• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN PEREKAT PADA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK GRANUL BERBAHAN BAKU KOMPOS KULIT KAKAO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN PEREKAT PADA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK GRANUL BERBAHAN BAKU KOMPOS KULIT KAKAO"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

STUDY OF USING THE ADHESIVE MATERIAL TOWARDS ORGANIC FERTILIZERS GRANULE MAKING FROM

COCOA PEEL COMPOST

By

Muhamad Satria Gunawan

(2)

the main research showed that best granule produced on adhesive sludge IPAL rubber concentration 25% v/v that produces water absorption highest of 51,69 %, bulk density highest of 0,73%, than N, P and K highest of 0,98 %, 0,79 % and 1,86 %.

(3)

ABSTRAK

KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN PEREKAT PADA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK GRANUL BERBAHAN BAKU

KOMPOS KULIT KAKAO

Oleh

Muhamad Satria Gunawan

(4)

K. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa granul terbaik dihasilkan pada perekat sludge IPAL karet konsentrasi 25% v/v yang menghasilkan daya serap air tertinggi sebesar 51,69%, bulk density tertinggi 0,73%, kandungan N , P dan K tertinggi sebesar 0,98%, 0,79% dan 1,86%.

(5)

KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN PEREKAT PADA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK GRANUL BERBAHAN BAKU

KOMPOS KULIT KAKAO

Oleh

Muhamad Satria Gunawan

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN PEREKAT PADA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK GRANUL BERBAHAN BAKU

KOMPOS KULIT KAKAO

(Skripsi)

Oleh

MUHAMAD SATRIA GUNAWAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram alir proses pembuatan pupuk organik granul ... 33

2. Grafik persentase ukuran granul 2-5 mm... 45

3. Grafik tingkat kekerasan granul (Durabilitas)... 48

4. Mekanisme gelatinisasi pati ... 50

5. Grafik nilaibulk density... 51

6. Grafik daya serap air ... 53

7. Grafik tingkat keasaman (pH)... 54

8. GrafikC/N ratio ... 56

9. Grafik C-organik ... 58

10. Grafik N total ... 59

11. Grafik kandungan fosfor ... 62

12. Grafik kandungan Kalium... 64

13. Persiapan bahan baku ... 84

14. Proses granulasi... 85

15. Kolam IPAL industri karet (Aerob 2) ... 86

16. Penjemuran granul... ... 86

17. Pengukuraan kadar air granul... 87

18. Persiapan pemanasan tepung tapioka... 88

19. Pengukuran pH granul... 88

20. Pengukuran bulk densitygranul ... 89

21. Penimbangan granul... 89

22. Pengukuran daya serap air granul ... 90

(8)
(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian... 4

1.3. KerangkaPemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Kompos Kulit Kakao ... 9

2.1.1. Proses Pengomposan ... 12

2.1.2. Kelebihan Kompos ... 13

2.1.3. Kelemahan Kompos ... 14

2.1.4. Standar Mutu Kompos ... 15

2.2. Pupuk Organik Granul... 17

2.2.1. Perkembangan Pupuk Organik Granul... 17

2.2.2. Proses Pembuatan Pupuk Organik Granul ... 18

2.2.3. Kelebihan Pupuk Organik Granul ... 19

2.2.4. Mutu Pupuk Organik Granul... 19

2.3. Bahan perekat ... ... 21

2.3.1. Tepung Tapioka ... 22

2.3.2. Molases ... ... 24

2.3.3. Sludge IPAL Karet ... 25

III. METODOLOGI ... 28

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

3.2. Bahan dan Alat... 28

3.3. Metode Penelitian ... 29

(10)

3.4.1. Penelitian Pendahuluan ... 30

3.4.2. Penelitian Utama ... 31

3.5. Pengamatan ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

4.1. Penelitian Pendahuluan ... 42

4.2. Penelitian Utama ... 44

4.2.1. Persentase Ukuran granul 2-5 mm ... 45

4.2.2. Tingkat kekerasan(Durabilitas) ... 47

4.2.3. Densitas kamba (Bulk Density) ... 51

4.2.4. Daya Serap Air... 52

4.2.5. Tingkat keasaman (pH)... 54

4.2.6. Rasio C/N... 55

4.2.7. Fosfor (P2O5)... 61

4.2.8. Kalium (K2O)... 63

4.2.9. Perbandingan Hasil Penelitian dan Standar SNI... 65

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 67

5.1. Kesimpulan ... 67

5.2. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(11)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Karakteristik kompos penelitian Sularno (2014) dan SNI ... 11

2. Standar Kualitas Kompos (SNI 19-7030-2004)... 16

3. Standar POG PermentanNomor70/Permentan/SR.140/10/2011…... 20

4. Hasil pengamatan penelitian pendahuluan... 44

5. Perbandingan POG hasil penelitian dengan SNI dan Permentan ... 65

6. Data Penelitian pendahuluan... 71

7. Data persentase ukuran granul 2-5 mm... 73

8. Data tingkat kekerasan granul ... 76

9. DataBulk Density(Densitas Kamba)... 77

10. Data Daya Serap Air ... 78

11. Data tingkat keasaman (pH)... 79

12. Data pengamatan kadar air... 80

13. Data kandungan N total... 81

14. Data kandungan C-organik ... 81

15. Data C/N ratio ... 82

16. Data kandungan fosfor ... 82

(12)
(13)
(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Bagelen Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran pada tanggal 10 April 1993, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sakibun dan Ibu Nuryamah.

Penulis mengawali pendidikan di Taman Pendidikan Kanak-kanak (TK) PTPN7 UU.Wayberulu diselesaikan pada tahun 1999, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 1 Gedong Tataan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 1 Gedong Tataan diselesaikan pada tahun 2008, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurusan Teknik Mesin Bhakti Utama Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui tes jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN) tertulis.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif menjadi anggota Organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) THP FP Unila, UKM Sepak bola

Universitas Lampung. Penulis melaksanakan Praktik Umum pada tahun 2014 di PT. Indokom Samudera Persada Lampung dengan judul“Mempelajari

(15)
(16)

Dengan kerendahan hati yang tulus, bersama keridhaan-Mu

Untuk yang pertama

Ku persembahkan karya kecil ini, untuk

cahaya hidupku (Ayah dan Mamah tercinta) yang senantiasa

selalu ada saat suka maupun duka, selalu setia mendampingi

disaat kulemah tak berdaya, yang selalu memanjatkan doa untuk

(17)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Kajian Penggunaan Bahan Perekat Pada Pembuatan Pupuk Organik Granul Berbahan Baku Kompos KulitKakao” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr.Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si., selaku ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung.

3. Ibu Ir. Otik Nawansih, M.P., selaku pembimbing pertama atas kesediaanya untuk memberikan bimbingan, nasihat, saran dan arahan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

(18)

5. Bapak Ir. Harun Al Rasyid M.T., selaku penguji atas segala saran dan nasehat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6. PTP N 7 Unit Usaha Wayberulu, atas segala bantuannya selama ini.

7. Bapak, Ibu dosen serta staf dan karyawan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas pengetahuan, bimbingan, dan arahannya selama penulis menjadi mahasiswa.

8. Keluarga besar Ayah, Mamah, Mba Emi, Bang Ari, Teh Mar dan Rizki atas Do’a, semangat, dan dukungannya selama ini.

9. Keluarga 2011 “Janji Gerhana” dan keluarga besar THP, terima kasih atas semua bantuan dan kebersamaannya.

10. Sahabat seperjuangan Algi, Yudha, Tesa, Isnaini, Rian, Wildan, Oriza, Udin, Kak Nano dan Via terimaksih atas kebersamaan dan bantuannya selama ini. 11. Sahabat kesayangan Han Prahara Lukyta atas semua Do’a, motivasi,

kebersamaan dan kerjasamanya selama ini.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuan dan dukungan selama penyelesain skripsi ini.

