerentanan. Nilai kerapatan titik panas ditentukan dengan menggunakan fungsi analysis calculate density pada perangkat lunak ArcGis versi 9.3, kemudian nilai kerapatan titik panas tersebut dikelaskan menjadi 5 kelas kerentanan, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Model spasial tingkat kerentanan kebakaran dibangun berdasarkan hubungan antara kerapatan titik panas dan masing-masing peubahnya, yaitu kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai, dan penutupan/penggunaan lahan.

Pemodelan Kerentanan kebakaran

Pemodelan dilakukan dengan pendekatan CMA (Jaya et al., 2007). Kebakaran hutan dan lahan disebakan oleh faktor alam (biofisik) dan faktor akibat aktivitas manusia. Dalam penelitian ini, peubah merepresentasikan aktifitas manusia yaitu jarak terhadap pusat desa (x1), jarak terhadap jalan (x2), dan jarak terhadap sungai (x3), representasi biofisik yaitu kedalaman gambut (x4), dan representasi dari aktifitas biofisik dan manusia adalah penutupan/penggunaan lahan (x5). Pemodelan spasial mengikuti tahapan berikut :

a. Penentuan Skor Aktual (actual score)

Nilai skor masing-masing sub faktor dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (1) dan (2).

Xi = skor kelas (peubah) biofisik

Zi = skor kelas (peubah) aktifitas manusia

Oi = jumlah titik panas yang ada pada setiap sub faktor Ei = jumlah titik panas yang diharapkan pada setiap sub faktor T = jumlah total titik panas

F = persentase luas daerah dalam setiap sub faktor b. Penentuan Skor Dugaan (estimated score)

Berdasarkan hubungan antara skor setiap faktor dan kerapatan titik panas dihitung nilai skor dugaan menurut pola regresi linear yang memiliki koefisien determinasi (R2) yang lebih tinggi.

c. Perhitungan Nilai Skor Skala (rescalling score)

Nilai skor skala dihitung dengan menggunakan persamaan 3 (Jaya et al. 2007). ScoreR.Out =

ScoreE.input – ScoreE.min

ScoreE.max – ScoreE.min Score.Rmax - ScoreR.min +ScoreR.min (3)

Keterangan :

Score Rout = nilai skor hasil rescalling

Score Einput = nilai skor dugaan (estimated score) input

Score Emin = nilai minimal skor dugaan

Score Emax = nilai maksimal skor dugaan

Score Rmax = nilai skor tertinggi hasil rescalling

(28)

14

d. Pembuatan Persamaan Matematika

Skor komposit ditentukan dengan metode CMA (Composite Mapping Analysis), dengan bobot yang dihitung dari pendekatan kuantifikasi. Selanjutnya, untuk membangun model ditentukan hubungan antara skor komposit dengan kerapatan titik panas sehingga dapat ditentukan skor kerentanan.

e. Uji Signifikansi Model

Pengujian signifikansi model dilakukan untuk memilih model terbaik yang memiliki akurasi tertinggi menggunakan uji Z.

f. Pembuatan Peta Kelas Kerentanan Kebakaran

Tingkat kerentanan kebakaran dikelompokkan menjadi 5 kelas berdasarkan skor kerentanan.

g. Validasi Model

Validasi model ditentukan berdasarkan nilai matrik koinsidensi antara tingkat kerentanan kebakaran menurut model dan tingkat kerentanan kebakaran menurut kerapatan titik panas dengan menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix). Nilai akurasi dihitung dengan persamaan :

OA = ∑ Xii

r i=1

N x 100% (4)

Keterangan :

OA = nilai validasi keseluruhan

Xii = Coincided value atau luasan kelas kerentanan yang sama antara model dan kerapatan titik panas

N = total area validasi

(29)

