• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik hukum pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik hukum pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi politik"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG DEMOKRASI POLITIK

(Studi Terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1985)

OLEH: NITA SETIAWATI

PROGRAM STUDI SIYASAH SYARIYYAH

JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG DEMOKRASI POLITIK

(Studi Terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1985)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Syariah dan Hukum Islam (SHI)

Oleh:

NITA SETIAWATI NIM: 101045222276

Di Bawah Bimbingan

Drs. Abdul Halim. M.Ag.

NIP: 150 268 187

PROGRAM STUDI SIYASAH SYARIYYAH

JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG DEMOKRASI POLITIK (Studi terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1985) telah diuji dan dipertahankan dalam sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 04 Juli 2006. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Program Strata Satu (S1) pada Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Siyasah Syariyyah.

Jakarta, 4 Juli 2006

Disahkan oleh,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma. SH,MA,MM.

NIP: 150 210 422

Panitia Ujian Munaqosah

Ketua :Drs. Afifi Fauzi Abbas. M.A. ( )

NIP: 150 210 421

Sekretaris :Drs. Abu Tamrin. M.Hum. ( )

NIP: 150 268 187

Pembimbing :Drs. Abdul Halim. M.Ag. ( )

NIP: 150 268 187

penguji I :Drs. Mujar Ibnu Syarif. M.Ag. ( )

NIP: 150 275 509

Penguji II :Fuad Tohari. M.Ag. ( )

(4)

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

KATA PENGANTAR

Tidak ada kata yang pantas, selain mengucap syukur “Al-Hamdulillah”,

serta puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Berkat taufiq, hidayah,

dan rahmat-Nya, penulisan skripsi ini dapat terlaksana. Shalawat serta salam tetap

tercurah pada panutan pemimpin besar revolusi Islam, Nabi Muhammad saw.

beserta keluarganya, para Sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia hingga

akhir zaman.

Dengan selesainya skripsi ini tidak terlepas atas bantuan, motivasi, serta

bimbingan dari berbagai pihak, yang telah membantu dan ikut berpartisipasi dalam

menyelesaikan skripsi. Ucapan terima kasih ini penulis haturkan kepada:

1. Bapak. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. Abdul Halim, M.Ag. Selaku Dosen pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengoreksi, serta

memberi motivasi kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Drs. Afifi Fauzi Abbas, M.A. Selaku Ketua Jurusan Jinayah

(5)

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen di Fakultas Syariah dan Hukum, yang

dengan sabar dan penuh keikhlasan mendidik dan memperluas wawasan

penulis hingga akhir masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Segenap staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Perpustakaan Utama.

6. Adinda haturkan terima kasih untuk kedua orang tua tercinta Bapak Een

Zaenal Arufin, dan Ibunda Enung Nuraisyah, yang selalu penulis sayangi

sepanjang hidup, berkat do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan

bantuan (material maupun spiritual) yang beliau berdua berikan dengan

tulus, hingga bisa menyelesaikan studi ini dengan lancar, adikku yang

manis Rahma dan Mia yang selalu memotivasi penulis serta keluarga

besar di Tasikmalaya, terima kasih atas do’anya.

7. Teman-teman seperjuangan Siyasah Syariyyah 2001, Agus Setiawan yang

telah meluangkan waktunya untuk menemani serta membantu penulis

dalam penulisan skripsi ini, Iebe, Mpenk, Aiez, Syaiful Rijal,Syahrul,

Ade, Jamal, Firdaus, terima kasih telah meminjamkan buku-bukunya dan

menuangkan ide-idenya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

8. Teman-temanku Eer, Nova, Nani, anak kosan semanggi, dan

anak-anak gang masjid yang selalu meramaikan suasana + teteh Ai yang baik,

(6)

9. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dengan suka rela dalam

penyelesaian skripsi ini.

Demikianlah untaian kata dari penulis. Mudah-mudahan skripsi ini

bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan kita, dan penulis menyadari

bahwa karya ini tidak terlepas dari kekurangan. Semua masukan, saran dan

kritik konstruktif adalah sebuah penghargaan yang tak ternilai bagi penulis.

Akhir kata, Wa Allah al- Muwafiq ilaa Aqwami at-Thariq.

Jakarta, 31 Mei 2006

07 Jumadil Awal

1427

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... ………. i

DAFTAR ISI.... ……… iv BAB I PENDAHULUAN... 1

A..Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaannya ... 10

D. Penjelasan Istilah……… 10

E. Metodologi Penelitian... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KONFIGURASI POLITIK PEMERINTAHAN SOEHARTO.. 14

A. Sekilas tentang Pemerintahan Soeharto ... 14

B. Landasan Politik Pemerintahan Soeharto... 21

C. Konfigurasi Politik Pemerintahan Soeharto……… 26

BAB III PRODUK HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1985…... 33

A. Sekilas tentang Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985 ... 33

(8)

C. Respon Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia terhadap UU

No. 8 Tahun 1985………... 45

1. Respon Nahdlatul Ulama………... 48

2. Respon Muhammadiyah………... 51

3. Respon Organisasi Kemasyarakatan………. 56

BAB IV POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG DEMOKRASI POLITIK……….. 61

A. Arah dan Format Politik Hukum Pemerintahan Soeharto..….. 61

B. Langkah Strategis Demokrasi Politik di Indonesia……… 65

BAB V PENUTUP... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran-Saran ... 71

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemerintahan yang demokratis1 adalah pemerintahan yang memberikan

peranan yang luas terhadap peran dan aspirasi rakyat dalam menentukan

kepentingan masyarakat dan negara. Ini berarti rakyat dapat menentukan legalitas

kekuasaan dalam suatu pemerintahan dan rakyat pula yang menentukan apakah

suatu pemerintahan itu legitimate, sehingga eksistensi pemerintahan dapat

dikatakan hasil dari kedaulatan rakyat.

Demokrasi perwakilan yang dianut selama ini berdasarkan UUD 1945

(Undang-Undang Dasar yang selanjutnya di sebut UUD), yang didasarkan kepada

kedaulatan rakyat. Jika rakyat yang berdaulat maka secara konstitusional

pemerintah berhak mengatasnamakan sebagai pemimpin rakyat. Pemerintahan

yang didukung oleh rakyat tersebut harus menjamin hak-hak rakyat, kebebasan,

demokrasi ekonomi, dan politik.

Pengawasan dan pelaksanaan terhadap lembaga-lembaga yang berwenang

didasarkan kepada hukum. Namun sering kali hukum melindungi sistem yang

dominan hubungan sosial dan kekuasaan menghadapi tantangan fisik, politik dan

1

(10)

ideologi. Kekuasaan yang dominan mestilah melindungi hak-hak asasi warga

negara. Jika pemerintahan yang legitimasinya kuat dan tidak mengayomi hak-hak

ekonomi dan politik rakyat, maka akan mengurangi kepercayaan rakyat bahkan

dapat menjadi pemerintahan yang tidak demokratis. Pemerintahan yang tidak

demokratis membatasi ruang gerak rakyat dalam menyalurkan aspirasi politik.

Hal ini merupakan konsekuensi demokrasi perwakilan yang kekuatannya berbasis

rakyat. Seseorang yang mewakili rakyat harus bertanggung jawab dan dapat

memberi pertanggung jawaban kepada para pemilih.

Apresiasi suatu pemerintahan terhadap hak-hak sipil dalam mewujudkan

pemerintahan yang demokratis harus sesuai dengan ketaatan terhadap konstitusi.

Dalam konteks ini, secara normatif-filosofis demokrasi itu disatu pihak diatur dan

dilaksanakan berdasarkan konstitusi. Kemudian dilain pihak merupakan idealisasi

dari supremasi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokratis

atau tidaknya suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh:

a. Iklim yang ditentukan oleh suatu pemerintahan yang sedang berkuasa. Suatu

pemerintahan akan memberi kesempatan pada tumbuhnya partai-partai

politik.

b. Kemauan politik pemerintahan yang sedang berkuasa. Demokratis atau

tidaknya suatu pemerintahan sangat tergantung pada selera atau kehendak

siapa yang berkuasa.

c. Perubahan arus bawah. Dorongan yang begitu kuat yang menuntut adanya

(11)

rakyat menjadi sumber inspirasi bagi lembaga-lembaga negara untuk

mereposisi diri menjadi lebih demokratis.2

Menjelang kemerdekaan, di Indonesia telah bermunculan partai-partai

yang berasal dari kalangan Nasionalis, Islam, dan Komunis. Dalam periode

kebangkitan nasional terdapat Kelompok Nasionalis, Islam, dan Komunis,

friksi-friksi ini kemudian dimanfaatkan oleh kolonial Belanda, untuk mengadu domba

ketiga kelompok tersebut. Disamping itu Belanda menindas dengan kekerasan

secara bersamaan dan atau secara satu persatu.3

Hal yang sama terjadi juga pada zaman pendudukan Jepang, dimana

rakyat pribumi mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas politik. Ketika

Jepang berhasil mengalahkan pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942,

kolonial dari negara Matahari Terbit (Jepang) melarang semua kegiatan partai

politik Indonesia. Pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas partai-partai politik

domestik seperti ini adalah watak kolonialis.