Semoga seluruh amal baik yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, 15 Oktober 2015 Penulis

(19)
(20)
(21)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar mata pencarian

penduduk adalah petani. Keberlangsungan pada sektor pertanian dipengaruhi oleh sektor-sektor non pertanian yang saling terkait seperti pupuk. Pupuk digunakan sebagai material yang ditambahkan ke dalam tanah atau tajuk tanaman dengan tujuan untuk melengkapi katersediaan unsur hara. Jenis pupuk terbagi menjadi dua macam yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi mahluk hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia. Sedangkan pupuk anorganik adalah pupuk yang dibuat oleh manusia atau pabrik dengan cara meramu berbagai bahan kimia sehingga memiliki kandungan hara yang tinggi.

(22)

2

keberhasilan peningkatan produksi sektor pertanian, diantaranya produk pertanian beras yang mencapai swasembada di tahun 1984 (Simanungkalitet al.,2006).

Penggunaan pupuk anorganik yang dilakukan secara terus-menerus oleh petani dapat menyebabkan tingkat kesuburan tanah akan semakin menurun akibat dari penumpukan residu pupuk tersebut. Apabila kondisi ini terus berlangsung akan menurunkan tingkat produksi suatu tanaman. Selain itu, karena sifat pupuk anorganik yang tidak dapat diperbaharui (non renewable) dapat menyebabkan peristiwa kelangkaan pupuk anorganik yang sering terjadi beberapa tahun terakhir ini pada setiap musim tanam tiba sehingga banyak kalangan petani harus

mencari pupuk tersebut ke daerah lain dan berani membelinya dengan harga yang cukup mahal demi kelanjutan produksinya. Hal seperti ini merupakan indikasi bagaimana pupuk anorganik sudah menjadi kebutuhan dasar bagi para petani (Simanungkalit, 2006).

Bangkitnya kesadaran para petani akan dampak negatif dari penggunaan pupuk anorganik membuat para petani melakukan tindakan untuk mengurangi

penggunaan pupuk anorganik dan beralih pada penggunaan pupuk organik. Berbagai penelitian telah dilakukan terkait dengan optimasi pemanfaatan limbah agroindustri seperti bagas, kulit kopi dan kulit kakao yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik seperti kompos yang memiliki kelebihan dapat diperbaharui (renewable) dan ketersediaan bahan baku yang digunakan selalu ada.

(23)

3

menghasilkan pupuk organik berupa kompos yang memenuhi standar mutu

kualitas kompos atau SNI. Akan tetapi, kompos yang dihasilkan masih berbentuk curah atau serbuk yang memiliki kelemahan seperti sulit dalam proses

penebarannya, mudah hanyut terbawa air, membutuhkan ruangan yang lebih luas dalam penyimpanannya dan dapat menimbulkan bau. Dalam rangka memperbaiki kelemahan pupuk kompos maka pupuk kompos perlu diolah lebih lanjut seperti menjadi pupuk organik granul (POG). Pupuk organik granul merupakan pupuk yang bahan bakunya adalah bahan organik seperti kompos yang berbentuk butiran-butiran granul dengan diameter 2 mm sampai 5 mm (Isroi, 2009).

Dalam proses pembuatan pupuk organik granul diperlukan bahan perekat yang berfungsi untuk meningkatkan daya rekat dan kekompakan pada granul sehingga granul yang terbentuk tidak mudah hancur selama penyimpanan dan

pengangkutan. Selain dapat merekatkan granul, perekat yang digunakan bersifat lebih efektif dalam penggunaannya, harganya yang relatif murah, ramah

(24)

4

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jenis bahan perekat yang

menghasilkan pupuk organik granul terbaik berdasarkan sifat fisik dan kimia.

1.3 Kerangka Pemikiran

Kompos merupakan salah satu pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman maupun kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan. Kompos sebagai pupuk organik mengandung zat hara yang dibutuhkan oleh tanaman yang mampu memperbaiki struktur tanah, menaikan daya serap tanah terhadap air dan meningkatkan daya ikat tanah terhadap unsur hara (Murbandono, 2008). Proses pengomposan dapat dilakukan dengan memanfaatkan limbah kulit kakao yang telah dipretreatmentsebelumnya yaitu pengecilan ukuran kemudian dilakukan pencampuran dengan bahan lain yang memiliki unsur hara dan mikroba yang tinggi seperti kotaran sapi (Goenadi, 1997).

Kompos kulit kakao hasil penelitian yang dilakukan oleh Sularno (2014)

menghasilkan kandungan rasio C/N 12,95, C-organik 16,45%, N 1,27%, fosfor (P2O5) 1,12%, kalium 3,25%, kadar air 57,60% dan pH 6,93 yang telah

(25)

5

sebagai bahan baku haruslah memenuhi standar mutu dari pupuk organik (SNI 19-1730-2004).

Pada proses pembuatan pupuk organik granul, diperlukan bahan tambahan yang digunakan sebagai perekat. Dengan adanya bahan perekat maka susunan partikel akan semakin kompak, teratur dan lebih padat, sehingga kekuatan tekan yang dihasilkan pada pupuk organik granul akan semakin baik (Silalahi, 2000). Menurut Utari (2014) tidak adanya bahan perekat membuat granul mudah pecah atau retak, karena selain untuk merekatkan bahan, perekat juga berfungsi untuk meningkatkan kekompakkan bahan dan memberikan sifat keras pada granul sehingga granul tidak mudah hancur saat terjadi guncangan atau getaran.

Bahan perekat yang umum digunakan pada proses perekatan khususnya pembuatan pelet adalah perekat yang berupa gula dan polimer seperti starch (amilum) dan gum (aci, tragacanth, gelatin), perekat yang berupa polimer sintetik seperti PVP, metilselulosa, etilselulosa, dan hidroksipropilselulosa (Mardiana, 2011). Jenis bahan perekat diatas kurang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan perekat karena bahan perekat tersebut sulit untuk diperoleh di pasaran dan harganya yang relatif mahal. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pemanfaatkan beberapa jenis bahan yaitu tepung tapioka, molases dansludge IPAL industri karet sebagai bahan perekat pada pembuatan pupuk organik granul.

Tepung tapioka adalah salah satu hasil olahan dari ubi kayu yang umumnya berbentuk butiran pati (Razif, 2006; Astawan, 2009). Tepung tapioka

(26)

6

keras sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket serta memiliki sifat yang sukar larut dalam air dingin, tetapi mampu menyerap air dengan sedikit pengembangan yang reversible. Sedangkan pada air panas dapat mengembang secara irreversible sehingga dapat membentuk gel. Hal ini disebabkan pada temperatur tertentu (temperatur gelatinisasi), energi kinetik molekul lebih kuat dibandingkan ikatan hidrogen pada granul sehingga menyebabkan ruang dalam granul pecah dan mengembang. Menurut Hardikaet al.,(2013), tepung tapioka mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi air yang menyebabkan adanya sifat lengket antara partikel satu dengan partikel yang lainnya pada bahan baku

sehingga akan terbentuk granular. Jumlah granular akan semakin meningkat seiring dengan besarnya jumlah perekat yang memiliki kemampuan absorbsi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Utari (2014) dari beberapa konsentrasi tapioka yang ditambahkan ( 5, 8, 11%) mampu menghasilkan pupuk organik granul dengan kemampuan daya lekat yang cukup baik. Akan tetapi pada penelitian tersebut, tepung tapioka yang digunakan tidak dilakukan pemanasan terlebih dahulu atau fase dimana pati yang terdapat pada tepung tapioka

membentuk gel atau tergelatinisasi.

