• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU PERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR : 755 K/PID.SUS/2007

A. Posisi Kasus

a) D

akwaan Jaksa Penuntut Umum ……….. 77

b) T

untutan Jaksa Penuntut Umum ………... 85

c) F

akta – Fakta Hukum ……… 86

d) P

utusan Hakim ……….. 91

B. A

nalisis Kasus

a) B

erdasarka Hukum Acara ………... 92

b) B

erdasarkan Hukum Pidana Materil ………... 93

c) A

spek Keadilan Putusan Hakim ……….... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. K

esimpulan ………... 100

B. S

aran ………. 101

(2)

ABSTRAKSI

Elly Selvianti Purba* Alvi Syahrin ** Edi Yunara ***

Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan

(Studi Putusan MA RI No. 775 K/ PID.SUS/ 2007)”. Lingkungan hidup

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan segala makhluk yang hidup di atas bumi, namun perusakan terhadap lingkungan hidup masih terus terjadi tanpa disadari oleh pelaku bahwa dampak yang diakibatkan bukan hanya merugikan dirinya sendiri melainkan seluruh manusia dan makhluk yang hidup di atas bumi. Perusakan dan pencemaran lingkungan hidup bukan hanya dilakukan oleh individu namun seringkali dilakukan oleh badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum atau yang biasa dikenal dengan istilah korporasi.

Skripsi ini membahas mengenai bagaimana pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di bidang lingkungan hidup dan bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun 2009.

Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah, bahwa korporasi yang dalam kegiatannya melakukan tindak pidana perusakan dan pencemaran lingkungan hidup dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, baik secara langsung maupun dibebankan kepada pengurus, hal ini sabagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mana keseluruhannya memberikan pembenaran bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Sebagaimana diterapkan dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 755K/PID.SUS/2007 dimana pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada H. Oktafianus selaku penanggungjawab lapangan pada kegiatan pertambangan yang dilakukan untuk dan atas nama PT. Surya Cipta Rezeki.

* Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia dan segala makhluk yang hidup di atas bumi. Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Undang – Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi Negara kita telah mengamanatkan, bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat.1 Dengan demikian dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum tersebut dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarka kebijaksanaan nasional yang terpadu dan

1 M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, (Bandung: Mandar Maju,

(4)

menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan generasi mendatang.2

Manusia sejak dilahirkan di dunia ini, telah berada pada suatu lingkungan hidup tertentu.3 Manusia dengan segala aktivitas hidupnya mencari makan, minum serta memenuhi kebutuhan lainnya, adalah karena terdapatnya lingkungan hidup sebagai sumber pertama dan terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhan tersebut.4

Secara harafiah istilah lingkungan hidup diterjemahkan menjadi “life

environment”, namun dalam kenyataannya selalu diterjemahkan sebagai

“environment”.5

Emil Salim (1982:14-15), memberikan pendapat, bahwa lingkungan hidup diartikan segala benda, kondisi keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. 6

Selanjutnya, Danusaputro (1980:65), mengemukakan bahwa lingkungan adalah semua benda dan kondisi termasuk didalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang diamana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.7

Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewajiban bagi Negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan

2 Ibid

3 Ibid, hlm. 2 4 Ibid 5

Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia , (Jakarta: PT. Sofmedia, 2012), hlm . 45.

6 Ibid, hlm . 46 7

(5)

pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia dan makhluk hidup lain.8 Negara Indonesia yang berdasarkan hukum (recht staat) mempunyai tujuan sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.9

Kerusakan lingkungan dewasa ini sudah mencapai tingkat yang membahayakan kehidupan manusia dan makhluk lain yang hidup di bumi. Isu mengenai dampak kerusakan lingkungan yang sering kali kita dengar yaitu

Pemanasan Global atau dikenal juga dengan istilah “Global Warming”. Isu ini

menjadi pembahasan yang mendunia karena dampaknya bukan hanya dirasakan di daerah tertentu tapi secara menyeluruh di seluruh penjuru bumi. Hal yang kini telah menjadi kecemasan bagi seluruh manusia. Pemanasan global menyebabkan tidak menentunya musim, cuaca ekstream dan bencana alam.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan disebabkan oleh keserakahan manusia yang ingin menggunakan sebesar – besarnya kekayaan alam tanpa melakukan perbaikan pada daerah yang dimanfaatkan. Para pelaku perusakan berdalih, hal ini dilakukan demi peningkatan kualitas hidupnya atau demi nilai ekonomi yang lebih tinggi, yang akan di dapatnya dari pemanfaatan lingkungan. Perusakan bukan hanya dilakukan oleh

8

Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2011), hlm.1.

(6)

individu namun seringkali dilakukan oleh badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum atau yang biasa dikenal dengan istilah korporasi.

Indonesia sebagai Negara berkembang terus melakukan upaya pembangunan nasional di berbagai bidang sebagai pelaksanaan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.10 Tidak dapat dipungkiri bahwa korporasi mepunyai peranan penting dalam pembangunan tersebut, dan banyak memberikan kontribusi terutama dalam rangka pembangunan di bidang ekonomi.11 Namun demikian tidak jarang korporasi dalam aktivitasnya melakukan tindakan menyimpang atau kejahatan.12 Salah satu bentuk kejahatan korporasi yang sangat menjadi perhatian karena perkembangannya yang terus meningkat adalah bentuk kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup.13

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum Pidana dan Kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang lain, khususnya hukum Perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa Inggris disebut “legal entities” atau “corporation”.14 Sebagaimana ditetapkan dalam Undang –

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 butir 32 yang menyatakan bahwa “ Setiap orang

adalah orang perseorangan atau badan hukum, baik yang berbadan hukum

10 Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 1.

