• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi antara Pemberian Pupuk dengan Rasio Nitrogen dan Fosfor yang Berbeda dan Fitoplankton Penyebab Bau Lumpur pada Sistem Budidaya Ekstensif Ikan Bandeng Chanos chanos (Forsskal, 1775)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Korelasi antara Pemberian Pupuk dengan Rasio Nitrogen dan Fosfor yang Berbeda dan Fitoplankton Penyebab Bau Lumpur pada Sistem Budidaya Ekstensif Ikan Bandeng Chanos chanos (Forsskal, 1775)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI ANTARA PEMBERIAN PUPUK DENGAN RASIO

NITROGEN DAN FOSFOR YANG BERBEDA DAN

FITOPLANKTON PENYEBAB BAU LUMPUR PADA SISTEM

BUDIDAYA EKSTENSIF IKAN BANDENG Chanos chanos

(Forsskal, 1775)

RAHMADI AZIZ

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Korelasi antara Pemberian Pupuk dengan Rasio Nitrogen dan Fosfor yang Berbeda dan Fitoplankton Penyebab Bau Lumpur pada Sistem Budidaya Ekstensif Ikan Bandeng Chanos chanos (Forsskal, 1775) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

(4)

RINGKASAN

RAHMADI AZIZ. Korelasi antara Pemberian Pupuk dengan Rasio Nitrogen dan Fosfor yang Berbeda dan Fitoplankton Penyebab Bau Lumpur pada Sistem Budidaya Ekstensif Ikan Bandeng Chanos chanos (Forsskal, 1775). Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA, RIDWAN AFFANDI dan TRI HERU PRIHADI.

Budidaya ikan bandeng di tambak saat ini masih menggunakan pupuk anorganik untuk menumbuhkan fitoplankton. Pemberian pupuk urea dan SP (superphosphate) yang berlebihan pada lingkungan budidaya akan menyebabkan kondisi perairan menjadi sangat subur dan sering menyebabkan ikan bau lumpur Off-Flavours. Pemberian pupuk dengan rasio N:P tertentu akan memberikan dominasi Cyanophyceae (alga hijau biru) pada suatu perairan. Fitoplankton Cyanophyta menghasilkan senyawa kimia Geosmin dan 2-Methylisoborneol (MIB). Kedua senyawa ini menyebakan ikan bau lumpur. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh rasio pupuk N dan P pada media budidaya ikan bandeng air tawar dan air payau terhadap kelimpahan fitoplankton penghasil geosmin dan MIB dan pengaruhnya terhadap mutu ikan bandeng. Serta untuk mengetahui korelasi antara kualitas air dan kelimpahan fitoplankton penghasil geosmin dan MIB.

Penelitian ini menggunakan 9 petak tambak. Tambak yang digunakan seluas 600 m2. Ikan ditebar di tambak dengan kepadatan 1 ekor/m2 dan dipelihara selama 90 hari. Parameter yang dievaluasi meliputi keragaman dan kelimpahan fitoplankton, persentase jenis-jenis fitoplankton penghasil geosmin dan MIB, indek pilihan fitoplankton, uji organoleptik, serta kualitas air dan tanah (suhu, kecerahan, salinitas, pH, DO, N-total, nitrat, P-total, dan P-PO4). Analisis data dilakukan secara

deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Selain itu juga dilakukan analisis komponen utama (principal component analisis) dan korelasi antar setiap parameter.

Persentase kelimpahan fitoplankton Cyanophyta lebih kecil dibandingkan dengan fitoplankton bukan Cyanophyta yaitu dibawah 50%. Nilai dugaan geosmin diperoleh dari hasil persamaan regresi Y=1.10-7X+0,0151 (Y= kandungan geosmin, X= kelimpahan Cyanophyta). Nilai dugaan geosmin di perairan pada perlakuan G sebesar 0,016 ug/L dan perlakuan lainnya sebesar 0,015 ug/L. Nilai skor organoleptik perlakuan tambak G (rasio N:P sebesar 4) yaitu 7 (kurang segar, tidak bau lumpur). Nilai skor organoleptik perlakuan rasio N:P 5, 15, dan 30 di tambak A (tambak air tawar) dan tambak B (tambak air payau) adalah 8 (segar, tidak bau lumpur). Hasil organoleptik ikan bandeng pada penelitan ini menunjukan bahwa tidak mengakibatkan bau lumpur (off-flsvours) pada ikan bandeng. Kelimpahan fitoplankton Cyanophyta berkorelasi erat terhadap parameter kualitas air suhu, kecerahan, DO, pH, N-total dan rasio N:P.

(5)

SUMMARY

RAHMADI AZIZ. Correlation of Nitrogen and Phosphorus Fertilizer Application with Different Ratios of the Phytoplankton Cause Off-Flavours on Extensive Farming Systems Milkfish Chanos chanos (Forsskal, 1775). Supervised by KUKUH NIRMALA, RIDWAN AFFANDI and TRI HERU PRIHADI.

Milkfish culture in the pond is still using inorganic fertilizers for growing phytoplankton. Excessive urea and phosphorus fertilizer application in pond-culture will cause the water conditions become eutrophication and can cause off-flavours in fish. Nitrogen and phosphorus fertilizer application specific ratios will give the dominance of Cyanophyta in water. Cyanophyta phytoplankton produce chemical compounds in front of geosmin and 2-methylisoborneol (MIB). These compounds cause off-flavors in fish. This study aimed to assess the effect of the ratio of N and P fertilizer in freshwater and brackish water fish pond on the abundance of phytoplankton produce geosmin and MIB and its influence on the quality of fish. In addition to determine the water quality correlation with the abundance of phytoplankton produce geosmin and MIB.

This study used nine ponds. Ponds are used measuring 600 m2. The fish stocked in the pond with a density of 1 fish/m2 and maintained for 90 days. The

parameters evaluated include the diversity and abundance of phytoplankton, the percentage of the types of phytoplankton produce geosmin and MIB, index of electivity of fish to phytoplankton, organoleptic tests, as well as soil and water quality (temperature, transparancy, salinity, pH, DO, total-N, nitrate, total-P, and P-PO4). The results were analyzed descriptively in the form of tables and figures. It

also conducted a principal component analysis and correlation between each parameter.

Percentage abundance of phytoplankton Cyanophyta smaller than the Cyanophyta phytoplankton is below 50%. The estimated value of geosmin obtained from the regression equation Y = 1.10-7X + 0.0151 (Y = content of geosmin, X =

abundance of Cyanophyta). The estimated value of geosmin in water at treatment G of 0,016 ug/L and other treatments of 0,015 ug/L. Organoleptic score of treatment ponds G (ratio of N: P of 4) is 7 (less fresh, not off-flavours). Organoleptic score value freshwater ponds (ponds A) and brackish water ponds (ponds B) with a ratio of N: P 5, 15, and 30 is 8 (fresh, not off-flavours). Organoleptic results of this research show that it does not result off-flavors in milkfish. Cyanophyta phytoplankton abundance is closely correlated to the temperature of water quality parameters, brightness, DO, pH, total-N and the ratio of N:P.

(6)

6

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

RAHMADI AZIZ

KORELASI ANTARA PEMBERIAN PUPUK DENGAN RASIO

NITROGEN DAN FOSFOR YANG BERBEDA DAN

FITOPLANKTON PENYEBAB BAU LUMPUR PADA SISTEM

BUDIDAYA EKSTENSIF IKAN BANDENG Chanos chanos

(8)

8

(9)

Judul Tesis : Korelasi antara Pemberian Pupuk dengan Rasio Nitrogen dan Fosfor yang Berbeda dan Fitoplankton Penyebab Bau Lumpur pada Sistem Budidaya Ekstensif Ikan Bandeng Chanos chanos (Forsskal, 1775)

Nama : Rahmadi Aziz

NIM : C151110271

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc Ketua

Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA Dr Ir Tri Heru Prihadi, MSc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Akuakultur

Dr Ir Widanarni, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah bau lumpur pada ikan bandeng, dengan judul Korelasi antara Pemberian Pupuk dengan Rasio Nitrogen dan Fosfor yang Berbeda dan Fitoplankton Penyebab Bau Lumpur pada Sistem Budidaya Ekstensif Ikan Bandeng Chanos chanos (Forsskal, 1775).

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc, Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA dan Bapak Dr Ir Tri Heru Prihadi, MSc atas bimbingan dan motivasi yang telah diberikan. Penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga dan rekan akuakultur atas segala doa, dan bantuannya.

