ABSTRACT
ANALYSIS OF LEGAL PROTECTION TOWARD WHISTLEBLOWER AND JUSTICE COLLABORATOR IN CORRUPTION CASE
By
EMILSA HENDRAYITNA
Efforts to eradicate corruption requires the participation of the community, both as a whistleblower and justice collaborator. The problem of this research are (1) What is the legal protection toward whistleblower and justice collaborator in corruption case? (2) Why the inhibiting factors in the legal protection toward whistleblower and justice collaborator in corruption case?
This research uses normative juridical approach, with the type of secondary data. Data processing is done with the selection of data, data classification and compilation of data. Furthermore juridical analyzed qualitatively.
Results of research and discussion concluded: (1) Legal protection for whistleblower and justice collaborator in corruption case conducted by: Providing relief criminal or other forms of protection in accordance with the protection of witnesses and victims; Putting the case handling whistleblower and justice collaborator if the parties reported or reported to report back; Dropping a special trial for the criminal justice collaborator or criminal trial lightest among the defendants were involved in corruption by considering the sense of justice. (2) The factors that impede legal protection against whistleblower and justice collaborator in a corruption case is: still not strong mechanism for the protection of witnesses and victims; law enforcement officers are still not optimal in providing protection; unavailability of adequate means to provide protection; the persistence of fear or reluctance of society to be a witness in the law enforcement process against the perpetrators of corruption and the attitude of individualism in society, so that they are indifferent and does not care if aware of the perpetrators of corruption.
Suggestions in this study were: (1) Legal protection for whistleblower and justice collaborator in corruption cases should be implemented optimally and improve coordination among law enforcement agencies with the relevant institutions. (2) It should soon be revision of legislation in the field of legal protection against whistleblower and justice collaborator.
PIDANA (WHISTLEBLOWER) DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJA SAMA (JUSTICE COLLABORATOR) DALAM PERKARA KORUPSI
Oleh
EMILSA HENDRAYITNA
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi membutuhkan peran serta masyarakat, baik sebagai pelapor tindak pidana (whistleblower) maupun sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Permasalahan penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama dalam perkara korupsi? (2) Mengapa terjadi faktor-faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama dalam perkara korupsi?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan jenis data sekunder. Pengolahan data dilakukan dengan seleksi data, klasifikasi data dan penyusunan data. Selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menyimpulkan: (1) Perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam perkara korupsi dilaksanakan dengan: Pemberian keringanan pidana atau bentuk perlindungan lainnya sesuai dengan perlindungan saksi dan korban; Mendahulukan penanganan perkara pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama apabila pihak-pihak yang dilaporkan atau terlapor melaporkan balik; Menjatuhkan pidana percobaan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama atau pidana percobaan paling ringan di antara para terdakwa yang terlibat dalam tindak pidana korupsi dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. (2) Faktor-faktor yang menghambat perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam perkara korupsi adalah: masih belum kuatnya mekanisme perlindungan saksi dan korban; aparat penegak hukum masih kurang optimal dalam memberikan perlindungan; belum tersedianya sarana yang memadai dalam memberikan perlindungan; masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan sikap individualisme dalam kehidupan masyarakat, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila mengetahui adanya pelaku tindak pidana korupsi.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam perkara korupsi hendaknya dilaksanakan secara optimal dan meningkatkan koordinasi antara lembaga penegak hukum dengan institusi terkait. (2) Hendaknya segera dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama.
yAilG
BEKERIA SAMAQUSTTCE
COLI,,,BORATOR)
DAI.AM PERKARA KORUPSI
Oleh
Tesis
SebagaiSalah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM
Pada
Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM
PASCASAR]AilA
PROGRAM
STUDI
MAGISTER HUKUM
FAKULTAS
HUKUM UNIVERSITAS
LAMPUNG
ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA (WHISTLEBLOWER) DAN SAKSI PELAKU
YANG BEKERJA SAMA (JUSTICE COLLABORATOR) DALAM PERKARA KORUPSI
(Tesis)
Oleh
EMILSA HENDRAYITNA NPM 1322011067
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9
D. Kerangka Pemikiran ... 10
E. Metode Penelitian ... 16
F. Sistematika Penulisan ... 20
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 22
A. Perlindungan Hukum ... 22
B. Pengaturan Perlindungan terhadap Saksi dan Korban ... 24
C. Pengertian Tindak Pidana ... 32
D. Tindak Pidana Korupsi ... 37
E. Peran Hukum dalam Kehidupan Masyarakat ... 41
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56
A. Karakteristik Narasumber ... 56
B. Perlindungan Hukum terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) dalam Perkara Korupsi ... 57
C. Faktor-Faktor yang Menghambat Perlindungan Hukum terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) dalam Perkara Korupsi ... 90
IV. PENUTUP ... 101
A. Simpulan ... 101
B. Saran ... 102
1. Tim Pengr4ii
.
