KEWENANGAN BPKP DAN KEJAKSAAN DALAM
PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN
NEGARA TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI
TESIS
Oleh :
JUNITA SITORUS
087005098/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEWENANGAN BPKP DAN KEJAKSAAN DALAM
PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN
NEGARA TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
JUNITA SITORUS
087005098/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(HALAMAN PENGESAHAN)
Judul Tesis : KEWENANGAN BPKP DAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
Nama Mahasiswa : JUNITA SITORUS
Nomor Pokok : 087005098
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Menyetujui :
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.Hum) K e t u a
(Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum) (Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum
Telah lulus diuji pada
Tanggal 03 September 2010
PANITIA PEGUJI TESIS :
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,MH
Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum
2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum
3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum
ABSTRAKSI
Korupsi membebani masyarakat terutama masyarakat miskin dan menciptakan risiko ekonomi-makro yang tinggi, membahayakan kestabilan keuangan, mengkompromikan keamanan dan hukum serta ketertiban umum, dan di atas segalanya, korupsi merendahkan legitimasi dan kredibilitas negara di mata rakyat. Oleh karena itu lembaga yang tergabung Integrated Criminal Justice
System, seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan Pemasyarakatan harus saling
bekerjasama dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi. Kejaksaan dan BPKP melakukan sinergi dan mekanisme koordinasi dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dari beberapa peraturan dan Nota Kesepahaman yang melegalisasi kerjasama antara Kejaksaan dan BPKP. Dalam hal penentuan kerugian keuangan negara terhadap kasus korupsi, Kejaksaan dapat meminta bantuan kepada BPKP untuk melakukan audit investigasi dan melakukan perhitungan terhadap indikasi korupsi yang merugian keuangan negara. Berdasarkan hasil audit investigasi dan diskusi dengan BPKP ini, Kejaksaan akan memutuskan apakah akan meneruskan atau menghentikan penyelidikan/ penyidikan.
Metode yang digunakan didalam penelitian ini adalah hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah : Pertama, bagaimana kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi?. Kedua, bagaimana faktor-faktor penghambat dan solusi untuk mengatasi faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi?.
dan BPKP secara umum adalah kurang profesionalnya sumber daya manusia dan adanya perbedaan persfektif terhadap hasil audit investigasi. Solusi untuk mengatasi faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi secara internal adalah pemerintah perlu menciptakan suatu aturan hukum seragam dalam hal penentuan unsur kerugian keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPKP maupun Kejaksaan selaku Penyidik, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia agar seluruh proses dalam hal penentuan unsur kerugian negara dapat lebih efisien dan adanya sistem pengawasan dalam seluruh prosesnya.
ABSTRACT
Corruption brings a burden on the society especially on the poor, creates a high risk of macro-economy, endangers financial stability, compromises security, law and public order, and above all, corruption humiliates state legitimating and credibility before its people. Therefore, the institutions associating in Integrated Criminal Justice System such as Corruption Elimination Commission, Indonesian Police, Attorney Institution and Correctional Institution must cooperate in the accelerating the corruption elimination. The Attorney Institution and the Central Finance Controlling Body makes a synergy and the mechanism of coordination in determining the elements of the state finance loss caused by corruption. This can be seen through several regulations and Memo of Understanding legalizing the cooperation between the Attorney Institution and the Central Finance Controlling Body. In determining the loss of state finance caused by corruption, the Attorney Institution can ask the Central Finance Controlling Body to help do the investigation audit and calculate the indication of corruption which has inflicted loss to state finance. Based on the result of investigation audit and discussion with the Central Finance Controlling Body, the Attorney Institution will decide whether they will keep or stop the investigation.
This study employed the normative juridical method or normative legal study, a study referring to the legal norms and principles stated in the regulation of legislation and court decision
The problems to be solved in this study were; first, what authority do the Central Finance Controlling Body and the Attorney Institution have in determining the elements of state finance loss caused by corruption?; second, what inhabiting factors and solution were used to overcome the inhibiting factors in the implementation of the duty and authority of the Central Finance Controlling Body and the Attorney Institution in determining the elements of state finance loss caused by corruption?
Institution and the weakness of control system. In general, the internal constraints faced by the Attorney Institution or the Central Finance Controlling Body are the human resources available are not adequately professional and the existence of different perspective toward the result of investigation audit. The solution to overcome the inhibiting factors in the implementation of the duty and authority of the Attorney Institution or the Central Finance Controlling Body in internally determining the elements of state finance loss caused by corruption are that the government needs to create a uniformed legal regulation in determining the elements of state finance loss done by the Central Finance Controlling Body or the Attorney Institution as the investigator, to increase the capacity of human resources that all of the process in determining the elements of state finance loss can be more efficient, and to apply a good control system in the whole process.
