• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA (WHISTLEBLOWER) DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJA SAMA (JUSTICE COLLABORATOR) DALAM PERKARA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA (WHISTLEBLOWER) DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJA SAMA (JUSTICE COLLABORATOR) DALAM PERKARA KORUPSI"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

ANALYSIS OF LEGAL PROTECTION TOWARD WHISTLEBLOWER AND JUSTICE COLLABORATOR IN CORRUPTION CASE

By

EMILSA HENDRAYITNA

Efforts to eradicate corruption requires the participation of the community, both as a whistleblower and justice collaborator. The problem of this research are (1) What is the legal protection toward whistleblower and justice collaborator in corruption case? (2) Why the inhibiting factors in the legal protection toward whistleblower and justice collaborator in corruption case?

This research uses normative juridical approach, with the type of secondary data. Data processing is done with the selection of data, data classification and compilation of data. Furthermore juridical analyzed qualitatively.

Results of research and discussion concluded: (1) Legal protection for whistleblower and justice collaborator in corruption case conducted by: Providing relief criminal or other forms of protection in accordance with the protection of witnesses and victims; Putting the case handling whistleblower and justice collaborator if the parties reported or reported to report back; Dropping a special trial for the criminal justice collaborator or criminal trial lightest among the defendants were involved in corruption by considering the sense of justice. (2) The factors that impede legal protection against whistleblower and justice collaborator in a corruption case is: still not strong mechanism for the protection of witnesses and victims; law enforcement officers are still not optimal in providing protection; unavailability of adequate means to provide protection; the persistence of fear or reluctance of society to be a witness in the law enforcement process against the perpetrators of corruption and the attitude of individualism in society, so that they are indifferent and does not care if aware of the perpetrators of corruption.

Suggestions in this study were: (1) Legal protection for whistleblower and justice collaborator in corruption cases should be implemented optimally and improve coordination among law enforcement agencies with the relevant institutions. (2) It should soon be revision of legislation in the field of legal protection against whistleblower and justice collaborator.

(2)

PIDANA (WHISTLEBLOWER) DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJA SAMA (JUSTICE COLLABORATOR) DALAM PERKARA KORUPSI

Oleh

EMILSA HENDRAYITNA

Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi membutuhkan peran serta masyarakat, baik sebagai pelapor tindak pidana (whistleblower) maupun sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Permasalahan penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama dalam perkara korupsi? (2) Mengapa terjadi faktor-faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama dalam perkara korupsi?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan jenis data sekunder. Pengolahan data dilakukan dengan seleksi data, klasifikasi data dan penyusunan data. Selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menyimpulkan: (1) Perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam perkara korupsi dilaksanakan dengan: Pemberian keringanan pidana atau bentuk perlindungan lainnya sesuai dengan perlindungan saksi dan korban; Mendahulukan penanganan perkara pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama apabila pihak-pihak yang dilaporkan atau terlapor melaporkan balik; Menjatuhkan pidana percobaan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama atau pidana percobaan paling ringan di antara para terdakwa yang terlibat dalam tindak pidana korupsi dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. (2) Faktor-faktor yang menghambat perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam perkara korupsi adalah: masih belum kuatnya mekanisme perlindungan saksi dan korban; aparat penegak hukum masih kurang optimal dalam memberikan perlindungan; belum tersedianya sarana yang memadai dalam memberikan perlindungan; masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan sikap individualisme dalam kehidupan masyarakat, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila mengetahui adanya pelaku tindak pidana korupsi.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam perkara korupsi hendaknya dilaksanakan secara optimal dan meningkatkan koordinasi antara lembaga penegak hukum dengan institusi terkait. (2) Hendaknya segera dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama.

(3)

yAilG

BEKERIA SAMA

QUSTTCE

COLI,,,BORATOR)

DAI.AM PERKARA KORUPSI

Oleh

Tesis

SebagaiSalah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM

PASCASAR]AilA

PROGRAM

STUDI

MAGISTER HUKUM

FAKULTAS

HUKUM UNIVERSITAS

LAMPUNG

(4)

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA (WHISTLEBLOWER) DAN SAKSI PELAKU

YANG BEKERJA SAMA (JUSTICE COLLABORATOR) DALAM PERKARA KORUPSI

(Tesis)

Oleh

EMILSA HENDRAYITNA NPM 1322011067

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Pemikiran ... 10

E. Metode Penelitian ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 20

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 22

A. Perlindungan Hukum ... 22

B. Pengaturan Perlindungan terhadap Saksi dan Korban ... 24

C. Pengertian Tindak Pidana ... 32

D. Tindak Pidana Korupsi ... 37

E. Peran Hukum dalam Kehidupan Masyarakat ... 41

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Karakteristik Narasumber ... 56

B. Perlindungan Hukum terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) dalam Perkara Korupsi ... 57

C. Faktor-Faktor yang Menghambat Perlindungan Hukum terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) dalam Perkara Korupsi ... 90

IV. PENUTUP ... 101

A. Simpulan ... 101

B. Saran ... 102

(6)

1. Tim Pengr4ii

.

