• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kinerja Fiskal Dan Flypaper Effect Pada Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Selatan Periode Tahun 2005-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kinerja Fiskal Dan Flypaper Effect Pada Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Selatan Periode Tahun 2005-2013"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BELANJA DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI

SUMATERA SELATAN PERIODE

TAHUN 2005-2013

RACHMAT DARMAWAN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kinerja Fiskal dan Flypaper Effect Pada Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan Periode Tahun 2005-2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

Rachmat Darmawan

(4)

ABSTRAK

RACHMAT DARMAWAN. Analisis Kinerja Fiskal dan Flypaper Effect Pada Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan Periode Tahun 2005-2013. Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI ALEXANDI.

Penelitian yang dilakukan mencakup 14 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pemetaan kemampuan fiskal kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal pada periode 2005-2013. Penelitian ini juga untuk melihat efek dari transfer Dana Alokasi Umum terhadappengeluaran Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat melihat indikasi flypaper effect pada pengeluaran pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Kuadran dan Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) yang digunakan untuk melihat kinerja fiskal daerah tahun 2005-2013, selain itu, menggunakan metode data panel untuk menganalisis pengaruh transfer Dana Alokasi Umum terhadap belanja pemerintah kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Selatan.Model data panel yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh yang signifikan dari variabel DAU dan Belanja di tahun sebelumnya (BDt-1) lebih besar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan

pendapatan per kapita (Y). Begitu jelas terlihat indikasi adanya fenomena flypaper effect pada belanja pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan.

Kata kunci: Belanja Daerah, DAU, Flypaper effect, IKF, PAD.

ABSTRACT

RACHMAT DARMAWAN. An Analysis of Fiscal Performance and Flypaper Effect on Local Government Spending Regency/Municipalities in South Sumatera period 2005-2013.Supervised by MUHAMMAD FINDI ALEXANDI.

This study covers 14 districts/municipalities in South Sumatra. The purpose of this study to look at the fiscal capability mapping districts/ cities in the framework of the implementation of fiscal decentralization in the period 2005-2013. This study also to see the effect of the General Allocation Fund transfer to Local GovernmentSpending the regency/municipalities in South Sumatera. Therefore, the results of this study can see indications of flypaper effect on local Government Spending regency/municipalitiesin South Sumatera.The method which used in this study is the Quadrant Methods and Fiscal Capabilities Index (IKF) to see the performance of the region's fiscal year 2005-2013, as well as use the panel data methods to analyze the influence of the General Allocation Fund transfer to the local goverment spending regency/municipalities of South Sumatera Province.

Panel data model used in this study showed a significant effect of the variable DAU and Expenditure in the previous year (Bdt-1) is greater than revenue income per capita (Y) and Local Government expenditure(BDt). So obvious indication of a phenomenon flypaper effect on the local government spending regency/city in South Sumatra Province.

(5)

ANALISIS KINERJA FISKAL DAN FLYPAPER EFFECT PADA

BELANJA DAERAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI

SUMATERA SELATAN PERIODE

TAHUN 2005-2013

Rachmat Darmawan

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

Pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tak lupa salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi dan Rasul termulia Muhammad SAW beserta keluarganya dan sahabatnya yang setia hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Analisis Kinerja Fiskal dan Flypaper Effect Pada Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan”, ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis pemetaan kinerja fiskal dan pengaruh transfer Dana Alokasi Umum terhadap belanja daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni AyahFarmansyah dan Ibunda Parsuli serta adik tercinta dari penulis, Yuliana Syafitri atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Muhammad Findi A, M.E. selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. selaku dosen penguji utama dan Deni Lubis S.Ag, M.A. selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas saran dan kritik yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi

3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.

4. Keluarga Kecil Penulis, Resti Octavitrisa, Fakhri Isnan, M. Fakhri azhari, Qonita Wakid, dan Yusrini Santika yang telah memberikan motivasi dan doa.

5. Teman satu bimbingan skripsi, Rosy, widya, Zulfa, dan Kemal yang telah memberikan masukan dan doa.

6. Teman-teman Ilmu Ekonomi 48 Feri, Faris, Faizal, Randy, Doni, Dodo, Deny, Aulia, Siska, Dian, Kartika, dan yang lainnya atas dukungan dan motivasinya.

7. Teman-teman KKP Desa Cibitung, Idham, Chintya, Desna, Mimi, Dian, Gina atas dukungan dan motivasinya.

8. Semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK iv

DAFTAR ISI x

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Tujuan Penelitian 6

Manfaat penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 7

Desentralisasi fiskal 7

Flypaper Effect 7

Dana Alokasi Umum (DAU) 8

Pendapatan Asli Daerah (PAD) 10

Teori Keuangan Daerah 11

Kerangka Pemikiran 12

Penelitian Terdahulu 13

Hipotesis Penelitian 14

METODE PENELITIAN 15

Jenis dan sumber data 15

Metode Analisis Data 15

Metode kuadran 15

Metode Indeks Kemampuan Keuangan 17

Metode Data Panel 17

Pengujian kriteria Ekonomi dan Statistik 18

Uji F atau Uji Chow 18

Uji Langrange Multiplier (LM) 19

Uji Hausman 19

Uji F 19

Uji t 20

Uji Koefisien Determinasi R2 20

(11)

Heteroskedastisitas 20

Autokorelasi 20

Uji Normalitas 21

Multikolinearitas 21

HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Kondisi Pemetaan Kinerja Fiskal di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan

periode 2005-2013 22

Analisis Kinerja Fiskal Daerah 22

1. Share PAD 22

2. Growth Fiskal 23

3. Elastisitas 24

Metode Kuadran 24

Metode Indeks Kemampuan Fiskal 27

Pengaruh Transfer DAU terhadap kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan terutama kaitannya dalam

pelaksanaan desentralisasi fiskal 29

Indikasi terjadinya fenomena Flypaper Effect 31

SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 35

(12)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pemikiran 12

2. Share PAD terhadap pengeluaran daerah Provinsi Sumatera Selatan tahun

2005-2013 23

3. Pertumbuhan kinerja fiskal daerah Provinsi Sumatera Selatan 2005-2013 23 4. Elastisitas PAD terhadap PDRB kabupaten/kota di Provinsi Sumatera

Selatan 24

5. Analisis pemetaan kemampuan keuangan Kabupaten/Kota Provinsi

Sumatera Selatan 26

DAFTAR TABEL

1. Realisasi penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2013 (dalam ribu rupiah) 3 2. Peta Kapasitas Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan 4 3. Klasifikasi Status Kemampuan Keuangan Daerah Berdasarkan Metode

Kuadran 16

4. Deskripsi statistik growth dan share tahun 2005-2013 25

5. Kriteria tingkat kemampuan keuangan daerah 27

6. Koefisien penduga belanja daerah di Provinsi Sumatera Selatan 30

DAFTAR LAMPIRAN

1. Perhitungan Indeks Elastisitas Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Selatan 37

2. Perhitungan Indeks Growth (Pertumbuhan Fiskal) Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Selatan 38

3. Perhitungan Indeks Share Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan 39 4. Indeks Kemampuan Fiskal Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Selatan 40 5. Hasil estimasi model FEM,Pengaruh DAU, PAD, BDt-1, Y terhadap

Belanja Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan 41

6. Uji Chow 41

7. Uji Haussman 42

8. Uji Normalitas 42

9. Uji Multikolinearitas 43

10. Uji heteroskedastisitas 43

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan lingkungan strategis baik internal maupun eksternal sangat cepat dan besar pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah baik fiskal maupun moneter. Beberapa perubahan lingkungan strategis telah terjadi baik dalam ruang lingkup domestik maupun internasional, seperti (1) dinamika ekonomi global dengan segala manfaat dan kelemahannya, (2) perubahan sistem manajemen pembangunan ke arah desentralisasi dan otonomi daerah di kabupaten atau kota, dan (3) reorientasi peran pemerintah dalam pembangunan dari sebagai pelaku menjadi pemicu dan pemacu pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat.

