• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persebaran Dan Analisis Fragmentasi Lahan Sawah Tadah Hujan Serta Kaitannya Dengan Kemiringan Lereng Studi Kasus Kabupaten Cianjur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persebaran Dan Analisis Fragmentasi Lahan Sawah Tadah Hujan Serta Kaitannya Dengan Kemiringan Lereng Studi Kasus Kabupaten Cianjur"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEBARAN DAN ANALISIS FRAGMENTASI

LAHAN SAWAH TADAH HUJAN SERTA KAITANNYA

DENGAN KEMIRINGAN LERENG

STUDI KASUS KABUPATEN CIANJUR

DIENDRA ABDUL KARIIM

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Persebaran dan Analisis Fragmentasi Lahan Sawah Tadah Hujan Serta Kaitannya dengan Kemiringan Lereng Studi Kasus Kabupaten Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Diendra Abdul Kariim

(4)
(5)

ABSTRAK

DIENDRA ABDUL KARIIM. Persebaran dan Analisis Fragmentasi Lahan Sawah Tadah Hujan Serta Kaitannya dengan Kemiringan Lereng Studi Kasus Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan LA ODE SYAMSUL IMAN.

Kabupaten Cianjur memiliki lahan pertanian seluas 350.148 ha yang terdiri dari lahan sawah 66.180 ha dan bukan sawah 283.865 ha (BPS Kabupaten Cianjur 2014). Penggunaan lahan pertanian sebagian besar berupa lahan sawah tadah hujan dan sisanya lahan sawah irigasi. Namun penggunaan lahan sawah ini dari tahun ke tahun mengalami perubahan penggunaan lahan (konversi). Adanya konversi lahan menyebabkan terjadinya penyempitan lahan yang berasosiasi terhadap tingkat fragmentasi lahan. Fragmentasi lahan juga dipengaruhi oleh kemiringan lereng. Oleh sebab itu, dilakukan penelitian untuk menganalisis sebaran lahan sawah tadah hujan pada kondisi fisik lahan dan aksessibilitas, tipologi lahan sawah tadah hujan berbasis fragmentasi, dan tingkat fragmentasi lahan sawah tadah hujan berdasarkan kemiringan lereng.

Metode yang digunakan yaitu overlay antara peta persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap peta karakteristik fisik lahan, dan peta aksessibilitas. Analisis statistik tree clustering untuk mendapatkan tipologi fragmentasi. Analisis fragmentasi dan kaitannya dengan kemiringan lereng menggunakan extension

patch analyst” peta sawah tadah hujan untuk mendapatkan indeks fragmentasi.

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa faktor fisik kemiringan lereng paling mempengaruhi persebaran lahan sawah tadah hujan. Karakteristik lahan sawah tadah hujan dapat diamati dari citra satelit. Semakin curam kelas kemiringan lerengnya, maka lebar teras lahan sawah tadah hujan semakin sempit. Terdapat lima kelas tipologi berdasarkan fragmentasi lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Cianjur. Fragmentasi tertinggi lahan sawah tadah hujan terdapat pada kelas 5 dengan rata-rata jumlah poligon (NumP) 1956 poligon dan rata-rata luas area (CA) seluas 2518,53 ha. Variasi fragmentasi pada setiap Kecamatan di masing-masing kelas disebabkan oleh keadaan topografi di kawasan tersebut. Terdapatnya lembah terisi dan perbukitan, menyebabkan terfragmentasinya lahan sawah tadah hujan. Lahan sawah tadah hujan mengelompok pada bagian zona utara dan tengah, sedangkan lahan sawah tadah hujan menyebar pada bagian zona selatan. Jumlah poligon (NumP) sawah semakin banyak pada kemiringan lereng <15%, sedangkan pada kemiringan >15% jumlah poligon (NumP) sawah semakin sedikit.

(6)

ABSTRACT

DIENDRA ABDUL KARIIM. Distribution and Analysis of Rainfed Paddy Field Fragmentation And Relation to Slopes Case Study Cianjur Regency. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and LA ODE SYAMSUL IMAN.

Cianjur district has an area of 350.148 ha of agricultural land comprising 66.180 ha of paddy fields and 283.865 ha of non-paddy fields (BPS Cianjur district in 2014). The use of agricultural land mostly rainfed areas and the rest of irrigated land. However, the use of this paddy fields from year to year changes in land use (conversion). The conversion of land led to a narrowing of the land associated to the degree of fragmentation of land. Fragmentation of land is also influenced by the slope. Therefore, the research conducted to analyze the distribution of rainfed areas in the physical condition of the land and aksessibilitation, typology based rainfed areas of fragmentation, and fragmentation levels rainfed areas by slope.

The method used is overlay the map of the distribution of rainfed areas to map the physical characteristics of the land, and river and road map. Statistical analysis of tree clustering to get a typology of fragmentation. Analysis of fragmentation and its relation to the slope using the extension "analyst patch" map rainfed to get index fragmentation.

Based on the results obtained that the physical factors affecting the most distribution of slope rainfed areas. Characteristics rainfed areas can be observed from satellite images. Increasingly steep slope grade slope, then the width terrace rainfed areas increasingly narrow. There are five classes typology based fragmentation rainfed areas in Cianjur. The highest fragmentation rainfed areas are in the 5th grade with an average number of polygons (NumP) 1956 polygons and the average area (CA) covering an area of 2518,53 ha. Variations fragmentation in each district in each class due to the topography of the region. The presence filled the valley and the hills, causing fragmented rainfed areas. Rainfed areas clustered in the northern and central parts of the zone, while the rainfed areas spread in the southern zone. Number of polygons (NumP) the more rice on slope <15%, while the slope of >15% the number of polygons (NumP) rice less.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PERSEBARAN DAN ANALISIS FRAGMENTASI

LAHAN SAWAH TADAH HUJAN SERTA KAITANNYA

DENGAN KEMIRINGAN LERENG

STUDI KASUS KABUPATEN CIANJUR

DIENDRA ABDUL KARIIM

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhannahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini adalah lahan sawah, dengan judul Persebaran dan Analisis Fragmentasi Lahan Sawah Tadah Hujan Serta Kaitannya dengan Kemiringan Lereng Studi Kasus Kabupaten Cianjur.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr Khursatul Munibah, MSc selaku pembimbing skripsi dan pembimbing skripsi atas teladan, bimbingan, ide, kritik, saran, motivasi, ilmu yang diajarkan, dan kesabaran.

2. La Ode Syamsul Iman, MSi selaku pembimbing skripsi atas teladan, bimbingan, ide, kritik, saran, kesabaran, motivasi, dan ilmu yang diajarkan kepada penulis.

3. Setyardi Pratika Mulya, SP. MSi selaku dosen penguji, yang telah bersedia memberi masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini.

4. Ibu dan Bapak yang selalu memberi motivasi senantiasa mencurahkan kasih sayangnya, perhatian, dan mendo’kan penulis. Adikku tersayang Mizan M. Toyyibun, Ismaya Azzahra Chairani, dan Defri Safira Gheashani yang selalu ada dan mendoakan penulis.

5. Rekan-rekan MSL’48, kakak MSL’45, MSL’46, MSL’47 terima kasih untuk kebersamaan dan dukungannya.

6. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Akhir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi ilmu pengetahuan, khususnya bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

Bogor, Desember 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan 2

Lahan Sawah Tadah Hujan 2

Penginderaan Jauh 3

Aplikasi Penginderaan Jauh 5

Sistem Informasi Geografis 5

Kemiringan Lereng 6

Fragmentasi Lahan 6

METODE 7

Tempat dan Waktu 7

Bahan dan Alat 7

Metode Penelitian 8

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 10

Lokasi dan Letak Administrasif 10

Kondisi Iklim 12

Topografi, Geologi dan Hidrologi 12

Kondisi Kependudukan 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Sebaran Lahan Sawah Tadah Hujan Berdasarkan Kondisi Fisik dan

Aksessibilitas 13

Tipologi Kecamatan Berdasarkan Indeks Fragmentasi Lahan 23 Keterkaitan Antara Fragmentasi Lahan Sawah Tadah Hujan

Dengan Kemiringan Lereng 34

KESIMPULAN DAN SARAN 38

(14)

Saran 38

DAFTAR PUSTAKA 39

LAMPIRAN 43

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik dasar satelit Ikonos 4

2 Klasifikasi kelas kemiringan lereng 6

3 Data yang digunakan untuk penelitian 7

4 Indeks fragmentasi 10

5 Hubungan antara tujuan, jenis data, teknis analisis, dan keluaran 10

6 Hubungan antar indeks fragmentasi 24

7 Nilai indeks fragmentasi tipologi kelas 1 25

8 Nilai indeks fragmentasi tipologi kelas 2 29

9 Nilai indeks fragmentasi tipologi kelas 3 31

10 Nilai indeks fragmentasi tipologi kelas 4 32

11 Sampel Uji Analisis Tingkat Detil 35

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan diagram alir penelitian 8

