• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN JARING GARUK KERANG YANG DILARANG (Studi Putusan PN No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN JARING GARUK KERANG YANG DILARANG (Studi Putusan PN No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN

JARING GARUK KERANG YANG DILARANG (Studi Putusan PN No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)

Oleh Venti Azharia

Pelaku tindak pidana yang menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang diputus pengadilan melanggar Undang-Undang No 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK yang menjatuhkan vonis penjara dan denda kepada pelaku penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang. Permasalahan dalam penelitian ini yang perlu diketahui adalah bagaimana penegakan hukum pidana serta bagaimana faktor penghambat penegakan hukum pidana dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang dgunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan, dan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data diperoleh melalui wawancara secara langsung serta menggunakan pedoman tertulis terhadap responden yang telah ditentukan.

(2)

Berdasarkan kesimpulan tersebut maka saran penulis adalah 1. Para penegak hukum yaitu Kepolisian Perairan, Kejaksaan, dan Hakim harus melaksanakan perannya masing-masing dengan baik serta meningkatkan kinerja dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang agar dapat terlaksananya penegakan hukum yang maksimal; 2. Sebaiknya aparat penegak hukum lebih memperhatikan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan, menjalin kerjasama antara masyarakat dan aparat penegak hukum untuk mensosialisasikan bahaya penggunaan alat penangkapan ikan yang dilarang serta mensosialisasikan Undang-Undang tentang Perikanan agar masyarakat mengetahui aturan yang terdapat di dalamnya.

(3)

(Studi Putusan PN No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)

Oleh

VENTI AZHARIA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, pada tanggal 05 April 1992, anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Muslim M. Nur dan Ibu Sri Indarsih, S.Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Kartika Jaya, Bandar Lampung pada tahun 1998. Sekolah Dasar (SD) di SD Kartika Jaya II-5, Bandar Lampung pada tahun 2004, kemudian melajutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 8 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2007 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2010.

(7)

MOTO

Bismillahirrohmanirrohim

Wamanjaahada fainnamaa yujaahidu linafsihi innallaha laghoniun anil alamin Barangsiapa sungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu

adalah untuk dirinya sendiri. (Qs. Al

Ankabut

:6)

Kerjakeras, pantang menyerah dan bersungguh-sungguh akan kemampuan serta usaha diri sendiri kelak akan menuai hasil yang memuaskan.

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT ,atas rahmat dan hidayahnya,maka dengan

ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerihpayah, aku persembahkan

sebuah karya nan kecil ini kepada :

Ayahku Muslim M. Nur dan Ibuku Sri Indarsih yang kusayangi dan juga kucintai,

Nenek-neneku Kakek-kakekku yang kuhormati.

Terima kasih telah memberikan dukungan,

Cinta dan kasih sayang, serta mengiringi

Dengan do’a demi keberhasilanku.

Adik-adikku tersayang Fakhri Muslidar dan Widya Febi Nandita

dan seluruh keluarga besarku om-omku, tante-tanteku

dan sepupu-sepupuku yang selalu

Mendo’akanku serta memberi bantuan dalam segala hal dalam menggapai cita-cita

Sahabat-sahabatku, terimakasih atas kebersamaan

Dan kesetiaannya selama ini

Almamaterku Universitas Lampung

(9)

SANWANCANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul : “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggunaan Alat

Penangkapan Ikan Jaring Garuk Kerang yang Dilarang (Studi Putusan PN

Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)”.

Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dorongan, bantuan, arahan serta masukan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(10)

penulisan skripsi ini.

6. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah memberikan masukan, arahan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak A. Irzal F, S.H., M.H, selaku Pembahas II yang telah memberikan masukan, arahan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen pengajar, Staf Administrasi maupun karyawan-karyawan di bagian Fakultas Hukum Universitas Lampung, terimakasih atas bantuannya.

9. Kepada Hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bapak Akhmad Suhel, S.H yang memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan penelitian. 10. Kepada Jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Ibu Elis Mustika, S.H yang

telah memberikan kesempatan pada penulis dalam penelitian ini.

11.Kepada Kepala Subdit Gakkum Polisi Air di Polda Lampung, Bapak AKBP. Eko Supriadi, S.H., M.H. yang memberikan kesempatan dan membantu dalam penelitian ini.

12.Kepada Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila.

(11)

materil, moril serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

15.Sahabat-sahabat terbaikku amatir: Muthia Firda Sari, S.H, Sekar Pramudhita, S.H, Zakia Tiara. F, SH, Ramita Rizka. A, dan Chandre Eka Pratwi, S.H atas semua keriangan dan kebersamaan selama kuliah dan Lucky Ernando yang selalu ada dalam susah maupun senang serta selalu memberikan motivasi serta dukungan untuk dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

16.Teman-teman SMA, Chintia walaupun jauh di Malaysia tetap memberikan

semangat dan do’anya, tetap semangat untuk skripsinya semoga cepat wisuda

serta Dania yang selalu memberikan dukungan dan do’a.