Sekretaris
'
'Pengqii Utama
Anggota
.,
:
Prsf; Dr.
Sunarto,D.trl1,S.II.,
:'
:
:
Dr. Ileni
Siswanto,
S.H.,I[.II.
.i
:
Dr. Ed{y
nifai;
S.II.,l[.IL
,:
Dr. Nihmah ltosldah,
S"II.,:lf.I[
.,
:
Dr. Ema
Dewi,S.II.,
F[.If.NIP 19621109 198705 1 005
Program Pascasarjana Universitas
tampung
.
$q{fanrc,
!f.S.
28 198105 7 0o2
i$;";
85ffi
f,{l/4?oOqA
I\ama Mahasiswa
Nomor Pokok Mahasiswa Prograrn l{ekhususan
Falerttas
"EAIIAPAP
(wrusrLEBLOrW&
DAnSArg
PDr,AmrYf,ltG
BEnEItri
$Arllrt{,IasfiIcv
mLLABOfrAnOn
DAI,ATU PDAIIAnAKORIIreI
.rnltsa !IJiqt:&,**qtg,
FIDIYGDTAHT}I
Ketua
hogram
kogram
$tudi Plagister1522011067
i'
I{ukum Pidana
flukum
TIDNT.DTUJUI
Dosen t{omisi Pembimbing
Dr.'Henl
$iswanto, $,[-.,
!l.Il.
NIP 19650204 199005 1 004Fakultas Hukum
ng
, S.H.,
[I.Ifnm.
.,'$'H';
If.fI.
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
l.
Tesis dengan judul: "Analisis Perlindungan llukum Terhadap Pelapr TindakPidana (whMleblower)
llan
saksi Pelaku yang Bekerja sama (Jusrtce Collaborator) dalam Perkara Korupsi', adalah karya saya sendiri dan saya tidakmelakukan penjiplakan atau pengutipan,atas karya penulis lain dengan cara yang
tidak sesuai dengan tata etika ihniah yang berlaku dalam masyarakat akademik
atau yang disebut plagiarisme.
2.
Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada UniversitasLampung.
Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya;
saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Bandar Lampung 23 Desember 2014
Yang Membuat Pernyataan,
i
PERSEMBAHAN
Penulis persembahkan Tesis ini kepada:
Ayah dan Ibu tercinta
Drs. Hi. Agus Cik, dan Ibu Hj. Lindayani, S.Pd.
Kedua orang tua yang telah membesarkanku, membimbingku dan senantiasa mendoakan keberhasilanku agar menjadi lebih baik.
Kasih sayangnya kepadaku yang tidak tidak pernah berhenti memanjatkan doa tiap hembusan nafas di tiap sujudnya,
serta selalu memberikan cinta
Adik-adik kandungku:
Siti Hardiyanti Pratiwi, A.Md. Yulia Tri Anggraeni Muhammad Ilham Akbar
Qorie Astria, S.Pi.
yang telah menjadi motivasi dan selalu memberikan dukungan serta do’a untukku agar dapat menyelesaikan studi
Seluruh saudaraku yang telah lama menantikan keberhasilanku dan selalu menasehatiku
agar menjadi lebih baik.
Sahabat- sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani
dan memberikan do’anya untuk keberhasilanku,
terima kasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang kita lalui bersama
Almamater Tercinta Universitas Lampung
i MOTO
“Sedikit bicara banyak bekerja”
”Berusahalah jangan sampai terlengah walau sedetik saja, karena atas kelengahan kita tak akan bisa dikembalikan seperti semula”
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Emilsa Hendrayitna, lahir di Bandar Lampung pada tanggal 29
Oktober 1990, merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Penulis merupakan
buah hati pasangan Bapak Drs. Hi. Agus Cik dan Ibu Hj. Lindayani, S.Pd.
Penulis mengawali pendidikan pada TK Pratama Bandar Lampung diselesaikan pada
tahun 1996, SD Negeri 1 Kampung Sawah Lama Bandar Lampung diselesaikan pada
tahun 2002, SMP Negeri 09 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005, SMA YP
UNILA Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008, dan kuliah pada Fakultas
Hukum Universitas Lampung, mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada tahun 2012.
Pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Magister
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah wasyukurilla[ segala
puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Menguasai Semesta Alam,sebab hanya dengan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Tesis yang
berjudul: Analisis Perlindungan
Irukum
Terhadap pelapor Tindak pidana (WhMleblower) ilaa Saksi Petaku yang Bekeria Sama (fu$ice Coyaborator) dalam Perkara Korupsi.Penyusunan Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Hukum pada Fakultas Hukum program pascasarjana universitas Lampung, yang di
dalam proses penyusunan hingga terselesaikannya Tesis
inr,
penulis banyakmendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanyq dalam kesernpatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Bapak Dr. Khaidir Anwar, SH., M.Hum. selaku Ketua program pascasarjanaProgram studi Ntagister Hukum Fakultas Hukum universitas Lampung.