Sekretaris

'

'

Pengqii Utama

Anggota

.,

:

Prsf; Dr.

Sunarto,D.trl1,

S.II.,

:'

:

:

Dr. Ileni

Siswanto,

S.H.,

I[.II.

.i

:

Dr. Ed{y

nifai;

S.II.,l[.IL

,

:

Dr. Nihmah ltosldah,

S"II.,:lf.I[

.,

:

Dr. Ema

Dewi,

S.II.,

F[.If.

NIP 19621109 198705 1 005

Program Pascasarjana Universitas

tampung

.

$q{fanrc,

!f.S.

28 198105 7 0o2

i$;";

85ffi

f,{l/4?oOqA

(7)

I\ama Mahasiswa

Nomor Pokok Mahasiswa Prograrn l{ekhususan

Falerttas

"EAIIAPAP

(wrusrLEBLOrW&

DAn

SArg

PDr,Amr

Yf,ltG

BEnEItri

$Arllrt

{,IasfiIcv

mLLABOfrAnOn

DAI,ATU PDAIIAnA

KORIIreI

.rnltsa !IJiqt:&,**qtg,

FIDIYGDTAHT}I

Ketua

hogram

kogram

$tudi Plagister

1522011067

i'

I{ukum Pidana

flukum

TIDNT.DTUJUI

Dosen t{omisi Pembimbing

Dr.'Henl

$iswanto, $,[-.,

!l.Il.

NIP 19650204 199005 1 004

Fakultas Hukum

ng

, S.H.,

[I.Ifnm.

.,'$'H';

If.fI.

(8)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

l.

Tesis dengan judul: "Analisis Perlindungan llukum Terhadap Pelapr Tindak

Pidana (whMleblower)

llan

saksi Pelaku yang Bekerja sama (Jusrtce Collaborator) dalam Perkara Korupsi', adalah karya saya sendiri dan saya tidak

melakukan penjiplakan atau pengutipan,atas karya penulis lain dengan cara yang

tidak sesuai dengan tata etika ihniah yang berlaku dalam masyarakat akademik

atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas

Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya;

saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung 23 Desember 2014

Yang Membuat Pernyataan,

(9)

i

PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan Tesis ini kepada:

Ayah dan Ibu tercinta

Drs. Hi. Agus Cik, dan Ibu Hj. Lindayani, S.Pd.

Kedua orang tua yang telah membesarkanku, membimbingku dan senantiasa mendoakan keberhasilanku agar menjadi lebih baik.

Kasih sayangnya kepadaku yang tidak tidak pernah berhenti memanjatkan doa tiap hembusan nafas di tiap sujudnya,

serta selalu memberikan cinta

Adik-adik kandungku:

Siti Hardiyanti Pratiwi, A.Md. Yulia Tri Anggraeni Muhammad Ilham Akbar

Qorie Astria, S.Pi.

yang telah menjadi motivasi dan selalu memberikan dukungan serta do’a untukku agar dapat menyelesaikan studi

Seluruh saudaraku yang telah lama menantikan keberhasilanku dan selalu menasehatiku

agar menjadi lebih baik.

Sahabat- sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani

dan memberikan do’anya untuk keberhasilanku,

terima kasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang kita lalui bersama

Almamater Tercinta Universitas Lampung

(10)

i MOTO

“Sedikit bicara banyak bekerja”

”Berusahalah jangan sampai terlengah walau sedetik saja, karena atas kelengahan kita tak akan bisa dikembalikan seperti semula”

(11)

i

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Emilsa Hendrayitna, lahir di Bandar Lampung pada tanggal 29

Oktober 1990, merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Penulis merupakan

buah hati pasangan Bapak Drs. Hi. Agus Cik dan Ibu Hj. Lindayani, S.Pd.

Penulis mengawali pendidikan pada TK Pratama Bandar Lampung diselesaikan pada

tahun 1996, SD Negeri 1 Kampung Sawah Lama Bandar Lampung diselesaikan pada

tahun 2002, SMP Negeri 09 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005, SMA YP

UNILA Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008, dan kuliah pada Fakultas

Hukum Universitas Lampung, mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada tahun 2012.

Pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Magister

(12)

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah wasyukurilla[ segala

puji

dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Menguasai Semesta Alam,

sebab hanya dengan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Tesis yang

berjudul: Analisis Perlindungan

Irukum

Terhadap pelapor Tindak pidana (WhMleblower) ilaa Saksi Petaku yang Bekeria Sama (fu$ice Coyaborator) dalam Perkara Korupsi.

Penyusunan Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Hukum pada Fakultas Hukum program pascasarjana universitas Lampung, yang di

dalam proses penyusunan hingga terselesaikannya Tesis

inr,

penulis banyak

mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanyq dalam kesernpatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1.

Bapak Dr. Khaidir Anwar, SH., M.Hum. selaku Ketua program pascasarjana

Program studi Ntagister Hukum Fakultas Hukum universitas Lampung.

2.

Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

3.

