ABSTRACT crime. Problem in this research is how the criminal case proof of immigration (People Smuggling) in the jurisdiction of the district court Kalianda? and Why the obstacles in proving criminal cases in the area of immigration (People Smuggling) in the jurisdiction of the district court Kalianda?
Approach used is a juridical problem normative and empirical. Data were collected through library research and field studies. The next data is analyzed qualitatively and then conclude with an inductive method.
Based on the result of this study concluded: Proof in Civil Court decisions Number: 31O/Pid.Sus/2013/PN.KLD, that Criminal Code does not only reach the citizens of Indonesia but also foreign nationals who commit criminal acts within the jurisdiction of the Republic of Indonesia in accordance with the territorial principle applicable in Indonesia; The importance of mentoring bya translator or interpreter in court that the defendant is a foreign national, so that the defendant can see and understand clearly what is charged; The importance of the presence of the witnesses in the trial of a criminal case to strengthen the evidence upon which the accused defendant errors, especially in criminal cases of people smuggling; The facts revealed in the trial was associated with evidence may be an indication of the guilt of the accused. Causes of bottlenecks in the proof of criminal assault on immigration (people smuggling) influenced by law enforcement and infrastructure factors. This is caused by a shortage of human resources, facilities and enforcement of existing facilities inadequate.
Suggestions in this study: Need to establish a special law regulating people smuggling, in order to strengthen the position of Indonesian government in addressing the problem of human trafficking as well as need for increased human resources, allocation of funds/budget, and facilities in law enforcement efforts against acts.
ABSTRAK
Penyelundupan manusia dapat menjadi ukuran lemahnya sistem hukum suatu negara dalam menangani motivasi terselubung dari para imigran untuk menjadikan negara tersebut sebagai negara perantara untuk kejahatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pembuktian perkara Tindak Pidana Keimigrasian (Penyelundupan Manusia) di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda? dan Mengapa terjadi hambatan dalam pembuktian perkara Tindak Pidana Keimigrasian (Penyelundupan Manusia) di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda?.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Data penelitian dikumpulkan melalui studi pustaka dan studi lapangan. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif kemudian ditarik kesimpulan dengan metode induktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan: Pembuktian pada putusan Pengadilan Negeri Nomor: 310/Pid.Sus/2013/PN.KLD, bahwa KUHP tidak hanya menjangkau warga negara Indonesia tetapi juga warga negara asing yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia sesuai dengan asas teritorial yang berlaku di Indonesia; pentingnya pendampingan oleh penerjemah atau juru bahasa dalam persidangan yang terdakwanya berkewarganegaraan asing, agar terdakwa dapat mengerti dan memahami dengan jelas apa yang didakwakan kepadanya; pentingnya kehadiran saksi korban dalam persidangan perkara pidana untuk memperkuat pembuktian atas kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa khsusunya dalam kasus tindak pidana penyelundupan manusia; fakta-fakta yang terungkap di persidangan dikaitkan dengan barang bukti serta adanya persesuaian dengan alat bukti lainnya dapat menjadi petunjuk atas kesalahan terdakwa. Penyebab terjadinya hambatan dalam pembuktian perkara tindak pidana keimigrasian (penyelundupan manusia) dipengaruhi oleh faktor penegak hukum dan faktor sarana dan prasarana. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia serta sarana dan fasilitas penegakan hukum yang ada belum memadai.
Saran dalam penelitian ini: Perlunya dibentuk suatu undang-undang khusus yang mengatur tentang penyelundupan manusia, guna memperkuat posisi pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah penyelundupan manusia serta dibutuhkan peningkatan sumber daya manusia, alokasi dana/anggaran, serta sarana dan prasara dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana penyelundupan manusia.
i
ANALISIS YURIDIS PEMBUKTIAN PERKARA
TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN (PENYELUNDUPAN MANUSIA) (Studi Putusan Nomor: 310/Pid.Sus/2013/PN.KLD)
Oleh
FRANSISCA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM
Pada
Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
i
ANALISIS YURIDIS PEMBUKTIAN PERKARA
TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN (PENYELUNDUPAN MANUSIA) (Studi Putusan Nomor: 310/Pid.Sus/2013/PN.KLD)
(Tesis)
Oleh
FRANSISCA
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 11
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 12
D. Kerangka Pemikiran ... 13
E. Metode Penelitian ... 25
F. Sistematika Penulisan ... 30
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian ... 31
B. Pengertian Keimigrasian ... 50
C. Penegakan Hukum ... 73
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 83
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis tentang Pembuktian pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 310/Pid.Sus/2013/PN.KLD ... 88
IV. PENUTUP
A. Simpulan ... 118
B. Saran ... 119
DAFTAR PUSTAKA
i
MOTO
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”
i
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya kecilku ini kepada:
Allah SWT Sang Pencipta Semesta Alam.
Atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan-Nya kepadaku dalam menyongsong masa depanku kelak
Alhamdulillah, semua hasil ini karena ku berharap berkah dari-Mu guna menjadi hamba-Mu yang bermanfaat untuk kehidupan di dunia dan akhirat
Bapak dan Mama tercinta
yang telah tulus ikhlas mendampingi dan memberikan separuh hidup kalian untuk mengasihiku dan menjagaku, mendidikku hingga kini ku dewasa, kalian terindah
dalam hidupku dan akan selalu menjadi terindah, nasihat dan bimbingan kalian yang selalu ku butuhkan dalam mencapai keberhasilanku, kalian adalah orang
terhebat dalam hidupku
(Alm) Papa dan Mama Mertuaku
yang turut mendukung serta mendoakan keberhasilanku..terima kasih..