2.
Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum UniversitasLampung.
3.
Ibu Dr. Nikmah Rosidah, s.H., M.H. selaku Ketua Bidang Kekhususan pidanaPascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai penguji
Tesis, atas masukan dan saran yang diberikan demi proses perbaikan Tesis.
4.
Bapak Prof. Dr. sunarto D.M, s.H., M.H., selaku pembimbing I, atas bimbingan6.
Bapak Dr. Eddy Rifai sJr., M.IL, selaku penguji utam4 yang telah memberilranmasukan dan saran demi perbaikan Tesis ini.
7.
Ibu Dr, Ema Dewi, s.H., M.H., selaku Penguji, yang telah memberikan masukandan saran demi perbaikan Tesis ini.
8.
Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmukepada penulis selama menempuh studi.
9. Seluruh
staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telahmemberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
10. Para narasumber penelitian
di
Pengadilan Negeri Tanjung Karang Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Polresta Bandar Lampung, dan LPSK Jakarta pusa! atasbantuan yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.
11. Seluruh Teman-teman Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung atas permhabatan dan kebersamaan selama menempuh studi serta dorongan dan motivasi yang diberikan dalam penyeresaian Tesis ini.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang merugikan keuangan
negara sehingga harus diberantas, karena dapat berdampak pada merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Tindak pidana
korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang komprehensif.
Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan supremasi hukum telah
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana
korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik
Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Aparat penegak hukum dalam menjamin penegakan hukum harus melaksanakan
hukum secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada
penyalahgunaan kekuasaan, ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam
setiap penegakan hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas
jaminan bebas dari segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan. 1
Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada
umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para
Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan pemerintahan daerah. Beberapa modus
operandi korupsi yaitu sebagai berikut:
1) Penggelapan; tindak pidana korupsi penggelapan antara lain ditandai dengan
adanya para pelaku, seperti menggelapkan aset-aset harta kekayaan negara atau
keuangan negara untuk memperkaya dirinya sendiri atau orang lain.
2) Pemerasan; bentuk tindak pidana korupsi pemerasan antara lain pelaku seperti
memaksa seorang secara melawan hukum yang berlaku agar memberikan
sesuatu barang atau uang kepada yang bersangkutan.
3) Penyuapan; bentuk tindak pidana korupsi penyuapan antara lain ditandai adanya
para pelakunya, seperti memberikan suap kepada oknum-oknum pegawai negeri
1
agar si penerima suap memberikan kemudahan dalam pemberian izin, kredit
Bank dll, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4) Manipulasi; bentuk tindak pidana korupsi manipulasi antara lain ditandai
dengan adanya para pelakunya yang melakukan mark up proyek pembangunan, SPJ, pembiayaan gedung/kantor, pengeluaran anggaran fiktif.
5) Pungutan Liar; bentuk tindak pidana korupsi pungutan liar antara lain ditandai
dengan adanya para pelakunya yang malakukan pungutan liar di luar ketentuan
peraturan. Umumnya pungutan liar ini dilakukan terhadap seseorang/korporasi
apabila ada kepentingan atau berurusan dengan instansi pemerintah.
6) Kolusi dan Nepotisme; yaitu pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau
kelompok politiknya pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparat pemerintah
tanpa memandang keahlian dan kemampuan. 2
Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidana khusus di luar KUHP, yang
memuat ketentuan di luar ketentuan pidana umum dan menyangkut sekelompok
orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Kekhususan dari hukum pidana khusus
dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana suatu perbuatan, ketentuan
tentang pidana dan tindakan dan mengenai dapat dituntutnya perbuatan. Jadi
penyimpangan dari ketentuan umum inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum
pidana khusus. Gejala-gejala adanya pidana delik-delik khusus menunjukkan
adanya diferensiasi dalam hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan
dengan adanya unifikasi dan ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus
2
Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak
mempunyai tujuan dan fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana
khususnya "tiada pidana tanpa kesalahan" harus tetap dihormati.
Pembagian hukum pidana selain ke dalam bentuk hukum pidana yang
dikodifikasikan dengan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan, juga dibagi atas
hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius speciale). Hukum pidana umum dan khusus ini tidak boleh diartikan dengan bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena memang bagian dari
umum dari hukum pidana menurut ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum,
sedang bagian khususnya memuat perumusan tindak-tindak pidana.3
Pembagian tersebut semula dimaksudkan agar suatu kodifikasi itu memuat suatu
bahan hukum yang lengkap, akan tetapi kita mengetahui bahwa terbentuknya
peraturan perundang-undangan pidana di luar kodifikasi tidak dapat dihindarkan
mengingat pertumbuhan masyarakat terutama di bidang sosial dan ekonomi (di
KUHP) dalam buku keduanya memuat sebagian besar dari delik-delik berupa
kejahatan, sedang di buku ketiga dimuat sebagian kecil dari delik-delik berupa
pelanggaran. Undang-Undang Pidana Khusus adalah undang-undang selain kitab
undang-undang hukum pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana.
Tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak disebutkan pengertian
korupsi secara tegas. Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan:
3
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, diketahui
ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan negara atau perekonomian negara; Pasal 3 menyebutkan bahwa tindak
pidana korupsi dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya tersebut.
Upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus dilaksanakan
secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan
kekuasaan, ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan
hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (procedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif
pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari
segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan.
Pihak yang melaporkan tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi disebut
tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan
bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Pelapor dan saksi pelaku yang
bekerja sama di dalam tindak pidana tertentu di Indonesia mendapatkan kebijakan
berupa perlakuan khusus dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana
(Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama (justice collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Pemberlakuan SEMA Nomor 04 Tahun 2011 tersebut merupakan suatu langkah
maju dalam program pemberantasan korupsi. Menurut SEMA tersebut dinyatakan
bahwa MA meminta para hakim memberi perlakuan khusus berupa keringanan
pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya kepada whistleblower dan justice collaborator. Ada beberapa pedoman penanganan whistleblower dan justice collaborator. Untuk kategori whistleblower, misalnya, SEMA tersebut memberi definisi yaitu seseorang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu
dan bukan justru menjadi pelaku tindak pidana tersebut. Selain itu SEMA tersebut
juga menegaskan bahwa apabila pelapor dilaporkan balik oleh terlapor, maka
perkara yang dilaporkan pelapor didahulukan.
SEMA Nomor 4 Tahun 2011 memberikan definisi justice collaborator,yakni seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui
perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan. Untuk dapat
disebut sebagai justice collaborator, jaksa dalam tuntutannya juga harus menyebutkan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan
penjara paling ringan dibandingkan para terdakwa lainnya dalam perkara yang
sama. Ditegaskan pula dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, bahwa pemberian
perlakuan khusus tetap harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Pemberlakuan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 merupakan bagian penting dari proses
transisi menuju sistem perlindungan saksi dan korban yang lebih baik dan pada
pelaksanaannya SEMA ini harus didukung oleh para pihak terkait khususnya aparat
penyidik, penuntut umum, dan juga petugas lembaga pemasyarakatan.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya kesenjangan antara peraturan
perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 04 Tahun 2011, yang pada intinya negara memberikan perlindungan kepada
pelapor dan saksi tindak pidana, dengan pelaksanaannya di lapangan, yaitu pelapor
tindak pidana (whistleblower) justru dipidanakan. Contohnya Susno Duadji yang melaporkan perkara korupsi pajak yang melibatkan Gayus Tambunan justru
dipidana penjara selama 3,6 Tahun. Contoh lainnya adalah Agus Chondro yang
melaporkan perkara suap cek pelawat Bank Indonesia justru dipidana penjara 1,3
tahun. Data ini menunjukkan bahwa pelapor tindak pidana korupsi justru
mendapatkan hukuman penjara, padahal seharusnya mereka mendapatkan perlakuan
dan perlindungan secara hukum karena keberaniannya mengungkap tindak pidana
korupsi yang merugikan keuangan negara.4
4
Contoh di Provinsi Lampung adalah pidana penjara terhadap Hendry
Anggakusuma selaku Direktur PT Naga Intan, justice collaborator dalam perkara korupsi pengadaan tanah PLTU Sebalang yang divonis 5 tahun penjara dan denda
Rp 250 juta subsider empat bulan penjara atas perkara korupsi pengadaan tanah
PLTU Sebalang serta pidana uang pengganti Rp 7,3 miliar kepada negara.
Sementara itu Mantan Wakil Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa divonis empat
tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara, dalam sidang di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri
Tanjungkarang, Senin 11 Februari 2013. 5
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dalam
penyusunan Tesis berjudul: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator) dalam Perkara Korupsi
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana
(whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator)
dalam perkara korupsi?
b. Mengapa terjadi faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap
pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama
(justice collaborator) dalam perkara korupsi?
5
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup substansi dalam penelitian ini adalah hukum pidana dengan objek
penelitian perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi. Waktu penelitian adalah dalam rentang tahun 2009-2014 dan tempat penelitian
dilaksanakan di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana
(whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator)
dalam perkara korupsi
b. Untuk menganalisis faktor yang menghambat perlindungan hukum terhadap
pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama
(justice collaborator) dalam perkara korupsi
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu
hukum pidana, khususnya yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap
pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak
hukum dalam memberikan perlakuan khusus terhadap pelapor tindak pidana
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu diharapkan hasil
penelitian ini berguna bagi berbagai pihak lain yang akan melakukan penelitian
mengenai tindak pidana korupsi di masa-masa mendatang.