______________________________
KATA PENGANTAR
Syalooomm...,
Segala sembah sujud, Puji Syukur, dan terimaksih penulis ucapkan kepada
Allah Bapa dan Yesus Kristus atas segala cinta kasih, pertolongan, kemurahan, dan
penyertaanNya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
perkuliahan dalam bentuk Tesis pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
Adapun judul dari tesis penulis mengenai “Kewenangan BPKP dan
Kejaksaan dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap
Tindak Pidana Korupsi”. Penyelesaian tesis ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing
maupun penguji baik pada saat pengajuan sampai penyusunan tesis ini.
Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
tesis ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis
menjalankan perkuliahan di Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan, yaitu :
1. Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc(CTM)., Sp.A (K)., selaku
rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas hukum Sekolah
2. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan atas kesempatan yang telah diberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan Program
Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing tesis penulis yang telah
memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada akhirnya
meja hijau selalu memberikan arahan, bimbingan yang sangat membantu
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada
waktunya.
4. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dan sekaligus
sebagai Penguji dalam tesis ini yang telah memberikan segala masukan
dan arahan yang membangun dalam kesempurnaan tesis ini.
5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum., selaku Anggota Komisi
Pembimbing I tesis ini dengan penuh perhatian memberikan bantuan yang
sangat besar dengan segala masukan dan arahan dalam menyelesaikan
tesis ini dan kesabarannya dalam membimbing penulis mulai dari titik
awal penulisan tesis sampai dengan selesainya penulisan tesis ini tepat
6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Anggota Komisi
Pembimbing tesis ini yang telah memberikan koreksi untuk
ksesempurnaan dan mengarahkan penulis sampai selesainya tesis ini.
7. Bapak Syafuddin S. Hasibuan, S.H.,MH., DFM selaku Penguji dalam tesis
ini yang telah memberikan masukan dan pendapatnya yang membangun
dalam kesempurnaaan tesis ini.
8. Secara Khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam
kepada Orang Tua Penulis yang terkasih dan tercinta, Ayahanda Toga
Sitorus dan Ibunda Herta Simanjuntak atas segala daya dan upaya yang
telah membimbing, memotivikasi dan segala pengorbanan dan doa yang
tulus kepada penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
9. Kepada saudara-saudaraku terkasih, kakak Herlina Sitorus, S.E., abang
Alm. Sahat Pandapotan Sitorus, adik-adik ku Merico Sitorus dan Teresya
Nova Sitorus, yang telah memberikan dukungan moril dan doanya kepada
penulis.
10.Kepada abangku tercinta Hendra Lion Hutasoit, S.H yang akan menjadi
pendamping hidupku, yang telah memberikan dorongan, dukungan moril
serta doanya kepada penulis selama ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan Magister. Semoga doa dan harapan kita
11.Kepada Bapak Mukharom, S.H., selaku Kepala Cabang Kejaksaan Negeri
Stabat Di Pangkalan Berandan yang yang telah diberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Medan; dan kepada para jaksa Bintang, S.H., Candra
Kirana, S.H., M. Akbar Sirait, S.H, Nova Suryanita Br Sebayang dan
seluruh staff di Cabang Kejaksaan Negeri Stabat Di Pangkalan Berandan
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan
bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
12.Kepada Bapak Sudjono selaku Kepala BPKP Perwakilan Sumatera Utara,
dan kepada Bapak Ahmad Balatif S.E serta seluruh staff di BPKP
Perwakilan Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan kepada
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
13.Kepada Sahabat-sahabat Terbaikku Claudya Eterina Purba, S.H, Melda
Simamora, S.H., dan teman-teman seperjuangan Siti Lisa Tarigan, Ade
Suryameliya (trio kwek..kwek..), dan seluruh rekan-rekan angkatan XII
Kelas Hukum Ekonomi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
14.Kepada Bapak, Ibu Dosen, Staf dan Pegawai pada Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
dengan penulis menanamkan kuliahnya di Pasca Sarjana fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak
yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak
kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada
kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga Tuhan Yesus Kristus memberikan
berkat dan kasih karuniaNya kepada kita semua. Amin.