2 Peta lokasi penelitian 11

3 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap jenis tanah 14 4 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap landform 15 5 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap elevasi 17 6 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap curah hujan 18 7 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap jarak jalan 19 8 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap jarak sungai 20 9 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap kemiringan lereng 21 10 Karakteristik lahan sawah tadah hujan di citra Ikonos dan lapang 22 11 Hasil identifikasi lebar teras sawah tadah hujan 23 12 Dendogram nilai CA dan NumP lahan sawah tadah hujan 24 13 Kenampakan lahan sawah tadah hujan di zona utara (a) dan tengah (b) 26 14 Kenampakan fragmentasi lahan sawah tadah hujan

di Kecamatan Pasirkuda (a) dan Campaka (b) 26

15 Kenampakan fragmentasi lahan sawah tadah hujan

di Kecamatan Gekbrong (a) dan Haurwangi (b) 28

16 Kenampakan fragmentasi lahan sawah tadah hujan

di Kecamatan Cipanas (a) dan Pacet (b) 29

17 Kenampakan fragmentasi lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Pagelaran (a) dan Sindangbarang (b) 30 18 Kenampakan lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Agrabinta 31 19 Kenampakan fragmentasi lahan sawah tadah hujan

(15)

20 Kenampakan fragmentasi lahan sawah tadah hujan

di Kecamatan Naringgul (a) dan Cidaun (b) 32

21 Kenampakan fragmentasi lahan sawah tadah hujan

di Kecamatan Naringgul (a) dan Kadupandak (b) 33

22 Kenampakan fragmentasi lahan sawah tadah hujan

di Kecamatan Cidaun 34

23 Kenampakan nilai MSI pada kemiringan lereng <45% (a) dan 0-3% (b) (Kecamatan Cidaun dan Bojongpicung) 35 24 Tingkat fragmentasi lahan sawah tadah hujan pada berbagai

kemiringan lereng di zona selatan 36

25 Tingkat fragmentasi lahan sawah tadah hujan pada berbagai

kemiringan lereng di zona tengah 37

26 Tingkat fragmentasi lahan sawah tadah hujan pada berbagai

kemiringan lereng di zona selatan 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Persebaran lahan sawah tadah hujan berdasarkan jenis tanah 44 2 Persebaran lahan sawah tadah hujan berdasarkan landform 44 3 Persebaran lahan sawah tadah hujan berdasarkan elevasi 45 4 Persebaran lahan sawah tadah hujan berdasarkan persebaran curah hujan 45 5 Persebaran lahan sawah tadah hujan berdasarkan jarak jalan 46 6 Persebaran lahan sawah tadah hujan berdasarkan kemiringan lereng 46

7 Luas lahan sawah tadah hujan pada jenis tanah 47

8 Luas lahan sawah tadah hujan pada kemiringan lereng 47

9 Luas lahan sawah tadah hujan pada curah hujan 47

10 Luas lahan sawah tadah hujan pada landform 48

11 Luas lahan sawah tadah hujan pada elevasi 49

12 Luas lahan sawah tadah hujan pada kecamatan 49

13 Indeks patch analist lahan sawah tadah hujan 50

14 Tabel standarisasi nilai CA dan NumP 50

15 Nilai MSI pada kenampakan spasial 51

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Cianjur merupakan salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat. Kabupaten ini memiliki lahan pertanian seluas 350.148 ha yang terdiri dari lahan sawah 66.180 Ha dan bukan sawah 283.865 ha (BPS Kabupaten Cianjur 2014). Penggunaan lahan sawah sebagian besar berupa lahan sawah tadah hujan dan sisanya lahan sawah irigasi. Namun, luas penggunaan lahan sawah ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal ini disebabkan konversi lahan sawah baik penggunaan untuk kegiatan pertanian lainnya maupun penggunaan lahan untuk sektor non pertanian. Sawah secara spasial memiliki alasan yang kuat untuk dikonversi menjadi kegiatan non-pertanian karena (1) kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian lebih menguntungkan di lahan yang datar dimana sawah pada umumnya ada, (2) infrastruktur. Seperti jalan lebih tersedia di daerah persawahan, (3) daerah persawahan pada umumnya lebih mendekati wilayah konsumen yang relatif padat penduduk dibandingkan lahan kering yang sebagian besar terdapat di daerah bergelombang, perbukitan, dan pegunungan (Nofarianty 2006). Adanya konversi lahan menyebabkan terjadinya penyempitan lahan yang berdampak terhadap tingkat fragmentasi lahan.

Fragmentasi lahan pertanian merupakan proses terjadinya pembagian lahan pertanian menjadi unit-unit (patch) berukuran kecil yang telah mengalami eksploitasi (Hartvigsen 2014). Fragmentasi lahan pertanian dapat memberikan pengaruh merugikan terhadap hasil produksi padi dari ketersediaan lahan yang sebelumnya masih utuh dan berkesinambungan. Fragmentasi lahan sawah menyebabkan luas kepemilikan lahan sawah menjadi kecil sehingga pemenuhan kebutuhan hidup petani menjadi tidak tercukupi. Lahan sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup layak petani mempunyai luas minimal 2 ha (BPS Kabupaten Cianjur 2008). Niroula dan Thapa (2005) menambahkan bahwa untuk kawasan Asia Selatan, fragmentasi juga dipicu oleh pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Selain itu, pembagian lahan dengan sistem waris dan kemiskinan juga memberikan andil terhadap fragmentasi yang terjadi. Tingginya fragmentasi di Asia Selatan memberikan efek negatif yaitu dalam hal konservasi maupun ekonomi. Fragmentasi fisik lahan dan kepemilikan lahan mengakibatkan tingginya biaya produksi persatuan unit lahan sehingga menurunkan daya saing ekonomi karena tidak tercapainya economies of scale (Arsyad dan Rustiadi 2008).

(18)

2

Tujuan Penelitian

(1) Menganalisis sebaran lahan sawah tadah hujan pada kondisi fisik lahan dan aksessibilitas

(2) Menganalisis tipologi kecamatan berdasarkan indeks fragmentasi

(3) Menganalisis keterkaitan antara fragmentasi lahan sawah tadah hujan dengan kemiringan lereng

TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan

Penggunaan lahan merupakan hasil campur tangan aktivitas manusia terhadap lahan maupun penutup lahan di atasnya untuk menopang kehidupannya (Lillesand dan Kiefer 1997). Wujud penggunaan lahan merupakan cerminan dari aspek kebutuhan memenuhi kebutuhan pokok, keperluan interaksi sosial, kepentingan ekonomi maupun kebijakan publik. Penggunaan lahan dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan atas tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan sebagainya, sedangkan penggunaan lahan non-pertanian dibedakan dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad 1989).

Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, seperti sawah, kebun campuran, tegalan dll, sedangkan penutupan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mem-persoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lillesand dan Kiefer 1997). Penutup lahan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu kenampakan lahan secara fisik, baik kenampakan alami maupun kenampakan buatan manusia, misalnya persawahan. Penutup lahan yang menampakkan persawahan disebut tutupan vegetasi padi. Istilah lain dalam penutup lahan ada berbagai macam, yaitu tutupan vegetasi jarang, tutupan vegetasi rapat, tanah kosong, tubuh air dan tutupan bangunan.

Lahan Sawah Tadah Hujan

Lahan sawah adalah lahan yang digunakan untuk menanam padi, baik secara terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija (Hardjowigeno dan Lutfi 2005). Lahan sawah merupakan suatu tipe penggunaan lahan yang memerlukan genangan air. Oleh karena itu sawah selalu mempunyai permukaan datar atau yang didatarkan, dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan. Tanah persawahan merupakan area tanah pertanian basah dan atau kering yang digenangi air secara periodik dan atau terus-menerus ditanami padi dan atau diselingi dengan tanaman tebu, tembakau dan atau tanaman semusim lainnya.

(19)

3 dari sawah irigasi atau sawah lainnya sehingga tidak memungkinkan terjangkau oleh pengairan. Waktu tanam padi sangat tergantung pada datangnya musim hujan dan memiliki intensitas penanaman satu kali masa tanam dalam setahun yaitu bulan November-Februari dengan rata-rata produktivitas <4,5 ton/ha (Puslitbangtanak 2003).

Lahan tadah hujan rata-rata produktivitas yang rendah ditambah resiko kegagalan panen yang tinggi, tentu saja berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga petani. Pada hal produktivitas inilah yang memotivasi petani untuk peran aktif dalam berusaha tani. Permasalahan lahan sawah di Indonesia salah satunya adalah pelandaian produktivitas (leveling off) dalam produksi padi yang disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: iklim, topografi, dan degradasi kesuburan tanah (Harjowogeno dan Lutfi 2005).

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Karakteristik dari objek dapat ditentukan berdasarkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek tersebut dan terekam oleh sensor (Murai 1999).