D. Kerangka Pemikiran
1. Alur Pikir
Bagan 1. Alur Pikir Penelitian
Tindak Pidana Korupsi
Whistleblower
Justice Collaborator
Perlindungan Hukum
UU No 13 Tahun 2006 SEMA No 04 Tahun 2011
Pelaksanaan Perlindungan Pemberian keringanan pidana
Mendahulukan penanganan perkara
Menjatuhkan pidana percobaan khusus atau paling ringan
Faktor Penghambat Substansi Hukum
Aparat Penegak Hukum
Sarana dan Prasarana
Masyarakat
Faktor Budaya
2. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk
pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum.6 Perlindungan
hukum terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi merupakan upaya perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap keselamatan baik fisik maupun
psikis kepada pelapor tindak pidana, karena peran mereka dalam membantu aparat
penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kerangka teoritis yang digunakan dalam menganalisis perlindungan hukum
terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama
(justice collaborator) dalam perkara korupsi adalah sebagai berikut:
a. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari
munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau
aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan
Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa
hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara
hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang
bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal
dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.7
6
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm. 32
7
Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat
karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan
tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain
pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,
sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia
yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni
perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum
yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan
masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota
masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili
kepentingan masyarakat.8
Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, menyatakan bahwa seseorang saksi dan korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
c. Memberi keterangan tanpa tekanan. d. Mendapat penerjemah.
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus. g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan. h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. i. Mendapat identitas baru.
j. Mendapat tempat kediaman baru.
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
8
Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban menyatakan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
diberikan kepada saksi dan korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai
dengan keputusan LPSK.
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu
di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang
sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.
Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial,
ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.9
Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat
sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan
hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang
mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan
berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan10
Sesuai dengan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa fungsi hukum adalah
melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan
menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Selain itu
9
Ibid, hlm. 55.
10
berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum pidana bukan semata-mata
pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang
mempengaruhinya, sebagai berikut:
1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.
2) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.
3) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.
4) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.
5) Faktor Kebudayaan
semakin mudah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.11
2. Konseptual
Konseptual merupakan susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam penelitian, batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian
ini sebagai berikut:
a. Perlindungan hukum adalah upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan
untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan korban yang wajib dilaksanakan
oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan–ketentuan
Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban).
b. Pelapor tindak pidana (whistleblower) adalah seseorang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan justru menjadi pelaku tindak
pidana tersebut. SEMA menegaskan apabila pelapor dilaporkan balik oleh
terlapor, maka perkara yang dilaporkan pelapor didahulukan (SEMA Nomor 4
Tahun 2011)
c. Saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) adalah seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya
dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan (SEMA Nomor 4 Tahun
2011)
d. Laporan adalah tindakan hukum berupa pemberitahuan yang disampaikan oleh
seseorang karena hak dan kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada
11
pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya
suatu peristiwa pidana. 12
e. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar
atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku
tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum 13
f. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) (Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu upaya memahami
persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu
hukum14 Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk menganalisis perlindungan
hukum terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang
12
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Pressindo, Jakarta. 2001. hlm. 31.
13
Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan
Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994. hlm.
76.
14
bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi dan -faktor yang menghambat perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi
2. Sumber dan Jenis Data
Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Data terdiri dari data langsung yang
diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi pustaka.
Jenis data meliputi data primer dan data sekunder. Data yang digunakan dalam
penelitian adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai bahan
hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdiri dari:
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
5) Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari:
1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
2) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan
hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami
permasalahan, seperti literatur hukum, kamus hukum dan sumber dari internet.
3. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka (library research). Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku
literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dan dilakukan pula studi
dokumentasi untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan
4. Penentuan Narasumber
Selain studi pustaka juga dilakukan wawancara kepada narasumber penelitian
untuk memperdalam analisis, yaitu kepada:
a) Penyidik Polresta Bandar Lampung : 1 orang
b) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang
c) Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 1 orang
d) Staf LPSK di Jakarta : 1 orang +
Jumlah : 4 orang
4. Pengolahan Data
Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data
lapangan, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan
yang diteliti. Adapun pengolahan data yang dimaksud meliputi tahapan sebagai
berikut:
1) Seleksi Data, yaitu tahap memeriksa data untuk mengetahui kelengkapannya
dan dipilih sesuai dengan pokok bahasan
2) Klasifikasi Data, yaitu tahap penempatan data menurut kelompok-kelompok
yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar
diperlukan dan akurat sesuai pokok bahasan
3) Penyusunan Data, yaitu tahap menyusun data yang saling berhubungan dan
merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada pokok bahasan sesuai
5. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis
kualitatif, dengan menguraikan data dalam bentuk kalimat per kalimat yang
tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan
untuk memperoleh suatu kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan
metode deduktif, yaitu menguraikan hal-hal yang umum lalu menarik kesimpulan
yang bersifat khusus
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami isi Tesis ini maka akan dibagi menjadi 4
(empat) bab, dengan sistematika penulisan Tesis sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan
kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi berbagai konsep atau kajian dalam penyusunan Tesis dan diambil dari
berbagai bahan pustaka yang terdiri dari pengertian perlindungan hukum,
pengaturan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban, pengertian tindak
pidana, tindak pidana korupsi dan peran hukum dalam kehidupan masyarakat
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan yang dianalisis dari penjelasan para
(whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi dan faktor-faktor yang menghambat perlindungan hukum terhadap
pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi.
IV. PENUTUP
Bab ini berisi simpulan sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan, serta saran
yang ditujukan kepada pihak-pihak yang relevan dengan kajian penelitian, demi
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi.
Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu
hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang
dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan
hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak
ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa
berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu. 1
Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian
meragukan keberadaan hukum. Hukum harus memberikan perlindungan terhadap
semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki
kedudukan yang sama dihadapan hukum. Aparat penegak hukum wajib
menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak
langsung pula hukum akan memberikan perlindungan pada tiap hubungan hukum
atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum.
Perlindungan hukum dalam hal ini sesuai dengan teori interprestasi hukum
sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa interpretasi atau
1
penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup
kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh
hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat
diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit.
Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna
undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan ketentuan
yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. 2
Penafsiran sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding), berangkat dari pemikiran, bahwa pekerjaan kehakiman memiliki karakter logikal.
Interpretasi atau penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju
kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan
hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau
alat untuk mengetahui makna undang-undang.3
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif
(pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang
secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.
Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:
2
Ibid. hlm. 39.
3
1) Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana
kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif,
2) Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana lebih
ditujukan dalam penyelesian sengketa.4
Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi
atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia
yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan
Pancasila. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir
seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu
terdapat banyak macam perlindungan hukum.
B. Pengaturan Perlindungan terhadap Saksi dan Korban
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
pada prinsipnya melindungi saksi dan korban, perlindungan terhadap korban
kejahatan dibutuhkan banyak keterlibatan para pihak, para pihak disini dapat juga
institusi pemerintah yang memang ditugaskan sebagai suatu lembaga yang
menangani korban kejahatan, dapat juga masyarakat luas, khususnya ketertiban
masyarakat disini adalah peran serta untuk turut membantu pemulihan dan
memberikan rasa aman bagi korban di mana korban bertempat tinggal. Oleh karena
itu tujuan akhir dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat” untuk
mencapai tujuan utama sering disebut dengan istilah, misalnya “kebahagiaan
masyarakat dan individu” (happiness of citizens), “kehidupan kultural yang sehat
4
dan menyegarkan” (a wholesome and cultural living), “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) atau untuk mencapai “keseimbangan” (equality). Memperhatikan tujuan di atas tersebut, maka wajarlah apabila dikatakan bahwa politik kriminal
merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, menyatakan sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan atau korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga saksi dan atau korban tidak memberikan kesaksian pada tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu Tahun dan paling lama lima Tahun dan dipidana denda paling sedikit empat puluh juta rupiah dan paling banyak dua ratus juta rupiah.
(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan atau korban, dipidana dengan penjara paling singkat dua Tahun dan paling lama pidana penjara tujuh Tahun dan pidana denda paling sedikit delapan puluh juta rupiah dan paling banyak lima ratus juta rupiah.
(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaaan kehendak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya saksi dan atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima Tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit delapan puluh juta rupiah dan paling banyak lima ratus juta rupiah
Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, menyatakan bahwa seseorang saksi dan korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
c. Memberi keterangan tanpa tekanan. d. Mendapat penerjemah.
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
j. Mendapat tempat kediaman baru.
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban menyatakan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
diberikan kepada saksi dan korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai
dengan keputusan LPSK.
Menurut Heni Siswanto, Penegakan Hukum Pidana (PHP) makin jauh dari rasa
keadilan karena didapati berbagai putusan penegakan hukum yang tidak mampu
memberi kepuasan atau memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan masyarakat
pada umumnya. Penegakan hukum yang terjadi, tidak atau menjadi hambatan untuk
mendorong kegiatan atau perubahan sosial. Alhasil, penegakan hukum dipandang
sebagai sesuatu yang menempati garis depan dalam berbagai masalah sosial, politik,
ekonomi yang sedang terjadi. Penegakan hukum yang kurang berkualitas ini terjadi
karena penegakan hukum berjalan dalam praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme
(KKN), tidak atau kurang profesional, dan lain-lain nuansa serba kurang lainnya.5
Selama ini PHP yang benar dan adil selalu diarahkan pada pelaku (aparat)
penegakan hukum yang dituntut untuk menjadi penegak hukum yang benar dan
adil. Sementara, penegakan hukum tidak berada dalam suatu wilayah yang kosong.