Perubahan lingkungan strategis tersebut mendorong Indonesia pada situasi transisi berkepanjangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu hal terpenting yang telah dilakukan, yaitu transisi dari suatu sistem sentralistis menuju sistem yang lebih desentralisasi. Arus desentralisasi itu sendiri merupakan sebuah proses yang dapat diciptakan menjadi sebuah kesempatan yang harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan hasil yang di inginkan. Perubahan paradigma ini diharapkan mampu mengakomodasikan aspirasi terhadap ketidakmerataan yang merupakan tuntutan penting sehingga terciptanya otonomi daerah untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi bagi daerah yang memiliki kelebihan (Mardiasmo 2002).

Secara garis besar, fiskal dalam keuangan daerah dapat di bagi menjadi dua, yaitu penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut sangat menentukan kedudukan suatu pemerintahan dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Implementasi desentralisasi fiskal dan otonomi daerah yang di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang di revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan mengatur sumberdaya sesuai kepentingan masyarakat daerahnya. Pemerintah daerah berwenang untuk menetapkan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi dan sumberdaya yang dimiliki.

Sementara itu, dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan pengalokasiaan anggaran belanja daerah dalam bentuk dana perimbangan maupun dana alokasi khusus diupayakan tetap konsisten dengan kebijakan fiskal nasional (Abimanyu, 2003). Kebijakan yang dimaksud lebih diarahkan untuk memperkecil ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan tetap menjaga netralitas fiskal,efisiensi, dan efektifitas kinerja pemerintah daerah (Mardiasmo, Sidik 2002).

(14)

pengeluaran antar daerah sehingga menyebabkan semakin timpangnya tingkat pembangunan wilayah di indonesia.

Sumatera Selatan yang memiliki 15 kabupaten/kota, dalam hal ini penelitian yang dilakukan pada 14 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan, dimana 8 kabupaten merupakan kabupaten hasil pemekaran dan 7 kabupaten merupakan kabupaten induk. Kabupaten/kota tersebut dituntut untuk memiliki sarana dan prasarana yang lengkap dan juga dituntut untuk terus membangun baik membangun sarana infrastruktur maupun membangun sumber daya manusia yang berkualitas.

Jika diperhatikan beberapa wilayah di Provinsi Sumatera Selatan banyak memiliki Potensi-potensi sumberdaya yang ada. Hal tersebut bertolak belakang dengan kondisi Infrastruktur yang tersedia di beberapa wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Semestinya Infrastruktur merupakan elemen penting dalam membangun investasi lokal. Seperti contohnya, pada Kabupaten Musi Banyuasin yang memiliki kandungan Minyak hitam, Kabupaten Prabumulih yang memiliki potensi pada sektor perminyakan serta kabupaten Muara Enim yang berpotensial pada sektor pertambangan dan beberapa wilayah lainnya.

Adanya keterbatasan Infrastruktur yang membuat terhambatnya pertumbuhan investasi sehingga tidak mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. selaras dengan perjalanan otonomi daerah di Provinsi Sumatera Selatan Pemerintah Kabupaten/Kota belum mampu menunjukan kemandirian, seharusnya peran investasi lokal dapat memberikan sumbangsi terhadap Pendapatan Asli Daerah yangmana PAD tidak hanya selalu mengandalkan potensi pajak dan retribusi daerah saja.

Ketika transfer Dana Alokasi Umum (DAU) yang diperoleh oleh pemerintah daerah dirasa besar, maka seketika pemerintah daerah berusaha agar pada tahun-tahun berikutnya mendapatkan DAU yang diperoleh sama besarnya. Padahal semestinya pemerintah daerah diharapkan mampu merepresentasikan tujuan dari desentralisasi fiskal itu sendiri. Transfer pemerintah seharusnya dapat dialokasikan pada sektor-sektor produktif sehingga dapat mendorong adanya peningakatan investasi di daerah dan memaksimalkan potensi pendapatan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah yang mana dapat membiayai belanja daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan yang signifikan dalam hubungan pemerintah Pusat dan Daerah, sepertimeningkatnya tanggung jawab pemerintah daerah atas berbagai pelayanan publik, mengalirnya dana transfer dari Pusat ke daerah dalam jumlah yang besar sebagaimana pelaksanaan prinsip money follows function dan maraknya pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB).

(15)

mengatasi disparitas dalam pembangunan serta, membantu kinerja keuangan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal.

Dalam hal ini pemerintah daerah terlihat cenderung mengandalkan porsi transfer Pemerintah pusat daripada mengedepankan upaya-upaya dalam menggali potensi fiskal daerah. Pernyataan tersebut diperkuat dengan tingkat pertumbuhan pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan terutamanya pada belanja daerah mengalami peningkatan setelah berlakunya pelaksanaan desentralisasi fiskal

Alokasi transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Provinsi Sumatera Selatan harus didasarkan pada respon yang menuntut penggalian pada PAD dengan tidak hanya memperhatikan pada belanja daerah. Keadaan ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan pengumpulan pajak lokal sehingga dapat menunjukan peningkatan proporsi pendapatan asli daerah dan mampu membiayai belanja pemerintah daerah yang di tunjukan berdasarkan data tiap tahunnya selama pelaksanaan desentralisasi fiskal selalu mengalami peningkatan.

Tabel 1 Realisasi penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2013 (dalam ribu rupiah)

Tahun TR (Ribu 2010 12.432.856.206 13.045.125.644 632.844.688 10.409.782.639 2011 15.233.943.367 16.414.475.526 957.800.419 11.992.852.442 2012 17.617.662.851 19.176.768.778 1.270.333.116 14.215.757.184 2013 18.738.304.212 20.126.994.301 1.228.204.162 15.297.730.499 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015 (diolah).

Keterangan :

TR = Total Penerimaan Daerah (Ribu Rupiah) TE = Total Pengeluaran Daerah (Ribu Rupiah) DAPER = Dana Perimbangan ( Ribu Rupiah) PAD = Pendapatan Asli Daerah (Ribu Rupiah)

Pemberian transfer terkonsep pada tujuan yaitu untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam membiayai belanja daerah yang lebih besar dari pemberian transfer. Akan tetapi, pemberian transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah juga menyebabkan ketidakefektifan pembiayaan pengeluaran daerah. Pada konteks ini terjadilah yang namanya fenomena flypaper effect

(16)

terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap pajak daerah.

Gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) yakni merupakan kapasitas fiskal. Peningkatan kapasitas fiskal daerah sebagai bentuk upaya pemerintah daerah dengan menggali potensi-potensi PAD yang dapat menyebabkan pergesaran pada fungsi produksi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Seharusnya dengan adanya pertumbuhan ekonomi dapat memicu timbulnya Pendapatan Asli Daerah yaitu melalui potensi pajak dan retribusi.

Tabel 2 Peta Kapasitas Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan

Sumber: Kemenkeu RI, 2014.