Akhir kata, penyusun berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 4

Fitoplankton 4

Kebutuhan Nutrisi Fitoplankton 5

Nitrogen 6

Fosfor 7

Bau Lumpur (Off Flavours) pada Ikan 8

METODE 9

Waktu dan Tempat Penelitian 9

Rancangan Penelitian 9

Prosedur Penelitian 9

Parameter yang Dievaluasi 11

Analisis Data 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Hasil 13

Pembahasan 28

SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 39

(12)

DAFTAR TABEL

1 Konsentrasi berbagai unsur yang terkandung di air laut, air tawar dan

fitoplankton 5

2 Perlakuan penelitian 9

3 Jumlah pupuk yang diberikan pada setiap perlakuan selama penelitian 10

4 Indek pilihan fitoplankton 18

5 Kelimpahan fitoplankton yang disukai ikan bandeng 18

6 Hasil uji organoleptik 20

DAFTAR GAMBAR

1 Skema perumusan masalah penelitian 3

2 Skema rantai makanan pada sistem budidaya (Boyd dan Tucker 1998) 5

3 Siklus nitrogen (Boyd 1990) 6

4 Siklus fosfor (Boyd 1990) 7

5 Struktur kimia geosmin dan MIB 8

6 Kotak penanda pada haemocytometer (Helm et al. 2004) 11

7 Persentase keragaman fitoplankton 13

8 Kelimpahan total fitoplankton 14

9 Persentase kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di tambak air tawar 15 10 Persentase kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di tambak air payau 16 11 Rasio kelimpahan fitoplankton Cyanophyta dengan fitoplankton bukan

Cyanophyta 17

12 Perbandingan kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di perairan terhadap kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di tambak ikan yang berbau lumpur (van

der Ploeg dan Boyd 1991) 19

13 Hasil dugaan kandungan geosmin di perairan dari persamaan regresi Y=1.10-7X+0,0151 (Y= kandungan geosmin, X= kelimpahan Cyanophyta) (van der

Ploeg dan Boyd 1991) 19

14 Suhu pada setiap tambak 21

15 Nilai kecerahan pada setiap tambak 21

16 Nilai kandungan DO 22

17 Nilai pH pada setiap tambak 22

18 Nilai salinitas pada setiap tambak 23

19 Nilai N-total pada setiap tambak 23

20 Nilai P-total pada setiap tambak 24

21 Nilai rasio N:P pada setiap tambak 24

22 Scree plot hasil analisis komponen utama dari variabel-variabel penerapan

pupuk dengan rasio N dan P yang berbeda 25

23 Loading plot dari dua komponen utama pertama yang menjelaskan 70,5% keragaman total dari seluruh variabel yang diamati 25

24 Dendogram hubungan antar variabel penelitian 26

25 Korelasi antar parameter Cyanophyta air, Cyanophyta tanah, Cyanophyta tanah

dan organoleptik 27

(13)

13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lembar penilaian sensori ikan bandeng 39

2 Persentase keragaman filum fitoplankton di air, tanah, dan usus 40 3 Persentase rata-rata kelimpahan fitoplankton penghasil geosmin dan MIB

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Setiap tahun produksi ikan bandeng meningkat rata-rata 19,7 %. Produksi ikan bandeng di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 667.116 ton (KKP 2014). Ikan bandeng memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas (euryhalien), sehingga dapat dibudidayakan di tambak air tawar dan air payau.

Ikan bandeng merupakan ikan herbivora dengan fitoplankton sebagai makanan utamanya. Budidaya ikan bandeng di tambak saat ini menggunakan pupuk anorganik yaitu urea dan SP (superphosphate) untuk menumbuhkan fitoplankton. Unsur nitrogen dan fosfor dibutuhkan dalam jumlah banyak di perairan untuk pertumbuhan fitoplankton, namun ketersediaannya di lingkungan terbatas, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton. Secara umum, jika disuatu perairan memiliki kandungan unsur hara yang tinggi, maka akan meningkat pula populasi fitoplankton di perairan tersebut dan sebaliknya (Basmi 1995).

Pemberian pupuk urea dan SP yang berlebihan pada lingkungan budidaya akan menyebabkan kondisi perairan tersebut menjadi sangat subur. Perairan yang subur ditandai dengan berlimpahnya jumlah dan jenis fitoplankton di perairan tersebut. Komposisi jenis fitoplankton yang umum dijumpai di perairan tawar adalah kelas Bacillarianophyceae, Chlorophyceae, Chryptophyceae, Chyanophyceae, Dinophyceae, Euglenophyceae dan Xanthopyceae. Kelas Chyanophyceae dan Chlorophyceae merupakan jenis fitoplankton dominan di perairan yang tergenang (Ruttner 1973). Dari berbagai jenis fitoplankton tersebut, jenis-jenis dari kelas Chyanophyceae (alga hijau biru) merupakan jenis fitoplankton yang menjadi penyebab ikan berbau lumpur (off-flavours) (Tucker 2000). Pemberian pupuk dengan rasio N:P tertentu akan memberikan dominasi Chyanophyceae (alga hijau biru) pada suatu perairan. Rasio N:P 29:1 sampai 31:1 menyebabkan dominasi fitoplankton Chyanophyceae dengan genus Oscillatoria sp., Lyngbya sp., dan Pseudoanabena sp. (Findlay 1981). Penelitian Levine dan Schindler (1999) menyebutkan bahwa dominasi fitoplankton cyanobacteria terjadi pada rasio N:P 32:1 sampai 64:1.

Fenomena citarasa lumpur pada ikan, dilaporkan pertama kali oleh Thaysen (1936) dalam Lovell (1983). Bau lumpur juga ditemukan pada budidaya ikan lele (Lovell 1983; Martin et al. 1991; Tucker dan van der Ploeg 1999), ikan nila (Yamprayoon dan Noomhorm 2000), ikan mas (Vallod et al. 2007), ikan arctic charr Salvelinus alpinus (Houle et al. 2011), ikan salmon (Burr et al. 2012) dan ikan kakap putih (Jones et al. 2013). Selain ikan, bau lumpur juga sudah ditemukan pada budidaya udang (Lovell dan Broce 1985; Boyd 2003) dan krustasea (Whitfield 1999).

(16)

2

2004) dan masuk ke dalam daging, kulit, dan usus sehingga menyebabkan bau lumpur (Yamprayoon dan Noomhorm 2000). Selain diserap oleh insang, geosmin dan MIB dapat masuk kedalam tubuh ikan melalui fitopankton yang termakan oleh ikan.

Daging ikan bandeng yang berbau lumpur ini menyebabkan daging terasa kurang enak dan tidak disukai oleh konsumen. Akibatnya akan menurunkan nilai jual dari ikan bandeng tersebut. Hal ini tentu sangat berdampak buruk bagi para produsen ikan bandeng. Hanson (2001) menyebutkan bahwa, biaya penanganan akibat ikan lele bau lumpur di Amerika Serikat sebesar $15 - 23 juta pada tahun 1997-1999. Berbagai studi sudah memperkirakan tambahan biaya produksi akibat penundaan panen karena ikan bau lumpur yaitu sebesar $0,01 - $0,25 per kilogram (Engle et al. 1995; Hanson 2001). Untuk itu diperlukan cara untuk menghilangkan bau lumpur tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pemupukan dengan rasio N dan P secara tepat pada budidaya ikan bandeng di tambak.

Pemupukan dengan rasio N dan P yang tepat di tambak budidaya bandeng diharapkan dapat meningkatkan fitoplankton jenis lain selain alga hijau biru, sehingga dominasi fitoplankton jenis alga hijau biru di media budidaya dapat tergantikan oleh fitoplankton jenis lain yang tidak menghasilkan Geosmin dan 2-Methylisoborneol (MIB).

Perumusan Masalah

Permasalahan yang terjadi pada budidaya ikan bandeng di tambak salah satunya adalah teknologi budidaya yang dilakukan tidak tepat, sehingga sering dihasilkan daging ikan terasa bau lumpur (off-flafours). Hal ini diakibatkan oleh pengaruh lingkungan budidaya ikan tersebut yaitu kondisi pesatnya pakan alami (fitoplankton) penghasil geosmin dan 2-Methylisoborneol (MIB). Kedua senyawa ini masuk dalam tubuh ikan melalui fitoplankton yang dimakan oleh ikan atau diserap langsung dari perairan oleh ikan melalui insang.

Ikan bandeng secara alami merupakan ikan herbivora. Salah satu makanan ikan bandeng adalah fitoplankton. Fitoplankton sangat tergantung pada ketersediaan nutrisi untuk pertumbuhannya. Nutrisi yang dibutuhkan terutama makronutrisi seperti nitrogen dan fosfat. Komposisi makronutrisi dalam perairan dapat menentukan jenis dominasi fitoplankton itu sendiri. Selama ini kegiatan petani budidaya ikan bandeng di tambak kurang memahami tentang komposisi makronutrisi seperti N dan P. Jika rasio makronutrisi N dan P di media budidaya ikan bandeng terlalu tinggi maka akan menimbulkan dominasi fitoplankton jenis alga hijau biru. Jenis alga hijau biru merupakan jenis fitoplankton yang menghasilkan geosmin dan MIB. Fitoplankton ini yang akan menjadi makanan ikan bandeng, sehingga daging ikan bandeng saat dikonsumsi akan terasa bau lumpur.

(17)

3

Gambar 1 Skema perumusan masalah penelitian

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh rasio pupuk N dan P pada media budidaya ikan bandeng air tawar dan air payau terhadap kelimpahan fitoplankton penghasil geosmin dan MIB dan pengaruhnya terhadap mutu ikan bandeng, serta untuk mengetahui korelasi antara kualitas air dan kelimpahan fitoplankton penghasil geosmin dan MIB.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi masyarakat tentang pemupukan dengan rasio N dan P pada tambak budidaya ikan bandeng yang tepat sehingga ikan bandeng tidak berbau lumpur.