Medan, September 2010 Penulis
Junita Sitorus
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama Lengkap : Junita Sitorus
Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Balai / 08 Juni 1986
Agama : Kristen Protestan
Status : Belum Menikah
Alamat : Komplek Taman Setia Budi Indah Blok RR No. 107 Medan
II. Keluarga
NamaAyah : Toga Sitorus
Nama Ibu : Herta Simanjuntak
III. Pendidikan
SD : Tahun 1992 – 1998
SD Swasta Rom Katolik 1 – Tanjung Balai
SMP : Tahun 1998 – 2001
SLTP Swasta Tri Tunggal – Tanjung Balai
SMA : Tahun 2001 – 2004
SMA Swasta Kristen Kalam Kudus – Medan
Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 2004 – 2008
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2008 – 2010
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR... v
RIWAYAT HIDUP... x
DAFTAR ISI... xi
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A.Latar Belakang... 1
B.Permasalahan... 18
C.Tujuan Penelitian... 19
D.Manfaat Penelitian... 19
E. Keaslian Penelitian... 21
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi... 22
1. Kerangka Teori... 22
2. Landasan Konsepsi... 37
G.Metode Penelitian... 56
BAB II : KEWENANGAN BPKP DAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI... 61
A. Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Dalam Tindak Pidana Korupsi... 61
1. Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi... 68
B. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP dan Kejaksaan
dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara
Terhadap Tindak Pidana Korupsi... 85
1. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPKP dalam
Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara
Terhadap Tindak Pidana Korupsi ... 87
2. Tugas, Fungsi dan Wewenang Kejaksaan dalam
Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara
Terhadap Tindak Pidana Korupsi ... 107
C. Mekanisme Koordinasi antara BPKP dan Kejaksaan
dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi... 122
BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAN SOLUSI
UNTUK MENGATASI FAKTOR PENGHAMBAT
DALAM PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG
BPKP DAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN
UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI... 131
A. Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang BPKP dalam Penentuan Unsur Kerugian
Keuangan Negara terhadapTindak Pidana Korupsi ... 131
B. Solusi untuk Mengatasi Hambatan bagi BPKP dalam
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang dalam Penentuan
Pidana Korupsi... 136
C. Faktor Penghambat bagi Kejaksaan dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi... 138
D. Solusi untuk Mengatasi Hambatan bagi Kejaksaan dalam Pelaksanaan Tugas dan Wewenang dalam Penentuan Unsur Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi... 151
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN... 157
A. Kesimpulan... 157
B. Saran... 159
ABSTRAKSI
Korupsi membebani masyarakat terutama masyarakat miskin dan menciptakan risiko ekonomi-makro yang tinggi, membahayakan kestabilan keuangan, mengkompromikan keamanan dan hukum serta ketertiban umum, dan di atas segalanya, korupsi merendahkan legitimasi dan kredibilitas negara di mata rakyat. Oleh karena itu lembaga yang tergabung Integrated Criminal Justice
System, seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan Pemasyarakatan harus saling
bekerjasama dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi. Kejaksaan dan BPKP melakukan sinergi dan mekanisme koordinasi dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dari beberapa peraturan dan Nota Kesepahaman yang melegalisasi kerjasama antara Kejaksaan dan BPKP. Dalam hal penentuan kerugian keuangan negara terhadap kasus korupsi, Kejaksaan dapat meminta bantuan kepada BPKP untuk melakukan audit investigasi dan melakukan perhitungan terhadap indikasi korupsi yang merugian keuangan negara. Berdasarkan hasil audit investigasi dan diskusi dengan BPKP ini, Kejaksaan akan memutuskan apakah akan meneruskan atau menghentikan penyelidikan/ penyidikan.
Metode yang digunakan didalam penelitian ini adalah hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah : Pertama, bagaimana kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi?. Kedua, bagaimana faktor-faktor penghambat dan solusi untuk mengatasi faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi?.
dan BPKP secara umum adalah kurang profesionalnya sumber daya manusia dan adanya perbedaan persfektif terhadap hasil audit investigasi. Solusi untuk mengatasi faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi secara internal adalah pemerintah perlu menciptakan suatu aturan hukum seragam dalam hal penentuan unsur kerugian keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPKP maupun Kejaksaan selaku Penyidik, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia agar seluruh proses dalam hal penentuan unsur kerugian negara dapat lebih efisien dan adanya sistem pengawasan dalam seluruh prosesnya.
ABSTRACT
Corruption brings a burden on the society especially on the poor, creates a high risk of macro-economy, endangers financial stability, compromises security, law and public order, and above all, corruption humiliates state legitimating and credibility before its people. Therefore, the institutions associating in Integrated Criminal Justice System such as Corruption Elimination Commission, Indonesian Police, Attorney Institution and Correctional Institution must cooperate in the accelerating the corruption elimination. The Attorney Institution and the Central Finance Controlling Body makes a synergy and the mechanism of coordination in determining the elements of the state finance loss caused by corruption. This can be seen through several regulations and Memo of Understanding legalizing the cooperation between the Attorney Institution and the Central Finance Controlling Body. In determining the loss of state finance caused by corruption, the Attorney Institution can ask the Central Finance Controlling Body to help do the investigation audit and calculate the indication of corruption which has inflicted loss to state finance. Based on the result of investigation audit and discussion with the Central Finance Controlling Body, the Attorney Institution will decide whether they will keep or stop the investigation.
This study employed the normative juridical method or normative legal study, a study referring to the legal norms and principles stated in the regulation of legislation and court decision
The problems to be solved in this study were; first, what authority do the Central Finance Controlling Body and the Attorney Institution have in determining the elements of state finance loss caused by corruption?; second, what inhabiting factors and solution were used to overcome the inhibiting factors in the implementation of the duty and authority of the Central Finance Controlling Body and the Attorney Institution in determining the elements of state finance loss caused by corruption?