Berdasarkan sumber tenaganya, terbagi menjadi sistem penginderaan jauh aktif dan sistem penginderaan jauh pasif. Sistem penginderaan jauh aktif merupakan peginderaan jauh yang menggunakan tenaga buatan dalam perekamannya. Hal ini didasarkan bahwa perekaman objek pada malam hari memerlukan tenaga. Sistem penginderaan jauh pasif (foto udara dan citra aster), yaitu sistem penginderaan jauh yang energinya berasal dari matahari. Panjang gelombang yang digunakan oleh sistem pasif, tidak memiliki kemampuan menembus atmosfer yang dilaluinya, sehingga atmosfer ini dapat menyerap

(absorb) dan menghamburkan (scatter) energi pantulan (reflektan) objek yang

akan diterima oleh sensor (Lillesand dan Kiefer 1997).

Proses interpretasi citra didefinisikan sebagai proses ekstraksi informasi kualitatif maupun dalam bentuk kuantitatif sebuah peta, baik mengenai bentuk, lokasi, struktur, fungsi, kualitas, kondisi, hubungan antar obyek, dan lain-lain (Murai 1999).

Lillesand dan Kiefer (1990) memberikan karakteristik dasar kenampakkan pada citra sebagai kunci dalam proses interpretasi citra, yaitu:

1. Bentuk, merupakan konfigurasi atau kerangka suatu obyek.

2. Ukuran, merupakan besar kecilnya obyek pada citra dengan memper-timbangkan skala citra.

3. Pola, menyatakan hubungan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum tertentu atau hubungan obyek alami atau buatan, akan memberikan suatu pola yang dapat membantu penafsiran.

4. Bayangan, dapat membantu memberikan gambaran profil suatu obyek, atau bahkan menghalangi proses interpretasi akibat kurangnya cahaya sehingga sukar diamati pada citra.

(20)

4

6. Warna, dapat dipresentasikan dengan hue, value, dan chroma.

7. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Merupakan gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan ronanya.

8. Situs, menunjukkan hubungan antara posisi suatu terhadap obyek lainnya, sehingga suatu obyek dapat dikenali dari hubungan tersebut.

9. Asosiasi, menunjukkan keterkaitan suatu obyek terhadap lokasi dimana obyek tersebut ditemukan.

Ikonos adalah satelit dengan resolusi spasial tinggi yang merekam data multispektral 4 kanal pada resolusi 4 m (citra berwarna) dan sebuah kanal pankromatik dengan resolusi 1 m (hitam-putih). Ikonos merupakan satelit komersial pertama yang dapat membuat citra beresolusi tinggi. Sistem satelit Ikonos dibuat oleh Lockheed Martin Commercial Space Systems. Ikonos berasal dari bahasa Yunani “Eye-KOH-NOS” yang berarti citra atau image. Satelit Ikonos dioperasikan oleh Space Imaging Inc. Denver Colorado, Amerika Serikat dan diluncurkan pada tanggal 24 September 1999 dan menyediakan data untuk tujuan komersial pada awal 2000.

Satelit Ikonos merekam permukaan bumi secara serempak dengan resolusi temporal periode 1,5 sampai 3 hari. Satelit Ikonos sering disebut sebagai satelit penginderaan jauh generasi lanjutan karena memiliki resolusi spasial tinggi yang hampir menyamai foto udara serta dapat menghasilkan citra dimana saja diseluruh dunia (Martono 2007). Ikonos menyajikan data satelit dengan resolusi tinggi, sangat cocok digunakan untuk pemetaan, memantau pertanian, pengelolaan sumberdaya dan perencanaan permukiman. Citra Ikonos sudah digunakan dalam pemetaan sawah baku di Pulau Jawa 2010 dan luar Jawa 2011 (Rustiadi dan Barus 2012). Selain itu, citra juga dimanfaatkan untuk pemetaan potensi konversi lahan sawah dalam kaitannya lahan pertanian berkelanjutan dengan analisis spasial (Barus et al. 2010). Karakteristik satelit Ikonos dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik dasar satelit Ikonos

Sistem Ikonos

Tanggal Peluncuran 24 September 1999 di Pangkalan Angkatan Udara

Vandenberg, California, USA

Masa operasional orbit Lebih dari 7 tahun

Kecepatan dalam orbit 7,5 kilometer per detik

Kecepatan di atas permukaan tanah 6.8 kilometer per detik

Revolusi mengelilingi bumi 14.7 setiap 24 jam

Altitud 681 kilometer

Resolusi pada titik Nadir 0.82 meter panchromatic; 3.2 metersmultispectral

Resolusi Spasial 1.0 meter panchromatic; 4.0 meters

Resolusi Spektral Panchromatic (0.45-0.90 micrometers)

Band 1 (0.45-0.53 micrometers) Band 2 (0.52-0.61 micrometers) Band 3 (0.64-0.72 micrometers) Band 4 (0.77-0.88 micrometers)

Resolusi Temporal 3 hari

Resolusi Radiometrik 8 bit

Luas sapuan (image Swath) 11.3 kilometer pada titik nadir

Waktu melintasi ekuator Nominal pada 10:30 AM waktu matahari/siang hari

Waktu pengulangan lintasan Setiap sekitar 3 hari pada latitud 40

Kisaran dinamis 11-bits per piksel

Band citra Panchromatic, blue, green, red, near IR

(21)

5 Aplikasi Penginderaan Jauh

Aplikasi penginderaan jauh digunakan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kondisi penutupan vegetasi atau penggunaan lahan saat ini, yang didapatkan dengan cara interpetasi citra satelit. Dari proses tersebut didapatkan informasi mengenai sebaran (distribusi) dan kondisi penutupan lahan serta vegetasi. Penginderaan jauh merupakan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk menyediakan peta yang mutakhir dengan waktu, tenaga, dan biaya yang relatif lebih kecil untuk kawasan yang sangat luas. Salah satu data penginderaan jauh merupakan data digital sehingga memerlukan penggolahan untuk memperoleh informasi yang disajikan dalam peta tematik (Jensen 1996).

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi, yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis serta keluaran (Aronoff 1989). Tujuan pokok dari pemanfaatan sistem informasi geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut.

Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta sedangkan data atribut merupakan data Tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial. Penyajian data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam bentuk titik, bentuk garis dan bentuk area (poligon). Titik merupakan kenampakan tunggal dari sepasang koordinat x,y yang menunjukkan lokasi suatu obyek berupa ketinggian, lokasi kota, lokasi pengambilan sample dan lain-lain. Garis merupakan sekumpulan titik-titik yang membentuk suatu kenampakan memanjang seperti sungai, jalan, kontur, dan lain-lain. Sedangkan area adalah kenampakan yang dibatasi oleh suatu garis yang membentuk suatu ruang homogen, misalnya batas daerah, batas penggunaan lahan, pulau, dan lain sebagainya.

Menurut Prahasta (2002) terdapat 3 alasan yang menyebabkan konsep-konsep SIG beserta aplikasinya menjadi menarik untuk digunakan diberbagai disiplin ilmu, diantaranya:

a) SIG dapat digunakan sebagai alat bantu (baik sebagai tools maupun bahan tutorials) utama yang efektif, menarik, dan menantang di dalam usaha-usaha untuk meningkatkan pemahaman, pengertian, pem-belajaran, dan pendidikan mengenai ide-ide atau konsep-konsep lokasi, ruang (spasial), kependudukan, dan unsur-unsur geografis yang terdapat di permukaan bumi beserta data-data atribut yang menyertainya.

b) SIG menggunakan data, baik data spasial maupun data atribut secara terintegrasi sehingga sistemnya dapat menjawab pertanyaan baik pertanyaan spasial maupun non-spasial.

(22)

6

ukuran simbol yang diperlukan untuk merepresentasikan unsur-unsur permukaan bumi dapat dilakukan dengan mudah.

Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng menunjukkan besarnya sudut lereng dalam persen atau derajat. Dua titik yang berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45°. Selain dari memperbesar jumlah aliran permukaan, semakin curamnya lereng juga memperbesar energi angkut air. Jika kemiringan lereng semakin besar, maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke bawah oleh tumbukan butir hujan akan semakin banyak. Hal ini disebabkan gaya berat yang semakin besar sejalan dengan semakin miringnya permukaan tanah dari bidang horizontal, sehingga lapisan tanah atas yang tererosi akan semakin banyak. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih curam, maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2,0-2,5 kali lebih banyak (Arsyad 2000).

Tabel 2 Klasifikasi kelas kemiringan lereng

Kemiringan Lereng (%) Kelas Lereng Bentuk Relief

0 – 3 A Datar

Fragmentasi perkotaan merupakan sebuah fenomena spasial hasil tindakan memisahkan diri, terpecah dari, atau lepas dari struktur kota dan sistem kota. Berdasarkan waktu mula fragmentasi lahan dikelompokan menjadi dua , yakni (1) bersifat permanen yang disebabkan karena adanya sistem bagi waris lahan dan jual beli lahan di kalangan masyarakat. Adanya warisan, memberikan hak secara penuh kepada ahli waris untuk mempertahankan lahan yang telah dimiliki atau melakukan aktivitas tertentu terhadap lahannya, (2) bersifat sementara yang terjadi karena adanya sewa-menyewa lahan, bagi hasil dan sistem gadai lahan pertanian. Dengan adanya bagi hasil maka fragmentasi lahan pemilikan dan lahan garapan akan terjadi perbedaan (Susanti et al. 2013).