Pemupukan dan Rasio N:P

Kelimpahan dan Keragaman Fitoplankton

Fitoplankton di Perairan Fitoplankton di Tanah

Klekap

Ikan Bandeng

Uji Organoleptik

Geosmin dan MIB (di Perairan) Penghasil Geosmin dan

MIB (Cyanophyta) Bukan Penghasil Geosmin dan

MIB (bukan Cyanophyta)

Ikan Bandeng Tidak Bau

Lumpur Ikan Bandeng Bau Lumpur

Input

Proses

(18)

4

Hipotesis Penelitian

Pemupukan dengan rasio N dan P tertentu pada media budidaya ikan bandeng air tawar dan payau dapat menurunkan dominasi alga hijau biru (Cyanophyta) penghasil geosmin dan 2-Methylisoborneol (MIB).

TINJAUAN PUSTAKA

Fitoplankton

Plankton dalam bahasa Yunani berarti pengembara yang pertama kali diperkenalkan oleh Victor Hensen pada tahun 1887. Menurut Goldman dan Horne 1983, plankton merupakan organisme renik yang umumnya melayang-layang di dalam air dan penyebarannya tergantung pada gerakan air. Plankton dapat dijumpai diperairan tawar, payau dan asin.

Plankton dapat dibedakan menjadi dua yaitu zooplankton dan fitoplankton. Zooplankton adalah plankton hewani yang hidupnya mengapung, atau melayang dalam suatu perairan(Goldman dan Horne 1983). Kemampuan renangnya sangat terbatas hingga keberadaannya sangat ditentukan ke mana arus membawanya. Sedangkan fitoplankton merupakan plankton nabati yang hidupnya mengapung atau melayang di dalam perairan. Menurut Reynolds (2006), Fitoplankton merupakan suatu kelompok mikroorganisme fotosintetik yang beradaptasi untuk hidup secara terbuka di laut, danau, waduk, tambak dan sungai, dimana fitoplankton tersebut memberikan kontribusi dalam menyediakan karbon organik sebagai makanan untuk organinisme pelagis.

Ukuran fitoplankton sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat oleh mata telanjang. Umumnya fitoplankton berukuran 0,2µm – 2mm (Sieburth et al. 1978 dalam Reynolds 2006). Meskipun ukurannya sangat kecil, namun fitoplankton dapat tumbuh dengan sangat lebat dan padat sehingga dapat menyebabkan perubahan warna pada suatu perairan. Fitoplankton di perairan laut dan tawar memiliki keragaman ukuran, morfologi dan pembentukan koloni. Fitoplankton umumnya berupa individu bersel tunggal, tetapi juga ada yang berbentuk rantai.

Fitoplankton memliki sifat kosmopolitan yang berarti dapat hidup di suatu perairan dengan beradaptasi pada kondisi lingkungan perairan tersebut (Davis 1955). Jenis fitoplankton yang sering dijumpai diperairan umum adalah kelas Bacillariaphyceae, Chlorophyceae, Chryptophyceae, Chyanophyceae, Dinophyceae, Euglenophyceae, dan Xanthophyceae (Ruttner 1965). Untuk jenis fitoplankton yang sering ditemukan di tambak meliputi alga hijau (Chlorophyta), euglena (Euglenophyta), alga kuning-hijau dan diatom (Chrysophyta), dinoflagellata (Pyrrhophyta), dan alga biru-hijau (Cyanobacteria) (Boyd dan Tucker 1998).

(19)

5

Gambar 2 Skema rantai makanan pada sistem budidaya (Boyd dan Tucker 1998)

Kebutuhan Nutrisi Fitoplankton

Fitoplankton sangat membutuhkan nutrisi dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Nutrisi yang dibutuhkan fitoplankton berupa makronutrisi dan mikronutrisi. Makronutrisi adalah nutrisi yang dibutuhkan dalam jumlah banyak (C, O, H, N, S, P, K, Mg, Ca, Na, Cl dan Si). Sedangkan mikronutrisi merupakan nutrisi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit (Fe, Mn, Cu, Zn, B, Mo, Si, V dan Co) (Basmi 1995; Boyd dan Tucker 1998).

Ketersediaan nutrisi utama dalam perairan sangat mempengaruhi produktivitas fitoplankton. Beberapa lingkungan perairan secara alami telah tersedia komposisi nutrisi yang dibutuhkan fitoplankton untuk pertumbuhan. Produktivitas fitoplankton dapat dipengaruhi oleh ketersediaan satu atau dua nutrisi utama (Boyd dan Tucker 1998). Secara umum, jika disuatu perairan kandungan nutrisi meningkat, maka akan meningkat pula populasi fitoplankton di perairan tersebut dan sebaliknya (Basmi 1995). Konsentrasi unsur di perairan tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Konsentrasi berbagai unsur yang terkandung di air laut, air tawar dan fitoplankton

Unsur Konsentrasi (mg/l) Fitoplankton

(ppm)a

Faktor Konsentrasi

Air Laut Air Tawar Air Laut Air Tawar

Fosfor 0.07 0.03 230 3286 7667

Nitrogen 0.5 0.3 1800 3600 6000

Besi 0.01 0.2 25 2500 125

Mangan 0.002 0.03 4 2000 133

Tembaga 0.003 0.03 2 667 100

Silikon 3 2 250b 83 125

Zink 0.01 0.07 1.6 1.6 23

Karbon 28 20 12000 429 600

Potasium 380 2 190 0.5 95

Kalsium 400 20 220 0.55 11

Sulfur 900 5 160 0.18 32

Boron 4.6 0.02 0.1 0.02 5

Magnesium 1350 4 90 0.07 22.5

Natrium 10500 5 1520 0.14 304

aBerdasarkan 2.5% berat kering

bKonsentrasi terbanyak untuk diatom

(20)

6

Diantara unsur makronutrisi, unsur N dan P merupakan faktor pembatas. Hal ini karena unsur N dan P dibutuhkan dalam jumlah banyak dalam pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton namun ketersediaannya di lingkungan terbatas, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton (Basmi 1995). Kandungan nitrogen dan fosfor dijadikan faktor pembatas di lingkungan perairan tawar dan payau dalam produktivitas fitoplankton (Boyd dan Tucker 1998). Poliseni et al. (1970) dan Reynolds (2006) menyatakan bahwa di perairan tambak dengan tingkat kesadahan rendah dan keasaman tertentu, pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh kekurangan beberapa nutrisi.

Nitrogen

Nitrogen merupakan komponen penting dari sel-sel organisme hidup. Kandungan nitrogen di perairan sedikit, namun sangat penting bagi ekosistem di perairan (Maitland 1990). Siklus nitrogen dianggap sebagai ekosistem dasar di perairan atau tambak (Alexander 1961). Nitrogen di perairan berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik seperti amonia (NH3), amonium (NH4),

Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan molekul Nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Sedangkan

nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea. Bentuk-bentuk nitrogen ini mengalami transformasi diperairan sebagai bagian dari siklus nitrogen (Gambar 3). Nitrogen atmosfer yang terlarut di dalam tambak akan dirubah menjadi protein nitrogen dan dimanfaatkan oleh berbagai jenis alga dan mikroorganisme melalui proses nitrogen fiksasi (Boyd dan Tucker 1998).

Gambar 3 Siklus nitrogen (Boyd 1990)

(21)

7

anorganik diubah menjadi nitrogen protein atau senyawa organik lainnya. Nitrogen pada tanaman dapat ditransfer melalui rantai makanan atau saat tanaman mati dengan proses perubahan nitrogen menjai amonia oleh bakteri dan organisme lain dari pembusukan (Boyd dan Tucker 1998). Tingginya konsentrasi nitrogen dalam fitoplankton akan mendukung cepatnya proses dekomposisi dan daur ulang minenal saat tanaman mati (Almazan dan Boyd 1978). Ketika hewan air mati, hewan air mengekskresikan amonia melalui proses pembusukan. Amonia-nitrogen dapat dirubah menjadi nitrat nitrogen oleh bakteri chemoautotrophic. Nitrogen juga bisa hilang ke atmosfer melalui difusi melalui permukaan air dari proses denitrifikasi (Boyd dan Tucker 1998).

Fosfor

Fosfor merupakan salah satu unsur esensial bagi pembentukan protein dan metabolisme sel organisme (Wardoyo 1981). Di perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat (Boyd dan Tucker 1998). Senyawa fosfor membentuk kompleks ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat tidak larut, dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh alga. Fosfor masuk ke perairan atau tambak melalui aliran masuk air (inflow). Kandungan fosfor di perairan pada umumnya relatif sedikit. Hal ini karena sebagian besar fosfor yang masuk ke tambak akan diserap oleh sedimen tanah (Maitland 1990; Boyd dan Tucker 1998). Siklus fosfor dapat dilihat pada Gambar 4.