Institution and the weakness of control system. In general, the internal constraints faced by the Attorney Institution or the Central Finance Controlling Body are the human resources available are not adequately professional and the existence of different perspective toward the result of investigation audit. The solution to overcome the inhibiting factors in the implementation of the duty and authority of the Attorney Institution or the Central Finance Controlling Body in internally determining the elements of state finance loss caused by corruption are that the government needs to create a uniformed legal regulation in determining the elements of state finance loss done by the Central Finance Controlling Body or the Attorney Institution as the investigator, to increase the capacity of human resources that all of the process in determining the elements of state finance loss can be more efficient, and to apply a good control system in the whole process.
______________________________
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi telah sejak lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti
penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar,
pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang
Negara untuk kepentingan pribadi, oleh masyarakat diartikan sebagai suatu
perbuatan korupsi dan dianggap sebagai hal yang lazim terjadi di negara ini.
Ironisnya, walaupun usaha-usaha pemberantasannya sudah dilakukan lebih dari
empat dekade, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung, bahkan ada
kecenderungan modus operandinya lebih canggih dan terorganisir, sehingga
makin mempersulit penanggulangannya.1
Citra Indonesia sebagai negara terkorup sudah sampai pada tingkat nadir.
Banyak penelitian yang bertaraf internasional menempatkan Indonesia sebagai
negara paling korup. Pada awal tahun 2004, lembaga Political dan Economic
Risk Consultancy mengadakan survey mengenai korupsi di dua belas negara
Asia. Dalam penelitiannya, lembaga konsultan itu menentukan skala angka 0-10.
Semakin tinggi korupsi di negara yang bersangkutan, maka semakin tinggi pula
nilai yang diperolehnya. Berapa nilai yang diperoleh Indonesia? Nyaris
1
BPKP, Tim Pengkajian SPKN RI, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada
sempurna. Hampir 10. Negara ini memperoleh nilai 9,25. Paling tinggi di antara
11 negara lainnya. Artinya, Indonesia adalah negara paling korup di antara dua
belas negara Asia. Singapura memperolah nilai terendah, yaitu 0,5, artinya
negara yang paling bersih dari praktik-praktik korupsi.2
Korupsi harus diberantas, karena dampak negatif yang ditimbulkan.
Korupsi membebani masyarakat Indonesia terutama masyarakat miskin. Korupsi
juga menciptakan risiko ekonomi-makro yang tinggi, membahayakan kestabilan
keuangan, mengkompromikan keamanan dan hukum serta ketertiban umum, dan
di atas segalanya, korupsi merendahkan legitimasi dan kredibilitas negara di
mata rakyat.3 Padahal kekayaan negara yang dikorup jumlahnya sangat besar.
Kwik Kian Gie pernah memberikan gambaran betapa besar kekayaan negara
yang dikorup (per tahun), yang disebutkan melebihi APBN4.
Adolfo Beria memandang korupsi sebagai fenomena dunia,
keberadaannya mengikuti sejarah manusia itu sendiri.5 Lebih lanjut Adolfo Beria
menyatakan bahwa:
2
Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Grafitri, Bandung, 2006, hal. 15.
3
Kompas, Fokus, “Memerangi Korupsi, Hanya Sata Kata: Lawan”, 25 Oktober 2003.
4
Menurut Kwik Kian Gie: “Ikan, pasir dan kayu yang dicuri senilai 90 triliun rupiah, pajak yang dibayarkan oleh pembayar pajak tetapi tidak masuk ke kas negara 240 trilyun rupiah, subsidi kepada perbankan yang tak pernah akan sehat 40 trilyun rupiah, kebocoran dalam APBN 20% dari 370 trilyun rupiah yaitu 74 trilyun rupiah. Dengan demikian jumlah yang dikorup kurang lebih 444 trilyun rupiah, lebih besar dari keseluruhan APBN tahun 2003”. Periksa: Kompas, ibid.
5
Adolfo Beria, Global Strategi Against Corruption, dalam Responding to Corruption:
Social Defence, Corruption, and the Protection of Public Administration and The Independence of Justice, updated documens on the XIII International Conggres on Social Defence, Lecce Italy
“There is no primordial indigenous culture without its phenomena of corruption; there is no system (from that of USA to that of Japan) which is free from vast areas of corruption; there is no centre of government (from the prairies of America to the communist collectivizations) which has not been vitiated or distorted by corruption; there is no religion (Eastern, Judaic- Christian or Islamic) which has not had to confront evils connected to corruption; there is no Empire (be it Persian, Roman, British or Soviet) which has not experienced and has not been damaged by corruption”.6
Fakta bahwa tindak pidana korupsi tumbuh dan berkembang dengan subur di
negeri ini sungguh tidak terbantahkan. Masyarakat di tingkat lokal, nasional, regional
dan internasional semua mafhum tentang maraknya tipikor dalam berbagai bidang,
bentuk dan modus operandi yang menguras kekayaan negara dan menyengsarakan
rakyat. Pada saat bersamaan, tekanan tentang perlunya penyelenggaraan
pemerintahan yang sesuai dengan norma good governance dan clean government
serta penyelengaaran perusahaan, terutama Badan Usaha Milik Negara/Daerah
(BUMN/D), yang sejalan dengan prinsip good corporate governance dilontarkan
semakin gencar dan meluas serta persisten oleh kalangan mahasiswa, pengusaha,
profesional, akademisi serta masyarakat luas yang merindukan tegaknya keadilan.
