Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Dhimas Ardhiyanto
1110113000069
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JAKARTA
ii
KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH:
STUDI KASUS DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK OPOSISI SURIAH TAHUN 2013
1. Merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Desember 2014
iii
Nama : Dhimas Ardhiyanto
NIM : 1110113000069
Program Studi : Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH: STUDI KASUS
DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK OPOSISI SURIAH TAHUN 2013
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 11 Desember 2014 Menyetujui Pembimbing,
iv
DUKUNGAN LIGA ARAB PADA PIHAK OPOSISI SURIAH TAHUN 2013
Oleh
Dhimas Ardhiyanto 1110113000069
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Desember 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua Sidang,
Debbie Affianty, MA
Penguji I, Penguji II,
Eva Mushoffa, MHSPS Andar Nubowo, DEA
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 22 Desember 2014
Ketua Program Studi FISIP UIN Jakarta
v
Suriah. Tujuan penulisan skripsi ini guna mengetahui alasan kebijakan Liga Arab dalam memberi dukungan pada kelompok oposisi Suriah. Penulisan skripsi ini didukung dengan data dari berbagai sumber yang diperoleh melalui studi kepustakaan.
vi
sehingga mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan Liga Arab dalam
Konflik Suriah: Studi Kasus Dukungan Liga Arab pada Pihak Oposisi Suriah Tahun 2013”.
Skripsi ini di tulis dengan tjuan untuk memenuhi tugas akhir serta memenuhi syarat wajib kelulusan bagi mahasiswa/i Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Maka penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Sang Maha Pengampun, Maha Pengasih dan pemberi kasih, Allah SWT.
2. Ibuku tercinta Tutik Sukayatiningsih.
3. Yang terhormat, Bapak A. Fuad Fanani, selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Yang terhormat, Ibu Debbie Affianty Lubis, selaku Kepala Prodi HI. Serta
seluruh dosen dan karyawan FISIP UIN yang memberikan bantuan selama perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
5. Guruku, Mbah Amin, Pak Yoto, Mbah Nun.
6. Mbah Siti Khotijah (Mbah Diro), Mbah Tugiyo, Mbah Harti, Mbah Jamilah,
Mbah Mantri, serta sesepuh lainnya.
7. Yang turut membesarkan dan merawatku sampai besar, Lek Kasmani, Lek
Ngatmini, Lek Saryanto, Lek Menik, Bude Ginem, Pakde Gun.
8. Yang tersayang, Mbak Nonik Dhianggarani, Mas Lilik Ismul Fadli, Mas
Sudarso.
9. Saudariku, sahabat dalam belajar banyak hal mengenai kehidupan, Aufa Salimah.
10.Sahabat dalam nenimba ilmu di UIN, Siti Lutfi Jamilatul Wardah, Asri
Kusumastuty, Balqis Faradiba, Dara Amalia, Riko Febrian Eltari, M. Hafied Noval, Sauri Susanto, Rahmi Kamilah, Thufeil Izzharuddin, Rifqi Fauzan, Wildan Ramadhan, Sabana Putra Maka, Ray Putra Mahardika, Novian Dwi Chayo, M. Faisal Akbar, Whisnu Mardiansyah, Rizal, Fatah, Fini, Eko, Rosyid, Mas Ibad, Mas Qobul, Dede, Meli, Shofi, Fahmi, Dendy, atas segala bantuan, dukungan, dan kenangan selama masa kuliah.
vii Jakarta, 11 Desember 2014
viii
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Tinjauan Pustaka ... 7
E. Kerangka Teori... 9
1. Liberal Institusional ... 9
2. Organisasi Internasional ... 13
F. Metodologi Penelitian ... 16
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II LIGA ARAB DAN PERANNYA DI TIMUR TENGAH ... 19
A. Sejarah dan Perkembangan Liga Arab ... 19
B. Stuktur dan Sistem Organisasi Liga Arab ... 25
C. Peran Liga Arab Dalam Peta Politik Timur Tengah ... 30
BAB III KONFLIK DI SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN KONDISI DI TIMUR TENGAH ... 37
A. Sekilas Mengenai Negara Suriah ... 37
B. Konflik Antara Pemerintah dan Pihak Oposisi Suriah ... 44
C. Dampak Konflik Suriah Pada Era Arab Spring Terhadap Negara-Negara di Timur Tengah ... 53
BAB IV KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH PADA ERA ARAB SPRING ... 59
A. Dukungan Liga Arab Pada Kubu Oposisi Suriah ... 59
ix
Konflik di Suriah ... 71
BAB V KESIMPULAN ... 80
x
[image:10.612.117.525.142.575.2]xi
BADEA Bank for Economic Development in Africa
FSA Free Syrian Army
GAFTA Greater Arab Free Trade Area
GCC Gulf Cooperation Council
HAM Hak Asasi Manusia
ISIS Islamic State of Iraq and al-Sham
IM Ikhwanul Muslimin
JDEC Joint Defense and Economic Cooperation
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
NATO North Atlantic Treaty Organization
NBC National Coordinator Bureau
NC National Council
OAPEC Organization of Arab Petroleum Exporting Countries
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PDB Produksi Domestik Bruto
SIF Syrian Islamic Front
SLF Syrian Liberation Front
SNC Syrian National Coalition
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis yang terjadi di Suriah saat ini tidak terlepas dari fonemena Arab Spring,
yaitu suatu fenomena yang berawal dari peristiwa membakar diri yang dilakukan oleh
Mohamed Bouazizi pada 26 Desember 2010 di Tunisia. Bouazizi melakukan hal
tersebut sebagai protes atas penyitaan gerobak dagangannya untuk kesekian kalinya
oleh polisi. Kisah mengenai kemiskinan dan perjuangan tersebut bergaung diseluruh
negeri yang memicu demonstrasi besar untuk memprotes tingginya biaya hidup,
pengangguran dan pembatasan hak berserikat kepada diktator Tunisia, Zein El
Abidine Ben Ali. Peristiwa serupa kemudian menular ke Mesir, Libia, Yaman, dan
Suriah. Demonstrasi menuntut perubahan muncul dan mampu menumbangkan
rezim-rezim yang berkuasa di Tunisia, Mesir dan Libia. Sementara rezim-rezim penguasa Suriah,
Bashar al-Assad hingga permasalahan ini dibahas belum mampu ditumbangkan dan
demostrasi terhadap Assad berubah menjadi perang saudara.1
Perang saudara di Suriah berawal dari penahanan terhadap 15 anak-anak
sekolah yang menuliskan graffiti“rakyat ingin menggulingkan rezim” (al-sha’b yurid
isqat al-nizam) di kota Derra yang tidak jauh dari perbatasan Jordania. Protes
kemudian muncul pada 18 Maret 2011 yang menuntut pembebasan anak-anak
1Mandel Daniel, ”False Dawn: The Arab Spring,”
tersebut, peristiwa tersebut memicu unjuk rasa tidak hanya di kota Derra, namun juga
di kota lain seperti Damaskus, Homs, Hama, Idlib, dan Aleppo. Demonstrasi di
Suriah yang dimulai tahun 2011 tersebut kini menjadi peristiwa perang yang anarkis
antara pihak pemerintahan Bashar dan pihak oposisi. Warga sipil Suriah yang muncul
tanpa senjata saat demonstrasi kemudian beradaptasi dengan kondisi yang kacau
dengan membangun kekuatan militer sehingga menjadi aktor politik dan militer yang
bertarung dengan pemerintah yang berkuasa di Suriah.2
Suriah telah berubah menjadi medan tempur yang menyeramkan. Menurut
Komisioner tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bidang Hak Asasi Manusia
(HAM) Navi Pillay, pada awal 2013, perang saudara tersebut telah menewaskan lebih
dari 60.000 jiwa.3 Menurut Pillay, situasi di Suriah semakin memburuk dan
bertambahnya korban jiwa juga disebabkan oleh kelompok bersenjata antipemerintah
dan meluasnya kejahatan serius serta kejahatan perang, khususnya kejahatan
kemanusiaan oleh kedua belah pihak yang bertikai.4 Pejabat Komisi Tinggi PBB
Urusan Pengungsi, Antonio Guterres mengungkapkan pengungsi Suriah yang lari dari
negaranya menuju negara tetangga sudah mencapai 1 juta jiwa. Sedangkan pengungi
di dalam negeri mencapai 5 juta-10 juta jiwa. Selain itu, sistem medis di Suriah telah
2Philippe Droz & Vincent. ““State of Barbary” (Take Two): From the Arab Spring to the Return of Violence in Syria,” Middle East Journal, volume 68, no.1, (winter 2014), hal 57.