Penegakan hukum terjadi dan berlaku di tengah masyarakat. Bahkan, penegakan
hukum bukan sekedar berada di tengah masyarakat, melainkan dapat dipengaruhi
5
Heni Siswanto, Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana Menghadapi Kejahatan
oleh keadaan dan interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Keterpengaruhan
ini akan menempatkan sistem penegakan hukum pidana yang berbeda.6
Merebaknya malpraktik di jajaran institusi penegakan hukum pidana merupakan
hambatan penegakan hukum, khususnya pemberantasan KKN di kalangan birokrat.
Secara umum, ketiga institusi pemberantas KKN (Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan) tersebut dituntut untuk memiliki track record bersih, berani dan profesional. Pertama, Sumber Daya Manusia (SDM) penegak hukum yang bersih
diartikan bukan saja mereka tidak terlibat dalam praktik KKN melalui track record
masa lalu, melainkan mereka juga tidak memiliki perasaan utang budi (gratitude of indebtedness) dengan penguasa orde baru atau sebelumnya. Secara faktual utang budi dapat menimbulkan rasa pakewuh dan menjadi penghambat tegaknya supremasi hukum. Kedua, keberanian adalah parameter dari spirit perjuangan.
Perilaku jujur, bagi SDM penegak hukum sangat penting untuk menjadi jaminan
terselenggaranya supremasi hukum. Sikap berani disini bukan sekadar kesiapan
melakukan tindakan hukum tanpa rasa takut. Justru keberanian harus diartikan
sebagai kesiapan menerima resiko atas tugas dan kewajiban demi tanggung jawab.
Ketiga, parameter profesional, cerdas dan bijak menjadi syarat utama proses hukum
yang benar. Selain itu, keberanian yang mengacu kepada komitmen ilmu
pengetahuan hukum yang kritis dan progresif juga mutlak diperlukan. Suatu
pemikiran hukum yang membebankan tugas dan kewajiban pada upaya kerja
hukum yang obyektif, akuntabel dan responsif. Mereka dipastikan menjadi
pendukung pemerintah yang menolak menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) sebagai simbol pelestarian status quo. Oleh karena itu, baik polisi, jaksa,
6
dan hakim memerlukan kemampuan intelektual yang berimbang. Tidak sekadar
mempunyai kemampuan menguasai hukum positif, mereka juga harus dapat
memahami fakta-fakta secara benar, sehingga kecenderungan penggunaan hukum
yang tidak adil (obstruction of justice) dapat dihindarkan.7
Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip Heni Siswanto, ada berbagai syarat
yang harus dipenuhi untuk penegakan hukum yang adil atau berkeadilan, pertama,
aturan hukum yang akan ditegakkan benar dan adil yang dibuat dengan cara-cara
yang benar dan materi muatannya sesuai dengan kesadaran hukum dan memberi
sebesar-besarnya manfaat bagi kepentingan orang perorangan dan masyarakat
banyak pada umumnya. Kedua, pelaku penegakan hukum yang dapat disebut
sebagai kunci utama penegakan hukum yang adil dan berkeadilan. Di tangan
penegak hukum, aturan hukum yang bersifat abstrak menjadi konkrit. Secara
sosiologis, inilah hukum yang sebenarnya, terutama bagi pencari keadilan. Ketiga,
lingkungan sosial sebagai tempat hukum berlaku. Hukum, baik dalam pembentukan
maupun penegakannya, sangat dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan sosial,
ekonomi, politik maupun budaya, meskipun dalam situasi tertentu, diakui hukum
dapat berperan sebagai sarana pembaharuan, tetapi dalam banyak hal hukum adalah
cermin masyarakat.8
Tekanan publik terhadap penegakan hukum dapat mempengaruhi putusan penegak
hukum. Begitu pula kepentingan-kepentingan tertentu, seperti kepentingan ekonomi
dan politik yang dominan dapat menentukan wujud penegakan hukum. Oleh sebab.
itu, perlu diciptakan berbagai persyaratan sosial yang kondusif agar penegakan
7
Ibid, hlm. 2-3.
