• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Fenilbutazon Dalam Sediaan Obat Tradisional Bentuk Kapsul Secara Kromatografi Lapis Tipis Dan Spektrofotometri UV-Visible

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Identifikasi Fenilbutazon Dalam Sediaan Obat Tradisional Bentuk Kapsul Secara Kromatografi Lapis Tipis Dan Spektrofotometri UV-Visible"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI FENILBUTAZON DALAM SEDIAAN OBAT TRADISIONAL BENTUK KAPSUL SECARA KROMATOGRAFI LAPIS

TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI UV-VISIBLE

TUGAS AKHIR OLEH :

AYU SARI ANASTASIA NIM : 082410026

PROGRAM DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

IDENTIFIKASI FENILBUTAZON DALAM SEDIAAN OBAT TRADISIONAL BENTUK KAPSUL SECARA KROMATOGRAFI LAPIS

TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI UV

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Oleh:

AYU SARI ANASTASIA NIM 082410026

Medan, Maret 2011 Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing,

Dra. Fat Aminah, M.Sc.,Apt NIP 195011171980022001

Disahkan Oleh: Dekan,

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah : “ IDENTIFIKASI FENILBUTAZON DALAM SEDIAAN OBAT TRADISIONAL BENTUK

KAPSUL SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN

SPEKTROFOTOMETRI UV-VISIBLE ” yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan tugas akhir ini penulis telah banyak mendapat bimbingan, bantuan dan dukungan baik moril maupun spiritual dari berbagai pihak, terutama dari keluarga Ayahanda Alm. Ir. Sorinaik Batubara, MT, Ibunda Hj. Dra. Wieke Widyati serta Kakak dari penulis Sinta Ayunda, yang telah banyak memberikan semangat, motivasi serta do’a hingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.

Dan tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra.,Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

(4)

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc.,Apt. Selaku koordinator Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU. 4. Ibu Zakiah Kurniati, S.Farm.,Apt. Selaku Koordinator Pembimbing PKL

di Balai Besar POM Medan.

5. Ibu Dra. Saodah, M.Sc.,Apt. Selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak membantu penulis.

6. Bapak dan Ibu beserta seluruh staff di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan Praktek Kerja Lapangan.

7. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staff program studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultasa Farmasi Universitas Sumatera Utara.

8. Sahabat-sahabat penulis Ngesti Rahayu, Alviera Yuliandra, Siti Aisyah, Siti Ayu, Taya Rizki dan Ahmad Bakrie yang memberikan semangat pada penulis agar cepat menyelesaikan tugas akhir ini.

9. Seluruh sahabat dari Analis Farmasi dan Makanan angkatan 2008 Vina Budi Andriyani, Zuanri Faradiba, Rosy Ershendy, Muhammad Fardiansyah, Gusti Tri Mustika Ratih, Zulfalia Nuzula dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi arti keberadaan mereka.

(5)

Anna Fajar Hasanah dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritiknya yang bersifat membangun. Penulis juga berharap tugas akhir ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Akhir kata semoga Allah SWT melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, Maret 2011 Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Obat Tradisional ... 4

2.2. Kapsul ... 4

2.2.1. Persyaratan Kapsul ... 5

2.2.2. Jenis-jenis Kapsul ... 6

2.2.2.1. Kapsul Gelatin Keras ... 6

2.2.2.2. Kapsul Gelatin Lunak ... 7

2.2.3. Pengawasan dan Pengemasan Kapsul ... 7

2.3. Penyakit Asam Urat ... 8

2.3.1. Fisiologi Asam Urat ... 8

2.3.2. Penyebab Asam Urat ... 8

(7)

2.3.4. Pengobatan Asam Urat ... 10

2.4. Fenilbutazon ... 11

2.4.1. Struktur Fenilbutazon ... 11

2.4.2. Farmakokinetik ... 12

2.4.3. Efek Samping ... 12

2.4.4. Dosis ... 12

2.5. Identifikasi Fenilbutazon dalam sediaan Obat Tradisonal bentuk Kapsul secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible ... 13

