• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Kontrak Kerjasama Bagi Hasil (Profit Sharing) Pt. Telkom Dengan Pelaku Usaha Warung Telekomunikasi (Suatu Penelitian Di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hukum Kontrak Kerjasama Bagi Hasil (Profit Sharing) Pt. Telkom Dengan Pelaku Usaha Warung Telekomunikasi (Suatu Penelitian Di Kota Medan)"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM KONTRAK KERJASAMA BAGI HASIL

(PROFIT SHARING) PT. TELKOM DENGAN PELAKU USAHA

WARUNG TELEKOMUNIKASI (SUATU PENELITIAN

DI KOTA MEDAN)

TESIS

Oleh

ALI AMRAN 067011110/MKn

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008

(2)

ANALISIS HUKUM KONTRAK KERJASAMA BAGI HASIL

(PROFIT SHARING) PT. TELKOM DENGAN PELAKU USAHA

WARUNG TELEKOMUNIKASI (SUATU PENELITIAN

DI KOTA MEDAN)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALI AMRAN 067011110/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM KONTRAK KERJASAMA BAGI HASIL (PROFIT SHARING) PT. TELKOM DENGAN PELAKU USAHA WARUNG TELEKOMUNIKASI (SUATU PENELITIAN DI KOTA MEDAN)

Nama Mahasiswa : Ali Amran Nomor Pokok : 067011110 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum) Ketua

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) Anggota

(Notaris/PPAT Syafnil Gani, S.H., M.Hum) Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal: 21 Agustus 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum. Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N.

(5)

ABSTRAK

Kerjasama bagi hasil antara PT. Telkom dengan pengusaha Warung Telekomunikasi (Wartel) dilakukan dengan cara kontrak kerjasama yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu oleh PT. Telkom dalam bentuk formulir, maka pihak calon pengelola Wartel hanya menandatangani kontrak itu jika menyetujuinya tanpa dapat mengubah isi dari kontrak. Dalam kontrak kerjasama bagi hasil terjadi monopoli dari pihak PT. Telkom yang menimbulkan gugatan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Oleh karena itu, menjadi permasalahan tentang kedudukan para pihak dalam kontrak kerjasama bagi hasil (profit sharing) yang dilakukan oleh PT. Telkom dengan Pengusaha Wartel di Kota Medan, kendala dalam pelaksanaan kontrak kerjasama bagi hasil (profit sharing) antara PT. Telkom dengan Pengusaha Wartel, dan upaya yang dilakukan oleh PT. Telkom dan Pengusaha Wartel dalam mengatasi kendala yang terjadi.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris yang didukung data primer dan data sekunder. Penarikan sampel secara purposive sampling sebanyak 5% dari populasi yaitu 119 penyelenggara warung telekomunikasi, sehingga jumlah sampel adalah 6 penyelenggara warung telekomunikasi di Kecamatan Medan Baru.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui pengelola warung telekomunikasi berkewajiban untuk menyediakan tempat penyelenggaraan telekomunikasi, sedangkan PT. Telkom berkewajiban untuk menjaga perawatan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi milik Telkom agar selalu berfungsi dengan baik di warung telekomunikasi. Pengelola warung telekomunikasi berhak untuk memperoleh persentase dari jasa penyelenggaraan telekomunikasi yang bervariasi menurut saluran yang digunakan oleh pelanggan. Secara umum kendala dalam kontrak kerjasama adalah adanya perilaku monopoli PT. Telkom yang menimbulkan gugatan dari KPPU. Walaupun sebenarnya gugatan ini demi kebebasan warung telekomunikasi, namun di sisi lain terjadi perubahan kebijakan-kebijakan (transisi) sangat menganggu kelancaran penyelenggaraan jasa telekomunikasi pada warung telekomunikasi. Selain itu kendala pada sarana dan prasarana yang dimiliki oleh warung telekomunikasi, yaitu tempat yang terlalu berdekatan antar pengelola yang satu dengan yang lain, kemudian juga pengelola warung telekomunikasi mempunyai wawasan yang kurang tentang bisnis atau rasa kepedulian terhadap warung telekomunikasi sangat kurang. Upaya PT. Telkom mengatasi kendala adalah menanggapi gugatan perilaku monopoli Telkom terhadap pengelola warung telekomunikasi secara positif dengan melakukan amandemen kontrak kerjasama yang telah berlangsung. Terhadap kekurangan sarana dan prasarana dalam pengelola warung telekomunikasi, diperbaiki sesuai dengan apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian, selain itu Telkom memberikan penyuluhan secara periodik tentang cara-cara berbisnis kepada pengelola warung telekomunikasi.

Disarankan kepada PT. Telkom, sebaiknya kontrak kerjasama yang telah dibuat oleh PT. Telkom dan telah ditandatangani oleh PT. Telkom dengan pelaku usaha Wartel juga dilegalisasi oleh Notaris.