Kebijakan politik Jepang ini secara berangsur mengalami pergeseran

dengan memberi kesempatan kepada Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin

Indonesia) untuk melakukan aktifitas meskipun secara umum kegiatan partai

2

Ramly Hutabarat, Ringkasan Disertasi, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang

Demokrasi Politik, (Jakarta: Universitas Indonesia 2004), h. 1-3. 3

H. Roeslan Abdul Gani, “Islam datang ke Nusantara Membawa Tamaddun/ Kemajuan/

Kecerdasan “ Dalam Prof. A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia

(12)

politik dilarang. Akan tetapi, satu bulan sesudah proklamasi kemerdekaan,

kesempatan kemudian dibuka lebar-lebar untuk mendirikan partai politik.4

Memasuki era kemerdekaan dibawah Presiden Soekarno, rakyat Indonesia

mulai memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikan keinginan politiknya.

Kebebasan dinikmati oleh segenap rakyat Indonesia. Setelah memasuki era

kemerdekaan bangsa Indonesia mengkonsolidasikan dirinya dengan membangun

format demokrasi. Dalam perjalanannya, Indonesia pernah memiliki Demokrasi

Liberal5 dan Demokrasi Terpimpin.6 Dalam masa demokrasi liberal, partai-partai politik berkembang dengan bebas. Perkembangan partai-partai politik terus

berkembang pada demokrasi terpimpin. Demokrasi politik pada setiap masa

ditentukan oleh komposisi kekuatan politik. Begitu pula, komposisi kekuatan

politik itu terpusat pada siapa yang paling berperan dalam pemerintahan. Dimasa

Demokrasi Liberal atau Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, presiden

Soekarno berperan dalam menentukan format Demokrasi politik. Seperti

lazimnya, dipandang dari sudut demokrasi sejarah Indonesia dapat dibagi dalam

tiga masa, yaitu:

4

Miriam Budiarjo,“ Dasar-Dasar Ilmu Politik”, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1977), h. 171.

5

Pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan Pemilihan umum bebas yang

diselenggarakan dalam waktu yang ajeg, Lihat Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)

Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syahid, 2003), h. 121. 6

Segala hal terpusat pada pemimpin yang dihasilkan dari Pemilihan Umum yang bersaing

sebagai kendaraan untuk menduduki kekuasaan, Lihat Pendidikan Kewarganegaraan (Civic

(13)

a. Masa Republik Indonesia I, yaitu masa Demokrasi (konstitusional) yang

menonjolkan peran parlemen disertai partai-partai dan yang karena itu dapat

dinamakan Demokrasi Parlementer.7

b. Masa Republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam

banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang

menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.

c. Masa Republik Indonesia III, yaitu masa Demokrasi Pancasila8 yang

merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem Presidensial.

Sistem demokrasi parlementer dalam praktek ketatanegaraan Indonesia

ternyata menciptakan multi partai. Tetapi dilain pihak memperlemah persatuan

memberi dominasi yang kuat terhadap partai-partai politik dan Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR). Indikator lainnya, sistem ini tidak disukai karena pada masa

Demokrasi Parlementer sering terjadi pertentangan antar partai politik yang

menimbulkan instabilitas politik. Kuatnya dominasi partai-partai politik

mengakibatkan persaingan antara partai menjadi tidak sehat. Ketika Partai

Komunis Indonesia (PKI) masih berjaya telah mengambil suatu keputusan pada

7

Pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetap diantara badan-badan yang diserahi kekuasaannya itu, terutama antara badan Legislatif dengan badan Eksekutif, ada hubungan timbal balik dan dapat saling mempengaruhi, Lihat Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2004), h. 37.

8

(14)

konferensi nasional PKI Januari 1952. Disini D.N Aidit telah menggariskan

strategi kanan, dengan membentuk kaum Borjuis, dengan menghancurkan Darul

Islam dan gerakan massa.9 Dalam konferensi ini PKI memandang Masyumi

sebagai Komprador-Borjuis yang bekerja untuk kepentingan kapitalis besar.

Musuh besar PKI adalah Masyumi sehingga mengidentikan Masyumi sebagai

“anak imperialis” dan “ekstrimis (Darul Islam) yang teokratis”

sekurang-kurangnya begitulah pandangan PKI tentang partai Islam Masyumi.

Masa demokrasi parlementer terjadi pada rentang waktu pada tahun

1945-1959. Pada masa ini politik hukum tentang demokrasi politik berkembang sesuai

budaya politik di masa itu. Politik hukum tidak selalu di atur melalui

perundang-undangan, karena agaknya fokus perhatian lebih banyak tercurah pada pencarian

bentuk pemantapan stabilitas politik tanpa produk hukum yang dibuat secara

serius. Hal ini dapat dipahami karena situasi diawal kemerdekaan belum berhasil

memformulasikan berbagai hukum tertulis. Lebih-lebih diawal kemerdekaan,

keputusan-keputusan kadang-kadang hanya dituangkan kedalam bentuk

maklumat-maklumat.10

Prinsip politik hukum mulai dituangkan di awal Orde Baru, yaitu:

“melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen”.

Konstitusi tidak sekedar produk nilai-nilai keadilan secara sempit, namun

9

Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai, (Jakarta: CV. Sri Murni,

1998), h. 58.

10

Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di

(15)

sebelumnya telah berproses secara politik. Dimasa awal Orde Baru ini ada upaya

untuk menertibkan urutan-urutan perundang-undangan di Indonesia. Langkah

kearah itu dilakukan melalui TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 yang menempatkan

Undang-Undang Dasar 1945 pada tingkat yang lebih tinggi dalam jajaran hukum

formal. Dengan urutan-urutan ini, satu sama lain tidak saling tumpang tindih.

Peraturan yang lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan yang lebih tinggi.

Komitmen orde baru melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni

dan konsekuen sesuai dengan penertiban hirarkhi perundang-undangan ini.

Pemerintahan Orde Baru menjadikan perundang-undangan yang tertib sebagai

landasan untuk membangun bangsa dan negara.

Dalam perjalanan Pemerintahan Soeharto, demokrasi politik dan ekonomi

yang dicanangkan itu tidak sesuai lagi dengan UUD 1945. Politik hukum

berangsur-angsur menjadi bagian dari politik kekuasaan belaka. Kepentingan

kekuasaan terutama dibidang politik dan ekonomi sangat mempengaruhi corak

pembentukan hukum yang sering kali mengenyampingkan prinsip-prinsip dan

sistem hukum yang semestinya harus dijunjung tinggi.11 Hal seperti ini sering terjadi dalam konfigurasi kekuasaan Orde Baru. Dalam konfigurasi politik,

produk hukum dibuat sebagai justifikasi untuk bertindak diatas ketidakadilan

politik dan ekonomi. Ketidakadilan politik mulai terlihat sejak Pemilihan Umum

Tahun 1971. Tahun 1966 sampai dengan tahun 1970 pemerintahan Orde Baru

11

Bagir Manan, “Reorientasi Politik Hukum Nasional” dalam 70 tahun Ismail Sunny,

(16)

relatif melaksanakan pemerintahan dengan baik, konstitusional yang sesuai

dengan cita-cita Orde Baru awal. Sebenarnya pada tahun 1966 sampai dengan

tahun 1968 pemerintahan Soeharto masih dalam jalur konstitusional, karena pada

tahun 1969 telah dimulai rekayasa politik ketika dalam UU Pemilu tahun 1969

jumlah pengangkatan anggota legislatif sangat signifikan bagi kekuasaan

Soeharto. Oleh karena itu pemerintahan Orde Baru ini kemudian hari memicu

antipati rakyat yang berakhir dengan kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya.

Pada tahun 1971 diadakan Pemilu (Pemilihan Umum) pertama di masa

Orde Baru, dimana Golongan Karya (Golkar) menjadi pemenang pertama dengan

disusul oleh tiga partai besar lainnya yaitu: Nahdlatul Ulama (NU), Parmusi, dan

Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai-partai lain harus menerima kenyataan

bahwa peranan mereka dalam decision making process untuk sementara akan

tetap terbatas.12 Terbatasnya peranan partai politik mengakibatkan mereka

semakin terpuruk dalam setiap kali pemilu tidak terlepas dari politik hukum

penguasa tentang fusi partai politik. Politik hukum tentang fusi partai politik

tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 pada tanggal 27

Agustus 1975 tentang partai politik dan Golongan Karya. Dengan tiga partai

politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia

(PDI), dan Golongan Karya (Golkar), telah menutup kesempatan bagi

pembentukan partai politik yang lain.