2.5.1. Kromatografi Lapis tipis ... 13

2.5.1.1. Komponen KLT ... 13

a. Fase Diam ... 13

b. Fase Gerak ... 14

c. Bejana Pemisahan dan Penjenuhan ... 14

d. Aplikasi (Penotolan) Sampel ... 15

e. Deteksi Bercak ... 15

2.5.2. Spektrofotometri UV-Visible ... 16

2.5.2.1 Instrumentasi Spektrofotometer UV-Vis... 16

BAB III METODOLOGI ... 18

3.1. Tempat Pengujian ... 18

3.2. Alat ... 18

3.3. Bahan ... 18

(8)

3.4.1. Larutan Uji ... 18

3.4.2. Larutan Baku ... 19

3.4.3. Identifikasi ... 19

3.4.3.1. Secara Kromatografi Lapis Tipis ... 19

3.4.3.2. Secara Spektrofotometri... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1. Hasil ... 20

4.2. Pembahasan ... 20

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

5.1. Kesimpulan ... 23

5.2. Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 25

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Harga Rf ... 27 Lampiran 2. Hasil Kromatogram Identifikasi Fenilbutazon pada Jamu ... 28 Lampiran 3. Hasil Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Baku

Pembanding dan Sampel Secara Spektrofotometri

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu sumber alam yang memegang peranan penting dalam kehidupan umat manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Sumber alam ini dapat digunakan sebagai obat dan hal ini telah diketahui oleh masyarakat sejak jaman dahulu sebagai bahan obat tradisional atau lebih dikenal dengan sebutan jamu. Obat tradisional dalam bentuk jamu dikemas sama seperti obat moderen dan dihasilkan oleh industri.

Komposisi jamu yang ada pada umunya terdiri dari beberapa macam simplisia yang satu sama lain saling berinteraksi, mendukung maupun menetralisasikan. Itulah sebabnya daya kerja jamu tidak dapat diharapkan secepat efek obat dalam bentuk kimia murni yang dapat dengan langsung ditujukan kepada penyakit. Sebagai imbangan terhadap kurang cepatnya efek, sebaliknya tidak pernah atau jarang sekali terdengar kecelakaan jamu yang langsung fatal.

(11)

mungkin. Makin cespleng, makin laris. Hal tersebut lah yang memunculkan hasrat para produsen untuk memberi kesan manjur serta mujarab, sehingga jamu-jamu tersebut ditambahkan bahan kimia (Soeparto, 1999; Tjokronegoro, 1993).

Salah satu bentuk jamu yang beredar di pasaran, yang sering dicemari oleh BKO ialah jamu asam urat. Bahan kimia obat tersebut salah satunya adalah fenilbutazon. Fenilbutazon digunakan untuk mengobati reumatoid artritis dan sejenisnya, yang biasanya ditambahkan pada jamu yang klaim keguaannya ditunjukkan untuk mengobati asam urat, pegal linu, encok serta rematik. Efek samping dari fenilbutazon sendiri yaitu reaksi alergi berupa reaksi kulit, anemia aplastik dll serta dapat menyebabkan ritasi lambung sampai menimbulkan pendarahan lambung. Menyadari hal tersebut, bahwa kandungan bahan kimia obat dalam jamu dapat membahayakan para konsumen, maka penulis ingin sekali melakukan identifikasi Fenilbutazon dalam sediaan Obat Tradisonal bentuk kapsul secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible. Adapun pengujian dilakukan oleh penulis di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

1.2 Tujuan

(12)

1.3 Manfaat

(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional

Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Depkes RI, 1994).

Obat herbal Indonesia lebih dikenal dengan nama jamu dan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI juga digolongkan dalam jamu. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :

1. Jamu, yang merupakan obat tradisional warisan nenek moyang.

2. Obat herbal terstandar, yang dikembangkan berdasarkan bukti-bukti ilmiah dan uji pra klinis serta standarisasi bahan baku.

3. Fitofarmaka, yang dikembangkan berdasarkan uji klinis, standarisasi bahan baku dan sudah bisa diresepkan dokter (Harmanto, 2008)

2.2 Kapsul

(14)

2.2.1 Persyaratan Kapsul

i. lsi kapsul harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

Keseragaman bobot (untuk kapsul yang berisi obat tradisional kering) Tidak lebih dari 2 kapsul yang masing-masing bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-ratanya lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom A dan tidak satu kapsul pun yang bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom B, yang tertera pada daftar berikut.

