KEDUDUKAN JAKSA AGUNG
DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN INDONESIA DAN
ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)
DI SUSUN OLEH:
A. IRFAN HABIBI
103045228170
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Batasan dan Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D.Tinjauan Pustaka ... 9
E.Kerangka Teori ... 12
F. Metode Penelitian ... 14
1. Jenis Penelitian ... 14
2. Sifat Penelitian ... 14
3. Pengumpulan Data ... 15
4. Analisis Data ... 15
5. Pendekatan Masalah ... 16
BAB II : KEDUDUKAN DAN FUNGSI JAKSA AGUNG
DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGERA ... 19
A.Latar Belakang Historis ... 19
a.1 Kejaksaan Agung Sebelum Reformasi ... 19
a.2 Kedudukan Jaksa Agung di Masa Reformasi ... 23
B.Tugas dan Kewenangan Kejaksaan Agung ... 24
C.Pandangan islam tentang institusi kejaksaan ... ………28
c.1. Pada Masa Nabi Muhammad SAW ... 30
c.2. Masa Khulafa al-Rasyidin ... 31
c.3. Masa Daulah Umayyah ... 32
c.4. Masa Daulah Abbasiyah ... 33
BAB III : LEGALITAS KEPEMIMPINAN JAKSA AGUNG MENURUT HUKUM TATA NEGARA ... 37
A.Legalitas dan Kewenangan ... 39
B.Struktur dan Fungsi Legalitas Menurut Konstitusi ... 42
C. Tugas dan Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Hukum Tata Negara Islam ... 45
c.2. Wilayatul Hisbah ... 50
BAB IV: ANALISIS ATAS LEGITIMASI, FUNGSI DUALISME KEWENANGAN DAN KEDUDUKAN JAKSA AGUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA INDONESIA DAN ISLAM ... 52
A. Pengertian umum Legitimasi ... 52
B. Legitimasi Kekuasaan ... 54
C. Analisis Tentang Legitimasi dan Kewenangan dalam Penegakan Hukum ... 55
D. Analisis atas Kedudukan dan Posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 ... 60
d.1 Kejaksaan di Amerika dan Philipina ... 68
d.2 Kedudukan Kejaksaan dalam UU No. 15 Tahun 1961 ... 74
d.3 Kedudukan Kejaksaan dalam UU No. 5 Tahun 1991 ... 78
d.4 Kedudukan Kejaksaan dalam UU No. 16 Tahun 2004 ... 81
E. Masalah Dualisme Kewenangan Kejaksaan? ... 86
BAB V : PENUTUP ... 95
A. Kesimpulan ... 95
B. Saran dan Kritik ... 96
DAFTAR PUSTAKA ... 97
LAMPIRAN ... 99
KATA PENGANTAR
ﻢﻴﺣﺮﻟا
ﻦﲪﺮﻟا
ﷲا
ﻢﺴﺑ
Puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunianya penulis
dapat merampungkan skripsi. Penulis menyadari, skripsi yang saya tulis ini bukan
merupakan sesuatu yang instan. Tapi hasil dari suatu proses yang relatif panjang,
menyita segenap tenaga dan fikiran. Penulisan skripsi ini saya lakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana syariah dari
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang pasti, tanpa
segenap motivasi, kesabaran, kerja keras, dan do’a – mustahil saya sanggup untuk
menjalani tahap demi tahap dalam kehidupan akademik saya di kampus tercinta.
Dengan segala kerendahan hati, ucapan terima kasih yang tak terhingga,
saya berikan kepada :
1. Ibunda tersayang atas kesabarannya menunggu tanggung jawab yang
harus diselesaikan anaknya yang tampan.
2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Asmawi. M,Ag dan Afwan Faizin. M,A selaku Ketua dan Sekertaris
Jurusan Fakultas Syariah dan Hukum yang banyak membantu dan
4. H. Zubir Laini. SH dan Dr.H.M. Nurul Irfan. M,Ag Dosen Pembimbing
yang telah banyak memberikan masukan dan arahan.
5. Dr.A. Sudirman Abbas. M.A dah Afwan Faizin. M.A selaku penguji
sidang skripsi yang baik hati.
6. Seluruh staff dan pegawai perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Prof. Dr Yusril Ihza Mahendra atas kesempatannya meluangkan waktu
untuk berdiskusi tentang tema skripsi yang akan saya tulis.
8. Jurhum Lantong juru bicara Yusril atas jasanya yang telah
mempertemukan saya dengan Prof. Yusril.
9. Kakak dan Teteh yang tak lelah memberikan semangat dan
menyisihkan APBK (anggaran pengeluaran belanja keluarga) selama
masa studi saya.
10. Rena Ilhami kekasih yang setia menunggu, mendukung dan
mengingatkan saya untuk segera merampungkan skripsi ini.
11. Kanda Lukman Hakim, Bung Sigit, Om Miming, Om Guswin, Bung
Ebot, Julmansyah alias Ujang yang selalu memberikan sindiran-sindiran
dan kritikan yang membangun penulis agar tetap konsisten pada
nilai-nilai perjuangan.
12. Kawan-kawan LINK (lintasan kalam), kawan-kawan Cordova dan
kawan-kawan lainnya yang tak mungkin penulis ungkapkan satu
Sekali lagi penulis ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang
mendukung, membantu, memberikan semangat dan arahan sehingga penulis dapat
merampungkan skripsi ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan. Amîn yâ rabbal alamîn.
Ciputat, 22 Februari 2011
Penulis,
A. Irfan Habibi
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya pergunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 Februari 2011
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Kedudukan Jaksa Agung dalam Perspektif
Ketatanegaraan Indonesia dan Islam telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 22 Februari 2011.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana program Strata Satu (S1) pada Jurusan Siyasah Syariyyah.
Jakarta, 22 Februari 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 1955 0505 1982031012
Panitia Ujian Munaqasyah:
Ketua : Dr. Asmawi M.Ag. (……….)
NIP. 197210101997031008
Sekretaris : Afwan Faizin, M.A. (……….)
NIP. 150326890
Pembimbing I : H. Zubir Laini, SH. (……….……)
NIP. 150009273
Pembimbing II : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. (……….)
NIP. 197308022003121001
Penguji I : Dr. A. Sudirman Abbas, MA. (……….)
NIP. 150294051
Penguji II : Afwan Faizin, M.A. (……….……)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki sepuluh tahun reformasi, Indonesia seolah tak pernah henti
diterpa badai. Dari mulai badai krisis ekonomi, bencana alam, dan masalah
legitimasi kepemimpinan, serta masalah kedudukan sebuah institusi penegak
hukum semisal Kejaksaan Agung.
Tuntutan akan pentingnya kesadaran hukum dan Hak Asasi Manusia mau
tak mau membuat negara harus mampu menyediakan lembaga atau institusi yang
memiliki kedudukan kuat sebagai elemen penegakan hukum dan HAM. Namun,
keberadaan institusi penegak hukum sendiri kerap terhambat, selain oleh proses
delegitimasi kekuasaan, hal lain yang juga jadi masalah adalah sering terjadinya
praktek penegakan hukum yang tebang pilih dan sewenang-wenang. Entah, karena
interest politik maupun mentalitas para penegaknya yang tidak memegang teguh
cita-cita yang diemban sebuah institusi, atau karena sistem ketatanegaraan kita
yang lemah hingga memberi celah tangan-tangan jahil yang lazim
mempermainkan hukum sebagai dagangan kasus.