(22)

8

Unsur fosfor dalam perairan dapat berbentuk senyawa anorganik, yaitu ortofosfat (PO43-), metafosfat (P3O93-) dan polifosfat (P3O105-). Dalam bentuk

anorganik (ortofosfat), fosfat yang terlarut dalam perairan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh fitoplankton untuk pertumbuhan (Goldman dan Horne 1983). Bila kandungan ortofosfat dalam air rendah (<0,01 mg/l) maka pertumbuhan fitoplankton terhambat dan dan apabila kandungannya cukup tinggi (0,031 mg/l) akan menyebabkan pertumbuhan fitoplankton yang tinggi juga, selain itu akan terjadi eutrofikasi perairan.

Bau Lumpur (Off Flavours) pada Ikan

Citarasa bau lumpur (off flavours) pada ikan merupakan masalah dalam budidaya perikanan di Indonesia dan juga negara-negara lain, baik ikan air tawar maupun ikan air payau. Citarasa bau lumpur ini telah dideskripsikan sejak tahun 1550, dan menimbulkan tanggapan yang negatif dari konsumen. Pada tahun 1909 sebuah surat kabar di Jerman menerbitkan sebuah artikel yang berisi gugatan seorang pemilik restoran karena menyajikan ikan yang bercitarasa lumpur (Tucker dan Ploeg 1999).

Senyawa yang menyebabkan citarasa ikan bau lumpur yaitu Geosmin dan 2-Methylisoborneol (MIB) (Lovell 1983; Johnsen dan Lloyd 1992; Person 1996; Tucker 2000). Geosmin dan MIB merupakan senyawa metabolik sampingan yang dihasilkan oleh beberapa jenis golongan alga hijau biru. Geosmin menyebabkan ikan berbau dan bercitarasa lumpur, sedangkan MIB menyebabkan daging ikan menjadi apek (Person 1996). Struktur kimia Geosmin dan 2-Methylisoborneol (MIB) dapat dilihat pada Gambar 5.

Geosmin 2-Methylisoborneol (MIB) Gambar 5 Struktur kimia geosmin dan MIB

(23)

9

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2013 hingga Juli 2013 yang bertempat di tambak Akademi Perikanan Sidoarjo, dan tambak petani ikan bandeng di Gresik, Jawa Timur. Analisis uji organoleptik dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akademi Perikanan Sidoarjo. Kemudian analisis kualitas air dan tanah dilakukan di Laboratorium Kimia, Universitas Brawijaya, Malang.

Rancangan Penelitian

Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah perlakuan berdasarkan pemberian pupuk dengan rasio N dan P pada tambak air tawar dan air payau. Perlakuan penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perlakuan penelitian

Rasio N dan P Tambak

Air Tawar Air Payau

0 A1 B1

5 A2 B2

15 A3 B3

30 A4 B4

4 G -

Keterangan:

A1 = Perlakuan tanpa pemupukan pada tambak air tawar

A2 = Perlakuan pemberian pupuk dengan rasio N dan P sebesar 5 (N 2,5 kg dan P 0,5 kg) pada tambak air tawar

A3 = Perlakuan pemberian pupuk dengan rasio N dan P sebesar 15 (N 2,81 kg dan P 0,19 kg) pada tambak air tawar

A4 = Perlakuan pemberian pupuk dengan rasio N dan P sebesar 30 (N 2,9 kg dan P 0,1 kg) pada tambak air tawar

G = Tambak petani dengan rasio N dan P sebesar 4 (N 8,6 kg dan P 2,3 kg) B1 = Perlakuan tanpa pemupukan pada tambak air payau

B2 = Perlakuan pemberian pupuk dengan rasio N dan P sebesar 5 (N 2,5 kg dan P 0,5 kg) pada tambak air payau

B3 = Perlakuan pemberian pupuk dengan rasio N dan P sebesar 15 (N 2,81 kg dan P 0,19 kg) pada tambak air payau

B4 = Perlakuan pemberian pupuk dengan rasio N dan P sebesar 30 (N 2,9 kg dan P 0,1 kg) pada tambak air payau

Prosedur Penelitian

Persiapan Tambak

(24)

10

Sebelum dilakukan kegiatan pemeliharaan, tambak yang akan digunakan dipersiapkan terlebih dahulu. Persiapan tambak dilakukan untuk membuang sisa bahan beracun dan bibit penyakit. Kegiatan selama proses persiapan tambak ini antara lain: pengeringan atau pengurasan tambak, perbaikan pematang, pengapuran dan pemupukan serta pengisian air yang dilakukan secara bertahap hingga ketinggian satu meter. Waktu yang biasanya dibutuhkan dalam mempersiapkan tambak yaitu kurang lebih 30 hari.

Pemupukan Tambak

Pemupukan tambak menggunakan pupuk anorganik (buatan) berupa Urea dan SP. Pupuk urea yang digunakan memiliki kandungan N sebesar 46%, sedangkan pupuk SP meliliki kandungan P 36%. Dosis pupuk yang dipakai pada penelitian ini adalah 50 kg/ha. Pupuk yang ditebar di tambak penelitian dengan rasio N:P sebesar 5 sebanyak (Urea 5,43 kg; SP 1,39 kg), N:P sebesar 15 (Urea 6,11 kg; SP 0,53 kg), N:P sebesar 30 (Urea 6,30 kg; SP 0,28 kg). Pemupukan dilakukan dengan cara menaburkan pupuk secara merata di tambak. Setiap tambak dipupuk sesuai dosis perlakuan penelitian. Setelah satu minggu pemupukan dan plankton sudah tumbuh, benih ikan bandeng siap untuk ditebar. Pemupukan susulan dilakukan tiga minggu sekali. Pupuk susulan yang digunakan sama dengan dosis awal pemupukan. Untuk dosis pemupukan tambak di daerah Gresik, petani menggunakan dosis sebanyak 11 kg/ha dengan rasio N:P sebesar 4 (Urea 146,08 kg; SP 51,12 kg). Pemupukan susulan dilakukan setiap satu minggu sekali. Jumlah pupuk yang diberikan pada setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah pupuk yang diberikan pada setiap perlakuan selama penelitian

Tambak Perlakuan

Keterangan: A: Tambak air tawar; B: Tambak air payau

Penebaran Benih

Benih yang ditebar berukuran rata-rata panjang 15±0,97 cm dan bobot 16±4,37 gram. Penebaran benih ikan bandeng dilakukan pada pagi hari. Hal ini dimaksudkan agar perbedaan suhu air media pengangkutan dan air tambak tidak terlalu besar, karena benih tidak mampu menyesuaikan diri jika perbedaan suhu keduanya terlalu besar. Selain itu agar benih ikan bandeng tidak mengalami stress, sehingga dapat menekan tingkat mortalitas.

Pemeliharaan Hewan Uji

Ikan bandeng dipelihara di tambak pemeliharaan dengan kepadatan 1 ekor/m2. Luas tambak yang dipakai untuk pemeliharan ikan bandeng yaitu 600 m2.

(25)

11

bandeng dipelihara dengan sistem budidaya tradisional (ekstensif). Selama pemeliharaan, ikan bandeng tidak diberi pakan buatan. Sehingga ikan bandeng mengkonsumsi pakan alami (zooplankton dan fitoplankton).

Sampling dilakukan setiap 10 hari sekali untuk mengetahui kelimpahan dan keragaman fitoplankton baik di air, di tanah, dan di dalam usus ikan. Selain itu juga dilakukan pengukuran dan analisa kualitas air dan tanah tambak. Ikan bandeng dipelihara selama 90 hari.

Parameter yang Dievaluasi

Keragaman dan Kelimpahan Fitoplankton

Keragaman dan kelimpahan fitoplankton diamati dan dihitung dengan tujuan untuk mengetahui jenis serta kepadatan fitoplankton yang ada pada tambak pemeliharaan. Kelimpahan plankton dihitung dengan mengunakan haemocytometer. Penampakan kotak-kotak pada haemocytometer dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Kotak penanda pada haemocytometer (Helm et al. 2004)

Kotak bagian tengah dari haemocytometer terdiri dari 25 kotak, masing-masing berukuran 0,2 x 0,2 mm, dan kemudian dibagi lagi menjadi 16 kotak (0,05 x 0,05 mm). Sehingga didapat volume kotak tengah masing-masing 0,2 x 0,2 x 0,1 mm = 0,004 mm3.

Persentase Jenis-Jenis Fitoplankton Penghasil Geosmin dan MIB

Persentase jenis-jenis fitoplankton penghasil bau lumpur dari keseluruhan (total) jenis fitoplankton dapat dihitung dengan rumus:

% = 100

Keterangan:

β = Persentase jenis-jenis fitoplankton penghasil bau lumpur Fi = Jumlah jenis fitoplankton penghasil geosmin dan MIB Ft = Jumlah seluruh jenis fitoplankton

Jumlah sel dalam haemocytometer

Kelimpahan fitoplankton = x 106 sel/ml

(26)

12

Indek Pilihan Fitoplankton

Indek pilihan fitoplankton merupakan perbandingan persentase spesies fitoplankton sebagai makanan yang terdapat di dalam lambung ikan dengan spesies fitoplankton yang terdapat dalam perairan. Indek pilihan fitoplankton dihitung berdasarkan rumus (Parsons dan Le Brasseur, 1970 dalam Effendie, 1979):

=

+

Keterangan:

E = Indek pilihan fitoplankton

ri = Jumlah relatif fitoplankton yang dimakan pi = Jumlah relatif fitoplankton di perairan Nilai indek berkisar -1 – +1

Uji Organoleptik

Pengujian organoleptik ikan merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Penilaian menggunakan alat indra meliputi mutu penampakan, bau, rasa dan tekstur (SNI 2006). Metode yang digunakan dalam pengujian organoleptik adalah scoring test yaitu menggunakan skala angka (Lampiran 1). Skala angka terdiri dari angka 1-9 dengan spesifikasi untuk setiap angka yang dapat memberikan pengertian tertentu bagi panelis. Ikan bandeng yang digunakan yaitu ikan bandeng yang dimasak secara dikukus tanpa menggunakan bumbu masak. Panelis yang melakukan uji sensori terdiri dari 30 orang. Pelaksaan uji sensori dilakukan pada sore hari (pukul 15.00-16.00) di dalam laboratorium uji sensori ikan.