Kakak dan adik-adikku tersayang (Mba Novi, Edo, Adi dan Deta) yang selalu memberiku semangat dan doa untuk keberhasilan kita semua
Suamiku tersayang Andi Sopiyan, S,H., M.H. dan anakku tersayang Aliya Khumaira Andi
terima kasih untuk rasa pengertian, kesabaran dan dukungan yang selalu diberikan untuk keberhasilanku, kalian adalah semangat hidupku
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Fransisca, dilahirkan di Bernung,
Gedung Tataan pada tanggal 16 Nopember 1981, sebagai
putri kedua dari lima bersaudara, buah hati pasangan
Bapak Piston Simamora dan Ibu Sri Safitri.
Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SDN) 1 Way Halim Permai
diselesaikan pada Tahun 1993, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1
Kedaton diselesaikan pada tahun 1996, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 5
Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 1999. Selanjutnya pada Tahun 2003,
penulis menyelesaikan pendidikan pada Program Strata Satu (S1) pada Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Pada Tahun 2015 penulis menyelesaikan
pendidikan Program Pascasarjana Magister Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Pada Tahun 2007 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan
Republik Indonesia dan ditugaskan di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Pada
Tahun 2010 penulis dilantik sebagai Jaksa Fungsional dan ditugaskan di
Kejaksaan Negeri Tanjung Pandan. Pada Tahun 2012 penulis pindah tugas ke
I.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, telah membawa dampak pada
peningkatan lalu lintas orang semakin tinggi, sehingga batas-batas negara seakan
tersamarkan dan semakin mudah ditembus demi berbagai kepentingan manusia
seperti perdagangan, industri, pariwisata dan alasan lainnya.
Globalisasi juga telah menciptakan transnasionalisasi yang dapat diidentifikasikan
sebagai pergerakan para migran ke seluruh wilayah di dunia yang tidak hanya
manusianya saja tetapi juga secara bersamaan turut serta bergeraknya kebijakan
politik suatu negara, bergeraknya modal uang dan manusia (money dan human
capital), bergeraknya sekelompok ras atau bangsa, bergeraknya masalah sosial
budaya baik secara perorangan maupun kelompok, serta berubahnya kondisi
keaMannan dan ketertiban suatu wilayah domestik maupun regional.1
Migrasi bukanlah fenomena yang baru. Selama berabad-abad, manusia telah
melakukan perjalanan untuk berpindah mencari kehidupan yang lebih baik ditempat
yang lain. Dalam beberapa dekade terakhir ini, proses globalisasi telah meningkatkan
1
faktor yang mendorong para imigran untuk mencari peruntungan di luar negeri. Hal
ini kemudian menyebabkan meningkatnya jumlah aktivitas migrasi dari
negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Eropa Timur ke Eropa
Barat, Australia dan Amerika Utara.2
Era globalisasi kemudian memunculkan potensi untuk terjadinya
penyimpangan-penyimpangan. Akses yang gampang dan peraturan yang mudah dipermainkan
menimbulkan suatu praktek kejahatan lintas negara. Kejahatan lintas negara ini
sejatinya sudah ada sejak dahulu, tetapi sesuai perkembangan jaman, pelbagai inovasi
telah dilakukan oleh para pelanggar sehingga kejahatan lintas negara pun muncul
dalam kemasan yang teroganisir dengan melibatkan banyak pihak, baik dari dalam
maupun luar negeri. Berangkat dari fenomena inilah kemudian muncul praktek
penyimpangan yaitu melakukan aksi untuk memindahkan manusia ke negara-negara
tujuan secara ilegal karena batasan dan ketidakmampuan dari para imigran dalam
memenuhi syarat sebagai imigran resmi.
Kejahatan lintas negara, atau yang dikenal dengan istilah kejahatan transnasional
menimbulkan banyak kerugian bagi suatu negara, bahkan bagi daerah-daerah tertentu
di dalam negara tersebut. Pelbagai penyimpangan yang dapat dilakukan, seperti
pengeksploitasian sumber daya (sumber daya alam dan sumber daya manusia) yang
terlalu berlebihan berdampak kepada manusia yang ada dunia, dengan munculnya
atau menguatnya masalah-masalah, seperti kemiskinan, konflik, dan kerugian lainnya
2
Manshur Zikri, 05 Januari 2011, Permasalahan Imigran Gelap dan People Smuggling dan
Usaha-Usaha serta Rekomendasi Kebijakan dalam Menanggulanginya,
yang bersifat materi. Bencana alam pun menjadi salah satu masalah yang kemudian
dipertanyakan sebab-musabab munculnya terkait dengan praktek kejahatan antar
bangsa yang mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan. Dengan demikian,
kejahatan transnasional “berhasil” menjadi masalah bersama, masalah di
negara-negara dunia, menjadi masalah nasional dan internasional.3
Berkaitan dengan konteks kejahatan transnasional, penyelundupan manusia (people
smuggling) merupakan salah suatu bentuk kejahatan transnasional yang
terorganisasi,4 yang potensial menimbulkan berbagai macam implikasi pada
kejahatan lain. Penyelundupan manusia dapat menjadi takaran lemahnya sistem
hukum suatu negara dalam menangani motivasi terselubung dari para imigran untuk
menjadikan negara tersebut sebagai negara perantara untuk kejahatan.