Ibu Dr. Nikmah Rosidah, s.H., M.H. selaku Ketua Bidang Kekhususan pidana

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai penguji

Tesis, atas masukan dan saran yang diberikan demi proses perbaikan Tesis.

4.

Bapak Prof. Dr. sunarto D.M, s.H., M.H., selaku pembimbing I, atas bimbingan
(13)

6.

Bapak Dr. Eddy Rifai sJr., M.IL, selaku penguji utam4 yang telah memberilran

masukan dan saran demi perbaikan Tesis ini.

7.

Ibu Dr, Ema Dewi, s.H., M.H., selaku Penguji, yang telah memberikan masukan

dan saran demi perbaikan Tesis ini.

8.

Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu

kepada penulis selama menempuh studi.

9. Seluruh

staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

10. Para narasumber penelitian

di

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Polresta Bandar Lampung, dan LPSK Jakarta pusa! atas

bantuan yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

11. Seluruh Teman-teman Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung atas permhabatan dan kebersamaan selama menempuh studi serta dorongan dan motivasi yang diberikan dalam penyeresaian Tesis ini.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang merugikan keuangan

negara sehingga harus diberantas, karena dapat berdampak pada merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, menghambat pertumbuhan dan

kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Tindak pidana

korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial

dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi

tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu

kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang komprehensif.

Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan supremasi hukum telah

meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana

korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik

Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan

Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

(15)

20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Aparat penegak hukum dalam menjamin penegakan hukum harus melaksanakan

hukum secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada

penyalahgunaan kekuasaan, ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam

setiap penegakan hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas

jaminan bebas dari segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan. 1

Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada

umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para

Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan pemerintahan daerah. Beberapa modus

operandi korupsi yaitu sebagai berikut:

1) Penggelapan; tindak pidana korupsi penggelapan antara lain ditandai dengan

adanya para pelaku, seperti menggelapkan aset-aset harta kekayaan negara atau

keuangan negara untuk memperkaya dirinya sendiri atau orang lain.

2) Pemerasan; bentuk tindak pidana korupsi pemerasan antara lain pelaku seperti

memaksa seorang secara melawan hukum yang berlaku agar memberikan

sesuatu barang atau uang kepada yang bersangkutan.

3) Penyuapan; bentuk tindak pidana korupsi penyuapan antara lain ditandai adanya

para pelakunya, seperti memberikan suap kepada oknum-oknum pegawai negeri

1

(16)

agar si penerima suap memberikan kemudahan dalam pemberian izin, kredit

Bank dll, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

4) Manipulasi; bentuk tindak pidana korupsi manipulasi antara lain ditandai

dengan adanya para pelakunya yang melakukan mark up proyek pembangunan, SPJ, pembiayaan gedung/kantor, pengeluaran anggaran fiktif.

5) Pungutan Liar; bentuk tindak pidana korupsi pungutan liar antara lain ditandai

dengan adanya para pelakunya yang malakukan pungutan liar di luar ketentuan

peraturan. Umumnya pungutan liar ini dilakukan terhadap seseorang/korporasi

apabila ada kepentingan atau berurusan dengan instansi pemerintah.

6) Kolusi dan Nepotisme; yaitu pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau

kelompok politiknya pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparat pemerintah

tanpa memandang keahlian dan kemampuan. 2

Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidana khusus di luar KUHP, yang

memuat ketentuan di luar ketentuan pidana umum dan menyangkut sekelompok

orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Kekhususan dari hukum pidana khusus

dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana suatu perbuatan, ketentuan

tentang pidana dan tindakan dan mengenai dapat dituntutnya perbuatan. Jadi

penyimpangan dari ketentuan umum inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum

pidana khusus. Gejala-gejala adanya pidana delik-delik khusus menunjukkan

adanya diferensiasi dalam hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan

dengan adanya unifikasi dan ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus

2

Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak

(17)

mempunyai tujuan dan fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana

khususnya "tiada pidana tanpa kesalahan" harus tetap dihormati.

Pembagian hukum pidana selain ke dalam bentuk hukum pidana yang

dikodifikasikan dengan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan, juga dibagi atas

hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius speciale). Hukum pidana umum dan khusus ini tidak boleh diartikan dengan bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena memang bagian dari

umum dari hukum pidana menurut ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum,

sedang bagian khususnya memuat perumusan tindak-tindak pidana.3

Pembagian tersebut semula dimaksudkan agar suatu kodifikasi itu memuat suatu

bahan hukum yang lengkap, akan tetapi kita mengetahui bahwa terbentuknya

peraturan perundang-undangan pidana di luar kodifikasi tidak dapat dihindarkan

mengingat pertumbuhan masyarakat terutama di bidang sosial dan ekonomi (di

KUHP) dalam buku keduanya memuat sebagian besar dari delik-delik berupa

kejahatan, sedang di buku ketiga dimuat sebagian kecil dari delik-delik berupa

pelanggaran. Undang-Undang Pidana Khusus adalah undang-undang selain kitab

undang-undang hukum pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana.

Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak disebutkan pengertian

korupsi secara tegas. Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan:

3

(18)

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, diketahui

ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan negara atau perekonomian negara; Pasal 3 menyebutkan bahwa tindak

pidana korupsi dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri

dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau

kedudukannya tersebut.

Upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus dilaksanakan

secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan

kekuasaan, ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan

hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (procedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif

pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari

segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan.

Pihak yang melaporkan tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi disebut

(19)

tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan

bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Pelapor dan saksi pelaku yang

bekerja sama di dalam tindak pidana tertentu di Indonesia mendapatkan kebijakan

berupa perlakuan khusus dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana

(Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama (justice collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Pemberlakuan SEMA Nomor 04 Tahun 2011 tersebut merupakan suatu langkah

maju dalam program pemberantasan korupsi. Menurut SEMA tersebut dinyatakan

bahwa MA meminta para hakim memberi perlakuan khusus berupa keringanan

pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya kepada whistleblower dan justice collaborator. Ada beberapa pedoman penanganan whistleblower dan justice collaborator. Untuk kategori whistleblower, misalnya, SEMA tersebut memberi definisi yaitu seseorang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu

dan bukan justru menjadi pelaku tindak pidana tersebut. Selain itu SEMA tersebut

juga menegaskan bahwa apabila pelapor dilaporkan balik oleh terlapor, maka

perkara yang dilaporkan pelapor didahulukan.

SEMA Nomor 4 Tahun 2011 memberikan definisi justice collaborator,yakni seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui

perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Untuk dapat

disebut sebagai justice collaborator, jaksa dalam tuntutannya juga harus menyebutkan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan

(20)

penjara paling ringan dibandingkan para terdakwa lainnya dalam perkara yang

sama. Ditegaskan pula dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, bahwa pemberian

perlakuan khusus tetap harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Pemberlakuan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 merupakan bagian penting dari proses

transisi menuju sistem perlindungan saksi dan korban yang lebih baik dan pada

pelaksanaannya SEMA ini harus didukung oleh para pihak terkait khususnya aparat

penyidik, penuntut umum, dan juga petugas lembaga pemasyarakatan.

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya kesenjangan antara peraturan

perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

Nomor 04 Tahun 2011, yang pada intinya negara memberikan perlindungan kepada

pelapor dan saksi tindak pidana, dengan pelaksanaannya di lapangan, yaitu pelapor

tindak pidana (whistleblower) justru dipidanakan. Contohnya Susno Duadji yang melaporkan perkara korupsi pajak yang melibatkan Gayus Tambunan justru

dipidana penjara selama 3,6 Tahun. Contoh lainnya adalah Agus Chondro yang

melaporkan perkara suap cek pelawat Bank Indonesia justru dipidana penjara 1,3

tahun. Data ini menunjukkan bahwa pelapor tindak pidana korupsi justru

mendapatkan hukuman penjara, padahal seharusnya mereka mendapatkan perlakuan

dan perlindungan secara hukum karena keberaniannya mengungkap tindak pidana

korupsi yang merugikan keuangan negara.4

4

(21)

Contoh di Provinsi Lampung adalah pidana penjara terhadap Hendry

Anggakusuma selaku Direktur PT Naga Intan, justice collaborator dalam perkara korupsi pengadaan tanah PLTU Sebalang yang divonis 5 tahun penjara dan denda

Rp 250 juta subsider empat bulan penjara atas perkara korupsi pengadaan tanah

PLTU Sebalang serta pidana uang pengganti Rp 7,3 miliar kepada negara.

Sementara itu Mantan Wakil Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa divonis empat

tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara, dalam sidang di

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri

Tanjungkarang, Senin 11 Februari 2013. 5

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dalam

penyusunan Tesis berjudul: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator) dalam Perkara Korupsi

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana

(whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator)

dalam perkara korupsi?

b. Mengapa terjadi faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap

pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama

(justice collaborator) dalam perkara korupsi?

5

(22)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup substansi dalam penelitian ini adalah hukum pidana dengan objek

penelitian perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi. Waktu penelitian adalah dalam rentang tahun 2009-2014 dan tempat penelitian

dilaksanakan di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk menganalisis perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana

(whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator)

dalam perkara korupsi

b. Untuk menganalisis faktor yang menghambat perlindungan hukum terhadap

pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama

(justice collaborator) dalam perkara korupsi

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu

hukum pidana, khususnya yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap

pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama

(23)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak

hukum dalam memberikan perlakuan khusus terhadap pelapor tindak pidana

dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu diharapkan hasil

penelitian ini berguna bagi berbagai pihak lain yang akan melakukan penelitian

mengenai tindak pidana korupsi di masa-masa mendatang.