(6)

ABSTRACT

Cooperation profit sharing between PT. Telkom with entrepreneur of telecommunications service (warung telekomunikasi) conducted by contract agreement which is its contents have been prepared beforehand by PT. Telkom in the form, hence candidate party organizer of telecommunication service only signing up that if agreeing it without can alter content of contract. Cooperation profit sharing in bond happened monopolies of party of PT. Telkom generating suing of Commission Emulation of Effort (KPPU). Therefore, becoming problems about domiciling profit sharing in bond the parties conducted by PT. Telkom with entrepreneur of telecommunications service in Medan City, constraint in execution of profit sharing contract between PT. Telkom with entrepreneur of telecommunications service, and effort conducted by PT. Telkom and entrepreneur of telecommunications service in overcoming constraint that happened.

This research have the character of descriptively which is through approach of juridical empirical which supported by primary data and secondary data. Withdrawal of sample by purposive sampling counted 5% from population that is 119 organizer of telecommunications service, so that the amount of sample is 6 organizer of telecommunications service in Medan Baru District.

Pursuant to result of research known by organizer of telecommunications service is obliged to provide place management of telecommunications, while PT. Telkom is obliged to take care of treatment or conservancy of telecommunications network property of Telkom to be always function better in telecommunications service. Organizer of telecommunications service is entitled to get percentage of service management of telecommunications which vary according to channel used by customer. In general cooperation in bond constraint is the existence of monopolistic behavior of PT. Telkom generating suing of KPPU. Although in fact this suing for the shake of freedom of telecommunications service, but on the other side happened change of that policy, as a result fluency management of telecommunications service at organizer of telecommunications service annoyed.. Besides constraint at facilities and basic facilities had by organizer of telecommunications service, that is too nearby place between organizer which is one with is other, later also organizer of telecommunications service have less knowledge about business or feel caring to telecommunications booth very less. Effort of PT. Telkom overcome constraint is to answer to behavioral suing of monopolies of Telkom to organizer of telecommunications booth positively by conducting ot amendment contract which have taken place. To lacking of facilities and basic facilities in organizer of telecommunications booth, improve as according to what becoming the parties rights and obligations in agreement, besides Telkom give counseling periodical about way of have business to organizer of telecommunications service. Is suggested to PT. Telkom, better contract cooperation which have been made by PT. Telkom and have been signed by PT. Telkom with perpetrator of is effort telecommunication service (warung telekomunikasi) also legalize by Notary.

(7)

KATA PENGANTAR

Pertama dan terutama, dengan segala kerendahan hati dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan anugrah-Nya yang telah menambah keyakinan dan kekuatan bagi penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Analisis Hukum Kontrak Kerjasama Bagi Hasil (Profit Sharing) PT. Telkom Dengan Pelaku Usaha Warung Telekomunikasi (Suatu Penelitian Di Kota Medan).”

Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, secara khusus disampaikan ucapan terima kasih kepada para Komisi Pembimbing yang terhormat Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N., dan Bapak Notaris/PPAT Syafnil

Gani, S.H., M.Hum. atas kesediaannya memberikan bimbingan dan arahan untuk

kesempurnaan tesis ini.

Demikian juga kepada para dosen Penguji Luar Komisi Pembimbing, yang terhormat Bapak Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., dan Bapak Notaris Syahril

Sofyan, S.H., M.Kn., yang telah berkenan memberi masukan, petunjuk dan arahan

(8)

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Chairudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Kepada Ibu Hj. Fatimah, Sari, Lisa, Afni, Aldi, Rizal dan seluruh pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

(9)

Teristimewa diucapkan dengan tulus hati terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu mengasihi, Abah H. Datuk Maraja Isa dan Ibunda Hj. Yuliana yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis.

Terima kasih kepada isteri tercinta Hj. Dra. Miswinta dan anakku tersayang

Yola Perdana Alida yang menjadi motivasi penulis dalam studi sampai dengan

penyelesaian tesis ini. Juga kepada orang tua mertua Ayahanda H. Oemar Sutan

Pahlawan, dan Ibunda Hj. Yusna Yusuf yang menjadi motivasi dalam penyelesaian

tesis ini.

Demikian juga ucapan terima kasih kepada kakak Syafrizal, Yulis Maniar,

Murialis, dan kakak ipar H. Riswandi, S.E., H. Insafri Umar, S.E., Hj. Yusvestia,

Iin Akbaril Umar, saudara H. Sofian Sory (Ucok).

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan serta do’anya kepada penulis selama mengikuti studi dan penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2008 Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Ali Amran

Tempat/ Tgl. Lahir : Bonjol, 7 Maret 1966. Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Sudah Menikah

Agama : Islam

Alamat : Komp. Ciceri Permai Jln. Pajajaran 1 Blok C4 No.13 Kota Serang Banten.