17.Pelatihku di Karate KKI Saburai Devi Susanti dan April Naldo serta teman-teman karate seperjuanganku Dima, Jose, Rian, Ridho, Endro dan Muliawan yang banyak membantu serta memberikan semangat agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

18.Rekan-Rekan KKN Desa Rusaba, Punduh Pedada, Kab. Pesawaran, Rianzar, Citra, Anis, Agung, Feri, Fachreza, Aristo dan Uly. Terima kasih atas doanya, pengalaman tak terlupakan selama 40 hari bersama kalian akan selalu tersimpan dalam hati.

19.Almamater tercinta, Universitas Lampung yang telah menghantarkanku menuju keberhasilan.

(12)

Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga hasil skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bandar Lampung, September 2014 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup... 7

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tindak Pidana Perikanan ... 17

B.Tindak Pidana Menggunakan Alat Penangkap Ikan yang dilarang... 24

C.Penegakan Hukum Pidana... 31

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 41

B.Sumber Data dan Jenis Data... 42

C.Penentuan Narasumber... 43

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 44

(14)

A. Karakteristik Responden ... 46 B. Gambaran Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang

Putusan No:237/Pid.Sus/2013/PN.TK... 47 C. Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana

Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Jaring Garuk Kerang yang dilarang Berdasarkan Putusan

No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK ... 49 D. Faktor Pengahambat Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku

Tindak Pidana Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Jaring Garuk Kerang yang dilarang Berdasarkan Putusan

No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK ... 56

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 65 B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA

(15)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan dan peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan nasional. Karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia dan umat manusia pada umumnya untuk sekarang dan di masa yang akan datang.1 Contoh sumber daya alam hayati laut yang harus dikelola dan dimanfaatkan dengan baik adalah kerang.

Kerang merupakan hewan air yang termasuk hewan bertubuh lunak (moluska). Pengertian kerang bersifat umum dan tidak memiliki arti secara biologi namun penggunaannya luas dan dipakai dalam kegiatan ekonomi. Dalam pengertian paling luas, moluska dengan sepasang cangkang, dengan pengertian ini lebih tepat orang menyebutnya kerang-kerangan dan sepadan dengan arti clam yang dipakai di Amerika. Contoh pemakaian seperti ini dapat dilihat pada istilah “kerajinan

kerang”. Kata kerang dapat pula berarti semua kerang-kerangan yang hidupnya

menempel pada suatu obyek.2 Cara pengambilan kerang sangat mudah, yaitu

1

M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukun Lingkungan

Indonesia,PT. Alumni, Bandung, 2001, hlm. 96

2

(16)

dengan menggunakan alat jaring yang dijatuhkan ke dasar laut lalu ditarik dengan menggunakan mesin kapal, sama seperti pengambilan ikan pada umumnya. Masyarakat yang tinggal di daerah pantai memanfaatkan kerang sebagai mata pencaharian sehari-hari karena kerang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik, karena semakin banyak peminat pengambilan kerang dan banyak yang ingin mengeksploitasi nilai ekonomis dari kerang tersebut untuk mencari keuntungan, ada sebagian orang menggunakan cara yang salah dengan memakai alat penangkapan kerang yang dilarang yang tidak memiliki izin dari pemerintah. Perbuatan seperti ini mengakibatkan kerusakan pada ekosistem kerang dan semua ekosistem yang ada di laut bahkan mengalami kelangkaan hingga kepunahan.

(17)

Penegakan hukum itu sendiri merupakan ultimum remedium atau upaya hukum terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman penjara atau denda, jadi penegakan hukum pidana tidak berfungsi untuk memperbaiki lingkungan yang tercemar. Penegakan hukum pidana ini dapat menimbulkan faktor penjara (detterant factor) yang sangat efektif, oleh karena itu dalam praktiknya penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara selektif.3

Undang-Undang yang mengatur tentang Perikanan diantaranya yaitu:

1. Undang-Undang No 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

2. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Salah satu objek penelitian yang akan dibahas yaitu mengenai penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang, pada Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK. Dalam putusan menjelaskan bahwa pada hari kamis tanggal 14 Februari 2012 sekira pukul 23.00, terdakwa selaku Nahkoda kapal (Misni Bin Samiran ) beserta 6 (enam) orang anak buah kapal (ABK) yaitu saksi Triyono, Sugandi, Edi, Widodo, Catur dan Siong berangkat berlayar dari Kuala Penat Lampung Timur

3

(18)

menuju ke perairan Tulang Bawang dengan menggunakan kapal KM. Indosiar dengan membawa garuk kerang yang terbuat dari besi yang berukuran 2 meter untuk melakukan penangkapan kerang, dan sekira pukul 03.00 Wib sampai di

perairan Tulang Bawang dan beristirahat jangkaran, selanjutnya pada hari Jum’at

tanggal 15 Februari 2012 sekira pukul 07.00 WIB garuk kerang yang terbuat dari besi tersebut yang berada di buritan kapal mulai diturunkan oleh terdakwa talinya diulur sampai masuk kedasar laut.

Jaring garuk tersebut ditarik sehingga semua kerang maupun ikan yang berada di sekitar jaring garuk tersebut bahkan lumpur dan pasirpun terangkat masuk kedalam jaring garuk dan setelah dirasa berat atau penuh hasil tangkapannya, jaring garuk kerang tersebut diangkat dengan menggunakan mesin dengan cara ditarik. Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan terdakwa berkali-kali dan hasil penangkapannya mendapat kerang bulu sebanyak 60 karung dengan berat sekitar 3 ton.