3“Data suggests Syria death toll could be more than 60,000, says UN human rights office,”
UN News Centre, 2Januari 2013, tersedia di:
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=43866#.U3lY0tKSySo diunduh pada 19 Mei 2014. 4
ambruk dan sepertiga rumah sakit sudah tidak layak beroperasi, serta banyak tenaga
medis yang ditahan dan bantuan medis kerap tidak sampai tujuan.5
Sedangkan kondisi perekonomian Suriah menurut ekonom Suriah, Jihad
Yazigi telah berubah drastis, aktivitas perekonomian yang selama ini ada telah rusak
dan mengalami kekacauan. Para pelaku ekonomi juga telah hengkang karena
ketidakamanan, produksi terhenti total di banyak tempat karena aset serta
infrastruktur yang rusak parah. Pengangguran meningkat lebih dari 50 persen dan
setengah dari populasi berada dalam garis kemiskinan. Produksi Domestik Bruto
(PDB) Suriah anjlok 33 persen sejak tahun 2010. Hal ini diperburuk lagi dengan
sanksi internasional yang melarang transaksi internasional dengan Suriah serta
pembekuan asset-aset Suriah di luar negeri. Kerusakan ekonomi Suriah tersebut
membutuhkan sekitar 30 tahun untuk pulih seperti tahun 2010 dengan syarat
pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen.6
Menurut Yazigi, perekonomian yang ada saat ini adalah kegiatan ekonomi
perang yang berupa penyelundupan dan penjualan barang-barang kebutuhan dasar
dengan harga mahal. Selain itu, perampokan, penculikan, dan pungutan liar di
pos-pos pemeriksaan perbatasan. Penguasaan ladang-ladang minyak secara ilegal menjadi
penghidupan bagi mereka yang berkuasa di tengah negara yang berjalan dengan
hukum rimba. Hal ini membuka jaringan bisnis baru beberapa kelompok pengusaha
5Musthafa Abd. Rahman, “Dua Tahun Revolusi Suriah: Po
litik Terseok, Derita Berlanjut”, Harian Kompas, 10 Maret 2013, hal 10.
6Jihad Yazigi, “Syria‟s War Economy,”
maupun individu yang meraih keuntungan dari perang. Lembaga-lembaga baru
muncul dan berkembang serta meraih keuntungan dari perang.7
Berbagai usulan politik telah ditawarkan untuk mengakhiri perang saudara di
Suriah, namun upaya-upaya tersebut belum ada yang menuai hasil. Mantan Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan yang juga merupakan
Utusan Khusus PBB dan Liga Arab untuk Suriah, Maret-Agustus 2012, akhirnya
mengundurkan diri karena frustasi.8 Upaya mantan Menteri Luar Negeri Aljazair
Lakhdar Brahimi yang menggantikan Kofi Annan juga belum menuai hasil hingga
skripsi ini ditulis.9
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab di Doha, Qatar pada 26
Maret 2013 dalam salah satu rekomendasinya memutuskan untuk memberi hak
kepada setiap negara anggota Liga Arab memasok bantuan alat pertahanan diri serta
senjata kepada kubu oposisi Suriah. Pada KTT tersebut kursi delegasi pemerintah
Suriah juga diberikan kepada pihak oposisi yang dihadiri oleh ketua Koalisi Nasional
Suriah (SNC), Moaz al-Khatib.10 Keputusan Liga Arab ini menuai kritik dari Duta
Besar Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin yang mengatakan bahwa Liga Arab
menyimpang dari upaya penyelesaian politik di Suriah. Churkin juga menyayangkan
7
Ibid. hal 4-5.
8 Dua Tahu ‘e olusi “uriah, Politik Terseok, Derita Berla jut, Harian Kompas, 10 Maret 2013, hal
10.
9
Ibid.
10 Doha su it gi es Arab states right to ar “yria rebels, Al Arabiya News, 26 Maret 2013,
keputusan Liga Arab memberikan kursi delegasi Suriah pada SNC, menurutnya
keanggotaan Suriah di Liga Arab belum hilang, namun hanya dibekukan.11
Kebijakan Liga Arab tersebut bertentangan dengan upaya penyelesaian
konflik secara damai. Dari kondisi Suriah tergambar jelas bahwa tentara pemerintah
maupun oposisi sama-sama bertindak diluar rasa kemanusiaan. Hal ini terlihat dari
kerusakan dan kehancuran infrastruktur, bangunan rumah, sekolah, rumah sakit,
maupun fasilitas umum, demikian banyak tersebar di hampir seluruh penjuru kota
Suriah. Korban tewas dan kehancuran Suriah pun akan terus berlanjut selama perang
masih berkecamuk.12
Selain itu, jika pihak oposisi Suriah berhasil menggulingkan rezim yang
berkuasa dengan kekerasan maka tidak lantas permasalahan akan langsung selesai.
Profesor pada Naval Postgraduate School, Glenn Robinson berpendapat bahwa jika
pemberontak Suriah menang, maka mereka akan melakukan balas dendam dan
memalukan demokrasi serta liberalisme. Sejalan dengan Robinson, Peneliti senior University of Notre Dame’s Kroc Institute for International Peace Study, Madhav
Joshi mengungkapkan bahwa kemenangan militer dalam perang sipil mempunyai
dampak yang sangat berbahaya. Menurut Joshi, pihak pemenang akan berusaha untuk
11“Russia criticizes Arab League over Syria seat”,
Aljazeera, 28 Maret 2013, tersedia di:
http://www.aljazeera.com/news/europe/2013/03/2013328173751138369.html diunduh pada 20 Mei 2014
12Trias Kuncahyono, “Suriah Dua Tahun Berlalu,”
menyingkirkan pihak lain dari pemerintahan dengan kekuatan militernya dari pada
berusaha untuk bekerja sama dengan musuhnya dalam perang.13
Dengan melihat fenomena seperti ini maka Liga Arab yang bertindak sebagai
organisasi regional yang salah satu anggotanya mengalami perang saudara yang
berlarut-larut menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai kebijakannya
untuk mendukung salah satu pihak yang bertikai. Mengapa Liga Arab memberi hak
kepada anggotanya untuk memasok senjata kepada pihak oposisi Suriah? Bukankah
ini akan memperburuk perang saudara yang tengah berkecamuk? Mengapa Liga Arab
memberikan dukungan pada salah satu pihak saja dalam penyelesaian konflik yang
terjadi di Suriah yang telah berlarut larut?
B. Pertanyaan Penelitian
Dari penjelasan pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang
akan diungkap dalam skripsi ini adalah: mengapa Liga Arab memberi dukungan
terhadap pihak oposisi Suriah dalam krisis politik yang terjadi di Suriah pada era
pemerintahan Bashar al Asad pada tahun 2013?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
13
Bilal Y.Saab dan Andrew J. Tabler, “No Settlement In Damascus: The Danger of a Negotiated
Peace,” Foreign Affairs, 2 Januari 2013, tersedia di
1. Mengetahui alasan kebijakan Liga Arab yang memberi dukungan
kepada pihak oposisi Suriah.
2. Mengetahui dinamika politik Timur-Tengah
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu memberi
perkembangan bagi studi hubungan internasional khususnya dalam
studi organisasi internasional.
2. Penelitian ini juga diharapkan mampu memahami perkembangan Liga
Arab dan Timur-Tengah.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum skripsi ini ditulis, sebelumnya telah terdapat penelitian yang terkait
dengan skripsi ini. Pertama, tulisan Bruce Maddy-Weitzman yang berjudul The Arab
League Comes Alive. Artikel tersebut memuat mengenai suatu hal yang berada diluar
ekspektasi, yaitu adanya perubahan dalam Liga Arab yang di sangsikan oleh banyak
pihak sebagai organisasi yang tak bergigi menjadi organisasi yang anggotanya
menjadi kesatuan dalam manuver diplomatik dalam beberapa hal.14
Maddy-Weitzman memberikan contoh perubahan tersebut yakni ketika Liga
Arab memberikan legitimasi kepada Barat untuk mengintervensi penggulingan rezim
14
Muammar al-Qaddafi di Libia. Liga Arab juga memberikan dukungan terhadap Gulf Cooperation Council’s (GCC) yang sukses menekan Presiden Yaman, Ali Abdullah
Saleh untuk menyerahkan kekuasannya. Selain itu, Liga Arab telah secara aktif dalam
upaya penyelesain krisis di Suriah.15
Kedua, artikel jurnal yang ditulis oleh Philippe Droz-Vincent yang berjudul “State of Barbary (Take Two): From the Arab Spring to the Return of Violence in
Syria”. Artikel ini membahas serangkaian protes oleh warga sipil terhadap
pemerintah yang berkuasa di Suriah yang berubah menjadi perang saudara.