Substansi utama dari tuntutan tersebut bermuara pada seruan pemberantasan tindak
pidana korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahaan dan pengelolaan BUMN/D.
Semua kalangan juga sepakat bahwa salah satu instrumen yang sangat penting dalam
upaya pemberantasan tipikor adalah sistem hukum dan proses peradilan yang
obyektif, fair, transparan dan konsisten.
6
Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik
sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit
penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam
kaitannya dengan konteks politik, sosial ekonomi dan budaya. Berbagai upaya
pemberantasan korupsi sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis
kejahatan korupsi. Hal ini menurut Bintoro Tjokroamidjojo dalam Ninik
Mariyanti, adalah disebabkan :
1. Persoalan korupsi memang merupakan persoalan yang rumit.
2. Sulitnya menemukan bukti
3. Adanya kekuatan yang justeru menghalangi pembersihan itu.
Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya hanya
dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional, selain korupsi
sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan kewenangan (abuse of
power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Juga kejahatan
korupsi menjadi sangat sulit diberantas karena muara utamanya berada pada instutusi
penegak hukum. Hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI),
mengungkapkan bahwa Lembaga-Lembaga vertical, (Polisi, Peradilan, Pajak,
Imigrasi, Bea Cukai, Militer, dll), masih dipersepsikan sangat korup. Menurut versi
meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigrasi (90%), BPN (84%), Polisi
(78%) dan Pajak (76%). 7
Oleh karenanya, pemberantasan korupsi harus komprehensif dengan
melibatkan semua komponen aparat penegak hukum dan masyarakat. Pembentukan
Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) serta penyelenggaraan proses peradilan untuk kasus dugaan
korupsi oleh pengadilan tindak pidana korupsi, merupakan perkembangan yang
sangat menggembirakan dan mencuatkan harapan besar serta keyakinan kuat di
kalangan masyarakat luas bahwa pemberantasan korupsi melalui upaya hukum dan
proses peradilan akan berjalan secara cepat, akurat, komprehensif, tuntas dan
konsisten. Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi dengan Keputusan Presiden
No. 11 Tahun 2005 ini, bertujuan untuk lebih mempercepat pemberantasan korupsi
represif. Dengan demikian pemerintah c.q Presiden menilai bahwa pemberantasan
korupsi yang berlangsung selama ini masih lamban atau kurang cepat. Penilaian
Presiden bukan saja ditujukan kepada kinerja lembaga pemerintahan yang
dipimpinnya yang merupakan sub sistem dalam sistem peradilan pidana yaitu
Kejaksaan dan Kepolisian, tetapi juga ditujukan kepada KPK. Terhadap KPK yang
merupakan lembaga negara independen yang bertanggung jawab kepada publik sudah
7
Thontowi Jawahir, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK dengan Institusi Penegak Hukum, diakses dari situs : http://www.
journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/168/159, hal. 2, diakses pada hari Kamis tanggal 15
tentu Presiden tidak dapat menjangkaunya, oleh karena itu jalan pintas yang bisa
ditempuh oleh Presiden adalah memberdayakan lembaga pemerintahan yang berada
di dalam kewenangannya dan kendalinya dengan mengkoordinasikannya dalam suatu
wadah yaitu Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor), sehingga
terbentuk sinergi yang bulat. Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya
bukan lembaga baru dengan status, tugas, dan wewenang yang khsusus seperti KPK,
tetapi hanya merupakan wadah koordinasi dimana semua unsur di dalamnya yaitu
Kejaksaan, Kepolisian, dan BPKP melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing
dalam koordinasi agar lebih berdaya guna dan berhasil guna. Tidak ada atau
lemahnya koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintahan tersebut, kita lihat dan
kita rasakan dengan nyata seolah-olah lembaga itu berjalan sendiri-sendiri, sehingga
potensi-potensi yang ada tidak menghasilkan sesuatu yang optimal. Hal ini rupanya
juga dilihat dan disadari oleh pemerintah c.q. Presiden, sehingga dibentuklah Tim
Pemberantasan Korupsi.8
Oleh media massa diberitakan bahwa Tim Tastipikor menerima sembilan
belas laporan kasus korupsi langsung dari Presiden. Sebagai pengendali
pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh pemerintah, tidak ditutup
kemungkinan bahwa Presiden menerima laporan tentang terjadinya kasus-kasus
korupsi dari segala sumber termasuk dari masyarakat luas. Untuk menindaklanjuti
8
Demikian disampaikan anggota KHN, Suhadibroto saat menjadi narasumber pada talkshow program reformasi hukum nasional yang diselenggarakan atas kerjasama KHN dengan Radio 68 H Jakarta, dan disiarkan langsung melalui satelit 89,20 FM, pukul 09.00 – 09.30, Senin, 30 Mei 2005.