(27)

7

sulfat (Baikow, 1982). Molases juga memiliki kandungan unsur nitrogen berkisar 2-6%. Selain itu, molases juga dapat berfungsi sebagai perekat pada pembuatan pelet yang dalam pelaksanaanya dapat meningkatkan kualitasnya (Kurnia, 2010).

Sludge IPAL industri karet merupakan lumpur atau endapan dari kolam IPAL industri karet. Sludge IPAL industri karet mengandung C-Organik 4,89%, N 0,96%, P2O50,22%, K2O 0,08%, Kadar air 63,60% , CaCO31,58 %, SiO 23,21% yang dapat berfungsi sebagai bahan pengisi (filler) dan CaCO31,58% yang memiliki fungsi dalam proses perekatan (Rusliansyahet al., 2012). Pada umunya bahan perekat sludge industri karet digunakan untuk bahan pengisi serta

penambah daya rekat pada pembuatan batako atau semen cetakan. Dalam penelitiannya pada penggunaan sludge IPAL dengan konsentrasi 25% mampu menghasilkan daya rekat yang sangat baik jika dibandingkan dengan konsentrasi yang lainnya. Selain memiliki daya rekat yang cukup baik, sludge IPAL industri karet masih mengandung komponen hara yang cukup tinggi seperti C-organik, Nitrogen, K2O, P2O5, MgO sehingga sangat berpotensi apabila digunakan sebagai bahan perekat pada pembuatan pupuk organik granul.

(28)

8

(29)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kompos Kulit Kakao

Pupuk kompos merupakan hasil akhir dari dekomposisi atau fermentasi dari tumpukan bahan-bahan organik yang berasal dari tanaman, kotoran hewan ataupun kombinasi dari keduanya. Bahan organik dari limbah pertanian dalam jumlah yang banyak tidak dapat digunakan langsung sebagai pupuk tetapi harus terlebih dahulu di dekomposisikan misalnya dengan cara penimbunan bahan organik atau yang biasa disebut dengan pengomposan (Haug, 1980).

Dekomposisi bahan organik pada proses pengomposan terjadi di bawah kondisi mesofilik dan termofilik. Proses pengomposan yang dilakukan dengan cara penimbunan atau penumpukan akan menghasilkan bahan yang terhumifikasi berwarna gelap setelah 1-2 bulan yang merupakan sumber bahan organik yang baik untuk lahan pertanian karena akan meningkatkan kesuburan tanah.

Kandungan bahan organik yang dihasilkan dari proses pengomposan juga akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air pada tanah (Sutanto, 2002).

Bahan baku utama atau bahan organik yang bisa digunakan pada proses

(30)

10

kompos dapat dilakukan dengan mencampurkan bahan organik lain seperti sekam padi, dan sisa tanaman lainnya atau dapat juga ditambahkan dengan pupuk

kandang seperti kotoran sapi dan mikroba pengurai sebagai pemacu, serta bahan lain seperti mikoriza arbuskula, kapur, urea dan abu dapur untuk memperkaya kandungan hara kompos (Trisilawati dan Gusmaini, 1999).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sularno, (2014) yaitu optimisasi

pengomposan kulit kakao dengan penambahan kotoran ternak dan sekam padi. Perlakuan yang diterapkan menggunakan variasi kotoran ternak, yaitu kotoran ternak sapi, kambing dan ayam. Perlakuan terbaik yang dihasilkan adalah dengan penambahan kotoran ternak sapi. Dilihat dari perbandingan antara hasil penelitian dengan SNI kompos, semua perlakuan terlihat bahwa rasio C/N telah memenuhi standar yaitu 10-20. Tetapi dari ketiga perlakuan tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan kompos kulit kakao dengan penambahan kotoran sapi memiliki rasio C/N terbaik yaitu 12,95 dengan kandungan hara : C-organik mencapai 16,45%, N 1,27%, fosfor (P2O5) 1,12%, kalium 3,25%, dan pH mencapai 6,93. Hasil

(31)

11

Tabel 1. Karakteristik kompos hasil penelitian Sularno, (2014) dan standar SNI

Parameter SNI 19-1730-2004

Kulit kakao + kotoran sapi + sekam padi

Suhu Suhu air tanah 33,70

Kadar air (%) Max 50% 57,60

pH 6,8-7,49 6,93

C-Organik (%) Min 9,80 16,45

Total-N (%) Min 0,40 1,27

C/N rasio 10–20 12,95

P total (%) Min 0,10 1,12

K Total (%) Min 0,20 3,25

Warna Kehitaman Coklat kehitaman

Bau Berbau tanah Berbau tanah

Tekstur Remah Remah

Sumber : Sularno, 2014.

(32)

12

itu sendiri dan jika pupuk organik tersebut dilakukan pengolahan lebih lanjut seperti dibuat dalam bentuk granul.

2.1.1 Proses Pengomposan

Pengomposan merupakan proses biologi yang dilakukan oleh mikroorganisme secara terpisah atau bersama-sama dalam menguraikan bahan organik menjadi bahan seperti humus. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan dapat dilakukan secara aerobik maupun anaerobik. Pada prinsipnya, proses pengomposan kulit buah kakao dilakukan untuk menurunkan C/N rasio bahan organik sehingga akan menghasilkan C/N yang sama dengan C/N tanah yaitu sekitar 10-20 (Epstein, 1997). Terjadinya penurunan rasio C/N pada kompos kulit buah kakao

dimaksudkan dengan tujuan untuk memudahkan tanaman dalam menyerap unsur hara dari kompos.

Pada tahap awal pengomposan berlangsung, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik sehingga pada tumpukan kompos akan terjadi kenaikan suhu dan terjadi peningkatan tingkat keasaman. Suhu pada kondisi ini mencapai 50-60oC sehingga mikroba

(33)

13

kematangan kompos menurut Sukmanaet al., (1991) adalah suhu kompos mendekati suhu ruang atau suhu lingkungan pengomposan, produksi CO2 menurun mendekati konstan, tidak berbau, berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan rasio C/N pada akhir pengomposan antara 10-20 .

Selama proses dekomposisi bahan organik menjadi kompos akan terjadi berbagai perubahan hayati yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti penguraian

karbohidrat, sellulosa, hemisellulosa, lemak, dan lignin menjadi CO2dan H2O. Protein menjadi ammonia, CO2dan uap air. Pembebasan unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman. Terjadi pengikatan beberapa jenis unsur hara didalam sel mikroorganisme, terutama nitrogen, kalium dan phospor.

2.1.2 Kelebihan Kompos

(34)

14

pengganti pupuk kimia karena harganya lebih murah, berkualitas, ramah lingkungan, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, menghemat pemakaian pupuk kimi, bersifatrenewable dan bersifat multilahan karena bisa digunakan di lahan pertanian, perkebunan, reklamasi lahan kritis (Murbandono, 2008).

