• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proyeksi Perubahan Pola Curah Hujan Di Indonesia Menggunakan Skenario Perubahan Iklim Jangka Pendek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proyeksi Perubahan Pola Curah Hujan Di Indonesia Menggunakan Skenario Perubahan Iklim Jangka Pendek"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

PROYEKSI PERUBAHAN POLA CURAH HUJAN

DI INDONESIA MENGGUNAKAN SKENARIO

PERUBAHAN IKLIM JANGKA PENDEK

RADINI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Proyeksi Perubahan Pola Curah Hujan di Indonesia Menggunakan Skenario Perubahan Iklim Jangka Pendek adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Radini

(4)
(5)

ABSTRAK

RADINI. Proyeksi Perubahan Pola Curah Hujan di Indonesia Menggunakan Skenario Perubahan Iklim Jangka Pendek. Dibimbing oleh AKHMAD FAQIH.

Penelitian ini mengkaji tentang perubahan curah hujan berdasarkan skenario perubahan iklim jangka pendek untuk periode proyeksi tahun 2011-2035. Perhitungan model prediksi dilakukan dengan menggunakan metode analisis korelasi kanonik. Data yang dipakai adalah data curah hujan dari observasi BMKG, CHIRPS dan luaran model GCM. Hasil penelitian menunjukan bahwa data CHIRPS cukup baik dalam menduga curah hujan Indonesia, yakni terlihat dari nilai rataan korelasi 24 stasiun (r=0.715) dan plot data yang mampu mengikuti pola data observasi. Berdasarkan analisis cluster, wilayah Indonesia terbagi menjadi lima wilayah cluster dengan karakter curah hujan yang berbeda. Analisis klimatologi menunjukan bahwa perubahan curah hujan rata-rata yang cukup besar terjadi pada musim JJA dan DJF, sementara pada MAM dan SON perubahannya kecil. Analisis curah hujan per-cluster menunjukan terjadinya perubahan curah hujan yang signifikan pada semua cluster. Proyeksi iklim jangka pendek secara umum menunjukan bahwa Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan rata-rata saat musim kemarau dan penurunan saat musim hujan. Kata kunci: analisis cluster, GCM, korelasi kanonik

ABSTRACT

RADINI. Projection of Rainfall Pattern Changes in Indonesia Using Near-term Climate Change Scenarios. Supervised by AKHMAD FAQIH.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

PROYEKSI PERUBAHAN POLA CURAH HUJAN

DI INDONESIA MENGGUNAKAN SKENARIO

PERUBAHAN IKLIM JANGKA PENDEK

RADINI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala Nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Proyeksi Perubahan Pola Curah Hujan di Indonesia Menggunakan Skenario Perubahan Iklim Jangka Pendek”. Karya ilmiah ini ditujukan untuk mendapatkan gelar sarjana sains pada program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan karya ilmiah dan pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak dan Ibu yang sudah memberikan doa dan kasih sayang selama ini. 2. Bapak Dr Akhmad Faqih selaku pembimbing, yang telah banyak

memberikan arahan ilmu kepada penulis.

3. Alvin Gustomy dan Taufik Hidayat sebagai teman seperjuangan penulis. 4. Mbak Enggar yang sudah mengajarkan banyak hal, terimakasih atas

waktunya selama ini.

5. Teman-teman sahabat JEJAKA Community (Erwin, Hendra, Okem dan lain-lain)

6. Teman-teman GFM 48 atas semua cerita yang kita lalui selama ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Desember 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Pola Curah hujan Indonesia 2

Global Circulation Model (GCM) 2

Statistical Downscaling 3

CCA 3

Perubahan Iklim Jangka Pendek dan RCP 4

METODE 5

Waktu dan Tempat 5

Alat dan Data 5

Prosedur Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Koreksidan Validasi CHIRPS 8

StatisticalDownscaling 10

Analisis Cluster 12

Analisis Klimatologi Curah Hujan 15

Analisis Perubahan Pola Curah Hujan 19

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 22

LAMPIRAN 25

(14)

DAFTAR TABEL

1 Daftar Model yang digunakan 6

2 Faktor koreksi dan korelasi (Observasi dan CHIRPS) pada 8 stasiun

BMKG 9

3 Perubahan persentase wilayah cluster hasil prediksi 15

DAFTAR GAMBAR

1 Peta pola curah hujan Indonesia 2

2 Radiative forcing dari RCP 5

3 Plot lokasi 24 titik BMKG 6

4 Perbandingan plot data curah hujan bulanan CHIRPS (sebelum dan sesudah koreksi) dengan Observasi pada 8 stasiun BMKG 8 5 Perbandingan rataan curah hujan bulanan 24 Stasiun observasi dengan data

CHIRPS sebelum dan sesudah koreksi periode tahun 1981-2010 9 6 Sebaran korelasi data observasi dan CHIRPS per stasiun 9 7 Loadings spasial dan temporal score CCA mode 1 data model GCM (X)

dan CHIRPS (Y). Model a) MRI , b) IPSL dan c) CNRM. CCA 10 8 Persentase keragaman 5 mode CCA yang dipakai dalam downscaling

model menggunakan CPT. Scree plot X adalah model GCM dan Y adalah

CHIRPS. Model a) MRI, b) IPSL dan c) CNRM 11

9 Skill forecast hasil downscaling menggunakan metode CCA. Model a)

MRI, b) IPSL dan c) CNRM 12

10 Pola curah hujan masing-masing cluster (CHIRPS). Sumbu Y adalah CH

(mm) dan sumbu X adalah bulan (1-12) 13

11 Perbandingan wilayah cluster antara a) CHIRPS, b) Model 1 (M1/MRI), c) Model 2 (M2/IPSL), d) Model 3 (M3/CNRM) dan e) Rataan 3 Model. CHIRPS adalah data historical (1981-2005) dan Model adalah hasil

prediksi (2011-2035) 14

12 Perbandingan klimatologi curah hujan rata-rata musiman Indonesia (DJF dan MAM) antara data CHIRPS, Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL) dan Model 3 (M3/CNRM). CHIRPS adalah data historical dan Model

adalah hasil prediksi 16

13 Perbandingan klimatologi curah hujan rata-rata musiman Indonesia (JJA dan SON) antara data CHIRPS dan hasil prediksi berdasarkan model. Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL) dan Model 3 (M3/CNRM). CHIRPS adalah data historical dan Model adalah hasil prediksi 17 14 Perbandingan data curah hujan bulanan CHIRPS dan hasil prediksi

wilayah Indonesia 18

15 Perbandingan perubahan pola curah hujan rata-rata bulanan (25 tahun) per

cluster antara data CHIRPS historical (baseline) dan tiga hasil prediksi berdasarkan model. Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL) dan Model 3