Berdasarkan Kapasitas Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Tahun 2014 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, daerah dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori kapasitas fiskal yaitu :

a. Daerah yang indeks Kapasitas Fiskalnya lebih dari atau sama dengan 2

(indeks ≥2) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal

sangat tinggi.

b. Daerah yang indeks Kapasitas Fiskalnya antara lebih dari atau sama

dengan 1 sampai kurang dari 2 (1≤indeks<2) merupakan daerah yang

termasuk kategori Kapasitas Fiskal tinggi.

NO DAERAH INDEKS KAPASITAS

FISKAL KATEGORI

1 Kabupaten Lahat 0,4216 Rendah

2 Kabupaten Musi Rawas 0,4581 Rendah

3 Kabupaten Muara Enim 0,5722 Sedang

4 Kabupaten Ogan Komering Ilir 0,3744 Rendah

5 Kabupaten Ogan Komering Ulu 0,7349 Sedang

6 Kota Palembang 0,1740 Rendah

7 Kota Prabumulih 1,0028 Tinggi

8 Kota Pagar Alam 1,4904 Tinggi

9 Kota Lubuklinggau 0,6004 Sedang

10 Kabupaten Banyuasin 0,4281 Rendah

11 Kabupaten Ogan Ilir 0,5137 Sedang

(17)

c. Daerah yang indeks Kapasitas Fiskalnya antara lebih dari 0,5 sampai kurang dari 1 (0,5<indeks<1) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal sedang.

d. Daerah yang indeks Kapasitas Fiskalnya kurang dari atau sama dengan

0,5(indeks≤0,5) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas

Fiskal rendah.

Peta Kapasitas Fiskal Provinsi Sumatera Selatan tergolong kategori rendah yaitu dengan rata-rata sebesar 0,4012 atau hampir sekitar 50% Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Selatan tergolong kategori rendah berdasarkan Kapasitas Fiskalnya. Seperti yang ditunjukan pada tabel 2 bahwa terdapat enam kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang termasuk kategori rendah indeks Kapasitas Fiskalnya yaitu Kabupaten Lahat, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Ogan Komering ilir, Kota Palembang, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Sementara itu Kabupaten/Kota seperti Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kota Lubuk Linggau, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Kabupaten Empat Lawang termasuk dalam kategori Kapasitas Fiskal sedang. Kondisi sebaliknya yakni hanya terdapat tiga Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan yang termasuk dalam kategori Kapasitas Fiskal tinggi yaitu pada Kabupaten Musi Banyuasin, Kota Prabumulih, Kota Pagar Alam.

Ketidakmampuan Kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera selatan dalam meningkatkan pendapatan melalui Pendapatan Asli Daerah sendiri menjadikan tuntutan kedepannya dalam menggali potensi fiskal melalui sektor pajak dan retribusi daerah yang mana potensial sebagai sumber PAD. Selain itu, tantangan globalisasi melalui pembukaan lahan-lahan investasi yang diharapkan sebagai sumber-sumber pembiayaan perlu ditingkatkan sehingga dengan kondisi dukungan akan sumberdaya yang melimpah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dapat menjadi Daerah yang mandiri dan tidak hanya bergantung kepada dana transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat sehingga setelah adanya perubahan wewenang melalui desentralisasi fiskal selayaknya Provinsi Sumatera Selatan tidak lagi termasuk dalam kategori kapasitas fiskal yang rendah.

Oleh karena itu, penelitian ini berupaya melakukan analisis pemetaan kinerja fiskal pengaruh transfer Dana Alokasi Umum terhadap belanja daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan. Sehingga diharapkan dapat melihat secara akurat akan pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja daerah dan apakah terjadi Flypaper Effect pada Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Kemudian berdasarkan hal tersebut dapat dijadikan dasar dalam mengatasi permasalahan dengan karakter dan potensi yang dimiliki daerah masing-masing.

Perumusan Masalah

(18)

1. Bagaimana kondisi pemetaan kinerja fiskal di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan?

2. Bagaimana pengaruh Transfer Dana Alokasi Umum terhadap belanja daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan terutama kaitannya dalam implementasi desentralisasi fiskal?

3. Apakah terjadi fenomena flypaper effect pada belanja daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Menganalisis gambaran kondisi pemetaan kinerja fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan.

2. Menganalisis keterkaitan langsung antara penerimaan Transfer Dana Alokasi Umum dan pengaruhnya terhadap kemampuan keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan.

3. Menganalisis kemungkinan terjadinya fenomena flypaper effect pada belanja daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan.

Manfaat penelitian

Disamping untuk menjawab permasalahan diatas, adapun manfaat yang ingin didapat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi para akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan informasi bagi pihak-pihak yang ingin mengambil penelitian dan studi pustaka terkait keuangan daerah.

2. Bagi pemerintah, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan dan menjadi bahan evaluasi tentang kebijakan keuangan daerah bagi pemerintah daerah khususnya untuk kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini menganalisis kinerja fiskal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan terutama dalam rangka implementasi desentralisasi fiskal dengan menggunakan metode kudaran dan Indeks Kemampuan Fiskal. Selain itu, penelitian ini juga melihat pengaruh transfer Dana Alokasi Umum terhadap belanja daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian menggunakan metode panel data (pooled data) yang meliputi 14 Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Selatan selama periode 2005-2013.

(19)

kinerja keuangan daerah yang tercermin dari struktur PAD dan pengeluaran daerahnya, selain itu agar tercipta pembangunan yang lebih efisien dari kondisi sebelumnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Desentralisasi fiskal

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7 dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 8,

“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam

system Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Definisi desentralisasi sendiri menurut Yustika (2008:28) menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama berkaitan dengan aspek fiskal, politik, administrasi dan sistem pemerintahan serta pembangunan social dan ekonomi.

Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi yang artinya desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan daerah, dimana kemandirian daerah diukur berdasarkan kemampuan menggali dan mengelola keuangannya, Yustika (2008). Menurut Saragih (2003) pada Kusumadewi dan Rahman (2007) desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan.

Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai salah satu bentuk dari desentralisasi fiskal, merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah dan juga menunjukkan kapasitas dan kemampuan daerah. Menurut Oates (1999), ada dua bentuk instrumen fiskal yang penting pada sistem federal yaitu (1) Pajak, (2) Hibah antar pemerintah (Intergovernmental Grants) dan Bagi Hasil Pendapatan (Revenue Sharing).

Flypaper Effect

Menurut Sagbas dan Saruc (2008) ada dua teori utama dari beberapa penelitian tentang sumber munculnya Flypaper Effect yang sering digunakan yaitu Fiscal illusion dan The bureaucratic model. Teori Fiscal illusion sebagai sumber Flypaper Effect mengemukakan bahwa Fenomena flypaper effect

membawa implikasi lebih luas bahwa transfer akan meningkatkan belanja pemerintah daerah lebih besar daripada penerimaan transfer itu sendiri.

(20)

(bureaucratic model) dan model ilusi fiskal (fiscal illusion model) (Schwallie, 1986) dalam Sagbas dan Saruc (2008).

Terdapat Beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia terkait dengan Flypaper effect seperti penelitian yang dilakukan oleh Maimunah (2006) yaitu flypaper effect atau efek kertas layang adalah suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diproksikan dengan DAU dari pada menggunakan kemampuan sendiri, diproksikan dengan PAD (Maimunah 2006:9). Karena itu

flypaper effect dianggap sebagai suatu anomali dalam perilaku rasional jika transfer harus dianggap sebagai tambahan pendapatan masyarakat (seperti halnya pajak daerah), sehingga harus dibelanjakan dengan cara yang sama pula dengan PAD.