15

Gambar 1 Diagram tahap penelitian

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Letak Geografis

Kabupaten Kapuas adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukota kabupaten di Kuala Kapuas. Secara geografis Kabupaten Kapuas terletak di antara 0o8'48" sampai dengan 3o27'00" Lintang Selatan dan 113o2'36" sampai 114o44'00" Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Kapuas adalah 14 999 km2 yang terbagi menjadi 17 kecamatan yaitu Basarang, Bataguh, Dadahup, Kapuas Barat, Kapuas Hilir, Kapuas Hulu, Kapuas Kuala, Kapuas Murung, Kapuas Tengah, Kapuas Timur, Mandau Talawang, Mantangai, Pasak Talawang, Pulau Petak, Selat, Tamban Catur, dan Timpah.

Batas administrasi wilayah Kabupaten Kapuas berbatasan dengan kabupaten-kabupaten: sebelah utara dengan Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya, sebelah selatan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan, sebelah barat dengan Kabupaten Pulang Pisau, Kota Palangkaraya, dan Gunung Mas, dan sebelah timur dengan Kabupaten Barito

Jarak Desa Penutupan/ Penggunaan

Lahan Tahun 2009

Jarak Jalan Jarak Sungai Kedalaman Gambut M enganalisis Hubungan antara Kerapatan Titik Panas Tahun

2009 dengan Fakt or Kerentanan

(30)

16

Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Topografi

Kabupaten Kapuas mempunyai topografi yang secara umum terbagi menjadi dua bagian kawasan besar, yaitu kawasan pasang surut (sebelah selatan yang berpotensi untuk pertanian tanaman pangan) dan kawasan bukan pasang surut (bagian utara yang berpotensi untuk perkebunan karet rakyat dan perkebunan besar swasta). Bagian selatan merupakan daerah pesisir, dataran rendah, dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan air laut dan kemiringan lereng 0-8%. Sementara bagian utara merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dengan ketinggian antara 50-500 meter dari permukaan air laut dan memiliki kemiringan lereng 8-15%.

Selain itu daerah Kabupaten Kapuas memiliki daerah/wilayah perairan yang meliputi danau, rawa, dan beberapa sungai besar, yaitu:

1. Sungai Kapuas Murung dengan panjang ± 66.38 km 2. Sungai Kapuas dengan panjang ± 600 km

3. Daerah Pantai/Pesisir Laut Jawa dengan panjang ± 189.85 km

Iklim

(31)

17

maksimal mencapai 36 oC. Intensitas penyinaran matahari selalu tinggi dan sumber daya air cukup banyak, sehingga menyebabkan tingginya penguapan yang menimbulkan awan aktif/tebal. Curah hujan terbanyak jatuh pada bulan Februari berkisar 116-973 mm tiap tahun, sedangkan bulan kering/kemarau jatuh pada bulan Juli sampai Oktober.

Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Kapuas sekitar 338 583 jiwa dengan klasifikasi 171 070 laki-laki dan 167 513 perempuan (Kapuas dalam Angka tahun 2009). Tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Kapuas rata-rata sebanyak 22.57 orang per km2. Komposisi penduduk serta penyebaran yang belum merata dan keberadaan penduduk masih banyak yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kabupaten dan kecamatan. Tingkat pendidikan di kabupaten ini yaitu, kemampuan baca tulis masyarakat Kapuas cukup tinggi. Lebih dari 95% penduduknya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, namun kurang dari 50% yang berlanjut sampai ke jenjang Sekolah Lanjut Tingkat Atas. Penduduk laki-laki memiliki kemampuan baca tulis lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, dan penduduk yang tinggal didaerah perkotaan memiliki kemampuan baca tulis yang lebih baik dibandingkan penduduk perdesaan.