11 Ibid 12

Ibid

13 Ibid, hlm. 2.

14 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi,

(7)

maupun yang tidak berbadan hukum”.15

Dari ketentuan pasal tersebut , bahwa yang termasuk subyek tindak pidana lingkungan, yaitu :16

1. Orang perseorangan atau individu 2. Badan usaha

3. Badan usaha yang berbadan hukum

Ketentuan hukum pidana dalam Undang - Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diataur dari pasal 97 sampai dengan Pasal 120 yang secara tegas menetapkan bahwa tindak pidana lingkungan merupakan kejahatan (rechtsdelichten), yaitu perbuatan – perbuatan yang meskipun tidak ditetapkan dalam undang – undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. (Moeljanto, 2008 : 78 )17 Mengenai ketentuan pidana yang berkaitan dengan badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum diatur dalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 120.18

Sehubungan dengan pertanggung jawaban badan hukum, selama ini ada bermacam – macam cara perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang – undang yaitu :19

a. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang, perumusan ini diatur oleh KUHP;

b. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan tindak pidana ialah perserikatan, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanyalah orang,

15 H. Syamsul Arifin, Op. Cit, hlm . 229. 16

Ibid

17 Ibid, hlm. 218.

18 Ibid, hlm. 229. 19

(8)

dalam hal perserikatan yang melakukan, yang dapat dipertanggungjawabkan ialah (anggota) pengurus, perumusan serupa ini terlihat pada Ordonansi Devisa, UU Penyelesaian Perburuha, UU Pengawasan Perburuhan dan Peraturan Kecelakaan.

c. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat mempertanggungjawabkan ialah orang dan/atau perserikatan itu sendiri, perumusan serupa ini terlihat pada UU Tindak Pidana Ekonomi, UU Subversi, dan Narkotika (Salim, 1986:117)

Berdasarkan rumusan pasal 116 dan pasal 118 UUPPLH, terdapat tiga pihak yang dapat dikenakan tuntutan dan hukuman yaitu :20

1. Badan Usaha itu sendiri

2. Orang yang member perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana; dan

3. Pengurus atau pimpinan badan usaha.

Di dalam system hukum Anglo Saxon, syarat seseorang dapat didmintakan pertanggungjawaban pidana adanya unsur kesalahan dikenal dengan asas “ mens rea”.21

Lingkungan dan kehidupan manusia di segala bidang merupakan satu kesatuan hubugan timbal balik yang tidak dapat terpisahkan, sehingga dalam pemanfaatannya manusia haruslah bijaksana. Dan hukum yang melindunginya haruslah ditegakkan ketika terjadi pelanggaran dalam pemanfaatan lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkajinya dan menuangkannya dalam tugas akhir berupa skripsi yang berjudul :

20 Syamsul Arifin, Op. Cit, hlm . 230.

21

(9)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak pada latar belakang masalah maka dapat penulis kemukakan beberapa hal yang menjadi permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Korporasi Di Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia?

2. Bagaimana Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Perusakan dan Pencemaran Ligkungan Hidup Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009 ?

3. Bagaimana Penerapan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup Dalam Putusan MA RI Nomor : 755 K/PID.SUS/2007 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam menulis tulisan ini adalah sebagai berikut:

(10)

b. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan berdasakan Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 dan Undang – Undang No. 32 Tahun 2009.

c. Untuk mengetahui penerapan system pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup melalui analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor : 755K/PID.SUS/2007

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: a. Secara teoritis

Untuk menambah dan memperluas pengetahuan mengenai pengaturan pidana di bidang lingkungan hidup dan pengaturan serta system pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan di indonesia, yang diharapkan penulis dapat meningkatkan perlindungan hukum terhadap kelestarian lingkungan di Indonesia;

b. Secara praktis

1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pidana umumnya, maupun terhadap pengaturan hukum pidana di bidang lingkungan pada khususnya;

(11)

3) Sebagai sumbangan pemikiran / masukan kepada pihak aparat penegak hukum, dalam menaggulangi hal – hal yang menjadi penghalang penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan.Untuk lahirnya keadilan hukum antara pelaku dan korban tindak pidana di bidang lingkungan dan sebagai pencegahan terjadi kembali pelanggaran pidana di bidang lingkungan, demi terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.