Pada model The bureaucratic, Flypaper Effect adalah hasil dari perilaku memaksimalkan anggaran oleh para birokrat (atau politisi lokal), yang lebih mudah menghabiskan transfer/hibah daripada meminta kenaikan pajak, Sagbas dan Saruc (2008). Dan pada model ini Flypaper Effect dapat terjadi karena kekuasaan dan pengetahuan birokrat atau pemerintah daerah akan anggaran dan tranfer pemerintah.

Menurut Niskanen Jr (1968) pada Kang dan Setyawan (2012) birokrat memiliki posisi yang kuat dalam pengambilan keputusan publik. Dia menduga bahwa birokrat akan berperilaku untuk memaksimalkan anggaran sebagai bentuk dari kekuasaan mereka. Secara implisit, model The bureaucratic ini mendukung

Flypaper Effect sebagai konsekuensi dari perilaku birokrat yang bebas menghabiskan transfer (hibah) daripada menaikkan pajak, dikarenakan kenaikan pajak dianggap program yang tidak populer di mata para pemilih atau penduduk daerah.

Model ilusi fiskal (fiscal illusion model) pertama kali dikemukakan oleh ekonom Italia bernama Amilcare Puviani yang menggambarkan ilusi fiskal terjadi saat pembuat keputusan yang memiliki kewenangan dalam suatu institusi menciptakan ilusi dalam penyusunan keuangan (rekayasa) sehingga mampu mengarahkan pihak lain pada penilaian maupun tindakan tertentu. Penjelasan dalam konteks penelitian ini adalah pemerintah daerah melakukan rekayasa terhadap anggaran agar mampu mendorong masyarakat untuk memberikan kontribusi lebih besar dalam hal membayar pajak atau retribusi, dan juga mendorong pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana dalam jumlah yang lebih besar. Apabila terdapat respon yang asimetris terkait dengan penerimaan maupun pengeluaran maka dapat diindikasikan terjadi ilusi fiskal.

Dana Alokasi Umum (DAU)

(21)

pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah.

DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap)

suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

Menurut Undang-Undang No.33 tahun 2004 dasar penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sebagai berikut :

a. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.

b. DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar.

c. Celah fiskal yang dimaksud adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah.

d. Alokasi dasar yang dimaksud dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.

Belanja Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 14, Belanja Daerah (BD) adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pengeluaran belanja berbeda dengan pengeluaran pembiayaan. Perbedaan tersebut terletak pada ada atau tidaknya pengembalian dana yang telah dikeluarkan. Pemerintah daerah tidak akan mendapatkan pembayaran kembali atas pengeluaran belanja yang terjadi, baik pada tahun anggaran berjalan maupun pada tahun anggaran berikutnya. Sedangkan pengeluaran pembiayaan merupakan pengeluaran yang akan diterima kembali pembayarannya pada tahun anggaran berjalan atau pada tahun anggaran berikutnya.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), struktur belanja daerah yang digunakan dalam APBD diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi, yaitu Belanja Operasi (BO), Belanja Modal (BM), dan Belanja Tidak Terduga. Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah daerah yang memberikan manfaat jangka pendek. Belanja operasi terdiri atas belanja pegawai, belanja barang, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, dan belanja bantuan sosial. Belanja modal merupakan pengeluaran yang dianggarkan untuk pembelian atau pengadaan aset tetap dan aset lainnya untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan.

(22)

tetap dan lainnya; dan belanja aset lainnya. Belanja tidak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana, bencana sosial dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah. Belanja tidak terduga antara lain meliputi belanja penanganan bencana dan belanja pelaksanaan kewenangan.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok PAD dipisahkan menjadi empat Jenis Pendapatan, yaitu:

1. Pajak Daerah. 2. Retribusi Daerah.

3. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan.

4. Lain-lain PAD yang Sah.

a. Pajak Daerah

Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah. Menurut Riwukaho (1988 : 130), Pajak Daerah adalah pajak negara yang diserahkan kepada daerah untuk dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik. Pajak kabupaten / kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten / kota. Pajak kabupaten / kota yang berlaku sampai saat ini, terdiri dari:

a. Pajak hotel b. Pajak restoran c. Pajak hiburan d. Pajak reklame

e. Pajak penerangan jalan

f. Pajak pengambilan bahan galian golongan

b. Retribusi Daerah

(23)

pribadi atau badan”. Jasa adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan

pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya, dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, dengan demikian bila seseorang ingin menikmati jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah, ia harus membayar retribusi yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan

Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis Pendapatan ini meliputi Objek Pendapatan berikut :

a. Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah b. Bagian Laba Lembaga Keuangan Bank c. Bagian Laba Lembaga Keuangan Nonbank d. Bagian Laba atas Penyertaan Modal/Investasi d. Lain-lain PAD yang sah

Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah. Jenis Pendapatan ini menurut Undang-Undang No.33 tahun 2004 meliputi Objek Pendapatan berikut:

a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; b. jasa giro;

c. pendapatan bunga;

d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.

Teori Keuangan Daerah

Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat untuk mengambil keputusan dan pengelolaan fiskal kepada pemerintah daerah. Pelimpahan wewenang tersebut selanjutnya dipertanggungjawabkan secara transparan kepada masyarakat yang bersangkutan (Boex, 2001: 13).

Desentralisasi fiskal terdiri dari empat pilar, (Boex, 2001: 14) yaitu: (1) pengeluaran, mengatur mengenai fungsi dan tanggung jawab pengeluaran untuk masing-masing tingkat pemerintahan; (2) pendapatan, berkenaan dengan sumber-sumber penerimaan objek pajak atau non pajak yang menjadi wewenang pemerintah daerah; (3) transfer, berkenaan dengan pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat; dan (4) pembiayaan, sebagai penyeimbang antara pendapatan dan pengeluaran daerah.

(24)

daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihakpihak lain sesuai ketentuan/peratuaran perundangan yang berlaku.

Kerangka Pemikiran

Untuk lebih jelas tentang kerangka pikir sehingga dapat memberikan jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti, maka akan saya sajikan diagram yang menjelaskan secara keseluruhan alur kerangka pemikiran operasional pada gambar 1.

Desentralisasi fiskal

Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 tahun 2004

Adanya Perubahan Alokasi Transfer (Fiscal Gap)

UU No. 25 tahun 1999 dan UU No. 33 tahun 2004

Upaya pengumpulan Dana Alokasi Umum Flypaper

PAD Effect belanja nnnnnkkkk daerah

Implikasi Kebijakan

Keterangan :

Alur pemikiran =

Berhubungan =

(25)

Penelitian Terdahulu

Gorodnichenko (2001), dalam penelitiannya mengenai fenomena flypaper effect dalam perubahan pengalokasian transfer pemerintah pusat terhadap kinerjakeuangan dan perekonomian Ukraina. Hasil penelitiannya dapat disimpulkanbahwa respon pengeluaran pemerintah terhadap Pendapatan Asli Daerah lebihelastis dibandingkan respon pengeluaran pemerintah terhadap alokasi transferpemerintah pusat. Hasil dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi fenomena

flypaper effect pada kinerja pengeluran pemerintah daerah dalam merespon alokasi transfer.

Khurum maqsuro (2009), penelitian yang dilakukannya menghasilkan adanya indikasi fenomena flypaper effect pada pengeluaran pemerintah daerah di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal ditandai dengan tingginya nilai elastisitas, hal ini ditunjukkan hanya ada 4 wilayah yang memiliki tingkat elastisitas lebih kecil dari satu yang dapat diartikan bahwa setiap peningkatan 1 persen fiskal akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian lebih dari satu pada 31 daerah di Jawa Tengah.