(15)

16 Perbandingan perubahan pola curah hujan rataan bulanan (25 tahun) per

cluster dengan asumsi jika wilayah cluster tidak berubah 20 17 Perbandingan data curah hujan rata-rata bulanan (25 tahun) antara data

historical CHIRPS (base line) dan hasil prediksi berdasarkan model

(M1, M2 dan M3) wilayah Indonesia 21

DAFTAR LAMPIRAN

1 Korelasi data CHIRPS dan Observasi 24 stasiun BMKG 25

2 Loadings spasial dan temporal score CCA mode 2 sampai 5 data model

GCM MRI (X) dan CHIRPS (Y) 26

3 Loadings spasial dan temporal score CCA mode 2 sampai 5 data

model GCM IPSL (X) dan CHIRPS (Y) 27

4 Loadings spasial dan temporal score CCA mode 2 sampai 5 data

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi seperti suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Dampak tersebut sebagian besar berhubungan dengan anomali curah hujan maupun kejadian ekstrim seperti banjir dan kemarau yang sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian. Banyak laporan menunjukkan bahwa luas wilayah terkena bencana iklim sudah semakin luas dengan tingkat kehilangan hasil pertanian yang semakin besar (Boer dan Las 2003). Perubahan iklim berdampak pada pergeseran musim, seperti semakin singkatnya musim hujan namun dengan curah hujan yang lebih besar (banjir) dan musim kemarau semakin panjang yang berdampak kekeringan. Pramudia (2006) menyatakan telah terjadi perubahan musim di beberapa kota sentra padi (pantura). Perubahan tersebut mencakup perubahan durasi dan pergeseran musim kering atau basah, serta perubahan jumlah curah hujan pada setiap musim.

Kajian proyeksi perubahan iklim umumnya berbasis skenario perubahan iklim jangka panjang yang berbasis pada skenario emisi (Candradijaya 2014). Sedangkan proyeksi iklim jangka pendek yang berbasis pada hasil prediksi iklim skala waktu dekadal/interdekadal masih sedikit dilakukan, khususnya di Indonesia. Kajian tentang perubahan iklim jangka pendek saat ini sangat penting, terutama terkait dengan pertimbangan pemerintah membuat kebijakan publik dalam pembangunan nasional seperti pembangunan infrastruktur. Sebagai contoh, perencanaan pembangunan dan pengelolaan waduk membutuhkan informasi iklim 10 hingga 30 tahun ke depan, yang sangat terkait dengan informasi perubahan iklim jangka pendek. Pada Laporan Kelima Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC AR5) (IPCC 2013), telah disiapkan data proyeksi iklim terbaru yang berbasis pada skenario jangka pendek. Pada penelitian ini penulis akan mengkaji tentang proyeksi perubahan curah hujan Indonesia berdasarkan skenario perubahan iklim jangka pendek (hingga tahun 2035) menggunakan data luaran GCM CMIP5.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Melakukan validasi data curah hujan CHIRPS menggunakan data obervasi. 2. Melakukan prediksi curah hujan di masa depan berdasarkan luaran model

GCM berbasis skenario perubahan iklim jangka pendek (near-term climate change).

(18)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pola Curah Hujan Indonesia

Pengaruh faktor fisiografis wilayah Indonesia terhadap unsur iklim menyebabkan tiga tipe curah hujan, yakni ekuatorial, monsunal dan lokal. Tipe ekuatorial dicirikan oleh dua kali maksimum curah hujan bulanan dalam setahun. Tipe monsonal dipengaruhi oleh angin laut dalam skala yang sangat luas, tipe hujan ini dicirikan oleh adanya perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan kemarau dalam setahun, dan hanya terjadi satu kali maksimum curah hujan bulanan dalam setahun. Tipe lokal dicirikan dengan besarnya pengaruh kondisi lingkungan, seperti bentang perairan, pegunungan serta pemanasan lokal yang intensif. Pola ini hanya terjadi satu kali maksimum curah hujan bulanan dalam waktu satu tahun, dan terjadi beberapa bulan kering. Menurut Hamada (2002) Indonesia terbagi menjadi empat daerah iklim, tiga di antaranya sesuai dengan tipe diatas sedangkan tipe ke empat merupakan daerah peralihan yang tidak menunjukan secara jelas musim kering dan musim kemarau.

Gambar 1 Peta pola curah hujan Indonesia, A (monsunal), B (ekuatorial) dan C (lokal). Sumber : Aldrian dan Susanto (2003)

Global Circulation Model (GCM)

(19)

3 terdapat dalam GCM masih berskala global sehingga sulit untuk memperoleh langsung informasi berskala lokal dari GCM. Luaran GCM belum sepenuhnya dapat digunakan terutama untuk kawasan tropis dengan topografi dan vegetasi yang heterogen sehingga diperlukan pendekatan yaitu dengan menggunakan teknik downscaling secara statistik (Kang et al. 2007).

Statistical Downscaling

Statistical Downscaling (SD) adalah suatu fungsi transfer yang menggambarkan hubungan fungsional skala global hasil GCM (peubah prediktor) dengan unsur-unsur iklim lokal (peubah respon). Teknik SD yang umumnya banyak digunakan adalah teknik SD berbasis modelregresi linier. Zorita et al.