2.1.3 Kelemahan Kompos

Selain dari kelebihan di atas kompos juga memiliki beberapa kekurangan yang membuat petani kurang berminat untuk menggunakan pupuk kompos sebagai sumber nutrisi bagi tanaman. Kekurangan tersebut adalah :

a. Dapat menyebabkan alergi dan bau

Bau sering kali timbul selama proses pengomposan, terutama jika proses pengomposan menggunakan sistem anaerob. Pada proses ini akan dihasilkan senyawa-senyawa yang berbau kurang sedap, seperti asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, dan puttrecine), amoniak, dan H2S (Widowati et al., 2005). Umumnya banyak orang yang alergi terhadap bau, jamur, ataupun debu dari kompos. Walaupun jarang terjadi tetapi hal seperti ini harus tetap di cegah dengan menggunakan penutup hidung.

b. Sangat dipengaruhi oleh cuaca

Kompos pada umumnya berbentuk serbuk atau remah, dan pada saat kondisi kompos kering akan mudah tersapu oleh hembusan angin sehingga dalam

(35)

15

c. Pelepasan unsur hara yang relatif lambat

Kompos umumnya berbentuk senyawa organik kompleks yang lambat

melepaskan unsur haranya. Hal ini disebabkan oleh mikroba yang terdapat pada tanah membutuhkan waktu untuk menguraikan unsur hara ini sebelum digunakan oleh tanaman. Oleh karena itu dalam pemberian kompos sebaiknya terlebih dahulu diberikan kedalam tanah dan kemudian dilakukan penanaman, sehingga saat dibutuhkan tanaman bisa memanfaatkan unsur hara yang tersedia di dalam kompos.

d. Rentan kehilangan unsur nitrogen

Proses pengompossan mengakibatkan sebagian nitrogen terurai dan lepas ke udara karena pada unsur nitrogen memiliki sifat mudah menguap ke udara

2.1.4 Standar Mutu Kompos

Kompos yang baik adalah kompos yang sudah mengalami pelapukan yang cukup dengan dicirikan warna sudah berbeda dengan warna bahan pembentuknya atau menjadi gelap, tidak berbau atau berbau seperti tanah, kadar air menjadi rendah dan suhu pada tumpukan kompos mendekati kondisi suhu ruang. Kematangan kompos juga dapat dilihat dari kandungan karbon dan nitrogen melalui rasio C/N. Standar Nasional Indonesia (SNI) memiliki syarat mutu produk kompos untuk melindungi konsumen dan mencegah timbulnya pencemaran lingkungan. Standar ini dapat dipergunakan sebagai acuan bagi produsen kompos untuk memproduksi kompos. Adapun standar kualitas kompos merujuk pada SNI

(36)

16

Tabel 2. Standar Kualitas Kompos (SNI 19-7030-2004)

No Parameter Satuan Minimum Maksimum

1 Kadar air % - 50

2 Suhu 0C suhu air tanah

3 Warna Kehitaman

4 Bau berbau tanah

5 Ukuran Partikel Mm 0,55 25

6 Kemampuan ikat air % 58

-18 Kromium (Cr) mg/kg * 210

19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100

20 Merkuri (Hg) mg/kg * 0,8

39 Fecal Coli MPN/gr 1000

30 Salmonella sp MPN/ 4 gr 3

(37)

17

2.2 Pupuk Organik Granul

2.2.1 Perkembangan Pupuk Organik Granul

Hingga saat ini teknologi pertanian terus berkembang secara dinamis termasuk teknologi pupuk yang menyesuaikan tuntutan dan tantangan perkembangan zaman. Pada satu sisi dengan meningkatnya kebutuhan pangan menuntut peningkatan produksi dan produktivitas pangan di dunia. Sementara pada sisi lain, permasalahan kesuburan tanah semakin kompleks, biaya produksi terus melambung tinggi, bahan baku pupuk yang semakin mahal dan ketersediannya sulit tercukupi. maka muncul ide-ide baru yang dikembangkan beberapa produsen yang mengembangkan pupuk organik yang ramah lingkungan serta praktis dalam penggunaannya seperti pupuk organik granul.

Pupuk organik granul merupakan pupuk organik yang berbentuk butiran-butiran kecil dengan diameter 2-5mm. Pupuk organik granul dinilai lebih baik dari pupuk organik yang berbentuk serbuk karena lebih efektif dalam penggunaannya, seperti tidak terjadi regresi, mengurangi debu. Peningkatan kualitas pupuk

(38)

18

2.2.2 Proses Pembuatan Pupuk Organik Granul

Pembuatan pupuk organik granul diawali dengan pengeringan kompos terlebih dahulu. Selanjutnya dilakukan penghalusan terhadap kompos yang telah di keringkan sebelumnya. Penghalusan dilakukan dengan menggunakan mesin penghalus (grinder). Selanjutnya dilakukan pengayakan untuk memperoleh bentuk kompos yang lebih seragam atau untuk mendapatkan bentuk kompos yang lebih halus. Setelah itu disiapkan bahan perekat yang akan digunakan sebagai media perekat pada pembuatan pupuk organik granul. Seluruh bahan yang akan dilakukan proses granulasi dicampurkan secara merata ke dalam mesinpan granulator. Menurut Hadisoewignyo dan Fudholi (2013), granulasi adalah proses pembentukan partikel-partikel besar yang disebut granul dari suatu partikel serbuk yang memiliki daya ikat.

(39)

19

matahari langsung atau menggunakan mesindriyerhingga kadar air mencapai 10-20%.

2.2.3 Kelebihan Pupuk Organik Granul

Pupuk organik ganul jika dilihat dari bentuknya sangat mirip dengan kompos yang berbentuk pelet. Menurut Hara (2001), kompos yang berbentuk pelet mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan pupuk organik yang berbentuk serbuk. Pada pupuk organik pelet atau granul sangat efektif dalam penyimpanan dan proses distribusi. Hal ini dikarenakan pada pupuk organik yang berbentuk pelet atau granul terjadi pengurangan volume yang sangat signifikan setelah dilakukan proses granulasi. Pada pupuk organik sepeti ini proses peluruhannya masih dikatakan lambat jika dibandingkan dengan kompos yang berbentuk serbuk, oleh karena itu, jika penggunaan bahan baku kompos yang digunakan dalam keadaaan belum matang maka efek terhadap tanaman akibat dari

dekomposisi material organik yang mudah terdekomposisi akan terbatasi. Pupuk organik bentuk pelet atau granul bisa digunakan dimana saja, karena dampak terhadap polusi yang dihasilkan sangat kecil. Kemudian pupuk organik granul tidak menimbulkan bau yang kurang sedap sehingga sangat ramah terhadap lingkungan.

2.2.4 Mutu Pupuk Organik Granul

(40)

20

(Fe), dan magnesium (Mg) (Musnamar, 2008). Aspek yang harus diperhatikan dalam pembuatan granul adalah ukuran granul yang diharapkan, kekerasan granul, dan kemudahan granul untuk pecah atau larut (Isroi dan Nurheti, 2009). Oleh karena itu pada hasil akhir pembuatan pupuk organik granul harus memenuhi standar kualitas/mutu pupuk organik padat dengan merujuk pada Peraturan Mentri Pertanian Nomor 70/ Permentan /SR.140/10/2011. Syarat mutu pada produk pupuk organik granul ditujukan untuk melindungi konsumen dan mencegah pencemaran lingkungan. Di dalam peraturan ini memuat batas-batas maksimum atau minimum sifat-sifat fisik atau kimiawi dari pupuk organik padat (serbuk atau granul) .