Kekacauan di Suriah juga dipengaruhi oleh faktor regional dan internasional sehingga
menjadikan kekacauan semakin pelik. Hal tersebut dikarenakan Suriah berada di
tengah-tengah persaingan stategis di Timur Tengah, Suriah berbatasan langsung
dengan wilayah penting di wilayah Timur Tengah, yaitu: Irak, Lebanon, Israel,
Palestina dan Turki. Internasional dan regional faktor telah memperburuk
pertentangan yang terjadi di Suriah, yaitu: pertentangan perdamaian vs angkatan
bersenjata, nasionalis vs pergerakan sekte (anti Alawi), kemunculan pemberontakan
Arab vs Kurdi, secular vs pergerakan agama, dan lain sebagainya.16
Ketiga, thesis yang ditulis oleh Jacob M. Maddox yang berjudul Building
Peace In A Post- Assad Syria pada Naval Postgraduate School, Monterey, California
pada tahun 2013. Thesis tersebut membahas perang sipil di Suriah antara pemerintah
15 Ibid., 16
dengan berbagai macam kelompok oposisi yang terus berlanjut. Konflik berlanjut dan
berdampak pada negara-negara tetangga dan memperluas konflik dan meningkatkan
beban ekonomi yang disebabkan dari korban pengungsi. Thesis ini menganalisis
rencana pasca konflik yang penting bagi stabilitas regional dan bagi Suriah. Selain
itu, menjelaskan suatu skenario setelah konflik usai menuju perdamaian.17
Perbedaan antara penelitian-penelitian di atas dengan skripsi ini adalah skripsi
ini lebih memfokuskan pada kebijakan Liga Arab dalam konflik Suriah yang lebih
khusus lagi pada dukungan Liga Arab terhadap pihak oposisi Suriah. Sehingga
permasalahan yang akan dibahas lebih spesifik dan mempunyai ruang lingkup yang
lebih sempit dibanding dengan penelitian yang telah dilakukan di atas.
E. Kerangka Teori
Untuk membantu menganalisis Kebijakan Liga dalam memberi dukungan
kepada pihak oposisi Suriah digunakan teori Liberal Institusional dan Organisasi
internasional.
1. Liberal Institusional
Menurut David Baldwin Liberal Institusional atau neo-liberal institutional
mempunyai pengaruh terhadap hubungan internasional pada masa kini. Liberal
Institusional dipercaya oleh para peneliti untuk melawan pemikiran Realis dan
17
realis. Liberal Institusional mempunyai asumsi bahwa jalan menuju perdamaian dan
pencapaian keuntungan adalah dengan membuat negara independen mengumpulkan
segala sumber yang ada dalam kedaulatannya untuk menciptakan komunitas yang
terintegrasi. Hal tersebut guna mempromosikan pertumbuhan ekonomi atau merespon
masalah regional.18
Liberal Institusional memiliki asumsi mengenai interdependensi internasional,
yaitu suatu deskripsi tentang hubungan antara aktor negara dan aktor non negara
dalam lingkungan anarki pada dunia politik. Ide inti dari Liberal Institusional adalah
kompleks interdependen, yang menurut Keohane dan Nye merupakan suatu dunia
dimana aktor selain negara berpartisipasi langsung dalam dunia politik dan tidak ada
hirarki isu yang jelas serta kekuatan militer menjadi instrument kebijakan yang tidak
efektif.19
Para peneliti berpendapat bahwa dunia telah berubah menjadi pruralis akibat
bentuk aktor yang terlibat dalam interaksi internasional dan aktor yang terlibat
tersebut lebih bergantung satu dengan yang lainnya. Kompleks interdependen
mempunyai asumsi bahwa dunia identik pada empat karakteristik yaitu: pertama,
peningkatan hubungan antara aktor negara dan aktor non-negara. Kedua, agenda baru
dalam isu-isu internasional dengan tanpa pembedaan antara high politics dan low
politics. Ketiga, terdapatnya berbagai jaringan guna berinteraksi antar aktor lintas
18
John Baylis & Steve Smith, The Globalization of World Politics, An introduction to international relations, Third Edition, (New York: Oxford University Press Inc. 2001), hal 213.
19
batas negara. Keempat, penurunan penggunaan kekuatan militer sebagai alat negara.
Kompleks interdependen juga memunyai anggapan bahwa globalisasi menghasilkan
suatu peningkatan dalam jaringan untuk berinteraksi, sebagaimana jumlah
interkoneksi.20
Liberal Institusional atau Institutional theory mempunyai banyak kesamaan
asumsi dengan Neo-realis. Neo-realis memberikan fokus lebih terhadap konflik dan
kompetisi serta meminimalkan peluang kerjasama sekalipun dalam sistem
internasional yang anarki. Sedangkan Neo-liberal Institutional melihat institusi
sebagai mediator guna menghasilkan kerjasama antar aktor dalam sistem. Liberal
Institutional memiliki fokus pada isu global governance serta penciptaan dan
pemeliharaan institusi yang berkaitan dengan manajemen proses globalisasi.21
Dengan berakhirnya perang dingin, negara-negara mengubah haluan
keamanan pada ancaman terorisme, pengembangan senjata pemusnah masal,
peningkatan konflik internal yang mengancam keamanan regional maupun global.
Graham Allison mengungkapkan, konsekuensi dari globalisasi adalah keamanan dari
terorisme, penjualan obat terlarang yang merupakan masalah yang tidak dapat
diselesaikan oleh satu negara. Kesuksesan dalam merespon ancaman keamanan
membutuhkan penciptaan tatanan regional dan tatanan global yang mempromosikan
20
Baylis & Smith. The Globalization, hal 213.
21
kerjasama antar negara dan koordinasi kebijakan untuk merespon ancaman keamanan
tersebut.22
Kaum Liberal Institusional menganggap bahwa peran institusi akan
membantu menekan kekacauan anarki internasional, melalui institusi yang dibentuk
maka setiap negara memiliki kewajiban untuk mematuhi aturan yang berlaku di
antara mereka.23 Robert Keohane berpendapat bahwa akibat peristiwa serangan
teroris 9/11 di Amerika Serikat telah menciptakan koalisi besar melawan terorisme
yang melibatkan banyak negara dan institusi penting regional dan global. Liberal
Institusioanl mendukung kerjasama multilateral dan mengkritik preemptive dan
uniteralism penggunaan militer.24
Menurut Baylis dan Smith terdapat beberapa asumsi inti dari Liberal
Institusional, yaitu:
1. Negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional, akan tetapi
bukan merupakan satu-satunya aktor yang signifikan. Negara merupakan
aktor atau instrumen rasional yang selalu berusaha memaksimalkan
kepentingannya dalam segala isu.
2. Dalam lingkungan yang kompetitif, negara berusaha memaksimalkan
absolute gains melalui kerjasama. Perilaku rasional mengarahkan negara
22
Ibid.
23
Rachamawati, Iva. 2012. Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. hal 86.
24
untuk melihat nilai dalam perilaku kerjasama. Negara sedikit
memperhatikan pada keuntungan yang didapat dari negara lain dalam
kerjasama.
3. Tantangan terbesar untuk menyukseskan kerjasama adalah ketidakpatuhan
atau kecurangan yang dilakukan oleh negara.
4. Kerjasama merupakan suatu hal yang tidak pernah tidak bermasalah, akan
tetapi negara akan memberikan loyalitas dan sumber daya kepada institusi
jika hal tersebut dilihat sebagai sesuatu yang saling menguntungkan dan
meningkatkan kesempatan kepada negara untuk mengamankan
kepentingan internasionalnya. 25
Perspektif Liberal Institusional lebih relevan dalam area isu dimana
negara-negara saling memiliki kepentingan. Institusi diciptakan untuk mengatur perilaku
internasional. Pandangan tersebut mungkin kurang relevan dalam area di mana
negara-negara tidak saling mempunyai kepentingan.26
2. Organisasi Internasional
Selain Liberal Institusional perlu juga dipahami mengenai konsep organisasi
internasional. Menurut Michael Hass yang dikutip oleh James N. Rosenau, organisasi
internasional memiliki dua pengertian yaitu: pertama, sebagai suatu lembaga atau
struktur yang mempunyai serangkaian aturan, anggota, jadwal, tempat, dan waktu
25
Baylis & Smith, The Globalization , hal 213-124.