Bobot rata-rata isi kapsul

Penyimpangan terhadap bobot isi rata-rata

A B

120 mg atau kurang ± 10% ± 20%

≥ 120 mg ± 7,5% ± 15%

Timbang satu kapsul, keluarkan isi kapsul timbang bagian cangkangnya hitung bobot isi kapsul. Ulangi penetapan terhadap 19 kapsul dan hitung bobot rata-rata isi 20 kapsul.

Untuk kapsul yang berisi obat tradisional cair : tidak lebih dari satu kapsul yang masing-masing bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-rata lebih besar dari 7,5 % dan tidak satu kapsul pun yang bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-rata lebih besar dari 15 %. Timbang satu kapsul, keluarkan isi kapsul, cuci cangkangnya dengan eter P. Buang cairan, biarkan hingga tidak berbau eter dan ditimbang hitung bobot isi kapsul. Ulangi penetapan terhadap 9 kapsul dan hitung bobot isi rata-rata 10 kapsul.

(15)

iii. Angka lempeng total : Tldak lebih dari 104. iv. Angka kapang dan khamir : Tidak lebih dari 103. v. Mikroba Patogen : Negatif.

vi. Aflatoksin : Tidak lebih dari 30 bpj. vii. Bahan tambahan :

Pengawet : Tidak lebih dari 0,1%. Pengawet yang diperbolehkan :

1. Metil p - hidroksi benzoat (Nipagin); 2. Propil p - hidroksi benzoat (Nipasol); 3. Asam sorbat atau garamnya;

4. Garam natrium benzoat dalam suasana asam; 5. Pengawet lain yang disetujui.

viii. Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik; disimpan pada suhu kamar ditempat kering dan terlindung dari sinar matahari (Depkes RI, 1994). 2.2.2 Jenis-jenis Kapsul

Secara umum, kapsul dibedakan menjadi dua yaitu kapsul gelatin keras dan kapsul gelatin lunak.

2.2.2.1 Kapsul Gelatin Keras

(16)

kapsul keras, pada pembuatannya ditambahkan bahan pengawet untuk mencegah timbulnya jamur dalam cangkang kapsul. Biasanya kapsul keras gelatin mengandung uap air antara 9 – 12 %. Bilamana disimpan dalam lingkungan dengan kelembapan tinggi, penambahan uap air akan diabsorbsi oleh kapsul dan kapsul keras ini akan rusak dari bentuk kekerasannya. Sebaliknya dalam lingkungan udara yang sangat kering, sebagian dari uap air yang terdapat dalam kapsul gelatin mungkin akan hilang, dan kapsul ini menjadi rapuh serta mungkin akan remuk bila dipegang.

2.2.2.2 Kapsul Gelatin Lunak

Kapsul gelatin lunak dibuat dari gelatin dimana gliserin atau alkohol polivalen dan sorbitol ditambahkan supaya gelatin bersifat elastis seperti plastik. Kapsul-kapsul ini mungkin bentuknya membujur seperti elips atau seperti bola dapat digunakan untuk diisi cairan, suspensi, bahan berbentuk pasta atau serbuk kering. Kapsul lunak bentuknya bagus dan lebih mudah ditelan oleh pasien.

2.2.3 Pengawasan dan Pengemasan Kapsul

Kapsul-kapsul hasil produksi skala kecil ataupun skala besar tidak hanya diuji tentang kadar dan keseragamannya saja, tetapi juga harus dilakukan pemeriksaan secara visual maupun elektronik, supaya tidak terdapat suatu kekurangan pada penampilannya.

(17)

Kapsul-kapsul ini harus disimpan pada tempat yang dingin dan kering. Pada kenyataannya semua kapsul tahan lama disimpan dalam wadah yang tertutup dengan segel di tempat dingin dengan kelembapan rendah (Ansel, 1989).