Tabel 3. Persyaratan teknis minimal pupuk organik padat pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011

(41)

21

2.3 Bahan Perekat

Dalam pembuatan pupuk organik granul, penggunaan jenis bahan perekat harus lebih diperhatikan. Fungsi perekat pada proses granulasi adalah untuk

merekatkan bahan dan mampu memberikan sifat keras pada granul. Selain itu bahan perekat akan merangsang pembentukan granul dan meningkatkan

kohesifitas antara partikel–partikel serbuk bahan baku (kompos). Dengan adanya bahan perekat maka susunan partikel akan semakin kompak, teratur dan lebih padat sehingga dalam proses pengempaan kekuatan tekan pada pupuk organik granul akan semakin baik (Silalahi, 2000). Jika dalam penggunaan bahan perekat terlalu banyak maka granul akan menjadi keras dan memperlambat waktu hancur. Sebaliknya, jika penggunaannya terlalu sedikit maka bentuk granul yang

dihasilkan akan mudah hancur.

(42)

22

2.3.1 Tepung Tapioka

Tapioka adalah pati dengan bahan baku utama adalah singkong yang merupakan salah satu bahan yang digunakan pada berbagai industri sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat. Indonesia adalah produsen tepung tapioka nomor dua di Asia setelah Thailand. Produksi rata-rata tepung tapioka Indonesia mencapai 15–16 juta ton / tahun (Tarwiyah, 2001). Produsen tepung tapioka di Indonesia tersebar di beberapa provinsi baik di Sumatera, Kalimantan Sulawesi, Jawa dan lain-lain. Di antara berbagai provinsi tersebut Lampung merupakan produsen tepung tapioka yang cukup besar dengan kapasitas produksi mencapai 8,134 juta ton / tahun (BPS, 2013). Tapioka memiliki sifat-sifat fisik yang serupa dengan pati sagu, sehingga penggunaan keduanya dapat dipertukarkan. Pada umumnya tapioka sering digunakan untuk membuat makanan dan bahan perekat karena didalamnya masih mengandung nilai kalori yang tinggi.

(43)

-23

(1,6). Oleh karena itu, amilopektin akan memberikan sifat lengket pada pati tersebut.

Pati dari berbagai tanaman mempunyai bentuk granula (butir) pati yang berbedabeda. Dengan menggunakan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran dan letak hilum yang unik (Fennema, 1985). Ukuran granula (butir) pati tapioka relatif lebih besar dari pada granula pati jenis lainnya, yaitu sekitar 15 mikron sampai 65 mikron dan umumnya berukuran antara 20 mikron sampai 60 mikron. Bentuk granulanya oval (bulat telur) dengan letah hilum granula yang tidak terpusat (Radley, 1976). Menurut Charley (1970), pada pemanasan 60oC pati mulai mengalami pengembangan volume dan

gelatinisasi mulai berlangsung sehingga daya ikat yang dihasilkan akan semakin baik.

(44)

24

2.3.2 Molases

Molases atau tetes tebu merupakan salah satu hasil samping proses pembuatan gula dari tebu disamping ampas dan blotong. Menurut Paturau (1982), molases adalah keluaran terakhir yang diperoleh dari pembuatan gula tebu setelah melalui kristalisasi berulang dan merupakan sisa sirup yang tidak dapat mengkristal kembali. Pemilihan tetes tebu sebagai perekat pembuatan pupuk organik granul ini didasarkan bahwa ketersediaan tetes tebu sebagai bahan baku sangat besar di Indonesia dan mudah didapat. Produksi tetes tebu pada 2001-2005 rata-rata mencapai 967.072.985 ton (BPS, 2005).

Hingga tahun 2000, di Indonesia terdapat sekitar 69 peusahaan gula yang aktif dari 70 perusahaan gula yang berdiri, dimana 57 diantaranya terdapat di pulau jawa (Departemen Pertanian, 2004). Untuk daerah sumatera, Lampung

merupakan sentra gula terbesar kedua di Indonesia yang memliki produktifitas yang tinggi. Di wilayah ini, terdapat PG Bungamayang yang dikelola PTPN VII dengan kapasitas giling 6.250 TCD, dan 4 buah PG berskala besar yang dikelola perusahaan swasta, yaitu PT Gula Putih Mataram, PT Sweet Indo Lampung, PT Indo Lampung Perkasa dan PT Gunung Madu Plantation, dengan kapasitas produksi total sebesar 650.000 ton/tahun. Sehingga untuk pabrik dengan kapasitas 6000 ton tebu per hari menghasilkan tetes sekitar 300 ton sampai 360 ton tetes / hari.

(45)

25

kecap, pupuk, pakan ternak, ataupun industri fermentasi seperti alkohol, turunan alkaloid, asam asetat, butanol, asam sitrat, asam laktat, gliserol dan sel khamir . Tujuan penambahan molases pada pembuatan pupuk organik granul adalah untuk menarik air dan membentuk tekstur yang padat atau menggabungkan dua

komponen yang akan direkatkan.

Molases masih memiliki kandungan sukrosa sekitar 30% disamping gula reduksi sekitar 25 % berupa glukosa dan fruktosa. Sukrosa dalam molases ini merupakan komponen sukrosa yang sudah tidak dapat lagi dikristalkan dalam proses

pemasakan di pabrik gula. Hal ini disebabkan karena molases mempunyai nilai Sucrose Reducing sugar Ratio (SRR) yang rendah yaitu berkisar antara 0,98– 2,06 (Kurniawan, 2004). Molases juga mengandung protein kasar sekitar 3% dan kadar abu sekitar 8–10 %, yang sebagian besar terbentuk dari K, Ca, Cl, dan garam sulfat (Baikow, 1982). Selain itu, molases juga dapat berfungsi sebagai perekat pada pembuatan pelet yang dalam pelaksanaanya dapat meningkatkan kualitasnya (Kurnia, 2010). Partikel-partkel zat dalam bahan baku pada proses pembuatan pupuk organik granul membutuhkan zat pengikat sehingga dihasilkan bentuk granul yang kompak. Pengunaan molases sebagai bahan perekat pada pembuatan pupuk organik granul akan menghasilkan bentuk granul yang berkekuatan tinggi atau tidak mudah hancur.

2.3.3 Sludge IPAL Industri Karet

(46)

26

Indonesia mencapai 3.445.317 hektar dengan produksi total sebesar 2.770.308 ton (Statistik Perkebunan, 2010). Sedangkan Menurut press release Yayasan Karet Indonesia, negara Indonesia memiliki areal tanaman karet alam terbesar no. 2 di dunia. Total areal tanam karet di indonesia mencapai 3,4 juta hektar yang terdiri atas 83,2 % tanaman karet rakyat, 87% perkebunan negara dan 8,1% karet perkebunan swasta (Soerjani,1996). Produksi karet yang dipasarkan adalah bentuk olahan karet remah, lateks pekat dan krep. Dalam proses produksi yang dilakukan, selain memperoleh produk utamanya juga menghasilkan produk sisa atau buangan seperti limbah padat dan cair.

Sludge yang akan digunakan pada penelitian ini adalah endapan dari IPAL industri karet remah yang berbentuk lumpur. Sludge berupa kumpulan massa mikroba yang terdiri dari bakteri, protozoa, metozoa dan fungi yang bercampur dengan lumpur yang terdiri bahan organik dan anorganik (Siregar, 1989).

(47)

27

(48)

28

III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Proses granulasi dilaksanakan di Desa Pujo Asri Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah. Sedangkan analisis dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Ilmu Tanah Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan Februari sampai April 2015.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan untuk pembuatan pupuk organik granul adalah pupuk kompos kulit kakao dengan penambahan sekam padi dan kotoran sapi (Sularno, 2014). Bahan lain yang digunakan adalah bahan perekat berupa tepung tapioka dengan merk dagang Gunung Agung yang diproduksi oleh PT. Budi Acid Jaya Tbk, molases atau tetes tebu yang diperoleh dari PT. PSMI Waykanan, sludge IPAL industri karet remah yang diperoleh dari perusahaan PTP N 7 Unit Usaha Wayberulu.