26
pertemuan; kedua, organisasi internasional merupakan pengaturan bagian-bagian
menjadi satu kesatuan yang utuh di mana tidak ada aspek non-lembaga dalam istilah
organisasi internasional ini.27
Organisasi internasional memiliki tujuan untuk mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan dengan metode melangsungkan koordinasi secara rutin dengan teknik seperti
pembagian tugas-tugas khusus. Hal tersebut dilakukan secara formal dalam struktur
resmi beserta aparat lembaga atau secara informal dengan sistem praktek yang tidak
tertulis di mana unit-unit dalam sistem mempunyai peranan yang berbeda seperti
peranan sebagai pemimpin dan yang dipimpin.28
Menurut Clive Archer, organisasi internasional setidaknya memiliki tiga
peranan, yaitu:
1. Organisasi internasional sebagai instrumen yang digunakan oleh
negara-negara anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan kepentingan
negaranya.
2. Organisasi internasional sebagai arena atau tempat bertemu bagi
anggota-anggotanya untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi. Organisasi
internasional digunakan oleh negara-negara untuk berdiskusi, mengangkat
masalah dalam negerinya, ataupun masalah dalam negeri orang lain.
27
James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research Theory, (New York: The Free Press, 1969), hal 131.
28
3. Organisasi internasional sebagai aktor independen yang dapat membuat
keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan atau paksaan
dari luar organisasi.29
Sedangkan menurut A. Le Roy Bennet yang juga dikutip oleh Perwita dan
Yani, organisasi internasional memiliki setidaknya dua fungsi, yaitu:
1. Menyediakan hal-hal yang dibutuhkan bagi kerjasama yang dilakukan antar
negara dimana kerjasama itu menghasilkan keuntungan yang besar bagi
seluruh bangsa.
2. Menyediakan banyak saluran-saluran komunikasi antar pemerintahan
sehingga ide-ide dapat bersatu ketika masalah muncul ke permukaan.30
Dalam aktivitas organisasi internasional dapat terlihat beberapa peran yang
signifikan, yaitu organisasi inetrnasional sebagai inisiator, fasilitator, mediator,
rekonsiliator dan determinator. Dalam isu-isu tertentu organisasi internasional
muncul sebagai aktor independen dengan hak-hak sendiri untuk
mengimplementasikan, memonitor, dan menengahi perselisihan yang timbul dari
adanya keputusan-keputusan yang dibuat oleh negara.31
Teori Liberal Instutional dan teori organisasi internasional merupakan dua
teori yang tepat untuk memahami fenomena kebijakan Liga Arab di Suriah pada
29
Archer Clive, International Organizations, (London: Allen & Unwin Ltd. 1983), hal 130-141.
30
Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Yani, Pengantar Hubungan Internasional (Bandung: Rosda Karya, 2006), hal 97.
31
tahun 2013. Kedua teori tersebut dapat digunakan untuk memahami perilaku Liga
Arab serta negara-negara anggotanya dalam mengambil kebijakan. Pertama-tama
akan dijelaskan permasalahan yang ada, kemudian dielaborasi dengan kedua teori
yang ada guna mendapatkan analisis yang tepat.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualititatif. Penelitian kualitatif menurut W. Lawrence Neuman menggunakan suatu
bahasa dari kasus dan konteks, dengan memperhatikan proses sosial serta kasus
dalam konteks sosial, dan juga melihat interpretasi atau pemberian makna pada
sesuatu hal yang spesifik. Selain itu juga melihat kehidupan sosial dari berbagai sudut
pandang berbeda dan menjelaskan bagaimana manusia mengkonstruksi identitas.32
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah penyebab Liga Arab dalam memberi
dukungan kepada pihak oposisi Suriah.
Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian adalah data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber, yakni buku, jurnal, skripsi, surat kabar dan media
elektronik. Penulis mengumpulkan data dari berbagai sumber, yakni Perpustakaan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, dan internet.
G. Sistematika Penulisan
32
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teori
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II LIGA ARAB DAN PERANNYA DI TIMUR TENGAH
A. Sejarah dan Perkembangan Liga Arab
B. Stuktur dan Sistem Organisasi Liga Arab
C. Peran Liga Arab Dalam Peta Politik Timur Tengah
BAB III KONFLIK SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN
KONDISI DI TIMUR TENGAH
A. Sekilas Mengenai Negara Suriah
B. Konflik Antara Pemerintah dan Pihak Oposisi Suriah
C. Dampak Konflik Suriah Pada Era Arab Spring Terhadap
Negara-Negara di Timur Tengah
BAB IV KEBIJAKAN LIGA ARAB DALAM KONFLIK SURIAH
A. Dukungan Liga Arab Pada Kubu Oposisi Suriah
1. Pemberian Kursi Delegasi Suriah Kepada Kubu Oposisi
Pada KTT Liga Arab di Doha, Qatar 2013
2. Pemberian Hak oleh Liga Arab Kepada Anggotanya untuk
Memasok Senjata Kepada Pihak Oposisi Suriah
B. Alasan Liga Arab Mendukung Kubu Oposisi Suriah
C. Dampak Keputusan Liga Arab Mendukung Oposisi Suriah
terhadap Konflik di Suriah
BAB II
LIGA ARAB DAN PERANNYA DI TIMUR TENGAH
Pada bab ini akan dijelaskan dinamika Liga Arab sebagai organisasi regional
serta kontribusinya bagi negara-negara anggotanya. Pertama akan dijelaskan
mengenai awal mula terbentuknya Liga Arab serta perkembangan yang terjadi
didalam Liga Arab. Dilanjutkan dengan pembahasan struktur dan sistem organisasi
Liga Arab. Kemudian diakhir bab akan dibahas kontribusi Liga Arab dalam
dinamika politik kawasan Timur Tengah.
A. Sejarah dan Perkembangan Liga Arab
Organisasi regional Liga Arab (Al-Jami’a al-Arabiyah) didirikan pada 22
Maret 1945. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk mengkoordinasikan kebijakan
negara-negara anggota serta mempersatukan kebijakan politik mereka serta
membangun masa depan bersama yang lebih baik. Liga Arab berkoordinasi tidak
hanya dalam bidang politik, namun juga dalam bidang pendidikan, keuangan, hukum,
keamanan, budaya, sosial dan komunikasi.33 Regionalisme yang dibangun Liga Arab
tidak hanya berdasar pada letak geografis yang berdekatan, namun juga pada aspek
identitas dan budaya.34
33
Cris E. Toffolo, Global Organizations: The Arab League, (New York: Chelsea House, 2008), hal 7
34Ziyad Falahi, ”Prospek Regionalisme Timur Tengah Pasca
-Arab Spring: Telaah terhadap Identitas
Ketika Liga Arab didirikan, organisasi regional ini hanya beranggotakan tujuh
anggota, yaitu: Mesir, Suriah, Irak, Jordania, Arab Saudi, dan Yaman. Persiapan
pembentukan Liga Arab secara formal dimulai pada 6 Oktober 1994 di Alexandria,
Mesir. Dari pertemuan tersebut dihasilkan Protokol Alexandria yang intinya berisi
mengenai pembentukan Liga Arab, kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya
serta bidang lainnya, dan upaya perlindungan terhadap Palestina. Pasca dihasilkan
Protokol Alexandria, terdapat serangkaian negosiasi yang kemudian melahirkan
Piagam Liga Arab yang secara formal menandakan berdirinya organisasi Liga Arab
pada 22 Maret 1945.35
Keanggotaan Liga Arab semakin bertambah ketika negara-negara di kawasan
tersebut merdeka dari penjajahan serta melihat keuntungan dalam bergabung
organisasi tersebut. Selain itu dalam Liga Arab juga terdapat beberapa negara
pengamat, yaitu: Armenia, Chad, Turki, Venezuela, India, Eritia. Hingga saat ini
negara anggota Liga Arab memiliki luas daerah mencapai 13,5 juta kilometer persegi.
Di bawah ini disajikan gambar mengenai keanggotaan Liga Arab dan negara
pengamat serta tahun negara tersebut bergabung dalam Liga Arab36:
35
Amitav Acharya dan Alastair Iain Johnston, Crafting Cooperation: Regional International Institutions in Comparative Perspective, (New York: Cambridge University Press, 2007), hal 190.