2.3 Penyakit Asam Urat 2.3.1 Fisiologi Asam Urat

Asam urat adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh tingginya kadar asam urat di dalam darah, yang ditandai dengan gangguan linu-linu terutama di daerah persendian tulang dan tidak jarang timbul rasa amat nyeri bagi penderitanya. Rasa sakit tersebut diakibatkan adanya radang pada persendian. Radang sendi tersebut ternyata disebabkan oleh penumpukan kristal di aderah persendian akibat tingginya kadar asam urat di dalam darah (Krisnatuti, 2004).

Apabila kadar asam urat dalam darah naik, berakibat terganggunya metabolisme tubuh. Penyakit asam urat adalah penyakit sendi yang berhubungan dengan metabolisme tubuh. Penyakit ini menyerang sendi tulang sehingga kelihatan membengkak, bewarna merah, panas, terasa nyeri pada kulit, sakit kepala dan penderitanya tidak punya nafsu makan (Nooryani, 2007).

2.3.2 Penyebab Asam Urat

Normalnya, asam urat sebagai hasil samping dari pemecahan sel terdapat dalam darah karena tubuh secara berkesinambungan memecah dan membentuk sel yang baru. Kadar asam urat meningkat atau abnormal ketika ginjal tidak sanggup mengeluarkannya melalui air kemih.

(18)

primer dan sekunder. Hiperurisemia primer biasanya tidak diketahui penyebabnya, tetapi sebagian besar disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Sedangkan hiperurisemia sekunder disebabkan adanya komplikasi dengan penyakit lain seperti anemia hemolitik, kelainan ginjal, kegemukan dan sebagainya (Utami, 2003).

Kurang lebih 20-30% penderita asam urat atau gout terjadi akibat kelainan sintesa purin dalam jumlah besar yang menyebabkan kelebihan asam urat dalam darah. Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolisme purin, baik purin yang berasal dari bahan pangan maupun dari hasil pemecahan purin asam nukleat tubuh. Dalam serum, urat terutama berada dalam bentuk natrium urat, sedangkan dalam saluran urin, urat dalam bentuk asam urat. Kadar asam urat normal untuk wanita berkisar 2,4 – 5,7 mg/dl dan untuk pria berkisar 3,4 – 7 mg/dl. Jika kadar asam urat dalam serum melebihi standar diatas maka disebut hiperurisemia.

Dan kurang lebih 75% penderita gout terjadi akibat kelebihan produksi asam urat, tetapi pengeluarannya tidak sempurna (Krisnatuti, 2004).

(19)

dan sayuran seperti daun bayam, daun singkong, kangkung, kembang kol dsb (Utami, 2003).

2.3.3. Tanda-tanda Asam Urat

Tanda-tanda khas dari penyakit gout adalah terjadinya serangan mendadak pada sendi, terutama sendi ibu jari kaki. Sendi menjadi cepat bengkak, panas dan kemerah-merahan. Pembengkakan yang khas terjadi di pinggiran sendi yang diserati nyeri, kemudian diikuti dengan meningkatnya suhu badan.

Dalam dunia kedokteran, asam urat memiliki tanda-tanda sebagai berikut : 1. Dijumpai adanya hiperurisemia.

2. Terdapat kristal urat yang khas dalam cairan sendi.

3. Terdapat tofi yang dibuktikan dengan pemeriksaan kimiawi. 4. Telah terjadi lebih dari satu kali serangan arthritis akut. 5. Adanya serangan pada satu sendi, terutama sendi ibu jari. 6. Sendi terlihat kemerahan.

7. Pembengkakan asimetris pada satu sendi.

8. Tidak ditemukan bakteri pada saat serangan atau inflamasi 2.3.4 Pengobatan Asam Urat

(20)

2.4 Fenilbutazon

Fenilbutazon merupakan derivat dari pirazolon. Fenilbutazon digunakan untuk mengobati reumatoid artritis dan sejenisnya, kemudian secara berurutan didapat turunan fenilbutazon ialah oksifenbutazon, sulfinpirazon dan ketofenilbutazon. Fenilbutazon dan oksifenbutazon juga mempunyai efek antipiretik dan analgesik. Efek antiinflamasi sama dengan salisilat. Efek urikosuriknya lemah dengan menghambat reabsorbsi asam urat melalui tubuli. Dalam dosis kecil fenilbutazon justru mengurangi sekresi asam urat oleh tubuli (Munaf, 1994).