Pada hari itu pula pukul 11.00 WIB saat kapal posisi koordinat 4’51 “29.25” S-

105’54”20/11”T ditengah-tengah perairan laut Tulang Bawang yang sedang

(19)

Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 85 jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 85 menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa,dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantupenangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 45 Ayat (1) menyatakan bahwa barang bukti berupa kerang tersebut akan dilakukan jual lelang, namun karena berdasarkan pemeriksaan berupa laporan hasil uji Dinas Kelautan dan Perikanan bahwa kerang tersebut sudah mengalami kemunduran mutu dan tidak layak untuk di konsumsi, sehingga kerang tersebut akhirnya dimusnahkan dengan dibuang kelaut.

Putusan tersebut telah sesuai berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 85 yaitu terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja bersama-sama menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang.

(20)

Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) .

Dilihat dari kasus di atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dengan menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang dari sisi penegakan hukumnya pelaku dijatuhkan hukuman 1 (satu) tahun penjara dan denda Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/MEN/2011 bahwa diseluruh perairan WPPNRI (wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia) jaring garuk kerang tidak dikeluarkan perijinannya, penggunaan alat ini dilarang karena merusak sumber daya ikan, mengakibatkan kerusakan terhadap perkembangan kerang yang diakibatkan kerang yang tidak terangkat akan mati sehingga lama kelamaan kerang menjadi punah.

(21)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesainnya secara ilmiah. Beberapa masalah tersebut sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang? (Studi Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)

b. Bagaimanakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang? (Studi Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)

2. Ruang Lingkup

(22)

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang.

b. Mengetahui faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

a. Kegunaan Teoritis

Diharapkan dapat menjadi sumbangan dalam pengkajian ilmu hukum mengenai penegakan hukum pidana menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang dan dapat menjadi pengetahuan awal untuk penelitian lebih lanjut.

b. Kegunaan Praktis

(23)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil penelitian atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan upaya menyelaraskan nilai-nilai hukum dengan merefleksikan di dalam bersikap dan bertindak di dalam pergaulan, demi terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan keadilan dengan menerapkan sanksi-sanksi.5

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksana keputusan-keputusan hakim. Pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, sebab pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malah mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.6

4

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1986, hlm. 25 5

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hlm. 226 6

(24)

Penegakan hukum dalam arti luas (meliputi segi preventif dan represif), cocok dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintah turut aktif meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, oleh karena itu penanggulangannya pun beraneka ragam, mulai dari penerangan hukum sampai pada penerapan sanksi.7

Dalam kerangka penegakan hukum, khusus penegakan hukum pidana terdiri dari tiga tahap, yaitu:8

1. Tahap formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstacto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskan dalam bentuk peraturan undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangn pidana yang baik. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan legislasi.

2. Tahap aplikasi, tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisisan, kejaksaan, hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundangan pidana yang dibuat oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan tugas aparat penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai keadilan dan manfaat. Tahap kedua ini disebut tahap kebijakan yudikatif.

7

Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 49. 8

(25)

3. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan aturan yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan.

Menurut Joseph Golstein, penegakan hukum dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian yaitu:9

1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (Total Enforcement Concept) yaitu dimana ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crimes). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum termasuk Kepolisian dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan, selain itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan (klacht delicten) sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan.

2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (Full Enforcement Concept)

yaitu dalam ruang lingkup ini para penegak hukum termasuk Polri tidak bisa diharapkan menegakkan hukum secara maksimal karena adanya berbagai keterbatasan, baik dalam bentuk waktu, sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusia, perundang-undangan dan sebagainya sehingga mengakibatkan dilakukannya discretions. Sehingga menurut Joseph Golstein , yang tersisa adalah Actual Enforcement.

9

(26)

3. Konsep penegakan aktual (Actual Enforcement Concept) muncul setelah diyakini adanya deskripsi dalam penegakan hukum, karena kepastian baik yang terkait dengan sarana-prasarana, kualitas SDM, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan untuk terjadinya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum termasuk Kepolisian. Sebagai contoh misalnya penyimpangan terhadap hak-hak tersangka dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Penegakan hukum dalam tindak pidana perikanan ini harus diperhatikan, khususnya tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang, dikarenakan tindak pidana tersebut sangat mudah dilakukan demi mencapai keuntungan berlebih dengan menggunakan cara-cara yang salah, sehingga mengakibatkan kerusakan serta kepunahan ekosistem yang ada di laut.

(27)

Adapun faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang, menggunakan teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah sebagai berikut:10

a. Faktor Undang-undang

b. Faktor Penegak hukum

c. Faktor Sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum

d. Faktor Masyarakat

e. Faktor Kebudayaan

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan dan diteliti.11

Sumber konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa. Konsep ini akan menjelaskan pengertian pokok dari judul penelitian, sehingga mempunyai batasan yang tepat dalam penafsiran beberapa istilah, hal ini dimaksudkan utuk menghindari kesalah pahaman dalam melakukan penelitian.

Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan proposal ini adalah sebagai berikut:

10

Sorejono Soekanto,Op. Cit., hlm 5 11

(28)

a. Penegakan Hukum Pidana adalah merupakan ultimum remedium atau upaya hukum terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman penjara atau denda.12

b. Pelaku Tindak Pidana adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dihukum.13

c. Alat Penangkapan Ikan yang dilarang menurut Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang dilarang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau, alat penangkapan ikan yang dilarang.

d. Jaring Garuk adalah satu-satunya alat yang digunakan untuk mengumpulkan kerang. Alat tangkap ini dikelompokkan kedalam penggaruk atau dredge gear . Konstruksi garuk sangat sederhana, karena hanya terdiri atas kerangka besi berbentuk segitiga yang berfungsi sebagai mulut masuk dan kantong yang terbuat dari jaring sebagai penampung kerang.14

12

Sukanda Husin, Op. Cit., 2009, hlm.121

13

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990, hlm. 599

14

(29)

E. Sistematika Penulisan

Agar lebih memperjelas serta mempermudah dalam penulisan skripsi ini maka dibuat suatu sistematika penulisan, yaitu sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang tentang penegakan hukum pidana, permasalahan, perumusan masalah, tujuan, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Yaitu mengenai tinjauan umum tentang penegakan hukum pidana. Bab ini diuraikan menjadi bebrapa sub bab, yang diantaranya mengenai, tindak pidana perikanan , tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang, penegakan hukum , penegakan hukum pidana dan faktor penghambat penegakan hukum.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang menjelaskan mengenai langkah yang akan digunakan dalam pendekatan masalah, sumber data, metode pengumpulan dan pengolahan data, dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(30)

V. PENUTUP

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Tindak Pidana Perikanan

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkrit. Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.15 Perikanan adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan.16 Banyak masyarakat menyalahgunakan kegiatan perikanan menjadi suatu keuntungan bagi diri mereka sendiri tanpa memikirkan ekosistem laut, misalnya dengan menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang yang mengakibatkan kerusakan ekosistem laut. Kini tindak pidana perikanan menjadi sorotan masyarakat akibat maraknya tindak pidana mengenai perikanan. Contoh

15

Tri Andrisman, Op.Cit, hlm 70

16

(32)

tindak pidana perikanan adalah penangkapan ikan dengan alat yang dilarang, pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal serta masih bnyak lagi kasus yang lainnya. Di Indonesia, menurut Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1985 dan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004, kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.17

Bisnis perikanan tersebut sering terjadi suatu tindak pidana perikanan, tindak pidana perikanan mengacu berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah dicantumkan beberapa pasal yang mengatur tentang tindak pidana (delik) di bidang perikanan. Ada 2 (dua) kategori mengenai tindak pidana perikanan yaitu kategori pelanggaran dan kategori kejahatan.18 Hakim yang akan mengadili pelanggaran dibidang perikanan juga khusus, yaitu hakim ad hoc yang terdiri atas dua hakim ad hoc dan satu hakim karier. Pemeriksaan pengadilan dapat dilakukan secara in absentia. Begitu pula penahanan diatur secara khusus. Ada 17 buah pasal yang mengatur rumusan delik perikanan dari Pasal 84 sampai dengan Pasal 100. Pasal 84 Ayat (1) mengenai penangkapan dan budi daya ikan tanpa izin dengan ancaman pidana penjara maksimum 6 tahun dan denda maksimum 1,2 miliar rupiah. Ayat (2) pasal itu menentukan subjek nakhoda atau pemimpin perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya,

17

Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia, Sinar Grafika Offset, 2011, hlm.68

18

(33)

dengan ancaman pidana yang lebih berat, yaitu maksimum 10 tahun penjara dan denda 1,2 miliar rupiah.

Di dalam Pasal 84 Ayat (1) itu menyebut subjek pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan melakukan hal yang sama pada Ayat (2) dengan ancaman pidana penjara 10 tahun sama dengan Ayat (2) tetapi dengan denda yang lebih tinggi, yaitu dua miliar rupiah. Ayat (4) pasal itu menyebut subjek pemilik perusahaan pembudidayaan ikan , kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan /atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggug jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan menggunakan bahan kimia dan seterusnya sama dengan Ayat (3) dengan ancaman pidana sama, yaitu 10 tahun dan denda juga sama Ayat (3).

(34)

Pasal 86 Ayat (1) mengenai pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya dengan ancaman pidana maksimum 10 tahun penjara dan denda maksimum dua miliar rupiah. Pasal 86 Ayat (2) mengenai pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia, dengan ancaman pidana maksimum enam tahun penjara dan denda maksimum satu miliar lima ratus juta rupiah. Pasal 86 Ayat (3) mengenai pembudidayaan hasil ikan rekayasa gentika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia, dengan ancaman pidana maksimum enam tahun penjara dan denda maksimum satu miliar lima ratus juta rupiah. Pasal 86 Ayat (4) mengenai penggunaan obatan-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia, dengan ancaman pidana yang sama dengan Ayat (3).