II. Orang Tua

Nama Ayah : H. Datuk Maraja Isa Nama Ibu : Hj. Yuliana

III. Pendidikan

1. SD Negeri Kumpulan Tamat Tahun 1980 2. SMP Negeri 1 Padang 1983

3. SMA Negeri 2 Padang Tamat Tahun 1986

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang Tamat Tahun 1992 5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana

USU Medan Tahun 2006 s/d Tahun 2008.

Medan, Agusts 2008 Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II. KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA BAGI HASIL (PROFIT SHARING) YANG DILAKUKAN OLEH PT. TELKOM DENGAN PENGUSAHA WARUNG TELEKOMUNIKASI DI KOTA MEDAN... 27

A. Perjanjian Pada Umumnya ... 27

1. Pengertian perjanjian ... 27

2. Syarat sahnya Perjanjian ... 29

3. Asas-asas perjanjian ... 36

(12)

5. Hapusnya suatu perjanjian ... 45

B. Ketentuan tentang Perjanjian Baku ... 52

C. Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Bagi Hasil (Profit Sharing) Yang Dilakukan oleh PT. Telkom dengan Pengelola Warung Telekomunikasi ... 59

1. Gambaran Umum PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. . 59

2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Kerjasama Bagi Hasil antara PT. Telkom dengan Pengelola Warung Telekomunikasi ... 64

BAB III. KENDALA DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA BAGI HASIL (PROFIT SHARING) ANTARA PT. TELKOM DENGAN PENGUSAHA WARUNG TELEKOMUNIKASI DI KOTA MEDAN ... 72

A. Praktek Monopoli Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi .. 72

B. Kerjasama dalam Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi .... 81

C. Kendala Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Bagi Hasil (Profit Sharing) Antara PT. Telkom Dengan Pengusaha Warung Telekomunikasi di Kota Medan... 91

BAB IV. UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PT. TELKOM DAN PENGUSAHA WARUNG TELEKOMUNIKASI DALAM MENGATASI KENDALA YANG TERJADI ... 108

A. Etika Bisnis PT. Telkom ... 108

(13)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti yang penting dan strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar perputaran roda perekonomian nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, mendukung tercapainya tujuan pembangunan, serta memperkuat hubungan antar bangsa.1

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi (sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi di tanah air terbukti telah dapat berperan sebagai salah satu sektor penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan dalam kerangka wawasan nusantara, serta memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa.

Telekomunikasi selama ini merupakan pelayanan yang eksklusif oleh pemerintah melalui BUMN PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (PT. Telkom) dan PT. Indosat. Dikatakan eksklusif karena pada dasarnya kedua BUMN tersebut

1

(14)

memegang monopoli dalam penyelenggaraan pembangunan sampai pengoperasian sarana telekomunikasi.

Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Sejalan dengan itu, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, menentukan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Di Indonesia telekomunikasi termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad hidup orang banyak. Merujuk pada ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak, dikuasai oleh negara, maka telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989).

(15)

departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Kemudian, dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989. Dengan dikeluarkannya undang-undang ini telah mencabut monopoli badan penyelenggara telekomunikasi sekaligus membuka peluang penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi oleh swasta.

(16)

telekomunikasi. Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global. Asas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengoperasiannya. Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.2

Salah satu bidang dalam telekomunikasi yang pertumbuhannya paling pesat adalah wartel (warung telekomunikasi), karena bidang usaha tersebut dikembangkan secara terus menerus oleh masyarakat. Bidang usaha tersebut merupakan usaha yang menjual produk telekomunikasi, dalam hal ini melakukan kontrak bekerjasama bagi hasil dengan PT. Telkom.

Kerjasama PT. Telkom dengan pengusaha Warung Telkom dilakukan dengan cara bagi hasil (profit sharing)3 yang dibuat dalam suatu perjanjian atau kontrak kerjasama bagi hasil yang mengatur hak dan kewajiban para pihak.

2

Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi 3

(17)

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang mengatakan “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”.

Mariam Darus Badrulzaman, dkk. menyatakan:

Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.4

Demikian juga menurut Abdur Kadir Muhammad, pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan-kelemahan yang perlu dikoreksi, antara lain sebagai berikut:

1. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “Mengikatkan diri” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah: “Saling mengikatkan diri”, jadi ada consensus antara dua pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah “persetujuan”

4

(18)

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan tersebut, maka perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan”5

Dalam definisi ini jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak untuk melaksanakan sesuatu hal, mengenai harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Bukan perjanjian dalam hal perkawinan misalnya, karena perkawinan bersifat kepribadian, jadi tidak dapat dinilai dengan uang.

Apabila dirinci, maka perjanjian itu mengandung unsur-unsur:6 1. Ada para pihak, sedikit-dikitnya dua orang (subjek)

2. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu (konsensus) 3. Ada objek yang berupa benda

5

Ibid., hal. 225. 6

(19)

4. Ada tujuan yang bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan) 5. Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan.