Fenilbutazon mula-mula disintesis bukan dengan maksud untuk digunakan sebagai obat, melainkan untuk digunakan sebagai pelarut bagi amidopirin yang sukar larut dalam air. Fenilbutazon merupakan asam dengan kekuatan sedang yang mampu membentuk garam misalnya dengan amin. Dalam pengobatan, disamping bentuk asam bebas juga digunakan terutama dalam bentuk garam natrium dan garam kalsium (Ebel, 1979).

2.4.1 Struktur Fenilbutazon

(21)

Berat Molekul : 308,38

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau agak putih; tidak berbau. Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam aseton

dan dalam eter; larut dalam etanol (Ditjen POM, 1995).

2.4.2 Farmakokinetik

Bila diberikan per oral absorbsinya cepat dan sempurna. Konsentrasi tertinggi dicapai dalam waktu 2 jam. Dengan dosis terapi 98% fenilbutazon dalam plasma terikat pada protein plasma, bila konsentrasi lebih tinggi pengikatan dengan plasma protein mungkin hanya 90%. Masa paruh fenilbutazon adalah lama yaitu 50-100 jam. Biotransformasi terjadi di hati oleh sistem mikrosom hati. Ekskresi melalui ginjal dengan lambat.

2.4.3 Efek Samping

Efek samping dari fenilbutazon yaitu (1) Reaksi alergi berupa : reaksi kulit, anemia aplastik, agranulositosis, leukopenia, trombositopeni dll. (2) Iritasi lambung, dapat menimbulkan pendarahan lambung. Namun, efek samping yang terlalu kuat dapat diperkecil dengan pembentukan garam dengan basa (Munaf, 1994).

2.4.4 Dosis

(22)

2.5 Identifikasi Fenilbutazon dalam sediaan Obat Tradisonal bentuk Kapsul secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible

2.5.1 Kromatografi Lapis Tipis

Salah satu cara untuk mengidentifikasi bahan kimia obat yang terdapat dalam sediaan obat tradisonal adalah dengan menggunakan kromatografi lapis tipis dan dilanjutkan dengan spektrofotometri uv-visible untuk melihat spektrumnya. Di antara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi lapis tipis (disingkat KLT) adalah yang paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi. Metode ini hanya memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, menggunakan waktu yang singkat untuk menyelesaikan analisis (15-60 menit), dan memerlukan jumlah cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 g). Selain itu, hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan ruangan minimum, dan penanganannya sederhana (Stahl, 1985).

Keuntungan lain dari kromatografi lapis tipis ini adalah, dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan hyang digunakan lebih sederhana. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultra violet.

2.5.1.1 Komponen KLT a. Fase Diam

(23)

partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya (Rohman, 2009).

Kebanyakan penjerap yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder) yang dimaksud untuk memberikan kekuatan pada lapisan, dan menambha adhesi pada gelas penyokong. Pengikat yang digunakan kebanyakan kalium sulfat. Tetapi biasanya dalam perdagangan silika gel telah diberi pengikat. Jadi tidak perlu mencampur sendir, dan diberi nama dengan kode silika gel G (Sastrohamidjojo, 1985).

b. Fase Gerak

Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Yang digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan, bila diperlukan, sistem pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka banding campuran dinyatakan dalam bagian volume sedemikian rupa sehingga volume total 100, misalnya, benzena-kloroorm-asam asetat 96% (50:40:10).

c. Bejana Pemisah dan Penjenuhan

(24)

d. Aplikasi (Penotolan) Sampel

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 µ l. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda.

e. Deteksi Bercak

(25)

2.5.2 Spektrofotometri UV-Visible

Spektrum ultraviolet dan cahaya tampak suatu zat pada umumnya tidak mempunyai derajat spesifikasi yang tinggi. Walaupun demikian, spektrum tersebut sesuai untuk pemeriksaan kuantitatif dan untuk berbagai zat spektrum tersebut bermanfaat sebagai tambahan untuk identifikasi (Ditjen POM, 1995).

Spektra UV-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Dasar dari spektrofotometri ultraviolet-visible adalah penyerapan molekuler elektronik dalam larutan. Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 – 400 nm, sementara sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400 – 750 nm. Jadi, spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200 – 800 nm.