(23)

7 Hartvigsen (2014) menyatakan bahwa terdapat empat alasan mendasar yang terkait dengan terjadinya fragmentasi lahan antara lain: (1) kondisi alam atau bencana alam, (2) adanya aktivitas terkait pembangunan seperti pembangunan jalan, kereta api, kanal, dan lain-lain; (3) kegiatan pertanian yang berlebihan, (4) alasan yang tidak termasuk kedalam tiga alasan diatas. Berdasarkan hasil penelitian Bereitsschaft et al. (2014), cepatnya laju pertumbuhan kota menyebabkan tingkat fragmentasi lahan yang lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Tingginya fragmentasi lahan di perkotaan secara tidak langsung akan mempengaruhi daerah disekitarnya yang disebut dengan daerah peri urban.

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian berlokasi di wilayah administasi Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 32 Kecamatan. Penelitian berlangsung selama delapan bulan, sejak bulan Februari hingga September 2015. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Labolatorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lokasi Penelitian ditunjukan pada Gambar 2.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari citra Ikonos tahun 2010 dan pengecekan lapang. Data sekunder terdiri dari peta administrasi kecamatan, peta lereng, peta landform,

peta elevasi, peta lahan sawah tadah hujan, peta jenis tanah, peta curah hujan, peta jalan, dan peta sungai. Alat yang digunakan untuk mengolah data adalah perangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ArcGis 9.3,

Statistica 7, Microsoft Excel dan Microsoft Word 2010, Patch Analyst 4.0, GPS

(Global position system), kamera digital, dan alat tulis. Citra dan jenis peta yang

digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Data yang digunakan untuk penelitian

Jenis Format Skala/Resolusi Sumber Tahun

Citra Ikonos Kab. Cianjur Resolusi

spasial 1x1 m

Pusdatim Kementerian Pertanian 2010

(24)

8

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu: tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap analisis data. Tahap penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan diagram alir penelitian 1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan meliputi penentuan topik penelitian, metode, studi literatur, dan pembuatan proposal. Studi literatur dibutuhkan sebagai acuan dalam penelitian dan menambah informasi yang berkaitan dengan penelitian untuk memperdalam kajian penggunaan lahan sawah tadah hujan.

2. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data sekunder dilakukan di laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial yang diperoleh diantaranya: peta lereng, peta elevasi, peta administrasi, peta lahan sawah tadah hujan, peta sungai, peta jenis tanah, peta curah hujan, peta jalan, peta landform, dan citra Ikonos 2010. Data primer yang diperoleh dari lapang yaitu hasil observasi lapang.

3. Tahap Analisis Data

 Analisis Persebaran dan Karakteristik Lahan Sawah terhadap Fisik Lahan, Infrastruktur, dan Faktor Kemiringan Lereng

Tahap analisis ini diawali dengan melakukan proses overlay

(tumpang tindih) antara peta persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap peta karakteristik fisik lahan, dan peta aksessibilitas. Kemudian dilakukan pengolahan serta analisis data atribut dari masing-masing peta hasil

Citra Ikonos 2010

Peta Sebaran Lahan Sawah Tadah Hujan Kab. Cianjur 2010

Peta Sebaran Lahan Sawah Tadah Hujan Berdasarkan Fisik Lahan

(25)

9 overlay sehingga diperoleh nilai luasan serta pola sebaran lahan sawah dan informasi sebaran lahan sawah pada tiap-tiap jenis peta. Analisis kemudian dilanjutkan dengan mengukur lebar teras disetiap kemiringan lereng untuk melihat karakteristik dari lahan sawah tadah hujan. Pada kemiringan lereng 0-15% penarikan jarak lebar teras sawah menggunakan skala 1:1000, sedangkan pada kemiringan lereng 15->45% dilakukan penarikan jarak lebar teras dengan menggunakan skala 1:500. Hal ini dilakukan karena rapatnya teras sawah pada kemiringan lereng yang curam membuat sulitnya penarikan jarak lebar teras sawah. Pixel citra yang mulai pecah pada skala yang besar membuat penarikan batas lebar teras sawah menjadi sulit.

 Analisis Tipologi Kecamatan Berdasarkan Indeks Fragmentasi

Analisis fragmentasi dilakukan menggunakan extension “patch

analyst”. Peta sawah tadah hujan di Kabupaten Cianjur dianalisis untuk

mendapatkan kelas indeks fragmentasi. Indeks Fragmentasi yang digunakan disajikan pada Tabel 5. Sebelum dilakukan analisis fragmentasi, dilakukan korelasi untuk melihat hubungan antara indeks fragmentasi yang disajikan pada Tabel 6. Metode penggerombolan (clustering) hirarki terbagi menjadi dua yaitu yang bersifat agglomerative (penggabungan)

dan divisive (pemecahan). Hasil dari analisis gerombol disajikan dalam

bentuk dendogram. Pemotongan dendogram dapat dilakukan pada selisih jarak penggabungan terbesar (Dillon dan Goldstein 1984). Nilai indeks fragmentasi kemudian dilakukan standarisasi secara statistik dengan menggunakan program aplikasi Statistika 7 dan selanjutnya dilakukan pengkelasan (tree clustering) untuk mengetahui tipologi kecamatan berbasis indeks fragmentasi lahan sawah tadah hujan. Analisis tipologi ini disusun berdasarkan pada indeks fragmentasi, yaitu luas lahan (CA) dan jumlah poligon (NumP).

 Analisis Keterkaitan antara Fragmentasi Lahan Sawah Tadah Hujan Dengan Kemiringan Lereng

Tahap analisis diawali dengan proses overlay (tumpang tindih) antara peta persebaran lahan sawah tadah hujan pada zona utara, tengah, dan selatan terhadap peta kelas-kelas kemiringan lereng. Tahap selanjutnya dilakukan pengolahan dengan menggunakan extension “patch

analyst” untuk mendapatkan nilai indeks NumP (jumlah poligon) dari

masing-masing kelas kemiringan lereng. Penentuan tingkat fragmentasi lahan sawah terhadap kemiringan lereng dibuktikan dari nilai jumlah poligon (NumP). Analisis dilanjutkan uji komposisi ruang petak sawah di dalam hamparan lahan sawah tadah hujan terpilih. Analisis ini dilakukan dengan cara memilih 10 kecamatan yang akan dijadikan sampel dari 27 kecamatan yang memiliki persebaran lahan sawah tadah hujan dengan menggunakan metode simple random sampling. Metode ini digunakan karena dalam proses digitasi petak sawah memerlukan waktu yang dapat memudahkan dalam pengambilan sampel yang dianggap mewakili. Kemudian sampel hamparan lahan sawah yang berada pada kecamatan di

overlay dengan peta kemiringan lereng. Hamparan sawah yang sudah

(26)

10

detail. Nilai rata-rata bentuk poligon (MSI) petak sawah kemudian dibandingkan dengan nilai rata-rata bentuk poligon (MSI) hamparan sawah. Dalam proses digitasi petak sawah menggunkan skala 1:1000. Tabel 4 Indeks fragmentasi

Indeks Fragmentasi Definisi

CA (Class Area) Jumlah semua poligon yang dimiliki oleh kelas tertentu dengan satuan hektar (ha)

NumP (Number of Patch) Jumlah poligon dalam suatu wilayah dengan

membentuk melingkar (untuk poligon bitmap) / persegi (untuk poligon vektor) dan nilai

meningkat dengan me-ningkatnya ketidak

teraturan bentuk patch.

PSSD (Patch Size Standard Deviation) Variabilitas atau standar deviasi dari suatu poligon

Tabel 5 Hubungan antara tujuan, jenis data, teknis analisis, dan keluaran

No Tujuan Jenis Data Teknik Analisis Sebaran

1. Persebaran Lahan

 Peta Lahan Sawah Tadah Hujan

 Peta Administrasi Kecamatan

Peta Lahan Sawah Tadah Hujan

Peta Administrasi Kecamatan

Peta Lahan Sawah Tadah Hujan

Peta Administrasi Kecamatan

(27)

11 berbukit-bukit kecil, tetapi terdapat juga dataran rendah. Wilayah Cianjur Selatan merupakan dataran rendah yang terdiri dari bukit-bukit dan pegunungan yang melebar sampai ke daerah Samudera Indonesia. Secara administrasi wilayah Kabupaten Cianjur terdiri dari 32 kecamatan dengan 354 desa dan 6 kelurahan. Secara administratif Kabupaten Cianjur berbatasan dengan:

 Sebelah Utara : Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta

 Sebelah Timur : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut

 Sebelah Barat : Kabupaten Sukabumi

 Sebelah Selatan : Samudra Hindia

(28)

12

Kondisi Iklim

Secara umum Kabupaten Cianjur beriklim tropis dengan suhu udara minimum 18° C yang biasanya terjadi pada bulan Maret-April, sedangkan suhu maksimal mencapai 24° C yang biasanya terjadi pada bulan Oktober-November dengan kelembaban nisbi berkisar 80-90%. Kondisi curah hujan di Kabupaten Cianjur sangat bervariasi. Curah hujan rata-rata di wilayah pesisir berkisar antara 1120,4 mm tahun-1 sampai dengan 3543 mm tahun-1, namun demikian, beberapa wilayah seperti di sebelah barat Kecamatan Sindangbarang memiliki curah hujan lebih tinggi, yakni berkisar antara 3000 mm tahun-1 sampai 4000 mm tahun-1.