D. Kerangka Pemikiran

1. Alur Pikir

Bagan 1. Alur Pikir Penelitian

Tindak Pidana Korupsi

Whistleblower

Justice Collaborator

Perlindungan Hukum

UU No 13 Tahun 2006 SEMA No 04 Tahun 2011

Pelaksanaan Perlindungan  Pemberian keringanan pidana

 Mendahulukan penanganan perkara

 Menjatuhkan pidana percobaan khusus atau paling ringan

Faktor Penghambat  Substansi Hukum

 Aparat Penegak Hukum

 Sarana dan Prasarana

 Masyarakat

 Faktor Budaya

(24)

2. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk

pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum.6 Perlindungan

hukum terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi merupakan upaya perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap keselamatan baik fisik maupun

psikis kepada pelapor tindak pidana, karena peran mereka dalam membantu aparat

penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kerangka teoritis yang digunakan dalam menganalisis perlindungan hukum

terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama

(justice collaborator) dalam perkara korupsi adalah sebagai berikut:

a. Teori Perlindungan Hukum

Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari

munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau

aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan

Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa

hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara

hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang

bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal

dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.7

6

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm. 32

7

(25)

Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan

mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat

karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan

tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain

pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,

sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia

yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni

perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum

yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan

masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota

masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili

kepentingan masyarakat.8

Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, menyatakan bahwa seseorang saksi dan korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

c. Memberi keterangan tanpa tekanan. d. Mendapat penerjemah.

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus. g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan. h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. i. Mendapat identitas baru.

j. Mendapat tempat kediaman baru.

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

8

(26)

Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban menyatakan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)

diberikan kepada saksi dan korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai

dengan keputusan LPSK.

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman

terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu

di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan

oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang

sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.

Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial,

ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.9

Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat

sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan

hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang

mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan

berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk

menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan10

Sesuai dengan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa fungsi hukum adalah

melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan

menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Selain itu

9

Ibid, hlm. 55.

10

(27)

berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan

kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum pidana bukan semata-mata

pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang

mempengaruhinya, sebagai berikut:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

5) Faktor Kebudayaan

(28)

semakin mudah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.11

2. Konseptual

Konseptual merupakan susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam penelitian, batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian

ini sebagai berikut:

a. Perlindungan hukum adalah upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan

untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan korban yang wajib dilaksanakan

oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan–ketentuan

Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban).

b. Pelapor tindak pidana (whistleblower) adalah seseorang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan justru menjadi pelaku tindak

pidana tersebut. SEMA menegaskan apabila pelapor dilaporkan balik oleh

terlapor, maka perkara yang dilaporkan pelapor didahulukan (SEMA Nomor 4

Tahun 2011)

c. Saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) adalah seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya

dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan (SEMA Nomor 4 Tahun

2011)

d. Laporan adalah tindakan hukum berupa pemberitahuan yang disampaikan oleh

seseorang karena hak dan kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada

11

(29)

pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya

suatu peristiwa pidana. 12

e. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar

atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku

tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan umum 13

f. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling

sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) (Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu upaya memahami

persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu

hukum14 Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk menganalisis perlindungan

hukum terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang

12

Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Pressindo, Jakarta. 2001. hlm. 31.

13

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan

Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994. hlm.

76.

14

(30)

bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi dan -faktor yang menghambat perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi

2. Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan

penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Data terdiri dari data langsung yang

diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi pustaka.

Jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Data yang digunakan dalam

penelitian adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai bahan

hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdiri dari:

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana

3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban

5) Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik

(31)

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 tentang

Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu

c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan

hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami

permasalahan, seperti literatur hukum, kamus hukum dan sumber dari internet.

3. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka (library research). Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku

literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dan dilakukan pula studi

dokumentasi untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan

(32)

4. Penentuan Narasumber

Selain studi pustaka juga dilakukan wawancara kepada narasumber penelitian

untuk memperdalam analisis, yaitu kepada:

a) Penyidik Polresta Bandar Lampung : 1 orang

b) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang

c) Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 1 orang

d) Staf LPSK di Jakarta : 1 orang +

Jumlah : 4 orang

4. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data

lapangan, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan

yang diteliti. Adapun pengolahan data yang dimaksud meliputi tahapan sebagai

berikut:

1) Seleksi Data, yaitu tahap memeriksa data untuk mengetahui kelengkapannya

dan dipilih sesuai dengan pokok bahasan

2) Klasifikasi Data, yaitu tahap penempatan data menurut kelompok-kelompok

yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar

diperlukan dan akurat sesuai pokok bahasan

3) Penyusunan Data, yaitu tahap menyusun data yang saling berhubungan dan

merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada pokok bahasan sesuai

(33)

5. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis

kualitatif, dengan menguraikan data dalam bentuk kalimat per kalimat yang

tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan

untuk memperoleh suatu kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan

metode deduktif, yaitu menguraikan hal-hal yang umum lalu menarik kesimpulan

yang bersifat khusus

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami isi Tesis ini maka akan dibagi menjadi 4

(empat) bab, dengan sistematika penulisan Tesis sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan

kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi berbagai konsep atau kajian dalam penyusunan Tesis dan diambil dari

berbagai bahan pustaka yang terdiri dari pengertian perlindungan hukum,

pengaturan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban, pengertian tindak

pidana, tindak pidana korupsi dan peran hukum dalam kehidupan masyarakat

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan yang dianalisis dari penjelasan para

(34)

(whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi dan faktor-faktor yang menghambat perlindungan hukum terhadap

pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi.