(49)

29

asam sulfat pekat, asam fosfat pekat 85%, larutan NaOH 40%, dan O,1 N

indikator campuran (bromkesol hijau dan metal merah), larutan asam borat, HCl 1 N, larutan NaF 4% 0,025 N, larutan standar kalium bikromat 1 N, larutan standar amonium sulfat besi (2+) 0,5 N dan indikator difenilamin standar.

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah untuk peralatan di lapang berupa timbangan, ayakan 80 mesh , mesin penggiling (grinder) ,pan granulator dengan diameter 1,3 m dan kecepatan putar 20 rpm,spray, seperangkat alat masak, boot, sarung tangan, terpal, masker,stopwatch, ayakan ukuran sedang (standar) (2–5 mm), ayakan ukuran besar (>5 mm), ayakan ukuran kecil (<2 mm). Sedangkan untuk peralatan laboratorium meliputi alat destruksi, alat destilasi, oven, labu semi-mikro Kjeldahl, alat pemanas semi-mikro Kjeldahl, buret, pipet tetes, pH meter, alat uji kekerasan yaitu pipa PVC dan anak timbangan 500 g.

3.3 Metode Penelitian

(50)

30

Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan sifat fisik dan kimia. Untuk pengamatan kimia meliputi pH, kandungan C-organik, N-total, rasio C/N, serta kandungan P dan K. Sedangkan sifat fisik meliputi uji persentase ukuran granul (diameter 2-5 mm), uji tingkat kekerasan,Bulk Density(Densitas Kamba), dan daya serap air (DSA). Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik yang dianalisis secara deskriptif.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi dan volume terbaik pada ketiga jenis bahan perekat yang digunakan. Untuk bahan perekat tepung tapioka dilakukan dengan konsentrasi 1%, 2%, 3% , 4% dan 5% b/v. Tepung tapioka dilarutkan ke dalam air kemudian dipanaskan sampai sampai terbentuk gel dan didinginkan sebelum digunakan. Pada sludge IPAL industri karet dilakukan dengan beberapa konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% v/v. Sedangkan pada perekat molases dilakukan dengan beberapa konsentrasi yaitu 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% v/v.

(51)

31

granul. Selama proses penyemprotan berlangsung volume bahan perekat atau air yang digunakan dicatat. Setelah inti granul terbentuk kemudian dilakukan

pengeringan menggunakan penjemuran langsung di bawah sinar matahari hingga kadar air butiran granul mencapai 8% - 20%. Kadar air pupuk organik granul dapat diketahui dengan menggunakan metode gravity dan dihitung dengan rumus :

Dimana : KA = kadar air (%)

m1 = Masa pupuk awal (gram) m2 = Masa pupuk akhir (gram)

Penentuan konsentrasi terbaik pada penelitian ini diamati dari tingkat kekerasan granul (saat hasil perhitungan menunjukan nilai > 80%) dan persentase ukuran granul 2-5 mm tertinggi.

3.4.2 Penelitian Utama

a. Persiapan Bahan baku

Kompos yang akan digunakan sebagai bahan baku utama dikeringkan dengan menggunakan pengeringan langsung di bawah sinar matahari. Selanjutnya dilakukan penghalusan dengan menggunakan mesin penghalus (grinder),

kemudian dilakukan pengayakan dengan ayakan 80-100 mesh untuk memperoleh kompos yang lebih halus dan seragam. Bahan perekat yang akan digunakan disiapkan dengan konsentrasi hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan. Setiap satuan percobaan digunakan 3 kg kompos dalam kondisi kering dan halus.

(52)

32

b. Proses Granulasi

Bahan kompos yang sudah halus sebanyak 2,5 kg dimasukan ke dalam mesinpan granulator. Pada saatpan granulutorberputar, sedikit demi sedikit bahan perekat disemprotkan menggunakan spray ke permukaan hingga cairan perekat

membasahi campuran bahan. Selama proses ini berlangsung sisa kompos

sebanyak 0,5 kg ditaburkan secara perlahan diataspan granulatorhingga seluruh bahan terbentuk butiran granul. Setelah granul terbentuk kemudian mesin

granulator dimatikan dan dilakukan pengeringan terhadap granul dengan penjemuran langsung dibawah sinar matahari hingga kadar air butiran granul mencapai 8% - 20%. Kemudian dilakukan pengujian secara fisik dan kima yang meliputi pH, kandungan C-organik, N-total, Pospat, Kalium, rasio C/N, uji

(53)

33

Diagram alir proses pembuatan pupuk organik granul dapat dilihat pada Gambar1.

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan pupuk organik granul

3.5 Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan terhadap pupuk organik granul berbahan baku kompos adalah persentase ukuran granul 2-5mm (Isroi, 2009), uji tingkat

kekerasan (Saade, 2010),Bulk Density(Densitas Kamba), Daya serap air (DSA) (Utari, 2014), pH (AOAC, 1990), C-organik dengan metode Walkey and Black (Thom dan Utomo, 1991), N-total dengan metode semi-mikro Kjeldahl yang dimodifikasi (Thom dan Utomo, 1991), rasio C/N, Fosfor (P) dengan metode Bray

(54)

34

1 atau Bray 2 (Prijono, 2012), serta Kalium (K) dengan metode Flame photometer (Prijono, 2012).

1. Persentase ukuran granul 25 mm

Pengamatan persentase ukuran granul mengacu pada Isroi (2009). Keseragaman ukuran granul adalah bentuk granul yang diperoleh dari proses granulasi dengan ukuran granul yang seragam antara granul yang lain. Sebanyak 500 g sampel dilakukan pengayakan dengan ukuran mesh yang berbeda-beda. Pengayakan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : granul ukuran standar (2–5 mm), granul ukuran besar (>5 mm), dan granul ukuran kecil (< 2 mm). Ukuran granul yang sesuai standar yaitu 2–5 mm (Isroi, 2009). Setelah diperoleh granul dalam masing-masing kategori, kemudian dilakukan perhitungan persentse keseragaman ukuran granul pada granul yang sesuai standar.

2. Uji Tingkat Kekerasan

Pengamatan Uji tingkat kekerasan mengacu pada Saade (2010). Uji tingkat kekerasan granul dilakukan untuk mengetahui tingkat kekerasan pada pupuk organik granul. Uji tingkat kekerasan granul menggunakan pipa PVC dengan panjang 1 meter, ayakan 0,5 mm dan anak timbangan dengan bobot 500 g. Ukuran diameter pipa PVC kurang sedikit dari diameter anak timbangan. Pertama, pipa PVC dipasang berdiri tegak lurus dan pada mulut bagian bawah

(55)

35

diletakkan granul atau sampel sebanyak 5 g. Agar sampel tersebut mendapat tekanan yang sama maka diatur rata sesuai dengan dasar alas dan luas mulut pipa PVC. Selanjutnya, anak timbangan dijatuhkan pada ketinggian satu meter atau sama panjang dengan ukuran diameter pipa PVC. Sampel yang telah hancur tersebut disaring dengan menggunakan ayakan 0,5 mm. Persentase granul yang tidak lolos ayakan 0,5 mm merupakan tingkat kekerasan granul uji tersebut (Saade, 2010). Tingkat kekerasan granul dapat dihitung dengan mengggunakan rumus sebagai berikut :