Indonesia sebagai salah satu negara di dunia memiliki potensi yang kuat untuk
terjadinya praktek kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional bukan hanya
didorong oleh faktor perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya penegakan
hukum di Indonesia. Akan tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu
sendiri. Indonesia merupakan negara kepulauan secara geografis memiliki banyak
pintu masuk antara lain bandara, pelabuhan, batas darat dan perairan. Selain itu,
Indonesia juga memiliki garis pantai yang sangat panjang dan merupakan wilayah
yang terletak pada posisi silang jalur lalu lintas dagang dunia, juga menjadi faktor
utama yang menyebabkannya berpotensi kuat untuk terjadinya kejahatan
3
Manshur Zikri, Ibid.
4
transnasional. Kejahatan transnasional di negeri ini juga dapat terjadi karena jumlah
penduduk Indonesia yang terbilang besar.5
Penyelundupan manusia (people smuggling) umumnya dapat terjadi dengan
persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan untuk diselundupkan dan
alasan yang paling umum dari mereka adalah peluang untuk mendapatkan pekerjaan
atau memperbaiki status ekonomi, harapan untuk mendapatkan penghidupan yang
lebih baik bagi diri sendiri atau keluarga, dan juga untuk pergi menghindari konflik
yang terjadi di negara asal. People smuggling sesungguhya berangkat dari adanya
dorongan untuk menjadi imigran gelap. Oleh karena itu, sebab-sebab yang
memunculkan terjadinya imigran gelap dapat pula menjadi sebab-sebab munculnya
tindakan penyelundupan manusia.6 Banyaknya praktek penyelundupan manusia juga
disebabkan oleh para imigran yang terbuai bujuk rayu para agen penyelundup
(smuggler). Selain itu, faktor eksternal yang berasal dari negara tujuan juga menjadi
alasan utama bagi imigran gelap untuk berpindah dari negara asal, diantaranya adalah
sistem ekonomi negara tujuan yang stabil sehingga memungkinkan para imigran,
dalam pemahaman mereka, mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak.
Penyelundupan Manusia (people smuggling), menurut definisi Pasal 3 Protokol PBB
Tahun 2000 tentang Penyelundupan Manusia, berarti mencari untuk mendapat,
langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya, dari
masuknya seseorang secara ilegal ke suatu bagian negara dimana orang tersebut
5
Darwan Prinst, 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik (Jakarta: Djambatan), hlm. 27-28.
6
bukanlah warga atau memiliki izin tinggal. Masuk secara ilegal berarti melintasi batas
negara tanpa mematuhi peraturan/perijinan yang diperlukan untuk memasuki wilayah
suatu negara secara legal.
Penyelundupan Manusia (people smuggling) menjadi lahan bisnis tersendiri yang
sangat menguntungkan. Diperkirakan setiap tahunnya dapat menghasilkan
keuntungan sebesar lima hingga sepuluh juta dolar. Berdasarkan perkiraan tersebut,
setidaknya satu juta imigran harus membayar rata-rata sebesar lima hingga sepuluh
ribu dolar secara paksa ketika melintasi perbatasan antar negara. Organisasi
Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa penyelundupan manusia, yang
merupakan “sisi gelap” dari globalisasi, adalah sebuah bisnis besar yang kian tumbuh
dan berkembang.7 Selain itu, people smuggling juga menimbulkan masalah tersendiri
bagi negara tempat mereka meminta suaka. Hal ini juga melanda negara Indonesia.
Regulasi pengawasan lalu lintas orang, singgah dan tinggal orang asing di negara lain
pun semakin dirasakan sangat penting. Demi keharmonisan antar negara, kelancaran
bisnis dan segala urusan antar negara perlu diatur dalam bentuk kerjasama, baik
bilateral maupun multilateral.8 Indonesia menyikapi hal ini dengan mengesahkan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan segala peraturan
pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan
Menteri, Keputusan Menteri yang terkait dan para pejabat lainnya. Dalam
perkembangannya telah disahkan dan dinyatakan berlaku Undang-Undang Nomor 6
7
Martin, Philip & Mark Miller, Smuggling and Trafficking: A Conference Report. International Migration Review, Vol. 34, No. 3, Autumn, 2000, hlm. 969-975.
8
Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian terhitung mulai tanggal
5 Mei 2011.9 Sedangkan Peraturan Pelaksanannya masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian atau belum diganti dengan yang baru.10 Semua ketentuan dan kebijakan
pemerintah ini akan selalu didasarkan pada koridor kebijakan politik keimigrasian
kita yang bersifat selektif, bukan lagi secara terbuka sebagaimana dahulu dianut
pemerintah penjajahan Belanda di Indonesia.11
Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat tidak dapat menolak orang asing untuk
masuk ke Indonesia atau melarang warganegaranya (orang Indonesia) untuk
bepergian ke luar negeri. Indonesia sebagai negara kepulauan banyak tempat-tempat
yang berdekatan dengan negara lain, sehingga orang dapat masuk dan keluar dari
tempat terdekat dari Indonesia seperti Singapura bisa masuk ke Indonesia melalui
Batam, Malaysia bisa masuk ke Indonesia melalui Medan, atau orang Indonesia yang
akan pergi ke Brunei maka orang tersebut bisa pergi melalui Kalimantan Timur dan
sebagainya. Salah satu diantara banyaknya kasus penyelundupan manusia ini adalah
yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda.
Kasus atas nama terdakwa Imam Hussen alias Hasim seorang warga negara asing
berkewarganegaraan Myanmar yang dinyatakan terbukti bersalah oleh Hakim karena
melakukan tindak pidana “turut serta membawa seseorang atau kelompok orang yang
9
Sihar Sihombing, Ibid, hlm. 14.
10
Ibid, hlm. 13.