8
hukum dapat dilakukan secara benar dan adil. Persyaratan itu antara lain,
tumbuhnya prinsip egalitarian, keterbukaan untuk menciptakan berbagai
keseimbangan dalam perikehidupan masyarakat. Dalam berbagai perbedaan yang
begitu tajam, baik sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, akan dialami kesulitan
menciptakan sistem penegakan hukum pidana yang benar dan adil, karena hukum
akan berpihak pada kekuatan-kekuatan dominan yang mungkin tidak berpihak pada
kebenaran dan keadilan. Hukum yang benar dan adil hanya dapat berperan dalam
tatanan yang seimbang dan tidak dalam tatanan ekstrimitas tertentu. Ada dua aspek
penting untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, yaitu tata
cara penegakan hukum (procedural justice) dan isi atau hasil penegakan hukum (substantive justice) 9
Penegakan hukum dilaksanakan sesuai dengan sistem hukum yang berlaku, yaitu
melalui pemidanaan yang bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan
rasa damai pada masyarakat; memasyarakatkan dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Dasar hukum perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak
Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama (justice collaborator)
di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
9
Angka (7) SEMA Nomor 04 Tahun 2011 menyatakan bahwa MA meminta para
hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan
sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat memberi
perlakuankan khusus, dengan antara lain keringanan pidana dan/atau bentuk
perlindungan lainnya.
Selanjutnya Angka (8) SEMA Nomor 04 Tahun 2011 menyatakan bahwa pedoman-
pedoman yang harus ditaati dalam penangana kasus pelapor tindaka pidana
(whistleblower) adalah:
(a) Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkan
(b) Apabila pelapor tindak pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan dibandingkan dengan laporan dari terlapor
Angka (9) SEMA Nomor 04 Tahun 2011 menyatakan bahwa pedoman-pedoman
yang menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama adalah:
(a) Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.
(b) Jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana
(c) Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut: (1) Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau
(2) Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud
Sikap masyarakat yang cenderung tidak mau berurusan dengan masalah hukum
menjadi penyebab mereka tidak bersedia menjadi pelapor atau saksi. Padahal secara
ideal, dalam konteks penegakan hukum, masyarakat dapat berperan secara aktif
baik sebagai pelapor atau sebagai saksi. Dalam sistem hukum pidana dikenal
beberapa istilah berkenaan dengan status hukum masyarakat, di antaranya adalah
pelapor, tersangka, terdakwa, saksi, dan saksi ahli. Dalam kaitannya dengan
penelitian ini yaitu bagaimana peran serta masyarakat dalam proses penegakan
hukum, maka status dan kedudukan masyarakat yang kiranya menjadi perhatian
utama adalah status dan kedudukan masyarakat sebagai pelapor dan saksi.
Untuk dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum pidana terhadap orang
yang telah melakukan kejahatan sangat dibutuhkan sekali adanya laporan/
pengaduan dari masyarakat tentang telah terjadinya kejahatan tersebut. Tanpa
adanya laporan dari masyarakat, sulit kiranya diketahui telah terjadi pelanggaran
tersebut, hal ini dikarenakan sangat terbatasnya jumlah personil penegak hukum.
Oleh karena itu, pada sisi inilah peran serta masyarakat dalam upaya penegakan
hukum dengan melaporkan semua yang mereka tahu kepada institusi yang
berwenang menjadi suatu kebutuhan.
Orang atau masyarakat yang melaporkan tentang adanya suatu tindak pidana
disebut dengan Pelapor, dan laporan itu sendiri oleh hukum diterjemahkan sebagai
tindakan hukum berupa pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena
hak dan kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang
tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya suatu peristiwa pidana. Jadi
merujuk pada pengertian tersebut di atas, sesungguhnya melaporkan suatu tindak
Kepastian, kegunaan, keadilan antara lain akan tampak apabila diperankan oleh
penegak hukum dalam menjalankan aturan hukum yang berlaku dan tidak
melupakan perlindungan saksi dan korban dalam menegakan hukum tersebut,
perlindungan saksi korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau
korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana (Pasal 5
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban).
C. Pengertian Tindak Pidana
Menurut P.A.F Lamintang, tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.10
Menurut Andi Hamzah, tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan
dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung
jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi
masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan11
Tingkah laku yang jahat immoral dan anti sosial akan menimbulkan reaksi berupa
kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelas akan merugikan
masyarakat umum. Mengingat kondisi tersebut maka setiap warga masyarakat
10
P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 16.
11
secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi yang berwenang
seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain-lain
wajib menanggulangi setiap tindak kejahatan atau kriminal. Setiap kejahatan yang
dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap
ketetapan hukum dan peraturan pemerintah.
Menurut P.A.F Lamintang, tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum
pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan
istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan
merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab
itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang
siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib
dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik
di tingkat pusat maupun daerah.12
Menurut Andi Hamzah, tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan
dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung
jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi
masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.13
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana
adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur
12
Ibid. hlm. 20.
13
kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,