Dengan demikian, setelah menganalisis beberapa hal dalam beberapa pasal di Buku III KUHPerdata, mengenai hukum perikatan, maka dapat dikatakan bahwa perikatan itu sama dengan perjanjian, karena dalam perjanjian itu merupakan suatu perbuatan hukum antara beberapa pihak, sedikitnya dua orang yang menyatakan dalam kesepakatan untuk melakukan dan memenuhi sesuatu prestasi.

Kontrak kerjasama bagi hasil PT. Telkom dengan pengelola wartel dibuat secara tertulis, didasarkan pada peraturan standar dan isinya telah dituangkan dalam bentuk formulir. Formulir sudah disediakan oleh PT Telkom dan pihak swasta sebagai calon penyelenggara wartel tinggal menandatangani saja. Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut berarti telah terjadi hubungan hukum antara PT. Telkom dengan pihak pengelola wartel. Perjanjian yang dilakukan dengan formulir yang sudah dipersiapkan satu pihak saja dikenal dengan perjanjian baku.

Perjanjian baku yaitu perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.7

Walaupun secara teoretis yuridis perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan ke arah yang berlawanan dengan

7

(20)

keinginan hukum. Berkaitan dengan hal ini, Stein mengatakan bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.8

Dalam kontrak kerjasama bagi hasil antara PT. Telkom dengan pengelola wartel tersebut telah ditentukan berbagai hak dan kewajiban para pihak, tetapi kontrak kerjasama bagi hasil itu dibuat secara sepihak oleh PT. Telkom, yang tentunya akan berkonsekuensi logis lebih melindungi kepentingan-kepentingan pihak PT. Telkom.

Monopoli pihak PT. Telkom masih terjadi dalam pengembangan usahanya dalam bentuk outlet-outlet “warung telkom”9 yang hanya boleh menjual produk PT. Telkom, yang akhirnya mendapat tuntutan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Mahkamah Agung akhirnya menguatkan tuntutan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), untuk segera PT Telkom membatalkan perjanjian dengan warung telekomunikasi (wartel) yang mensyaratkan wartel hanya boleh menjual produk Telkom. Dengan keputusan tersebut, wartel bisa menjual produk milik operator telekomunikasi lain seperti Sambungan Langsung Internasional (SLI) 001

8

Ibid, hal. 15. 9

(21)

dan 008.10 Keputusan kasasi Mahkamah Agung itu tercantum dalam nomor MA 01 K/KPPU/2005 yang diputuskan pada tanggal 15 Januari 2007. Dengan kekuatan hukum ini maka PT. Telkom diwajibkan membuka akses SLI atau jasa telekomunikasi lain selain produk PT. Telkom di wartel, dan PT. Telkom diperintahkan untuk menghentikan kegiatan praktek monopoli.11

Dengan terungkapnya kasus monopoli yang dilakukan PT. Telkom yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung itu, maka PT. Telkom melakukan amandemen terhadap perjanjian kerjasama antara PT. Telkom dengan pengelola warung telkom/ wartel, dan PT. Telkom bersedia untuk membuka akses jasa Sambungan Langsung Internasional (SLI) lain selain produk PT Telkom pada sebanyak 130.000 buah warung telkom atau wartel (warung telekomunikasi) di seluruh Indonesia.

Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung tentang penghapusan monopoli PT. Telkom itu, dilaksanakan dengan cara melakukan perubahan (amandemen) terhadap perjanjian kerjasama antara PT Telkom dengan pengelola warung telkom, dan juga penyelenggaraan kemitraan warung telekomunikasi antara PT Telkom dengan penyelenggara wartel dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung Mei 2007.12

Dari uraian di atas, dapat diperoleh pemahaman, bahwa kerjasama bagi hasil antara PT. Telkom dengan pengusaha wartel dilakukan dengan cara kontrak

10

PT. Telkom disebut melanggar UU No.5 Tahun 1999 tentang persaingan usaha dengan menutup layanan kode akses SLI 001 dan 008 milik PT Indosat Tbk di beberapa wartel, dan sebagai gantinya disediakan kode akses 017.

11

Arin Widiyanti, http://www.detiknet.com/MA Patahkan Monopoli SLI Telkom di Wartel.html, diakses tanggal 14 April 2007, hal. 1.

12

(22)

kerjasama bagi hasil yang isi dari kontrak itu sudah disiapkan terlebih dahulu oleh PT. Telkom dalam bentuk formulir, dan pihak calon pengelola wartel hanya menandatangani kontrak itu jika menyetujuinya tanpa dapat mengubah isi dari kontrak tersebut. Kerjasama bagi hasil PT. Telkom dengan wartel, dalam prakteknya terjadi monopoli dari PT. Telkom yang menimbulkan gugatan-gugatan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap PT. Telkom.