12

(17)

Berbagai hal mengenai produk hukum tentang demokrasi politik yang

diciptakan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto

memerlukan kajian yang cermat. Rakyat telah lama tidak puas dengan cara-cara

Soeharto mengatur demokrasi politik dan ekonomi. Bukti ketidakpuasan rakyat

terhadap pemerintahan Orde Baru ditandai dengan aksi rakyat yang mendorong

jatuhnya Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998. Kajian politik hukum mengenai

demokrasi politik dalam hal ini berkisar pada Pemerintahan Soeharto. Dalam

konteks kajian ini ruang lingkup hanya dibatasi pada kekuasaan Soeharto.

Signifikansi pembahasan ini perlu di utarakan melihat pentingnya Politik Hukum

masa Pemerintahan Soeharto untuk di kaji lebih lanjut. Oleh sebab itu mengambil

judul skripsi “POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO

TENTANG DEMOKRASI POLITIK (STUDI TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1985)”.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Fokus kajian ini adalah bagaimana format politik hukum pemerintahan

Soeharto tentang demokrasi politik di Indonesia. Dan untuk mempermudah

pembahasan, research question (pertanyaan penelitian) ini, maka studi ini dibatasi

pada hal-hal di bawah ini:

1. Bagaimanakah bentuk konfigurasi politik pemerintahan Soeharto?

2. Apa produk hukum pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik?

3. Bagaimana arah dan respon masyarakat tentang UU No. 8 tentang Organisasi

(18)

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaannya

Adapun tujuan studi ini adalah:

1. Mengetahui bentuk konfigurasi politik pemerintahan Soeharto.

2. Mengetahui produk hukum pemerintahan Soeharto tentang demokrasi

politik.

3. Mengetahui arah dan respon masyarakat tentang UU No. 8 tentang

organisasi kemasyarakatan.

D. Penjelasan Istilah

Untuk menghindari kesalahan penafsiran dari pemahaman terhadap

istilah-istilah yang dipergunakan, maka berikut ini dikemukakan beberapa

penjelasan istilah sebagai berikut;

Politik Hukum adalah kebijaksanaan yang ditentukan oleh suatu

pemerintahan baik mengenai bentuk maupun substansi dari suatu produk hukum

yang mengatur hajat masyarakat (rakyat) dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Dengan kata lain, politik hukum dapat pula diartikan sebagai kemauan

pemerintah yang sedang berkuasa tentang produk hukum yang telah di proses

melalui lembaga yang berwenang

Konfigurasi Politik, istilah politik hukum adalah kebijakan pemerintahan

yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia

meliputi; Pertama, pembangunan hukum yang berintikan perbuatan dan

pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.

(19)

lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Batasan itu menggambarkan

bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksana hukum yang

dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan di bangun dan

ditegakkan.

Sedangkan Demokrasi Politik adalah hak-hak politik yang dimiliki oleh

setiap individu dan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hak-hak

politik itu terdiri dari hak untuk berpendapat, untuk aktif dalam partai politik, hak

untuk mendirikan organisasi politik, hak untuk berbeda pandangan dengan orang

lain termasuk berbeda pandangan dengan pemerintah, hak untuk ikut pemilihan

umum, hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum dan pemerintahan serta

hak untuk berdemokrasi secara tertib dan teratur. Hak seperti itulah yang

dimaksudkan dalam demokrasi politik.

E. Metode Penelitian

Adapun metote penelitan ini terdiri dari

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini

adalah penelitian kualitatif, dengan mengkaji data-data dan literatur

yang berkaitan dengan judul yang diangkat. Penelitian ini

menitikberatkan pada kajian terhadap produk perundang-undangan

yakni UU No. 8 Tahun 1985. Penelitian ini menggunakan pendekatan

historis, yaitu pendekatan yang melihat perkembangan politik hukum

(20)

hasil yang maksimal melalui dokumentasi berupa UU No. 8 Tahun

1985, dan penjelasan undang-undang.

2. Jenis Data.

Jenis data yang digunakan oleh penulis adalah data kualitatif di

mana data-data yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai sumber data

tertulis.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan

metode studi kepustakaan (Library Research) yaitu dengan

mengumpulkan berbagai referensi, dapat berupa buku-buku literatur,

majalah, artikel atau buku-buku ilmiah lainnya yang berkaitan.

4. Analisis Data

Yang dimaksud dengan tehnik analisa data adalah proses

penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan

dan diinterpretasikan. Dari data-data yang terkumpul kemudian

diklasifikasikan sesuai dengan tema dan hal-hal yang akan dibahas,

kemudian mendeskripsikannya dengan memaparkan secara sistematis

yang disertai dengan membuat analisis, kritik dan kesimpulan.

5. Tehnik Penulisan

Dalam teknik penulisan ini, penulis berpedoman pada buku

Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan Fakultas Syariah dan

(21)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari Lima bab yang setiap bab di rinci

dalam bentuk sub-sub pembahasan dengan sistematika pembahasan sebagai

berikut:

Bab Pertama, pendahuluan yang berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan

Kegunaannya, Penjelasan Istilah, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua, mengenai konfigurasi politik Pemerintahan Soeharto, yang berisikan Sekilas tentang Pemerintahan Soeharto, Landasan Politik Hukum

Pemerintahan Soeharto, serta Konfigurasi Politik Pemerintahan Soeharto.

Bab ketiga, membahas Produk Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985. Bab ini memuat Sekitar tentang Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985, Pancasila

sebagai Asas Tunggal Organisasi Kemasyarakatan, dan Respon Organisasi

Kemasyarakatan di Indonesia terhadap UU No.8 Tahun 1985, yang terdiri dari

Respon Nahdlatul Ulama, Respon Muhammadiyah, serta Respon Organisasi

Kepemudaan.

Bab keempat, mengenai Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik, yang berisi mengenai Arah dan Format Politik Hukum

Pemerintahan Soeharto, serta Langkah Strategis Demokrasi Politik di Indonesia

(22)

BAB II

KONFIGURASI POLITIK PEMERINTAHAN SOEHARTO

A. Sekilas tentang Pemerintahan Soeharto

Pada tahun 1966, perubahan besar-besaran terjadi dalam kekuasaan

pemerintahan Indonesia. Bermula dari suatu pergolakan politik yang diwarnai

berbagai tindakan kekerasan pada tahun 1965, kekuasaan pemerintahan Presiden

Soekarno berakhir, dan muncullah pemerintahan baru yang menamakan dirinya

pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Orientasi

perjuangan yang didukung oleh kekuatan-kekuatan politik pada saat itu menjadi

berubah total. Tekanan untuk meyakinkan bahwa “Revolusi belum selesai”

menjadi melemah untuk kemudian ditinggalkan.

Kebijakan dasar yang diambil adalah kebijakan untuk melaksanakan

Undang Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pancasila, dengan

rumusan seperti dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dijadikan

landasan Idiil segala kegiatan (ekonomi, politik, sosial, dan budaya), sedangkan

Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan landasan konstitusionalnya.

Anti-Kolonialisme dan Anti-Imperialisme tidak lagi dikumandangkan

secara khusus sebagai bagian dari strategi nasional, itu kemudian berubah

menjadi soal kemiskinan dan kesulitan hidup ekonomi. Secara berangsur, namun

dalam waktu yang singkat, perhatian seluruh bangsa diarahkan dan dipusatkan

(23)

yang rendah, angka buta aksara yang masih tinggi, keadaan kesehatan yang

memburuk, dan pertambahan penduduk yang belum terkendali.

Nyata sekali bahwa pemerintahan Orde Baru ini lebih bertekad untuk

lebih mementingkan usaha pembangunan ekonomi bangsa dari pada untuk lebih

mementingkan usaha merebut peran politik yang progresif dan revolusioner

dalam percaturan politik antar–bangsa. Bersikap untuk lebih low profile dalam

politik Internasional, Indonesia kini–dibawah kontrol pemerintah Orde Baru–

melihat apa yang dikerjakan pemerintah Orde Lama yang digantikannya itu hanya

sebagai suatu politik mercusuar yang tidak menguntungkan kehidupan bangsa.