2.5.2.1 Instrumentasi Spektrofotometer UV-Vis

Komponen-komponen dari spektrofotometer UV-Vis meliputi sumber-sumber sinar, monokromator, dan sistem optik.

i. Sumber-sumber lampu; lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190 – 350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel (pada panjang gelombang anatar 350 – 900 nm)

(26)

kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan instrumen melewati spektrum.

(27)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Tempat Pengujian

Identifikasi Fenilbutazon dalam sediaan Obat Tradisonal bentuk Kapsul secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible pengujiannya dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan yang bertempat di jalan Willem Iskandar Pasar V Barat I No.2 Medan.

3.2 Alat

Alat yang digunakan adalah erlenmeyer, gelas ukur, vial, pipet tetes, corong pisah, corong, chamber, kertas saring, hair drier, batang pengaduk, spektrofotometer Shimadzu UV Prose-1800.

3.3 Bahan

Bahan yang digunakan adalah NaOH 2N, HCl 0,2N, kloroform, aseton, etanol, akuadest, sampel jamu, baku pembanding Fenilbutazon 0,1%.

3.4 Prosedur 3.4.1 Larutan Uji

(28)

kali. Hasil ekstraksi dikumpulkan dalam beaker gelas. Hasil ekstraksi dikeringkan menggunakan hair dryer. Dilarutkan ekstrak kering dengan menggunakan etanol 5 ml. (A)

3.4.2 Larutan Baku

Dibuat larutan Fenilbutazon 0,1% b/v dalam etanol. Ditimbang 0,0252 g Fenilbutazon lalu dilarutkan dalam 25 ml etanol. (B)

3.4.3 Identifikasi

3.4.3.1Secara Kromatografi Lapis Tipis

Larutan uji dan Larutan baku masing-masing ditotolkan secara terpisah dan dilakukan kromatografi lapis tipis sebagai berikut :

Lempeng : Silika gel 60 F 254 Eluen : kloroform : aseton (4:1) Penjenuhan : Dengan kertas saring Volume penotolan : 50 µl

Jarak rambat : 15 cm

Penampak bercak : Cahaya ultraviolet 254 nm 3.4.3.2Secara Spektrofotometri

(29)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Pada pengujian identifikasi bahan kimia obat pada sediaan Obat Tradisonal bentuk kapsul secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible, didapatkan hasil bahwa sediaan jamu yang diperiksa positif mengandung bahan kimia obat (BKO) Fenilbutazon. Dimana harga Rf untuk baku fenilbutazon ialah 0,86 sedangkan harga Rf untuk sampel jamu yang diperiksa ialah 0,8667.

Bentuk kromatogram (hasil kromatografi), perhitungan harga Rf serta hasil pengukuran panjang gelombang maksimum baku pembanding fenilbutazon dan sampel secara spektrofotometri UV-Visible dapat dilihat pada lampiran. 4.2 Pembahasan

(30)

serapan maksimum sampel jamu. Hasil spektrum dengan eluen kloroform : aseton (4:1) didapat baku Fenilbutazon = 236,5 nm sedangkan sampel jamu = 237,7 nm.

Salah satu persyaratan untuk semua bentuk sediaan Obat Tradisonal di Indonesia ialah tidak boleh mengandung bahan kimia obat. BKO yang ditambahkan kedalam obat tradisional umumnya dimaksudkan untuk menghilangkan gejala sakit dengan segera (seperti pada pegal linu); secara farmakologis menekan rangsang makan pada susunan syaraf pusat (seperti pada obat-obat pelangsing); ataupun meningkatkan aliran darah ke corpus kavernosum dengan segera (seperti pada obat-obat peningkat stamina pria). Umumnya, BKO yang digunakan adalah obat keras (daftar G) yang sebagian besar menimbulkan efek samping ringan sampai berat seperti iritasi saluran pencernaan, kerusakan hati/ginjal, gangguan penglihatan, atau gangguan ritmik irama jantung. Pada efek samping ringan, gangguan/kerusakan yang terjadi dapat bersifat sementara atau reversible. Pada efek samping berat, bisa terjadi gangguan/kerusakan permanen pada jaringan/organ sampai kematian.