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka perlu dilakukan pengkajian tentang analisis hukum kontrak kerjasama bagi hasil (profit sharing) PT. Telkom dengan pelaku usaha Wartel (Suatu Penelitian di Kota Medan).

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah kedudukan para pihak dalam kontrak kerjasama bagi hasil (profit sharing) yang dilakukan oleh PT. Telkom dengan Pengusaha Wartel di Kota

Medan?

2. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kontrak kerjasama bagi hasil (profit sharing) antara PT. Telkom dengan Pengusaha Wartel di Kota Medan? 3. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh PT. Telkom dan Pengusaha Wartel

(23)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang menjadi pokok tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan para pihak dalam kontrak kerjasama bagi hasil (profit sharing) yang dilakukan oleh PT. Telkom dengan Pengusaha Wartel di Kota Medan.

2. Untuk mengetahui yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kontrak kerjasama bagi hasil (profit sharing) antara PT. Telkom dengan Pengusaha Wartel di Kota Medan.

3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh PT. Telkom dan Pengusaha Wartel dalam mengatasi kendala yang terjadi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Mengacu pada latar belakang dan permasalahan di atas, maka penelitian ini dapat bermanfaat antara lain:

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi akademis maupun sebagai bahan pertimbangan hukum bagi para pihak yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan.

(24)

2. Secara Praktis

a. Memberikan masukan kepada PT. Telkom dan masyarakat luas serta instansi terkait lainnya dengan memberikan suatu konstribusi dalam pembuatan kontrak perjanjian kerjasama dalam pembangunan bidang telekomunikasi serta untuk meningkatkan kerjasama antara pengusaha besar dan pengusaha kecil khususnya dalam penyediaan jasa telekomunikasi.

b. Mencari solusi untuk mengatasi permasalahan dan meminimalisasi persoalan bilamana timbul dalam pelaksanaan kerjasama tersebut.

E. Keaslian Penelitian

(25)

materi maupun permasalahan yang diteliti dengan penelitian ini. Oleh sebab itu, penelitian ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis15

Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUHPerdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan:

13

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. lihat M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

14

Ibid, hal. 16. 15

(26)

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.16

Selain menggunakan teori positvisme hukum dari Jhon Austin dalam menganalisis tesis ini, juga cenderung digunakan teori sistem yang dikemukakan Mariam Darus Badrulzaman, bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.17 Hal yang sama juga dikemukakan Sunaryati Hartono, bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.18 Jadi, dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.

Dengan demikian, pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.19 Oleh sebab itu, pemahaman akan asas hukum tersebut sangatlah penting dalam

16

Lihat Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55.

17

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hal. 15. Bandingkan, Mahadi, Falsafat Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal. 119, menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.

18

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hal. 56.

19

(27)

menganalisis kontrak kerjasama bagi hasil PT. Telkom dengan pengelola wartel. Dengan teori sistem hukum tersebut maka analisa masalah yang diajukan adalah lebih berfokus pada sistem hukum positif khususnya mengenai substantif hukum, yakni dalam ketentuan peraturan peraturan-perundangan tentang kontrak kerjasama bagi hasil tersebut.

Istilah kontrak dalam terminologi sehari-hari nampaknya sangat populer, istilah-istilah seperti kontrak sewa menyewa, kontrak jual beli, kontrak kerja, hampir tidak perlu klarifikasi bagi kaum awan dan seringkali bertolak dari pandangan bahwa yang dimaksud dengan kontrak sebuah dokumen tertulis.20 Kontrak adalah kata bahasa Belanda yang berasal dari kata Latin “Contractus”, dari bahasa Latin dijabarkan menjadi “Contract” (Perancis), “Contract” (Inggris) dan “Kontrakt” (Jerman). 21

Kontrak yang berasal dari bahasa Inggris “contract”, adalah :

Agreement between two or more persons which treaties an obligation to do or not to do a particular thing. Its essentials are competent parties, subject matters, a legal consideration, mutuality of agreement, and mutuality of obligation .... the writing which contains the agreement of parties, with the terms and conditions, and which serves as a proof the obligations. 22

Jadi, kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) di antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan (hak) dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus.

20

Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, Common Law, dan Praktek Dagang Internasional), Mandar Maju, Bandung, Cetakan I, 2003, hal. 65.

21

Ibid. hal. 65. 22

(28)

Suatu kontrak dari definisi di atas “memiliki unsur-unsur, yaitu “pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik.”23

Menurut Munir Fuady, “banyak definisi tentang kontrak telah diberikan, dan masing-masing bergantung kepada bagian-bagian mana dari kontrak tersebut yang dianggap sangat penting dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi tersebut.”24

Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah ada, dan bukan merupakan istilah asing. Misalnya dalam hukum kita sudah lama dikenal istilah “kebebasan berkontrak” bukan kebebasan “berperjanjian”, “berperhutangan”, atau “berperikatan”.25

Pembuat KUH Perdata menyamakan istilah “kontrak dengan perjanjian, dan bahkan juga dengan persetujuan.”26 Menurut Salim HS, definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian tidak tampak asas konsensualisme dan bersifat dualisme.27

Ketidakjelasan definisi di atas disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukumpun disebut dengan perjanjian.