(35)

Pasal 89 mengenai setiap orang yang melakukan penanganan dan pengelolaan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 90 mengenai setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebgaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana paing lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 91 mengenai setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

(36)

(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 93 Ayat (1) mengenai setiap orang yng memiliki dan /atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, dan tidak memiliki SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 93 Ayat (2) mengenai setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

(37)

Pasal 36 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 97 Ayat (1) mengenai nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 97 Ayat (2) mengenai nahkoda yang mengoperasikan kapal penngkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEE yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 97 Ayat (3) mengenai nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan yang berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikana Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(38)

perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 100 mengenai setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 101 mengenai dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 Ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96 dilakukan oleh koorporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.19

B. Tindak Pidana Menggunakan Alat Penangkapan Ikan yang Dilarang

Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Perikanan alat penangkapan ikan yang dilarang adalah alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang.

19

(39)

Tabel 1: Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Pada Jalur Penangkapan Ikan

ALAT PENANGKAPAN IKAN KAPAL

(40)

Sumber: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 3.3 Pukat hela kembar berpapan

(Otter

4.1 Penggaruk berkapal (Boat dredges)

(41)

Berdasarkan tabel di atas disebutkan bahwa alat penangkapan ikan yang diperbolehkan diantaranya yaitu Pukat Ikan S.Malaka Pukat Ikan di luar S. Malaka, Pukat Udang , Purse Seine PK/PB, Gill Net, Tuna Long Line, Pukat Hela Kaltim Bagian Utara, Gill Net ZEEI, maka pemerintah melarang penggunaan alat penangkapan ikan selain alat-alat yang terdapat pada tabel di atas.20

Ketentuan Baru Alat Penangkapan Ikan:

1. PERMEN. KP Nomor. PER.06/MEN/2008 Tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela Di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara. Pukat Hela adalah alat penangkap ikan terbuat dari jaring berkantong yang dilengkapi dengan atau tanpa alat pembuka mulut jaring dan pengoperasiannya dengan cara dihela di sisi atau di belakang kapal yang sedang melaju.

2. PERMEN. KP Nomor. PER.08/MEN/2008 Tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Jaring Insang (Gill Net) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Gillnet adalah alat penangkapan ikan yang jaring yang berbentuk empat persegi panjang dilengkapi dengan pelampung, pemberat, tali ris atas dan tali ris bawah atau tanpa tali ris bawah untuk menghadang ikan sehingga ikan tertangkap dengan cara terjerat dan atau terpuntal dioperasikan di permukaan, pertengahan dan dasar secara menetap, hanyut dan melingkar dengan tujuan menangkap ikan pelagis dan demersal.

20

(42)

Salah satu ketentuan tentang penggunaan alat penangkapan ikan adalah yang tercantum dalam lampiran SIPI adalah ketentuan ketika kapal sedang beroperasi yang terdiri dari :

1. Jenis Alat Penangkapan Ikan yang digunakan:

a. Ukuran dimensi Utama Dari Alat Penangkapn Ikan.

b. Daerah Penangkapan (Fishing Ground).

2. Beberapa alat penangkapan ikan dan cara pengoperasiannya yang dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan maupun dalam Keputusan Presiden dan atau Keputusan Menteri.

3. Larangan terhadap penggunaan bahan peledak, bahan beracun, dan aliran listrik berdasarkan Pasal 8 Ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau yang dapat membahayakan kelestarian SDI dan atau lingkungannya di WPPNRI.

(43)

Pasal 8 Ayat (3) menyatakan bahwa pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan atau operator kapal perikanan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangun yang dapat merugikan dan/atau yang dapat membahayakan kelestarian SDI dan atau lingkungannya di WPPNRI.

Pasal 9 menyatakan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan atau menggunakan dikapal penangkap ikan di WPPNRI:

a. Alat penangkapan ikan dan atau alat bantu penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan

b. Alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu; dan atau

c. Alat penangkapan ikan yang dilarang: Pasal 12 Ayat (1) : Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan sumberdaya ikan dan atau lingkungannya di WPPNRI.

4. Larangan Penggunaan Jaring trawl

(44)

jaring trawl dikurangi jumlahnya, sehingga seluruhnya tinggal menjadi 1000 (seribu) buah.

Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980; bahwa Presiden RI mengintruksikan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 di seluruh Indonesia tidak lagi terdapat kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl.21

Tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 85 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Atas dasar hal tersebut maka setiap tersangka yang melakukan tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang akan diberikan sanksi berupa denda atau sanksi pidana sesuai ketentuan dari hakim.

21

(45)

C. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement, bahasa Belanda

rechtshandhaving.22 Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan

hubungan-hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan menilai yang mantap dan sikap tidak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan social engineering, memelihara dan mempertahankan

social control kedamaian pergaulan hidup.23

Dalam kerangka penegakan hukum, khusus penegakan hukum pidana terdiri dari tiga tahap, yaitu:24

1. Tahap formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstacto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskan dalam bentuk peraturan undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangn pidana yang baik. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan legislasi.

2. Tahap aplikasi, tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisisan, kejaksaan, hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundangan pidana yang dibuat oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam

22

Andi Hamzah, Loq. Cit., hlm 48 .