Indikator keberhasilan perjuangan bangsa lalu dialihkan pada keberhasilan dalam

pembangunan ekonomi.13

Sedangkan yang di maksud dengan Orde Baru adalah tatanan seluruh

kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang kita letakkan kembali kepada

kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Orde Baru di

satu pihak telah melakukan koreksi total atas penyelewengan disegala bidang

yang terjadi pada masa sebelumnya, di lain pihak berusaha menyusun kembali

kekuatan bangsa dan menentukan cara-cara yang tepat untuk menumbuhkan

stabilitas Nasional jangka panjang, dalam rangka mempercepat proses

pembangunan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

13

Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika

(24)

Dilihat dari prosesnya, Orde Baru adalah suatu proses yang panjang, mengingat

penyelewengan yang terjadi pada masa-masa lampau telah berjalan

bertahun-tahun, sehingga hampir menyentuh segala segi kehidupan bangsa. Maka

diperlukan perombakan sikap mental yang mendahulukan kepentingan bersama

dari pada kepentingan pribadi atau golongan.14

Tuntutan perjuangan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945

secara murni dan konsekuen mengantar kepada Sidang Umum MPRS 1V yang

diadakan pada tanggal 20 Juni sampai dengan 6 Juli 1966. Sidang Umum ini

berhasil mengeluarkan lebih dari 20 ketetapan dan keputusan MPRS No.

IX/MPRS/1966 yang menerima baik dan memperkuat kebijaksanaan Soekarno

yang dituangkan dalam Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dan ketetapan

MPRS No. XXV/MPRS/1966 mengenai pembubaran PKI termasuk semua bagian

organisasinya dari tingkat Pusat sampai Daerah beserta semua Organisasi yang

seazas/ berlindung/ bernaung dibawahnya dan menyatakannya sebagai Organisasi

terlarang diseluruh Wilayah Republik Indonesia serta melarang setiap

pengembangan faham dan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dalam

segala bentuk dan manifestasinya.15

Orde Baru muncul dengan mengibarkan semangat, melahirkan semangat

baru dan tekad yang baru pula. Pemerintahan ini menobatkan dirinya sebagai

14

Pidato Kenegaraan Presiden Tahun 1970

15

Soebijono, A.S.S Tambunan, Hidayat Mukmin, Rukmini Koesoemoe Astoeti,

DWIFUNGSI ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia,

(25)

pengoreksi total terhadap kesalahan, kegagalan, keruntuhan rezim Orde Lama

yang telah melakukan penyelewengan dan melanggar Konstitusi Undang-Undang

Dasar 1945 dan Pancasila. Pancasila telah diselewengkan, dan kehilangan

kemurniannya dengan dimunculkannya konsep Nasakom (Nasionalis dan

Komunis) oleh Soekarno, yang mengikutsertakan dan memasukan Komunis

kedalam pelaksanaan Pancasila.

Hal yang sama juga terjadinya politisasi agama untuk kepentingan Politik.

Jelas ini dalam konteks masyarakat Muslim saat itu sebagai penyelewengan

agama. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab ditinggalkan, hak asasi manusia

hampir-hampir tidak ada. sila kebangsaan dan persatuan dalam praktiknya luntur.

Asas dan sendi negara hukum lambat laun ditinggalkan, sehingga terbuka peluang

menjadikan negara terlalu berkuasa dan mengabaikan kedaulatan hukum dan

rakyat.

Tekad ini ditegaskan Soeharto selaku pejabat Presiden dihadapan Sidang

Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada awal lahirnya

Orde Baru: Mempertahankan, Memurnikan Wujud dan Pelaksanakan Pancasila

dan UUD 1945. Setiap insan di Indonesia, dalam bentuk usaha apa pun, yang

menamakan diri Orde Baru harus menerima dua landasan pokok, yakni Pancasila

dan UUD 1945. Tidak saja menerima tetapi harus mengamalkan dan memberi isi

pada Pancasila dan UUD 1945. karena itu tekad Orde Baru berada dalam tataran

(26)

Penguasa Orde Baru mempertegas, misi utama untuk meluruskan kembali

sejarah perjalanan bangsa dan negara, berdasarkan pada falsafah dan moral

Pancasila serta melalui jalan yang lurus seperti ditujukan oleh UUD 1945. Rezim

Soeharto merasa terpanggil melakukan koreksi total segala macam penyimpangan

sejarah dimasa lampau, sejak tahun 1945-1965. Rezim ini juga berupaya

memelihara dan memperkuat hal-hal yang benar dan lurus dari pengalaman dan

hasil sejarah masa lampau. Karena itu pula Orde Baru sesungguhnya merupakan

koreksi total terhadap diri sendiri, koreksi total terhadap kekeliruan pemerintahan

rezim soekarno untuk kebaikan. Koreksi total ini meliputi pikiran dan tingkah

laku menyangkut kemurnian cita-cita kemerdekaan, dan implementasi

Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Sikap mental dan tekad pemerintahan

Soeharto ini disampaikannya dalam pidato pertama sebagai pejabat Presiden 12

maret 1967. Soeharto mengatakan apa yang telah dicapai melalui sidang MPRS

adalah kemampuan mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat yang

dilaksanakan MPRS sebagai penyelenggara tertinggi penjelmaan rakyat dan

pemegang kedaulatan rakyat. Soeharto menegaskan perlunya melaksanakan

ketentuan UUD 1945 untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa secara

murni dan konsekuen.16

16

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia; Dari Otoriter

Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 80-81.

(27)

Munculnya pemerintahan Orde Baru pada mulanya menyimpan berbagai

harapan umat Islam. Harapan itu sangat wajar didambakan umat Islam, sebab

pada pengaruh terakhir kekuasaan Soekarno, keberadaan sosio-politik umat Islam

termarjinalisasikan oleh kekuatan lainnya, khususnya Partai Komunis Indonesia.

Harapan yang besar itu mendorong politikus Islam dan umat Islam umumnya

untuk saling bahu-membahu dengan kekuatan Orde Baru dalam menumpas PKI.

Di samping itu dimotifasi oleh dimensi teologis Islam yang bertolak belakang

secara diametral dengan ideologi Komunis. Setelah komunis tumbang, maka

wajar umat Islam mempunyai harapa agar rezim Soeharto memberi peran secara

politis dalam pentas politik nasional.

Yang terjadi kemudian, muncul kekecewaan umat Islam atas sepak terjang

politik Soeharto, terutama mantan petinggi Masyumi yang berharap pemulihan

partai tersebut setelah sebelumnya Soekarno membubarkannya. Ini terlihat dari

kebijakan rezim Orde Baru Tahun 1967 yang tidak bersedia merehabilitasi Partai

Masyumi.17 Pada masa awal Orde Baru masa-masa yang sulit bagi umat Islam, di mana Islam dianggap sebagai kekuatan yang membahayakan stabilitas dan

keamanan negara. Meski pada paruh terakhir, mungkin saja karena Soeharto

sudah kehilangan dukungan dari ABRI terjadi akomodasi antara Islam dan

negara.

17

(28)

Ciri pokok pemerintahan Orde Baru adalah pengembangan politik

Pancasila dan perencanaan perubahan masyarakat secara bertahap yang tertuang

dalam Konsepsi Pembangunan Nasional. Orde baru diawali dengan terbitnya

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) sebagai landasan Kepemimpinan

Nasional yang dikembangkan waktu itu. Secara berangsur, Orde Baru di bawah

Soeharto merencanakan perubahan kehidupan Sosial Politik dengan landasan

idiil, konstitusional Pancasila dan UUD 1945.18

Selanjutnya Pemerintah menenpatkan faktor Stabilitas Nasional, stabilitas

politik penyederhanaan partai, tanggung jawab dan disiplin nasional, serta

keamanan nasional sebagai faktor terpenting dan esensial sebagai pembangunan

nasional yang di susun, dirumuskan dan dilaksanakan berdasarkan ideologi

Pancasila. Adapun tujuan dari kebijaksanaan tersebut adalah dicapainya suatu tata

kehidupan politik, pengorganisasian kekuatan sosial politik dan struktur politik.

Cara berpikir dan mental politik yang mendukung tercapainya tujuan

pembangunan dan partisipasi seluruh rakyat dalam program pembangunan

nasional.

Menurut ideologi pembangunan politik Orde Baru yaitu Ali Moertopo,

usaha untuk melaksanakan konsep dasar pembangunan masyarakat pada

umumnya dilakukan dengan: pertama Menghilangkan perbedaan ideologis dari

berbagai kelompok masyarakat. Kedua Tindakan politik rakyat diarahkan pada

18

Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik Ummat Islam 1965-1987. dalam

(29)

prinsip loyalitas seluruh kekuatan politik kepada ideologis tunggal Pancasila

inilah yang kemudian mendasari digulirkannya sebuah kebijakan kontroversial

Orde Baru pada tahun 1980-an yaitu: Memaksakan Pancasila sebagai ideologis

tunggal kehidupan sosial politik masyarakat melalui UU No. 3 dan 8 Tahun 1985.

B. Landasan Politik Hukum Pemerintahan Soeharto

Sebagai landasan teori pada bab ini akan diuraikan pengertian politik hukum secara terpisah, dengan mengacu pada pandangan para pemikir dan ilmuan yang berkompeten di kedua bidang tersebut. Hanya saja tidak ada kesepakatan di antara mereka tentang konsep yang terkandung pada istilah-istilah tersebut terutama pengertian politik. Hal itu disebabkan oleh perbedaan latar belakang dan sudut pandang mereka, maka untuk itu diperlukan acuan komprehensif.