D. Keaslia Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu melalui penulisan skripsi ini juga menambah pengetahuan dan wawasan kita akan

Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup (Studi Putusan MA RI No. 755 K/PID.SUS/2007)” ini belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri, bukan jiplakan atau diambil dari skripsi milik orang lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

5. Hukum Pidana dan Tindak Pidana

(12)

Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat umum dana normatif berperan memberikan jaminan, perlindungan, kepastian, dan arah pembangunan, serta instrument kebijakan.22 Hukum mengendalikan keadilan.23 Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan, hak asasi individu, kebenaran, kepatutan, dan melindungi masyarakat.24 Selain itu, hukum mengemban fungsinya sebagai memelihara stabilitas, memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan – kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, menciptakan kaidah – kaidah, serta jalinan antar institusi.25

Segala peraturan – peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan (misdrijven), dan sebagainya diatur oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht).26

Hukum pidana bukanlah suatu hukum yang mengandung norma –norma baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan – kejahatan terhadap norma hukum yang menganai kepentingan umum.27

Untuk memberikan gambaran tentang ruang lingkup hukum pidana tersebut maka berikut beberapa pengertian hukum pidana yang diungkapkan beberapa sarjana terkemuka, yaitu:28

1. Soedarto

22 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: PT. Sofmedia, 2009), hlm. 5

23

Ibid

24 Ibid 25 Ibid

26 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok

Pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hlm. 3

27 Ibid

28Tongat, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:

(13)

Beliau memberikan pengertian tentang hukum pidana sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.

Menurut Soedarto, hukum pidana berpangkal dari dua hal pokok, yaitu: a. Perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu

Menurut Soedarto, dengan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu, dimaksud perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapaat disebut sebagai perbuatan yang dapat dipidana atau dapat disingkat sebagai perbuatan jahat.

b. Pidana

Yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu itu, yang menurut soedarto termasuk juga apa yang disebut tindakan tata tertib.

2. Lemaire

(14)

3. Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar – dasar dan aturan – aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

4. Simons

Menurut Simons, hukum pidana adalah:

a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan nestapa, yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati.

b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat – syarat untuk penjatuhan pidana, dan

c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.

5. Van Hamel

(15)

apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yangmelanggar larangan tersebut.

Dari berbagai pengertian tentang hukum pidana tersebut, maka dapat dikemukakan, bahwa hukum pidana hakikatnya adalah aturan atau ketentuan hukum yang mengatur tentang perbuatan – perbuatan yang dilarang yang secara popular disebut tindak pidana (criminal act), mengatur tentang syarat – syarat dapat dijatuhkannya pidana atau pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan mengatur tentang cara – cara atau prosedur penjatuhan pidana.29

Dua hal yang disebut pertama diatas hakikatnya merupakan isi dari hukum pidana materiil sedang satu hal yang disebut terakhir hakikatnya merupakan isi dari hukum pidana formil.30

b) Tindak Pidana

Peristiwa pidana yang juga disebut tidank pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.31 Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang – undangan pidana kita, hampir seluruh peraturan perundang – undangan menggunakan istilah tindak pidana.32

29 Ibid, hlm. 16

30 Ibid 31

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana: Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Press,2014), hlm. 16 32 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori

(16)

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, yang

biasanya disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata

delictum.33

Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit.34 Secara

literlijk (harfiah) kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh, dan

“feit” adalah perbuatan.35 Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara

utuh, straf diartikan juga dengan kata hukum.36

Untuk kata baar ada dua istilah yang digunakan yaitu boleh dan dapat.37 Sedangkan untuk kata feit digunakan empat istilah, yakni tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.38 Secara harfiah, feit memang lebih tepat diterjemahkan dengan kata perbuatan, sedangkan untuk kata “peristiwa”,

menggambarkan pengertian yang lebih luas dari kata perbuatan, karena peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam.39

Untuk istilah “tindak”, menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti

positif (handelen) semata dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten).40 Padahal pengertian yang sebanarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.41 Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan adanya suatu gerakan

33

Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 47

34 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.69 35 Ibid

36 Ibid 37 Ibid 38

Ibid

39 Ibid

40 Ibid

41

(17)

dari tubuh manusia misalnya mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP).42 Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (pasal 304 KUHP).43

Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana bila memenuhi unsur – unsur pidananya, terdiri dari:44

1. Objektif

Yaitu suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya.

2. Subjektif

Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang – undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).

Sudarto mengemukakan bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang itu merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana.45 Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang – undang, namun adakalanya tindak pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang.46 Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

42 Ibid

43 Ibid 44

Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 16 - 17

45 Mohammad Ekaputra, Dasar Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, Medan, 2010), hlm. 75

46

(18)

perbuatan jahat dan kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis.47

Syarat – syarat yang harus dipenuhi sebagai suatau peristiwa pidana ialah:48 1. Harus ada suatu perbuatan.

2. Perbuatan itu harus sesuai denga apa yang ditentukan dalam ketentuan hukum.

3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan 4. Harus berlawanan dengan hukum

5. Harus terdapat ancaman hukumannya.

Tindak pidana dapat dibeda – bedakan atas dasar – dasar tertentu, yaitu:49

1. Menurut system KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan Pelanggaran dimuat dalam buku III

2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiel delicten)

3. Berdasarkan bentuknya kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten)

4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis)

47 Ibid, hlm. 76

48 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 17 - 18 49

(19)

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

7. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu)

8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten)

9. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)

10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang diindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusialaan dan lain sebagainya.