3. Bulk Density(Densitas Kamba)

Pengujian Bulk Densitymengacu pada Utari (2014). UjiBulk Densitydigunakan untuk mengetahui kekompakan bahan sehingga ikatan antara partikel penyusun granul menjadi lebih rapat. Densitas kamba ( ) dinyatakan dalam satuan massa granul per volume. Langkah pertama dalam menentukan densitas kamba yaitu menyiapkan dan menimbang gelas beker. Kemudian pupuk organik granul yang akan diuji dimasukan ke dalam gelas beker tersebut lalu granul dimampatkan hingga mencapai volume konstan. Setelah itu, granul ditimbang dan ditentukan massanya dengan cara mengurangi massa gelas beker + granul dengan massa gelas beker kosong. Densitas pupuk organik granul dihitung dengan rumus:

dimana: = densitas ( 3) m = massa pupuk (g)

v = volume pupuk (cm3)

Tingkat Kekerasan = X 100 %

(56)

36

4. Daya Serap Air (DSA)

Pengujian daya serap air mengacu pada Utari (2014) yang di modifikasi. Daya serap air merupakan pengujian yang bertujuan untuk mengetahui daya penyerapan granul terhadap air saat granul terendam dalam air. Pengujian ini dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu pertama meletakkan cawan kosong ke dalam oven selama 1 jam dengan suhu 105oC. Lalu menimbang 5 gram pupuk granul yang akan diuji. Kemudian granul direndam dengan air hingga seluruh permukaan granul tertutup selama 1 jam. Setelah itu rendaman disaring dengan kertas saring selama 30 menit. Granul yang telah disaring, dimasukan ke dalam cawan dan dimasukkan ke dalam desikator selama ±5 menit serta ditimbang. Daya serap granul terhadap air dihitung dengan persamaan:

dimana : m1= massa granul basah (g) m2= massa granul kering (g)

5. Pengukuran Derajat Keasaman (pH)

Pengamatan pH mengacu pada AOAC (1990), yaitu dengan menggunakan pH meter, pengukuran dilakukan pada akhir terbentuk granul yang telah kering. Sebanyak 10 g sampel dicampur dengan 50 ml air mineral, didiamkan selama 24 jam dan kemudian dilakukan pengukuran pH. Sebelum dilakukan pengukuran, pH meter harus distandarisasi dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 7,0 atau pH 4,0. Selanjutnya dilakukan pengukuran terhadap larutan sampel dengan

(57)

37

elektrodanya ke dalam larutan sampel dan biarkan beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil.

6. Nitrogen Total

Kandungan N-total pada pupuk organik ganul dianalisis dengan menggunakan Metode Semi-Mikro Kjeldahl (Thom dan Utomo, 1991). Pengukuran ini dilakukan pada akhir terbentuknya pupuk organik granul yang sudah kering. Sebanyak 1 g sampel ditempatkan dalam labu semi-mikro Kjeldahl 100ml, kemudian ditambahkan 5ml larutan asam sulfat salisilat dan dibiarkan selama beberapa jam pada suhu ruangan. Setelah itu labu dipanaskan dengan alat pemanas sampai berhenti berbuih. Kemudian labu didinginkan dan ditambahkan 1,1 g campuran katalis. Labu diletakkan di atas alat pemanas, panas ditingkatkan hingga proses perombakan selesai dan campuran dalam labu mendidih secara perlahan-lahan selama 5 jam. Suhu pemanasan selama pendidihan ini diatur sehingga asam sulfat mengkondensasi kira-kira sampai sepertiga bagian atas leher labu. Setelah perombakan selesai, labu dibiarkan dingin dan ditambahkan 10 ml air destilata. Kemudian diaduk secara perlahan hingga padatan berubah menjadi suspensi dan labu dibiarkan menjadi dingin.

(58)

38

sebuah erlenmeyer 100 ml yang berisi 25ml asam borat dibawah kondensor. Kemudian ditambahkan NaOH 40% sebanyak 20 ml dengan menggunakan corong dan dialirkan secara perlahan ke dalam labu destilata. Generator uap dihentikan ketika larutan destilata mencapai kira-kira 40 ml. Ujung tabung destilasi dibilas dan labu erlenmeyer yang mengandung bahan destilata diambil. Titrasi larutan destilata dengan HCL 0,025 N standar dengan menggunakan buret. Perubahan warna pada titik akhir adalah dari hijau menjadi merah jambu.

Perhitungan:

7. Total C-organik

Kandungan C-organik pupuk organik granul dianalisis dengan menggunakan metode Walkey and Black (Thom dan Utomo, 1991). Sampel sebanyak 0,2 g yang lolos ayakan 2 mm ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml. Sebanyak 10 ml kalium bikromat 1 N ditambahkan ke dalam labu. Kemudian ditambahkan 15 ml asam sulfat pekat dan digoyang secara perlahan dengan cara memutar labu selama 2 menit. Diusahakan agar sampel tidak naik keatas sisi bagian atas gelas labu sehingga tidak terjadi kontak dengan pereaksi. Labu akan menjadi panas saat asam sulfat ditambahkan dan dibiarkan selama 30 menit.

Sebanyak 100 ml air ditambahkan dan dibiarkan hingga dingin kemudian di tambahkan 5 ml asam fosfat pekat, 2,5 ml larutan NaF 4% dan 5 tetes indikator

% N=

(59)

39

difenilamin. Sampel dititrasi dengan larutan ammonium sulfat besi (2+) 0,5 N hingga warna larutan berubah dari coklat kehijauan menjadi lebih keruh (turbid blue). Kemudian dititrasi tetes demi tetes dan labu digoyang terus menerus hingga warna berubah dengan tajam menjadi hijau terang. Sampel blangko disiapkan dan dilakukan prosedur yang sama.

Perhitungan :

Keterangan : s = ml titrasi sampel t = ml titrasi blanko

8. Rasio C/N

Pengukuran rasio C/N dilakukan dengan menghitung perbandingan nilai Total C-organik dan Nitrogen Total yang diperoleh dari data hasil analisis.

Perhitungan :

9. Analisis Fosfor (P)

Kandungan Fosfor (P) dianalisis dengan menggunakan metode Bray 1 atau Bray 2 (Prijono, 2012). Pupuk organik granul kering yang telah lolos ayakan 0.5 mm ditimbang seberat 2 gr, kemudian masukkan botol kocok dan tambahkan 20ml pengesktrak Bray 1 atau Bray 2 (ditentukan oleh pH tanah) kemudian dikocok selama 5 menit pada mesin pengocok . Setelah selesai saring larutan dengan

(60)

40

kertas saring whatman 42 dan filtrat saringan ditampung. Pipet 5 ml hasil saringan dan dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 20 ml aquadest dan reagen B sebanyak 8 ml, didiamkan selama 20 menit. Selanjutnya, ditetapkan absorban dengan spectronic 21 pada panjang gelombang 882 nm demikian juga dengan deret standard P. Konversi bacaan % absorban dan dihitung besarnya mgL-1P berdasarkan garis regresi dari pada kurva standard P yang diperoleh. Perhitungan :

P.tersedia (mgL-1) = Bacaan sampel–A x pengenceran x Fka B

10. Analisis Kalium (K)

Kandungan Kalium (K) dianalisis dengan menggunakan metode Flame

(61)

41

menggunakan Flame photometer kemudian dicatat bacaan pada alat flame photometer. Konversi bacaan berdasarkan garis regresi dari pada kurva standard K yang diperoleh.