23

Ibid, hal. 36. 24

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya, Bandung, 1999, hal. 4.

(29)

Dengan adanya berbagai kelemahan dari definisi di atas, menurut Salim H.S., hukum kontrak adalah “keseluruhan dari kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.28 Lebih lanjut dikemukakan Salim H.S., ada satu hal kurang yaitu: bahwa para pihak dalam kontrak semata-mata hanya orang perorangan, akan tetapi dalam prakteknya, bukan hanya orang per orang yang membuat kontrak, termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum.29

Demikian halnya dengan kontrak kerjasama bagi hasil antara PT. Telkom dengan Pengelola Wartel, di mana PT. Telkom merupakan badan hukum dan Pengelola Warung Telekomunikasi dapat berupa badan hukum atau perorangan, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan penyelenggaraan jaringan Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu : Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan usaha swasta; atau Koperasi.. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh perseorangan, instansi pemerintah, badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.30

28

Ibid., hal. 15. 29

Salim H.S., op. cit., hal. 16. 30

(30)

Warung Telekomunikasi merupakan tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan jasa telekomunikasi yang dikelola oleh Badan Usaha, Koperasi atau perorangan bekerjasama dengan TELKOM dalam melakukan akses SLJJ, SLI maupun selular. Warung Telekomunikasi dibagi menjadi dua kategori:31

1. Wartel Type A

Wartel yang pengelolaannya dilakukan oleh Badan Usaha atau Koperasi yang bekerjasama dengan TELKOM, dengan fasilitas lebih dari dua saluran pelayanan telekomunikasi. Layanan wartel tipe ini meliputi telepon lokal, SLJJ, SLI, Faksimili dan Telegram

2. Wartel Type B

Wartel yang pengelolaannya dilakukan oleh perorangan bekerjasama dengan TELKOM, dengan fasilitas sebanyak-banyaknya dua saluran pelayanan telekomunikasi. Layanan wartel tipe ini meliputi telepon lokal, SLJJ dan SLI Kontrak kerjasama bagi hasil PT. Telkom dengan pengelola wartel dibuat secara tertulis, yang isinya telah dituangkan dalam bentuk formulir yang sudah lazim dipergunakan. Formulir tersebut sudah disediakan oleh PT. Telkom dan pihak swasta sebagai calon penyelenggara wartel tinggal menandatangani saja. Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut berarti telah terjadi hubungan hukum antara PT. Telkom dengan pihak swasta. Dengan demikian, masing-masing pihak telah mengikatkan diri di dalamnya. Kontrak ini merupakan kontrak baku.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, kontrak baku adalah “Kontrak yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir”.32 Sosok atau karakter dari kontrak baku apabila dilihat dari sudut perbuatan, kontrak baku yang dibuat tidak

31

”Warung Telkom” dalam http://www.telkom.co.id, di akses tanggal 14 Mei 2008 32

(31)

terkandung unsur kesepakatan para pihak atau asas konsensual, yang merupakan asas yang ensesial dalam hukum kontrak, tidak tercermin di dalamnya.33

Dasar berlakunya kontrak standar menurut Stein,adalah “de fictie van will of vertrouwen” atau kebebasan kehendak yang palsu, maksudnya ketidakbebasan yang

sungguh ada pada pihak-pihak.34 Sedangkan apabila dilihat dari sifat masal dan kolektif, karena dalam praktek formulir kontrak baku dicetak dalam jumlah banyak, maka Vera Bolger menamakannya sebagai “take it or leave it contract”.35 Dengan kata lain jika setuju tandatangani kontrak, tanpa dapat menentukan isi kontrak tersebut.

Mencermati pengertian kontrak baku di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa isi dalam kontrak baku tidak mencerminkan adanya asas konsesual, karena isinya telah ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang satu, sehingga ajaran kesepakatan kehendak sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUH Perdata tidak bisa ditetapkan oleh pihak lawan. Dalam konteks ini, apabila pihak wartel bersedia menandatangani kontrak yang dibuat oleh PT. Telkom tersebut, maka pihak wartel telah menerima isinya, walaupun sebenarnya kebebasan mengemukakan kehendak untuk ikut menentukan isi kontrak dibatasi oleh persyaratan yang telah disusun sebelumnya oleh PT. Telkom dalam formulir kontrak tersebut.