Parameter Kualitas Air dan Tanah

Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, kecerahan, salinitas, pH, DO, N-total, nitrat, P-total, dan P-PO4. Analisis tanah yang diukur meliputi N-total,

nitrat, P-total, dan P-PO4. Pengukuran suhu, kecerahan, salinitas, pH, dan DO

dilakukan setiap hari pukul 06.00, 12.00 serta pukul 18.00. Sedangkan pengukuran N-total, nitrat, P-total, dan P-PO4 dilakukan setiap 10 hari sekali.

Analisis Data

(27)

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Persentase Keragaman dan Kelimpahan Fitoplankton

Berbagai jenis filum fitoplankton diperoleh pada tambak penelitian yaitu filum Chlorophyta, Cyanophyta, Bacillariophyta, Dinophyta, dan Euglenophyta. Data persentase keragaman filum fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Persentase keragaman fitoplankton

Persentase keragaman fitoplankton jenis Cyanophyta menunjukan dominasi dibandingkan jenis fitoplankton lainnya sebesar 35,71 % (tambak air tawar) dan 35,75 % (tambak air payau). Sedangkan pesentase keragaman fitoplankton terendah yaitu jenis Euglenophyta sebesar 6,67 % (tambak air tawar) dan 7,14 (tambak air payau). Selanjutnya hasil kelimpahan fitoplankton yang ada di air, di tanah, dan di usus disajikan pada Gambar 8.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Chlorophyta Cyanophyta Bacillariophyta Dinophyta Euglenophyta

(%

)

(28)

14

Gambar 8 Kelimpahan total fitoplankton

Kelimpahan fitoplankton pada tambak petani Gresik menunjukan kelimpahan tertinggi dibandingkan tambak yang lainnya yaitu sebesar 8.425 idv/L (di air), 306.735 idv/L (di tanah), dan 14.089 idv (di usus). Sedangkan kelimpahan fitoplankton yang terendah tedapat pada tambak A1 (0) di air tawar dan tambak B1 (0) pada tambak air payau.

0

(29)

15

Persentase Kelimpahan Fitoplankton Penghasil Geosmin dan MIB

Hasil penelitian tentang persentase kelimpahan fitoplankton penghasil Geosmin dan MIB dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. Fitoplankton penghasil geosmin dan MIB merupakan jenis Cyanophyta.

Gambar 9 Persentase kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di tambak air tawar

0

(30)

16

Gambar 10 Persentase kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di tambak air payau Hasil persentase fitoplankton Cyanophyta di tambak air tawar menunjukan bahwa masih lebih kecil (kurang dari 50 %) dibandingkan dengan persentase kelimpahan fitoplankton selain Cyanophyta pada setiap perlakuan. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan tambak air payau yang menunjukan persentase kelimpahan Cyanophyta kuarang dari 50 % baik yang ada di air, di tanah, dan di usus.

(31)

17

Nilai rasio antara kelimpahan fitoplankton Cyanophyta dengan fitoplankton selain Cyanophyta juga dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Rasio kelimpahan fitoplankton Cyanophyta dengan fitoplankton bukan Cyanophyta

Nilai rasio kelimpahan fitoplankton Cyanophyta dengan fitoplankton selain Cyanophyta pada perlakuan A4 (30) tambak air tawar di usus menjukan nilai rasio lebih dari 1. Sedangkan nilai rasio kelimpahan fitoplankton Cyanophyta dengan fitoplankton selain Cyanophyta pada setiap perlakuan tambak air tawar dan air payau baik di air, di tanah, dan di usus menunjukan nilai rasio dibawah 1.

Indek Pilihan Fitoplankton

Hasil perhitungan indek pilihan fitoplankton penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai indek pilihan fitoplankton dapat menunjukan jenis fitoplankton yang sukai oleh ikan bandeng pada penelitian ini. Nilai indek pilihan fitoplankton memiliki kisaran -1 sampai 1. Nilai indek yang positif atau mendekati nilai 1 merupakan nilai yang menunjukan kecenderungan ikan bandeng menyukai jenis fitoplankton tersebut. Hal sebaliknya jika nilai indek negatif atau mendekati -1 menunjukan kecenderungan ikan bandeng kurang menyukai jenis fitoplankton tertentu.

0,00

0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20

A1 (0) A2 (5) A3 (15)A4 (30) G (4)

Air Tanah Usus

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20

B1 (0) B2 (5) B3 (15) B4 (30)

Air Tanah Usus

(32)

18

Tabel 4 Indek pilihan fitoplankton

Keterangan: A dan G: Tambak air tawar; B: Tambak air payau

Jenis fitoplankton yang cenderung disukai ikan bandeng di tambak air tawar dan tambak air payau adalah Closteriopsis sp., Oscilatoria sp., Peridinium sp., Prorocentrum sp., dan Euglena sp. Jumlah kelimpahan fitoplankton yang disukai ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kelimpahan fitoplankton yang disukai ikan bandeng

Keterangan: A dan G: Tambak air tawar; B: Tambak air payau

Jumlah kelimpahan fitoplankton Cyanophyta masih lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kelimpahan fitoplankton selain Cyanophyta pada setiap perlakuan, baik di tambak air tawar maupun tambak air payau. Selanjutnya perbandingan

A1 (0) A2 (5) A3 (15) A4 (30) B1 (0) B2 (5) B3 (15) B4 (30) G

Anabaena sp. -1,000 -1,000 -1,000 -1,000

Anacystis sp. -0,215 -0,129 -0,080 -0,010 -0,025 0,075 0,142 0,020 0,232

Gloeocapsa sp. -1,000 -1,000

Mycrocystis sp. -0,476 -0,364 -0,342 -0,196 -0,059 -0,179 -0,181 -0,044 0,054

Oscillatoria sp. 0,676 0,656 0,092 0,282 1,000 0,033 0,475 0,093 -0,151

Scytonema sp. -1,000

Clorella sp. -0,220 -0,130 0,033 0,020 -0,179 -0,023 0,004 0,128 0,138

Closteriopsis sp. 0,765 -0,255 0,258 0,078 -0,265 0,017 0,368 0,311 1,000

Ceatoceros sp. -1,000

Mastogloia sp. 0,048 0,150 0,026 -0,097 0,059 -0,013 -0,121 -0,039 0,287

Nitzschia sp. -1,000 -1,000 -1,000 -1,000

Rhizosolenia sp. 0,160 0,230 0,382 0,091 -0,656 -0,142 -0,541 -0,020 0,277

Skeletonema sp. -1,000

Ceratium sp. -1,000 -1,000 -1,000 -1,000 -1,000 -1,000 -1,000

Peridinium sp. 0,206 0,300 0,588 0,657 0,362 0,834 0,326 0,567

Prorocentrum sp. 0,191 0,142 0,119 0,069 -0,019 0,051 -0,064 0,088 0,618

Euglenophyta Euglena sp. 0,552 -1,000 -1,000 -0,528 1,000 -1,000 -1,000 -1,000 0,413

Jenis Fitoplankton Nilai E

Anacystis sp. 1596 1830 2112 953

Mycrocystis sp. 1375

Oscillatoria sp. 593 747 1233 793 697 916 950 1287

Clorella sp. 2217 2787 1415 1334 2024

Closteriopsis sp. 516 1120 633 1307 2189 2494 2924

Mastogloia sp. 1569 1928 1963 1579 2104

Rhizosolenia sp. 1680 1760 2600 2733 1353

Peridinium sp. 502 702 475 999 542 744 769 383

Prorocentrum sp. 1476 1636 1642 1909 1559 1753 2023

Euglenophyta Euglena sp. 960 1067 1110

7296 6773 11250 9855 3885 6121 7153 9362 13866

Jumlah

Jenis Fitoplankton Fitoplankton yang disukai (idv)

Chlorophyta Cyanophyta

(33)

19

kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di perairan terhadap kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di tambak ikan yang berbau lumpur (van der Ploeg dan Boyd, 1991) dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Perbandingan kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di perairan terhadap kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di tambak ikan yang berbau lumpur (van der Ploeg dan Boyd 1991)

Kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di tambak ikan (van der Ploeg dan Boyd 1991) yang menghasilkan bau lumpur menunjukan kelimpahan yang paling tinggi dibandingkan dengan kelimpahan fitoplankton Cyanophyta pada setiap perlakuan yaitu sebesar 11.325.000 idv/L. Selanjutnya hasil dugaan kandungan geosmin di perairan dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Hasil dugaan kandungan geosmin di perairan dari persamaan regresi

Y=1.10-7X+0,0151 (Y= kandungan geosmin, X= kelimpahan Cyanophyta) (van der Ploeg dan Boyd 1991)

0

(34)

20

Hasil dugaan kelimpahan fitoplankton Cyanophyta terhadap kandungan Geosmin pada setiap perlakuan menunjukan nilai yang sangat kecil sebesar 0,015 ug/L dibandingkan dengan tambak ikan lele yang berbau lumpur (van der Ploeg dan Boyd 1991) yaitu sebesar 1,3 ug/L. Selanjutnya hasil uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji organoleptik

Keterangan: A dan G: Tambak air tawar; B: Tambak air payau

Hasil organoleptik menunjukan bahwa pada perlakuan tambak G (4) skor 7 untuk spesifikasi bau dan rasa. Sedangkan untuk semua perlakuan baik di tambak air tawar dan air payau untuk spesifikasi bau dan rasa menunjukan skor 8.