(1995) mengemukakan tiga asumsi, yaitu (1) GCM dapat memprediksi peubah atmosfir berskala besar yang lebih realistis dari pada memprediksi peubah iklim lokal, (2) hubungan antara peubah skala besar dan lokal tidak berubah dengan adanya perubahan iklim dan (3) prosedur statistik tidak hanya menghasilkan suatu replika data historis tetapi juga makna pengaruh setiap peubah dan hubungannya terhadap peubah lokal.

GCM dalam teknik SD merupakan data dalam bentuk grid, sehingga ketelitian dalam menentukan domain grid yang sesuai sangat penting untuk menghasilkan penduga curah hujan yang akurat. Hasil dari model SD dapat memberikan prediksi deret waktu yang panjang untuk mempelajari dampak iklim. Bentuk umum model SD adalah sebagai berikut:

Y

(tx1)

= f (X

(txg)

)

Keterangan :

Y

(tx1) : Peubah-peubah iklim lokal (curah hujan lokal)

X

(txg) : Peubah-peubah parameter (iklim hasil GCM)

t : Banyaknya waktu (seperti: bulanan, harian)

g : Banyaknya grid GCM

Canonical Correlation Analysis (CCA)

(20)

4

Perubahan Iklim Jangka Pendek dan RCP

IPCC (2007) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang. Pemanasan global terjadi akibat peningkatan efek rumah kaca yang disebabkan oleh naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Semakin tinggi konsentrasi gas rumah kaca, maka semakin banyak radiasi panas dari bumi yang terperangkap di atmosfer dan dipancarkan kembali ke bumi. Hal ini menyebabkan peningkatan suhu di permukaan bumi. Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Perubahan iklim global sebagai peristiwa naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi. Selain itu diperjelas bahwa perubahan iklim dapat terjadi karena proses internal maupun ada kekuatan eksternal atau ulah manusia yang terus menerus mengubah komposisi atsmosfer dan tata guna lahan (Murdiyarso 2003).

Menurut IPCC (2013) dalam Assesment Report 5 (AR5), yang dimaksud dengan near-term (jangka pendek) mengacu pada periode dari sekarang sampai abad pertengahan. Periode proyeksi dititik beratkan sekitar tahun 2016-2035 berdasarkan periode baseline tahun 1986-2005, meskipun beberapa informasi tentang proyeksi perubahan sebelum dan setelah periode ini (hingga pertengahan abad) juga dinilai. Berbeda dengan long-term yang mengacu pada periode sampai akhir abad 21 (tahun 2100) atau sampai periode selanjutnya. AR5 IPCC (2013) menggunakan skenario Representative Concentration Patway (RCP) yang menggantikan skenario sebelumnya yakni SRES pada AR3 dan AR4.

RCP merupakan skenario yang lebih menitik beratkan pada konsentrasi dari emisi yang tidak secara langsung berdasarkan gambaran sosial-ekonomi. Skenario RCP juga konsisten pada gas-gas yang berumur pendek di atmosfer serta alih fungsi lahan. RCP didasarkan pada Radiative Forcing

(21)

5

Gambar 2 Radiative forcing dari Representative Concentration Pathways (RCP). Sumber: Vuuren et al. (2011)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan November 2015 di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor

Alat dan Data

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan Operating System berbasis LINUX dengan software Climate Predictability Tool (CPT), NCAR Commond Language (NCL), Surfer 10, Matlab dan Microsoft excel.

Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari empat data presipitasi (curah hujan), yakni data observasi BMKG, data CHIRPS, data hindcast dan

(22)

6

Prosedur Analisis Data Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan tiga jenis data curah hujan yakni observasi BMKG, Climate Hazard InfraRed Precipitation with Station (CHIRPS) dan luaran model GCM. Data observasi (curah hujan) Indonesia didapat dari data BMKG sebanyak 24 titik stasiun, data diunduh melalui website data BMKG (http://dataonline.bmkg.go.id/). Data curah hujan CHIRPS v2p0/ 0p25 dengan resolusi 25 x 25 Km(koordinat 950BT-1410BT dan 60 LU-110 LS) didapat dari website IRI (http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS /.v2p0 .daily/ .global/.0p25) dengan format data CPT (.tsv). Data GCM model CMIP5 eksperimen RCP didapat dari website Program For Climate Model Diagnosis and Intercomparison (PCMDI) (http://cmip-pcmdi.llnl.gov/cmip5/).

CHIRPS merupakan salah satu data presipitasi yang menggabungkan data iklim global yang berasal dari satelit dengan data observasi di permukaaan dengan dua pilihan resolusi yakni 0.050dan 0.250. Keunggulan CHIRPS ialah nilai bias yang rendah sebagai akibat dari data masukan yang berupa data satelit, data observasi dan data topografi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa data CHIRPS lebih bagus digunakan terutama untuk daerah spesifik dengan topografi yang beragam (Pricope et al. 2013). Data CMIP5 yang digunakan yaitu dari luaran model MRI-CGCCM2, IPSL-CM5 dan CNRM-CM5 (Tabel 1) yang terdiri dari data hindcast

(1981-2010) dan forecast (2006-2035) dengan format data .nc kemudian dikonversi ke .tsv menggunakan software NCL. Data CHIRPS dan data model

hindcast digunakan untuk membangun model prediksi sedangkan data forecast

digunakan untuk membuat prediksi (CHIRPS proyeksi). Gambar 3 menunjukkan plot titik 24 stasiun BMKG dan daftar model yang digunakan dalam penelitian.