Topografi, Geologi dan Hidrologi

Topografi Kabupaten Cianjur merupakan terdiri dari dataran, perbukitan, dan daerah volkan yang terletak pada pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan Australia. Dataran dijumpai disekitar Kecamatan Cianjur dan Ciranjang serta di sepanjang jalur aliran sungai. Perbukitan umumnya terdapat di wilayah bagian tengah dan selatan Kabupaten Cianjur, sedangkan wilayah volkanik terdapat di utara Kabupaten Cianjur yang merupakan lereng timur Gunung Gede. Kawasan dataran terdiri dari dataran volkan yang cukup luas disebelah barat Kecamatan Cianjur sampai dengan Ciranjang serta dataran alluvial berupa cekungan dan teras sungai disepanjang jalur aliran sungai Citarum, Cikundul, Cisokan, dan Cibuni. Dataran terbentuk dari bahan endapan sungai, breksi, dan lahar Gunung Gede yang bersifat basal dan intermediet. Daerah perbukitan mempunyai persebaran yang cukup luas dibagian tengah dan selatan Kabupaten Cianjur berupa bukit lipatan dengan bentuk wilayah bergelombang.

Permukaan tanah di Kabupaten Cianjur sebagian besar tanahnya tertutup oleh batuan sedimen, terutama di wilayah Cianjur Selatan, sedangkan di wilayah Cianjur Utara banyak mengandung bahan volkan. Pada wilayah selatan Cianjur terdapat jenis batuan alluvial yang tersebar di sepanjang pantai selatan. Sumber-sumber air di Kabupaten Cianjur berdasarkan hidrogeologi adalah air permukaan berupa sungai-sungai, mata air, dan air tanah.

Sungai Citarum merupakan sungai yang mengalir ke bagian utara dengan 4 anak sungainya yang berada di Kabupaten Cianjur antara lain adalah Sungai Cibeet, Sungai Cikundul, Sungai Cibalagung, dan Sungai Cisokan. Sungai-sungai tersebut membentuk sub-DAS yang merupakan bagian dari DAS Citarum yang bermuara di Laut Jawa. Terdapat tiga buah waduk yang memanfaatkan aliran Sungai Citarum, yaitu waduk Jatiluhur, Cirata, dan Saguling. Waduk Cirata mempunyai luas genangan 6400 ha dimana ± 3400 Ha menggenangi wilayah Kabupaten Cianjur. Selain itu terdapat juga 16 rawa yang mencakup luas ± 33,50 ha dan zona mata air berpotensi di bagian timur Gunung Gede yang dimanfaatkan untuk kepentingan domestik, pertanian, dan Waduk Cirata.

Kondisi Kependudukan

(29)

13 pola berlipat dua setiap 40 tahunan. Laju pertumbuhan penduduk tercatat sebesar 0,52% serta kepadatan penduduk 615 km-2. Adapun untuk sex rasio mempunyai nilai sebesar 106,31 yang artinya penduduk laki-laki di Kabupaten Cianjur lebih banyak dibandingkan penduduk perempuan dengan jumlah laki-laki sejumlah 1.146.669 jiwa sedangkan perempuan 1.078.644 jiwa. Berdasarkan jumlah penduduk disetiap Kecamatan, maka Kecamatan Cianjur merupakan Kecamatan berpenduduk terbesar dengan jumlah 162.474 jiwa, sebaliknya Kecamatan Campakamulya merupakan Kecamatan dengan jumah penduduk terkecil, yaitu sejumlah 24.010 jiwa. Dengan demikian penyebaran penduduk masih belum merata karena terdapat Kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi seperti pada Kecamatan Cianjur, Karangtengah, Cibeber, Cipanas, dan Cugenang. Adapun kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan yang rendah seperti Kecamatan Campakamulya, Leles, Cijati, Agrabinta, dan Pasirkuda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Lahan Sawah Tadah Hujan Berdasarkan Kondisi Fisik dan Aksessibilitas

Jenis Tanah

Karakteristik jenis tanah yang terdapat di wilayah penelitan memiliki keragaman jenis tanah yaitu Aquic Udipsamments, Typic Dystrudepts, Typic Dystrudepts, Typic Endoaquepts, Typic Epiaquepts, Typic Eutrudepts, Typic Hapludalfs, Typic Hapludands, Typic Hapludans, Typic Hapludults, Typic

Paledults, Typic Hapludans, Typic Udorthents. Persebaran lahan sawah terhadap

jenis tanah pada Gambar 3 diuraikan sesuai dengan wilayah pengembangan utara, tengah, dan selatan. Pada zona utara menunjukkan bahwa luasan lahan sawah tadah hujan lebih dominan terdapat pada jenis tanah Typic Distrudepts seluas 1571.76 ha tetapi luasan lahan terkecil terdapat pada jenis tanah Typic Hapludalfs

seluas 9.73 ha. Pada bagian zona tengah luasan lahan sawah dominan pada jenis tanah yang sama dengan utara yaitu Typic Dystrudepts seluas 3955.42 ha tetapi luasan lahan terkecil terdapat pada jenis tanah Typic Haplidans seluas 0.22 ha. Pada bagian zona selatan menunjukkan bahwa luasan lahan sawah dominan terdapat pada jenis tanah Typic Hapludults seluas 6976.35 ha dan terkecil pada jenis tanah Typic Udorthents seluas 1.33 ha.

Ditinjau dari penyebaran lahan sawah berdasarkan jenis tanah secara keseluruhan dominan pada jenis tanah Typic Dystrudepts dan Typic Hapludults, sehingga banyak terdapat penggunaan lahan sawah pada jenis-jenis tanah tersebut. Jenis tanah Typic Dystrudepts yaitu Inceptisol lain, sedangkan Typic Hapludults

yaitu tanah Ultisol lain. Jenis tanah Typic Dystrudepts dan Typic Hapludults

(30)

14

tanah yang terdapat dalam zona iklim dengan rezim temperatur yang sesuai untuk menanam padi paling tidak sebanyak satu kali dalam satu tahun. Terdapatnya Gunung Gede berpengaruh terhadap penyebaran tanah Typic Dystrudepts di bagian zona utara dan tengah, namun pengaruhnya tidak terlalu banyak di zona selatan.

Gambar 3 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap jenis tanah

Lahan sawah yang berada pada jenis tanah Typic Epiaquepts yaitu Inceptisol (Aquepts) yang mempunyai episaturasi. Episaturasi merupakan epipedon histik dengan kondisi tergenang air (Akuik) selama sebagian waktu setelah di drainase, sedangkan Typic Endoaquepts merupakan Aquepts yang lain. Inceptisol lainnya yaitu Typic Eutrudepts yang mempunyai karbonat bebas dalam tanah atau kejenuhan basa sebesar 60% pada horizon 25 cm dan 75 cm dari permukaan mineral. Typic Hapludalfs dan Typic Hapludands yaitu tanah Alfisol yang lain. Typic Udipsamments yaitu tanah Entisol lain yang mempunyai fragmen batuan dan tekstur pasir halus berlempung sebesar <35%, sedangkan Typic

Udorthents adalah Entisol lainnya. Typic Paleudults adalah Udults lain yang tidak

memiliki kontak densik, litik, paralitik, atau petroferik di dalam 150 cm dari permukaan tanah mineral. Secara spasial, persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap jenis tanah dapat dilihat pada Lampiran 1.

Landform

Karakteristik landform yang terdapat di wilayah penelitian memiliki keragaman yang cukup banyak, yaitu: aliran lahar resen, aliran lahar subresen, aliran lava subresen, dataran banjir pada sungai lurus, dataran banjir pada sungai meander, dataran tektonik bergelombang, dataran tektonik berombak, dataran tektonik datar, dataran volkan, dataran volkan tua, dyke, graben, horst, intrusi volkan, jalur aliran, lahan aluvio-koluvial, lahan koluvial, leher volkan, lereng koluvial, lereng volkan atas, lereng volkan bawah, lereng volkan tengah, pegunungan karst, pegunungan tektonik, pegunungan volkan tua, perbukitan paralel patahan, perbukitan tektonik, perbukitan volkan tua, Pesisir pasir,

(31)

15

Ga

mbar

4 P

ers

eba

ra

n la

ha

n saw

ah

tad

ah hujan

te

rha

da

p

landf

(32)

16

Punggung antiklin, dan puncuk perbukitan karst. Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap landform pada Gambar 4 diuraikan sesuai dengan wilayah pengembangan utara, tengah, dan selatan.