11
tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki wilayah Indonesia yang orang tersebut
tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah tanpa menggunakan
dokumen perjalanan”. Perbuatan terdakwa Imam Hussen alias Hasim tersebut terbukti melanggar ketentuan Pasal 120 Ayat (1) UU RI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Kasus ini bermula ketika sebelumnya Hakim telah memutus bersalah Paulus Ginting
Bin S. Ginting dengan putusan Pengadilan Negeri Kalianda Nomor:
180/PID.B/2013/PN. KLD tanggal 17 September 2013. Imam Hussen alias Hasim telah terbukti turut serta dengan Pulus Ginting Bin S. Ginting membawa 2 (dua) orang warga negara asing yang merupakan imigran ilegal asal Myanmar yakni
Muhammad Masud Bin M. Mannan Miyah dan Abu Sayed Bin Oboraly masuk ke
wilayah Indonesia tanpa dilengkapi dengan dokumen keimigrasian yang sah berupa
paspor ataupun identitas diri lainnya. Imam Hussen alias Hasim berada di Indonesia sebagai pengungsi sejak tanggal 7 Oktober 2010 berdasarkan kartu pengungsi yang
dikeluarkan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
Indonesia dengan nomor: 186-10C01321.
Selama pemeriksaan di persidangan terdapat beberapa kejanggalan yang pertama, pada saat persidangan terdakwa Imam Hussen alias Hasim tidak didampingi oleh penerjemah padahal terdakwa Imam Hussen tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga
saat persidangan bagi terdakwa wajib hukumnya Hakim Ketua meminta atau
memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan seorang penerjemah
dengan jelas apa yang didakwakan kepadanya sebagaimana ketentuan Pasal 53 Ayat
(1) KUHAP Jo Pasal 177 Ayat (1) KUHAP yang mengatur hak terdakwa didampingi
oleh seorang “Juru Bahasa” (penerjemah), kedua, tidak dihadirkannya 2 (dua) orang
saksi warga negara asing yang merupakan imigran ilegal asal Myanmar yakni
Muhammad Masud Bin M. Mannan Miyah dan Abu Sayed Bin Oboraly selaku
korban tindak pidana penyelundupan manusia (people smuggling) namun
keterangannya hanya dibacakan saja padahal kedua orang warga negara asing tersebut merupakan saksi kunci untuk mengungkapkan kebenaran dari suatu peristiwa pidana dan membuat terang suatu peristiwa pidana untuk dapat meyakinkan Hakim atas apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum, ketiga, barang bukti yang dihadirkan di persidangan berupa 3 (dua) unit handphone dengan rincian 1 (satu) unit
handphone milik Paulus Ginting dan 2 (dua) unit handphone milik terdakwa, berdasarkan pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti terhadap 3 (tiga) unit handphone tersebut tidak ditemukan percakapan apapun yang mengarah pada tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Imam Hussen alias Hasim namun terdakwa Imam Husen alias Hasim tetap dinyatakan terbukti bersalah.
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan
merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, dimana hak asasi manusia
dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa dinyatakan terbukti
melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai
keyakinan hakim padahal, tidak benar.12
12
Berkaitan dengan pembuktian, Hukum Acara Pidana mengenal asas-asas yang
menjadi dasar pemeriksaan, yaitu asas praduga tak bersalah dan asas kebenaran
materiil. Hal ini menjadi dasar pemeriksaan karena untuk melindungi hak asasi
manusia yang dimiliki setiap orang.13
Setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah
sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu, asas ini disebut
asas praduga tak bersalah. Asas kebenaran materiil adalah suatu asas yang
menghendaki bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan pada
penemuan kebenaran materiil (materiale warheid) yakni kebenaran yang
sesungguhnya sesuai kenyataan.14 Seperti halnya pembuktian ada untuk mendapatkan
kebenaran yang sebenar-benarnya dalam peradilan.
Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana adalah suatu upaya mendapatkan
keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti, guna memperoleh
suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat
mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.15
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perbuatan, dimana
alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
13
Tri Andrisman, 2010. Hukum Acara Pidana (Bandar Lampung : Universitas Lampung), hlm. 14.
14
Ibid.
15
menimbulkan keyakinan atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh terdakwa.16
Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa,
kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan
atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim
memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan
sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup”
membuktikan kesalahan terdakwa yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa
“dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan
dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan
“bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman.17
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana
pembuktian perkara tindak pidana keimigrasian (penyelundupan manusia) yang
terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda dan mengapa terjadi hambatan
dalam pembuktian perkara tindak pidana penyelundupan manusia di wilayah hukum
Pengadilan Negeri Kalianda tersebut sehingga penulis menuangkannya dalam tulisan
16
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana (Bandung: Mandar Maju), hlm. 99.
17
dengan judul “Analisis Yuridis Pembuktian Perkara Tindak Pidana
Keimigrasian (Penyelundupan Manusia) (Studi Putusan Nomor:
310/Pid.Sus/2013/PN.KLD)”.
B.Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pembuktian perkara Tindak Pidana Keimigrasian (Penyelundupan
Manusia) di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda ?
2. Mengapa terjadi hambatan dalam pembuktian perkara Tindak Pidana Keimigrasian
(Penyelundupan Manusia) di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda ?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan, maka dibatasi substansi
permasalahan dan lokasi penelitian. Adapun ruang lingkup penelitian ini berdasarkan
materi adalah Hukum Pidana Ekonomi dan pembahasan lebih memfokuskan atau
membatasi penelitian dan hasil penelitian tentang pembuktian perkara Tindak Pidana
Keimigrasian (Penyelundupan Manusia) di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Kalianda serta hambatan-hambatan dalam pembuktian perkara Tindak Pidana
Kalianda. Lokasi penelitian ini bertempat di Pengadilan Negeri Kalianda dan
Kejaksaan Negeri Kalianda. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2014.