laporan yang diterima itu Presiden bisa menyerahkan kepada Kejaksaan atau kepada
Kepolisian, tetapi dalam hubungan ini Presiden menempuh kebijaksanaan yang arif,
yaitu menyerahkan laporan kasus korupsi itu kepada Kejaksaan dan Kepolisian
bersama-sama yang dibantu oleh BPKP dalam wadah Tim Tastipikor untuk diproses
lebih lanjut sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku. Dalam wadah Tim
Tastipikor penyelesaian suatu kasus korupsi juga diharapkan bisa lebih cepat, karena
tidak lagi terjadi berkas perkara mondar mandir atau bolak balik antara penyidik dan
penuntut umum (seperti terjadi dalam kasus-kasus pidana umum), mengingat
penyidik dan penuntut umum berada di bawah satu atap dan dipimpin oleh orang
yang sama. Dengan dan dalam wadah Tim Tastipikor nuansa persaingan yang terjadi
antara Kejaksaan dan Kepolisian khususnya tentang kewenangan penyidikan yang
berdampak negatif dalam penegakan hukum bisa dinetralisasi, dan tumpang tindih
kewenangan penyidikan kasus korupsi yang terjadi selama ini justru bisa diatasi dan
timbullah sinergi.
Dalam Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 Tim Tastipikor tersebut
dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Tim Pemberatasan Tindak Pidana
Korupsi bekerja sama dan/atau berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Ombudsman Nasional, dan instansi lain.
Dalam hubungannya dengan KPK, kemungkinan terjadinya tumpang tindih
kewenangan dengan Tim Tastipikor tidak perlu ada, mengingat status KPK sebagai
kemungkinan ini. Sebagaimana tersebut di atas, KPK mempunyai kewenangan
koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan korupsi, termasuk Kejaksaan maupun Kepolisian di dalam wadah Tim
Tastipikor maupun di luarnya. KPK berwenang meminta laporan dari Tim Tastipikor
bahkan berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan perkara korupsi yang
ditangani oleh Kejaksaan atau Kepolisian yang tergabung dalam Tim Tastipikor
maupun di luarnya.
Mengingat korupsi yang semakin meningkat kuantitatif maupun kualitatif,
tidak mungkin semua kasus korupsi yang terungkap mampu ditangani oleh KPK.
Sesuai dengan Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, KPK membatasi diri hanya akan menangani kasus korupsi
tertentu, yaitu kasus yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara
negara, kasus yang menarik perhatian serta meresahkan masyarakat, atau kasus yang
merugikan keuangan negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00,-. Sehingga
kasus-kasus korupsi lain tentunya harus ditangani oleh Kejaksaan maupun Kepolisian yang
saat ini terwadahi dalam Tim Tastipikor.
Apakah di daerah juga akan dibentuk Tim Tastipikor, mengingat kasus-kasus
korupsi juga banyak diungkap dan ditangani oleh Kejaksaan maupun Kepolisian
dengan bantuan BPKP di daerah. Demi mencapai daya guna dan hasil guna yang
optimal dalam pemberantasan korupsi represif, rasanya Tim Tastipikor juga perlu
dibentuk di daerah dengan format yang lebih kecil dan mempunyai hubungan vertikal
tugasnya, perlu dipertimbangkan untuk memperpanjang masa tugasnya yang hanya
dua tahun itu, sehingga koordinasi antara Kejaksaan dan Kepolisian serta BPKP
menjadi pola yang baku dan tetap, sehingga terciptalah sistem yang terintegrasi yang
berjalan secara otomatis khususnya dalam pemberantasan korupsi represif.