23

Soerjono Soekanto, Loq. Cit., hlm. 5

24

(46)

melaksanakan tugas aparat penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai keadilan dan manfaat. Tahap kedua ini disebut tahap kebijakan yudikatif. 3. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan hukum pidana secara konkret oleh

aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan aturan yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan.

Penegakan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya hukum terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman penjara atau denda, jadi penegakan hukum pidana tidak berfungsi untuk memperbaiki lingkungan yang tercemar, akan tetapi penegakan hukum pidana ini dapat menimbulkan faktor penjara (detterant factor) yang sangat efektif. Praktiknya penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara selektif dan penjatuhan sanksi pidana terhadap pencemar dan perusak lingkungan hidup dari sisi hubungan antara negara dan masyarakat adalah sangat diperlukan karena tujuannya adalah untuk menyelamatkan masyarakat (social defence) dan lingkungan hidup dari perbuatan yang dilarang (verboden) dan perbuatan yang diharuskan atau kewajiban (geboden) yang dilakukan oleh para pelaku pembangunan. Secara khusus penghukuman dimaksud bertujuan untuk:

1. Mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah.

2. Mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar.25

25

(47)

Ketentuan hukum pidana dalam UUPLH yang baru tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemran dan/atau perusakan (generic crimes) atau delik

materiel sebagaimana diatur dalam pasal 98 Ayat (2), (3) dan (108), akan tetapi

mengatur juga perbuatan pelepasan, pembuangan zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun, serta mengelola B3 tanpa izin (specific crimes) atau delik formil sebagaimana diatur dalam pasal 98 Ayat (1), 99 Ayat (1) sampai 109. Menurut Mas Achamd Santosa untuk memahami generic crimes dan specific

crimes diatas, maka keduanya harus dikaitkan dengan seberapa jauh kedua crimes

ini memiliki ketergantungan dengan hukum administrasi (administrative

rules/laws).26

Generic crime yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana penjara

paling lama 10 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 500.000.000,00. Jika perbuatan seperti itu menimbulkan kematian, ancaman hukumannya adalah 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp 750.000.000,00. Untuk generic crime yang dilakukan karena kelalaian, ancaman hukumannya adalah 3 tahun penjara dan denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00. Apabila perbuatan ini menimbulkan kematian, pelakunya dapat di ancam pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 150.000.000,00. 27

Delik formil (specific crimes) diartikan sebagai perbuatan yang melanggar aturan-aturan hukum administrasi. Delik formil dikenal juga sebagai Administrative

Dependent Crimes (selanjutnya disingkat ADC). Tindak pidana atau delik yang

diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPLH diklasifikasikan sebagai generic crimes,

26

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm. 217

27

(48)

untuk membuktikan kesalahan pelaku tidak memerlukan pembuktian pelanggaran

“aturan-aturan hukum administrasi” seperti izin.

Persyaratan minimum dari pembuktian delik ini adalah pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Specific crime diatur dalam Pasal 43 dan 44, kedua pasal ini mengisyaratkan adanya pelanggaran peraturan administrasi untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada pelakunya. Specific crime yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 6 tahun dan denda maksimum sebesar Rp 300.000.000,00. Specific crime yang dilakukan karena kelalaian diancam pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling tinggi sebesar Rp 100.000.000,00.28

Apa yang diartikan orang selama ini sebagai penegak hukum (law enforcement) seperti halnya tertuju pada adanya tindakan represif dari aparat penegak hukum dalam melakukan reaksi tugas terhadap penindakan pelaku kriminal. Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu sangatlah sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum seakan menjadi tanggungjawab aparat hukum semata, padahal tidak demikian halnya, oleh karena penegakan hukum konteksnya luas termasuk tanggungjawab setiap orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum

(perzoonlijk) melekat kewajiban untuk menegakkan hukum.

Bagi orang awam, penegakan hukum semata hanya dilihat sebagai tindakan represif dari aparat hukum, tindakan di luar aparat hukum hanya dipandangnya sebagai partisan hukum, misalnya tindakan informative terhadap aparat hukum adanya peristiwa hukum atau gejala akan terjadinya peristiwa hukum. Sebenarnya

28

(49)

penegakan hukum dalam konteks yang luas berada pada ranah tindakan, perbuatan atau prilaku nyata atau faktual yang bersesuaian dengan kaidah atau norma yang mengikat, Namun demikian dalam upaya menjaga dan memulihkan ketertiban dalam kehidupan sosial maka pemerintahlah actor security.Pelaksanaan hukum sangat penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, karena tujuan hukum terletak pada pelaksanaan hukum tersebut. Ketertiban dan ketentraman hanya dapat diwujudkan jika hukum dilaksanakan, dan sebaliknya jika hukum tidak dilaksanakan maka peraturan hukum itu hanya menjadi susunan kata-kata yang tidak bermakna dalam kehidupan masyarakat.