Berdasarkan metode kuadran menunjukkan bahwa kondisi kapasitas fiskal terhadap pengeluaran daerah berada pada kuadran II ada 9 daerah dan 26 daerah berada pada kuadran IV pada belanja modal. Berdasarkan metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) menunjukkan bahwa Indeks kemampuan fiskal terhadap belanja modal menunjukkan posisi tertinggi setelah pelaksanaan desentralisasi adalah Kota Semarang dan Kudus, sedangkan posisi terendah adalah Boyolali dan Kebumen.

Penelitian Mutiara Maimunah dan Rusdi Akbar (2008) menghasilkan 5 kesimpulan pokok. Pertama, besarnya nilai DAU dan PAD mempengaruhi besarnya nilai Belanja daerah (pengaruh positif). Kedua, hasil pengujian hipotesis alternatif ketiga yang tujuannya adalah untuk mengetahui terjadi tidaknya

flypaper effect, juga diterima. Hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi

flypaper effect pada Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Sumatera. Ketiga, hasil pengujian hipotesis alternatif keempat yang tujuannya adalah untuk mengetahui pengaruh flypaper effect dalam memprediksi Belanja Daerah periode ke depan, juga diterima. Keempat, hasil pengujian hipotesis alternatif keempat yang merupakan hipotesis uji beda adalah tidak dapat diterima.

Artinya, tidak terdapat perbedaan terjadinya flypaper effect baik pada daerah yang PAD-nya rendah maupun daerah yang PADnya tinggi di Kabupaten/Kota pulau Sumatera. Kelima atau terakhir, berkaitan dengan belanja daerah sektor yang berhubungan langsung dengan publik yang terdiri atas tiga hipotesis alternatif. Hasil pengujian hipotesis alternatif enam bagian a adalah tidak dapat diterima, dengan kata lain tidak terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah bidang Pendidikan. Selanjutnya bagian b diterima, artinya telah terjadi flypaper effect pada Belanja Daerah bidang Kesehatan. Hasil pengujian terakhir atau bagian c juga diterima, artinya Belanja Daerah bidang Pekerjaan Umum-pun terjadi flypaper effect.

(26)

dialokasikan dalam belanja. Secara empiris juga ditemukan adanya flypaper effect

(Moisio, 2002), yakni adanya perbedaan dalam pola pengeluaran untuk pendapatan dari effort sendiri dengan pendapatan yang diberikan pihak lain (seperti grants atau transfer).

Ronald (2005), dalam penelitiannya mengenai “Analisis Kinerja Pengeluaran Pemerintahan Jawa Tengah”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

peningkatan PAD dengan pertumbuhan pengeluaran terdapat hubungan yang signifikan, yang berarti sesuai dengan hipotesa. Variabel ini memiliki pengaruh diamana setiap kenaikan 1 persen PAD hanya akan menyebabkan pengeluaran pemerintah pada masing-masing daerah bertambah sebesar 1,4 persen.

Variabel Dana Perimbangan mempunyai tanda parameter positif yang berarti sesuai dengan hipotesa. Kenaikan 1 persen dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat pada pemerintah daerah kota/kabupaten Jawa Tengah akan menyebabkan kenaikan pengeluaran pemerintah di masing-masing daerah sebesar 0,9 persen. Dana perimbangan secara signifikan berpengaruh terhadap variabel pengeluaran pemerintah di kota/kabupaten Jawa Tengah, sehingga dapat disimpulkan bahwa dana perimbangan mampu mempengaruhi pengeluaran pemerintah masing-masing daerah secara positif.

Hasugian (2006), hasil penelitiannya mengenai Pengaruh Otonomi terhadap Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan menggunakan data panel dapat disimpulkan bahwa kondisi kinerja keuangan yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik sebelum berlakunya desentralisasi fiskal. Hasil penelitian menggunakan analisis regresi dengan metode panel menunjukkan bahwa setiap peningkatan transfer akan berpengaruh negatif dalam penerimaan PAD. Demikian juga dengan pemberlakuan desentralisasi pada variabel dummy menunjukkan nilai signifikan dan negatif terhadap penerimaan PAD yang artinya penerimaan rasio PAD lebih kecil terhadap penerimaan total lebih kecil daripada sebelum pelaksanaan desentralisasi.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. H1 adalah DAU berpengaruh signifikan dan positif terhadap belanja daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan.

2. H2 adalah PAD berpengaruh signifikan dan positif terhadap belanja daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan.

3. H3 adalah Y berpengaruh signifikan dan positif terhadap belanja daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan.

(27)

METODE PENELITIAN

Jenis dan sumber data

Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder berupa data panel, yaitu terdiri dari dua bagian : (1) time series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan selama sembilan tahun yaitu 2005-2013. Sedangkan data cross section sebanyak empat belas yang menunjukan jumlah kabupaten/kota yang di teliti. Kabupaten/Kota tersebut adalah Lahat, Muara Enim, Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu, Palembang, Prabumulih, Pagar Alam, Lubuk Linggau, Banyuasin, Ogan Ilir, Ogan Komering Ulu Timur, Ogan komering Ulu Selatan, Musi Banyuasin, Musi Rawas.

Jenis data objek penelitian ini adalah laporan realisasi Anggaran penerimaan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Adapun variabel-variabel ekonomi yang digunakan ialah Belanja daerah, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, PDRB. Sumber data diperoleh dari berbagai instansi terkait yaitu BPS Pusat Jakarta dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Metode Analisis Data

Metode kuadran

Metode ini digunakan untuk melihat kondisi kemampuan keuangan daerah. Hal ini di lakukan dengan melihat dari kondisi kinerja PAD melalui share, growth dan elastisitas. Share merupakan rasio dari PAD terhadap pengeluaran daerah. Rasio ini digunakan untuk melihat kemampuan PAD dalam membiayai anggaran belanja suatu daerah. Selain itu growth adalah pertumbuhan PAD tahun i dari tahun i-1. Peta kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari nilai share

dan growth kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan terhadap nilai share dan growth provinsi. Kondisi keuangan daerah disajikan dalam metode kuadran berdasarkan tingkat kemampuan keuangan provinsi.

1. Share PAD

Share PAD adalah persentase rasio antara penerimaan fiskal dengan belanja daerah. Share merupakan cerminan kemampuan fiskal dalam membiayai anggaran belanja daerah.

Keterangan :

PAD = Penerimaan fiskal daerah (Juta Rupiah) BD = Belanja Daerah (Juta Rupiah)

(28)

Growth fiskal daerah adalah tingkat perubahan fiskal dari tahun 2005 ke tahun 2013 yang menggambarkan kondisi pertumbuhan fiskal dari pelaksanaan desentralisasi. Pertumbuhan fiskal merupakan cerminan peningkatan kapasitas potensial fiskal suatu daerah.

Keterangan :

t = tahun 2013

t ─1 = tahun sebelumnya (tahun 2005)

3. Elastisitas

Adapun elastisitas adalah rasio pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan PDRB. Rasio ini bertujuan melihat sensitivitas atau elastisitas PAD terhadap perkembangan ekonomi suatu daerah. Elastisitas mencerminkan perubahan kapasitas fiskal dari tahun dasar terhadap tahun berikutnya serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan perekonomian.