(20)

6. Korporasi

Dewasa ini tidak ada yang dapat menyangkal, bahwa dalam lapangan hukum perdata sudah sangat lazim, bahwa korporasi/badan hukum diakui sebagai subyek hukum.50 Dalam bidang hukum pidana, banyak perdebatan mengenai status korporasi sebagai subyek hukum pidana, namun pada akhirnya sekarang korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana.51 Artinya, korporasi dapat melakukan perbuatan pidana, dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, sehingga karena juga dapat dipidana.52

Secara istilah korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama – sama sebagai subyek hukum tersendiri, suatu personifikasi.53 Korporasi adalah badan hukum yang beranggotakan tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing – masing.54

Secara harfiah korporasi berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin.55 Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan ahli hukum pidana untuk menyebut apa yang ada dalam hukum perdata sebagai badan hukum (recht person) dan dalam bahasa Inggris legal entities atau corporation.56

Perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan perkembangan korporasi menyadarkan lembaga legislative untuk menentukan korporasi sebagai subyek hukum pidana.57 Hal ini bisa dilihat dari beberapa produk perundang – undangan

50 Tongat, Op. Cit, hlm. 135

51 Ibid, hlm. 136 52 Ibid

53 Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm.

58

54

Ibid 55 Ibid

56 Ibid 57

(21)

yang mengakui korporasi sebagai pelaku kejahatan sekaligus dapat bertanggungjawab secara hukum, diantaranya:58

1) Korporasi dapat melakukan tindak pidana, tetapi tanggungjawab pidana masih dibebankan kepada pengurus. (Pasal 35 Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1982)

2) Korporasi dinyatakan secara tegas sebagai pelaku kejahatan dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (Pasal 15 UUTPE), (Pasal 46 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997)

Sekalipun pengaturannya hanya dapat dijumpai dalam perundang – undangankhusus diluar KUHP, sementara dalam KUHP sendiri sebagai induk hukum pidana yang berlaku di Indonesia masih menganut subyek hukum pidana secara umum yaitu manusia sebagaimana terlihat dalam rumusan pasal 59 KUHP, sebagai berikut:59

“ Dalam hal hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap

pengurus, anggota anggota badan pengurus atau komisaris komisaris, maka

pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut

campur melakukan pelanggaran tindak pidana.”

Dengan demikian menurut Soedarto, Pasal 59 KUHP tidak menunjuk kearah dapat dipidananya suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan lain.60 Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan fungsi dalam suatu badan hukum/korporasi.61

58

Ibid, hlm. 59

59 Tongat, Op. Cit, hlm. 137

60 Ibid

61

(22)

Menurut asas identifikasi (suatu asas dalam konsep hukum pidana Inggris), perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, di – identifikasi-kan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi sendiri.62 Asas ini sebenarnya merupakan konsep dalam hukum perdata yang mendasarkan diri pada pemikiran, bahwa apa yang dilakukan pengurus harus dapat dipertanggungjawabkan badan hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak atau kewenangan badan hukum yang bersangkutan.63 Dengan kata lain, kesalahan pengurus harus dianggap sebagai kesalahan korporasi.64

7. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Dalam KUHP tidak ada rumusan yang jelas tentang kemampuan bertanggungjawab pidana.65 Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana.66

Ada 3 syarat mengenai pertanggungjawaban pidana menurut J.E.Jonkers, yaitu:67

a. Kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan b. Mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan itu

c. Keinsyafan, bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat

Moeljatno menarik kesimpulan tantang adanya kemampuan bertanggungjawab, ialah:68

62 Ibid, hlm. 138

63 Ibid, hlm. 139 64

Ibid

65 Ibid, hlm. 142

66 Ibid 67

(23)

a. Harus adanya kemampuan untuk membeda – bedakan antara perbauatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum b. Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut

keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Hukum menentukan, bahwa manusialah yang diakuinya sebagai penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan dari segi yang bersangkut – paut atau mempunyai arti hukum.69 Subjek tindak pidana adalah setiap orang yang dapat dibebani tanggungjawab pidana atas perbuatan yang dirumuskan dalam Undang – Undang Pidana.70 Pembentuk KUHP berpandangan bahwa hanya manusia atau pribadi alamiah yang dapat dibebani tanggungjawab pidana, karena hanya manusia yang merupakan subjek tindak pidana dalam KUHP.71

Namun, mengingat terjadinya perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan manusia, maka subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi (legal person).72

Penolakan korporasi sebagai subjek hukum pidana didasarkan pada doktrin universitas delinquere non potest (korporasi tidak dapat melakukan delik), harus diakui bahwa hanya manusia yang memungkinkan terjadinya suatau delik

68 Ibid

69 Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 21

70

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 82

71 Ibid 72

(24)

dan hanya manusia pula yang dapat dipidana; tuntutan pertanggungjawaban yang memunculkan rasa bersalah hanya mungkin dilakukan pada manusia.73

Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi, dan perdagangan, serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum.74 Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana(corporate criminal responsibility).75

Badan hukum bisa bertindak, dalam artian dapat melakukan penuntutan dan dituntut, dan memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan para pemegang sahamnya dan kekayaan para pendirinya, sedangkan badan usaha yang bukan badan hukum hanya merupakan suatu wadah dari usaha pendirinya atau usaha bersamadiantara para pendirinya sehingga jika terjadi gugatan dari pihak ke tiga, maka para pendiri/persero pemilik harus bertanggungjawab atau menanggung sampai dengan harta pribadinya.76Korporasi dapat melakukan suatu tindak pidana melalui pejabat seniornya yang memiliki keduduan dan kekuasaan untuk berperan sebagai otak korporasi.77

73 Ibid

74 Ibid, hlm. 25

75 Ibid

76 Ibid, hlm. 26 77

(25)