C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis pembuktian perkara Tindak Pidana Keimigrasian
(Penyelundupan Manusia) di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda.
2. Untuk menganalisis penyebab terjadinya hambatan dalam pembuktian perkara
Tindak Pidana Keimigrasian (Penyelundupan Manusia) di wilayah hukum
Pengadilan Negeri Kalianda.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran serta pemahaman melalui ide, gagasan
serta memberikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah bagi
pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana.
b. Kegunaan Praktis
Untuk memberikan manfaat bagi praktisi hukum atau bagi para penegak hukum serta
bagi masyarakat dan juga bagi yang tertarik mendalami masalah pembuktian perkara
D.Kerangka Pemikiran
1. Alur Pikir
Bagan 1. Alur Pikir Penelitian
Tindak Pidana Penyelundupan
Manusia
Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Penuntutan
Pembuktian Perkara Tindak Pidana Penyelundupan
Manusia
Faktor-Faktor Yang Menghambat Pembuktian
Penegakan Hukum
Pembahasan
Kesimpulan
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan,
asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan dan
pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.18 Ada tiga teori
yang penulis gunakan dalam kerangka teoritis ini yang akan menjadi dasar untuk
memecahkan permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Teori yang pertama
yang digunakan adalah teori sistem pembuktian, yang kedua teori penegakan hukum
dan yang ketiga teori tentang faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum.
Melalui teori-teori tersebut, penulis akan dapat menentukan dan menemukan jawaban
atas permasalahan yang akan dibahas.
a. Teori Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh
dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat bukti itu
dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya di
depan sidang pengadilan.19 Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui
bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang
diperiksa. Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap
cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa.20
18
Abdulkadir Muhammad, 2004. Hukum danPenelitian Hukum(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hlm. 72.
19
Alfitra, 2012. Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia Edisi Revisi (Depok: Raih Asa Sukses, Penebar Swadaya Grup), hlm. 28.
20
Berdasarkan teori, dikenal 4 (empat) sistem pembuktian:
a) Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa,
semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang
menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dalam sistem pembuktian
conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup
itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan
terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan
bersalah, semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang
“dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa.21
b) Conviction Raisonee
Menurut sistem ini dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem
pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Pada sistem conviction raisonee,
keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib
menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas
kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam conviction raisonee, harus
dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni
berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar
21
alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar
keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.22
c) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim tidak ikut
ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam
sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini
berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata
“digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Kebaikan dalam sistem ini
benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenar-benaran salah atau tidaknya
terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah
ditentukan undang-undang.23
d) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian
menurut keyakinan atau conviction-in time. Untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat
dua komponen:
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang,
22
M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 277-278.
23
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan salah atau
tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut.
Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian
kesalahan terdakwa.24
b. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah upaya aparat penegak hukum untuk menjamin kepastian
hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat
ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga
keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh
nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang
meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan,
adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan
pidana.25
24
M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 278-279
25
Menurut Joseph Goldstein dalam Teori Penegakan Hukum (Law Enforcement
Theory) Penegakan hukum sendiri, harus diartikan dalam kerangka tiga konsep:
(1) Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang
menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut
ditegakkan tanpa terkecuali;
(2) Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang
menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya
demi perlindungan kepentingan individual;
(3) Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul
setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena
keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya
manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi
masyarakat.26
Penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dari konsep sistem hukum. Menurut
Lawrence Friedman dalam Mardjono Reksodiputro, menjelaskan bahwa unsur-unsur
sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal
substance) dan budaya hukum (legal culture).
(1) Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta
lembaga-lembaga terkait, seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
(2) Substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang.
26
(3) Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari
masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum
yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari
pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau
dilaksanakan.27
Substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini dapat
dianggap sebagai perkara yang sulit, namun bukan karena kesulitan itulah sehingga
substansi hukum perlu direncankan, melainkan substansi hukum juga sangat
tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula diperhatikan
perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk perkembangan-perkembangan
ditingkat global yang semuanya sulit diprediksi. Sikap politik yang paling pantas
untuk diambil adalah meletakan atau menggariskan prinsip-prinsip
pengembangannya. Sebatas inilah blue printnya. Untuk itu maka gagasan dasar yang
terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip atau parameter
dalam pembentukan undang-undang apa saja, kesetaraan antar lembaga negara,
hubungan yang bersifat demokratis antara pemerintah pusat dengan daerah, hak asasi
manusia (HAM) yang meliputi hak sosial, ekonomi, hukum, dan pembangunan harus
dijadikan sumber sekaligus parameter dalam menguji substansi RUU atau UU yang
akan dibentuk.28
27
Mardjono Reksodiputro, Ibid, hlm. 81.
28
Budaya hukum (legal culture) menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang
ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini
menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan
kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum
yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar
praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan
demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang
perbedaan-perbedaan cara dimana lembaga hukum yang nampak sama dapat
berfungsi pada masyarakat yang berbeda. Aspek kultural melengkapi aktualisasi
suatu sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para
warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum
tersebut. Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam
hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang
menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan
hal-hal yang rasional dan mengandung unsur-unsur spiritual, yaitu kepercayaan.
Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis masyarakat
yang menerima dan menghormati hukumnya.29
Hal ini tidak berarti sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice
system) antar lembaga penegak hukum harus menjadi satu fungsi di bawah “satu
atap”, akan tetapi masing-masing fungsi tetap di bawah koordinasi sendiri-sendiri
yang independen dengan kerjasama yang aktif dalam persepsi yang sama dilihat dari
29
fungsi dan wewenang masing-masing lembaga tersebut. Keterpaduan antara
subsistem dalam penegakan hukum menjadi penentu efektifvitas suatu peraturan.