IV. PENUTUP

Bab ini berisi simpulan sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan, serta saran

yang ditujukan kepada pihak-pihak yang relevan dengan kajian penelitian, demi

(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi.

Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu

hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang

dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan

hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak

ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa

berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu. 1

Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian

meragukan keberadaan hukum. Hukum harus memberikan perlindungan terhadap

semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki

kedudukan yang sama dihadapan hukum. Aparat penegak hukum wajib

menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak

langsung pula hukum akan memberikan perlindungan pada tiap hubungan hukum

atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum.

Perlindungan hukum dalam hal ini sesuai dengan teori interprestasi hukum

sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa interpretasi atau

1

(36)

penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi

penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup

kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh

hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat

diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit.

Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna

undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan ketentuan

yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. 2

Penafsiran sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding), berangkat dari pemikiran, bahwa pekerjaan kehakiman memiliki karakter logikal.

Interpretasi atau penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju

kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan

hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau

alat untuk mengetahui makna undang-undang.3

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk

mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada

subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif

(pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang

secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:

2

Ibid. hlm. 39.

3

(37)

1) Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana

kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat

sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif,

2) Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana lebih

ditujukan dalam penyelesian sengketa.4

Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi

atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia

yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan

Pancasila. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir

seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu

terdapat banyak macam perlindungan hukum.

B. Pengaturan Perlindungan terhadap Saksi dan Korban

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

pada prinsipnya melindungi saksi dan korban, perlindungan terhadap korban

kejahatan dibutuhkan banyak keterlibatan para pihak, para pihak disini dapat juga

institusi pemerintah yang memang ditugaskan sebagai suatu lembaga yang

menangani korban kejahatan, dapat juga masyarakat luas, khususnya ketertiban

masyarakat disini adalah peran serta untuk turut membantu pemulihan dan

memberikan rasa aman bagi korban di mana korban bertempat tinggal. Oleh karena

itu tujuan akhir dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat” untuk

mencapai tujuan utama sering disebut dengan istilah, misalnya “kebahagiaan

masyarakat dan individu” (happiness of citizens), “kehidupan kultural yang sehat

4

(38)

dan menyegarkan” (a wholesome and cultural living), “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) atau untuk mencapai “keseimbangan” (equality). Memperhatikan tujuan di atas tersebut, maka wajarlah apabila dikatakan bahwa politik kriminal

merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban, menyatakan sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan atau korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga saksi dan atau korban tidak memberikan kesaksian pada tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu Tahun dan paling lama lima Tahun dan dipidana denda paling sedikit empat puluh juta rupiah dan paling banyak dua ratus juta rupiah.

(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan atau korban, dipidana dengan penjara paling singkat dua Tahun dan paling lama pidana penjara tujuh Tahun dan pidana denda paling sedikit delapan puluh juta rupiah dan paling banyak lima ratus juta rupiah.

(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaaan kehendak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya saksi dan atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima Tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit delapan puluh juta rupiah dan paling banyak lima ratus juta rupiah

Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban, menyatakan bahwa seseorang saksi dan korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

c. Memberi keterangan tanpa tekanan. d. Mendapat penerjemah.

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.

(39)

j. Mendapat tempat kediaman baru.

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban menyatakan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)

diberikan kepada saksi dan korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai

dengan keputusan LPSK.

Menurut Heni Siswanto, Penegakan Hukum Pidana (PHP) makin jauh dari rasa

keadilan karena didapati berbagai putusan penegakan hukum yang tidak mampu

memberi kepuasan atau memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan masyarakat

pada umumnya. Penegakan hukum yang terjadi, tidak atau menjadi hambatan untuk

mendorong kegiatan atau perubahan sosial. Alhasil, penegakan hukum dipandang

sebagai sesuatu yang menempati garis depan dalam berbagai masalah sosial, politik,

ekonomi yang sedang terjadi. Penegakan hukum yang kurang berkualitas ini terjadi

karena penegakan hukum berjalan dalam praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme

(KKN), tidak atau kurang profesional, dan lain-lain nuansa serba kurang lainnya.5

Selama ini PHP yang benar dan adil selalu diarahkan pada pelaku (aparat)

penegakan hukum yang dituntut untuk menjadi penegak hukum yang benar dan

adil. Sementara, penegakan hukum tidak berada dalam suatu wilayah yang kosong.

Penegakan hukum terjadi dan berlaku di tengah masyarakat. Bahkan, penegakan

hukum bukan sekedar berada di tengah masyarakat, melainkan dapat dipengaruhi

5

Heni Siswanto, Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana Menghadapi Kejahatan

(40)

oleh keadaan dan interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Keterpengaruhan

ini akan menempatkan sistem penegakan hukum pidana yang berbeda.6

Merebaknya malpraktik di jajaran institusi penegakan hukum pidana merupakan

hambatan penegakan hukum, khususnya pemberantasan KKN di kalangan birokrat.