Tindak pidana yang dilakukan korporasi seringkali tidak tempak karena kompleksitas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang serta pelaksanaannya rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi ekonomi.78

Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai prinsip ekonomi tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.79

Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.80 Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidananya.81 Mengenai sifat pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana terdapat beberapa system perumusan yang ditempuh oleh pembuat Undang – Undang, yaitu:82

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang bertanggungjawab;

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;

c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab;

Menurut konsep KUHP Baru, subjek hukum pidana tidak dapat lagi dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi, sebagaimana diatur dalam pasal 47 yang menyebutkan: korporasi merupakan subjek tindak pidana.83

78 Ibid

79 Ibid, hlm. 59

80

Ibid, hlm. 62

81 Ibid, hlm. 63 82 Ibid

83

(26)

Dalam konsep KUHP Baru disebutkan, bahwa tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang – orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lai, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama.84 Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja.85

8. Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup

Mengutip pengertian dari rumusan yang ditetapkan oleh Tim Pengkaji Hukum Pidana Nasional sebagai berikut: “ Tindak Pidana ialah perbuatan

melakuakan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang – undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana.” (BPHN, 1991: 20)86

Untuk membahas tindak pidana lingkungan perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khusu (delic species).87 Inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang)

adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”.88

Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk

84 Ibid, hlm. 27

85

Ibid, hlm. 28

86 M. Hamdan, Op. Cit, hlm. 59. 87 Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 35 88

(27)

menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam ketentuan Undang – Undang Lingkungan Hidup maupun dalam ketentuan Undang – Undang lain yang mengatur perlindungan Hukum Pidana bagi lingkungan

hidup.89

Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan

“perusakan”, memiliki makna substansi yang sama yaitu tercemar atau rusaknya

lingkungan hidup.90 Tetapi keduanya berbeda dalam memberikan penekanan mengenai kalimat aktif dan kalimat pasif (kata benda) dalam prroses menimbulkan akibat.91

A. Pencemaran Lingkungan Hidup

Lingkungan mempunyai kemampuan mengabsorbsi limbah yang di buang ke dalamnya.92 Kemampuan ini tidak terbatas, apabila jumlah dan kualitas limbah yang dibuang ke dalam lingkungan melampaui kemampuan untuk mengabsorpsi, maka dikatakan bahwa lingkungan itu tercemar.93

Pencemaran lingkungan sebagaimana pengertiannya dirumuskan dalam Pasal 1 angka 12 Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 adalah “ pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnyabturun sampai ke tingkat tertentu yang

89 Ibid

90 Ibid 91

Ibid, hlm. 35 - 36

92 Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun

1997, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 7

93

(28)

menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukkannya”.94

Dari rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan adanya unsur – unsur pencemaran sebagai berikut:95

1. Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan, yang mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan hidup. Maksud unsur yang pertama ini berupa masuk atau dimasukkannya zat pencemar, yang berarti baik disengaja maupun tidak memasukkan zat pencemar atau komponen lainnya yang kira – kira sangat berbahaya bagi lingkungan, yang mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan hidup tersebut.

2. Adanya kegiatan manusia atau adanya proses alam. Unsure kedua ini dengan melihat factor penyebabnya, yaitu pencemaran lingkungan dapat dibedakan antara pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia, dan pencemaran lingkungan yan disebabkan oleh proses alam.

3. Turunnya kualitas lingkungan. Dengan demikian, pencemaran lingkungan dalam dirinya selalu mengandung pengertian terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan merupakan yang esensia, sehingga perlu ditanggulangi dan tidak berdampak pada masyarakat

4. Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungn berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa pencemaran lingkungan selalu berkaitan dengan peryntukan lingkungan (tata guna lingkungan)

94 Ibid

(29)

Sedangkan, berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, pengertian secara otentik pencemaran lingkungan hidup tercantum dalam Pasal 1 angka (14), yaitu:96

“Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk

hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh

kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang

telah ditetapkan.”

Adapun unsur pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka (14) UUPPLH, yaitu:97

1. Masuk atau dimasukkannya: - Makhluk hidup,

- Zat,

- Energy dan/atau

- Komponen lain ke dalam lingkungan; 2. Dilakukan oleh kegiatan manusia;

3. Melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Berdasarka Pasal 20 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu:98

“Ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang

ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang

96 Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 36

97 Ibid 98

(30)

keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan

hidup.”

Pada ayat (2) dijelaskan bahwa baku mutu lingkungan hidup meliputi:99 a. Baku mutu air,

b. Baku mutu air limbah, c. Baku mutu air laut,

d. Baku mutu udara ambient, e. Baku mutu emisi,

f. Baku mutu gangguan, dan

g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Yang selanjutnya mengenai baku mutu tersebut diatur dalam peraturan menteri Negara lingkungan hidup.100

B. Perusakan Lingkungan Hidup

Dirumuskan pengertiannya dalam Pasal 1 angka 14 Undang – Undang No. 23 Tahun 1997, sebagai berikut:101

“Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan yang menimbulkan

perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau

hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam

menunjang pembangunan berkelanjutan”.

99 Ibid, hlm. 37

100 Ibid 101

(31)

Dari rumusan pasal tersebut, dapat disimpulkan adanya unsur – unsur perusakan lingkungan yaitu:102

1. Adanya suatu tindakan manusia. Maksudnya, karena manusia merupakan komponen biotik (makhluk hidup) dalam lingkungan hidup yang sangat dominan, maka segala tindakan atau perilakunya sangat mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup yang lain.