Hari ke-1

Utuh, rapih, bersih, warna putih sedikit kurang cemelang 8 10 17 20 20 19 19 21 18 18 17 19 17 18 1017 20 18 18 16

(35)

21

Parameter Kualitas Air

Parameter yang dievaluasi pada penelitian ini yaitu suhu, kecerahan, DO, pH, salinitas, N-total, P-total, dan rasio N:P. Nilai suhu pada setiap tambak pemeliharaan ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Suhu pada setiap tambak

Kisaran nilai suhu pada tambak pemeliharaan ikan bandeng yaitu 30,66 – 34,87 oC. Nilai suhu pada pemeliharaan ikan bandeng masih cukup baik dalam budidaya ikan. Selanjutnya Nilai kecerahan pada setiap tambak dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Nilai kecerahan pada setiap tambak

Nilai kecerahan pada penelitian dapat menunjukan nilai kepadatan fitoplankton di perairan. Semakin tinggi nilai kecerahan maka kelimpahan fitoplankton semakin sedikit. Sebaliknya jika nilai kecerahan rendah maka

Keterangan: A dan G: Tambak air tawar; B: Tambak air payau 28

(36)

22

kelimpahan fitoplankton samakin banyak. Nilai kisaran kecerahan pada tambak penelitian yaitu 10 – 55 cm. Selanjutnya nilai kandungan DO (Dissolved Oxygen) dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Nilai kandungan DO

Nilai kandungan DO di perairan tambak berkisar 5,17 – 6,07 mg/L. Nilai DO dipengaruhi oleh fitoplankton yang ada di perairan. Selanjutnya Nilai pH pada setiap tambak dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Nilai pH pada setiap tambak

Nilai pH pada tambak air payau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pH pada tambak air tawar. Kisaran nilai pH di tambak air payau yaitu 7,3 – 7,9.

Keterangan: A dan G: Tambak air tawar; B: Tambak air payau 4,60

(37)

23

Sedangkan kisaran nilai pH di perairan tawar adalah 6,1 – 7,0. Selanjutnya Nilai salinitas pada setiap tambak dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Nilai salinitas pada setiap tambak

Nilai salinitas di tambak air tawar berkisar 0 – 1 ppt (Nybakken 1992). Sedangkan untuk tambak air payau bernilai 5 ppt. Selanjutnya Nilai N-total pada setiap tambak dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19 Nilai N-total pada setiap tambak

Nilai N-total pada tambak air tawar berkisar 2,99 – 7,03 mg/L. Sedangkan kisaran nilai N-total pada perairan payau yaitu 1,07 – 5,84 mg/L. Selanjutnya Nilai P-total pada setiap tambak dapat dilihat pada Gambar 20.

Keterangan: A dan G: Tambak air tawar; B: Tambak air payau 0

(38)

24

Gambar 20 Nilai P-total pada setiap tambak

Nilai P-total pada tambak air tawar berkisar 3,17 – 6,12 mg/L. Sedangkan kisaran nilai P-total pada perairan payau yaitu 0,62 – 5,88 mg/L. Selanjutnya Nilai rasio N:P pada setiap tambak dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21 Nilai rasio N:P pada setiap tambak

Nilai rata-rata rasio N:P tertinggi pada tambak air tawar yaitu pada tambak A4 (30) sebesar 1,53. Sedangkan nilai rata-rata rasio N:P tertinggi pada perairan payau yaitu pada tambak B4 (30) sebesar 1,69. Selanjutnya Scare plot analisis komponen utama dari variabel-variabel penerapan pupuk dengan rasio N dan P yang berbeda disajikan pada Gambar 22.

Keterangan: A dan G: Tambak air tawar; B: Tambak air payau 0

(39)

25

Gambar 22 Scree plot hasil analisis komponen utama dari variabel-variabel penerapan pupuk dengan rasio N dan P yang berbeda

Scree plot menunjukan nilai ragam kumulatif lebih dari 70%; yaitu PC1 (38,1%) dan PC2 (32,4%) dengan ragam kumulatif 70,5%. Karakteristik data awal sebagian besar diwakili oleh komponen utama pertama (PC1) sebesar 38,1% dan komponen utama kedua (PC2) sebesar 32,4% dari keragaman total data. Selanjutnya hasil Loading plot komponen utama pertama dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23 Loading plot dari dua komponen utama pertama yang menjelaskan 70,5% keragaman total dari seluruh variabel yang diamati

4,5686

92,8 97,6 99,2 99,8 100

(40)

26

Hasil Loading plot menjukan bahwa karakteristik PC1 dibangun oleh variabel Cyanophyta air, Cyanophyta tanah, organoleptik, suhu, pH, dan N-tanah. karakteristik PC2 dibangun oleh variabel Cyanophyta usus, DO, N-air, dan P-tanah. Sedangkan karakteristik PC3 dibangun oleh variabel kecerahan dan P-air. Selanjutnya dendogram hubungan keerataan setiap parameter dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24 Dendogram hubungan antar variabel penelitian

Analisis klaster pemberian pupuk dengan rasio N dan P yang berbeda terhadap variabel Cyanophyta air, Cyanophyta tanah, Cyanophyta usus, organoleptik, suhu, kecerahan, pH, DO, N-air, N-tanah, P-air, dan P-tanah menghasilkan 3 klaster. Klaster 1 terdiri dari parameter Cyanophyta air, Cyanophyta tanah, Cyanophyta usus, dan suhu. Klaster 2 terdiri dari parameter organoleptik, kecerahan, pH, P-tanah, N-tanah, dan N-air. Sedangkan klaster 3 terdiri dari DO dan P-air. Selanjutnya korelasi hubungan antar Cyanophyta di air, Cyanophyta di tanah, Cyanophyta di usus, dan orgaoleptik dapat dilihat pada Gambar 25.

K

la

st

er

1

K

la

st

er

2

K

la

st

er

(41)

27

Gambar 25 Korelasi antar parameter Cyanophyta air, Cyanophyta tanah, Cyanophyta tanah dan organoleptik

Nilai korelasi fitoplankton Cyanophyta air, Cyanophyta tanah, dan Cyanophyta usus di tambak air tawar dan tambak air payau menunjukan korelasi negatif terhadap parameter organoleptik. Sedangkan untuk korelasi antar fitoplankton Cyanophyta air, Cyanophyta tanah, dan Cyanophyta usus di tambak air tawar dan tambak air payau menunjukan korelasi positif. Selanjutnya nilai korelasi antara kelimpahan fitoplnakton Cyanophyta di air, tanah, dan usus dengan variable-varibel kualitas air (kecerahan, suhu, N:P, pH, DO, N, dan P) dapat dilihat pada Gambar 26.

Keterangan: A: Tambak air tawar; B: Tambak air payau 0,99

0,97 -0,80

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Cyanophyta tanah

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Cyanophyta tanah

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Cyanophyta air

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Cyanophyta air

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Cyanophyta tanah

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Cyanophyta tanah Cyanophyta air Organoleptik

(42)

28

Gambar 26 Nilai korelasi antara kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di air, tanah dan usus dengan kualitas air kecerahan, suhu, pH, DO, N, dan P Nilai korelasi positif yang mendekati satu menjelaskan hubungan yang berbanding lurus antar variabel. Artinya banyaknya jumlah suatu variabel akan diikuti dengnan banyaknya jumlah variabel lain. Nilai negatif mendekati minus satu menjelaskan hubungan yang berbanding terbalik antar variabel. Artinya, banyaknya jumlah suatu variabel akan diikuti dengan sedikitnya jumlah variabel lain. Nilai yang mendekati nol menjelaskan bahwa antar variabel tidak dapat berpengaruh nyata.

Pembahasan

Hasil persentase keragaman filum yang ada di perairan cukup tinggi yaitu teridentifikasinya 5 filum yang terdiri dari 17 genus fitoplankton. Dari berbagai filum fitoplankton di perairan, diperolah juga genus dari masing-masing filum.