Pasar tenaga kerja di Kapuas masih dalam kondisi tingginya angkatan kesempatan kerja. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persentase penduduk usia kerja yang bekerja yang besarnya mencapai lebih dari 90%. Berdasarkan perbandingan menurut kelompok sektor tahun 2009, pilihan bekerja disektor primer mendominasi tenaga kerja (73.25%), diikuti sektor tersier (19.67%), dan sisanya bekerja disektor sekunder. Sebagian besar penduduk Kapuas menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

Perekonomian

Sektor pertanian tanaman pangan dengan komoditi utama padi merupakan salah satu andalan kabupaten yang merupakan lumbung pangan Kalimantan Tengah, yang dapat menjadi penopang perekonomian masyarakat Kapuas. Tak kurang dari 52% produksi beras Kalimantan Tengah dipasok oleh Kabupaten Kapuas. Kabupaten ini memang didukung lahan pertanian seluas 76.80 ribu ha dari potensi lahan 277 ribu ha. Prospek perluasan areal persawahan di daerah ini masih terbuka lebar. Misalnya di Kecamatan Selat, Kapuas Hilir, Kapuas Murung, Pulau Petak, Basarang, Kapuas Barat, dan Kecamatan Mantangai. Inilah kawasan yang termasuk dalam program Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar tempo dulu yang kini tengah dibangkitkan lagi.

(32)

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Titik Panas di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2012

Titik panas merupakan salah satu indikator adanya kejadian kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah. Sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua pada periode 2005 sampai 2012 (8 tahun) dapat merekam kemunculan titik panas di Kabupaten Kapuas dengan jumlah titik panas yang berbeda setiap tahunnya, seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Jumlah titik panas tahun 2005-2012

Jumlah titik panas tahunan yang dapat diidentifikasi oleh sensor MODIS Tahun 2005 tercatat 628 titik, meningkat drastis di tahun 2006 dan tahun 2007 mengalami penurunan hingga tahun 2008. Tahun 2009 titik panas kembali meningkat drastis, tahun 2010 menurun, dan tahun 2011 hingga tahun 2012 menunjukan adanya peningkatan meskipun jumlahnya tidak sebanyak tahun 2006 dan 2009. Titik panas minimum terjadi pada tahun 2010 yang merupakan tahun dengan curah hujan normal atau di atas normal (basah). Dari pola ini diketahui, jumlah titik panas tinggi terjadi pada tahun 2006 dan 2009. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari fenomena anomali iklim, yaitu El-Nino yang menyebabkan kekeringan panjang, sehingga intensitas dan frekuensi kebakaran meningkat seperti pada tahun 2002, 2004, 2006, dan 2009 (Suwarsono et al. 2010). Berdasarkan informasi jumlah titik panas selama rentang waktu 2005-2012, maka dipilih titik panas tahun 2009 untuk membuat model kerentanan kebakaran hutan dan lahan dengan jumlah titik panas tertinggi.

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa jumlah titik panas tahun 2009 teridentifikasi rendah pada awal tahun (Januari-Mei). Jumlah titik panas mulai meningkat pada bulan Juni dan mencapai puncaknya pada bulan September, kemudian mengalami penurunan pada bulan Oktober. Pola titik panas tersebut terkait erat dengan pengaruh musim. Pada bulan Agustus, September, dan Oktober merupakan puncak musim kemarau dengan curah hujan yang rendah dibanding bulan lainnya. Oleh karena itu, pada musim ini titik panas banyak teridentifikasi

(33)

19

oleh satelit. Hal ini diduga karena banyaknya aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk berbagai bentuk usaha pertanian maupun perkebunan pada musim dengan curah hujan rendah.

Gambar 4 Jumlah titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas

Titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas banyak ditemukan di bagian tengah dan selatan, dimana daerah tersebut merupakan dataran rendah, daerah pesisir, dan rawa-rawa. Wilayah ini merupakan kawasan budidaya dengan penggunaan lahan utama perkebunan dan pertanian yang merupakan eks-proyek lahan gambut 1 juta ha dan sekarang mulai dimanfaatkan kembali. Sebagian masyarakat Kapuas masih melakukan sistem pertanian lokal, penyiapan lahan untuk pertanian atau perkebunan cenderung dilakukan dengan pembakaran lahan karena dianggap lebih mudah, murah, dan cepat, sehingga pada lokasi ini banyak teridentifikasi titik panas. Sebaran titik panas tahun 2009 dapat dilihat pada gambar berikut.