36
Gambar 1. Peta Negara Negara Anggota Liga Arab
Liga Arab merupakan organisasi regional pertama yang didirikan, bahkan
sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan secara resmi pada 24 Oktober
1945. Organisasi ini muncul dari ide mengenai Pan-Arabisme, yakni suatu gagasan
yang memandang bahwa negara-negara Arab harus bersatu untuk menghentikan
dominasi bangsa Eropa. Salah satu upaya Liga Arab untuk merealisasikan ide
Pan-Arabisme tersebut adalah dengan membentuk Kerjasama Keamanan dan Ekonomi
(JDEC) yang bertujuan untuk melarang penggunaan senjata dalam penyelesaian
konflik antar anggota Liga Arab dan saling membantu ketika terjadi serangan dari
luar Liga Arab.37 Gagasan Pan-Arabisme tersebut kemudian mengalami
perkembangan dalam Liga Arab yang terejawantah dalam mempromosikan
kepentingan-kepentingan negara Arab dalam bidang politik, ekonomi, militer,
keamanan, dan budaya.38
Organisasi regional yang dibentuk dengan kerangka Pan-Arabisme ini juga
ditujukan untuk menjaga kedaulatan negara dan berkomitmen untuk membuat aturan
bersama secara konsensus dengan negara-negara anggotanya. Pada tahun 1950an
hingga 1960an Liga Arab berupaya menyelesaikan permasalahan serta bekerjasama
dengan dilandasi nilai-nilai yang berkaitan dengan Pan-Arabisme yang
mengedepankan persatuan negara-negara Arab. Pada masa ini negara-negara anggota
37
Toffolo, Global Organization, hal 18
38Wan Chen & Jun Zhao, “The Arab League‟s Decision
-making System and Arab Intergration”,
Liga Arab mulai mengupayakan pembangunan negara dan berusaha mempertahankan
keamanan negara mereka.39
Tujuan lain didirikannya Liga Arab adalah untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan negara Arab di PBB dan organisasi dunia lainnya.
Organisasi regional ini juga berusaha untuk menyelesaikan konflik yang muncul di
antara negara anggota maupun antara negara anggota dengan negara lain. Hal ini
dapat dilihat dari upaya Liga Arab menyelesaikan konflik antara Lebanon dan Suriah
yang juga melibatkan Israel. Selain itu, terdapat upaya penyelesaian masalah yang
juga dilakukan pada peristiwa genosida di Darfur, Sudan yang menewaskan ratusan
ribu jiwa dan mengakibatkan jutaan orang mengungsi. Hal serupa juga dilakukan oleh
Liga Arab di Somalia yang mengalami perang sipil serta invasi dari Ethiopia.40
Pada awal pembentukan organisasi, Liga Arab memandang bahwa terdapat
kesamaan masalah yang dihadapi oleh wilayah-wilayah negara berkembang, yaitu
perjuangan untuk menghentikan penjajahan dan peningkatan pembangunan ekonomi.
Melihat permasalahan tersebut kemudian Liga Arab mendirikan institusi-institusi
yang diharap mampu membantu pembangunan ekonomi negara-negara anggota Liga
Arab. Sebagai contoh didirikannya Dana Arab untuk Bantuan Teknik kepada Afrika
dan negara-negara Arab (AFTAAAC).41
39
Acharya dan Johnston, Crafting Cooperation, hal 213.
40
Toffolo, Global Organization, hal 20.
41
Selain itu juga terdapat Bank Arab untuk Pembangunan Ekonomi di Afrika
(BADEA). Bank ini dibentuk untuk menindaklanjuti Konfersensi Tingkat Tinggi
Liga Arab di Aljazair pada 28 November 1973 dan bank tersebut mulai beroperasi
pada Maret 1975. BADEA didirikan untuk memperkuat perekonomian, keuangan dan
kerjasama antara Arab dan Afrika serta mempererat hubungan antara negara-negara
yang terlibat didalamnya. Hal tersebut dilakukan dengan cara memberikan bantuan
keuangan guna mengembangkan ekonomi serta memberikan bantuan teknis untuk
negara-negara Afrika.42
Kemudian pada perkembangannya, Liga Arab juga membentuk institusi lain
di bawahnya, program-program, serta mengeluarkan kebijakan regional guna
membantu pembangunan negara-negara anggota. Hal ini terlihat pada pembentukan
Dewan Sosial dan Ekonomi serta pembentukan Bank Pembangunan Arab yang kini
dikenal sebagai Arab Financial Organization. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk
Arab Common Market guna membebaskan pajak, memberikan bantuan keuangan,
dan perpindahan pekerja secara bebas antar negara anggota Liga Arab. Di bidang
perminyakan dibentuk Organisasi Pengekspor Minyak Negara Arab (OAPEC) yang
bertujuan untuk memformulasi kebijakan dalam produksi dan penjualan minyak.
Terdapat juga Greater Arab Free Trade Area (GAFTA) sebagai kebijakan pasar
bebas di wilayah Liga Arab yang berlaku pada tahun 2005.43
42“Introduction”,
Arab Bank for Economic Development in Africa, tersedia di: http://www.badea.org/introduction.htm diunduh pada 22 september 2014.
43
B. Stuktur dan Sistem Organisasi Liga Arab
Dalam organisasi Liga Arab terdapat struktur yang komplek yang terdiri dari
beberapa dewan spesial, komite permanen, agensi spesial, dan badan-badan lain.
Secara struktur Liga Arab memiliki dua badan yang menjadi pusat dari badan-badan
lain, yaitu Dewan Liga Arab dan Komite Spesial Permanen.44 Dewan Liga
keanggotaannya terdiri dari perwakilan setiap negara anggota yang biasanya diwakili
oleh masing-masing menteri luar negeri negara anggota Liga Arab. Dewan ini
melakukan pertemuan dua kali dalam setahun di markas besar Liga Arab di Kairo,
Mesir setiap bulan Maret dan September. Pertemuan tambahan juga dapat digelar jika
terdapat dua atau lebih anggota atau Sekretaris Jenderal yang ingin menggelar
pertemuan dan mendapat persetujuan dari sepertiga negara anggota. Pada pertemuan
yang dilaksanakan setiap bulan Maret tiap tahunnya juga akan dihadiri oleh para
kepala negara anggota Liga yang akan membahas mengenai isu-isu regional.45
Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Liga Arab memunyai sedikitnya lima
fungsi utama, yaitu46:
1. Sebagai pengambil keputusan untuk menerima anggota baru Liga Arab
dan pengeluaran anggota Liga Arab;
44Marco Pinfari, “Nothing but Failure? The Ara
b League and the Gulf Cooperation Council as
mediators in Middle Eastern Conflicts”. Crisis State Research Center, Working Paper no. 45 (Maret 2012) hal 3.
45
Toffolo, Global Organization, hal 46.
46Andreas Kettis, “EU
-League of Arab States relations: Prospects for closer parlementary
2. Sebagai penentu dalam mengawali amandemen piagam atau pakta Liga Arab;
3. Melakukan mediasi guna menyelesaikan permasalahan yang dapat
mengakibatkan perang antara negara anggota Liga Arab maupun negara anggota dengan negara non-anggota;
4. Membentuk badan-badan pendukung dan yang berafiliasi dengan Liga
Arab;
5. Menetapkan Sekretaris Jenderal.
Dewan Liga Arab juga bertugas untuk membuat laporan dan menyusun
agenda pertemuan serta membuat kebijakan dan memastikan implementasinya.47
Selain itu Dewan Liga Arab juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan konflik
tanpa penggunaan senjata serta pengambilan keputusan yang oleh Dewan Liga Arab
didasarkan pada suara mayoritas dalam voting. Dewan juga bertugas melindungi
negara yang mendapatkan agresi, dan mengkoordinasikan kerjasama dengan
organisasi internasional lain.48
Dewan Liga Arab memiliki penasihat dalam melaksanakan tugasnya,
penasihat tersebut merupakan Komite Spesial Permanen. Komite ini terdiri dari
beberapa menteri dari negara anggota dan ditambah dengan beberapa staf teknis.