Potret buram dunia hukum kita semakin terang terlihat dalam beberapa
kasus hukum yang belakangan tampil kepermukaan, seperti skandal Bank
yang melibatkan pejabat, politisi dan sejumlah aparat penegak hukum. Hal ini
jelas sangat mencoreng wajah penegakan hukum kita, dan tentu saja seamakin
mencoreng legitimasi institusi penegak hukum kita dewasa ini.
Mencuatnya beragam gugatan, seperti gugatan atas pemilihan Presiden dan
wakil Presiden lalu, berikut menghangatnya gugatan soal legalitas Jaksa Agung,
Hendarman Supandji, yang dilontarkan Yusril Ihza Mahendra. Seolah
memperlihatkan celah hukum dan ketatanegaraan kita yang masih rapuh.
Pada saat yang sama tuntutan atas kesadaran hukum semakin meningkat,
seiring dengan desakan masyarakat atas penegakan hukum yang berkeadilan
dengan bertolak dari konteks sosio-kultur masyarakat setempat. Kaidah-kaidah
hukum dan ketatanegaraan inilah yang kemudian membuat sendi-sendi kekuasaan
politik mulai goyah.
Di Indonesia, pasca tumbangnya rezim Orde Baru, memang riak-riak
kebebasan dan segudang masalah belum sepenuhnya dapat di atasi dengan baik.
Apalagi format berbangsa dan bernegara kita sangat tercermin oleh tertib
administrasi negara.
Celah hukum dan ketatanegaraan ini tentu saja terkait dengan kedudukan
dan legitimasi sebuah institusi, semisal institusi kejaksaan agung, baik secara
hukum maupun politik. Sebab dalam struktur dan kewenangan terletak legitimasi
yang mau tak mau disandang oleh baik kepemimpinan politik maupun birokrat.
Tanpa alat legitimasi, kekuasaan institusi akan menjadi tumpul. Bahkan tak kuasa
Sistem hukum dan ketatanegaraan kita selama ini memang merupakan
adopsi baik dari hukum positif maupun hukum Islam, belum sepenuhnya
terintegrasi dengan baik sesuai konteks sosio-kultural masyarakat.
Sebagai negara sedang berkembang, pemerintah Indonesia tentu saja
memiliki tugas yang tidak mudah terkait penegakan hukum dan perbaikan
ketatanegaraan. Sebab bagaimana pun tertib sosial tidak mungkin tanpa tertib
hukum dan ketatanegaraan. Produk hukum kita sendiri tidak hanya bersandar
semata dari hukum positif (postitif legality), tapi juga harus bertolak dari hukum
Islam. Sebab mayoritas masyarakat kita yang menganut Islam. Tidak hanya di
situ, Indonesia juga dikenal memiliki keragaman kultural dan ekspresi-ekpresi
sosial yang pluralistik. Oleh karena itu konvergensi hukum positif, Islam dan
keterkaitannya dengan sosio-kultural menjadi penting untuk diintegrasikan dalam
kehidupan berbangsa dan benegara yang berlandaskan pada penegakan hukum
yang seadil-adilnya. Hal ini jelas tercermin dalam pikiran-pikiran politik, hukum
dan ketatanegaraan sosok pemikir Islam setelah Muhammad Natsir, yakni Yusril
Ihza Mahendra.
Reformasi dibidang hukum di atas, mau tak mau meniscayakan adanya
perubahan dasar-dasar ketatanegaraan, baik bersifat struktural maupun kultural.
Dasar-dasar kenegaraan dan masyarakatan tersebut, menurut Soerjono Seokanto,1
paling sedikit mencakup: (1) agama, (2) filsafat, (3) ideologi, (4) ilmu
1
Soerjono Soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum," Analisis
pengetahuan, dan (5) teknologi. Dengan demikian, pembangunan Hukum Islam di
Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Penjabaran Hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan
Indonesia.
2. Penciptaan serta menyusun kembali lembaga-lembaga hukum baru.
3. Mengupayakan tentang bagaimana hukum tadi dapat dijalankan
dengan efektif.
4. Serta mendasarkan legitimasi baik hukum maupun politik pada tata
kelola pemerintahan yang baik dan legal2
Sifat khas permasalahan di bidang hukum dan ketatanegaraan tersebut
terletak pada upaya pemetaan kembali sistem hukum, baik dalam konteks struktur
logis hukum maupun dalam konteks sarana bagi perencanaan masyarakat ideal.
Lebih dari itu, terciptanya suatu sistem hukum dan tata negara yang sesuai
dengan keadaan sekarang, ataupun dalam menghadapi perkembangan di masa
yang akan datang merupakan kebutuhan lain yang akan terus mendorong
permasalahan di atas.
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka penulis berupaya
menelusuri jejak hukum dan tata negara yang paralel dengan legitimasi politik
maupun hukum dalam sebuah negara. Upaya-upaya ke arah tata kelola kenegaraan
berdasarkan legitimasi tersebut, tentu saja mesti melibatkan beberapa komponen
yang mesti diperhitungkan dengan matang dan cermat, atau yang biasa dikenal
2
Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, (Jakarta : Departemen Agama
dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: (1) komponen perangkat hukum, (2)
komponen penegak hukum, dan (3) komponen kesadaran hukum.3
Dengan memperhitungkan setiap komponen hukum di atas, Maka secara
menyeluruh pembahasan diharapakan menjadi lebih komprehensif. Namun,
membatasi pembahasan terkait komponen penegak hukum dan ketatanegaraan
bukan berarti menganggap komponen-komponen hukum yang lainnya kurang
penting.
Dalam tulisan ini, komponen penegak hukum terkait “legitimasi
kepemimpinan” ditempatkan sebagai tema-sentral pembahasan, sambil berusaha
melihat kaitannya dengan komponen-komponen lainnya.
Secara intrinsik, perangkat hukum dan ketatanegaraan harus merefleksikan
pembuatnya, yaitu mereka yang mempunyai peluang untuk melaksanakan serta
mengawasi kekuasaan, “rulling-class are rulling idea” demikian bila merujuk pada
adagium tokoh marxis Antonio Gramsci. Sebab, perangkat hukum, sampai tingkat
tertentu, dikondisikan oleh situasi politik yang berlaku, dalam hal ini pemegang
kekuasaan. Dengan kata lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev,4
penegakannya tergantung dari kekuatan dan kekuasaan politik. Sementara di
pihak lain, kondisi tersebut juga ditentukan oleh berbagai kekuatan lainnya,
seperti sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
3
Deden Effendi, Kompleksitas Hakim…
4
Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia: Studi tentang Landasan Politik
Berkenaan dengan ini, maka “Kedudukan Jaksa Agung” sebagai salah satu
institusi penegak hukum akan menjadi tema sentral dalam pembahasan ini. Sebab,
baik secara filosofis maupun praktis kedudukan dan legitimasi penegakan hukum
merupakan pintu masuk baik bagi penegakan hukum maupun tata kelola
kenegaraan.5
Kita juga mafhum, pada hakikatnya, bagaimanapun hukum didefinisikan,
sebagai salah satu produk budaya dan politik. Dalam hal ini hukum merupakan
hasil konkritisasi manusia atas nilai-nilai agama dan budaya dalam mengatur
kehidupan manusia itu sendiri.6 Dengan demikian, hukum dapat dijumpai dalam
berbagai lambang atau simbol.