Sistem hukum dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua unsur
saling mendukung dan melengkapi. Semakin tinggi kesadaran hukum seseorang, akan
semakin tinggi pula tingkat ketaatan dan kepatuhannya kepada hukum, dan
sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum seseorang maka ia akan banyak
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum.30
c. Faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum
Yang dimaksud mewujudkan penegakan hukum yaitu untuk memperoleh kepastian
hukum, keadilan dan manfaat dari penegakan hukum tersebut. Proses penegakan
hukum dapat berjalan dengan efektif apabila terbentuk suatu mata rantai beberapa
proses yang tidak boleh dipisahkan antara lain penyidikan, tuntutan jaksa, vonis
hakim dan pembuatan peraturan perundang-undangan. Namun pada kenyataannya
penegakan hukum mengalami beberapa kendala atau hambatan yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor-faktor antara lain :
1. Faktor hukumnya sendiri/substansi hukum yang akan ditegakkan.
2. Faktor penegak hukum, meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
30
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan
hukum.31
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan
yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan dan
pedoman dalam penelitian atau penulisan.32
Kerangka konseptual yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah:
a. Analisis Yuridis adalah kajian atau pembahasan dari aspek hukum terhadap suatu
fenomena ataupun suatu lembaga hukum atau kegiatan hukum untuk dibahas
dalam bagian-bagian atau unsur-unsurnya agar dapat diketahui bagaimana
kedudukan hukum, hubungan hukum, perbuatan hukum, akibat hukum, kekuatan
hukum dari fenomena atau lembaga hukum atau kegiatan hukum tersebut.
b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam
dengan pidana, dimana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat
aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan
31
Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, hlm.8.
32
yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh
hukum).33
c. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah
Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan
negara.34
d. Penyelundupan Manusia adalah perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan,
baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang
lain yang membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi
maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa
seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak
terorganisasi, yang tidak memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah
Indonesia atau keluar Wilayah Indonesia dan/ atau masuk wilayah negara lain
yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara
sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa
menggunakan Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun
tidak.35
e. Penuntutan menurut Pasal 1 angka 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
33
Teguh Prasetyo, 2011. Hukum Pidana(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 50.
34
Redaksi Sinar Grafika, 2000. Undang-Undang Keimigrasian (Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 2.
35
undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.36
f. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan
hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.37
g. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perbuatan, dimana
alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh terdakwa.38
h. Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum,
ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan, keseimbangan
dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di
dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai
pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan
keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan
pidana.39
36
E.Metode Penelitian
Metode merupakan salah satu bentuk atau cara yang dipergunakan dalam pelaksanaan
suatu penelitian untuk dapat membantu mengolah dan menyimpulkan data-data yang
dapat memecahkan suatu permasalahan.40
1. Pendekatan Masalah
Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara
yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan
cara menelaah atau mempelajari keterkaitan asas-asas hukum, teori-teori,
konsep-konsep, dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini.41 Metode ini digunakan oleh karena masalah-masalah yang hendak
diteliti berkisar mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pembuktian
dikaitkan dengan penerapannya dalam praktek. Sebagai penunjang digunakan
pendekatan yuridis empiris, yaitu di dalam pengkajian dan pengujian didasarkan pada
data primer. Penelitian yuridis empiris dilakukan dengan mengadakan penelitian
langsung di lapangan, yaitu dengan cara wawancara dengan Hakim Pengadilan
Negeri Kalianda dan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kalianda yang
menangani kasus/perkara tersebut.
40
Soerjono Soekanto, 2012. Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Pers), hlm 5.
41 Ibid
2. Sumber dan Jenis Data
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan.
Jenis data yang dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.42
Jenis data pada penulisan tesis ini menggunakan dua sumber data, yaitu :
a) Data Primer
Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan
dengan menggunakan metode yang telah ditentukan sebelumnya. Data yang
dimaksud berupa pendapat dari para pihak-pihak yang menguasai permasalahan.
b) Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.43
1) Bahan hukum primer antara lain:
a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Keberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Keimigrasian.
42
Soerjono Soekanto, Ibid, hlm.11.
43 Ibid,
2) Bahan hukum sekunder antara lain:
a) Berkas perkara Nomor : BP/18/V/2013/Dit. Tipidum tanggal 31 Mei 2013.
b) Surat Tuntutan Nomor Register Perkara : PDM-III-171/KLD/07/2013 atas
nama terdakwa Imam Hussen tanggal 31 Oktober 2013.
c) Putusan Pengadilan Negeri Kalianda Nomor : 310/PID.B/SUS/2013/PN. KLD
tanggal 27 Nopember 2013.
3) Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang diperoleh dari literatur hukum
umumnya dan literatur lainnya yang dapat menunjang penelitian. Bahan-bahan
yang diperoleh dari kamus atau ensiklopedia dan majalah yang ada hubungannya
dengan penelitian ini.
3. Penentuan Narasumber
Narasumber dalam penelitian adalah orang yang diminta memberikan keterangan
tentang suatu fakta/pendapat. Keterangan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk
tulisan, yaitu ketika mengisi angket/lisan ketika menjawab wawancara.44
Adapun narasumber dalam penelitian ini sebanyak 2 (dua) orang, yaitu :
1. Hakim Pengadilan Negeri Kalianda : 1 orang
2. Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Kalianda : 1 orang +
Jumlah : 2 orang
44
4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
a. Prosedur Pengumpulan Data
Upaya pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan dua cara pengumpulan data, yaitu :
1) Studi pustaka, dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder yaitu melalui
serangkaian kegiatan membaca, mengutip, mencatat buku-buku, menelaah
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan.