0 400 800 1200 1600

Ju

m

lah

T

it

ik

P

a

n

a

s

(34)

20

Gambar 5 Peta sebaran titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas

Evaluasi Kerapatan Titik Panas Terhadap Berbagai Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan

Faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang diuji dalam penelitian ini adalah jarak terhadap pusat desa (x1), jarak terhadap jalan (x2) jarak terhadap sungai (x3), kedalaman gambut (x4), dan penutupan/penggunaan lahan (x5).

Kerapatan titik panas dan jarak terhadap pusat desa

(35)

21

pusat desa. Pada jarak yang dekat dengan pusat desa penyiapan lahan sudah berkurang karena lahan untuk pertanian sudah terbatas, sehingga masyarakat memilih membuka lahan pada jarak yang lebih jauh dari pusat desa dengan mempertimbangkan kemudahan dalam hal pengawasan areal pertanian atau perkebunan. Hubungan antara titik panas terhadap jarak desa dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 6 Pola hubungan kerapatan titik panasterhadap jarak dari desa

Gambar 7 Sebaran titik panas terhadap pusat desa

Kerapatan titik panas dan jarak terhadap jaringan jalan

(36)

22

Gambar 8 Pola hubungan kerapatan titik panasterhadap jarak dari jalan

Gambar 9 Sebaran titik panas terhadap jarak dari jalan

Kerapatan titik panas dan jarak terhadap jaringan sungai

Kerapatan titik panas berdasarkan jarak terhadap sungai dapat terlihat jelas berdasarkan pola hubungannya yaitu semakin dekat dengan sungai maka kerapatan titik panas semakin tinggi dan menurun dengan bertambahnya jarak (Gambar 10). Hal ini sama dengan yang terjadi pada jarak terhadap jalan. Di Kalimantan khususnya Kabupaten Kapuas sungai merupakan akses alternatif selain jalan, sehingga adanya akses berupa sungai akan mendorong masyarakat untuk melakukan pembukaan lahan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Samsuri (2008) yang menjelaskan bahwa kedekatan dengan akses selain jalan berupa jaringan sungai juga memiliki korelasi yang positif terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Hubungan antara titik panas terhadap jarak dari sungai dapat dilihat pada Gambar 11.

(37)

23

Gambar 11 Sebaran titik panas terhadap jarak dari sungai

Kerapatan titik panas terhadap penutupan/penggunaan lahan

Penutupan lahan belukar rawa memiliki kerapatan titik panas tertinggi (0.522 per km2), sedangkan kerapatan titik panas terendah (0.018 per km2) berada di hutan lahan kering sekunder seperti terlihat pada Tabel 3 dan Gambar 12. Tingginya kerapatan titik panas di belukar rawa diduga banyaknya aktivitas pembakaran untuk pembukaan lahan pertanian maupun perkebunan pada area ini.

Selain itu, hutan rawa sekunder, lahan terbuka, perkebunan, rawa, hutan rawa primer dan belukar rawa yang ada di tanah gambut juga memiliki kerapatan titik panas yang tinggi dibanding pada penutupan/penggunaan lahan yang sama tetapi berada di tanah mineral. Hal ini diduga karena pembukaan lahan pada tanah gambut lebih banyak dibanding pada tanah mineral. Penggunaan lahan di tanah mineral sudah lebih dahulu digunakan untuk pertanian, perkebunan maupun properti seperti perumahan maupun perkantoran. Oleh karena itu sebagian besar tanah mineral sudah memiliki status kepemilikan, sehingga pembukaan lahan saat ini banyak terjadi pada tanah gambut yang masih sedikit status kepemilikannya. Hubungan antara titik panas terhadap penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 13.