Dalam kasus keabsahan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang
belakangan berkembang pada uji materi Undang-undang kejaksaan di Mahkamah
Konstitusi (MK) misalnya, ini bagian dari celah hukum yang mau tak mau harus
dicari jalan keluarnya. Sebab, bagaimana pun posisinya erat terkait dengan
kedudukan sebuah institusi penegakan hukum yang tak lain berada pada
Kejaksaan Agung. Karena hal ini bukan sekadar persoalan kewenangan, tapi juga
legitimasi kepemimpinan pejabat di sautu institusi.
Permohonan uji materi dari mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza
Mahendra terkait masa tugas Jaksa Agung juga akan berakibat fatal pada wibawa
pemerintahan maupun institusi Kejaksaan Agung. Terlebih setelah Mahkamah
5
Soerjono Soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum," Analisis
Pendidikan, hlm. 40.
6
T. M. Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan Hukum Acara Islam (Bandung: PT Al-Maarif,
Konstitusi memutuskan untuk memberhentikan karena tidak ada perpanjangan
dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus tersebut menjadi preseden buruk
bagi penegakan hukum. Artinya, bahwa hal itu cerminan dari keteledoran negara
dalam hal ini presiden dalam menegakkan sistem ketatanegaraan.
Konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 UU Kejaksaan
dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1
dan 28 D ayat (1) UUD 1945 yang diajukan Yusril Ihza Mahendra. Adalah cermin
dari lemahnya sistem hukum dan ketatanegaraan kita. Terlebih, ini bukan sekadar
masalah administrasi hukum semata. Lebih dari itu juga terkait dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia.
Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan menyatakan Jaksa Agung diangkat dan
diberhentikan Presiden. Sementara Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan dijelaskan
bahwa Jaksa Agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena
meninggal dunia, mengundurkan diri, atas permintaan sendiri, sakit jasmani dan
rohani, serta berakhir masa jabatannya. Ketentuan itu tak membatasi masa jabatan
Jaksa Agung.
Menurut Yusril Ihza Mahendra Jaksa Agung Hendarman Supandji, bila
bertolak pada argumen di atas adalah illegal. Dengan demikian seluruh keputusan
yang ia perbuat juga batal demi hukum.
Pakar Hukum Tata Negara yang juga pemikir Islam ini berpendapat bahwa
jabatan Jaksa Agung harus juga dikaitkan dengan periode jabatan kabinet. Jika
masa jabatannya. Hendarman bahkan bisa menjadi Jaksa Agung seumur hidup.
(Sumber: Berbagai sumber media cetak maupun online)
Dalam konteks inilah penulis melihat, contoh kasus ini menarik untuk
dikaji, sebab ini tak hanya memperlihatkan dimensi dari lemahnya hukum
administrasi negara. Lebih dari itu terkait dengan legitimasi kepemimpinan yang
akan berakibat fatal bagi tatanan hukum dan ketatanegaraan kita. Sehingga
penting untuk mengkaji secara lebih dalam persoalan “Legitimasi
Kepemimpinan” dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah penyusun paparkan di atas,
penyusun mengambil batasan dan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan dan fungsi Kejaksaan Agung dalam konsep
ketatanegaraan Indonesia dan Islam?
2. Usaha-usaha apakah yang harus dilakukan agar tidak terjadi
kesimpangsiuran dalam penyelenggaraan kenegaraan, terutama terkait
penegakan hukum yang dimandatkan pada undang-undang terhadap
intitusi Kejaksaan Agung?
3. Bagaimana Persamaan dan perbedaan kedudukan Kejaksaan Agung dalam
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan:
a. Menjelaskan duduk perkara Kedudukan dan Legitimasi kepemimpinan
dalam konteks konstitusi dan sistem ketatanegaraan Indonesia dan
Islam.
b. Menjelaskan persamaan dan perbedaan kedudukan institusi Kejaksaan
Agung dalam perspektif ketatanegaraan dalam Islam dan Indonesia.
c. Menjelaskan usaha-usaha yang harus dilakukan agar peran dan
kedudukan institusi kejaksaan agung dapat seoptimal mungkin dalam
menegakkan hukum di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendasar agar
dapat di peroleh manfaat dari penelitian tersebut, yaitu:
a. Secara akademik
Penulisan ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang favourabel
bagi pengembangan ilmu hukum dan ketatanegaraan, baik dalam arti
sebagai suatu sarana pengendalian masyarakat maupun dalam arti
b. Secara praktis
Untuk menyumbangkan hasil pemikiran tentang hukum dan
ketatanegaraan Indonesia terutama dalam yang memiliki kaitan dengan
Hukum dan ketatanegaran Islam dan Barat.
D. Tinjauan Pustaka
Studi mendalam mengenai “Kedudukan Jaksa Agung” memungkinkan
kita memahami seluk beluk institusi penegakan hukum baik secara historis
maupun konteks sosial politik. Terlebih dalam konteks ketatanegaraan Indonesia
dan Islam sebagai sebuah rujukan berbangsa dan bernegara. Hal ini selain untuk
menunjukan banyaknya celah hukum dan tata kelola kebijakan serta kewenangan
negara. Kedudukan dan legitimasi Kejaksaan Agung juga bisa menjadi salah satu
alat ukur dalam menjalankan perintah dan tugas sebagaimana diamanatkan UUD
1945.
Dengan begitu apa yang disebut institusi negara yang memiliki aparatur
yang akan bekerja sesuai sistem, bukan berlandaskan semata kekuasaan yang
sewenang-wenang. Sebab, tanpa alat pijak itu akan terjadi pengelolaan negara
yang keliru dan cenderung semaunya.
Selain itu tidak dapat dinafikan, aspek aspek hukum yang terkandung baik
dalam Islam maupun kebudayaan barat tetap memiliki korelasinya dengan konteks
Wahyu Affandi dalam bukunya menjelaskan bahwa penegak hukum tidak
hanya harus mampu mengatur hukum, melainkan dituntut pula untuk
mendisplinkan diri supaya mematuhi hukum, dan adalah sulit untuk dibayangkan
berhasilnya usaha untuk menegakkan hukum serta untuk menciptakan kepastian
hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat apabila penegak hukum
itu sendiri baik dalam tindakannya maupun tingkah lakunya sehari-hari selalu
mengabaikan hukum.7
Ahkyar, juga mengemukakan pendapat dalam tulisannya yang berjudul
Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi, bahwa selain adanya
berbagai kebebasan, juga ditambah aturan tentang tingkah laku dan kegiatan para
hakim/jaksa, yaitu, semacam code of conduct. Aturan tentang tingkah laku atau
code conduct itu penting, sebab merupakan aturan yang mengatur tingkah laku
para hakim supaya memungkinkan para hakim/jaksa bersifat responsif terhadap
harapan dari masyarakat dan melaksanakan secara konkrit pengaturan yang
menggambarkan Who watches the watchmen itu.8
Dari telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, penelitian ini
memiliki perbedaan dengan penelitian atau karya sebelumnya. Perbedaaanya
terletak pada pembahasan kedudukan jaksa agung. Secara spesifik dalam
penelitian skripsi ini akan terlihat perbedaaanya terkait dengan batasan dan posisi
Jaksa Agung sesuai dengan hasil uji materi Mahkamah Agung 2010. Setelah
7
Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum. (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 7
8
Ahyar, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi: Himpunan Karya
sebelumnya, konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 UU Kejaksaan
dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1
dan 28 D ayat (1) UUD 1945 yang diajukan Yusril Ihza mahendra.