Walaupun secara teoretis yuridis kontrak baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalan ke arah yang berlawanan dengan keinginan

33

Mariam Darus Badrulzaman., Aneka Hukum Bisnis Op Cit, hal. 33. 34

Ibid, hal. 33. 35

(32)

hukum. Berkaitan dengan hal ini, Stein mengatakan bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.36

Asser Rutten dalam Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa “orang membutuhkan tanda tangan pada suatu formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya”.37 Selanjutnya Hondius

mengatakan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.38

Jadi, adanya kemauan untuk saling mengikatkan diri dalam suatu kontrak, membangkitkan kepercayaan bahwa kontrak itu dipenuhi. Namun, harus diingat bahwa asas kepercayaan ini merupakan “nilai etis yang bersumber pada moral. Manusia terhormat akan memelihara janjinya. Para pihak di dalam suatu kontrak saling percaya bahwa di belakang hari masing-masing akan memenuhi perikatan tersebut. Asas ini memberikan arah terhadap pihak sehingga mereka itu mengikatkan dirinya”.39

36

Asser Rutten dalam Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis…, op. cit, hal. 15. 37

Ibid., hal. 15. 38

Hondius dalam Mariam Darus Badrulzaman, Ibid., hal. 15. 39

(33)

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.40 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.41 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: a. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik

daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara.42

b. PT. Telkom atau PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bidang perusahaan informasi dan komunikasi serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi.

c. Wartel atau warung telekomunikasi adalah tempat yang disediakan untuk pelayanan jasa telekomunikasi secara terbatas baik bersifat sementara maupun bersifat tetap43 yang dikelola oleh pihak swasta.

40

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.

41

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: PPs-USU, 2002, hal 35

42

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. 43

(34)

d. Kontrak kerjasama bagi hasil merupakan perjanjian kerjasama bagi hasil PT. Telkom dengan pengelola wartel dibuat secara tertulis, didasarkan pada peraturan standar dan isinya telah dituangkan dalam bentuk formulir yang ditandatangani para pihak, dan masing-masing pihak telah mengikatkan diri di dalamnya.

e. Profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. 44

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang pelaksanaan kontrak kerjasama bagi hasil (profit sharing) antara PT. Telkom dengan wartel (suatu penelitian di Kota Medan)

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris yang didukung dengan data primer dan data sekunder. Pendekaan yuridis empiris yaitu melihat secara langsung pelaksanaan perjanjian kerjasama bagi hasil (profit sharing) antara PT. Telkom dengan Pengelola Warung Telekomunikasi.

44

(35)

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Medan Baru di Kota Medan, dengan dasar pertimbangan Kota Medan merupakan daerah ibukota Provinsi Sumatera Utara, dimana peluang bisnis wartel sangat banyak berdiri.

3. Populasi dan Sampel

Wilayah populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wartel di Kota Medan dari tahun 2006 s/d 2007, yaitu jumlah wartel di area Kandatel Medan adalah sebanyak 2.206 wartel di tahun 2006 dan sebanyak 2.140 wartel di tahun 2007, dengan populasi sasaran di Kecamatan Medan Baru yang diketahui sangat banyak pengelola warung telekomunikasi yaitu sebanyak 123 wartel di tahun 2006 dan sebanyak 119 wartel di tahun 2007.

Dari populasi tersebut kemudian dipilih menjadi unit sampel penelitian dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pemilihan penggunaan teknik tersebut didasarkan kepada pertimbangan bahwa sampel yang akan diteliti memiliki karakteristik yang relatif sama untuk dipilih menjadi sampel responden. Bentuk sampling tersebut biasa diterapkan dalam penelitian hukum empiris yang bertujuan

untuk mengetahui efektivitas hukum dalam masyarakat. Di samping alasan tersebut, purposive sampling dipilih agar benar-benar dapat menjamin, bahwa responden

adalah unsur-unsur yang hendak diteliti dan yakin masuk dalam sampel yang dipilih.45 Sehingga dalam penelitian ini penarikan sampel secara purposive sampling

45

(36)

ditentukan sebanyak 5% dari jumlah populasi yaitu sebanyak 119 responden penyelenggara warung telekomunikasi, maka jumlah sampel adalah sebanyak 6 (enam) usaha penyelenggara warung telekomunikasi di Kecamatan Medan Baru.46

Penarikan sampel ini didasari pada Keputusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor: 01 K/KPPU/2005 yang diputuskan tanggal 15 Januari 2007, tentang penghapusan monopoli PT. Telkom, dan mengintruksikan untuk dilakukan perubahan (amandemen) terhadap perjanjian kerjasama penyelenggaraan kemitraan warung telekomunikasi antara PT Telkom dengan penyelenggara wartel dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak Mei 2007.

Dengan demikian, sampel yang dipilih tersebut adalah usaha wartel yang kontrak kerjasama bagi hasilnya telah dilakukan sebelum diputuskannya kasasi Mahkamah Agung tersebut. Sehingga diharapkan akan terlihat keadaan kontrak kerjasama bagi hasil sebelum dan sesudah dilakukan perubahan oleh PT. Telkom.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah mempergunakan penelitian lapangan dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama bagi hasil antara PT. Telkom dengan pengelola Warung Telekomunikasi dan menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian.