Tabel 3 Kerapatan titik panas pada berbagai penutupan/penggunaan lahan

No. Penutupan/penggunaan lahan Titik

panas/km2 Luas (ha) Jumlah titik panas 1. Hutan Lahan Kering Sekunder 0.018 590 310 109

2. Hutan Tanaman 0.024 8 261 2

3. Air 0.041 17 272 7

4. Belukar 0.047 178 714 84

5. Pertambangan 0.059 6 763 4

6. Sawah 0.090 55 670 50

7. Permukiman 0.092 2 163 2

8. Pertanian Lahan Kering 0.146 20 533 30

9. Hutan Rawa Sekunder 0.183 351 674 644

10. Lahan Terbuka 0.212 46 707 99

(38)

24

12. Rawa 0.362 6 077 22

13. Hutan Rawa Primer 0.374 535 2

14. Pertanian Lahan Kering Campur 0.381 2 361 9

15. Belukar Rawa 0.522 205 504 1 073

Gambar 12 Pola hubungan kerapatan titik panas terhadap penutupan/penggunaan lahan

Gambar 13 Sebaran titik panas terhadap penutupan/penggunaan lahan

Kerapatan titik panas dan jarak terhadap kedalaman gambut

(39)

25

ha dan sekarang mulai dimanfaatkan kembali untuk budidaya pertanian maupun perkebunan.

Menurut Purbowaseso (2004) tanah gambut merupakan tanah yang banyak mengandung bahan organik seperti serasah yang belum terdekomposisi sempurna. Pada musim kemarau permukaan air tanah menurun menyebabkan lapisan permukaan atas gambut menjadi kering, kondisi ini dimanfaatkan oleh masyarakat maupun perusahaan perkebunan untuk membuka lahan gambut dengan cara dibakar. Selain itu, pembukaan lahan pada gambut juga memanfaatkan sistem kanalisasi pada daerah gambut. Sistem kanalisasi tersebut dapat mempercepat proses air di dalam tanah gambut keluar ke saluran utama, sehingga mempercepat proses pengeringan permukaan atas gambut. Gambut yang sudah kering tersebut akan sulit menjerap air kembali karena proses di dalam gambut bersifat irreversible srink (pengeringan tak balik), sehingga gambut kering akan mudah terbakar (Samsuri 2008).

Tabel 4 Kerapatan titik panas pada berbagai kedalaman gambut

No Kedalaman Gambut (cm)

Titik panas/

km2

Luas (ha) Jumlah Titik Panas

1. Bukan Gambut 0.074 1 208 125 899

2. Dangkal/Tipis (50-100 cm) 0.128 154 384 197

3. Sangat Dangkal (< 50 cm) 0.183 19 084 35

4. Dalam/Tebal (200-400 cm) 0.421 56 270 237

5. Sedang (100-200 cm) 0.471 19 728 93

6. Sangat Dalam/Sangat Tebal (400-800 cm) 0.554 152 433 845 7. Sangat Dalam Sekali/Sangat Tebal Sekali

(800-1 200 cm) 0.690 36 952 255

(40)

26

Gambar 15 Peta sebaran titik panas tahun 2009 pada gambut di Kabupaten Kapuas

Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan

(41)

27

Kerapatan titik panas dan skor komposit model 1 (x1, x2, dan x4)

Tabel 5 Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 1

Faktor Model 1

Koefisien Bobot x1 Jarak terhadap desa 0.0022 0.337 x2 Jarak terhadap jalan 0.0013 0.197 x4 Kedalaman gambut 0.0030 0.466

Model 1 disusun oleh 3 faktor penyusun: jarak terhadap desa (x1), jarak terhadap jalan (x2), dan kedalaman gambut (x4). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa faktor kedalaman gambut pada model 1 memiliki pengaruh yang lebih besar dibanding dengan faktor lainnya yaitu sebesar 46.6%, disusul oleh faktor jarak terhadap desa yaitu sebesar 33.7%, dan faktor jarak terhadap jalan yaitu sebesar 19.7% (Tabel 5). Hubungan terbaik antara kerapatan titik panas dan skor komposit model 1 (x1, x2, dan x4) ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (R2) terbaik dari model eksponensial sebesar 33.4% (Gambar 16).