Hal ini jelas disebabkan kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya atau bahkan semata-mata demi meningkatkan penjualan karena konsumen menyukai produk obat tradisional yang bereaksi cepat pada tubuh.

(31)
(32)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengujian identifikasi bahan kimia obat pada sediaan Obat Tradisonal bentuk kapsul secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible, dimana jamu yang diperiksa ialah jamu asam urat, diketahui bahwa pada sediaan jamu tersebut positif mengandung bahan kimia obat yaitu fenilbutazon.

Maka dari itu, sampel jamu asam urat yang diperiksa tidak memenuhi persyaratan karena mengandung Fenilbutazon.

5.2 Saran

Sebaiknya pengujian tidak hanya dilakukan pada satu daerah saja melainkan pada semua daerah yang bertujuan agar sediaan jamu yang beredar dipasaran benar-benar memenuhi sudah persyaratan. Dan tidak hanya kandungan bahan kimia obat nya saja yang diuji namun persyaratan lain seperti kadar air, angka lempeng total, angka kapang khamir, mikroba patogen sampai dengan wadah dan persyaratan etiket juga, untuk mencegah peredaran jamu-jamu yang tidak memiliki izin edar, nomer registrasi, sampai dengan yang sudah melewati tanggal kadaluarsa agar jamu-jamu tersebut memang benar-benar aman bila digunakan.

(33)
(34)

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press.

Hal. 218-242

Depkes RI. (1994). Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta : Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : DEPKES RI.

Hal. 665-666, 1061

Ebel, Siegfried. (1979). Obat Sintetik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal. 64

Egon, Stahl. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung : Penerbit ITB. Hal. 3-17

Gritter, Roy J , dkk . (1991). Pengantar Kromatografi. Bandung : Penerbit ITB. Hal. 111

Harmanto, N. (2008). Herbal Jamu Pengaruh dan Efek Sampingnya. Jakarta : Elex Media Komputindo. Hal. 95

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. (2009). Informasi Spesialite Obat Volume 44. Jakarta : PT. ISFI. Hal. 37

(35)

Munaf, Sjamsuir. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 185-186

Nooryani, Sri. (2007). Sehat Dengan Jamu Tradisional. Jakarta ;’ PT. Sunda Kelapa Pustaka. Hal. 5

Rohman, Abdul. (2009). Kimia Farmasi Analisis . Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 252, 261-262, 353-354, 360

Sastrohamidjojo, Hardjono. (1985). Kromatografi. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Hal. 29

Soeparto, Soedarmilah. (1999). Jamu Jawa Asli. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offest. Hal. 45-46

Tjokronegoro, Arjatmo. (1993). Etik Penelitian Obat Tradisional. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal. 28

(36)

Lampiran 1. Pehitungan Harga Rf

Harga Rf :

eluen rambat jarak

bercak pusat k jarak titi

Baku Fenilbutazon : 0,86 15

9 , 12

=

Sampel Jamu : 0,8667 15

13 =

(37)

Ket :

A = Baku Pembanding Fenilbutazon

B = Sampel Jamu

Fase Gerak = kloroform : aseton (4:1)

(38)
(39)

Referensi

Dokumen terkait

Heavy infestation of a marine leech occurred among tank-reared juvenile and adult orange- spotted grouper, Epinephelus coioides Hamilton, at SEAFDEC AQD, Philippines with a preva-

[r]

uncontrolled reproduction in growout ponds. Growth rates of yabbies Cherax albidus were compared in monosex and mixed-sex populations using three feeding regimes to assess

LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI(BULANAN)/CONDENSED FINANCIAL STATEMENT(MONTHLY) LABA RUGI/INCOME STATEMENT. PT BANK DINAR

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bupati Bantul tentang Pedoman Pengangkatan

Dalam setiap rapat pimpinan, pejabat eselon I atau pejabat lain yang diundang melaporkan perkembangan capaian kinerja sesuai dengan misi, tugas pokok, dan fungsi

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Bupati Bantul tentang Pedoman Bantuan Keuangan kepada Desa

Populasi Ternak Sapi Perah di Provinsi Kalimantan Timur