Selain memberikan nasihat terhadap Dewan Liga Arab, komite ini juga memberi
nasihat kepada badan badan lain pada Liga Arab dan membantu dewan dalam
mengimlementasikan kebijakan yang dihasilkan oleh Liga Arab. Selain itu juga
47
Toffolo, Global Organization, hal 48.
terdapat Dewan Menteri Spesial dari setiap negara anggota yang bekerja untuk
memformulasikan kebijakan dan bekerjasama di bidang-bidang tertentu.49
Untuk menjalankan roda organisasi secara baik dan berkesinambungan Liga
Arab membentuk Sekretariat Jenderal. Dalam sekretariat tersebut terbagi menjadi
beberapa departemen yang dipimpin oleh asisten Sekretaris Jenderal. Terdapat empat
departemen utama di bawah pimpinan Sekretaris Jenderal yang saat ini dipimpin oleh
Nabil El Araby, yaitu departemen ekonomi, departemen militer, departemen
Palestina, dan departemen administrasi dan keuangan. Sekretaris Jenderal dipilih oleh
Dewan Liga Arab dengan menggunakan voting setiap lima tahun sekali. Sekretaris
Jenderal bertugas mewakili Liga Arab dalam forum internasional dan
mengkoordinasikan posisi Liga Arab dalam isu-isu utama pada tataran internasional
serta memediasi konflik yang terjadi antara anggota Liga Arab.50
Berdasarkan fungsi dan tugas dari masing-masing posisi dalam struktur Liga
Arab maka dapat juga di gambarkan bahwa Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab
sebagai acuan organisasi dalam tataran makro. Sedangkan Dewan Liga Arab dan
Komite sebagai pembangun kerangka kebijakan yang lebih spesifik. Sementara
Dewan Menteri sebagai pemberi nasihat dan saran dalam pembuatan kebijakan.51
Pada tahun 2005 Liga Arab membentuk Parlemen Liga Arab yang disisi oleh
empat perwakilan dari masing-masing negara anggota. Parlemen ini menangani
49
Toffolo, Global Organization, hal 48
50
Ibid., hal 49.
isu sosial, ekonomi, dan budaya. Badan ini dipandang lemah karena tidak mempunyai
kekuatan untuk mencitpatakan peraturan atau hukum yang mengikat.52 Meski
demikian dengan seiring berjalannya waktu Parlemen ini diharapkan dapat
memainkan peran penting dalam Liga Arab seperti halnya Parlemen Uni Eropa yang
pada awal berdirinya juga memiliki kelemahan. Parlemen memiliki potensi untuk
tumbuh menjadi institusi yang lebih kuat dengan adanya momentum Arab Spring
dengan menyuarakan demokrasi, HAM dan keadilan sosial pada negara-negara
Arab.53
Pada proses penentuan kebijakan pada Liga Arab terdapat sistem voting yang
dimiliki oleh setiap negara anggota, yaitu satu suara untuk setiap negara anggota.
Dibutuhkan dua pertiga suara dalam menentukan sebuah kebijakan yang akan diambil
oleh dewan, namun untuk hal-hal yang dianggap penting dibutuhkan konsensus guna
menentukan kebijakan tersebut.54 Selain prinsip konsensus juga terdapat prinsip
hukum domestik yang mengisyaratkan bahwa negara anggota memunyai keputusan
final dalam isu-isu penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengambilan
keputusan dalam Liga Arab didasarkan pada negosiasi di antara anggota Liga Arab.55
Organisasi ini tidak memunyai mekanisme untuk memaksa atau mengikat anggotanya
52
Toffolo, Global Organization, hal 51.
53Kettis, “EU
-League of Arab States relations”, hal 8-9.
54
Toffolo, Global Organization, hal 48.
dengan resolusi yang telah dibuat. Selain itu, kedaulatan nasional negara anggota
yang harus lebih dihargai dibanding dengan kebijakan Liga Arab.56
Dengan demikian kepentingan negara-negara anggota Liga Arab sangat
menentukan proses pembuatan kebijakan organisasi. Suatu kebijakan dapat dibuat
dan diimplementasikan bergantung pada kepentingan negara-negara anggota Liga
Arab. Jika kepentingan negara-negara anggota Liga Arab memiliki kesamaan maka
kebijakan akan mudah untuk diciptakan dan diimplementasikan. Namun jika terdapat
perbedaan kepentingan antara negara-negara anggota maka kebijakan akan sulit
untuk di buat dan dilaksanakan pada Liga Arab.57
Badan-badan dalam Liga Arab mempunyai tujuan utama untuk bekerjasama
guna menyelesaikan masalah anggotanya dan membantu anggotanya tumbuh menjadi
kuat dan independen. Tujuan tersebut diupayakan melalui beberapa tugas Liga Arab
yaitu58:
1. Mempromosikan keamanan negara-negara Arab;
2. Mendukung Palestina;
3. Membantu negara-negara Arab independen dari penjajahan Barat;
4. Mengkoordinasi kebijakan luar negeri anggota Liga Arab;
56Jonathan Masters, “The Arab League”,
Council of Foreign Relations, 26 Januari 2012, tersedia di http://www.cfr.org/middle-east-and-north-africa/arab-league/p25967 diunduh pada 19 September 2014.
57Chen & Zhao, “The Arab League‟s decision”, hal 62. 58
5. Melarang anggota untuk menggunakan kekerasan di antara anggota dan membantu menyelesaikan konflik di antara anggota dengan damai;
6. Meningkatkan perekonomian dan pengembangan keuangan serta
berintegrasi;
7. Mengembangkan pertanian dan industri;
8. Mengembangkan komunikasi dan transportasi;
9. Memelihara budaya dan membangun pendidikan;
10. Mengesampingkan isu-isu nasionalisme (paspor, visa, dan ekstradisi
kriminal);
11. Mempromosikan kesehatan publik.
C. Peran Liga Arab Dalam Peta Politik Timur Tengah
Liga Arab yang telah dibentuk sejak tahun 1945 telah turut andil dalam
dinamika hubungan regional di kawasan Timur-Tengah. Pada masa awal
eksistensinya, Liga Arab telah aktif dalam pembebasan negara-negara Arab dari
penjajahan. Organisasi kawasan ini juga berupaya menguatkan kerjasama di bidang
ekonomi, keuangan, dan perdagangan walau hasilnya dinilai oleh sebagian kalangan
tidak begitu memusakan.59
Pendirian Liga Arab memunyai berbagai tujuan guna memenuhi kepentingan
negara-negara anggotanya di berbagai bidang. Akan tetapi dalam perjalanannya aspek
politik memunyai andil yang sangat penting dalam dinamika Liga Arab. Hal ini dapat
dilihat dari masalah terusan Suez tahun 1967 dan perang Yom Kippur tahun 1973
yang berpengaruh terhadap dinamika ekonomi politik internasional. Selain itu,
pemberhentian keanggotaan Mesir dari Liga Arab karena mengadakan perjanjian
damai dengan Israel juga memperlihatkan bahwa aspek politik merupakan aspek yang
sangat berperan penting dalam Liga Arab.60
Sebagian kalangan menilai bahwa Liga Arab sebagai organisasi yang kurang
efektif dan efisien. Organisasi ini kurang tanggap dan sigap dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan penting di kawasannya. Hal ini dikarenakan sistem
Dewan Liga Arab yang menggunakan sistem konsensus untuk melakukan segala
tindakan yang dianggap penting. Sistem tersebut memperlambat proses pembuatan
kebijakan dan implementasinya serta memperkecil kemungkinan kebijakan dapat
dihasilkan karena terdapat perbedaan pendapat di antara anggota Liga Arab.61
Liga Arab juga dipandang sebagai organisasi yang tidak mampu menjalin
kerjasama yang baik dalam bidang politik dan militer dalam mencegah konflik
maupun menyelesaikan konflik yang telah terjadi. Menurut Zacher yang dikutip oleh
Pinfari, berdasarkan data konflik yang terjadi antara tahun 1946-1977, Liga Arab
hanya mampu memediasi 12% konflik yang terjadi di wilayah negara-negara anggota
60Falahi, “Prospek Regionalisme Timur
-Tengah”, hal 93.
61
Liga Arab. Sedangkan menurut Ibrahim Awad, Liga Arab hanya mampu
menyelesaikan enam konflik dari 77 konflik ada antara tahun 1945-1981. 62
Sementara dari sejumlah data yang dikumpulkan oleh Pinfari sejak tahun
1945-2008 Liga Arab memediasi 19 konflik dari 56 konflik yang terjadi dan berhasil
menyelesaikan lima dari 19 konflik yang dimediasi. Berdasarkan upaya-upaya yang
dilakukan oleh Liga Arab dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di
kawasannya, Liga Arab sangat mengecewakan, khususnya dalam masalah perang
sipil. Hal tersebut terlihat dari keterlibatan Liga Arab yang hanya menjadi mediator
pada lima perang sipil dari 22 perang sipil berskala besar yang terjadi di kawasan
Timur-Tegah sejak tahun 1945.63
Di sisi lain, sejak tahun 1945 hingga tahun 1980an Liga Arab telah
menghasilkan lebih dari 4000 resolusi, namun sekitar 80% dari resolusi tersebut tidak
pernah terimplementasi. Oleh sebab itu Michael Barnet dan Etel Soligen yang dikutip
oleh Acharya, menjuluki Liga Arab “be seen but not heard”. Hal tersebut
dikarenakan negara-negara anggota Liga Arab berupaya untuk memaksimalkan
kepentingan negaranya masing-masing seperti mengedepankan keberlangsungan
hidup negaranya dan aliansi politiknya masing-masing.64
Dalam debat regional yang diselenggarakan oleh Qatar Foundation tahun
2006, kandidat Presiden Lebanon pernah mengatakan bahwa Liga Arab sebagaimana
62Pinfari, “Nothing but Failure?”, hal 6. 63
Ibid., hal 10.