Keterangan:

∂PAD = Perubahan penerimaan PAD tahun 2005 sampai 2013 (persen)

∂PDRB = Perubahan penerimaan PDRB tahun 2005 sampai 2013 (persen)

ΔPAD = Penerimaan rata-rata PAD (tahun 2005 sampai 2013)

ΔPDRB = Penerimaan rata-rata PDRB (tahun 2005 sampai 2013)

Tabel 3 Klasifikasi Status Kemampuan Keuangan Daerah Berdasarkan Metode Kuadran

Kuadran Kondisi

I Kondisi ideal. Nilai share dan growth tinggi. PAD memiliki peran besar dalam anggaran daerahnya sehingga daerah memiliki kemampuan mengembangkan potensi lokal.

II Kondisi belum ideal. Nilai share rendah dan growth tinggi. Daerah memiliki peluang mengembangkan potensi lokalnya sehingga daerah berpeluang meningkatkan share PAD.

III Kondisi belum ideal. Share PAD tinggi dan growth rendah. Daerah memiliki peluang kecil dalam meningkatkan PADnya karena tingkat pertumbuhan PAD rendah.

IV Kondisi paling buruk. Share dan growth PAD rendah. Daerah belum memiliki kemampuan mengembangkan potensi lokalnya.

(29)

Metode Indeks Kemampuan Fiskal

Metode Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) merupakan rata-rata hitung dari Indeks Pertumbuhan (Growth), Indeks Elastisitas, dan Indeks Share. Untuk menyusun indeks ketiga komponen tersebut, ditetapkan nilai maksimum dan minimum dari masing-masing komponen. Menyusun indeks untuk setiap komponen IKK dilakukan dengan menggunakan persamaan umum :

Indeks X Growth2005 - 2013 =

Indeks X Growth2005-2013 = Indeks X share 2005-2013 = Indeks X elastisitas 2005-2013

XG2005-2013 = XS2005-2013 = XE2005-2013

IKF2005-2013 =

Keterangan:

XG = Indeks Growth (PAD)

XE = Indeks Elastisitas (Belanja Pembangunan terhadap PAD) XS = Indeks Share (PAD terhadap APBD)

Metode Data Panel

Model persamaan yang digunakan dalam menganalisa pengaruh transfer Dana Alokasi Umum terhadap kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan adalah sebagai berikut :

Implikasi Transfer Dana Alokasi Umum yang merupakan kebijakan yang dikeluarkan sebagai insentif pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan suatu impuls pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sebagaimana distribusi transfer Dana Alokasi Umum mengikuti prinsip untuk mengisi celah fiskal. Untuk menguji hipotesis yang diajukan, data dianalisis menggunakan analisis metode panel data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode efek tetap (fixed effect model).

Penggunaan metode ini didasarkan pada asumsi unit cross section diambil secara tidak acak, oleh karena itu, dengan menggunakan asumsi ini maka metode yang lebih sesuai di gunakan adalah fixed effect. Dalam menguji keberartian koefisien regresi secara simultan dilakukan uji-F dan untuk menguji pengaruh secara parsial dilakukan uji-t. Model panel data untuk uji hipotesis I-III adalah:

BD

it

= β

0

+ β

1

DAU

it

2

PAD

it

+ β

3

Y

it

+ β

4

BD

it-1

+

ε

it

(30)

koefisien DAU lebih besar dari nilai koefisien PAD dan keduanya signifikan atau PAD tidak signifikan” (Tresch. 2002: 920-924). Penelitian ini menggunakan metode panel data. Untuk memudahkan dalam pengolahan data yang digunakan, maka data tersebut dimasukan ke dalam Microsoft Excel 2010 dan diolah dengan menggunakan Eviews 6

Pengujian kriteria Ekonomi dan Statistik

Data panel dapat diestimasi dengan tiga teknik, yaitu model OLS (common), model Fixed Effect dan model Random Effect. Pengujian yang digunakan dalam mengestimasi model terdiri dari, pertama uji statistik F digunakan untuk memilih antara metode OLS tanpa variabel dummy atau Fixed Effect. Kedua, uji Langrange Multiplier (LM) digunakan untuk memilih antara OLS tanpa variabel dummy atau Random Effect. Terakhir, untuk memilih antara Fixed Effect atau Random Effect digunakan uji yang dikemukakan oleh Hausman.

Uji F atau Uji Chow

Pemilihan model yang baik, dapat diketahui dengan menggunakan

restricted F-test. Persamaan yang diestimasi dengan OLS adalah persamaan

restricted sedangkan yang diestimasi dengan LSDV adalah unrestricted (Gujarati, 2003). PLS adalah restricted model dimana menerapkan intersep yang sama untuk seluruh individu. Pada dasarnya asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis karena dimungkinkan setiap unit

cross section memiliki perilaku yang berbeda. Untuk mengetahuinya dengan menggunakan restrictedF-test untuk menguji hipotesis:

H0: Model PLS (Restricted)

H1: Model Fixed Effect (Unrestricted)

F =

-

-dimana,

R2UR = koefisien determinasi untuk unrestricted model (LSDV model)

R2R = koefisien determinasi untuk restrictedmodel (OLS model)

m = jumlah “restrictions

n = jumlah sampel

k = total jumlah koefisien regresi (termasuk konstanta)

(31)

Uji Langrange Multiplier (LM)

Uji LM (Lagrange Multiplier) digunakan jika estimasi model hasilnya harus menggunakan fixed effect. LM digunakan untuk pemilihan estimator struktur heteroskedastik dan homoskedastik. Hipotesa dinyatakan sebagai berikut:

Hipotesis:

Ho σi ≠σ2= Homoskedastik (Pooled Least Square)

H1 = σi= σ2= Heteroskedastik (Random Effect)

Dimana σi adalah varian residual persamaan ke i pada persamaan yang

lebih retriksi dan σ2

adalah sum square residual persamaan. Apabila dalam penelitian hasil estimasi model disimpulkan menggunakan Fixed Effect Model

serta terjadi heterokedastik, maka cara untuk mengatasi heterokesdastik dapat dilakukan dengan model kuadrat terkecil tertimbang (weighted least square) atau

Generalized Least Square (GLS).

Uji Hausman

Uji Hausman digunakan untuk mengetahui apakah menggunakan model

fixed effect atau random effect. Model data panel dengan uji Hausman dapat digunakan untuk melihat kelayakan penggunaan model panel.

W = X2 [k] = (b-β) [ Var (b) - Var (β)]

Nilai W merupakan nilai tes Chi-square hitung. Apabila nilai berada di bawah nilai Chi-square tabel, maka terima H0 bahwa efek individu tidak berkorelasi dengan variabel bebas tidak dapat ditolak, sehingga model efek random adalah pilihan terbaik.

Hipotesis :

H0 = ada gangguan antar individu (random effect) H1 = tidak ada gangguan antar individu (fixed effect)

Statistik uji Hausman ini mengikuti ditribusi statistik Chi Square dengan degree of freedom sebanyak k dimana k adalah jumlah variabel independen. Jika nilai statistik Hausman lebih besar dari pada nilai kritisnya atau hasil dari Hausman test signifikan (p-value signifikan), maka H0 ditolak, yang berarti model yang tepat adalah fixed effect, sebaliknya apabila nilai statistik Hausman lebih kecil dari nilai kritisnya maka model yang tepat random effect.

Uji F

Uji F digunakan untuk melihat bagaimana variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebas secara keseluruhan. Uji ini dilakukan dengan membandingkan

(32)

H0 : β1= β2= βk = 0

H1: Minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol

Apabila Fhitung > Ftabel, maka tolak H0. Hal tersebut dapat diartikan variabel vebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya.