Gambar 3 Plot lokasi 24 titik stasiun BMKG Tabel 1 Daftar model GCM yang digunakan

No Model Negara Resolusi Referensi

1 MRI-2 IPSL-CM5 Institut Piere Simon Laplace,

(23)

7 Koreksi dan Validasi Data CHIRPS

Data CHIRPS digunakan sebagai pengganti data observasi sehingga perlu dilakukan validasi dengan data observasi BMKG. Sebelumnya data observasi dilakukan uji homogenitas dan cek data kosong per stasiun. Uji homogenitas dilakukan untuk melihat pola datanya homogen atau tidak. Kemudian dilakukan cek data dengan melihat nilai maksimum (pencilan data) dan data kosong. Kemudian data observasi dan CHIRPS per titik dilakukan pencocokan data kosong, jika nilai observasi kosong maka data data CHIRPS juga dikosongkan. Data harian kemudian diubah menjadi bulanan dan diplotkan untuk mencari faktor koreksi (FK). Nilai FK digunakan untuk validasi data CHIRPS spasial Indonesia yakni dengan mengalikannya dengan data CHIRPS, sehingga didapat CHIRPS terkoreksi.

Model Prediksi Iklim

Model Prediksi Iklim dibuat menggunakan perangkat lunak CPT. Model digunakan untuk memprediksi data CHIRPS proyeksi (periode 2006-2035). CPT merupakan suatu perangkat lunak berbasis Windows maupun Linux yang dapat digunakan untuk membangun dan mengembangkan model prediksi iklim musiman berdasarkan Model Output Statistic (MOS) (Mason 2008). Penelitian ini menggunakan CPT berbasis Linux. CPT memiliki lima analisis pilihan yang dapat digunakan yakni Canonical Correlation Analysis (CCA), Principal Components Regression (PCR), Multi Linear Regression (MLR), Global Model Output (GMO), dan Probabilistic Forecast Verification (PFV). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah CCA. Data input yang digunakan adalah (1) data model (hindcast), (2) CHIRPS (historical) dan (3) model (forecast). Data 1 dan 2 digunakan sebagai pembangun model sedangkan data 3 digunakan sebagai prediktor dari prediktan yakni CHIRPS (Prediction).

Analisis Cluster

Analisis Cluster merupakan teknik peubah ganda yang mempunyai tujuan untuk mengelompokkan objek-objek berdasarkan kemiripan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik objek-objek dalam suatu cluster memiliki tingkat kemiripan yang tinggi, sedangkan karakteristik antar objek antar cluster memiliki tingkat kemiripan yang rendah. Analisis cluster dilakukan untuk mengelompokan grid yang memiliki pola curah hujan bulanan yang sama menggunakan aplikasi perangkat lunak Minitab 15. Banyaknya kelompok ditentukan berdasarkan penurunan similarity dan peningkatan distance level. Analisis cluster

menggunakan data rataan curah hujan bulanan selama 25 tahun. Analisis Klimatologi

Analisis Klimatologi (curah hujan) dilakukan dengan membagi data menjadi empat periode musiman Desember-Februari (DJF), Maret-Mei (MAM), Juli-Agustus (JJA) dan September-November (SON) yang dipetakan secara spasial. Analisis klimatologi diplotkan berdasarkan data CHIRPS historical

(24)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Koreksi dan Validasi CHIRPS

Data observasi dan CHIRPS seluruh stasiun digabung dan diplotkan untuk mendapatkan faktor koreksi (FK). Nilai FK yang didapat berdasarkan data tersebut adalah 0.878. Nilai FK tersebut yang digunakan untuk mengoreksi data CHIRPS spasial (Indonesia) sebagai pengganti data observasi. Secara keseluruhan (24 stasiun) hasil nilai korelasinya cukup baik yakni nilai rataan korelasi dari 24 stasiun (Lampiran 1) sebesar 0.715. Berdasarkan Tabel 2 nilai korelasi berfluktuasi, terbesar pada stasiun Juanda dan terkecil pada stasiun Sultan hasanuddin. CHIRPS merupakan data presipitasi yang menggabungkan data iklim global dengan data observasi dan data topografi. Jika faktor masukan data observasi kurang, dari segi jumlah data maupun stasiun akan mempengaruhi kesesuaian CHIRPS dalam menduga curah hujan lokal. Stasiun Pangsuma memiliki nilai korelasi cukup kecil, karena dilihat dari jumlah ketersediaan data yang sedikit dan faktor stasiun sekitarnya yang berjarak sangat jauh satu sama lain. Perlu dilakukan koreksi data CHIRPS menggunakan FK per stasiun. Berikut adalah contoh hasil perbandingan data curah hujan antara data observasi dan CHIRPS yang dikoreksi menggunakan FK per masing-masing stasiun.

(25)

9 Tabel 2 Faktor koreksi dan Korelasi (Observasi dan CHIRPS) 8 stasiun BMKG

No Nama Stasiun FK Korelasi

1 Babullah_Ternate Maluku 0.87 0.58

2 Juanda Surabaya 1.18 0.85

3 Pangsuma P Kalimantan 1.30 0.64

4 Raden Inten_Lampung 0.87 0.69

5 Soetha Cengkareng 0.95 0.82

6 Sultan Hasanuddin 0.87 0.51

7 Sultan Thaha_Jambi 0.87 0.70

8 Tjilik Riwut 0.87 0.70

Penelitian ini mengasumsikan bahwa seluruh wilayah Indonesia memiliki FK yang sama yakni 0.878. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam running

model menggunakan CPT. Tentunya cara ini memiliki kelemahan karena hanya akan menurunkan seluruh nilai curah hujan di setiap grid dengan persentase penurunan yang sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian selanjutnya dimana sebaiknya masing-masing wilayah cluster dikoreksi menggunakan FK per cluster, karena setiap cluster memiliki nilai FK yang berbeda-beda. Setelah dilakukan koreksi nilai CHIRPS menjadi menurun seperti pada Gambar 5. Pola data CHIRPS terlihat mampu mengikuti data Observasi. Berdasarkan data 24 stasiun yang digunakan hasil pendugaan CHIRPS sudah cukup baik terlihat dari nilai rataan korelasi 24 stasiun 0.715 dan plot data yang mampu mengikuti pola data observasi.