Secara umum, ketiga institusi pemberantas KKN (Kepolisian, Kejaksaan dan

Pengadilan) tersebut dituntut untuk memiliki track record bersih, berani dan profesional. Pertama, Sumber Daya Manusia (SDM) penegak hukum yang bersih

diartikan bukan saja mereka tidak terlibat dalam praktik KKN melalui track record

masa lalu, melainkan mereka juga tidak memiliki perasaan utang budi (gratitude of indebtedness) dengan penguasa orde baru atau sebelumnya. Secara faktual utang budi dapat menimbulkan rasa pakewuh dan menjadi penghambat tegaknya supremasi hukum. Kedua, keberanian adalah parameter dari spirit perjuangan.

Perilaku jujur, bagi SDM penegak hukum sangat penting untuk menjadi jaminan

terselenggaranya supremasi hukum. Sikap berani disini bukan sekadar kesiapan

melakukan tindakan hukum tanpa rasa takut. Justru keberanian harus diartikan

sebagai kesiapan menerima resiko atas tugas dan kewajiban demi tanggung jawab.

Ketiga, parameter profesional, cerdas dan bijak menjadi syarat utama proses hukum

yang benar. Selain itu, keberanian yang mengacu kepada komitmen ilmu

pengetahuan hukum yang kritis dan progresif juga mutlak diperlukan. Suatu

pemikiran hukum yang membebankan tugas dan kewajiban pada upaya kerja

hukum yang obyektif, akuntabel dan responsif. Mereka dipastikan menjadi

pendukung pemerintah yang menolak menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) sebagai simbol pelestarian status quo. Oleh karena itu, baik polisi, jaksa,

6

(41)

dan hakim memerlukan kemampuan intelektual yang berimbang. Tidak sekadar

mempunyai kemampuan menguasai hukum positif, mereka juga harus dapat

memahami fakta-fakta secara benar, sehingga kecenderungan penggunaan hukum

yang tidak adil (obstruction of justice) dapat dihindarkan.7

Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip Heni Siswanto, ada berbagai syarat

yang harus dipenuhi untuk penegakan hukum yang adil atau berkeadilan, pertama,

aturan hukum yang akan ditegakkan benar dan adil yang dibuat dengan cara-cara

yang benar dan materi muatannya sesuai dengan kesadaran hukum dan memberi

sebesar-besarnya manfaat bagi kepentingan orang perorangan dan masyarakat

banyak pada umumnya. Kedua, pelaku penegakan hukum yang dapat disebut

sebagai kunci utama penegakan hukum yang adil dan berkeadilan. Di tangan

penegak hukum, aturan hukum yang bersifat abstrak menjadi konkrit. Secara

sosiologis, inilah hukum yang sebenarnya, terutama bagi pencari keadilan. Ketiga,

lingkungan sosial sebagai tempat hukum berlaku. Hukum, baik dalam pembentukan

maupun penegakannya, sangat dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan sosial,

ekonomi, politik maupun budaya, meskipun dalam situasi tertentu, diakui hukum

dapat berperan sebagai sarana pembaharuan, tetapi dalam banyak hal hukum adalah

cermin masyarakat.8

Tekanan publik terhadap penegakan hukum dapat mempengaruhi putusan penegak

hukum. Begitu pula kepentingan-kepentingan tertentu, seperti kepentingan ekonomi

dan politik yang dominan dapat menentukan wujud penegakan hukum. Oleh sebab.

itu, perlu diciptakan berbagai persyaratan sosial yang kondusif agar penegakan

7

Ibid, hlm. 2-3.

8

(42)

hukum dapat dilakukan secara benar dan adil. Persyaratan itu antara lain,

tumbuhnya prinsip egalitarian, keterbukaan untuk menciptakan berbagai

keseimbangan dalam perikehidupan masyarakat. Dalam berbagai perbedaan yang

begitu tajam, baik sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, akan dialami kesulitan

menciptakan sistem penegakan hukum pidana yang benar dan adil, karena hukum

akan berpihak pada kekuatan-kekuatan dominan yang mungkin tidak berpihak pada

kebenaran dan keadilan. Hukum yang benar dan adil hanya dapat berperan dalam

tatanan yang seimbang dan tidak dalam tatanan ekstrimitas tertentu. Ada dua aspek

penting untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, yaitu tata

cara penegakan hukum (procedural justice) dan isi atau hasil penegakan hukum (substantive justice) 9

Penegakan hukum dilaksanakan sesuai dengan sistem hukum yang berlaku, yaitu

melalui pemidanaan yang bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana

dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan

konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan

rasa damai pada masyarakat; memasyarakatkan dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Dasar hukum perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak

Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama (justice collaborator)

di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

9

(43)

Angka (7) SEMA Nomor 04 Tahun 2011 menyatakan bahwa MA meminta para

hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan

sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat memberi

perlakuankan khusus, dengan antara lain keringanan pidana dan/atau bentuk

perlindungan lainnya.