Penegakan hukum sebagai usaha semua kekuatan bangsa, menjadi kewajiban kolektif semua komponen bangsa, dan merupakan ralat bahwa hukum hanya boleh ditegakkan oleh golongan-golongan tertentu saja, antaralain:29

1. Aparatur negara yang memang ditugaskan dan diarahkan untuk itu seperti polisi, hakim, dan jaksa, yang dalam dunia hukum disebut secara ideal sebagai

the three musketers atau tiga pendekar hukum, yang mempunyai fungsi

penegakan dengan sifat yang berbeda-beda akan tetapi bermuara pada terciptanya hukum yang adil, tertib, dan bermanfaat bagi semua manusia. Polisi menjadi pengatur dan pelaksana penegakan hukum didalam masyarakat, hakim sebagai pemutus hukum yang adil sedangkan jaksa adalah institusi penuntutan negara bagi para pelanggar hukum yang diajukan polisi.

2. Pengacara yang memiliki fungsi advokasi dan mediasi bagi masyarakat baik yang bekerja secara individual ataupun yang bergabung secara kolektif melalui

29

Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum

(50)

lembaga-lembaga bantuan hukum, yang menjadi penuntun masyarakat yang awam hukum, agar dalam proses peradilan tetap diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kehormatan, hak, dan kewajiban, sehingga putusan hakim akan mengacu pada kebenaran, keadilan yang dilandasi penghormatan manusia atas manusia.

3. Para eksekutif yang bertebaran di berbagai lahan pengabdian sejak dari pegawai pemerintah yang memiliki beraneka fungsi dan tugas kewajiban sampai kepada para penyelenggara yang memiliki kekuasaan politik (legislatif).

4. Masyarakat pengguna jasa hukum yang kadang-kadang secara ironi menjadi masyarakat pencari keadilan.

Hukum pidana juga mempunya bagian-bagian, yang sekarang ini muncul suatu bagian baru yang dapat disebut hukum pidana lingkungan, seperti juga hukum pidana ekonomi, hukum pidana pajak dan sebagainya, banyak orang Indonesia menginginkan agar Undang-Undang lingkungan hidup juga dimasukkan kedalam UUPTE 1955, agar memudahkan penegakan hukum lingkungan khususnya dari segi kepidanaanya.30

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan

30

(51)

pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

1. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya.

2. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya.

3. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya.

Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata, namun selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya.

(52)

hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Ada tiga fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu:

1. Pembuatan hukum („the legislation of law’ atau „law and rule making’)

2. Sosialisasi penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and

promulgation of law)

3. Penegakan hukum (the enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of

law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata

administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit, misalnya dapat dipersoalkan sejauh mana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara

(beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran

dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.

(53)

pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.31 Dalam pelaksanaan penegakan hukum terdapat kendala-kendala yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan penegakan hukum, diantaranya faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah: 32

1. Faktor hukumnya sendiri (Perundang-Undangan)

Praktek penyelenggara hukum di lapangan sering kali terjadi kontradiksi antara hukum dan keadilan, hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian keadilan merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

2. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum adalah mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung dibidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law

enforcement, akan tetapi juga peace maintenance.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, maka tidak mungkin

31

http://jimly.com/../penegakan_hukum.pdf (diakses tanggal 11 maret, pukul 12.30 WIB )

32

(54)

penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar dan menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peran yang aktual.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum di mana peraturan hukum berlaku atau diterapkan. Bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.

5. Faktor Kebudayaan

(55)

III. METODE PENELITIAN

Metode ini merupakan suatu bentuk atau cara yang dipergunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian guna mendapatkan, mengelola, dan menyimpulkan data yang dapat memecahkan suatu permasalahan.33 Penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan mendeskripsikan dari bahan-bahan pustaka yang berupa literatur dan perundang-undangan dan perjanjian yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

A.Pendekatan Masalah

Membahas permasalahan skripsi ini, penulis menggunakan dua macam pendekatan masalah yaitu pendekatan secara normatif dan empiris. Pendekatan secara normatif dilakukan dengan cara menelaah dan menelusuri berbagai peraturan perundang-undangan. Teori dan konsep-konsep yang ada dan berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.34 Sedangkan pendekatan secara empiris adalah pendekatan yang melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat, jadi penelitian dengan pendekatan empiris harus dilakukan di

33

Soerjono Soekanto, Loq. Cit., hlm.5.

34

(56)

lapangan dengan menggunakan metode dan teknik penelitian lapangan yang berkaitan dengan tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang, dalam hal ini dilakukan studi kasus.35

Mengadakan pendekatan secara normatif dan empiris, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau lapangan, dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.36 Di dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari seumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.37

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, peraturan perundang-undangan.38

35

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 175

36

Soerjono Soekanto, Loq. Cit., hlm. 11

37

Ibid, hlm. 175

38

(57)

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer (perundang-undangan) antara lain: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, KUHP, KUHAP.

b. Bahan hukum sekunder yaitu: bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer, seperti buku-buku, dokumen, putusan dan studi pustaka.

c. Bahan hukum tersier, yaitu: buku literatur, hasil karya ilmiah para sarjana, web site, kamus hukum, dan putusan hakim.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang memberi mengetahui secara jelas atau menjadi sumber informasi. Narasumber yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah :

1. Penyidik Polisi Air pada Polda Lampung : 1 (satu) orang

2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 (satu) orang

3. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 (satu) orang

4. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung : 1 (satu) orang

(58)