Gambar 5 Perbandingan rataan curah hujan bulanan 24 Stasiun observasi dengan data CHIRPS sebelum dan sesudah koreksi periode tahun 1981-2010 Sebaran korelasi 24 stasiun ditunjukan Gambar 6, korelasi menunjukan nilai yang beragam yakni 7 stasiun menunjukan korelasi merah (0.41-0.62), 5 stasiun korelasi kuning (0.6-0.71), 6 stasiun korelasi hijau (0.71-0.82) dan 6 stasiun korelasi biru (0.8-0.9). Faktor yang mempengaruhi keragaman nilai korelasi tersebut adalah topografi wilayah dan jumlah ketersediaan data (kuantitas data maupun jumlah stasiun).

(26)

10

Statistical Downscaling

CCA merupakan salah satu metode analisis peubah ganda yang ditujukan untuk mengetahui keterkaitan antara dua kelompok peubah. Analisis tersebut digunakan dalam proses SD untuk memprediksi curah hujan. Proses tersebut menghasilkan parameter seperti: loadings, scores dan skill forecast.

Loadings dan Scores

Loadings diplotkan secara spasial dan scores secara temporal. Loadings menunjukan bobot komponen pokok yang menggambarkan hubungan (korelasi) antara suatu variabel dengan suatu faktor dalam pendugaan forecast menggunakan metode CCA. Setiap mode CCA memiliki sebaran loading yang berbeda-beda. Semakin besar nilai bobot suatu wilayah spasial maka semakin besar nilai yang dipakai. Temporal scores menunjukan kesesuaian komponen model GCM (X) dan CHIRPS (Y) dari mode CCA secara time series yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Loadings spasial dan temporal score CCA mode 1 data model GCM (X) dan CHIRPS (Y). Model a) MRI , b) IPSL dan c) CNRM. CCA

mode 2 sampai 5 dilampirkan. a)

b)

(27)

11 Persentase keragaman (% variance) data ditunjukan pada Gambar 8. Mode

CCA yang digunakan adalah lima mode pertama. Kelima mode tersebut dianggap sudah mampu mewakili keragaman data (lebih dari 80 %), sedangkan sisanya semakin mendekati nol yang dianggap tidak penting lagi. Nilai mode CCA pertama merupakan nilai komponen utama yang mempunyai keragaman terbesar, sedangkan PC kedua memiliki keragaman terbesar kedua dan seterusnya.

a)

b)

c)

Gambar 8 Persentase keragaman 5 mode CCA yang dipakai dalam downscaling

(28)

12

Skill Forecast

Skill forecast adalah representasi skala kesalahan akurasi perkiraan curah hujan forecast model dalam menduga data curah hujan observasi. Peta skill forecast ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kehandalan suatu sistem prakiraan musim dan memantau kualitas dari hasil prakiraan atau sejauh mana ketepatan prakiraan yang dibuat. Hasil ketiga model pada Gambar 7 memiliki nilai korelasi yang cukup baik, tidak ada wilayah yang berkorelasi negatif. Wilayah dengan pola hujan monsunal seperti Jawa dan Nusa Tenggara memiliki nilai korelasi yang paling baik, sedangkan untuk wilayah tipe hujan ekuatorial dan lokal terlihat lebih rendah. Hasil forecast model CNRM memiliki kecenderungan nilai korelasi terbesar dibandingkan model lainnya.

a)

b)

c)

Gambar 9 Skill forecast hasil downscaling menggunakan metode CCA. Model a) MRI, b) IPSL dan c) CNRM

Analisis Cluster

(29)

13 berdasarkan pola curah hujannya, dalam penelitian ini pemisahan wilayah dilakukan menggunakan Analisis Cluster. Berdasarkan data yang digunakan dalam penelitian, curah hujan wilayah Indonesia dibedakan menjadi 5 wilayah

cluster yang didasarkan pada nilai similarity dan distance level.

Setiap cluster memiliki karakter pola curah hujan yang berbeda-beda seperti pada Gambar 10. Cluster 1 dan 4 masuk kategori pola hujan mosunal, terutama terlihat jelas pada cluster 4. Ciri utama pola monsunal ini adalah memiliki 1 puncak musim hujan dan 1 puncak musim kemarau. Kedua wilayah cluster ini lebih dominan dipengaruhi oleh angin monsun. Angin monsun yang berhembus dari arah Asia menuju Australia disebut monsun barat yang menyebabkan musim hujan dan sebaliknya angin monsun yang berhembus dari Australia menuju Asia disebut monsun timur yang menyebabkan musim kemarau. Sementara pada

cluster 3 dan 5 masuk kategori pola hujan ekuatorial, ciri utama dari pola ini adalah memiliki 2 puncak musim hujan dalam setahun. Faktor yang dominan mempengaruhinya adalah pergerakan semu matahari, yang melawati wilayah ekuator dua kali dalam setahun.

Gambar 10 Pola curah hujan masing-masing cluster (CHIRPS). Sumbu Y adalah CH (mm) dan sumbu X adalah bulan (1-12)

Cluster 1 dan 4 secara spesifik memiliki karakter pola yang berbeda, cluster

4 memiliki curah hujan yang jauh lebih kecil (kering) dari pada cluster 1, musim kemarau dan musim penghujan cluster 4 lebih kering dari cluster 1. Cluster 3 dan 5 juga berbeda, cluster 3 memiliki curah hujan yang lebih kecil walaupun polanya hampir serupa. Sementara cluster 2 memiliki pola hujan dengan karakter musim kering dan basah yang tidak berbeda jauh fluktuasinya (sepanjang musim hampir sama). Cluster 4 memiliki rataan curah hujan bulanan paling sedikit dibandingkan

cluster lain, dengan perbedaan curah hujan saat kemarau dan penghujan yang sangat besar. Berikut adalah perbandingan perubahan wilayah cluster antara

(30)

14

a) a)

b)

c)

d)

e)

(31)

15 Hasil Analisis menunjukan wilayah Indonesia terbagi menjadi lima wilayah

Cluster seperti pada Gambar 10. Berdasarkan Pola curah hujan dan wilayah pola hujan (Gambar 1), pada CHIRPS cluster 3 dan 5 termasuk pola ekuatorial, kemudian cluster 1 dan 4 termasuk pola monsunal dan untuk cluster 2 polanya terlihat kurang jelas, secara wilayah sebagian masuk pola dan sebagian lagi masuk monsunal (lihat Gambar 1). Cluster 5 memiliki kuantitas rata-rata curah hujan tertinggi dan terendah pada cluster 4. Berdasarkan hasil wilayah cluster tersebut selanjutnya akan dianalisis perubahan pola curah hujannya per cluster.