Gambar 16 Grafik hubungan antara skor komposit model 1 (3 faktor) dan kerapatan titik panas

Kerapatan titik panas dan skor komposit model 2 (x1, x2, x4, dan x5)

(42)

28

Tabel 6 Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 2

Faktor Model 2

Koefisien Bobot x1 Jarak terhadap desa 0.0020 0.280 x2 Jarak terhadap jalan 0.0010 0.140 x4 Kedalaman gambut 0.0033 0.460 x5 Penutupan/penggunaan lahan 0.0008 0.110

Gambar 17 Grafik hubungan antara skor komposit model 2 (4 faktor) dan kerapatan titik panas

Kerapatan titik panas dan skor komposit model 3 (x1, x2, x3, x4, dan x5)

Pada model 3 dilakukan lagi penambahan faktor lagi dengan tujuan untuk mendapatkan nilai koefisien korelasi antara skor komposit dan kerapatan titik panas yang lebih tinggi. Model 2 dengan 4 faktor penyusun ditambahkan satu faktor lagi, yaitu jarak terhadap jalan (x2) untuk membangun model 3. Sama halnya dengan model 1 dan 2, pada model 3 faktor kedalaman gambut masih memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan faktor lainnya yaitu sebesar 49%, disusul oleh faktor jarak terhadap desa (27%), faktor terhadap penutupan/penggunaan lahan (14%), faktor jarak terhadap jalan (8%), dan faktor jarak terhadap sungai (3%) (Tabel 7). Hubungan terbaik antara kerapatan titik panas dan skor komposit model 3 (x1, x2, x3, x4, dan x5) ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi (R2) terbaik dari model eksponensial sebesar 44.9% (Gambar 18). Nilai ini lebih tinggi dibanding dengan model 2 (x1, x2, x4, dan x5). Tabel 7 Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 3

Faktor Model 3

(43)

29

x3 Jarak terhadap sungai 0.0002 0.030 x4 Kedalaman gambut 0.0036 0.490 x5 Penutupan/penggunaan lahan 0.0010 0.140

Gambar 18 Grafik hubungan antara skor komposit model 3 (5 faktor) dan kerapatan titik panas

Dari ketiga model dapat diketahui bahwa faktor kedalaman gambut sangat berpengaruh dalam menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan terutama pada tipe kebakaran bawah permukaan dengan menunjukkan perbedaan tingkat kerapatan titik panas yang cukup besar antara daerah yang bertanah gambut dan bukan gambut. Selain itu, jarak terhadap pusat desa juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kebakaran hutan dan lahan, disebabkan pembukaan lahan untuk areal pertanian maupun perkebunan sangat mempertimbangkan kemudahan dalam hal pengawasan sehingga tidak jauh dari permukiman.

Dengan demikian dalam penelitian ini, model yang dipilih adalah model yang memiliki koefisien korelasi (R2) tinggi diantara hubungan skor komposit dan kerapatan titik panas. Model 1 dengan 3 faktor penyusun memiliki koefisien korelasi (R2) sebesar 33.4%, model 2 dan 3 yang disusun oleh 4 faktor dan 5 faktor berturut-turut memiliki koefisien korelasi (R2) cukup tinggi masing-masing, yaitu sebesar 34.5% dan 44.9%. Berdasarkan nilai koefisien korelasi (R2) maka dipilih model 2 dan model 3 untuk menentukan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan.