Pada bagian zona utara menunjukkan bahwa luasan lahan sawah dominan berada pada landform lereng volkan atas seluas 1299.93 ha. Luasan lahan sawah terendah di zona utara terdapat pada landform dyke seluas 1.86 ha. Hal ini dibuktikan terdapatnya gunung Gede-Pangrango yang berpengaruh terhadap penyebaran landform volkan dibagian zona utara. Pada zona tengah luasan lahan sawah terbesar terdapat pada landform perbukitan tektonik seluas 5519.24 ha, sedangkan luasan terendah terdapat pada landform aliran lahar resen seluas 0.22 ha. Hal ini disebabkan topografi di daerah tengah merupakan daerah perbukitan berombak dengan terdapatnya bukit-bukit kecil yang menyebar. Kondisi topografi tersebut digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai lahan sawah tadah hujan sehingga banyak penggunaan lahan sawah di zona tengah lebih dominan menggunakan sistem tadah hujan. Pada daerah selatan luasan lahan sawah didominasi pada landform dataran volkan tua, seluas 3596.88 ha dan terkecil berapa di landform intrusi volkan seluas 1.33 ha.

Pada zona selatan diketahui pula lahan sawah yang berada pada landform

pesisir pasir dengan tekstur tanah tersebut adalah debu berpasir seluas 351 ha. Hal ini membuktikan tanaman padi masih dapat ditanam pada tanah yang memiliki tekstur pasir yang cukup tinggi. Wilayah di zona selatan merupakan dataran rendah yang terdiri dari bukit-bukit kecil dan terdapat pegunungan hingga ke daerah pesisir. Kondisi ini hampir serupa dengan penggunaan lahan sawah di zona tengah yang lebih dominan penggunaan lahan sawah tadah hujan. Landform

Kabupaten Cianjur bagian selatan berada pada pegunungan struktural yang memanjang dari timur ke barat pulau Jawa. Bentang lahan ini memiliki topografi relatif terjal dikarenakan terdapat pegunungan vulkanik tua dan yang telah mengalami proses denudasi lanjut. Secara spasial, persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap landform dapat dilihat pada Lampiran 2.

Elevasi

(33)

17 umumnya memanfaatkan lahan tersebut karena topografi pada zona utara yang berada diantara Gunung Gede-Pangrango dan Waduk Carita.

Gambar 5 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap elevasi

Pada zona tengah menunjukkan bahwa luasan lahan sawah tadah hujan lebih dominan pada elevasi 200 mdpl seluas 1961.79 ha dan terkecil pada elevasi 1300 mdpl yaitu seluas 18.76 ha. Persebaran lahan sawah di zona tengah dominan penggunaannya pada sawah tadah hujan kerena dipengaruhi oleh kondisi topografi yang berbukit. Pada ketinggian tersebut sawah ditaman di daerah perlembahan sedangkan sawah paling banyak ditaman pada bagian lereng-lereng perbukitan dengan metode penanaman terasering. Di zona selatan menunjukkan bahwa luasan lahan sawah tadah hujan lebih dominan pada elevasi 100 mdpl seluas 7053.15 ha dan terkecil pada elevasi 1300 mdpl yaitu seluas 0.92 ha. Hal ini disebabkan karena topografi pada bagian selatan yang dekat dengan laut dan masyarakat umumnya menanam padi sawah di tanggul alam dan jaraknya sangat dekat dengan pesisir pantai.

Kecenderungan yang terlihat adalah bahwa semakin tinggi elevasinya maka semakin menurun luas lahan sawah yang ada. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan metode terasering yang membuat luasan lahan untuk penanaman padi semakin berkurang dengan semakin tingginya elevasi. Hal ini terjadi juga pada zona selatan dan utara yang memiliki topografi berbukit hingga bergelombang. Penurunan luas lahan sawah pada daerah dengan curah hujan yang tinggi bukan disebabkan oleh kondisi hujan, tetapi oleh kondisi suhu udara yang tidak lagi menunjang untuk budidaya lahan sawah (Gandasasmita 2001). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) kesesuaian lahan sawah yang termasuk pada kelas sangat sesuai berada pada daerah dengan ketinggian <500 mdpl. Secara keseluruhan penggunaan lahan sawah berada pada elevasi 100 mdpl hingga 500 mdpl, tanaman padi dapat berkembang dengan baik pada daerah tersebut. Menurut Nasir (2003), ketinggian tempat merupakan salah satu faktor pengendali iklim yang berpengaruh kuat terhadap suhu udara. Suhu udara berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme terutama fotosintesis dan respirasi tanaman. Secara spasial, persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap elevasi dapat dilihat pada Lampiran 3.

300 400 500 600 700 800 900 100

0

100 200 300 400 500 600 700 800 900 100

0

100 200 300 400 500 600 700 800 900 100

0

(34)

18

Curah Hujan

Karakteristik curah hujan yang terdapat di wilayah penelitan memiliki kelas curah hujan yaitu 2200-2500, 2500-3000, 3500-4000 mm tahun-1. Persebaran lahan sawah terhadap curah hujan pada Gambar 6 diuraikan sesuai dengan wilayah pengembangan utara, tengah, dan selatan.

Gambar 6 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap curah hujan Pada zona utara lahan sawah tadah hujan dominan terdapat pada curah hujan 3300-3600 mm tahun-1 seluas 2042.31 ha dan terkecil pada curah hujan 2200-2400 mm tahun-1 yaitu seluas 16 ha. Ketersediaan air merupakan faktor utama penanaman padi sawah. Karakteristik curah hujan yang tinggi dapat memberikan keuntungan bagi wilayah tropika sendiri terhadap kebutuhan tanamannya akan air terutama untuk sawah tadah hujan yang tidak memperoleh pengairan dari sistem irigasi namun tergantung pada alam seperti hujan.

Pada zona tengah menunjukkan bahwa luasan lahan sawah tadah hujan lebih dominan terdapat pada curah hujan 3300-3600 mm tahun-1 seluas 4707.89 ha dan terkecil pada curah hujan 2400-2700 mm tahun-1 yaitu seluas 38.91 ha. Pada zona tengah terdapat luasan sawah yang berada di kelas curah hujan 3900-4100 mm tahun-1. Kelas hujan tersebut merupakan kelas curah hujan yang tidak terdapat pada zona utara dan zona selatan. Hal tersebut menunjukkan di zona tengah memiliki tingkat curah hujan yang paling tinggi di Kabupaten Cianjur. Di zona selatan menunjukkan bahwa luasan lahan sawah tadah hujan lebih dominan terdapat pada curah hujan 2700-3000 mm tahun-1 seluas 9393.18 ha dan terkecil pada curah hujan 3300-3600 mm tahun-1 yaitu seluas 26.92 ha.

Menurut Hardjowigeno (1993), curah hujan yang sangat sesuai untuk tanaman padi sawah >1500 mm tahun-1, secara keseluruhan persebaran lahan sawah di Kabupaten Cianjur sudah termasuk pada kategori sesuai. Kecendrungan yang terlihat yaitu dengan meningkatnya curah hujan maka semakin sedikit luasan lahan sawahnya. Hal tersebut dapat terjadi karena menurut pernyataan Gandasasmita (2001), penurunan luas lahan sawah pada daerah dengan curah hujan yang tinggi bukan hanya disebabkan oleh kondisi hujannya, tetapi disebabkan juga oleh kondisi suhu udara yang tidak lagi menunjang untuk

Curah Hujan (mm/tahun) Tadah Hujan

(35)

19 budidaya lahan sawah. Secara spasial, persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap persebaran curah hujan dapat dilihat pada Lampiran 4.

Jarak Jalan

Prasarana atau aksessibilitas khususnya jalan adalah jenis infrastruktur yang menentukan pembangunan suatu wilayah. Efek limpasan investasi infrastruktur jalan terhadap pertumbuhan ekonomi tidak saja berdampak di wilayah itu sendiri tetapi juga berdampak pada wilayah-wilayah di sekitarnya (Calderon dan Serven 2004).

Gambar 7 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap jarak jalan

Adanya jaringan jalan sebagai salah satu penghubung transportasi darat membuat prasarana ini menjadi penting dalam bidang pertanian. Lokasi lahan sawah yang dekat dengan jalan akan mengurangi cost produksi pertanian dan dapat mendukung cepatnya perkembangan dibidang pertanian ini untuk pengangkutan hasil panen maupun pra panen padi dan alat produksi.