Uji t

Uji ini digunakan untuk mengetahui koefisien dari variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 : βi = 0

H1: βi≠ ; i= 0,1,2,...,k

Apabila koefisien βi tidak sama dengan nol maka keputusan yang diperoleh adalah tolak H0. Hal tersebut dapat diartikan bahwa βi nyata atau

memiliki nilai yang dapat mempengaruhi variabel dependent.

Uji Koefisien Determinasi R2

Koefisien R2 digunakan untuk menyatakan seberapa besar keragaman yang diterangkan dalam model terhadap variabel tak bebas. Selain itu koefisien R2 juga digunakan untuk mengukur seberapa kuat variabel bebas dalam menerangkan model.

Evaluasi Model Heteroskedastisitas

Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Adanya heteroskedastisitas akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien. Heteroskedastisitas tidak merusak ketakbiasan dan konsistensi dari penaksir Ordinary Least Square (OLS), tetapi penduga OLS tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun besar (yaitu asimtotik) (Gujarati 1997). Untuk mendeteksi ada tidaknya pelanggaran ini dengan menggunakan White Heteroscedasticity Test. Nilai probabilitas Obs*R-squared dijadikan sebagai acuan untuk menolak atau menerima : homoskedastisitas.

Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima

Apabila H0 ditolak maka akan terjadi gejala heteroskedastisitas, begitu juga sebaliknya apabila terima maka tidak akan terjadi gejala heteroskedastisitas.

Autokorelasi

(33)

diurut menurut waktu (seperti data deret berkala) atau ruang (seperti data lintas sektoral). Sebagaimana halnya dengan masalah heteroskedastisitas, penduga OLS tidak lagi efisian atau ragamnya tidak lagi minimum jika ada autokorelasi. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat digunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test.

Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka terdapat autokorelasi Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka tidak terdapat autokorelasi

U

ji Normalitas

Uji ini dilakukan karena data yang digunakan kurang dari 30. Uji ini digunakan untuk melihat apakah error term mendekati distribusi normal. Kriteria uji yang digunakan. Jika diperoleh nilai probabilitas Jarque Bera ≥ taraf nyata (α), maka model tidak memiliki masalah normalitas masalah normalitas atau dapat dikatakan error term terdistribusi secara normal. Jika diperoleh nilai probabilitas

Jarque Bera ≤ taraf nyata (α), maka model memilki masalah normalitas atau dapat

dikatakan error term tidak terdistribusi secara normal.

Multikolinearitas

Multikolinearitas terjadi apabila pada regresi berganda tidak terjadi hubungan antarvariabel bebas atau terjadi karena adanya korelasi yang nyata antarpeubah bebas. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesulitan untuk menduga yang diinginkan. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah dengan memperhatikan hasil probabilitas t-statistik hasil regresi (Gujarati 1997).

Jika banyak koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang tidak signifikan maka hal ini mengindikasikan adanya multikolinearitas. Salah satu cara yang paling mudah untuk mengatasi pelanggaran ini adalah dengan menghilangkan salah satu variabel yang tidak signifikan tersebut. Hal ini sering tidak dilakukan karena dapat menyebabkan bias parameter yang spesifikasi pada model. Kemudian cara lain adalah dengan mencari variabel instrumental yang berkorelasi dengan variabel terikat namun tidak berkorelasi dengan variabel bebas lainnya. Namun hal ini agak sulit dilakukan mengingat tidak adanya informasi tentang tipe variabel tersebut.

Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinear. Salah satu caranya menurut Gujarati (2007) yaitu melalui correlation matric, dimana batas terjadinya korelasi antarsesama variabel bebas adalah tidak lebih dari

|0.80|.”

(34)

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Pemetaan Kinerja Fiskal di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan periode 2005-2013

Analisis Kinerja Fiskal Daerah

Kemandirian fiskal kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan merupakan kemampuan daerah dalam mendanai belanja daerahnya berdasarkan kamampuan keuangannya sendiri. Kemampuan fiskal suatu daerah dapat tercermin melalui kemandirian dan kemampuan daerah dalam menggali serta mengoptimalkan potensi fiskalnya.Kinerja fiskal daerah dapat di lihat dari kontribusinya terhadap Growth(pertumbuhan fiskal), (share PAD), dan elastisitas dari potensi fiskal terhadap pertumbuhan pendapatan suatu daerah.

1. Share PAD

(35)

0

Keterangan : Kabupaten dan kota

1. Lahat 6. Prabumulih

Gambar 2 Share PAD terhadap pengeluaran daerah Provinsi Sumatera Selatan tahun 2005-2013

2. Growth Fiskal

Pertumbuhan kinerja fiskal daerah dijadikan sebagai tolak ukur kemampuan daerah dalam menggali dan mengoptimalkan potensi fiskal daerahnya terutama dalam hal ini adalah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Setelah kebijakan fiskal diberlakukan di Provinsi Sumatera Selatan sangat diharapkan dapat menumbuhkan sikap kemandirian daerah dengan mengutamakan upaya-upaya dalam mengoptimalkan potensi fiskal yang berada di daerahnya, karena dengan adanya kemandirian tersebut pemerintah tidak semata-mata mengedepankan dana transfer dari pemerintah pusat sebagai penerimaan dalam membiayai belanja daerahnya. Rata-rata pertumbuhan PAD secara keseluruhan adalah 0,09 dengan 14 kabupaten/kota mulai dari tahun 2005-2013.

keterangan : Kabupaten dan kota

Gambar 3 Pertumbuhan kinerja fiskal daerah Provinsi Sumatera Selatan 2005-2013

(36)

2005-LAHAT

2013 pertumbuhan kinerja fiskal tertingggi yaitu Kabupaten Ogan Ilir dan pertumbuhan kinerja fiskal terendah adalah Kabupaten Muara Enim.

3.

Elastisitas

Berdasarkan analisis elastisitas PAD terhadap PDRB yang menunjukan perekonomian suatu daerah, diketahui bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal memberikan respon positif terhadap pertumbuhan perekonomian sebesar 0,38 persen pada setiap peningkatan fiskal sebesar 1 persen. Selain itu pelaksanaan desentralisasi fiskal belum menunjukan perubahan kearah pertumbuhan perekonomian daerah yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini dapat ditunjukan dengan hanya terdapat 2 daerah (36%) yang memiliki nilai elastisitas ≥ 1 artinya bahwa setiap perubahan PDRB di 2 daerah tersebut sensitif terhadap perubahan/peningkatan PAD. Sedangkan di 12 daerah lainnya (64%) perubahan PDRBnya tidak cukup mempengaruhi peningkatan PAD. Bagi daerah dengan elastisitas < 1 patut diduga nilai tambah PDRB-nya lebih banyak keluar dari daerah tempat kegiatan perekonomian tersebut diselenggarakan.

Gambar 4 Elastisitas PAD terhadap PDRB kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan

Metode Kuadran

(37)

1. Suatu daerah dikategarikan sebagai daerah mandiri dan berpatensi (Kuadran I) jika memiliki rasio growth lebih dari 0,09% dan rasia share

lebih dari 0,05%.

2. Suatu daerah dikategarikan sebagai daerah tidak mandiri dan berpatensi (Kuadran II) jika rasia growth lebih dari 0,09% dan rasio share kurang dari 0,05%.

3. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah mandiri dan kurang berpatensi (Kuadran III) jika rasio growth kurang dari 0,09% dan rasia share lebih dari 0,05%.

4. Suatu daerah dikategarikan sebagai daerah tidak mandiri dan kurang berpatensi (Kuadran IV) jika rasio growth kurang dari 0,09% dan rasio

share kurang dari 0,05%.