2. Terjadinya perubahan terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya. Dengan demikian, perusakan lingkungan dalam dirinya selalu mengandung pengertian terjadinya perubahan sifat fisik dan/atau sifat hayati lingkungan. Untuk dapat mengetahui telah terjadinya perusakan lingkungan perlu diketahui keadaan lingkungan sebelum terjadi kerusakan. Dengan kata lain, perlu diketahui kondisi awal lingkungan.

3. Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungan berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Perlu adanya ketetapan suatu tolok ukur berupa kriteria untuk menentukan bahwa lingkungan berada dalam kondisi kurang atau tidak berfungsi lahi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan.

Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” dalam Undang –

Undang No. 32 Tahun 2009 dirumuskan dalam Pasal 1 angka (16), sebagai berikut:103

“Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan

perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau

102 Ibid, hlm. 8 - 9

(32)

hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup.”

Adapun unsur perusakan lingkungan hidup sebagaimana terkandung dalam Pasal 1 angka (16), yaitu:104

1. Adanya tindakan; 2. Menimbulkan:

- Perubahan langsung atau

- Tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan; 3. Melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1), dinyatakan bahwa untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.105 Pasal 1 angka (15) menjelasakan bahwa yang dimaksud dengan baku kerusakan lingkungan hidup, yaitu106

“ Ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan

hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap

melestarikan fungsinya.”

Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21 ayat (2) meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim, diatur dalam peraturan pemerintah.107

Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3), meliputi:108 a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;

b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;

104 Ibid

105

Ibid

106 Ibid

107 Ibid, hlm. 38 39 108

(33)

c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;

d. kriteria baku kerusakan mangrove; e. kriteria baku kerusakan padang lamun; f. kriteria baku kerusakan gambut; g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau

h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut Pasal 21 ayat (4), didasarkan pada paramater antara lain:109

a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau

d. kekeringan.

Ketentuan pidana dalam Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 tercantum dalam Pasal 41 sampai Pasal 48, dan pasal – pasal didalamnya tidak merumuskan tindak pidan tetapi mengatur ketentuan pidana bagi barang siapa yang dengan sengaja atau karena kealpaannya melakukan perbuatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.110

Sedangkan dalam Undang – Undang No. 32 tahun 2009, perumusan tindak pidana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tidak lagi abstrak dan luas sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No. 23 Tahun 1997, karena telah adanya kata kunci bagi tindak pidana dan/atau kerusakan lingkungan, yaitu:

109 Ibid

110

(34)

“melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau “melampaui

kriteria baku kerusakan lingkungan”.111

Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai Pasal 120.112

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan penulis dalam mengadakan penelitian sehubungan dengan penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penulisan

Dalam membuat/ menulis suatu karya ilmiah, penggunaan suatu metode mutlak diperlukan. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap asas – asas hukum.

2. Metode Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari:113

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat, yakni: - Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945; - Peraturan Dasar, yakni Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945 dan

Ketetapan – Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

- Peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

111 Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 40 - 41

112 Ibid, hlm. 41

113 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

(35)

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: Rancangan Undang – Undang, Hasil penelitian, Karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang masing – masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Uraian singkat atas bab - bab dan sub bab tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

1. Bab I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

2. Bab II : PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian tindak pidanan di bidang lingkungan hidup, hak dan kewajiban korporasi dalam perlindungan lingkungan hidup, dan jenis – jenis tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun 2009

(36)

Dalam bab ini dibahas mengenai korporasi sebagai subyek hukum pidana, jenis sanksi administrati terhadap korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun 2009, jenis sanksi pidana terhadap korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun 2009, dan system pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup.

4. Bab IV : PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

KORPORASI PELAKU PERUSAKAN DAN PENCEMARAN

LINGKUNGAN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR : 755 K/PID.SUS/2007

Dalam bab ini membahas mengenai penerapan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 755K/PID.SUS/2007

5. Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN

(37)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

A. Pengertian Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup

Untuk membahas tindak pidana lingkungan perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species).114

Tindak pidana lingkungan atau delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang – undang kepada subyek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi – sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur – unsur dalam lingkungan hidup seperti hutan, satwa, lahan, udara, dan air serta manusia.115 Oleh sebab itu dengan pengertian ini, delik lingkungan hidup tidak hanya ketentuan – ketentuan pidana yang dirumuskan dalam UUPPLH, tetapi juga ketentuan – ketentuan pidana yang dirumuskan dalam peraturan perundang – udangan lain sepanjang rumusan ketentuan itu ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan atau bagian – bagiannya.116

Perbuatan mencemari dan menimbulkan kerusakan lingungan merupakan kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung dapat membahayakan

114 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2009), hlm. 19

115 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia , (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 221 116

(38)

kehidupan dan jiwa manusia.117 Hukum pidana pada dasarnya bertujuan untuk melindungi jiwa dan kehormatan manusia dan harta benda.118 Namun pada waktu Kitab Undang – Undang Hukum Pidana disusun, masalah lingkungan belum muncul sebagai masalah yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia perorangan ataupun masyarakat karena industri belum berkembang sebagaimana adanya pada saat ini.119

Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) UUPLH dihubungkan dengan Pasal 41 ayat (2), Pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH melalui metode konstruksi hukum dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang) adalah “mencemarkan atau

merusak lingkungan”.120

Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam ketentuan UUPLH maupun dalam ketentuan undang – undang lain (ketentuan sektoral di luar UUPLH) yang mengatur perlindungan hukum pidana bagi lingkungan hidup.121 Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” memiliki makna

substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan.122 Tetapi keduanya berbeda dalam memberikan penekanan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses menimbulkan akibat.123

117 Ibid

118 Ibid 119 Ibid

120 Alvi Syahrin, Loc. cit

121 Ibid 122 Ibid 123

(39)

Berdasarkan Pasal 41 UUPLH sampai dengan Pasal 44 UUPLH, tindak pidana lingkungan yaitu berupa:124

1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan : a. Pencemaran, dan/atau

b. Perusakan lingkungan hidup;

2. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan :

Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.

3. Melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang – undangan berupa: a. Melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang

berbahaya atau beracun masuk di dan/atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air;

b. Impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum.

4. Melakukan perbuatan berupa:

a. Memberikan informasi palsu, atau b. Menghilangkan informasi, atau c. Menyembunyikan informasi, atau d. Merusak informasi,

Yang diperlukan (dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 diatas), yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.

124

(40)

5. Melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.

Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan pasal 41 – 44 UUPLH, terdapat tindak pidana materil yang menekankan pada akibat perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan.125 Tindak pidana materil dapat dilihat dari rumusan pasal 41 dan Pasal 42 UUPLH, sedangkan tindak pidana formil dapat dilihat dari rumusan pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH.126

Dalam tindak pidana materil, perlu terlebih dahulu dibuktikan adanya akibat dalam hal ini terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.127 Pencemaran lingkungan terjadi karena masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.128 Selanjutnya, kerusakan lingkungan terjadi karena tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.129

Dalam tindak pidana formil, rumusan ketentuan pidana yang jika melanggar ketentuan peraturan perundang – undangan, maka telah dapat dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi hukuman.130

125 Ibid, hlm. 22

126 Ibid

127 Ibid, hlm. 23

128 Ibid 129

Ibid

130

(41)

Tindak pidana formil dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak pidana materil jika tindak pidana materil tersebut tidak berhasil mencapai target bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact.131Artinya tindak pidana formil dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana lingkungan yang sulit ditemukan bukti – bukti kausalitasnya.132

Tindak pidana formil ini tidak diperlukan akibat (terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan.133 Hal yang perlu diketahui dalam tindak pidana formil, yaitu:134

1. Seseorang telah melakukan pelanggaran atas peraturan perundang – undangan, atau

2. Diketahui atau patut diduganya bahwa dengan pelanggaran tersebut dapat atau berpotensi menimbulkan akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Ketentuan Hukum Pidana dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 diatur dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 120.135 UUPPLH dengan tegas menetapkan bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan kejahatan.136

Kejahatan adalah rechtsdelicten, yaitu perbuatan – perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang – undang sebagai perbuatan pidana,

131

Ibid

132

Ibid 133 Ibid

134

Ibid

135 Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia,

(Jakarta: PT. Sofmedia, 2012), hlm. 217

136

(42)

telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.137

B. Hak dan Kewajiban Korporasi dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Hak atas suatu akan memberikan kepada sipemegangnya wewenang untuk menikmati, menggunakan atau tidak menggunakan atas apa yang merupakan haknya itu.138 Namun demikian hak bukanlah sesuatu yang timbul dalam ruangan yang kosong dan bebas nilai, serta bebas kepentingan.139 Suatu hak akan memberikan tuntutan adanya suatu kewajiban tertentu.140 Seseorang yang telah memperoleh hak tertentu menurut hukum, tidak serta merta dapat menjalankan haknya dengan sebebas – bebasnya, karena hal ini akan bertentangan dengan asas kepentingan umum atau kepentingan individu orang lain.141 Dalam hubungan dengan hukum lingkungan, fenomena diatas tidak akan terlepas dalam ikatan hukum yang mengatur suatu perjanjian dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk memperoleh suatu perizinan.142 Oleh sebab itu, dalam suatu perjajian pasti disyaratkan bahwa seseorang yang telah mendapatkan hak tertentu disyaratkan pula tentang kewajiban – kewajiban tertentu.143

137 Ibid, hlm. 218

138 Ibid, hlm. 146

139Ibid

140 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa , (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 56

141

Ibid

142

Ibid

143

(43)

Beberapa hak dan kewajiban setiap orang terhadap lingkungan hidup diatur dalam Bab III Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 UU Nomor 23 Tahun 1997, seperti di bawah ini: 144

a. Hak setiap orang, ialah mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, setiap orang mempunyai hak atas inormasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup, dan setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang – undangan yangberlaku.

b. Kewajiban setiap orang, ialah: berkewajiban memelihara kelestarian ungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan inormasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

c. Sedangkan peran masyarakat, ialah: mempunyai kesempatan yang sama dan seluas – luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pelaksanaannya dilakukan dengan cara meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan, menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat, menumbuhkan kesegeraan tanggapan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial, memberikan saran/pendapat dan menyampaikan inormasi dan/atau menyampaikan laporan.