Tabel 3 Perubahan persentase wilayah cluster pada masing-masing hasil prediksi

Cluster Persentase Wilayah (%)

Perubahan wilayah cluster yang dianalisis berdasarkan nilai rataan curah hujan bulanan 25 tahun terlihat pada Gambar 11. Ketiga hasil prediksi (M1, M2 dan M3) memiliki wilayah dan luasan cluster yang hampir sama (lihat Tabel 3). Antara CHIRPS dan Prediksi terlihat terjadi perubahan yang cukup signifikan yaitu pada cluster 3, 2 dan 1. Cluster 3 memiliki nilai perubahan luasan terbesar terutama pada wilayah Sumatra yang sebelumnya mendominasi berubah menyempit akibat perluasan cluster 2 dan 1. Pada wilayah Kalimantan cluster 3 justru menyempit akibat perluasan cluster 5 dan 2, tetapi cluster 1 mengalami perluasan yang mendesak cluster 5. Sementara pada cluster 4 dan 5 perubahan yang terjadi tidak signifikan. Berbeda dengan Sumatra dan Kalimantan, pulau Jawa, Sulawesi dan Papua tidak terjadi perubahan cluster yang berarti (hampir sama).

Analisis Klimatologi Curah Hujan

(32)

16

DJF MAM

CHIRPS

M1

M2

M3

Keterangan dalam (mm):

(33)

17

JJA SON

CHIRPS

M1

M2

M3

Keterangan dalam (mm):

Gambar 13 Perbandingan klimatologi curah hujan rata-rata musiman Indonesia (JJA dan SON) antara data CHIRPS dan hasil prediksi berdasarkan model. Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL) dan Model 3 (M3/CNRM). CHIRPS adalah data historical dan Model adalah hasil prediksi.

(34)

18

oleh pergerakaan semu matahari yang terlihat seperti pada Gambar 14. Pergerakan semu Matahari hanya melewati wilayah tropis (23.50LU-23.50LS), sehingga dibandingkan dengan wilayah iklim lainnya, tropis memiliki kuantitas curah hujan yang paling tinggi. Hal ini disebabkan radiasi matahari yang masuk ke bumi mempengaruhi suhu bumi dan suhu akan mempengaruhi tekanan. Wilayah tropis mendapat pancaran matahari tertinggi menjadi pusat tekanan rendah, menyebabkan munculnya pusat-pusat konvergensi yang menyebabkan timbulnya awan-awan konvektif, dimana jenis awan ini sangat potensial menjadi hujan. Pusat-pusat konvergensi inilah yang disebut dengan dengan Intertropical Convergence Zone (ITCZ) (Holton et al. 1971). Wilayah Indonesia yang dominan terkena dampak ITCZ ini memiliki pola hujan Ekuatorial. Wilayah Indonesia juga berada di antara dua benua dan dua samudra, sehingga pergerakan semu matahari ini menyebabkan terjadinya angin monsun yang melewati Indonesia dan wilayah yang dominan terkena dampak angin monsun memiliki pola hujan monsunal. Kemudian faktor topografi (pengaruh lokal) juga mempengaruhi curah hujan Indonesia, dan wilayah yang dominan terkena dampaknya memiliki pola hujan lokal.

(a) (b)

Gambar 14 Pergerakan semu Matahari (a) dan ITZC (b). Sumber : (Muhyiddin Khazin 2008 dan https://courseware.e-education.psu.edu/ courses/earth105new /content/lesson07/03.html).

Pada Gambar 12 dan 13 terlihat perubahan saat DJF sampai SON. Saat DJF terlihat sebagian besar wilayah memiliki curah hujan tinggi, tetapi Sumatra bagian utara (Aceh dan Sumatra Utara) dan Kalimantan Timur bagian utara curah hujannya rendah. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut masuk kategori cluster 3 dan 5 (ekuatorial). Kemudian saat MAM terjadi perubahan curah hujan yang cukup signifikan yakni pada wilayah sekitar Nusa Tenggara dan Jawa yang berkurang, karena wilayah ini masuk kategori cluster 4 (monsunal) yang mengalami musim peralihan (kemarau). Sebagian Sulawesi justru mengalami peningkatan, hal ini karena Sulawesi masuk kategori cluster 2 yang terlihat pada grafik (Gambar 10) mengalami peningkatan. Periode JJA (Juni, Juli dan Agustus) adalah musim kemarau hampir seluruh wilayah Indonesia (seluruh cluster) mengalami penurunan curah hujan yang sangat signifikan. Periode SON kembali mengalami peralihan ke musim penghujan.

(35)

19 curah hujan dan pada bulan SON nilai curah hujan prediksi dari ketiga model tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Analisis Perubahan Pola Curah Hujan Perubahan Curah hujan per Cluster

Prediksi menunjukan terjadinya perubahan luasan wilayah cluster, selanjutnya akan dianalisis perubahan pola curah hujan per cluster dengan dua asumsi, yakni terjadi dan tidak terjadi perubahan luasan wilayah cluster.

(36)

20

Perbandingan pola curah hujan CHIRPS dan hasil prediksi telihat pada Gambar 15, tidak hanya luasan wilayahnya yang berubah pola curah hujannya juga mengalami perubahan. Semua hasil prediksi tersebut menggambarkan perubahan yang signifikan. Pada semua cluster ketiga hasil prediksi menunjukan nilai yang hampir sama (berhimpit). Pada wilayah cluster 1 dan 4 hasil prediksinya hampir sama yakni menunjukan perubahan signifikan pada bulan kering (bulan 6-10) yang mengalami peningkatan dan bulan 12 yang mengalami penurunan curah hujan. Hasil prediksi pada cluster 2 dan 5 hampir sama, terjadi perubahan yang signifikan yakni fluktuasi curah hujan menjadi sangat kecil (curah hujan antar musim hampir sama). Prediksi pada cluster 3 menunjukan perubahan yang berarti kecuali pada bulan 1, 3, 4 dan 10. Umumnya terjadi peningkatan curah hujan kecuali pada bulan 11 dan 12.