Pemetaan Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan

(44)

30

Tabel 8 Matrik akurasi model terpilih

Jumlah Faktor Akurasi (%) 5 Kelas

4 faktor (M2) 69%

5 faktor (M3) 70%

Dari peta tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan dari model 3 diketahui bahwa sebagian besar Kabupaten Kapuas memiliki kerentanan rendah (40.21 % dari total area studi), yaitu tersebar di wilayah bagian utara dan sebagian kecil di selatan. Tingkat kerentanan tinggi dan sangat tinggi berturut-turut hanya mencapai 6.14% dan 6.06% yang tersebar di bagian tengah dan selatan wilayah kabupaten. Presentase luas daerah berdasarkan kelas kerentanan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 9 Persentase luas daerah berdasarkan kelas kerentanan kebakaran Kelas Kerentanan

Kebakaran

Luas (ha)

Persentase (%)

Sangat Rendah 656 551 40.13

Rendah 657 904 40.21

Sedang 121 977 7.46

Tinggi 100 479 6.14

Sangat Tinggi 99 188 6.06

(45)

31

Gambar 19 Peta tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas

(46)

32

Tabel 10 Persentase luas kerentanan kebakaran per kecamatan Kecamatan Kerentanan Tinggi Kerentanan Sangat Tinggi

Luas (ha)

Persentase

(%) Luas (ha)

Persentase (%)

Basarang 1 548 0.09 2 276 0.14

Bataguh 2 118 0.13 2 329 0.14

Dadahup 8 368 0.51 5 547 0.34

Kapuas Barat 1 550 0.09 1 525 0.09

Kapuas Murung 1 029 0.06 ─ ─

Mantangai 85 865 5.25 87 511 5.35

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Sebaran titik panas selama tahun 2005 sampai 2012 terindikasi maksimum pada tahun 2006 dan 2009, hal ini diduga karena adanya pengaruh kekeringan panjang (El-Nino).

2. Faktor-faktor pemicu kerentanan kebakaran hutan dan lahan secara berurutan dari paling tinggi ke rendah adalah kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, penutupan/penggunaan lahan, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai. Faktor kedalaman gambut memiliki pengaruh yang besar dibanding faktor lainnya dengan nilai bobot sebesar 49%.

3. Model spasial kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang terbaik adalah model 3 (y = 0.016e0.042x). Model ini disusun oleh 5 faktor yaitu kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, penutupan/penggunaan lahan, jarak terhadap jalan, dan jarak terhadap sungai, memiliki koefisien determinasi (R2) yang cukup (44.9%), dan dapat digunakan untuk menduga kerapatan titik panas per km2.

4. Kecamatan dengan kerentanan tinggi dan sangat tinggi terluas adalah Kecamatan Mantangai, yang memiliki luas lahan gambut terbesar dibanding kecamatan lainnya.

Saran

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk menyusun kebijakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas.

(47)

33

DAFTAR PUSTAKA

Arianti I. 2006. Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Sub DAS Kapuas Tengah Propinsi Kalimantan Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas. 2009. Kapuas dalam angka 2009. [diunduh 2013 Des 14]. Tersedia pada: http://kapuaskab.go.id/images/buku/ kda2009/index.html.

Barus B, dan Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografi; Sarana Manajemen Sumberdaya. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Heryalianto SC. 2006. Studi tentang Sebaran Titik Panas sebagai Penduga Kebakaran Hutan dan Lahan Di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2003-2004 [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hiroki I, Prabowo D. 2003. Hasil Penggunaan Citra Satelit NOAA-AVHRR dan Himawari untuk Deteksi Hotspot di Stasiun Bumi Satelit NOAA-AVHRR/Himawari FFPMP. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor. Pengendalian Kebakaran Hutan. 2003. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. IPB Pr. hlm 264-267.

Jaya INS. 2003. Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh Satelit dan GIS. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor. Pengendalian Kebakaran Hutan. 2003. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. IPB Pr. hlm 297-298.