46

(37)

Sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa:

a. Data sekunder, yaitu:

1) Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, Peraturan Pemerintah Nomor 19/Dirjen/1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi, dan Buku III KUHPerdata.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, seperti buku-buku di bidang perdata khususnya hukum kontrak dan kontrak bagi hasil (profit sharing) 3) Bahan hukum tertier, yaitu dokumen yang terkait dengan kontrak

kerjasama bagi hasil (profit sharing) PT. Telkom dengan wartel. b. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan dengan

melakukan wawancara kepada:

1) Kepala Kantor PT. Telkom Kota Medan.

2) Pengelola usaha Wartel sebanyak 3 (tiga) orang.di Kota Medan.

(38)

Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran hasilnya, maka dalam hal ini digunakan alat penggumpulan data, yaitu:

a. Studi dokumentasi, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan kontrak kerjasama bagi hasil.

b. Studi lapangan dengan menggunakan Pedoman Wawancara. Pedoman wawancara berupa pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang diperlukan.

6. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan informan hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan

diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang

sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran

(39)

kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah

dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan

diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan

dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah

merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga

diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian

(40)

BAB II

KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA BAGI HASIL (PROFIT SHARING) YANG DILAKUKAN OLEH PT. TELKOM DENGAN PENGUSAHA WARUNG TELEKOMUNIKASI DI KOTA MEDAN

A. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian

Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan

juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.

Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.47 Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).

Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan

47

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97.

(41)

yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion doctorum) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, ”perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum”.48

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.49 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.50 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau leih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.51

Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dari dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.

Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH Perdata, ternyata mendapat kritik dari para sarjana hukum karena masih mengandung

48

Ibid., hal. 97-98 49

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36. 50

R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 49. 51

(42)

kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian; c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:

a. Kata sepakat

(43)

dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya ”sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.52

J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.53

Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau

52

Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4. 53

(44)

penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Sobekti,54 yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.

b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.

54

(45)

Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:

1) Orang yang belum dewasa

2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan

3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa ”belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin”. Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.55 Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata.

55

(46)

Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345, bunyinya sebagai berikut:

Pasal 433:

Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

Pasal 345:

Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.

Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertenu, diatur pula dalam Pasal 108 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yan bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dan suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(47)

seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.

c. Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suat hal tertenu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendoron orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,56 sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian.

56

(48)

Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.

(49)

3. Asas-Asas Perjanjian

Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkret tersebut.

Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undan-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

a. Asas kebebasan berkontrak

(50)

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:57

a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamn kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.58

b. Asas konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tegas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan dalam istilah ”semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.59

57

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 4.

58

Ibid., hal. 4. 59

(51)

Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil.

Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertenu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

(52)

Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal: (1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang; (2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur.

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).60

Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

60

(53)

e. Asas kepribadian

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.

Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

4. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian-perjanjian itu:

1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.

2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.61

61

(54)

Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang b. Perikatan untuk berbuat sesuatu

c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

Lebih lanjut penjelasan dari perikatan di atas, adalah sebagai berikut: a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. Sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.

Gambar

Tabel 1. Biaya Penggunaan SLJJ di bawah 30 KM per pulsa melalui Wartel untuk hari
Tabel 3. Biaya Penggunaan SLJJ di atas 30 KM per pulsa melalui Wartel untuk hari

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini membandingkan efektivitas ektrak berdasarkan kepolaran pelarut dengan melakukan uji aktivitas antibakteri

A5 = Membuat kebijakan pengelolaan perikanan yang disesuaikan dengan nilai budaya masyarakat A6 = Mengembangkan kebijakan terkait rencana pengelolaan SD perikanan secara lebih

PEMBUATAN DAN PIINGUJLAT TURXM SCREW.. ( ARCIIIMEDIAN TIJBINE) TIPE

Penelitian ini menggunakan model Delone and Mclean dalam menganalisis kesuksesan sistem informasi E-KKN LP2M UIN Raden Fatah Palembang dengan melihat pengaruh antar

dalam hidup yang di contohkan oleh Allah melalui Rasulullah Muhammad tentang hijrah banyak pengetahuan yang dapat saya pelajari sebagai makna hidup yang menjadi refleksi

kebutuhan guru terhadap mutu layanan pembelajaran siswa Sekolah Dasar (SD). Se-

Banyak pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang cerita Shiro pada para pembacanya, namun berdasarkan hasil penelitian dari penulis, penulis. mengambil kesimpulan

Ketika siswa mengikuti pembelajaran keterampilan menyimak, banyak siswa yang mengantuk dan tidak merespon pembelajaran karena bahan simakan yang membosankan,