Selanjutnya Angka (8) SEMA Nomor 04 Tahun 2011 menyatakan bahwa pedoman-

pedoman yang harus ditaati dalam penangana kasus pelapor tindaka pidana

(whistleblower) adalah:

(a) Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkan

(b) Apabila pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan dibandingkan dengan laporan dari terlapor

Angka (9) SEMA Nomor 04 Tahun 2011 menyatakan bahwa pedoman-pedoman

yang menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama adalah:

(a) Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.

(b) Jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana

(c) Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut: (1) Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau

(2) Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud

(44)

Sikap masyarakat yang cenderung tidak mau berurusan dengan masalah hukum

menjadi penyebab mereka tidak bersedia menjadi pelapor atau saksi. Padahal secara

ideal, dalam konteks penegakan hukum, masyarakat dapat berperan secara aktif

baik sebagai pelapor atau sebagai saksi. Dalam sistem hukum pidana dikenal

beberapa istilah berkenaan dengan status hukum masyarakat, di antaranya adalah

pelapor, tersangka, terdakwa, saksi, dan saksi ahli. Dalam kaitannya dengan

penelitian ini yaitu bagaimana peran serta masyarakat dalam proses penegakan

hukum, maka status dan kedudukan masyarakat yang kiranya menjadi perhatian

utama adalah status dan kedudukan masyarakat sebagai pelapor dan saksi.

Untuk dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum pidana terhadap orang

yang telah melakukan kejahatan sangat dibutuhkan sekali adanya laporan/

pengaduan dari masyarakat tentang telah terjadinya kejahatan tersebut. Tanpa

adanya laporan dari masyarakat, sulit kiranya diketahui telah terjadi pelanggaran

tersebut, hal ini dikarenakan sangat terbatasnya jumlah personil penegak hukum.

Oleh karena itu, pada sisi inilah peran serta masyarakat dalam upaya penegakan

hukum dengan melaporkan semua yang mereka tahu kepada institusi yang

berwenang menjadi suatu kebutuhan.

Orang atau masyarakat yang melaporkan tentang adanya suatu tindak pidana

disebut dengan Pelapor, dan laporan itu sendiri oleh hukum diterjemahkan sebagai

tindakan hukum berupa pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena

hak dan kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang

tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya suatu peristiwa pidana. Jadi

merujuk pada pengertian tersebut di atas, sesungguhnya melaporkan suatu tindak

(45)

Kepastian, kegunaan, keadilan antara lain akan tampak apabila diperankan oleh

penegak hukum dalam menjalankan aturan hukum yang berlaku dan tidak

melupakan perlindungan saksi dan korban dalam menegakan hukum tersebut,

perlindungan saksi korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau

korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana (Pasal 5

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban).

C. Pengertian Tindak Pidana

Menurut P.A.F Lamintang, tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak

melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.10

Menurut Andi Hamzah, tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan

dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan

kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung

jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang

mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi

masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan11

Tingkah laku yang jahat immoral dan anti sosial akan menimbulkan reaksi berupa

kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelas akan merugikan

masyarakat umum. Mengingat kondisi tersebut maka setiap warga masyarakat

10

P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 16.

11

(46)

secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi yang berwenang

seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain-lain

wajib menanggulangi setiap tindak kejahatan atau kriminal. Setiap kejahatan yang

dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap

ketetapan hukum dan peraturan pemerintah.

Menurut P.A.F Lamintang, tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum

pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan

istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab

itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang

siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan

kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib

dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik

di tingkat pusat maupun daerah.12

Menurut Andi Hamzah, tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan

dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan

kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung

jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang

mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi

masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.13

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana

adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur

12

Ibid. hlm. 20.

13

(47)

kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,

Referensi

Dokumen terkait

4.Benih Sebar ( Extension Seed = ES) merupakan keturunan dari Benih Penjenis, Benih Dasar atau Benih Pokok, yang diproduksi dan dipelihara sedemikian rupa.. sehingga

Dapat disimpulkan bahwa, anak yang menjadi korban perceraian memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak menunjukkan performa kerja yang baik sehingga penulis dapat

Kesimpulannya adalah implementasi pemotongan dan penyetoran PPh Final atas lelang tanah/atau bangunan pada KPKNL Pangkalpinang sudah sesuai dengan peraturan pemerintah yang

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran KTSP dengan pendekatan kontekstual pada mata diklat kewirausahaan siswa kelas X Tata

Global Multipack yang dituangkan dalam judul “ Analisis Perlakuan Akuntansi atas Aktiva Tetap Berwujud pada PT Global Multipack Palembang ”. 1.2

Keterlibatan anggota partai dalam proses pemilihan pengurus partai politik atau dalam proses seleksi calon atau pasangan calon untuk Pemilu, melaporkan setiap bentuk

Gambar 1. Model Revoliusi Mental Pada Lingkungan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal.. nesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah- daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan,

Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung dari tingkat toleransi ikan terhadap perubahan lingkungan, suhu air, pH, konsentrasi CO 2 dan hasil metabolisme seperti