Kata politik berasal dari kata ‘Politic’ (Inggris) yang menunjukan sifat

pribadi atau perbuatan. Kata ini terambil dari kata Latin Politicus dan bahasa

Yunani (Greek) Politicos ‘relating to a citizen’, kedua kata tersebut juga berasal

dari kata Polis yang bermakna city (kota).19 Politik kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti yaitu: “..Segala urusan dan tindakan

(kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara atau

19

(30)

terhadap negara lain. Tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai

nama suatu disiplin ilmu pengetahuan, yaitu Ilmu Politik”.20

Menurut Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, politik adalah hal-hal yang

berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik.

Kelompok-kelompok kepentingan (pressure groups). Hubungan–Hubungan

Internasional dan tata pemerintahan yang semuanya merupakan kegiatan

perorangan atau kelompok, dalam kaitan hubungan kemanusiaan secara

mendasar.21

Politik (politics) dapat diartikan juga sebagai kegiatan manusia yang

berkenaan dengan pengambilan dan pelaksanaan keputusan-keputusan. Politik

juga mengandung makna kegiatan atau proses ‘sistem politik’ secara tidak

langsung menunjukan eksistensi tatanan atau pola hubungan. Politik biasanya

disamakan dengan penggunaan pengaruh, perjuangan kekuasaan, dan persaingan

diantara individu dan kelompok sosial seperti pengambilan keputusan, pencarian

kekuasaan, pengalokasian nilai, cakupan tujuan, pengendalian sosial, dan

kegiatan yang menggunakan pengaruh. Tetapi dalam banyak percakapan, politik

lebih mengacu dalam kebijakan-kebijakan umum dan alokasi.22

20

Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, Disertasi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), h.45.

21

Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nasional (LPKN), Kamus Besar Ilmu Pengetahuan,

(Jakarta: Golo Riwu, 1997), h. 868.

22

(31)

Dari berbagai definisi yang ditemukan dua kecenderungan pendefinisian

politik, pertama: pandangan yang mengaitkan Politik dengan Negara, kedua:

pandangan yang mengaitkan dengan kekuasaan, otoritas, atau dengan konflik.

Perbedaan kecenderungan ini erat kaitannya dengan pendekatan yang

dipergunakan, yaitu pendekatan tradisional, pendekatan institusional, dan

pendekatan perilaku. Pendekatan tradisional meliputi beberapa pendekatan

misalnya menekankan pembahasannya pada perkembangan partai-partai politik.

Perkembangan hubungan politik dengan luar negeri, dan pendekatan legalistik

yang menekankan pembahasannya pada konstitusi dan perundang-undangan

sebuah negara, dan pada pendekatan institusional yang mendekatkan

pembahasannya pada masalah-masalah Institusi Politik seperti lembaga

Yudikatif. Sedangkan pendekatan perilaku menekankan perhatiannya pada

perilaku aktor Politik, kegiatan-kegiatan ini terdapat di sekitar institusi politik

yang dimanifestasikan oleh aktor-aktor politik seperti tokoh-tokoh pemerintahan

dan wakil-wakil rakyat.23

Meskipun para pemikir dan Ilmuan politik tidak memiliki kesepakatan

mengenai definisi politik namun unsur-unsur seperti lembaga yang menjalankan

aktifitas Pemerintahan. Masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan.

Kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan masyarakat.

23

(32)

Dapat ditemukan secara parsial ataupun implisit dalam definisi yang mereka

kemukakan.24

Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antar hukum dan politik

atau pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah

politik yang mempengaruhi hukum, maka paling tidak ada tiga macam jawaban

dapat menjelaskannya. Pertama, Hukum determinan atas politik dalam arti bahwa

kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.

Kedua, Politik dari determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil dari

kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan)

saling bersaingan. Ketiga, Politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan

pada posisi sederajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain.

Karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu

hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan

hukum.25 Dengan dasar asumsi bahwa hukum merupakan produk politik, maka

studi ini akan mengantarkan pada hipotesis, bahwa konfigurasi politik tertentu

akan melahirkan karakteriastik hukum tertentu pula.

Definisi atau pengertian politik hukum juga bervariasi, menurut

Ensiklopedi Umum politik hukum adalah kebijaksanaan pemerintah atau negara

24

Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, Disertasi, Op.Cit., h. 45. 25

(33)

terhadap corak, bentuk, kepastian dan ketertiban hukum.26 Politik hukum dapat diartikan pula sebagai salah satu jalan atau tindakan yang dilakukan dan

ditunjukan kepada hukum.

Menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy yang ada

atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia meliputi:

pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan

terhadap materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan, kedua, pelaksanaan

ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan

pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian-pengertian tersebut terlihat

politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat

menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakan.27

Dilihat dari dimensi strukturnya, hukum dapat meningkat secara terus

menerus, tetapi jika dilihat dari dimensi fungsinya, ternyata hukum tidak

berkembang sesuai strukturnya. Jika dikaitkan dengan perkembangan tingkah

laku politik menjadi tampak jelas, bahwa struktur hukum dapat berkembang

dalam segala bentuk konfigurasi politik dan sistem pemerintahan, sedangkan

fungsi hukum hanya dapat berkembang secara baik pada saat ada peluang yang

26

Hasan Shadily, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973), h. 1072.

27

(34)

leluasa bagi partisipasi politik massa, sehingga ketika peran politik didominasi

oleh elit kekuasaan, maka fungsi hukum akan berkembang secara lamban.28

C. Konfigurasi Politik Pemerintahan Soeharto

Konfigurasi (configuration) ialah suatu pola yang unsur-unsur atau

bagian-bagiannya, semua saling berkaitan. dalam menelaah suatu konfigurasi,

maka setiap unsur atau bagiannya diamati dan dianalisa dalam kaitannya satu

dengan yang lain, dalam arti bukan sebagai unsur atau bagian yang tidak

berhubungan atau berdiri sendiri. Selanjutnya tinjauan dilakukan dengan

memperhatikan keseluruhan susunan konfigurasi karena sesuatu itu memiliki sifat

menyeluruh atau kesatuan bentuk (Geltat).29

Istilah Politik Hukum adalah kebijakan pemerintah yang akan atau telah

dilaksanakan secara Nasional oleh pemerintah Indonesia meliputi: pertama,

Pembangunan hukum yang berintikan perbuatan dan pembaruan terhadap

materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; Kedua, Pelaksanaan

ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan

pembinaan para penegak hukum. Batasan itu menggambarkan bahwa politik

28

Ibid., h. 13.

29

(35)

hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat

menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan d ibangun dan ditegakan.30

Di tinjau dari sudut sejarah perkembangan sistem ketatanegaraan sejak

Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang, konfigurasi dapat dibagi dalam tiga

masa perkembangan. Pertama, Konfigurasi pada masa berlakunya sistem

Demokrasi Liberal-Parlementer yang dimulai beberapa bulan setelah Proklamasi

Kemerdekaan Tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan tahun 1959 persisnya

ketika Presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Kedua, Konfigurasi politik

pada masa Demokrasi Terpimpin yang berlaku selama kurun waktu antara tahun

1959 hingga tahun 1966. Ketiga, Konfigurasi politik pada masa Demokrasi

Pancasila yang berlaku sejak tahun 1966 hingga sekarang dan merupakan

demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem Presidensiil.31

Menurut Mahfud MD, Konfigurasi politik adalah susunan atau konstelasi

kekuatan politik yang secara dikhotomis dibagi atas dua konsep, yaitu konfigurasi

politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Secara konseptual dan

indikator-indikator variabel bebas ini adalah;

a. Konfigurasi Politik Demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka

kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif

menentukan kebijakan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar jumlah

mayoritas wakil-wakil rakyat dan didasarkan atas kesamaan politik serta

30

Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 9. 31

(36)

diselenggarakan atas kebebasan politik. Di lihat dari hubungan pemerintah

dengan wakil rakyat, dalam konfigurasi politik demokratis terdapat kebebasan

rakyat untuk menyampaikan kritikan terhadap pemerintah.

b. Konfigurasi Politik Otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih

memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil inisiatif hampir

semua kebijakan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit

kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka,

dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan

dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal, serta dibalik semua

itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentarsi kekuasaan.32

Untuk mengidentifikasikan apakah konfigurasi politik itu Demokratis atau Otoriter, indikator yang dipakai dalam studi ini adalah berperannya tiga pilar demokrasi, yaitu partai politik dari badan perwakilan, pelaksanaan hukum, dan peran eksekutif. Pada konfigurasi politik demokratis, partai politik dari lembaga perwakilan rakyat (legislative) aktif berperan menentukan hukum negara atau politik nasional. Sedangkan pelaksanaan hukum, termasuk hukum agama, dijunjung tinggi dan ditempatkan pada posisi yang semestinya. Sementara dominasi lembaga eksekutif (pemerintahan) tidak dominan dan tunduk pada kemauan rakyat dan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konfigurasi politik otoriter memperkecil peranan wakil rakyat, tidak memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat, di samping itu besarnya pemerintah.33