Berdasarkan sebaran luasan lahan sawah tadah hujan pada Gambar 7 dapat dilihat secara umum luasan lahan sawah akan semakin berkurang secara linier dengan bertambahnya jarak dari jalan. Pada Gambar 7 menunjukkan luas lahan sawah pada jarak 100 m lebih rendah dibandingkan dengan jarak 200 m. Hal ini disebabkan lahan pada rentang 100 m dari jalan umumnya digunakan oleh penduduk untuk membangun rumah sehingga penurunan luas lahan sawah secara linier mulai terjadi dari jarak 200 m hingga 6700 m. Hal ini sesuai dengan diperlukan untuk penggenangan pada area lahan sawah sehingga tanah sawah memiliki lapisan reduksi yang tidak mengandung oksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati netral sebagai syarat tumbuhnya padi. Menurut Seopraptohardjo dan Suhardjo (1978) faktor air yang menjadi kunci utama dalam

(36)

20

penanaman padi sawah harus selalu tersedia. Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap sungai dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap jarak sungai Luasan lahan sawah tadah hujan terlihat akan semakin berkurang dengan semakin jauhnya jarak sungai terhadap sawah tadah hujan hingga mencapai jarak 2500 m. Lahan sawah tadah hujan dominan terletak pada jarak <100 m seluas 6760 ha. Pada penelitian Maulana (2015) menyatakan bahwa luasan sawah irigasi pada jarak >400 m seluas 2920 ha dan akan semakin berkurang dengan semakin jauhnya jarak sungai terhadap sawah irigasi. Jika dibandingkan dengan lahan sawah irigasi, pada lahan sawah tadah hujan pada jarak >400 m luasan lahan sawahnya lebih besar dari pada lahan sawah irigasi, sebaliknya pada jarak <400 m luasan lahan sawah irigasi lebih besar dibandingkan luasan sawah tadah hujan. Hal ini dikarenakan lahan sawah tadah hujan tidak menggunakan sungai sebagai sumber utama untuk pengairan pada lahan sawah sehingga luasan lahan sawah tadah hujan yang jauh dari sungai lebih besar dari sawah irigasi.

Meskipun sawah tadah hujan lokasinya dekat dengan sungai namun pemanfaatan air sungai sering tidak dapat dilakukan, karena umumnya posisi lahan sawah tadah hujan yang lebih tinggi dari sungai sehingga sulit untuk mengairi air dari sungai ke lahan sawah. Pemanfaatan air sungai untuk penggenangan lahan sawah dapat dilakukan dengan cara pompanisasi dengan menggunakan mesin pompa air, namun penggunakan metode pompanisasi ini dapat memperbesar cost produksi yang menjadi beban petani. Terbatasnya ketersediaan air yang hanya didapat dari air hujan menjadi salah satu permasalahan pada lahan sawah tadah hujan.

Kemiringan Lereng

Peranan lereng telah ditunjukkan terkait dengan kemudahan pengelolaan lahan sawah tadah hujan. Perbedaan lereng juga menyebabkan perbedaan air tersedia bagi tumbuhan sehingga mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut dan seterusnya juga mempengaruh pembentukan tanah (Hardjowigeno 1993). Pada zona utara, kelas kemiringan lereng >8% umumnya digunakan sebagai lahan sawah tadah hujan, sedangkan pada kelas kemiringan lereng yang datar dan dekat dengan wilayah perkotaan lebih dominan digunakan sebagai lahan sawah irigasi yang terfasilitasi oleh infrastruktur. Pada zona utara menunjukkan bahwa luasan lahan sawah tadah hujan dominan pada kelas lereng 15-25% seluas

6760

100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 2100 2200 2300 2400 2500

(37)

21 1997.58 ha dan yang terkecil pada kelas lereng 3-8% yaitu seluas 76.74 ha, kemudian disusul pada kelas lereng >45% seluas 90 ha.

Gambar 9

Persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap kemiringan lereng Secara geografis pada bagian zona tengah merupakan daerah perbukitan dengan terdapatnya bukit-bukit kecil yang menyebar dan digunakan sebagai lahan sawah tadah hujan. Sulitnya melakukan pengairan dari aliran sungai pada zona tengah untuk mengairi lahan sawah yang posisinya lebih tinggi dari sungai membuat lahan sawah di zona tengah harus mendapatkan sumber air utama dari air hujan. Kondisi tersebut menimbulkan pengunaan lahan sawah tadah hujan di zona tengah lebih dominan dari pada lahan sawah irigasi. Hal ini ditunjukan dari luasan lahan sawah yang dominan pada kelas lereng 8-15% seluas 5729.93 ha dan terkecil pada kelas lereng 3-8% dengan luas 188.53 ha. Pada bagian zona selatan menunjukkan bahwa luasan lahan sawah tadah hujan dominan pada kelas lereng 8-15% seluas 4251.34 ha dan terkecil pada kelas lereng 3-8% yaitu 167.52 ha. Tingginya luas lahan sawah pada lereng 0-3% dan 8-15% di zona selatan disebabkan topografi pesisir pasir dan tanggul alam. Pada keseluruhan zona, daerah utara di dapat data yang tidak sepenuhnya linier dibandingkan dengan zona tengah dan selatan. Secara umum data sebaran lahan sawah tadah hujan pada seluruh zona diperoleh penurunan luasan lahan secara linier yang disebabkan oleh semakin tingginya kemiringan lereng. Secara spasial, persebaran lahan sawah tadah hujan terhadap kemiringan lereng dapat dilihat pada Lampiran 6.

Hasil identifikasi karakteristik lahan sawah tadah hujan pada citra dan lapang disajikan pada Gambar 10. Kenampakan pada citra Ikonos 2010 pada semua kelas lereng menunjukkan bahwa keberadaan tanaman padi dalam teras akan berpengaruh terhadap warna pada citra. Lahan sawah tadah hujan yang memiliki rona putih, abu-abu, hingga biru gelap menunjukkan kondisi lahan sawah sedang dalam fase penggenangan sedangkan warna hijau menandakan sudah ditumbuhi oleh tanaman padi dan warna cokelat hingga cokelat pucat menandakan ciri lahan sawah yang sedang diberakan atau sedang menunggu masa tanam berikutnya. Lebar sawah yang memiliki ukuran yang besar biasanya terdapat di daerah yang datar dengan kemiringan lereng antara 0-15%, sedangkan pada lebar sawah yang sempit atau padat terdapat pada daerah yang berlereng atau berbukit dengan kemiringan lereng 16-40%. Apabila dilihat dari citra, lahan

395.04

0-3 3-8 8-15 15-2525-45 >45 0-3 3-8 8-15 15-2525-45 >45 0-3 3-8 8-15 15-2525-45 >45

L

(38)

22

sawah memiliki bentuk dan tekstur yang khas, yaitu kotak, baik itu persegi panjang maupun persegi dengan pola teratur pada lereng 0-15% dan berbentuk tidak beraturan dengan pola memanjang-menyebar mengikuti kontur untuk lahan sawah berterasering rapat pada lereng yang curam 16-40%.

Kemiringan Lereng 0-3% Kemiringan Lereng 3-8%

Kenampakan Pada Citra Kondisi di Lapang Kenampakan Pada Citra Kondisi di Lapang

X: 106,98 Y: -7,442 X: 107,177 Y: -6,707

Kemiringan Lereng 8-15% Kemiringan Lereng 15-25%

Kenampakan Pada Citra Kondisi di Lapang Kenampakan Pada Citra Kondisi di Lapang

X: 107,229 Y: -6,914 X: 107,17 Y: -6,707

Kemiringan Lereng 25-45% Kemiringan Lereng >45

Kenampakan Pada Citra Kondisi di Lapang Kenampakan Pada Citra Kondisi di Lapang

X: 107,149 Y: -6,973 X: 107,347 Y: -7,419

Gambar 10

Karakteristik lahan sawah tadah hujan di citra Ikonos dan lapang Lahan sawah yang dicirikan dengan bentuk persegi maupun tidak teratur disebabkan terdapatnya pematang sawah. Bentuk yang tidak teratur dengan pola yang mengikuti kontur merupakan sawah berteras berada pada lereng yang curam ini umumnya terdapat pada daerah bukit atau gunung. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kemiringan dan ketinggian tempat pada lahan sawah. Pada citra juga terdapat teras sawah yang memiliki tekstur bercak hitam yang menunjukkan adanya tumpukan jerami yang dibakar, sedangkan bercak putih hingga abu-abu menunjukkan tumpukan jerami setelah panen. Lokasi sawah biasanya berdekatan dengan jalan, sungai, atau pemukiman dan berassosiasi dengan air. Hasil survei lapang digunakan untuk verifikasi lahan sawah yang diinterpretasi dari citra. Kondisi di lapang pada Gambar 10 membuktikan daerah yang diinterpretasi merupakan lahan sawah tadah hujan yang penggunaan lahan utamanya adalah padi sawah dan ukuran teras yang beragam mengikuti bentuk dari kontur serta kemiringan lereng daerah tersebut.

(39)

23 lebar teras sawah pada kemiringan lereng 0-3% selebar 44 m, 3-8% selebar 11,9 m, 8-15% selebar 8 m, 15-25% selebar 5 m, 25-45% selebar 3,4 m, dan >45% selebar 1,4 m.

Gambar 11

Hasil identifikasi lebar teras sawah tadah hujan

Dapat dilihat bahwa semakin curam lereng maka semakin sempit lebar teras sawah. Penurunan lebar teras secara secara linier ini membuktikan bahwa sawah akan sulit dibuat datar dengan luasan yang lebar pada kemiringan lereng yang curam. Pada daerah berbukit yang memiliki kemiringan lereng yang curam, sawah tadah hujan dibentuk berterasering panjang mengikuti kontur dengan tujuan untuk menekan terjadinya erosi maupun longsor dan juga menampung air hujan untuk sumber pengairannya.