Selain itu, Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan menyatakan Jaksa Agung
diangkat dan diberhentikan Presiden. Sementara Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan
dijelaskan bahwa Jaksa Agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atas permintaan sendiri, sakit
jasmani dan rohani, serta berakhir masa jabatannya. Ketentuan itu tak membatasi
masa jabatan Jaksa Agung. Inilah salah satu pembahasan yang mutakhir yang jadi
bagian penting pembahasan, dari karya-karya yang telah ada sebelumnya.
E. Kerangka Teori
Dalam sistem negara hukum, Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memiliki asas keadilan, kebenaran,
ketertiban, dan kepastian hukum. Hal ini terkait dengan sistem penyelenggaraan
hukum dan ketatanegaraan yang selaras dalam usaha mewujudkan suasana
perikehidupan yang aman, tentram, dan tertib seperti yang diamanatkan dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya
lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan yaitu negara yang
Kini, setelah munculnya, sengketa hukum dan ketatanegaraan yang
memunculkan celah hukum dan ketatanegaraan lembaga-lembaga hukum semisal
Pengadilan menjadi lambang kekuasaan.9
Sebagai contoh, hal ini juga tercermin dalam hukum Islam, yang
mengaskan bahwa seorang hakim boleh menangani kasus yang berkaitan baik itu
menyangkut Haqqul Lillah (hak-hak yang menyangkut urusan langsung dengan
Allah) maupun Haqqul Adami' (hak-hak yang menyangkut urusan dengan
manusia). Mereka juga sepakat bahwa keputusan dari seorang hakim tidak dapat
menghalalkan sesuatu yang haram dan sebaliknya, mengharamkan sesuatu yang
halal.10
Di samping itu, dari berbagai literatur fikih dan ushul fiqh dapat
disimpulkan, bahwa tugas pokok seorang hakim sebagai institusi yang memiliki
legitimasi kekuasaan dalam penegakan hukum adalah, menetapkan hukum syara'
pada suatu perkara secara mengikat untuk menyelesaikan sengketa dalam setiap
gugatan, termasuk perkara legalitas seseorang dalam menentukan kewenangan.
Batasan tersebut menyangkut dengan tugas pokok seorang hakim. Dalam sejarah
peradilan Islam, tugas hakim dalam perkembangannya di samping tugas pokok
tersebut, pernah diberi kewenangan tambahan yang bukan menyelesaikan suatu
perkara kenegaraan. Umpamanya, menikahkan wanita yang tidak punya wali,
pengurusan baitulmal, mengangkat pengawas anak yatim, dan pernah pula sebagai
9
Mohammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia,dalam
Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, alih
bahasa Rochman Achwan, cet.I (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 208.
10
Ibnu Rusyd al-Khafid, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar
pemimpin perang. Dari batasan itu dapat dipahami bahwa pada diri seorang
hakim/jaksa harus terdapat dua kemampuan, yaitu kemampuan untuk menguasai
hukum yang berkaitan dengan ijtihad istimbaty, dan kemampuan untuk
menerapkannya.11
Hukum dan masyarakat mempunyai hubungan yang bersifat timbal-balik,
“dialektis”. Hukum memberikan penilaian terhadap masyarakat mengenai
kedudukan yang mereka tempati, juga mengarahkan mengenai apa yang
seharusnya mereka lakukan dalam kedudukan tertentu tersebut. Akan tetapi, agar
penilaian tersebut efektif, hukum membutuhkan dasar sosial. Apabila
dasar-dasar sosial tersebut berubah (diubah), karena merupakan salah satu aspek budaya
yang oleh karenanya bersifat “fana”, maka perubahan di dalam sistem
penilaianpun seringkali terjadi.
Terjadinya ketimpangan antara ukuran yang diusulkan dengan kenyataan
yang dihadapi di dalam pergaulan masyarakat dapat diartikan sebagai masalah
sosial dan ketatanegaraan.
Dengan demikian, penegakkan hukum juga bagian dari implementasi
keadilan dalam sistem ketatanegaraan sebuah bangsa atau masyarakat dan negara.
Suatu sistem yang didisain oleh manusia dalam mengatur hidup dan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Meskipun demikian, tidak ada hukum yang tegak dalam
arti kata yang sebenarnya, kecuali serangkaian peranan para penegak hukum dan
legitimasi kepemimpinan yang digunakan seadil-adilnya. Sehingga
garis-
11
H. Satria Efendi M. Zein, "Ijtihad dan Hakim Pengadilan Agama." Mimbar Hukum :
kontinum sistem hukum dan ketatanegaraan yang menghubungkan antara
kepastian hukum dan ketertiban berbangsa dan bernegara.
F. Metode Penelitian
Tehnik penulisan yang digunakan dalam pembuatan skripsi ini mengacu
pada buku Pedoman Akademik 2007-2008 yang diterbitkan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta12
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber
kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan
dengan pembahasan dan membantu pemahaman.
2. Sifat Penelitian
Penelitian bersifat Deskriptif Analitik. Deskriptik adalah metode yang
menggunakan pencarian fakta dengan metode intrepretasi yang tepat, sedang
analisis adalah menguraikan sesuatu dengan cermat dan terarah.13 Dengan
menggunakan metode ini, diharapkan kedudukan “Kejaksaan Agung” akan
tergambarkan dengan jelas.
12
Pedoman Akademik 2007-2008, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13
3. Pengumpulan Data
Penelitian dalam penulisan skripsi ini jenisnya adalah penelitian
kepustakaan, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan
buku serta artikel yang relevan dengan pembahasan. Data primer yaitu
buku-buku yang ada kaitannya langsung dengan masalah yang akan dibahas, seperti
Legitimasi, Hukum, Tata Negara, konstitusi, UUD 1945, Undang-undang
Republik Indonesia Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung,
Undang-undang dasar 1945 hasil perubahan atau amandemen Ketiga yang
disahkan pada 9 November tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK),
serta kitab undang-undang lainnya yang relevan membahas soal legitimasi
kepemimpinan, baik di tingkat institusi maupun negara. Sedang data sekunder
yaitu studi-studi yang relevan dengan pembahasan dan membantu pemahaman
dalam penulisan ini.
4. Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan
metode deskriptif analitis dan diinterpretasikan dengan pendekatan yang telah
ditentukan. Adapun kerangka berfikir yang digunakan adalah:
a. Induksi, yaitu mengamati dan mempelajari data yang telah diperoleh yang
masih bersifat kongkrit dan berdiri sendiri untuk ditarik pada generalisasi
yang bersifat umum. Artinya, penyusun berusaha memaparkan
Indonesia dan Islam, kemudian melakukan analisa sedemikian rupa
sehingga menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.
b. Deduksi, yaitu bertitik tolak dari kaidah-kaidah yang bersifat umum
kemudian dianalisa berdasarkan data yang bersifat khusus. Artinya,
ketentuan-ketentuan umum tetang “Kedudukan Kejaksaan Agung” sesuai
dengan kaidah-kaidah hukum dan tata negara dalam konteks sosial politik
yang ada.
5. Pendekatan Masalah
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
pendekatan
a. Yuridis, yaitu pendekatan dari segi hukum atau peraturan-peraturan
yang tertulis, semisal UU Kejaksaan Agung dan kementrian negara,
UU penyelenggaraan negara dan ketentuan lain terkait ketatanegaraan
Indonesia.
b. Normatif, yaitu pendekatan melalui norma-norma yang terdapat dalam
ajaran Islam (al-Qur'an dan hadis), terutama yang berkaitan dengan
Legitimasi Kepemimpinan” sebagai pembenar dan pemberi norma
terhadap masalah yang menjadi bahasan, sehingga diperoleh
kesimpulan bahwa sesuatu itu boleh atau selaras atau tidak dengan
G. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan isi penelitian ini terdiri dari lima bab. Untuk lebih
mudahnya penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua memberikan ulasan tentang Pengertian Kejaksaan Agung
dalam Perspektif Ilmu Ketatanegaraan Islam dan Indonesia, Kedudukan dan
fungsi Kejaksaan Agung dalam penegakan hukum, Tugas-tugas Pokok Jaksa
Agung, Unsur-unsur Legitimasi Institusi, Tujuan dan Manfaat Kejaksaan Agung
Bab ketiga dikhususkan untuk menjelaskan Legalitas dan Kewenangan
pemimpin lembaga dan negara, Struktur legalitas menurut Konstitusi Negara, UU
Kejaksaan Agung, Yudisial Review dan aspek sosial politik di dalamnya.
Penjelasan ini dimaksudkan untuk mengetahui posisi hukum dan ketatanegaraan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bab keempat merupakan inti atau substansi dari keseluruhan penelitian
(skripsi) ini. Bab ini membahas tentang Analisis Atas Signifikansi Legalitas dan
Kewenangan dalam Penegakan Hukum, Analisis Atas Legalitas dan Kewenangan
Penegakan hukum dalam sebuah institusi (Kejagung), Analisis Hukum Tata
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh kerangka
hukum dan sistem ketatanegaraan Indonesia dalam kaitannya dengan sistem
ketatanagaraan islam dan barat dan alternatif pemecahannya.
Bab kelima memuat beberapa kesimpulan dan saran-saran sebagai penutup
sekaligus bab terakhir dalam penulisan skripsi ini.
Demikianlah sistematika dan garis besar pembahasan yang akan penyusun
tulis dalam penulisan skripsi serta untuk memudahkan pemahaman terhadap
BAB II
KEDUDUKAN DAN FUNGSI JAKSA AGUNG DALAM PERSPEKTIF
HUKUM TATA NEGERA
A. Latar Belakang Historis
a.i. Kejaksaan Agung Sebelum Reformasi
Menurut catatan histories istilah Kejaksaan Agung (Kejaksaan)
sebenarnya sudah ada sejak lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada
zaman kerajaan Hindu-Jawa, di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan
Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa saat itu mengacu
pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan, terutama merujuk pada mereka
yang memiliki kewenangan dalam penegakan hukum. Istilah-istilah ini berasal
dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.
Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa
‘dhyaksa’ adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat
Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim
yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang
pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang ‘adhyaksa’, yakni hakim
tertinggi yang memimpin dan mengawasi para ‘dhyaksa’ tadi.
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang
pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van
Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih
terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.14
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan
jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang
memiliki kewenangan untuk memberi perintah pada pegawai-pegawainya
dalam berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang
Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan
Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) dibawah perintah langsung dari
Residen/Asisten Residen.
Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai
perpanjangan tangan Belanda belaka. Dalam artian ia merupakan perpanjangan
dari kekuasaan pemerintah saat itu. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan
pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:
1) Mempertahankan segala peraturan Negara
2) Melakukan penuntutan segala tindak pidana
3) Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang
4) Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam
menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang
terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
14
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara
resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman
pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu
Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada
pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan
agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan
negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki
kekuasaan untuk:
1) Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran
2) Menuntut Perkara
3) Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
4) Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Pada saat Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan
dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2
Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk
badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku.
Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua
hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan
struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen
Kehakiman.15
Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika
secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem
pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik
Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring
dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan,
organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai
perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta
bentuk negara dan sistem pemerintahan.
Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar
pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan
RI. Undang-Undang ini menegaskan bahwa:
Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.
15
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
Pada masa Orde Baru kemudian mengalami perkembangan baru yang
menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang
Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan
mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang
didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20
November 1991.
a. 2. Kedudukan Kejaksaan Agung di Masa Reformasi
Pada masa Reformasi di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap
pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya
dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Memasuki masa reformasi
Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang ini
disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan
eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, maupun pihak lainnya.
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal
2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan
Kejaksaan bertindak sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),
mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke
Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara
Pidana.
Di samping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga
merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini
dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI
sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan.
Mengacu pada UU tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang
diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini
tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas
dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam
B. Tugas dan Kewenangan
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur
tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu:
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang
1) Melakukan penuntutan;
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
4) Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2) Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
4) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara;
5) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6) Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa
Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa
di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena
bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang
dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.
Sementara Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut
menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam
undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan
undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan
badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.
Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan
pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.
Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan
hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggung jawab.
Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini
mestinya dipandang positif sebagai mitra kejaksaan dalam memerangi korupsi.
Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana
namun juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya. Kendala tersebut
antara lain:
1) Modus operandi yang tergolong canggih.
2) Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya.
3) Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan
berbagai peraturan.
4) Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan.
5) Manajemen sumber daya manusia.
6) Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum
yang ada).
7) Sarana dan prasarana yang belum memadai.
8) Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan
serta pembakaran rumah penegak hukum.
Komitmen pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan
pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat
sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama. Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi yang lama yaitu UU No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang
bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini diatur
pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang
lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan UU ini juga
dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak
jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa
diselesaikan oleh UU ini.
Akhirnya, UU No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas
menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa melalui
pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan luas,
independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan
pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai
extraordinary crime .16
Karena itu, UU No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan
pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara untuk penuntutannya, diajukan
oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang terdiri dari
Ketua dan 4 Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat bidang,
yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan
Pengaduan masyarakat.
Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan
penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan
Kejaksaan RI. Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang diambil adalah
16
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
hal.102-160. Baca juga, Yusril Ihza Mahendra, ”Kedudukan Kejaksaan dan posisi jaksa dalam sistem
pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan
fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan.
C. Pandangan Islam Tentang Institusi Kejaksaan
Dalam literatur studi hukum Islam sebenarnya institusi kejaksaan belum
eksplisit di atur sebagaimana institusi kejaksaan agung saat ini. Utamanya di
negera-negara sekuler. Peranan lembaga peradilan lebih tercakup ke dalam dua
wilayah yakni; Wilayatul Mazhalim dan Wilayatuh Hisbah. Kedua institusi ini
mememiliki fungsi penegakan sekaligus pengawasan. Wilayatul Mazhalim
secara umum didefinisikan sebagai institusi hukum yang berfungsi mengawasi
jalannya sistem peradilan. Wilayah Mazhalim juga bisa diartikan sebagai suatu
kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi daripada kekuasaan
hakim dan kekuasaan muhtasib.
Lembaga ini berfungsi memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke
dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara
penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim
ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebagian dari perkara-perkara
yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh
dari yang bersangkutan, tetapi memang jadi wewenang lembaga ini untuk
memeriksanya.17
Sementara itu, lembaga atau wilayatul hisbah dapat dimengerti sebagai
wilayah hisbah merupakan salah satu lembaga dari lembaga peradilan yang
kewenangannya terpusat pada tempat-tempat transaksi sebagaimana terlihat
dalam sejarah Daulah Umayyah dan Abbasiyah, bahkan pada masa Nabi SAW.
Secara historis dalam hukum ketatanegaraan dan sistem peradilan yang
ada sejak munculnya Islam, wilayah atau institusi peradilan tersebut sebenarnya
telah mencakup nilai-nilai sebagaimana dianut pada institusi saat ini, seperti
munculnya lembaga kepolisian, kejaksaan maupun kehakiman. Hanya saja
proses institusionalisasinya mengalami perkembangan lebih modern seperti saat
ini.
Historisitas itu bisa dilihat jika kita misalnya melihat bagaimana dari
masa ke masa dalam lintasan sejarah Islam proses institusionalisasi peradilan
Islam berlangsung.
c.1. Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Di masa Nabi Muhammad SAW, misalnya kita melihat satu hal yang
dilakukan oleh Nabi SAW di Madinah —setelah hijrah dari Makkah ke
Madinah— adalah upayanya untuk mempererat persaudaraan antara kaum
17
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan hukum acara Islam, (Yogyakarta: PT.
Muhajirin dan Anshar dengan mengeluarkan shahifah yang dikenal dengan
shahifah al-rasul yang berisi tentang; Pertama, pentingnya pernyataan persatuan
bersama antara kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
berhubungan dan berjuang bersama mereka; Kedua, orang-orang yang berlaku
zalim atau mengadakan permusuhan di antara orang mukmin, harus sama-sama
diatasi walaupun keluarga sendiri; Ketiga, orang Yahudi saling membantu
dengan orang mukmin dalam menghadapi musuh, dan bebas menjalankan
agamanya masing-masing; Keempat, orang-orang yang bertetangga seperti satu
jiwa dan tidak boleh untuk saling berbuat dosa; Kelima, orang-orang yang
bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku zalim dan dosa.
Beberapa poin di atas tentu menjadi agenda hukum dan ketatanegaraan
yang penting pada masa kepimimpinan Muhammad SAW, terlebih sengketa
antar komunal dan ketentuan hukum saat itu selalu berkecamuk dalam tata
sosial masyarakat saat itu. Dengan keluarnya shahifah al-rasul itu, sekaligus
mengindikan suatu kondisi yang mencerminkan telah berdirinya satu daulah
Rasul, sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi
musuh (orang-orang Quraisy).
Sementara, kondisi peradilan pada masa ini, sudah terlihat dengan
adanya sahabat yang diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi qadhi, seperti
Muadz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn alKhaththab di
Madinah. Namun demikian, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan
persoalan diberikan kepada shahabat (qadhi), Akan tetapi, apabila terjadi
kepada Nabi SAW. Melalui beberapa wilayah hukum sebagaimana di atas telah
disinggung.
Di masa ini Wilayatul Hisbah pada masa ini sebagai suatu lembaga yang
belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktek-praktek yang mengarah
pada kewenangan hisbah yang dilakukan sendiri oleh Nabi SAW, seperti
ketika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual
makanan, kemudian Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam setumpukan
gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi SAW kemudian
bersabda: “Bahwa barangsiapa yang menipu umatnya maka bukan termasuk
umatnya”.
c.2. Masa Khulafa al-Rasyidin
Sementara setelah Nabi SAW wafat, kewenangan sebagai pemimpin
masyarakat (negara) digantikan oleh Abu Bakar, Umar Ibn al Khaththab,
Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Ali Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada
masa ini tidak banyak mengalami perubahan. Hanya pada masa Umar Ibn
alKhaththab dan Ali Ibn Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada
qadhi yang diangkat. Begitu juga dengan lembaga hisbah dan lembaga lainnya,
pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan, artinya muhtasib masih
dipegang sendiri oleh khalifah.
c.3. Masa Daulah Umayyah
Adapun di masa kepemimpinan Bani Umayyah, yaitu setelah Ali Ibn
Di masa ini gejolak politik dan perdebatan telah membuat pemerintahan goyah
dan dukungan masyarakat terhadap kepemimpinannya terus berkurang.
Akibatnya, kekhalifahan kemudian diserahkan kepada Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan. Pada masa inilah imperium Bani Umayyah dmulai dari 661 – 750 M.
Adapun keberadaban peradilan pada masa ini memiliki keistimewaan –
terpisah dengan kekuasaan pemerintah- dengan adanya penentuan qadhi yang
dipilih khalifah, dengan berbagai kewenangan yang dimiliki sebagai mana
diatur dalam undang-undang saat itu. Di antaranya kewenangan memutus
perkara kecuali dalam bidang hudud. Pelaksanaan peradilan itu sendiri
sesungguhnya masih sama dengan peradilan pada masa Khalifah al-Rasyidin.
Adapun Wilayah Hisbah (muhtasib) pada masa ini tidak melembaga dan
diangkat oleh khalifah dan lembaga disebut Shahib al-Sauq.
Joeseph Schacht dalam “An Introduction to Islamic law” menjelaskan
bahwa wilayah hisbah sebenarnya diadopsi dari lembaga peradilan di masa
Bizantium yang fungsinya merupakan bagian dari peradilan, yaitu spector of
market. Apa yang dikatakan oleh Schacht itu sesungguhnya tidak atau belum
dapat diterima sepenuhnya oleh kalangan Muslim. Sebab, antara wilayah
hisbah dengan spector of market memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat
tajam. Sementara, spector of market hanya bertugas untuk mengumpulkan
bayaran wajib para pedagang (collective obligation) atau pajak jualan.