Konfigurasi kekuasaan Orde Baru yang di pimpin oleh Soeharto dalam demokrasi politik menunjukan kekuasaan yang otoriter dan sentralistrik. Militer, Golongan Karya dan Organisasi Masyarakat lainnya seperti Kosgoro, Soksi dan MKGR tidak ada yang terlepas dari pengaruh Soeharto. Organisasi kepemudaan seperti pemuda Pancasila dan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) pun berada dibawah komando Soeharto. Semuanya menjadi ‘Golkaris’ dan ‘Soehartois’. Kekuatan politik dan ormas ini luar biasa hebatnya, sehingga Undang-Undang apapun yang akan dibuat jika dikehendaki oleh Soeharto akan berhasil menjadi Undang-Undang. Melalui anggota DPR yang mayoritas dikuasai oleh kekuatan pro Soeharto sejak terbentuknya DPR dimasa orde baru produk Pemilihan Umum tahun 1971 sampai dengan produk Pemilihan Umum pada tahun 1997, tidak begitu sulit meloloskan “apa maunya “ Soeharto tentang hukum yang berlaku yang mengatur masalah apapun yang dikehendaki untuk diatur. Format dan kultur kekuasaan Soeharto memberi pengaruh yang besar terhadap substansi dan materi perundang-undangan yang berlaku.

Kultur demokrasi Soeharto sebagai seorang jawa pedalaman pada hakekatnya lembut dan halus, tetapi tidak menyukai kritik terutama kritik yang tajam. Sebagai contoh ketika kelompok petisi 50 menyampaikan kritiknya terhadap Soeharto berakibat pada kematian perdata dan hak-hak politik mereka diratakan sebagai kuburan kematian perdata itu. Politik hukum Soeharto melahirkan kebijaksanaan perundang-undangan yang sangat menentukan kehidupan demokrasi dalam masyarakat.

32

Mahfud MD, Politik Hukum, h. 25. 33

(37)

Di awal Orde Baru keinginan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan

konsekwen mulai diperlihatkan. Keinginan itu misalnya ditandai dengan TAP

MPR No. XXXVIII/MPR/1968 tentang pencabutan ketetapan ketetapan MPRS

yang terdiri dari: Nomor II/MPRS/1960, Nomor IV/MPRS/1963, Nomor

V/MPRS/ 1965, Nomor VI/MPRS/1965, Nomor VII/MPRS/1965.

Ketetapan ketetapan MPRS ini dicabut dengan mempertimbangkan:

1. Bahwa kekacauan disemua bidang kehidupan masyarakat dan negara yang

memuncak pada terjadinya gerakan pengkhianatan G 30 S/PKI adalah

antara lain disebabkan adanya penyelewengan UUD 1945.

2. Bahwa penyelewengan terhadap UUD 1945 tersebut diatas terbukti telah

dipergunakan untuk persiapan dan pelaksanaan gerakan pengkhianatan G

30 S/PKI tersebut.

3. Bahwa penyelewengan terhadap UUD 1945 tersebut telah terbukti dapat

dilakukan terutama disebabkan karena didalam GBHN dan haluan

pembangunan serta pedoman-pedoman pelaksanaannya sebagaimana

tersebut dalam ketetapan-ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960, Nomor

II/MPRS/1960, Nomor IV/MPRS/1963, Nomor V/MPRS/1965, Nomor

VI/MPRS/1965, Nomor VII/MPRS/1965, terdapat hal-hal dan

unsur-unsur yang tidak sesuai dengan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan

(38)

4. Bahwa dalam rangka usaha memenuhi Tri Tuntutan Rakyat sebagaimana

yang diamanatkan dan terkandung didalam pertimbangan-pertimbangan

dan ketetapan-ketetapan MPRS hasil sidang Umum MPRS ke-IV tahun

1966 dan sidang istimewa tahun 1977, maka MPRS sebagai pemegang

kedaulatan rakyat, yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi,

wajib menghentikan penyelewengan terhadap UUD 1945, sesuai dengan

tuntutan hati nurani rakyat.

5. Bahwa untuk pemurnian dan pelaksanaan UUD 1945 dan menjamin tidak

terjadinya lagi penyelewengan-penyelewengan, maka perlu segera

pencabutan ketetapan-ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Nomor

IV/MPRS/1963, Nomor V/MPRS/1965, Nomor VI/MPRS/1965, dan

Nomor VII/MPRS/1965.

Dengan beberapa pertimbangan tersebut, dicabutlah ketetapan-ketetapan

MPRS yang dipandang oleh kekuasaan orde baru sebagai tidak sesuai dengan

pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Hal ini merupakan

kebijakan politik yang diharapkan dapat memformulasikan ketetapan-ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang menggagas format baru

pemerintahan Soeharto. Melalui ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang

surat perintah/ Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/

Pemimpin Besar revolusi/ Mandataris MPRS Republik Indonesia, telah

(39)

Panglima Angkatan Darat, pemegang ketetapan tersebut, untuk memikul

tanggungjawab wewenang yang terkandung didalamnya dengan penuh

kebijaksanaan, demi pengamanan usaha-usaha mencapai tujuan revolusi dan demi

kebulatan serta kesatuan bangsa dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakyat,

berdasarkan UUD 194534.

34

Ramly Hutabarat, Ringkasan Disertasi, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang

(40)

BAB III

PRODUK HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1985

A. Sekilas tentang Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985

Sebelum Pancasila berlaku sebagai Dasar Negara Republik Indonesia,

maka untuk mewujudkannya didahului dengan adanya suatu proses perumusan

yang mengandung latar belakang tertentu.

Pendudukan Indonesia oleh kolonial Belanda di awal abad XVII dengan

pemerintahannya di Indonesia yang terkenal dengan sebutan Hindia Belanda,

mulai ambruk dengan mendaratnya tentara Jepang di Indonesia yang dimulai

pertama kali di Pulau Tarakan, Kalimantan pada tanggal 10-11 Januari 1942,

yang kemudian ikut dengan adanya pendaratan di Pulau-Pulau lainnya seperti

Maluku, Sulawesi, Bali dan akhirnya memasuki Pulau Jawa. Kemudian terjadilah

pergerakan kekuasaan dan pergantian Pemerintahan dari Gubernur Jenderal

Belanda kepada Gunsireikan (Panglima Besar) Jepang. Setelah itu diikuti

penurunan bendera Triwarna (merah putih biru) dan menaikan Bendera Matahari

Terbit, serta mengubah lagu Wihelmus menjadi Kimigayo.35

Masuknya Jepang di Indonesia berjalan dengan mulus dan mendapatkan

sambutan gembira dari bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan perlakuan Jepang

yang ramah, dan dikira akan membebaskan Rakyat Indonesia dari belenggu

penjajahan Belanda. Disamping kepada Rakyat Indonesia mula-mula

(41)

diperbolehkan untuk mengibarkan bendera sang Dwi Warna (merah putih) dan

mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Dirumuskannya pancasila sebagai dasar negara tidak terlepas dari adanya

janji pemerintahan Jepang di Tokyo yang diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso

dihadapan Parlemen Jepang pada tanggal 7 September 1944 untuk memberikan

kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang.

Pemberian janji tersebut tidak terlepas dari penghitungan strategi Jepang yang

melihat Indonesia hanya akan potensi Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya

Alam, yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan dukungan pada Angkatan

Perang tentara Jepang dalam memenangkan Perang Dunia II melawan sekutu.

Akan tetapi janji itu akan baru dilakukan setelah bala tentara Jepang mengalami

kekalahan-kekalahan di semua medan pertempuran dan dengan adanya desakan

dari para pemimpin pergerakan bangsa Indonesia, yang kemudian memaksa

Pemerintah Jepang untuk membentuk Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau

BPUPKI.36

Realisasi pembentukan BPUPKI ini baru terwujud tanggal 24 April 1945,

yang waktunya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kaisar Jepang, Tenno

Haika. Pelantikan BPUPKI dilakukan oleh Gunseikan di Jakarta pada tanggal 28

Mei 1945 dengan dr. KRT Radjiman Wedodiningrat, Sekts, dan seorang bangsa

Jepang bernama Yoshio ‘Chibangase, juga menjabat sebagai Wakil Ketua serta

anggota sebanyak 64 orang.