Tipologi Kecamatan Berdasarkan Indeks Fragmentasi Lahan

Tipologi fragmentasi spasial sangat bermanfaat untuk mengetahui proses fragmentasi spasial di Kabupaten Cianjur sebagai akibat dari terpencarnya letak lahan sawah. Lahan-lahan yang sebelumnya kontinyu menjadi terpecah ke dalam

fragment-fragment yang terpisah. Secara umum jumlah poligon (NumP) dapat

digunakan untuk mengukur tingkat fragmentasi yang terjadi. NumP yang tinggi dalam suatu luasan tertentu menandakan tingkat fragmentasi yang tinggi pula. Selain NumP, luas rata-rata perpoligon (MPS) juga dapat dijadikan sebagai indikator fragmentasi. Nilai MPS suatu daerah yang lebih kecil dari lainnya mengindikasikan bahwa daerah tersebut lebih terfragmentasi (Herzog and Lausch 2001). Hasil Patch Analist indeks fragmentasi lahan sawah tadah hujan disajikan pada Lampiran 12.

Persebaran lahan sawah tadah hujan yang berada di Kabupaten Cianjur menyebar di beberapa bagian Kecamatan di Kabupaten Cianjur dengan total luasan sawah 36.135.10 ha. Persebaran lahan sawah ini disajikan pada Lampiran 13, lahan sawah tadah hujan mengelompok pada bagian zona utara dan tengah. Lahan sawah tadah hujan mulai menyebar pada bagian zona selatan hingga daerah pesisir karena sebagian wilayah selatan merupakan daerah perbukitan dan pegunungan. Pada luasan sawah tadah hujan yang terbesar terdapat pada Kecamatan Agrabinta seluas 3459.24 ha. Hal ini dikarenakan Kecamatan tersebut jauh dari pusat kota dan berada di wilayah pesisir pantai selatan. Pada daerah tersebut masih belum banyak terdapat lahan terbangun sehingga lebih dominan penggunaan lahan pertanian. Kecamatan dengan total luasan lahan sawah tadah

44.0

0-3 3-8 8-15 15-25 25-45 >45

(40)

24

hujan terkecil adalah Kecamatan Sukanagara seluas 318.07 ha. Hal ini dikarenakan Kecamatan Sukanagara merupakan daerah peralihan antara Cianjur bagian utara dan selatan yang masih berkembang serta terdapat banyak lahan terbangun. dan yang terkecil terdapat pada Kecamatan Haurwangi seluas 12 ha. Letak Kecamatan Agrabinta terdapat pada zona selatan yang jauh dari pusat perkotaan sehingga mendukung luasnya sawah tadah hujan.

Dalam analisis gerombol, mungkin data sangat bervariasi dalam satuan. Perbedaan satuan yang mencolok dapat menyebabkan bias dalam analisis, oleh karena itu, data asli harus ditransformasi (standarisasi) sebelum dianalisis kedalam betuk z score (Santoso 2005). Hasil standarisasi indek fragmentasi yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 14.

Tabel 6 Hubungan antar indeks fragmentasi

INDEKS CA NUMP MPS MSI PSSD

CA 1

NumP 0.843 1

MPS 0.171 -0.203 1

MSI -0.120 -0.209 0.166 1

PSSD 0.245 -0.108 0.956 0.115 1

Dalam mempermudah dalam menganalisis fragmentasi, perlu dilakukan korelasi untuk melihat hubungan antara indeks fragmentasi. Hasil korelasi anatara indeks fragmentasi disajikan pada tabel 6. Hubungan CA dengan NumP memiliki korelasi yang positif dengan kekuatan hubungan yang tinggi sebesar 0.84. kekuatan hubungan yang kuat juga diketahui antara MPS dengan PSSD sejumlah 0.95 dengan arah hubungan yang positif. Nilai indeks yang negatif memiliki makna bahwa nilai kedua indek tersebut berlawanan arah, seperti yang ditunjukan oleh MSI-CA, MPS-NumP, MSI-NumP, dan PSSD-NumP.

(41)

25 Pada penelitian ini dilakukan kelasterisasi berdasarkan nilai indeks CA dan NumP untuk melihat tingkat fragmentasi lahan sawah tadah hujan disetiap kecamatan. Luas Area (CA) memiliki korelasi yang kuat dengan nilai jumlah poligon (NumP) yang ditunjukan pada Tabel 6 Jumlah poligon (NumP) dapat digunakan untuk mengukur tingkat fragmentasi yang terjadi. NumP yang tinggi dalam suatu luasan tertentu menandakan tingkat fragmentasi yang tinggi pula (Herzog and Lausch 2001). Hasil pengkelasan dalam bentuk dendogram disajikan pada Gambar 12. Pada Gambar 12 menunjukkan bahwa nilai fragmentasi spasial dapat dikelompokkan menjadi empat kelas tipologi, yakni kelas 1, kelas 2, kelas 3, dan kelas 4. Kelas tipologi wilayah berdasarkan indeks fragmentasi disajikan pada Tabel 7, 8, 9, dan 10. Jumlah Poligon (NumP) pada setiap kelas memiliki nilai terendah di kelas pertama dan terus mengalami peningkatan dengan semakin besarnya kelas.

Tipologi Kelas 1

Kelas pada Tabel 7 memiliki rata-rata luas area (CA) dan jumlah poligon (NumP) paling rendah dibandingkan kelas lainnya sebesar 759.74 ha dan 534 poligon, sehingga masuk ke dalam tipologi kelas 1. Kecamatan pada tipologi kelas 1 tersebar di zona utara dan tengah. Luas lahan sawah tadah hujan yang terdapat pada tipologi kelas 1 berkisar antara 12.55 ha hingga 1799.67 ha.

Tabel 7 Nilai indeks fragmentasi tipologi kelas 1

TIPOLOGI KECAMATAN CA NUMP MPS MSI PSSD

(42)

26

berada di zona utara. Hal tersebut disebabkan banyaknya luasan lahan sawah irigasi di zona utara dan adanya dukungan infrastuktur serta mudahnya akses ke sawah membuat luasan lahan sawah tadah hujan menjadi sedikit. Tingginya lahan sawah tadah hujan pada beberapa kecamatan di zona tengah disebabkan terdapatnya lahan sawah pada daerah perbukitan dan lebah terisi. Visual lapangan menunjukan lahan sawah pada daerah perbukitan atau lereng yang curam memiliki pola teras yang berstrata. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil di lapang pada Gambar 13.

Gambar 13 Kenampakan lahan sawah tadah hujan di zona utara (a) dan tengah (b)

Gambar 14 Kenampakan fragmentasi lahan sawah tadah hujan di Kecamatan Pasirkuda (a) dan Campaka (b)

(b) Zona Tengah (a) Zona Utara

Koordinat : X: 107.146 Y: -6,886 Koordinat : X: 107,149 Y: -6,973

0.08 ha

0.01 ha 57.33 ha

38.5 ha

CA : 1799.67 ha NUMP : 1007 poligon MPS : 1.8 ha MSI : 1.9 PSSD : 5.0

CA : 1109.10 ha NUMP : 1340 poligon MPS : 0.8 ha MSI : 1.9 PSSD : 2.3

(b) Kecamatan Campaka (a) Kecamatan Pasirkuda

Skala 1:100.000

Skala 1:100.000

Skala 1:1000

Gambar

Tabel 1  Karakteristik dasar satelit Ikonos
Tabel 3  Data yang digunakan untuk penelitian
Gambar 1  Bagan diagram alir penelitian
Tabel 4  Indeks fragmentasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya efisiensi penggunaan ransum pada ayam pedaging yang diberikan ransum mengandung daun pisang terfermentasi 10 hari dengan level 10 persen dapat dilihat

dilandasi dengan sumberdaya lokal. Melalui pengembangan potensi yang ada diharapkan upaya pemerintah daerah dalam memberdayakan masyarakat khususnya industri batik

Bagi yang ingin melihat jurnal-jurnal ilmiah lain, yang diterbitkan oleh Minda Masagi Press, badan penerbitan milik ASPENSI (Asosiasi Sarjana Pendidikan Sejarah Indonesia) di

Bukan ciri arsitektur Indis awal yang masih kental dengan ornamen dan ragam hias pada tiap elemen bangunan. Kusen, pintu, dan jendela merupakan jendela

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kandungan pati resisten hingga konsentrasi ≤ 10% (9.85%) akan meningkatkan karakteristik kualitas tanak Beras Siger (tiwul

Rasio ROA terendah terjadi padatahun 2003 Karenatingkat kecukupan modal yang rendah dan biaya operasional yang tinggi, selain itu juga dari hasil penelitian dilihat dari

Hasil dari analisis leverage attributes atau atribut sensitif pada dimensi sosial yang memiliki nilai RMS ≥ 2% yaitu, pengetahuan tentang usahatani komoditas

Dengan adanya pendidikan pancasila saya menyadari bahwa ini sangat penting untuk menunjang kehidupan saya untuk lebih memperhatikan norma-norma yang berlaku pada