Gambar 16 Perbandingan perubahan pola curah hujan rataan bulanan (25 tahun) per cluster dengan asumsi jika wilayah cluster tidak berubah.

(37)

21 Perbandingan pola hujan CHIRPS dan tiga hasil prediksi dengan asumsi wilayah cluster tidak berubah (sama seperti CHIRPS) pada masing-masing cluster

terlihat hasilnya pada Gambar 16. Hasil tersebut sebagai pembanding dengan hasil sebelumnya (Gambar 15). Pada cluster 1 dan 4 hasilnya sama dengan hasil sebelumnya yakni menunjukan perubahan signifikan pada bulan kering (bulan 6-10) yang mengalami peningkatan dan bulan 12 yang mengalami penurunan curah hujan. Sementara pada cluster 2, 3 dan 5, hasil prediksinya cukup berbeda walaupun secara nilai rataan memiliki kecenderungan hasil prediksi yang masih sama. Perbedaan tersebut karena ketiga cluster mengalami perubahan luasan yang signifikan (lihat Gambar 11). Berdasarkan nilai rataan prediksi pada cluster 2, 3 dan 5 ini menunjukan hasil yang masih mirip dengan hasil sebelumnya (Gambar 15).

Perubahan Curah Hujan Indonesia

Setelah dibahas mengenai perubahan curah hujan pada masing-masing

cluster, selanjutnya akan dianalisis untuk seluruh wilayah Indonesia (rataan semua

cluster) untuk mengetahui secara umum perubahan pola curah hujan secara keseluruhan wilayah Indonesia. Data yang dibandingkan adalah data CHIRPS (base line tahun 1981-2005) dan tiga hasil prediksi model (tahun 2011-2035).

Gambar 17 Perbandingan data curah hujan rata-rata bulanan (25 tahun) antara data historical CHIRPS (base line) dan hasil prediksi berdasarkan model (M1, M2 dan M3) wilayah Indonesia

Gambar 17 menunjukan proyeksi perubahan curah hujan menggunakan tiga hasil prediksi model. Terlihat perubahan yang cukup signifikan pada bagian yang beri tanda panah yakni pada bulan 6 sampai 9 (kemarau) dan 2, 12 (penghujan). Berdasarkan prediksi tersebut memberi gambaran bahwa Indonesia untuk 30 tahun kedepan akan mengalami kenaikan rata-rata curah hujan saat musim kemarau sebaliknya saat musim hujan mengalami penurunan. Sementara pada bulan-bulan peralihan musim perubahannya kecil (berhimpit).

(38)

22

Laporan Second National Communication (SNC; MoE 2010) berdasarkan skenario SRES A2 dan B1 (periode 2025 dan 2050) memproyeksikan bahwa saat DJF dan MAM, sebagian besar model sepakat akan terjadi penurunan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia kecuali wilayah monsunal (Jawa, Nusa Tenggara dan Papua). Kemudian saat JJA dan SON menunjukan akan terjadi peningkatan curah hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia, kecuali wilayah monsunal.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil pendugaan CHIRPS wilayah Indonesia sudah cukup baik yakni terlihat dari nilai rataan korelasi 24 stasiun (r=0.715) dan plot data yang mampu mengikuti pola data observasi. Berdasarkan cluster analysis wilayah Indonesia terbagi menjadi lima daerah cluster, masing-masing cluster memiliki karakter curah hujan yang berbeda-beda. Hasil analisis klimatologi menunjukan bahwa perubahan curah hujan rata-rata yang cukup besar terjadi pada musim JJA dan DJF, sementara pada MAM dan SON perubahannya kecil. Pada analisis curah hujan per cluster, terjadi perubahan curah hujan yang cukup besar pada semua

cluster. Sementara analisis curah hujan Indonesia menunjukkan hasil bahwa perubahan signifikan terjadi pada musim kemarau dan penghujan, dimana proyeksi menunjukan Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan rata-rata saat musim kemarau dan saat musim hujan mengalami penurunan.

Saran

(39)

23

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Dwi Susanto R. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. J. Climatol. (23) : 1435 – 1452.

Boer R. dan I. Las. 2003. Sistem Produksi Padi Nasional Dalam Perspektif Kebijakan Iklim Global. Hlm 215-234. Dalam Bambang S. et al. (Ed). Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi: Buku Dua. Prosiding Pertemuan Ilmiah Bagian Proyek Litbang Tanaman Padi, 2003. Sukamandi. Boer R. 2009. Sekolah Lapang Iklim Antisipasi Risiko Perubahan Iklim. Bogor

(ID): Geomet FMIPA-IPB dan PERHIMPI.

Candradijaya A, Kusmana C, Syaukat Y, Syaufina L, Faqih A. 2014. Pemanfaatan Model Proyeksi Iklim dan Simulasi Tanaman dalam Penguatan Adapatsi Sistem Pertanian Padi Terhadap Penurunan Produktivitas akibat perubahan Iklim.: Studi Kasus di Kabupaten Sumedang. Informatika Pertanian 23.2: 159-168.

Clarke L, Edmonds J, Jacoby H, Pitcher H, Reilly J, Richels R. 2007. Scenarios of Greenhouse Gas Emissions and Atmospheric Concentrations. Sub-report 2.1A of Synthesis and Assessment Product 2.1 by the U.S. Climate Change Science Program and the Subcommittee on Global Change Research. Department of Energy, Office of Biological & Environmental Research, Washington, 7 DC, USA, 154 pp.

Department of Geoscience. 2015. Precipitation and the Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ). [Terhubung Berkala]. [diakses 13 agustus 2015]. Tersedia pada: https://courseware.education.psu.edu/courses/earth 105new/content/lesson07/03.html.