64
banyak orang Arab melihat organisasi regional tersebut “inefficient, counter-productive, a sham and corrupt.” Liga Arab juga dipandang gagal dalam melindungi hak asasi manusia dan tidak mampu melawan tindakan yang semena-mena. Namun
beberapa pihak mengatakan bahwa kegagalan-kegagalan ini disebabkan oleh berbagai
masalah yang dihadapi, seperti permasalahan konflik Arab dengan Israel, intervensi
kekuatan asing, kepentingan minyak, dan perang melawan terorisme yang
digaungkan oleh Amerika Serikat.65 Pandangan lain mengatakan bahwa kegagalan
tersebut disebabkan oleh adanya ambisi dari masing-masing negara anggota yang
menghambat kebijakan-kebijakan dalam berbagai bidang penting dalam Liga Arab.66
Walaupun terdapat banyak kritik mengenai keefektifan dan efisiensi dalam
menjalankan roda organisasinya, Liga Arab telah berperan penting dalam
meningkatkan perhatian diantara negara-negara anggotanya, di PBB dan organisasi
regional lain. Hal ini dapat dilihat dari kerjasama ekonomi yang kuat pada tataran
regional. Selain itu, Liga Arab juga telah membuat standar pendidikan dan kurikulum
regional serta memfasilitasi pelatihan bagi para guru dan pelestarian kebudayaan.
Lebih lanjut pemimpin-pemimpin di kawasan tersebut juga telah menyetujui
kolaborasi dalam penelitian dan meningkatkan pendanaan untuk pengembangan ilmu
dan teknologi. Pandangan lain yang juga melihat bahwa Liga Arab merupakan suatu
65
Toffolo, Global Organization, hal 121-122.
organisasi yang penting untuk mengkoordinasikan negara-negara di kawasan pada
tingkat yang lebih tinggi seperti di PBB.67
Lebih lanjut, Bruce Maddy dan Weitzman memandang bahwa telah terjadi
perubahan yang signifikan dalam Liga Arab. Liga Arab telah menjadi bagian yang
penting dalam proses diplomatik dalam berbagai isu di kawasan. Hal ini dapat dilihat
pada pemberian legitimasi terhadap intervensi Barat dalam penggulingan rezim Mu‟ammar al-Qaddafi di Libia. Liga Arab juga mendukung Dewan Kerjasama
negara-negara Teluk (GCC) dalam mendorong Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh
untuk mundur dari jabatannya. Selain itu, hingga saat ini Liga Arab juga aktif dalam
upaya penyelesaian konflik di Suriah.68
Perubahan siginifikan yang terjadi pada Liga Arab di atas tidak luput dari
pandangan negatif. Armenak Tokmajyan misalnya, dia memandang bahwa
Organisasi regional ini rawan berubah menjadi alat legal bagi intervensi pada politik
regional serta masalah internal negara-negara anggota Liga Arab. Tokmajyan
memandang bahwa Liga Arab saat ini menjadi alat politik bagi negara-negara seperti
Qatar dan Arab Saudi untuk memengaruhi wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.
Selain itu Organisasi regional ini kini menjadi penting bagi pemerintahan baru
67
Toffolo, Global Organization, hal 122.
68Bruce Maddy dan Weitzman, ”The Arab League Comes Alive,”
negara-negara yang dilanda Arab Spring dan Koalisi Nasional Suriah (SNC) sebagai
sumber legitimasi mereka.69
Sementara Marina Sapronova memandang bahwa Liga Arab mencoba untuk
kembali eksis dengan berupaya untuk mempengaruhi kondisi dan situasi yang terjadi
pada fenomena Arab Spring yang dimulai pada tahun 2010 lalu. Akan tetapi Liga
Arab tidak bertindak sesuai dengan kebiasaan kolektivitasnya, melainkan hanya
mengedepankan kepentingan negara-negara tertentu saja. Hal ini terlihat dari
penggulingan rezim Muamar Gadhafi di Libia yang mengindahkan resolusi
penyelesaian masalah dengan damai dan Liga Arab memilih Barat untuk
mengintervensi secara militer. Hampir serupa dengan kasus Libia, Liga Arab
menghentikan keanggotaan Suriah dan memberikan sanksi politik dan ekonomi
walaupun mendapat tentangan dari Lebanon dan Yaman.70
Selain itu, menurut Hamid yang dikutip oleh Masters, fenomena Arab Spring
dan Sekretaris Jendreal Liga Arab yang baru yaitu Nabil el Araby membawa angin
segar perubahan. Araby dipandang mampu memahami dan menyerap aspirasi
masyarakat Arab serta menghargai para aktivis Arab, para demonstran, dan juga
pihak oposisi. Selain itu Araby juga dianggap bukan bagian dari rezim terdahulu dan
mampu membawa perubahan.71
69Armenak Tokmajyan, “A Brand New Arab League”,
Middle East Online, 23 Mei 2013, tersedia di http://www.middle-east-online.com/english/?id=58941 diunduh pada 25 September 2013.
Menurut Tokmajyan, Liga Arab dengan berbagai perkembangannya di atas
diperkirakan akan memunyai peran penting dalam penyelesaian konflik dan
penciptaan perdamaian di masa yang akan datang. Pandangan tersebut didasarkan
pada peningkatan kapasitas dan kemampuan Liga Arab. Lebih jauh, Tokmajyan
beranggapan bahwa Liga Arab saat ini menjadi organisasi yang lebih fleksibel
dibandingkan dengan PBB.72
Dinamika hubungan internasional memang dapat berubah dengan sangat
cepat, begitu juga yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Fenomena Arab Spring
yang bermula pada tahun 2010 oleh sebagian kelompok dipandang sebagai suatu
momentum yang baik guna kemajuan Liga Arab di kawasan tersebut. Kelompok
tersebut memandang bahwa penggulingan rezim-rezim otoriter akan merubah
negara-negara di kawasan menjadi lebih demokratis. Namun sebagian kelompok lain
memandang bahwa Arab Spring sebagai ancaman terhadap Liga Arab yang
disebabkan instabilitas politik yang terjadi di kawasan. Kelompok ini memandang
bahwa instabilitas politik di kawasan tersebut tidak akan mudah untuk dipulihkan
seperti sedia kala, terlebih lagi dengan adanya intervensi dari negara lain.73
72Tokmajyan, “A Brand New Arab League”
.
73Falahi, “Prospek Regionalisme Timur
BAB III
KONFLIK SURIAH PADA ERA ARAB SPRING DAN KONDISI DI TIMUR
TENGAH
Pada bab ini akan dijelaskan kondisi Suriah yang mengalami konflik yang
berdampak ke negara-negara tetangganya. Dimulai dengan menjelaskan negara
Suriah secara umum. Dilanjutkan dengan permulaan konflik di Suriah pada tahun
2011 dan perkembangannya. Kemudian dijelaskan akibat konflik yang terjadi di
Suriah terhadap negara-negara tetangganya.