36

(42)

Sesuai dengan namanya, badan ini di bentuk dengan ruang lingkup yang

terbatas. Yakni melakukan penyelidikan bagi Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia. Keterbatasan ruang lingkup tugas badan ini dapat dilihat dari

pernyataan Yoshio ‘Chibangase yang mengemukakan bahwa setelah pekerjaan

badan ini selesai, maka akan dibentuk suatu panitia lain yang bertugas

mempersiapakan kemerdekaan Indonesia, akan tetapi panitia yang akan dibentuk

kemudian itu tidak terikat dengan karya BPUPKI.

Sehari setelah pengurusan BPUPKI dilantik, maka badan ini mulai

mengadakan sidang-sidang dibawah pimpinan ketuanya, yaitu dr. Radjiman

Wediodiningrat. Seluruh proses persidangan BPUPKI ini dapat dibagi dua masa

persidangan yaitu: masa persidangan I berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai

dengan 16 Juli 1945, yang diselenggarakan di gedung Tyuoo Sangi-in (Sekarang

Gedung Pejambon) Jakarta.

Substansi dan inti pembahasan dalam masa persidangan I menitikberatkan

pada pembahasan tentang landasan filosofi, yakni dasar-dasar negara Indonesia

masa persidangan I yang berlangsung selama 4 hari. Dalam sidangnya ketua

BPUPKI meminta kepada para anggotanya untuk memberikan

pandangan-pandangannya tentang dasar Indonesia merdeka. Adapun pembicaraan dalam

sidang ini di isi oleh M. Yamin, yang didalam pidatonya telah mengajukan usulan

(lisan) mengenai dasar negara kebangsaan. Adapun substansi dan inti

(43)

undang-undang dasar negara Indonesia. Masa persidangan II ini berlangsung selama 7

hari dari tanggal 10-16 Juli 1945.

Presiden Soekarno, sebagai Panglima Angkatan Perang turun tangan

menghadapi kenyataan ini dengan melahirkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

a. Menyatakan (dalam konsiderannya) “Berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta

tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian

kesatuan dengan konstitusi tersebut”.

b. Mengatakan (dalam diktumnya) berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak

berlakunya kembali UUD 1950.

Melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan kembali pada UUD 1945,

yang berarti perumusan Pancasila dalam UUD 1945 itulah yang berlaku secara

sah dan resmi hingga sekarang.

B. Pancasila sebagai Asas Tunggal Organisasi Kemasyarakatan

Dalam menilai suatu partai ada beberapa segi yang perlu di ingat: asas,

gerak (termasuk cara), dan cita-citanya.

Partai dapat menghimpun orang-orang yang sefaham ataupun yang sama

kepentingannya dengan apa yang hendak dicapai. Ketika Presiden Soekarno

mengemukakan gagasannya tentang asas tunggal partai dan pidato kenegaraannya

(44)

pendapat bermunculan, dari yang setuju, berdiam diri tanpa kata, menyambut

secara terselubung, dan hati-hati.

Salah satu ciri partai yang memungkinkan kita melihat identitasnya ialah

dengan memperhatikan asas dari partai itu. Ini tidak berarti bahwa identitas partai

hanya ditentukan oleh asasnya. Pada Tahun 1950an partai-partai di Indonesia

Hadir dengan berbagai macam identitas umpamanya, partai Katolik yang

“Berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa pada umumnya serta Pancasila pada

Khususnya dan bertindak menurut asas-asas Katolik”. Partai Kristen Indonesia

(Parkindo) yang “Berazaskan faham kekeristenan”, NU yang “Berazaskan agama

Islam, dan lain sebagainya.

Dalam demokrasi terpimpin asas ini disertai dengan pengakuan bahwa

masing-masing partai harus menerima dan mempertahankan Pancasila, Ini

merupakan tuntutan dari rezim Soekarno saat itu. Gabungan antara asas yang

khas dari partai masing-masing ini dengan penerimaan dasar negara rupanya

dilanjutkan dalam masa Orde Baru.37

Pada asalnya dasar ganda seperti ini (mempunyai asas khas, disamping

menerima Pancasila) tidak dipersoalkan oleh penggali dan pencetus Pancasila itu

sendiri, yaitu almarhum Soekarno. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 yang

memperkenalkan Pancasila, ia mengharapkan agar:

37

(45)

1. Pancasila dijadikan dasar Filosofis negara Indonesia yang hendak didirikan.

2. Tiap golongan menerima anjuran dasar Filosofis ini, dengan catatan bahwa

tiap golongan masih berhak untuk memperjuangkan aspirasinya

masing-masing dalam mengisi kemerdekaan.

Mengenai perbedaan interpretasi, dapat di lihat pada pidato Soekarno yang

tidak menempatkan dasar ke-Tuhanan Y.M.E. sebagai dasar pertama dan utama,

sedangkan sebaliknya Hatta melihatnya sebagai sumber yang memberi isi bagi

sila-sila yang lain. Umumnya bagi partai-partai yang berdasarkan agama (baik

Islam maupun Kristen). Hatta dikenal sebagai pejuang gigih dalam menegakan

Pancasila dan dedikasinya kepada Pancasila tidak diragukan lagi, ketika

bermaksud mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia pada tahun 1976, tetap

memperjuangkan kedua asas yaitu Pancasila dan Islam. Baginya dan umat Islam

lainnya mengakui bahwa dalam Islam politik tidak terpisah dari kehidupan dan

ajaran agama.

Oleh sebab itu, bila PPP yang memang berasal dari Partai Islam, agak

berdiam diri tentang gagasan Soeharto, sikap ini dapat dimaklumi. Bila PPP

menerima gagasan tersebut begitu saja, seakan-akan PPP mengakui bahwa dalam

Islam ada pemisahan agama dan politik, Islam seakan-akan tidak sesuai dengan

tuntutan zaman, sekurang-kurangnya dalam bidang politik, Islam seakan pernah

menerbitkan kekacauan pada waktu masa lalu paling sedikit tidak bersesuaian

(46)

Pidato Kenegaraannya bahwa kekacauan pada masa kampanye memang

disebabkan oleh asas PPP yang masih mempergunakan Islam, disamping

Pancasila.38

Tidak hanya partai Islam saja yang bermasalah dengan Pidato Presiden

Soeharto, Parkindo, Partai Katolik pun bermasalah. Peleburan mereka dalam PDI

(Partai Demokrasi Indonesia) yang mengesampingkan asas mereka

(Kekeristenan, Katolik) agaknya lebih di dorong oleh

pertimbangan-pertimbangan praktis dan bukan asasi.

Bagi Islam yang melihat tidak adanya pemisahan agama dan politik dalam

ajaran agama, gagasan tersebut bila di terima akan menjadi beban bagi kesadaran

hati nurani. Sedangkan bagi Parkindo dan Partai Katolik untuk menerima asas

tunggal bagi partai tidak menyelesaikan masalah melainkan menggesernya

kepada tiap hal yang hendak dikembangkan.

Yang menjadi masalah pokok dalam gagasan Presiden itu ialah gagasan

tersebutmengarah kepada pengakuan, perlunya suatu sistem partai tunggal,

sungguhpun kemungkinan ini tidak disebutkan, tapi implikasinya biasa demikian.

Asas tunggal membuka kemungkinan kepada semua orang untuk menjadi

anggota Partai bersangkutan.

Dalam rangka ini secara asasi tidak ada perbedaan lagi antara partai-partai

tersebut. Oleh sebab itu dalam rangka ini tidak diperlukan lebih dari satu partai.

Dengan adanya asas tunggal partai, adanya lebih dari satu partai akan lebih

38

(47)

merupakan sekedar memenuhi kepuasan formil belaka. Dalam rangka ini

demokrasi perlu dipertanyakan; artinya apakah kita memang berpijak atas asas

demokrasi yang memberi kesempatan untuk berpikir lain dan mengembangkan

pikiran lain ini dengan leluasa (tentu disertai dengan tanggung jawab), ataukah

kita secara formil saja berasas demokrasi, karena disertai penyempitan paham dan

pikiran yang tidak dibenarkan untuk dikembangkan.

Gagasan asas tunggal, kata Deliar Noer, mengarah kepada pengakuan

perlunya sistem partai tunggal. Sungguh pun kemungkinan ini tidak disebutkan,

tetapi implikasinya bisa demikian.39 Lebih jauh, ia menyebutkan beberapa

implikasi yang akan muncul bila asas tunggal diterapkan. Asas tunggal partai

menafikan kebhinekaan masyarakat yang memang berkembang menurut

keyakinan masing-masing. Pemaksaan asas tunggal menghalangi orang-orang

yang sama keyakinan untuk mengelompokkan sesamanya serta bertukar fikiran

sesamanya berdasar keyakinan, termasuk agama, yang dianut masing-masing.