Keterangan: A: Tambak air tawar; B: Tambak air payau 0,13

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Kecerahan

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Kecerahan

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Kecerahan

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Kecerahan

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

Kecerahan

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00

(43)

29 tersebut, filum Cyanophyta yang menunjukan kelimpahan di perairan paling tinggi dibandingkan dengan filum yang lainnya (Gambar 7). Kenaikan bahan organik pada temperatur hangat menyebabkan kurangnya keragaman spesies fitoplankton disuatu perairan dan didominasi oleh fitiplankton jenis Cyanophyta (blee-green algae) (Reynold 1984). Tucker dan Lloyd (1984) meyebutkan bahwa fitoplankton yang mendominasi pada tambak pemeliharaan ikan lele adalah jenis blee-green algae. Hasil lengkap persentase kelimpahan fitoplankton berdasarkan jenis filum dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kelimpahan total fitoplankton pada perlakuan A1 sebesar 2.419 idv/l, perlakuan A2 sebesar 2.996 idv/l, perlakuan A3 sebesar 3.207 idv/l, perlakuan A4 3.631 idv/l, perlakuan B1 2.107 idv/l, perlakuan B2 sebesar 2.813 idv/l, perlakuan B3 sebesar 3.305 idv/l, perlakuan B4 sebesar 4.056 idv/l, dan perlakuan G sebesar 8.452 idv/l. Kelimpahan total fitoplankton tertinggi terdapat pada tambak G yaitu sebesar 84.52 idv/l. Hasil tinggi juga ditunjukan pada perlakuan A4 dan B4, masing-masing sebesar 3.631 idv/l dan 4.056 idv/l (Gambar 8).

Kelimpahan total fitoplankton di tanah atau sedimen menunjukan lebih tinggi dibandingkan dengan kelimpahan di perairan. Hal ini diduga akibat banyaknya penumpukan fitoplankton yang ada di dasar perairan. Kelimpahan tertinggi pada tambak air tawar terdapat pada perlakuan A4 sebesar 203.900 idv/l. Pada tambak air payau, kepadatan tertinggi terdapat pada perlakuan B4 sebesar 202.233 idv/l. Sedangkan tambak pada perlakuan G (306.735 idv/l) menghasilkan kelimpahan total fitoplankton tertingi dibandingkan semua tambak air tawar dan air payau. Kelimpahan total fitoplankton terendah dari masing-masing tambak air tawar dan air payau yaitu perlakuan A1 dan B1 sebesar 132.167 idv/l dan 109.833 idv/l.

Jumlah kelimpahan total fitoplankton di usus dapat menunjukan banyaknya fitoplankton yang dimakan oleh ikan bandeng. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan pemberian pupuk rasio N:P 30 memberikan hasil kelimpahan yang tinggi pada usus ikan bandeng di banding dengan perlakuan lainnya baik untuk tambak air tawar dan air payau. Namun hasil tertinggi terdapat pada perlakuan tambak G yang dikelola petani di Gresik yaitu sebesar 14.089 idv. Kelimpahan tertinggi fitoplankton di perlakuan G disebabkan oleh pemberian pupuk dengan frekuensi yang sering dalam tambak (Tabel 3). Sehingga ketersediaan fitoplankton di perairan dan tanah akan berlimpah.

(44)

30

dipengaruhi oleh masuknya kandungan nutrisi untuk pertumbuhan fitoplankton seperti nitrat, fosfor, dan bahan organik (Fogg et al. 1973).

Penerapan pupuk dengan rasio N dan P yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton, terutama pertumbuhan fitoplankton jenis Cyanophyta Persentase kelimpahan fitoplankton Cyanophyta lebih kecil dibandingkan dengan fitoplankton bukan Cyanophyta. Setiap perlakuan menunjukan hasil persentase Cyanophyta dibawah 50% di tambak air tawar dan tambak air payau, baik kelimpahan fitoplankton yang ada di air, tanah, dan usus (Gambar 9 dan Gambar 10). Persentase kelimpahan Cyanophyta terbesar di tambak air tawar terdapat pada perlakuan G sebesar 49,84% (air), 38,37% (tanah), dan 39,03% (usus). Sedangkan persentase terendah terdapat pada perlakuan A1 sebesar 30,39% (air), 16,59% (tanah) dan 19,80% (usus). Persentase fitoplankton Cyanophyta dengan fitoplankton bukan Cyanophyta ini yang menjadi salah satu indikator ikan tidak berbau lumpur. Semakin rendah persentase Cyanophyta di air, tanah dan usus, kemungkinan ikan mengalami bau lumpur akan semakin kecil. Hal ini juga sebaliknya, jika persentase Cyanophyta semakin besar, maka kemungkinan ikan bau lumpur semakin besar. Hal ini sesuai dengan hasil korelasi antara kelimpahan fitoplankton Cyanopyta di air, Cyanopyta di tanah, Cyanopyta di usus terhadap organoleptik ikan bandeng yang menunjukan nilai negatif (Gambar 25).

Nilai rasio kelimpahan fitoplankton Cyanophyta dengan fitoplankton bukan Cyanophyta di perairan pada perlakuan G (4) di tambak air tawar menunjukan hasil yang paling tingggi yaitu sebesar 0,99 dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 11). Untuk nilai rasio di tanah, perlakuan G (4) juga menjukan hasil yang terbesar dibanding perlakuan lainnya. Namun nilai rasio yang terdapat di usus, nilai rasio tertinggi terdapat pada perlakuan A4 (30) sebesar 1,18. Sedangkan nilai rasio pada tambak air payau menunjukan nilai tertinggi pada perlakuan B4 (30) sebesar 0,46 (air); 0,39 (tanah). Sedangkan nilai rasio tertinggi di usus terdapat pada perlakuan B3 (15) sebesar 0,49.

Hasil perhitungan indek pilihan fitoplankton pada penelitian ini menunjukan bahwa jenis fitoplankton yang cenderung disukai ikan bandeng yaitu genus Oscillatoria sp., Peridinium sp., dan Prorocentrum sp. (Tabel 4). Ketiga jenis fitoplankton ini yang memiliki nilai indek positif terbanyak dibanding dengan nilai indek fitoplankton yang lainnya pada setiap perlakuan. Semakin banyak genus penghasil geosmin dan MIB yang disukai ikan, maka kemungkinan besar ikan akan mengalami bau lumpur. Genus Oscillatoria sp. merupakan fitoplankton yang menghasilkan geosmin dan MIB yang paling disukai oleh ikan bandeng dibanding dengan genus lainnya.

(45)

31

Pemberian pupuk pada tambak budidaya dilakukan untuk menumbuhkan pakan alami berupa fitoplankton. Pemberian pupuk dengan rasio N dan P yang berbeda pada setiap perlakuan memberikan pengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton Cyanophyt dan kandungan MIB/Geosmin. Kelimpahan Cyanophyta di tambak budidaya dapat menyebabkan ikan bau lumpur. Kelimpahan Cyanophyta tertinggi pada penelitian ini adalah perlakuan G sebesar 4.218 idv/L dan terendah pada pada perlakuan B1 sebesar 499 ind/l. Kelimpahan fitoplankton Cyanophyta pada setiap perlakuan tidak mengakibatkan bau lumpur pada ikan bandeng. Van der Ploeg dan Boyd (1991) menyebutkan bahwa perairan budidaya dengan kelimpahan fitoplankton Cyanophyta 11.325.000 idv/L menyebabkan ikan berbau lumpur (Gambar 12).

Ikan bau lumpur disebabkan oleh senyawa kimia yaitu MIB atau Geosmin (Lovell 1983; Johnsen dan Lloyd 1992; Person 1996; Tucker 2000). Pada penelitian ini nilai dugaan geosmin diperoleh dari hasil persamaan regresi Y=1.10-7X+0,0151 (Y= kandungan geosmin, X= kelimpahan Cyanophyta) (van der Ploeg dan Boyd, 1991). Nilai dugaan geosmin di perairan pada perlakuan G sebesar 0,016 ug/L dan perlakuan lainnya sebesar 0,015 ug/l (Gambar 13). Hasil dugaan geosmin ini juga dapat menduga bahwa ikan bandeng pada penelitian ini tidak berbau lumpur selain dari hasil uji organoleptik. Sedangkan perairan budidaya dengan kandungan geosmin 1,3 ug/L menyebabkan ikan berbau lumpur (van der Ploeg dan Boyd, 1991). Proses masuknya MIB atau geosmin ke dalam tubuh ikan melalui penyerapan senyawa tersebut oleh insang yang selanjutnya masuk ke dalam pembuluh darah dan tersimpan dijaringan lemak tubuh (Jüttner 1995; Howgate 2004). Daging ikan yang mengandung >0,7 μg/kg MIB atau geosmin akan menimbulkan bau dan rasa ikan kurang enak dimakan (Johnsen dan Kelly 1990).