A. Sekilas Mengenai Negara Suriah
Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah singkat Suriah yang akan
dimulai pada tahun 1946. Uraian mengenai sejarah Suriah ini dibatasi dengan tahun
dan pembahasan yang berkaitan dengan skripsi ini saja karena Suriah memunyai
sejarah yang cukup panjang dan kaya. Pembatasan tahun tersebut dipilih karena pada
tahun itulah Suriah merdeka dari okupasi yang dilakukan oleh Perancis dan berubah
menjadi negara moderen hingga kini. Kemerdekaan yang diraih oleh Suriah tersebut
kemudian dipimpin oleh Blok Nasional yang kemudian menunjuk al-Quwatli sebagai
kepala negara Suriah untuk pertama kalinya.74
Radwan Ziadeh menilai bahwa Suriah merupakan negara yang demokratis
dan pruralis. Hal ini dapat dilihat pada proses kemerdekaan Suriah pada tahun 1946
74
mengedepankan diplomasi diantara para elit politik dan partai politik yang memunyai
ideologi bermacam-macam. Suriah juga telah memunyai spesial konstitusi pada tahun
1950 yang diantaranya berisi mengenai kesetaraan pria dan wanita, kebebasan publik,
menghormati hak dasar masyarakat dan hak asasi manusia. Di Suriah pada tahun
1949 juga telah memberikan hak pada kaum wanita untuk memilih dalam pemilihan
umum serta pada tahun 1953 wanita mempunyai hak untuk dipilih.75
Namun situasi kondusif tersebut tidak bertahan lama, menurut Barry Rubin
negara Suriah pada rentang tahun 1949 hingga 1970 berubah menjadi negara yang
sangat tidak stabil. Pada rentang waktu tersebut juga terjadi banyak kudeta dalam
pemerintahan di Suriah. Pada tahun 1946-1956 saja Suriah memunyai dua puluh
kabinet yang berbeda serta empat konstitusi yang berbeda pula. Hal ini disebabkan
karena Suriah belum mampu menemukan identitas negara, paradigma, atupun sistem
yang koheren.76 Selain itu juga terdapat faktor perbedaan etnisitas dan aliran-aliran
penduduk Suriah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya ketegangan sosial
yang terjadi pada masyarakat Suriah. Faktor-faktor tersebut juga dipandang menjadi
penghambat kesuksesan integrasi masyarakat Suriah menuju suatu negara moderen
pada awal kemerdekaan negara tersebut pada tahun 1946.77
75
Radwan Ziadeh, Power and Policy in Syria: Intelligence Services, Foreign Relations and Democracy in The Modern Middle East, (London: I.B. Tauris, 2011) hal 33.
76
Barry Rubin, The Truth About Syria, (New York: Palgrave Macmillan, 2007), hal 36.
77
Pada tahun 2012 Suriah memiliki penduduk yang berjumlah sekitar 22 juta
jiwa dan memunyai wilayah terbesar ketiga di Liga Arab. Sekitar 90% penduduk
Suriah adalah Muslim. Penduduk Muslim tersebut terdiri dari 74 Sunni, dan
kelompok Syiah, Alawi, Druze, serta Islamili berjumlah sebanyak 16%. Sedangkan
10% sisanya terdiri dari pemeluk agama Kristen Protestan, ortodok serta aliran
lainnya.78 Sementara berdasarkan etnisitas, Suriah terdiri dari etnis Arab yang
berjumlah 90%, suku Kurdi 9%, dan sisanya suku Armenia, Circassia, serta
Turkoman.79 Lebih lanjut, kelompok-kelompok diatas tinggal
berkelompok-kelompok pada suatu wilayah tertentu. Hal ini menyebabkan semakin bertambah
besar potensi ketegangan sosial di Suriah.80 Dibawah ini disajikan peta negara Suriah
beserta persebaran aliran-aliran yang dianut oleh penduduk Suriah:
78
Margaret K. Nydell, Understanding Arabs: A Contemporary Huide to Arab Society, (Boston: Intercultural Press, 2012), hal 174.
79
Leverett, Inheriting Syria, hal 2.
80
Gambar 2. Peta negara Suriah dan aliran agama penduduk.
Sumber: Flynt Leverett, Inheriting Syria: Bashar’s Trial By Fire, hal 3
Setelah sekian lama mengalami instabilitas dalam negeri, kepemimpinan
Suriah diambil alih oleh Hafiz al Assad pada tahun 1970. Hafiz menjanjikan stabilitas
dalam negeri serta kejayaan di dunia internasional. Namun menurut Barry Rubin hal
tersebut tidak dapat direalisasikan oleh Hafiz, bahkan menurutnya Suriah termasuk
kedalam jajaran negara yang sangat kacau di dunia. Hal tersebut dikarenakan masih
juga masih terdapat masalah pembangunan yang belum jelas dan ditambah dengan
letak Suriah yang berada di kawasan yang tidak stabil.81
Setelah berhasil menduduki kursi kepemimpinan Suriah yang baru, Hafiz
memimpin Suriah secara otoriter. Pemerintahnya hanya mengijinkan satu partai yang
berdiri di Suriah dan selalu berusaha menekan munculnya oposisi. Sebagai presiden, Hafiz juga memunyai kekuasaan atas militer dan aparat kemanan Suriah. Partai Ba‟th
yang merupakan partai tunggal di Suriah juga berada di bawah kontrol Hafiz. Selain
itu, dia juga mengotrol dewan menteri, parlemen, serta pengadilan.82
Hafiz mampu mempertahankan kekuasaan yang digenggamnya hingga akhir
hayat pada 10 Juni 2000. Kekuasaan yang mampu digenggam selama 30 tahun
tersebut dipertahankan dengan cara mengkondisikan para pendidik, jurnalis, intelek,
serta budayawan guna mempengaruhi masyarakat guna patuh dan mencintai pemimpinnya. Hafiz bersama partai Ba‟th mengontrol hampir semua lini kehidupan
rakyatnya seperti dalam hal perekonomian, militer, media, pendidikan, agama, dan
lain sebagainya guna menjaga kekuasaannya tetap aman di genggamannya.83 Selain
itu Hafiz juga melakukan restrukturisasi dan membuat sistem politik formal yang
81
Rubin, The Truth about Syria, hal 32.
82Janis Berzins, “Civil War in Syria: Origin, Dynamics, and Possible Solutions”,
National Defence Academy of Latvia, Strategic Review, no 7, (Agustus 2013), hal 1.
83
dapat melegitimasi pemerintahannya dengan tujuan untuk mengontrol masyarakat
Suriah.84
Partai Ba‟th mempunyai peran penting dalam mendukung langgengnya kekuasaan Hafiz. Partai Ba‟th memiliki anggota sekitar 65,000 orang pada tahun
1970 saat Hafiz memulai kekuasaannya di Suriah. Namun dengan seiring berjalannya
waktu partai tersebut mengalami peningkatan jumlah anggota yang signifikan yaitu
mencapai satu juta anggota pada tahun 1992 dan pada tahun 2005 total anggotanya
berjumlah 1,8 juta anggota. Partai ini juga bertugas untuk memastikan berbagai pihak
untuk tunduk dan loyal terhadap kepemimpinan Hafiz yang mendominasi partai
tersebut.85
Setelah berkuasa sekian lama, Hafiz mempersiapkan anak laki-laki tertuanya
Basil untuk meneruskan kepemimpinannya kelak ketika ia telah berpulang. Namun
rencana hanyalah tinggal rencana, Basil mengalami kecelakaan yang mengakibatkan
ia meregang nyawa pada Januari tahun 1994. Akibat peristiwa tersebut Bashar adik
Basil yang tidak memunyai latar belakang di bidang politik kemudian dipersiapkan
dengan sedemikian cara untuk menjadi pemimpin Suriah kelak menggantikan
ayahnya. Hafiz mengkondisikan Bashar sehingga ia mendapat dukungan dari militer
84
Rabil, Syria, The United State, and The War on Terror, hal 28.
85
dan aparat keamanan. Selain itu Hafiz juga membangun citra baik Bashar di kalangan
rakyat Suriah, serta mendidiknya untuk menjadi pemimpin masa depan Suriah.86
Ketika Hafiz wafat pada 10 Juni 2000 berdasarkan konstitusi maka wakil
presiden Khaddam menjadi presiden sementara. Tidak lama dari waktu tersebut Bashar menjadi sekretaris jenderal partai Ba‟th dan kemudian mencalonkan diri
sebagai kandidat presiden Suriah. Pada 10 Juli 2000 dilakukan referendum guna
menentukan Presiden Suriah sepeninggal Hafiz. Referendum tersebut kemudian
memenangkan Bashar dengan suara sebesar 97,3% sebagai presiden terpilih
menggantikan ayahnya.87
Pada saat Bashar telah menjadi presiden, ia mempunyai agenda untuk
membuka perekonomiannya bagi pasar internasional serta menyesuaikan negaranya
dengan globalisasi yag telah merebak. Bashar memiliki prioritas untuk mempercepat
moderenisasi para kader serta memperkuat institusi negara melalui reformasi
administrasi. Selain itu, pemerintah menginisiasi prinsip jalan tengah dengan cara
ekspansi sektor swasta dan pada waktu yang bersamaan pemerintah melakukan
reformasi pada sektor publik. Lebih lanjut pemerintah melakukan perlindungan sosial
selama liberalisasi ekonomi berjalan.88
86
Leverett, Inhereting Syria, hal 61.
87
Ibid., hal 65-67.
88Raymond Hinnebusch, “Syria: From „Authorian Upgrading‟ to Revolution?”