Tabel 4 Deskripsi statistik growth dan share tahun 2005-2013

Sumber: Data Internal, 2015 (diolah).

Kemandirian fiskal suatu daerah terutama yaitu kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan merupakan cerminan kemampuan pendapatan fiskal dalam membiayai pengeluaran daerah untuk kepentingan pembangunan dan peningkatan

(38)

Lahat

0.50 0.55 0.60 0.65 0.70 0.75 0.80 0.85 0.90 0.95 1.00

KUADRAN III

KUADRAN IV

KUADRAN I

KUADRAN II

kualitas pelayanan publik. Setelah berjalannya dalam kurun waktu hampir 15 tahun pelaksnaan desentralisasi fiskal diharapkan pemerintah daerah mampu melakukan optimalisasi terhadap pengelolaan sumberdaya yang ada sehingga memberikan multiplier effect terhadap pembangunan di daerah. Untuk menggambarkan peta kemampuan keuangan masing-masing kabupaten/kota di Sumatera Selatan digunakan parameter perhitungan dan analisis kinerja PAD melalui ukuran peran (share) PAD dalam APBD dan pertumbuhan (growth) PAD dari masing-masing kabupaten/kota.

Dengan parameter tersebut dapat digambarkan bentuk suatu peta kemampuan keuangan daerah dengan metode kuadran (Bappenas, 2003) dan masing-masing kabupaten/kota tersebut dapat diketahui posisinya pada kuadran berapa. Kondisi dari masing-masing kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Selatan berdasarkan peta kinerja PAD melalui metode kuadran dapat ditunjukkan seperti gambar 5 dibawah ini:

GROWTH 0,09%

Sumber : Bappenas, 2003.

(39)

Profil kemampuan keuangan dengan metode kuadran diketahui secara umum jumlah kabupaten/kota terletak pada setiap kudaran. Untuk kuadran I (kondisi ideal) terdapat hanya 2 kabupaten/kota yaitu Kota Palembang dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, hal ini menunjukan bahwa kedua wilayah ini berada pada Kondisi paling ideal. PAD mengambil peran besar dalam APBD dan daerah punyakemampuan mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini ditunjukan dengan besarnya nilai share disertai nilai growth yang tinggi.

Selanjutnya di kuadran II merupakan kudaran yang paling mendominasi dengan sekitar 7 Kabupaten/Kota yaitu Ogan Komering Ilir, Musi Rawas, Pagar Alam, Ogan Komering Ulu Selatan, Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir yang termasuk kedalam kondisi sedang, hal tersebut menunjukan bahwa ketujuh wilayah ini berada dalamkondisi sedang yang memiliki pertumbuhan fiskal tinggi dan kontribusi fiskal rendah terhadap pengeluaran daerahnya.

Pada kondisi lainnya di kudaran III yaitu untuk Kabupaten Muara Enim peran PAD yang besar dalam APBD punya peluang mengecil karena pertumbuhan PADnya kecil. Di sini sumbangan PAD terhadap APBD tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah. Maka dari itu wilayah tersebut juga termasuk pada kondisi yang belum ideal.Selain itu pada gambar 5 juga menunjukan bahwa terdapat 4 kabupaten/kota masuk dalam kategori kondisi ini paling buruk karena, PAD belum mengambil peran yang besar dalam APBD dan daerah belum punya kemampuan mengembangkan potensi lokal. Sumbangan PAD terhadap APBD rendah dan pertumbuhan PAD rendah. Wilayah yang termasuk dalam kondisi paling buruk adalah Kabupaten Lahat, Lubuklinggau, Prabumulih dan Ogan Komering Ulu.

Metode Indeks Kemampuan Fiskal

Kemandirian Keuangan daerah menunjukan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah (Halim, 2002: 128). Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan suatu daerah berarti semakin tinggi tingkat kontribusi masyarakat dalam pembentukan PAD.

Indeks Kemampuan Fiskal (IKF) yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan cerminan pertumbuhan fiskal secara keseluruhan dari kabupaten/kota Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan metode indeks, indeks fiskal yaang tinggi menunjukan kemampuan fiskal atau kinerja keuangan pemerintah daerah dalam menggali potensi fiskal. IKF berfungsi dalam melihat tingkat kemajuan pembangunan daerah yang dibandingkan dengan kondisi pembangunan didaerah lainnya.

(40)

Tabel 5 Kriteria tingkat kemampuan keuangan daerah

Indeks Kemampuan Keuangan Klasifikasi

0.00 - 0.33 Rendah

0.34 - 0.43 Sedang

0.44 - 1.00 Tinggi

Sumber : Bappenas, 2008.

Berdasarkan tabel di bawah ini, dapat dilihat bahwa wilayah yang memiliki IKF tertinggi terhadap pengeluaran pemerintah daerah ataupun belanja daerah adalah Kota Palembang dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, sedangkan pada kondisi sebaliknya yakni wilayah yaang memiliki IKF terendah adalah Kabupaten Muara Enim. Dalam hal ini menunjukan bahwa Kota Palembang dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur memiliki tingkat kapasitas pelayanan publik untuk pembangunan daerah yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Tabel 6 Nilai Indeks Kemampuan Fiskal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan

KABUPATEN/KOTA

INDEKS KEMAMPUAN

FISKAL

KLASIFIKASI

Kabupaten Lahat 0.25 RENDAH

Kabupaten Muara Enim 0.16 RENDAH

Kabupaten Ogan Komering Ilir 0.30 RENDAH

Kabupaten Ogan Komering Ulu 0.25 RENDAH

Kota Palembang 0.66 TINGGI

Kota Prabumulih 0.24 RENDAH

Kota Pagar Alam 0.56 TINGGI

Kota Lubuk Linggau 0.42 SEDANG

Kabupaten Banyu Asin 0.24 RENDAH

Kabupaten Ogan Ilir 0.62 TINGGI

Kabupaten Ogan Komering Ulu

Timur 0.66 TINGGI

Kabupaten Ogan Komering Ulu

Selatan 0.30 RENDAH

Kabupaten Musi Banyuasin 0.33 SEDANG

Kabupaten Musi Rawas 0.64 TINGGI

Gambar

Tabel 1 Realisasi penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi
Tabel 2 Peta Kapasitas Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Selatan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Gambar 2 Share PAD terhadap pengeluaran daerah Provinsi Sumatera Selatan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta

Dalam rangka Dies Natalis Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada ke-47, Panitia menyelenggarakan Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Peternakan Tropik Tahun

Tinjauan pustaka memuat uraian yang sistematik tentang teori dasar yang relevan, fakta, hasil penelitian sebelumnya, yang berasal dari pustaka mutakhir yang memuat

Laporan Pelaksanaan Tugas Tahun 2014 Kantor Kesatuan Bangsa1.

Maka di sini penulis memandang perlunya sistem dengan dukungan bahasa pemograman WML (Wireless Murkup Language) dan juga database yang berbasiskan client server, sehingga situs

IRIANI SETYAWATI Hibah Bersaing Belum selesai 1 IRYANTI EKA SUPRIHATIN Hibah Bersaing Belum selesai 1 KADEK TRESNA ADHI Hibah Bersaing Belum selesai 1 KHAMDAN KHALIMI Hibah

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai r ~ 0,258 dengan p~0.033 (p&lt;O,OS) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara kebutuhan

- Perlu koordinasi yang intensif antara unit perencana strategi dengan unit perencana keuangan/anggaran untuk memastikan seluruh pencapaian strategi telah didukung oleh