Hasil uji organoleptik pada Tabel 6 yang menunjukan respon panelis terhadap kenampakan, bau, rasa, tekstur dan lendir ikan bandeng dengan skor 8 untuk perlakuan A dan B, sedangkan perlakuan tambak G memiliki skor 7. Skor uji organoleptik antara 1 sampai 9. Skor 7 pada tambak G menunjukan bahwa bau dan rasa ikan bandeng kurang segar dan tidak bau lumpur. Sedangkan skor 8 pada perlakuan A dan B yaitu bau dan rasa ikan bandeng segar dan tidak bau lumpur. Nilai skor uji organoleptik bau lumpur pada ikan berkaitan erat terhadap kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di air, Cyanophyta di tanah, dan Cyanophyta di usus. Semakin tinggi kelimpahan kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di air, Cyanophyta di tanah, dan Cyanophyta di usus maka nilai skor uji organoleptik bau lumpur pada ikan akan semakin rendah. Sebaliknya, Semakin kecil kelimpahan kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di air, Cyanophyta di tanah, dan Cyanophyta di usus maka nilai skor uji organoleptik bau lumpur pada ikan akan semakin tinggi. Hal ini juga sesuai dengan hasil korelasi antara kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di air, Cyanophyta di tanah, dan Cyanophyta di usus terhadap nilai organoleptik yang berkorelasi negatif (Gambar 25).

(46)

32

berjenis filum Chlorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut 30ºC-35°C dan 20ºC-30ºC (Gambar 14). Sedangkan filum Cyanophyta lebih dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan Chlorophyta dan diatom (Haslam 1995 dalam Effendi 2003). Suhu perairan budidaya ikan bandeng pada penelitian ini berkisar 31,53oC-34,14oC. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi. Selain itu kecerahan juga dapat dipengaruhi oleh kelimpahan fitoplankton yang ada di perairan. Semakin tinggi kelimpahan fitoplankton maka kecerahan akan semakin menurun. Pada penelitian ini kecerahan tertinggi terdapat pada perlakuan B2 sebesar 37,14 cm dan kecerahan terendah pada perlakuan B4 sebesar 15,85 cm (Gambar 15). Kecerahan pada penelitian ini dipengaruhi oleh kepadatan fitoplankton yang ada di perairan serta kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi dalam perairan.

Dissolved oxygen (DO) menunjukkan banyaknya oksigen terlarut yang terdapat di dalam air yang dinyatakan dalam milligram per liter (mg/L). Oksigen di perairan berasal dari proses fotosintesis dari fitoplankton atau jenis tumbuhan air, dan melalui proses difusi dari udara (APHA 1989). Kandungan DO pada penelitian ini berkisar 5,56 - 5,78 mg/L. Kadar DO berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke dalam badan air. Selain itu semakin tinggi suhu dan salinitas, maka kelarutan oksigen pun semakin berkurang sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar (Effendi 2003).

Nilai pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Karbonat, hidroksida, dan bikarbonat akan meningkatkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam bikarbonat meningkatkan keasaman (Saeni 1989). Kisaran nilai pH pada penelitian ini yaitu 6,31-6,60 untuk perairan tawar (tambak A) dan 7,40-7,73 untuk perairan payau (tambak B) (Gambar 17). Nilai pH dipengaruhi oleh aktivitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme, serta keberadaan ion-ion dalam perairan tersebut. Perubahan pH akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas biologis. Nilai pH yang tinggi akan meningkatkan persentase dari amonia yang tidak terionisasi dan meningkatkan kecepatan pengendapan fosfat di perairan (Boyd 1990). Odum (1971) menyatakan bahwa perairan dengan pH antara 6 – 9 merupakan perairan dengan kesuburan yang tinggi dan tergolong produktif karena memiliki kisaran pH yang dapat mendorong proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam perairan menjadi mineral-mineral yang dapat manfaatkan oleh fitoplankton untuk petumbuhan.

(47)

33

10 ppt akan meningkatkan kelimpahan fitoplankton Cyanophyta di tambak air payau. Hal ini juga mengindikasikan bahwa ikan yang dipelihara pada tambak air payau dapat berpotensi bau lumpur (off-flavours). Lovell dan Broce 1985 melaporkan bahwa udang yang budidaya pada kisaran salinitas 10 ppt sampai 20 ppt terdapat udang bau lumpur.

Nilai N-total di tambak air tawar berkisar 2,99 – 7,03 mg/L. Sedangkan kisaran nilai N-total di tambak air payau yaitu 1,07 – 5,84 mg/L. Kandungan nitrogen di perairan dipengaruhi oleh masuknya bahan yang mengandung nitrogen ke perairan tersebut seperti pemupukan urea dan pakan ikan. Semakin banyak bahan mengandung nitrogen yang masuk ke perairan, maka akan semakin tinggi pula kandungan nitrogen di perairan. Selain itu, proses difusi udara terhadap perairan juga mempengaruhi kandungan nitrogen di perairan. Kandungan nitrogen di perairan akan mengalami penurunan akibat pemanfaatan nitrogen oleh fitoplankton dan tanaman air yang ada di perairan tersebut.

Nilai P-total di tambak air tawar berkisar 3,17 – 6,12 mg/L. Sedangkan nilai P-total di tambak air payau berkisar 0,62 – 5,88 mg/L. Kandungan fosfor di perairan dipengaruhi oleh masuknya bahan yang mengandung fosfor ke perairan tersebut seperti pemupukan fosfor (pupuk SP) dan pakan ikan. Semakin banyak bahan mengandung fosfor yang masuk ke perairan, maka akan semakin tinggi pula kandungan fosfor di perairan. Kandungan fosfor di perairan akan mengalami penurunan akibat pemanfaatan fosfor oleh fitoplankton dan tanaman air. Kandungan fosfor di perairan pada umumnya relatif sedikit. Hal ini karena sebagian besar fosfor yang masuk ke tambak akan diserap oleh sedimen tanah (Maitland 1990; Boyd dan Tucker 1998).

Fitoplankton sangat membutuhkan nutrisi dalam pertumbuhan dan perkembangannya di perairan. Nutrisi terpenting dalam mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton yaitu nitrogen (N) dan fosfor (P). Perbandingan atau rasio N dan P di perairan juga dapat mempengaruhi jenis dan kelimpahan fitoplankton tertentu. Pada penelitian ini nilai rasio N dan P di perairan tidak sama seperti pemberian perlakuan pupuk N dan P (Gambar 19). Hal ini karena pupuk yang masuk ke dalam peraian secara langsung akan dimanfaatkan oleh fitoplankton utuk pertumbuhan dan sebagian mengendap di sedimen tambak. Hasil yang tertinggi bagi pertumbuhan fitoplankton yaitu pada perlakuan tambak G sebesar 8.452 idv/L dengan rasio N dan P sebesar 1,1 di perairan. Hasil ini sangat berbeda pada perlakuan tambak A dan B. Pada tambak A (air tawar) pertumbuhan fitoplankton tertinggi terdapat pada perlakuan A4 sebesar 3.631 idv/l dengan rasio N:P 1,53 di perairan. Sedangkan pertumbuhan terendah tedapat pada perlakuan A1 sebesar 2.419 idv/L dengan rasio N:P 1,13. Hal serupa untuk hasil pertumbuhan pada tambak B (air payau). Pertumbuhan fitoplankton tertinggi terdapat pada perlakuan B4 sebesar 4.056 idv/l dengan rasio N:P 1,69 di perairan. Sedangkan pertumbuhan terendah tedapat pada perlakuan B1 sebesar 2.107 idv/L dengan rasio N dan P 1,11. Korelasi rasio N:P di perairan terhadap kelimpahan fitoplankton Cyanophyta yaitu berkorelasi positif (Gambar26). Semakin besar nilai rasio N:P di perairan, maka semakin tinggi kelimpahan kelimpahan fitoplankton Cyanophyta.

Gambar

Gambar 1 Skema perumusan masalah penelitian
Tabel  1 Konsentrasi berbagai unsur yang terkandung di air laut, air tawar dan fitoplankton
Gambar 3 Siklus nitrogen (Boyd 1990)
Gambar 4 Siklus fosfor (Boyd 1990)
+7

Referensi

Dokumen terkait

43 Dari uraian tersebut, menunjukkan bahwa pada pemeriksaan akhir setelah perlakuan (hari ke-8) terjadi penurunan kadar ALT pada kelompok P1 dan kelompok P2 yang diberi

Che Zanariah dan Fadzilah (2011) dalam kajian mereka melihat sikap pelajar yang lebih kepada pembelajaran berpusatkan guru akan mengalami kesukaran untuk membentuk perenggan

Makalah ini bertujuan untuk (1) membahas secara psikologis hubungan antara problematic internet use dengan social anxiety dan perasaan loneliness (2) upaya apa yang

Jika otot yang memendek tetap dibiarkan, pola jalan seseorang akan ikut berubah .  Dalam studi kasus ini peneliti sudah menemukan mahasiswa bukan atlet yang mengalami

Berdasarkan hasil dari perencanaan, perancangan, pembuatan, implementasi program dan penjelasan dari bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa multimedia interaktif ini

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran bagi peneliti lain tentang good corporate governance yang diterapkan perusahaan berpengaruh terhadap

Hasil belajar siswa sebelum tindakan (skor dasar) dengan nilai rata-rata 58,54 kemudian mengalami peningkatan pada siklus I setelah penerapan model inkuiri dengan

Yusriyah dan Agustini (2014) menyatakan bahwa susu sapi memiliki kandungan laktosa yang tinggi sehingga penambahan starter konsentrasi rendah mengakibatkan perombakan