2) Studi lapangan, dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan
teknik wawancara langsung dengan narasumber yang telah direncanakan
sebelumnya. Wawancara dilaksanakan secara langsung dan terbuka dengan
mengadakan suatu tanya jawab untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang
bebas sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.
b. Prosedur Pengolahan Data
Keseluruhan data yang telah diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun studi di
lapangan kemudian diproses, diteliti kembali dan disusun kembali secara seksama.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan-kesalahan dan
kekeliruan-kekeliruan serta belum lengkap dan lain sebagainya terhadap data yang
Pengolahan data tersebut dilakukan dengan cara:
1. Pemeriksaan data (editing)
Data yang telah dikumpulkan baik data sekunder maupun data primer, dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui apakah data yang dibutuhkan tersebut sudah cukup
dan benar.
2. Pengelompokan data (klasifikasi data)
Data yang sudah terkumpul dikelompokkan sesuai jenis dan sifatnya agar mudah
dibaca selanjutnya dapat disusun secara sistematis.
3. Penyusunan data (sistematisasi data)
Data yang sudah dikelompokkan disusun secara sistematis sesuai dengan pokok
permasalahan, konsep dan tujuan penelitian agar mudah dalam menganalisis data.
5. Analisis Data
Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara kualitatif, yaitu dengan melakukan pengorganisasian dan mengurutkan
data secara sistematis agar diperoleh pemahaman sesuai dengan perumusan masalah
yang telah ditetapkan atau tujuan penelitian. Dengan kata lain analisis kualitatif
adalah menginterpretasikan atau mencari makna secara kualitas tentang tanggapan
dan pendapat atau komentar atau sikap narasumber selanjutnya dideskripsikan dalam
E.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian mengenai latar belakang masalah, permasalahan dan ruang
lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi pengertian keimigrasian, hukum
pembuktian, penegakan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian,
yang terdiri dari analisis pembuktian perkara tindak pidana keimigrasian
(penyelundupan manusia) di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda dan
penyebab terjadinya hambatan dalam pembuktian perkara tindak pidana keimigrasian
(penyelundupan manusia) di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kalianda.
IV. PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan penelitian yang didasarkan pada analisis dan pembahasan
penelitian serta berbagai saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang menjadi
sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah
menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan
menilai suatu pembuktian. Hukum pembuktian selain bersumber dari KUHAP,
hukum pembuktian bersumber dari doktrin atau ajaran dan yurisprudensi.1
Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang
pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dan
dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta
yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata
cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak
dan menilai suatu pembuktian.2 Pembuktian merupakan kekuatan-kekuatan yang
berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga
1
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit, hlm. 10.
2
merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang
dan yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.3
Hukum pembuktian juga mengatur mengenai sistem pembuktian. Sistem pembuktian
itu sendiri adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh
dipergunakan, penguraian alat bukti itu dipergunakan dengan cara bagaimana hakim
harus membentuk keyakinan.4
Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa di tambah dengan alat
bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang
ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan
bahwa terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan.5
Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut
dalam Pasal 184 KUHAP adalah:
1) Alat bukti yang sah
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa.
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
3
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 273.
4
Hari Sasangka dan Lily Rosita. Ibid, hlm. 11.
5
Menurut Van Bummelen, maksud dari pembuktian ialah usaha untuk memperoleh
kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim:6
1) Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh pernah
terjadi.
2) Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi.
Penjabaran diatas menjelaskan bahwa pembuktian terdiri dari:
1) Menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh pancaindra;
2) Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut;
3) Menggunakan pikiran logis.
Senada dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan
“membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas
sesuatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa
tersebut.7
Tujuan dan guna pembuktian itu sendiri bagi para pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:8
1) Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan
hakim yakni berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang ada, agar menyatakan
seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.
2) Bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya,
untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang ada,
6
Ansori Sabuan, dkk, 1990. Hukum Acara Pidana (Bandung: Angkasa), hlm.186.
7
Alfitra, Op.Cit, hlm. 23.
8
agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum
meringankan pidananya.
3) Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti
yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntutan umum atau
penasihat hukum atau terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.
1. Pengertian dan Asas-Asas yang Berlaku dalam Pembuktian Hukum Acara Pidana di Indonesia
Hukum acara pidana mengenal asas-asas yang menjadi dasar pemeriksaan dalam
proses pembuktian di sidang pengadilan, yaitu :
a. Asas Kebenaran Materiil
Asas kebenaran materiil adalah suatu asas yang menghendaki bahwa dalam
pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan pada penemuan kebenaran materiil
(material warheid) yakni kebenaran yang sesungguhnya sesuai kenyataan.9 Asas ini
berpedoman pada tujuan daripada hukum acara pidana pada pencarian kebenaran
sejati, mencari kebenaran yang sesungguhnya, mencari kebenaraan materil (beyond
reasonabel doubt). Melalui asas ini, para komponen pengadilan hakim, jaksa dan
pengacara masih berusaha membuktikan pengakuan terdakwa tersebut dengan
mengajukan bukti-bukti lainnya baik berupa saksi-saksi maupun barang bukti
lainnya.