Sementara, wilayatul Hisbah memiliki kewenangan yang lebih dari sekedar itu.
pada masa Rasul walaupun dalam bentuk embrio, sedangkan terbentuk sebagai
lembaga terjadi pada masa Umayyah setelah melalui proses sejarah.18
Dalam konteks ini, wilayah hisbah pada periode ini sudah menjadi satu
lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur
dan mengontrol masyarakat dari perbuatan perbuatan yang tidak sesuai dengan
syariat Islam.
c.4. Masa Daulah Abbasiyah
Pasca runtuhnya Dinasti Umayyah, kemudian kekuasaan di\gantikan
oleh Dinasti Abbasiyah. Kekusaan Abbasiyyah diperkirakan berlangsung dari
kurun waktu 750 M – 1225 M (132 H – 656 H). Dimasa inilah kejayaan umat
Islam terlihat, tak heran bila pada masa Dinasti ini kerap disebut sebagai zaman
keemasan Islam. Hal itu ditandai oleh kemajuan dalam segala bidang, termasuk
dalam lembaga peradilan. Diferensiasi kemajuan institusi hukum dan sistem
peradilan itu terletak pada pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan yang
dikepalai oleh qadhi al-qudhah yang berkedudukan di ibukota, dengan
kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan
Islam.
Begitu juga dengan lembaga hisbah sudah terlaksana dengan baik,
lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk
memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Hal
18
Joeseph Schacht , An Introduction to Islamic law, (London: Clarendon Paperbacks,
ini dijelaskan oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim
peradilan menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk
mengakomodasi dan muhtasib. Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode
Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang
secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadha).
Jadi, meski secara eksplisit institusi kejaksaan itu tidak eksplisit
sebagaimana saat ini, tapi jugas fungsinya sebagai lembaga penyidik
sebenarnya telah ada saat itu. Namun, memang belum terinstitusionaliasi secara
spesifik. Namun, semangatnya sebenarnya sudah ada. Ini jelas terlihat, jika kita
melihat, baik lembaga kehakiman (Qadhi) maupun kejaksaan yang sering
disebut dalam struktur pemerintahan pada umunya (negara modern). Dalam
pemerintahan Islam masing-masing lembaga negara, termasuk lembaga
penegak hukum seperti peradilan (al-qodhi) dan departemen keamanan dalam
negeri, yang di dalamnya ada satuan kepolisian (syurthah), memiliki fungsi
masing-masing yang tidak tumpang tindih. Peradilan adalah lembaga negara
yang menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat.
Peradilan atau institusi peradilan pada umumnya bertugas
menyelesaikan perselisihan di antara anggota masyarakat, mencegah hal-hal
yang dapat membahayakan hak-hak jamaah, atau mengatasi perselisihan yang
terjadi antara rakyat dan seseorang yang duduk dalam struktur pemerintahan;
baik ia seorang penguasa atau pegawai negeri, Khalifah ataupun selain
Departemen Keamanan Dalam Negeri—termasuk di dalamnya satuan
kepolisian—bertindak mencegah tindak kejahatan dengan mewaspadai,
menjaga dan melakukan patroli. Kemudian menerapkan hukuman-hukuman
yang telah diputuskan qâdhî (hakim) terhadap orang yang melakukan
pelanggaran atas harta, jiwa atau kehormatan. Semua itu dilakukan oleh satuan
kepolisian (syurthah). Polisi diberi tugas untuk menjaga sistem, mengelola
keamanan dalam negeri dan melaksanakan seluruh aspek implementatif.
Polisi berperan sebagai kekuatan implementatif yang dibutuhkan oleh
penguasa untuk menerapkan syariah, menjaga sistem dan melindungi
keamanan; termasuk melakukan kegiatan patroli. Meski dalam Islam, tidak ada
institusi kejaksaan. Namun, fungsinya menyatu dalam proses hukum di
pengadilan. Dengan demikian, tentu perselisihan antara lembaga penegak
hukum dapat dihindari, selain tentunya akan terjadi efisiensi.
Ini tentu akan sedikit berbeda jika dibandingkan dengan konsep negara
sekuler atau negara modern (nation state). Di Indonesia misalnya, kasus
korupsi, sebuah kasus kewenangan penyidikannya bisa ditangani oleh 3
lembaga: Polri, Kejaksaan dan KPK. Konsekuensi dari tumpang tindihnya
wewenang akan memunculkan dua ekses, yakni perselisihan atau sebaliknya,
‘perselingkuhan’ antarlembaga penegak hukum. Sebagai contoh ‘perselisihan’
jaksa dengan hakim biasanya dilakukan dengan cara jaksa secara sengaja
membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga dengan demikian
terdakwa divonis be bas oleh hakim. Namun, tentu ini implikasi negative yang
memiliki kelemahan tertentu, seperti tumpang tindihnya kekuasaan qadhi dan
BAB III
LEGALITAS KEPEMIMPINAN JAKSA AGUNG MENURUT HUKUM
TATA NEGARA
Ketika gelombang deras tuntutan serta harapan besar dari masyarakat
atas penegakan hukum yang adil yang berhembus sejak reformasi. Asa pun kian
membuncah ketika justru praktik hukum berbalik ke arah praktik hukum yang
masih tebang pilih. Belakangan citra institusi penegak hukum bahkan tercoreng
oleh ulah oknum penegak hukum yang bersekongkol dengan para mafia kasus.
Apatisme pun kian merebak di tengah potret hukum yang dapat dengan mudah
dipertontonkan oleh aparat penegak hukum.
Dari segudang masalah yang diemban, dan belum masksimalnya fungsi
penuntutan dan penegakan hukum itu, posisi kejaksaan agung semakin terjepit
oleh desakan banyak kalangan terkait legalitas masa jabatan Jaksa Agung
Hendarman Supandji yang ditiupkan oleh mantan Menteri Sekertaris Negara era
Kabinet Indonesia Bersatu jilid I, yang juga sedang tersangkut masalah hukum,
yakni Yusril Ihza Mahendra. Penetapannya sebagai tersangka kasus Sistem
Administrasi Badan Hukum menjadi pemicu. Pasalnya, mantan Mensesneg yang
juga ahli hukum tata negara itu merasa diadili dan ditetapkan sebagai tersangka
dengan bukti yang lebih, apalagi ini dinilainya sarat politik. Yusril pun meradang
seraya melawan kesewenangan. Akibatnya, posisi legalitas jaksa agung pun
Permohonan uji materi dari mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza
Mahendra terkait masa tugas Jaksa Agung juga akan berakibat fatal pada wibawa
pemerintahan maupun institusi Kejaksaan Agung. Terlebih setelah Mahkamah
Konstitusi memutuskan untuk memberhentikan karena tidak ada perpanjangan
dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus tersebut menjadi preseden buruk
bagi penegakan hukum. Artinya, bahwa hal itu cerminan dari keteledoran negara
dalam hal ini presiden dalam menegakkan sistem ketatanegaraan.
Konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 UU Kejaksaan
dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1
dan 28 D ayat (1) UUD 1945 yang diajukan Yusril Ihza mahendra. Adalah cermin
dari lemahnya sistem hukum dan ketatanegaraan kita. Terlebih, ini bukan sekadar
masalah administrasi hukum semata. Lebih dari itu juga terkait dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia.
Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan menyatakan Jaksa Agung diangkat dan
diberhentikan Presiden. Sementara Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan dijelaskan
bahwa Jaksa Agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena
meninggal dunia, mengundurkan diri, atas permintaan sendiri, sakit jasmani dan
rohani, serta berakhir masa jabatannya. Ketentuan itu tak membatasi masa jabatan
Jaksa Agung. 19
19
Yusril Ihza Mahendra, ”Kedudukan Kejaksaan dan posisi jaksa dalam sistem
Menurut Yusril Ihza Mahendra Jaksa Agung Hendarman Supandji, bila
bertolak pada argumen di atas adalah illegal. Dengan demikian seluruh keputusan
yang ia perbuat juga batal demi hukum.
Pakar Hukum Tata Negara yang juga pemikir Islam ini berpendapat bahwa
jabatan Jaksa Agung harus juga dikaitkan dengan periode jabatan kabinet. Jika
tidak, lanjutnya, jabatan yang disandang Hendarman seolah-olah tidak ada batasan
masa jabatannya. Hendarman bahkan bisa menjadi Jaksa Agung seumur hidup.
20
(Sumber: Berbagai sumber media cetak maupun online)
Dan setelah melalui uji materi yang panjang, akhirnya penantian publik
terjawab. Setelah Mahkamah Konstitusi atas putusannya yang mengabulkan
sebagian permohonan uji materi Pasal 22 Ayat 1 huruf D Undang Undang
Kejaksaan. Konsekuensinya, Hendarman Supandji wajib melepas jabatan Jaksa
Agung. Pasal 22 Ayat 1 huruf D dinilai tak memberi kepastian hukum dan harus
dilakukan legislative review.
A. Legalitas dan Kewenangan
Berdasarkan putusan MK, masa jabatan Jaksa Agung telah berakhir
bersamaan masa jabatan presiden satu periode, Oktober 2009. Sikap ‘berani’
Mahkamah Konstitusi ini sebenarnya banyak ditentang kalangan istana atau
pembantu presiden. Sebut saja misalnya, Mensesneg Sudi Silalahi menganggap
Jaksa Agung Hendarman tetap sah, karena tak ada kata tak sah dalam putusan
20
MK. Sudi bahkan menyatakan MK tak berhak memberhentikan jaksa agung,
karena wewenang penuh presiden. Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar dan
staf khusus Presiden bidang hukum Denny Indrayana, status Jaksa Agung
bukanlah anggota kabinet. Sehingga tidak perlu pengangkatan kembali oleh
presiden setiap pergantian kabinet. Denny berkilah bila jabatan Jaksa Agung
berbeda dari jabatan menteri. Sebab ia sama posisinya dengan Kapolri dan
Panglima TNI.
Namun, terlepas penulis mencoba menganalisis permasalahan ini dengan
mengutip pendapat ahli-ahli hukum. Permasalahan ini bermula ketika aktor
pemeran Laksamana Cheng Ho yang juga mantan Menteri Hukum dan HAM,
Yusril Ihza Mahendra ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek
Sistem Administrasi Badan Hukum Depkum HAM. Sebenarnya Yusril mau
mengungkap semua ‘borok’ kasus ini tapi beliau khawatir nanti, kasus ini akan
seperti kasus yang menimpa pada Susno Duaji, yang berakhir sampai penjara.
Orang sekaliber Yusril saja takut melaporkan atau mengungkap kasus
korupsi apalagi rakyat jelata yang tak mengenal hukum. Kasus ini jelas
membuktikan sistem ketatanegaraan kita yang masih menyisakan celah dan
lubang yang masih harus dibenahi, akibat praktik politik yang masih jauh dari
kemampuan pejabat menginterpretasikan amanat Undang-undang dasar 1945.
terutama terkait pasal di atas yang mengatur masa jabatan. Artinya segala
kewenangan dan tuga jaksa agung bila bertolak dari hukum yang ketat akan batal
dan kewenangan akan menjadi sangat rentan oleh praktik penyalahgunaan
kewenangan.
Tugas dan kewenangan Kejaksaan di atas secara institusional memang
telah diatur dalam undang-undang sebagaimana telah diurai sebelumnya, terkait
kedudukan dan fungsi Kejaksaan. Namun, jika legalitas pimpinannya bermasalah
akan menyisakan celah hukum, karena kewenangan untuk merekomendasikan
apakah sebuah kasus layak atau tidak disidangkan ada pada dipundak pimpinan
kejaksaan agung. Jadi, meski independensi lembaga kejaksaan secara normative
tertera dalam undang-undang tetap saja unsure legitimasi politik dan kekuasaan
tetap mengikat, sebab jaksa agung juga dipilih oleh presiden berdasarkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat RI,. Jadi kewenangannya juga sarat dengan
komitmen politik penguasa untuk menegakkan keadilan.
Disinilah terletak jurang antara tugas dan keweangan, dan dipihak lain
legalitas jabatan. Prinsipnya, sebagaimana diatur dalam kedudukan dan tugas,
serta fungsinya kejaksaan agung memang memiliki hak untuk menuntut dan
menetapkan sebuah kasus itu layak atau tidak untuk diadili. Namun, tak dapat
dipungkiri kalau intervensi kekuasaan tetap ada. Artinya, ketika legalitas
bermasalah putusan sebelumnya semestinya juga gugur, sebab posisinya yang
illegal sebagai pimpinan jaksa agung. Yusril Ihza Mahendra, misalnya menilai
putusan MK sebenarnya lebih sebagai jalan tengan yang bijak, dan tidak berlaku
surut. Namun, menurutnya bila merujuk ke asas legal strick putusan sebelumnya
secara otomatis gugur. Itu artinya, apa-apa yang telah diputuskan Hendarman saat
masalah gejolak social akan muncul jika itu diberlakukan. Berepa koruptor yang
akan menggugat serta kasus hukum lainnya yang harus disidangkan ulang, atau
setidaknya muncul tuntutan balik bagi mereka yang telah dirugikan oleh kebijakan
Hendarman Supandji.
B. Struktur dan Fungsi Legalitas Menurut Konstitusi
Sementara itu, sejatinya baik Kejaksaan, jaksa, Jaksa Agung. Ketiganya
terkait, tetapi memiliki pengertian berbeda. Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (Pasal 24
Ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 41 UU Kekuasaan Kehakiman 2004), tetapi
Kejaksaan bukan lembaga yudikatif dan jaksa bukan hakim. Kejaksaan yang
dipimpin oleh Jaksa Agung jelas berada di dalam ”rezim” kekuasaan kehakiman.21
Praktik ketatanegaraan di sini menunjukkan bahwa kontrol kekuasaan dan
keinginan kalangan Kejaksaan sering menempatkan Jaksa Agung sebagai menteri
atau setingkat menteri. Meski Jaksa Agung sering dimenterikan, Kejaksaan bukan
kementerian. Kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara tak serta-merta
menempatkannya sebagai anggota kabinet. Perekrutan dan pemberhentiannya tak
dapat disamakan dengan anggota kabinet.
Kedudukan Kejaksaan yang lain dari yang lain ini memungkinkan fungsi
Kejaksaan meluas dan menciut. Maka, fungsi pokok Kejaksaan selaku lembaga
21