Kebijaksanaan Presiden menunjuk Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus)
sebagai ketua Tim Tastipikor mengingat, bahwa dalam sistem peradilan pidana
(represif), jaksa memegang peran krusial, sebagai penuntut umum yang
menyampaikan pertanggungan jawab penyelidikan dan penyidikan di depan forum
yudikatif mulai dari tingkat pertama di Pengadilan Negeri, tingkat banding di
Pengadilan Tinggi, tingkat kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Oleh
karena itu, peran lembaga kejaksaan sangat menentukan keberhasilan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Satjipto Rahardjo dengan penuh harap meminta kejaksaan untuk berani
bertindak cepat, pro-aktif, dan meninggalkan cara-cara konvensional dengan
penegakan hukum progresif yang penuh greget. Namun demikian, menurut
Romli Atmasasmita pemberantasan korupsi bukanlah perkara yang mudah dan
segera dapat diatasi karena:
“Sistem penyelenggaraan pemerintahan yang mentabukan transparansi dan mengedepankan kerahasiaan dan ketertutupan; dengan menepiskan akuntabilitas publik dan mengedepankan pertanggungjawaban vertikal yang dilandaskan pada primordialisme; yang menggunakan sistem rekruitmen dan mutasi atas dasar koncoisme baik yang didasarkan kesamaan etnis, latar belakang politik, atau politik balas jasa”.9
9
Romli Atamasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek
MA. Rachman, Jaksa Agung pada masa pemerintahan Megawati, pernah
menyatakan bahwa:
“Jajaran Kejaksaan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi secara represif di seluruh Indonesia selama ini telah berusaha secara maksimal untuk menegakkan hukum dengan menuntut para pelaku tindak pidana korupsi ke Pengadilan. Dari data kuantitatif penanganan kasus-kasus korupsi selama kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, sejak tahun 1994 s/d 2003 jumlah perkara korupsi yang dilimpahkan ke Pengadilan pada tahun 2003 mencapai angka tertinggi, yaitu 539 perkara, dan sampai awal April 2004 mencapai 574 perkara. Upaya penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku korupsi sampai saat ini masih terus berlangsung dan terus diintensifkan sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan dari berbagai kalangan baik melalui forum politik (MPR/DPR/DPRD) forum akademis di berbagai perguruan tinggi maupun dari kalangan pemerhati hukum dan LSM”.10
Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, berikut adalah tugas dan wewenang Kejaksaan.
Di bidang pidana :
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang;
10
MA. Rachman, Hambatan, Tantangan dan Kendala Pemberantasan Korupsi di
Kejaksaan, makalah disampaikan dalam seminar “Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Dalam penanganan tindak pidana khusus misalnya korupsi, tindak pidana
ekonomi, jaksa diberi wewenang mengadakan penyidikan. Hal ini kadang kala
membuat kebingungan di pihak kepolisian pada saat melakukan penyidikan karena
berkenaan dengan kewenangan melakukan penyidikan . Sehingga kadang kala dapat
terjadi benturan antara kejaksaan dan kepolisian.11
Tugas jaksa penuntut umum dalam proses peradilan pidana adalah melakukan
penuntutan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku kejahatan. Fungsi ini
membawa jaksa penuntut umum ke dalam proses peradilan pidana dari penahanan ke
pemidanaan12 Lembaga Kejaksaan dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 telah
diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan.
Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum
pidana, karena dapat tidaknya perkara pidana masuk ke pengadilan adalah tergantung
sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Peran yang amat besar inilah
seharusnya dibarengi dengan independensi dalam melaksanakan kewenangannya
tersebut, karena tanpa independensi dari kejaksaan maka akan sangat sulit
mengharapkan independensi kekuasaan peradilan pidana. Dalam praktek peradilan
pidana, meskipun hakim bebas tetap terikat dengan apa yang didakwakan oleh
11
Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan, Usu Press, 2009, hal. 29.
12
penuntut umum. Hakim tidak boleh memutus apa yang tidak didakwakan oleh
Penuntut Umum.
Tugas dan wewenang lembaga kejaksaan sangat luas untuk kepentingan
umum yang di dalamnya menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha
negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini pelaksanaannya dipimpin dan
dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang diberi predikat Jaksa
Agung. Oleh karena itu, peranan Jaksa Agung dalam kehidupan bernegara menjadi
sangat krusial (vitally important), lebih-lebih pada saat ini, dimana negara sedang
dalam proses reformasi yang salah satu agendanya adalah terwujudnya supremasi
hukum.