Perhitungan :

(62)

68

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaaan bahan perekat sludge IPAL industri karet konsentrasi 25% v/v menghasilkan pupuk organik granul dengan sifat fisik dan kimia yang paling optimal seperti daya serap air tertinggi sebesar 51,69%, bulk density tertinggi 0,73%, kandungan N, P dan K tertinggi sebesar 0,98%, 0,79% dan 1,86%.

5.2 Saran

(63)

68

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1990. Methods of Analysis of The Association of Official Agricultural Chemists. Association of Official Agricultural Chemists. Washington D.C. Arisha, H. M. E., Gad, A. A., & Younes, S. E. 2003. Response of some

peppercultivar to organic and mineral nitrogen fertilizer under sandy soilconditions. Zagazig J. Agric. Res., 30, 1875-99.

Banks, W dan C.T. Greenwood. 1975. Starch Its Components. Halsted Press, JohnWiley and Sons, N.Y.

Colley, Z., Fasina, O. O., Bransby, D., & Lee, Y. Y. 2006. Moisture effect onthe physical characteristics of switchgrass pellets. 49 (6), 1845-1851

Epstein, E. 1997. The Science of Composting. Technomic Publishing Inc. Pensylvania. 83p.

Gaur, A. R. 1983. Manual of rural composting. FAO. USA.

Gaudin, F., Andres, Y., & Cloirec, P. L. 2008. Packing material formulation for odorous emission biofiltration. Chemosphere , 70, 958-966.

Goenadi D, Siswanto H, Sugiarto Y. 2000. Bioactivation Of Poorly Soluble Phosphate Rocks With A Phosphorus-Solubilizing Fungus. Soil Sci Soc Am J64:927-932.

Goenadi. 1997. Kompos Bioaktif dari Tandan Kosong Kelapa Sawit. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis Biotek.Perkebunan Untuk Praktek. Bogor. 18-27.

Hara, M. 2001.Fertilizer pellets made from composted live stock manure. Japan. Hadisoewignyo, L. dan A. Fudholi. 2013. Sediaan Solida. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta. 256 hlm

(64)

69

Haug, R.T., 1980. Compost Engineering : Principle and Practice. Ann Arbor Science, Michigan.

Indriani, Y. H. 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta. Isroi. 2007. Pengomposan Limbah Kakao. Materi Pelatihan TOT Budidaya Kopi

dan Kakao Staf BPTP di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember. Jember 17 hlm.

Isroi. 2009. Pupuk Organik Granul. Sebuah Petunjuk Paraktis Peneliti pada Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor

Jones and Benton Jr. J. 2003. Agronomic Hand book: Management of Crops,Soils and Their Fertility. CRC Press. New York.

Junaidi, S. 2006. Pengaruh Pemberiaan Inukulasi Stadrdec dengan Kotoran Ternak Terhadap Kecepatan Proses Pengomposan dan Kwalitas Kompos dari Bahan Serasah. (Skripsi). Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung : Bandar Lampung.

Kurnia, U. 2001. Perkembangan dan penggunaan pupuk organik di Indonesia. Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian. Jakarta

Lingga, P. 1993. Pupuk dan Cara Memupuk. Kanisius, Jakarta.

Mardiana, A. 2011. Karakteristik Pelet Kompos Berbasis Kotoran Kambing HasilBiofiltrasi Sebagai Pupuk. (Skripsi). Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik. Universitas Indonesia. Depok

Murbandono. 2008.Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. 54 hlm.

Utari, N, W. 2014. Kajian Karakteristik Fisik Pupuk Organik Granul Dengan Dua Jenis Bahan Perekat. (Skripsi). Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Paturau, J. M., 1982, By Product of Cane Sugar Industry.New York: Elsevier Scientific Publishing Company, Asterdam-Oxford

Pujiyanto. 2009. Granul Asal Kulit Buah Kakao yang Diperkaya dengan Mineral dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Bibit Kopi dan Kakao.Jurnal Pelita Perkebunan.25(3): 199-215.

Panjaitan, R, H. 2003. Pemanfaatan Limbah Pabrik Pengolahan Karet Sebagai Pupuk Untuk Persemaian (Gamelina Arborea) Linn. (Tesis). Jurusan

(65)

70

Salisbury, B. Frank., Cleon W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryo. Penerbit ITB. Bandung.

Siahaan Lasminar, 1999. Pemanfaatan Campuran Limbah Padat (Sludge) Industri benang Karet Dengan Tanah Gembur Sebagai Pupuk Tanaman Kedelai (Glycine Max (L) Merri). (Tesis) Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan

Simanungkalit, R.D.M., Suriadikarta, A, D., Saraswati, R., Setyorini, D., Hartatik, w. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati Organic Fertilizer and

Biofertilizer . Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor

Sinaga, Y. R. 2011. Pengaruh zat pengikat pada pelet kompos sebagai medium biofilter dalam proses reduksi gas dinitrogen monoksida. (Skripsi). Teknik Kimia. Universitas Indonesia. Depok.

.

Suastuti. 1998. Pemanfaatan hasil samping industri pertanian molasedan limbah cair tahu sebagai sumber karbon dan nitrogen untuk produksibiosurfactan oleh Bacillus sp galur komersial dan lokal. (Tesis). ProgramPascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sularno. 2014. Optimalisasi pengomposan kulit kakao dengan penambahan kotoran ternak. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Suriadikarta, D.A., dan D. Setyorini. 2005. Laporan Hasil Penelitian Standar Mutu Pupuk Organik. Balai Penelitian Tanah, Bogor.

Sutanto. R, 2002.Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Thom, O.W dan M. Utomo. 1991.Manajemen Laboratorium dan Metode Analisis

Tanah dan Tanaman. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 85 hal

Gambar

Tabel 1. Karakteristik kompos hasil penelitian Sularno, (2014) dan standar SNI
Tabel 2. Standar Kualitas Kompos (SNI 19-7030-2004)
Tabel 3. Persyaratan teknis minimal pupuk organik padat pada Peraturan MenteriPertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan pupuk organik granul

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan serbuk batang kelapa sawit sebagai pengisi pada pembuatan papan gipsum plafon menggunakan perekat tepung tapioka.. Papan

Serta pola linier untuk penggunaan pupuk organik granul terhadap jumlah anakan dengan persamaan Y = 8,7142857 + 0,07695238 x.Pemberian pupuk organik granul dengan dosis sampai

Skripsi berjudul “Pemanfaatan Rumen Sapi Untuk Pembuatan Pupuk Organik Padat Berbahan Baku Feses Sapi” telah diuji dan disahkan oleh Fakultas Pertanian pada: hari, tanggal :

Proyek akhir yang berjudul “PROSES PEMBUATAN RANGKA PADA MESIN PERAJANG SAMPAH ORGANIK SEBAGAI BAHAN DASAR PUPUK KOMPOS” ini telah dipertahankan didepan dewan

Beberapa bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain residu proses digestasi anaerobik lumpur biologi IPAL industri kertas, tiga jenis perekat untuk pembuatan pelet

Inovasi pemanfaatan limbah kulit buah kakao pada pertanaman kakao berpotensi untuk diolah menjadi pupuk organik dalam bentuk kompos, berperan dalam memperbaiki sifat fisik

Kendala utama yang dihadapi oleh kelompok tani dalam membuat POG adalah proses pembuatan butiran (granul) pupuk organik, sehingga sangat relevan diaplikasikan mesin

Kandungan C-Organik Setelah Aplikasi Pupuk Organik Biokanat Granul Kandungan C-organik pada tanah bekas tambang meningkat setelah aplikasi pupuk organik biokanat granul pada Tabel 1,