Hamada JI, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO.Japan Meteor Soc 80: 285-310.

Holton JR, Wallace JM, Young JA. 1971. On boundary layer dynamics and the ITCZ. J. Atmos. Sci. 28: 275–280.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change 2007; The Physical Science Basis. Sumary for Police Makers. Intergovermental Panel on Climate Change, Geneva.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2013. Near-term Climate Change: The Phisical Science Basis. Contribution of Working Group 1 to The Fifth Assessment Report of The Intergovernmental Panel on Climate Change. Cmbridge University press, Cambridge, UK and New York, NY, USA.

Kang H, Kyong-Hee A, Chung-Kyu P, Ana L, Kornrawee S. 2007. Multimodel output statistical downscaling prediction of precipitation in the philippines and thailand. Geophysical Research Letters Vol. 34. L15710

Khazin, Muhyiddin. 2008. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta (ID): Buana Pustaka.

(40)

24

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2011. Sidik Peubah Ganda dengan Menggunakan SAS. Bogor (ID): Departemen Statistika FMIPA-IPB

Miftahudin, Andriani R, Setiawan I, Mulsandi A. 2013. Penerapan analisis korelasi kanonik pada kajian enso dalam identifikasi hubungan fitur iklim.

Jurnal Natur Indonesia 15 (1) : 36-44

[MoE] Ministry of Environment. 2010. Indonesia Second National Communication under the United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), edited by M. o. Environment, Republic of Indonesia.

Meehl G A et al. 2013c. Climate change projections in CESM1(CAM5) compared to CCSM4. J. Clim. doi:10.1175/JCLI-D-12-00572.1.

Murdiyarso, D. 2003. Konvensi Perubahan Iklim. Jakarta (ID): Penerbit Buku KOMPAS.

Pramudia A. 2006. Musim Hujan di Sentra Produksi Padi Sudah Berubah. Jakarta (ID): Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.

Pricope N, Husak G, Lopez-Carr D, Funk C, Michaelsen J. 2013. The Climate-Population Nexus in the East African Horn: emerging degradation trends in rageland and pastoral livelihood zones. Global Environmental Change

23:1525:1541.

Sillmann J, Kharin V, Zhang X, Zwiers F, Bronaugh D. 2013. Climate extremes indices in the CMIP5 multimodel ensemble: Part 1. Model evaluation in the present climate, J. Geophys. Res. Atmos., 118, 1716-1733, doi:10.1002/jgrd.50203.

Swingedouw D, Mignot J, Labetoulle S, Guilyardi E, Madec G. 2013. Initialisation and predictability of the AMOC over the last 50 years in a climate model. Clim. Dyn. doi:10.1007/s00382-012-1516-8.

Van Vuuren D, Edmonds J, Kainuma M, Thomson A, Hibbard K, George C. 2011. The Representative Concentration Pathways: An Overview. Climatic Change, 109 (1-2), 5-31.

Zorita E, Von Storch V. 1999. The analog method as a simple statistical downscaling technique: comparison with more complicated methods.

(41)

25

LAMPIRAN

Lampiran 1 Korelasi data CHIRPS dan Observasi 24 stasiun BMKG

No Nama Stasiun Korelasi

1 AhmadYani_Semarang 0.805

2 Babullah_Ternate_Maluku 0.583

3 Blang bintang_banda acehh 0.645

4 Darmaga_Bogor 0.591

5 ElTari_Kupang_NTT 0.895

6 FransKaiseipo_Biak 0.672

7 HajiAsan_Sampit 0.991

8 Juanda_Surabaya 0.858

9 KaranPloso_Malang 0.823

10 Kasiguncu_Poso 0.534

11 Mutiara_Palu 0.409

12 NgurahRai_Bali 0.855

13 Paloh_KalBar 0.780

14 PangsumaP_KalBar 0.627

15 Raden-Inten_Lampung 0.641

16 Sampali_Medan 0.720

17 Soetha_Cengkareng 0.821

18 Sultan_Hasanudddin 0.512

19 Sultan_Mahmud B 0.789

20 Sultan_Thaha_Jambi 0.701

21 Sumbawa_NTB 0.882

22 Supadio_Pontianak 0.811

23 Tarakan_Kalimantan 0.514

(42)

26

(43)

27 Lampiran 3 Loadings spasial dan temporal score CCA mode 2 sampai 5 data

model GCM IPSL (X) dan CHIRPS (Y)

(44)

28

(45)

29

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 2  Radiative forcing dari Representative Concentration Pathways (RCP).
Gambar 4  Perbandingan plot data curah hujan bulanan CHIRPS (sebelum dan
Gambar 6  Sebaran korelasi data observasi dan CHIRPS per stasiun
Gambar 7  Loadings spasial dan temporal score CCA mode 1 data model GCM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak dihidrolisis asam dengan HCL kemudian direfluks, lalu hasil hidrolisis diuji Kromatografi Lapis Tipis (KLT), penetapan kadar flavonoid total dengan

KMKO Sipil

Beberapa faktor yang menyebabkan inkonsistensi ini, antara lain: (a) pengembangan petani tidak sesuai dengan rencana induk perkebunan Aceh yang telah diterbitkan sejak

[r]

Ukuran-ukuran pada liang terlihat pada Gambar 2, yaitu dibedakan menjadi SD (surface diameter yaitu lebar lubang permukaan liang bioturbasi), AW (arm width yaitu

pendapatan daerah melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi, penyusunan rencana pendapatan asli daerah, bagi hasil dan lain-lain pendapatan daerah yang sah,

Agar pembelajaran Bahasa Indonesia lebih menarik minat siswa, diperlukan inovasi dalam penyajian materi salah satunya dengan menggunakan aplikasi WhatsApp agar

a) Periode pengumpulan; pada tahapan ini dikumpulkan data sebanyak mungkin dengan berbagai instrument yang memungkinkan dilakukan seperti, wawancara dengan menggunakan