Jaya INS, R Boer, Samsuri. 2007. Developing Fire Risk Index in Central Kalimantan [project report]. Bogor (ID): International Research Institute and Bogor Agricultural University:

Kayoman L. 2010. Pemodelan spasial resiko kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kementrian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 Tahun

2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta (ID): Kementrian Kehutanan.

Lillesand TM, Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta (ID): UGM Pr.

Mapilata E. 2013. Analisis Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Dalam Penataan Ruang: studi kasus Kota Palangka Raya, Provinsi Kalimantan Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Prahasta, Eddy. 2009. Sistem Informasi Geografis Konsep-Konsep Dasar (Perspektif Geodesi & Geomatika). Bogor (ID): Informatika.

Purbowaseso B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta (ID): PT Rineka Cipta.

(48)

34

Ratnasari E. 2000. Pemantauan Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra Landsat-TM: Studi Kasus di Daerah Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sahardjo BH. 2003. Tipe Kebakaran Hutan. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor. Pengendalian Kebakaran Hutan. 2003. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. IPB Pr. hlm 151-153.

Samsuri. 2008. Model spasial tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan: studi kasus wilayah Propinsi Kalimantan Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Samsuri, INS Jaya, L Syaufina. 2012. Model Spasial Tingkat Karawanan Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus Kalimantan Tengah). Jurnal FORESTA. 1(1):12-18.

Suratmo FG. 2003. Masalah Kebakaran Hutan. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor. Pengendalian Kebakaran Hutan. 2003. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. IPB Pr. IPB Pr. hlm 1-3.

Sutanto. 2000. Penginderaan Jauh Dasar. Yogyakarta (ID): Fakultas Geografi UGM dan BAKOSURTANAL.

Suwarsono, Yulianto F, Parwati, Suprapto T. 2010. Analisis Persebaran Titik Panas Indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun 2001-2009. Berita Inderaja. 9(16). Jakarta (ID): LAPAN.

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : Perilaku Api, Penyebab dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Banyumedia Publishing. Thoha A S. 2008. Karakteristik Citra Satelit [karya tulis]. Medan (ID): Universitas

Gambar

Tabel 1  Karakteristik band Landsat 7 ETM+
Gambar 1 Diagram tahap penelitian
Gambar 2.
Gambar 4 Jumlah titik panas tahun 2009 di Kabupaten Kapuas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Distribusi pasien PPOK di rawat inap RSUD Arifin Achmad Pekanbaru berdasarkan risiko malnutrisi dengan menggunakan skor Malnutrition Universal Screening Tools (MUST)

Jika dibandingkan dengan baku mutu yang merujuk pada Keputusan menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004, maka batas nitrat untuk biota laut adalah 0,008 mg/l,

Pengaruh tidak langsung antara konflik terhadap kepuasan kerja melalui kepercayaan yang berarti bahwa konflik yang terjadi pada perusahaan akan menurunkan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini adalah untuk mendeskripsikan peningkatan hasil belajar keterampilan membaca pemahaman dengan

Uji daya antelmintik ekstrak metanol daun kesum dilakukan terhadap cacing Ascaridia galli pada berbagai konsentrasi dengan pengontrolan suhu inkubasi 37 o C selama

Hasil penelitian menunjukan pola penggunaan lahan perdagangan dan jasa yang memita, pola jaringan jalan spinal, kepadatan beragam, dan pola bangunan heterogen Jika ditinjau

Sedangkan jika ditinjau rata-rata tiap aspek, maka dapat diperoleh hasil bahwa rata-rata skor aspek: (1) menggunakan mikroskop (keterampilan menggunakan alat 70.5;

Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Penyelesaian utang piutang mura&gt;bah}ah pada pembiayaan mikro di BRI Syariah Kantor Cabang Induk Gubeng Surabaya yaitu dengan