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan, yaitu sebuah studi yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mengutip bahan-bahan literatur, perundang-undangan dan informasi lain yang berhubungan dengan pembahasan dalam penelitian ini.

b. Studi lapangan, yaitu pengumpulan data primer yang dilakukan dengan cara mengadakan wawancara kepada narasumber dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang bebas sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pelaksanaan pengolahan data yang telah diperoleh, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Evaluasi, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

(59)

3. Sistematisasi, yaitu menyusun data yang telah dievaluasi dan diklasifikasi dengan tujuan agar terciptanya keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

(60)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab-bab terdahulu maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

(61)

2. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Jaring Garuk Kerang yang dilarang Studi Putusan PN No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK

a. Faktor penegak hukum, dilihat dari para penegak hukumnya sendiri, yaitu kurangnya personil Kepolisian Perairan Bandar Lampung, bila dibandingkan dengan luas wilayahnya.

b. Faktor sarana dan prasarana, berkaitan dengan faktor sarana dan fasilitas tersebut yaitu kurangnya fasilitas seperti kapal yang kualitasnya kurang baik pada Kepolisian Perairan Polda Lampung , keterbatasan sistem radar sebagai signal pemeberi peringatan kepada aparat penegak hukum terhadap kapal asing yang melintasi perairan Indonesia tanpa izin khususnya kapal-kapal tersebut melakukan penangkapan ikan, serta alat komunikasi yang kurang memadai untuk memberitahukan situasi laut antara para petugas Kepolisian Perairan.

(62)

d. Faktor Kebudayaan yaitu sebagai contoh Indonesia, Indonesia adalah negara maritim yang sebagian dari wilayah Indonesia adalah laut. Sehingga penduduk yang bertempat tinggal di daerah pinggir pantai bekerja sebagai nelayan, karena banyaknya penduduk yang bekerja sebagai nelayan ada sebagian dari penduduk yang menggunakan cara-cara yang salah bahkan dengan alat-alat penangkapan ikan yang dilarang. Dalam kasus ini hal-hal tersebut menjadi budaya bagi masyarakat itu sendiri yaitu dengan menghalalkan segala cara demi mencapai keuntungan yang diperoleh.

B.Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran penulis adalah:

1. Para penegak hukum yaitu Kepolisian Perairan, Kejaksaan, dan Hakim harus melaksanakan perannya masing-masing dengan baik serta meningkatkan kinerja kerja dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang agar dapat terlaksananya penegakan hukum yang maksimal.

(63)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur

Ali, Zainudin. 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Andrisman, Tri. 2011, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung. ---. 2009, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Bagian

Hukum Pidana Unila, Bandar Lampung.

Bisri, Ilhami. 2012, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip & Implementasi

Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.

Daud, Silalahi M. 2011, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum

Lingkungan Indonesia, PT. Alumni, Bandung.

Hamzah, Andi. 2008, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta.

Husin, Sukanda. 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1990, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir. 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muladi. 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang. Nawawi, Arif Barda. 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana

Prenada, Jakarta.

---, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

(64)

---. 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Rajawali Pers, Jakarta.

Syahrul, Machmud. 2012, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Supriadi. 2011, Hukum Perikanan Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta. Tutik, Titik Triwulan. 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta. Tribawono, Djoko. 2002, Hukum Perikanan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerang http://id.m.wikipedia.org/wiki/perikanan http://jimly.com/../penegakan_hukum.pdf

Gambar

Tabel 1: Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Pada Jalur Penangkapan Ikan

Referensi

Dokumen terkait

Photodioda adalah salah satu jenis dioda yang bekerja berdasarkan intensitas cahaya, jika photodioda terkena cahaya maka photodioda bekerja seperti dioda pada umumnya,

Pada umumnya sumbu simetrisitas ruang pada rumah tinggal kolonial di Kidul Dalem juga dilihat secara integral tidak simetris. Ketidaksimetrisan ruang secara integral ini

mencapai 84,12% jika dibanding saat pra siklus mengaami peningkatan 17,45%, sedangkan dengan siklus I mengalami peningkatan 11,5%, pada kegiatan mendengarkan

Hal ini disebabkan karena pengeringan menggunakan oven blower memiliki prinsip konveksi dimana perpindahan panas yang disertai dengan zat perantaranya, sedangkan

Hal ini mengindikasikan bahwa Olimart Siantar salah satu tempat pilihan untuk mengganti ataupun membeli produk Pelumas otomotif Pertamina Lubricants yang memberi kenyamanan

Pada bulan November – Desember terdapat kategori yang mengalami penurunan jumlah pengaduan, yaitu Spam Komplain, Spam, Network Incident, IPR, dan Spoofing/Phishing.. Berikut

Beberapa buku yang diterbitkannya: Gender in International Relations: Feminist Perspective on Achieving Global Security (1992); Gendering World Politics: Issues and

Uji aktivitas Antimikroba dan Uji Sitotoksik Ekstrak etanol Akar Tanaman Akar Kucing-kucingan ( Achalipha Indica Linn ), daging Buah Mahkota dewa ( Phaleria macrocarpa