Hak timbul karena suatu perjuangan dari suatu kelompok sosial untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan bagi kepentingan – kepentingannya.145

144

(44)

Perangkat hukum positif telah memberikan pengakuan adanya hak – hak yang dipunyai, baik oleh individu – individu warga masyarakat atau kelompok sosial tertentu dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup seperti yang ditetapkan dalam Undang – Undang nomor 32 Tahun 2009.146

Dengan adanya pengakuan hak –hak yang demikian itu, maka timbul pula kewajiban – kewajiban (obligations) yang harus dilaksanakan oleh si pemegang hak tersebut, karena menurut hukum orang individu, warga masyarakat atau kelompok sosial mempunyai status sebagai subyek hukum.147

Subyek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban, di dalam Pasal 1 butir 32 dari Undang – Undang No. 32 Tahun 2009, siapa yang dikelompokkan sebagai subyek hukum, (setiap orang) adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.148

Di dalam Pasal 65 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009, ada 5 (lima) kategori hak yang diberikan kepada setiap orang, yaitu :149

(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

145 Syamsul Arifin, Loc. Cit

146

Ibid

147 Ibid, hlm. 146 - 147

148 Ibid, hlm 147

149

(45)

(4) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Penjelasan dari pasal 65 ayat (2) menyebutkan bahwa, hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan.150 Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.151 Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan, dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata ruang.152

Kewajiban untuk memelihara fungsi lingkungan hidup juga berlaku bagi setiap kegiatan usaha, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 68 dari Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 : “ setiap orang yang melakukan usaha dan/atau

kegiatan berkewajiban :153

150

Ibid, hlm. 147 151 Ibid

152

Ibid

153

(46)

a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

C. Jenis – Jenis Tindak Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup Menurut Undang - Undang Nomor 23 Tahun 1997 jo Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009

Selain orang perseorangan atau individu yang dapat dikelompokkan sebagai subyek yang melakukan tindak pidana lingkungan adalah badan usaha, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1 butir 32 Undang – Undann Nomor 32 Tahun 2009, “ Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum, baik

yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.” 154

Dari ketentuan pasal diatas, bahwa subyek tindak pidana lingkungan, yaitu :155

4. Orang perseorangan atau individu 5. Badan usaha

6. Badan usaha yang berbadan hukum

Badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum sebagai subyek dalam hukum pidana dengan istilah atau nama “ korporasi”.156

154 Syamsul Arifin, Op. Cit, hlm. 229

155 Ibid 156

(47)

Dalam Undang – Undang No. 32 Tahun 2009, mengenai ketentuan pidana yang berkaitan dengan badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum diatur dalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 120.157

Pasal 116 berbunyi sebagai berikut :158

(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau

b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama- sama.

Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. (Pasal 117 UUPPLH) 159

157

Ibid

158

(48)

Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. (Pasal 118 UUPPLH)160

Yang dimaksud dengan pelaku fungsioanal dalam pasal ini adalah badan usaha dan badan hukum.161 Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan pada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut.162

Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkunkan terjadinya tindak pidana tersebut.163

Tindak pidana lingkungan hidup menurut UU No. 23 tahun 1997 ini dirumuskan dalam empat pasal yang intinya sebagai perikut: 164

a. Pasal 41

(1) Secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang

mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

160

Ibid

161

Ibid

162 Ibid, hlm. 230

163 Ibid, hlm. 231

164 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Pena nggulangan

(49)

Jadi ada 2 tindak pidana lingkungan hidup dalam rumusan pasal tersebut, yaitu:165

1. Pencemaran lingkungan hidup (environmental pollution) yang dilakukan secara melawan hukum dan dengan sengaja;

2. Perusakan lingkungan hidup (environmental damage) yang dilakukan secara melawan hukum dan dengan sengaja

b. Pasal 42

(1) Karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

Tindak pidana ligkungan hidup dalam pasal ini merupakan delik culpa dari delik dalam pasal 41 (1).166

c. Pasal 43

Tindak pidana dalam pasal ini dirumuskan dalam Ayat (1) dan (2). Unsur – unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam ayat (1) adalah sebagai

berikut:167

1. - melepaskan atau membuang zat/energy/komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, udara atau air permukaan;

- melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut;

- menjalankan instalasi yang berbahaya 2. perbuatan tersebut dilakukan dengan :

- melanggar perundang – undangan;

165 Ibid

166 Ibid, hlm. 95

167

(50)

- sengaja;

- mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat me

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan Komprehensif Lainnya: keuntungan berasal dari peningkatan penyertaan dalam kelompok tersedia utk dijual (45%)a. Penyisihan Penghapusan Aset (PPA)

Kawasan berikat adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean Indonesia yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri

 Principle 4: from learners to users  learning language elements, skills, and startegies  how to use/blend all these. 3/29/2017 ESP - I Made Sujana - the University of

kontrak mengenai withholding tax , sehingga saat pemeriksaan pajak perusahaan wajib1. membayar

Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak,baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar

Responden pada penelitian ini berjumlah 60 bayi dengan umur 10 hari - 3 bulan di BPS Saraswati yang dibagi menjadi 2 kelompok, 30 bayi pada kelompok yang dilakukan

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi Pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi ad. Penyesuaian akibat penjabaran laporan

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan differensial, antara lain: metode Euler, metode pendekatan dengan deret Taylor, metode runge-kutta