9
b. Asas Praduga Tidak Bersalah (presumption of innocence)
Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) adalah suatu asas yang
menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap
belum bersalah sebelum putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu.10 Prinsip
ini dipatuhi sebab merupakan prinsip selain mendapat pengakuan di dalam sidang
pengadilan, juga mendapat pengakuan di dalam rumusan perundang-undangan yakni
dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menegaskan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau
dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
c. Asas Batas Minimum Pembuktian
Asas batas minimum pembuktian adalah suatu prinsip yang harus dipedomani dalam
menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya terdakwa,
artinya sampai “batas minimum pembuktian” mana yang dapat dinilai cukup atau
tidaknya dalam membuktikan kesalahan terdakwa.11 Prinsip minimum pembuktian
diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang melakukannya.” Jadi untuk menjatuhkan pidana kepada seorang
10
Tri Andrisman, Ibid, hlm. 14.
11
terdakwa baru boleh dilakukan Hakim apabila kesalahan terdakwa telah dapat
dibuktikan “dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah”.
d. Keterangan atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahannya (Confession By On Accused)
Asas ini diatur dalam Pasal 189 Ayat (4) KUHAP yang berbunyi “keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain”. Pada hakikatnya asas ini merupakan penegasan kembali prinsip batas
minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP bahwa untuk
menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan
“dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah”.
e. Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui, Tidak Perlu Dibuktikan (Notoire Feiten Notorius)
Hal yang secara umum sudah diketahui, tidak perlu dibuktikan sesuai dengan yang
tertulis di dalam Pasal 184 Ayat (2) KUHAP, maksud dari pernyataan ini yaitu
mengenai hal-hal yang sudah demikian adanya sehingga tidak perlu dibuktikan di
persidangan.12
2. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti dan Nilai Kekuatan Alat Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan suatu perbuatan
pidana, dimana alat-alat bukti tersebut digunakan sebagai pembuktian dalam
12
persidangan untuk menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu
tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.13
Alat bukti itu sendiri diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, yaitu:
a. Keterangan Saksi
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama
dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana bersandar kepada
pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan
alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan
saksi. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence”
keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta
kekuatan pembuktian harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :14
1) Harus mengucapkan sumpah atau janji, hal ini diatur dalam Pasal 160 Ayat (3)
KUHAP.
2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah keterangan yang sesuai
dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yakni yang saksi
lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri serta menyebut alasan
dari pengetahuannya itu.
3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, hal ini diatur dalam Pasal
185 Ayat (1) KUHAP.
4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup tanpa ditambah dengan
keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain.
13
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit, hlm. 100.
14
5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri baru dapat dinilai sebagai alat
bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian apabila keterangan para saksi
tersebut saling mempunyai hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran
suatu keadaan atau kejadian tertentu.
6) Keterangan saksi bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh sebagai
hasil dari pemikiran.
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan:
1) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
3) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;
4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi, ditinjau dari sah atau tidaknya
keterangan saksi sebagai alat bukti yang diberikan dalam sidang pengadilan dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis:
1) Keterangan yang diberikan “tanpa sumpah”, bisa terjadi karena:
a) Saksi menolak untuk bersumpah
b) Keterangan yang diberikan tanpa sumpah
c) Karena hubungan kekeluargaan
d) Saksi termasuk golongan sebagaimana yang disebut dalam Pasal 171 KUHAP
Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai “bukan merupakan
alat bukti yang sah”, walaupun keterangan yang diberikan tanpa sumpah itu saling
bersesuaian dengan yang lain, sifatnya tetap “bukan merupakan alat bukti”. Setiap
keterangan tanpa sumpah, pada umumnya “tidak mempunyai nilai kekuatan
pembuktian”, sifatnya pun bukan alat bukti yang sah, dengan sendirinya tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian akan tetapi “dapat” dipergunakan sebagai
“tambahan” alat bukti yang sah. Sekalipun keterangan tanpa di sumpah bukan
merupakan alat bukti yang sah dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian, pada
umumnya keterangan itu “dapat” dipergunakan “sebagai tambahan”
menyempurnakan kekuatan pembuktian alat bukti yang sah:
1. Dapat “menguatkan keyakinan hakim” sebagaimana ketentuan Pasal 16 Ayat
(2) KUHAP.
2. Dapat dipakai “sebagai petunjuk” sebagaimana penjelasan Pasal 171 KUHAP.
Untuk mempergunakan keterangan tanpa sumpah baik sebagai “tambahan” alat
bukti yang sah maupun untuk “menguatkan keyakinan” hakim atau sebagai
“petunjuk”, harus memenuhi syarat:
1. Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah.
2. Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian yakni
telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
3. Antara keterangan tanpa sumpah itu dengan alat bukti yang sah, terdapat
Jika keterangan itu dengan alat bukti yang sah terdapat persesuaian, hakim tidak
terikat untuk mempergunakannya, tergantung kepada pendapat penilaian hakim
dalam arti:
1. Hakim “bebas” untuk mempergunakannya, ia “dapat” mepergunakannya tapi
sebaliknya dapat meyampingkannya.
2. Hakim tidak terikat untuk menilainya, ia dapat menilai dan dapat
dipergunakan sebagai tambahan pembuktian atau menguatkan keyakinan
hakim sebagai petunjuk.
2) Keterangan saksi yang disumpah
Keterangan saksi yang disumpah harus memenuhi persyaratan yang ditentukan
undang-undang yakni:
a) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa ia akan menerangkan
yang sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.
b) Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi
dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dengan menyebut jelas seumber
pengetahuannya.
c) Keterangan saksi harus dinyatakan dinyatakan di sidang pengadilan.
d) Keterangan seorang saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah.
Dengan demikian, bukan unsur pengucapan sumpah atau janji saja yang menentukan
sah atau tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti namun ada beberapa syarat yang
harus melekat pada keterangan itu supaya mempunyai nilai sebagai alat bukti yang