Asas tunggal juga berarti dorongan untuk sekularisasi dalam politik dimana

menafikan hubungan antara agama dan politik, yang bagi agama tertentu, apalagi

Islam, berarti bertentangan dengan ajarannya. Asas tunggal partai mengandung

kecenderungan kearah sistem partai tunggal.

Setelah UU No: 8 Tahun 1985 disahkan berlakunya, maka semua Ormas

Islam menerima Pancasila asas tunggal. Pertama, menerima asas tunggal

Pancasila secara Filosofis, tidak mengubah “bangunan ideologi” Ormas-Ormas

39

(48)

Islam. Pancasila yang diterima tersebut terlebih dahulu “di Islamkan” sehingga

tidak terjadi pertentangan apa-apa. Kedua, menghilangkan kendala ideologis

dalam dakwah Islam, baik mata birokrat, ABRI, maupun yang lain. PPP secara

Formal tidak dapat lagi mengklaim diri sebagai Partai Politik Islam.

Hal yang diperhatikan dalam pemikiran orang-orang Islam di Negeri

adalah Pancasila. Muhammad Natsir, tokoh Islam dari Partai Masyumi, pernah

mengemukakan dua pengertian tentang Pancasila. Yang pertama, ketika ia di

tahun 1952 pergi ke Karachi dimana ia mengaitkan ajaran Pancasila dengan Al

Quran. Dalam pidatonya tersebut ia menyebut Pancasila sesuai dengan Islam.

Pidato Natsir lainnya ketika peringatan Nuzulul Quran di Jakarta tahun 1945 juga

menegaskan bahwa Islam tidak mungkin berlawanan dengan Pancasila, yang

kedua, ketika sidang konstituante, Natsir seakan berbalik, ia melihat Pancasila

bisa kosong dari nilai-nilai yang dituntut Islam. Natsir seperti juga wakil-wakil

Islam yang lain (termasuk NU, PSII, Perti), di situ menggunakan Islam, dan

menolak Pancasila. Hal ini disebabkan; pertama, konstituante merupakan forum

pembahasan terbuka, forum pembanding pendapat. Sebagaimana anggota lain

mengemukakan pemikiran mereka tentang Dasar Negara secara terbuka dan

tuntas, Natsir juga berpendapat demikian. Kedua, Natsir dan kawan-kawannya

dan Organisasi Islam ingin mempertanggung jawabkan amanah yang diberikan

oleh para pemilih yang telah mempercayakan kepada mereka aspirasi ummat

(49)

dan kawan-kawannya ingin memperkenalkan keagungan keyakinan

masing-masing.40

Masalah pokok adalah bahwa Dasar Negara akan disepakati sebagai

produk konstituante, dan Dasar Negara ini adalah Pancasila. Tetapi Pancasila

yang dimaksud bukan dalam tafsiran yang ketat, melainkan akan wahana

pedoman dan patokan untuk kemakmuran bangsa. Dengan pengetahuan seperti

ini maka mudah difahami menggapai partai-partai Islam terdahulu (NU, Perti,

PSII) menyebutkan dalam anggaran dasar mereka yang berkaitan dengan Islam

atau ajaran Islam, tetapi mencantumkan juga Pancasila.

Pancasila memang tidak bertentangan dengan Islam, tetapi ini bergantung

pada tafsiran yang diberikan. Pancasila memang di terima oleh Islam, karena

mereka tidak ingin mengesampingkan Islam dalam hubungannya dengan

Pancasila, maka sebenarnya permainan penerimaan sudah dipergunakan : disebut

atau tidak, alat pengukur tetap berupa ajaran Islam.

Menteri Agama Munawir Sadzali, dalam berbagai kesempatan berusaha

meyakinkan tokoh-tokoh Islam bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran

Islam, menurut menteri Agama, ada beberapa nilai dasar dalam ajaran Islam yang

menjadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.41

40

Deliar Noer, Op.Cit., h. 112. 41

Munawir Sadzali, Peranan Ummat Islam dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta:

(50)

Sejak sosialisasi ide asas tunggal tahun 1982 sampai diundangkannya

dalam bentuk Lima paket Undang Undang politik tahun 1985, reaksi kalangan

Islam beraneka ragam. Bila di pilah-pilah, reaksi tersebut dapat dibedakan antara

yang bersifat pasif - konstitusional dan reaksi yang ekstrim – inkonstitusional.42 Yang pertama diwakili oleh PPP sebagai “Partai Politik Islam” dan orang-orang

yang dikenal dengan warna keislaman. Sedangkan yang kedua diwakili oleh

kelompok-kelompok individual yang kritis terhadap kebijaksanaan asas tunggal

tersebut, dengan klimaks meletusnya Peristiwa Tanjung Priok.

Gagasan asas tunggal pertama kali disampaikan oleh presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan di Depan Sidang Pleno DPR tanggal 16 Agustus 1982.

“…jumlah dan struktur partai politik seperti yang telah ditegaskan dalam Undang Undang tentang partai politik dan Golkar kiranya sudah memadai, terbukti dari hasil dua kali pemilu yang diikuti oleh ketiga kontestan. Yang perlu dibulatka n dan ditegaskan adalah asas yang dianut oleh setiap partai politik dan Golkar. Semua kekuatan sosial politik terutama partai politik yang menggunakan asas selain Pancasila seharusnyalah menegaskan bahwa satu-satunya asas yang digunakan adalah Pancasila”.43

Dari Pidato Pak Harto di atas jelas bahwa asas tunggal pada mulanya hanya ditujukan pada partai politik dan Golkar. Imbauan Presiden secara implisit, ditujukan kepada PPP yang masih menggunakan asas cirinya. Sebelumnya dalam RUU tentang partai politik dan Golkar Tahun 1973, sudah diupayakan menyeragamkan asas partai politik, tetapi ketika itu PPP berhasil melakukan kompromi dengan tetap mencantumkan asas cirinya Islam. Masih menurut Presiden Soeharto, penetapan asas tunggal ditandai oleh trauma masa lalu, terutama jatuh bangunnya Kabinet atau sistem Demokrasi Parlementer akibat konflik Ideologis.

42

Panji Masyarakat, Tahun, XVI, No 163, 1 maret 1974, h. 4.

43

(51)

Yang disebut Pancasila disini yang berlaku sejak 5 Juli 1959 adalah

Pancasila yang ada dirumusan II yang dijiwai dari rumusan I (Piagam Jakarta).

Rumusan inilah yang berlaku yang berlaku hingga sekarang.

Mengenai sikap Umat Islam terhadap Pancasila ada 3 sikap yang

dilihatnya; Pertama sikap formal. Wakil-wakil umat Islam yang ada di DPR

seperti Masyumi, NU, PSII, Perti dan lain-lain., sudah menerima secara aklamasi

pada tanggal 22 Juni 1959. Dekrit 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya UUD

1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta. Berlakunya Pancasila sebagai dasar dan

falsafah negara Republik Indonesia, sebagai landasan hidup bernegara. Kedua

sikap agamis. Pancasila adalah salah satu Filsafat bangsa Indonesia, bukan

agama, baik dalam arti khusus maupun dalam arti luas. Pancasila, sila demi sila

yang Lima, pada dasarnya tidak ada satu pun yang bertentangan dengan Islam,

kecuali bila diisi dengan tafsiran-tafsiran atau perbuatan yang bertentangan

dengan ajaran Islam. Islam bukanlah Filsafat, melainkan wahyu yang

mengandung serba sila Ilahi yang abadi. Ketiga sikap ideologis politis. Pancasila

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul “ Pemikiran Politik Mu’ammar Qadhafi ”, telah diujikan dalam sidang munaqashah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.. Jakarta,

Skripsi beljudul Peran Cendekiawan dalam Transisi Demokrasi Era Reformasi: Telaah Gagasan Politik Amien Rais dan Nurcholish Madjid telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas

Skripsi berjudul “KONSEP DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF PKS DAN PDI PERJUANGAN (KAJIAN PERBANDINGAN)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum

▪ Sistem politik demokrasi menggunakan dan menjalankan prinsip/prosedur demokratis seperti ; pembagian kekuasaan, pemerintahan konstitusional, pemerintahan berdasarkan hukum,

Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada masa Demokrasi Parlementer, atau yang dikenal juga dengan sebutan Demokrasi Liberal adalah sistem kabinet

Di Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai negara dengan sistem demokrasi, saat ini banyak kasus-kasus dalam pemerintahan karena para pejabat yang menjalankan sistem politik

KORELASI KORUPSI POLITIK DENGAN HUKUM DAN PEMERINTAHAN DI NEGARA MODERN.. (TELAAH TENTANG PRAKTEK KORUPSI

Nasution jadi dalam skripsi ini, penulis mencoba mengungkapkan peranan Abdul Haris Nasution pada masa peralihan Kekuasaan pemerintahan Soekarno ke Pemerintahan Soeharto