Realitas di lapangan menyadarkan betapa tantangan dan hambatan yang
dihadapi tim pemberantasan dan pengadilan tindak pidana korupsi sangat besar, berat
dan kuat. Kuatnya jalinan kepentingan politik, kekuasaan dan finansial antara aktor
intelektual dan operator pelaku tindak pidana korupsi memiliki daya tolak yang
sangat kuat tehadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Jejaring yang
terbentuk dalam berbagai modus operandi tindak pidana korupsi mempersulit pilihan
strategi dan taktik pemberantasan tindak pidana korupsi secara menyeluruh, cepat dan
tuntas sebagaimana diharapkan oleh masyarakat luas. Sedangkan strategi dan taktik
pemberantasan tindak pidana korupsi secara bertahap berdasarkan skala prioritas
tayang dan tebang pilih ketimbang upaya serius dan konsisten untuk menegakkan
keadilan.13
Dihadapkan pada situasi sulit tersebut, tim pemberantasan (KPK, Kepolisian,
Kejaksaan dan BPKP) dan pengadilan tindak pidana korupsi perlu mendapatkan
penguatan eksternal dan internal. Penguatan eksternal bersumber dari terciptanya
konsensus nasional tentang strategi dan pendekatan penanganan tindak pidana
korupsi yang optimal dan dapat diterima masyarakat luas. Pada aspek penguatan
internal, KPK bersama tim pemberantasan dan pengadilan tindak pidana korupsi
perlu menindaklanjuti konsesus nasional dengan rencana tindakan yang meliputi
penyiapan dan pengembangan kebijakan, perangkat, proses dan teknis penanganan
kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dapat meyakinkan masyarakat luas bahwa
semua itu dilakukan secara serius, berkualitas, konsisten dan sistematis. Jalan kearah
terciptanya konsesus nasional mengenai penanganan tindak pidana korupsi memang
sangat terjal. Perdebatan publik tak akan pernah habis dan sulit menghasilkan
kesepakatan tentang dua hal pokok dalam penanganan tindak pidana korupsi, yaitu
penanganan terhadap tersangka pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) dan
penyelamatan kekayaan negara.
13
Setiap koruptor yang mencuri kekayaan negara tanpa pandang bulu harus
diproses ke pangadilan, dibuktikan bersalah, divonis kurungan badan dan disita
asetnya untuk mengganti kerugian negara akibat dari tindakan koruptor tersebut.
Namun dalam realisasinya hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Dalam kenyataannya masalah pengembalian kekayaan negara sangat sulit dilakukan.
Hal ini bermula dari susahnya persoalan dalam menentukan unsur kerugian negara
sampai pada rumitnya masalah pembuktian adanya kerugian negara dalam tindak
pidana korupsi.
Khusus mengenai masalah pembuktian mengenai adanya kerugian negara
dalam kasus tindak pidana korupsi, BPKP sebagai bagian dari tim pemberantasan
tindak pidana korupsi memiliki wewenang untuk itu. BPKP merupakan salah satu
lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 Tahun
2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen Presiden Republik Indonesia, yang
mengatur bahwa BPKP mempunyai wewenang melaksanakan tugas pemerintah di
bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain itu tugas BPKP adalah melakukan
pengawasan intern melalui audit investigatif. Yang dimaksud audit investigatif adalah
merupakan bagian dari pengawasan intern pemerintah berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Pada dasarnya semangat audit investigatif oleh BPKP berdasarkan persfektif
undang-undang di atas bukan merupakan audit yang hasilnya dapat dijadikan dasar
untuk mengungkap kasus korupsi tetapi lebih merupakan tindakan pengawasan
(bukan pemeriksaan) internal pemerintahan yang bersifat preventif, yaitu berupa
laporan pertanggungjawaban kepada presiden. Artinya BPKP memperoleh
kewenangannya melalui delegasi Presiden sebagai sistem internal pengendali
pemerintah. BPKP sebagai pengawas internal memberikan peringatan dini sebelum
adanya temuan BPK. Sehingga seharusnya BPKP kalaupun sampai pada tindak
pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan upaya terakhir (ultimum remedium),
setelah melalui proses tuntutan ganti rugi ataupun proses administratif internal
lainnya. 14
Audit investigatif dalam tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan
domain BPKP. Kewenangan audit investigatif secara atributif ada pada BPK
sebagaimana dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara, Undang-undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-undang No. 15 Tahun 2006 Tentang
Badan Pemeriksaan Keuangan.
Dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara diatur mengenai kewenangan BPK yang
dapat melaksanakan audit investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian
14
negara/daerah dan/atau unsur pidana, dan apabila dalam pemeriksaan ditemukan
unsur pidana maka BPK harus segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang
berwenang.15
Selanjutnya Undang-undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan
Keuangan secara jelas memberikan kewenangan kepada BPK untuk melaporkan hasil
audit investigatif yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang,
untuk kemudian dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 16 Hal ini senada dengan
Undang-undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan negara yang memberikan
kewenangan kepada BPK untuk menindaklanjuti hasil audit yang mengandung unsur
pidana.17 Dengan demikian, hasil audit investigatif yang dapat digunakan oleh
penyidik sebagai alat bukti dalam kasus tindak pidana korupsi adalah hasil audit
investigatif yang dikeluarkan oleh BPK. Namun dalam hal pelaksanaannya, hasil
audit investigatif BPKP pun sering dijadikan alat bukti untuk mengungkap kasus
korupsi.
Berdasarkan pemikiran di atas, penulis menganggap perlu melakukan
penelitian yang berjudul “Kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam Penentuan
Unsur Kerugian Keuangan Negara terhadap Tindak Pidana Korupsi”. Penelitian ini
dianggap menarik karena penulis ingin melihat bagaimana bentuk koordinasi dan
15
Pasal 13 dan 14 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
16
Pasal 8 Undang-undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.
17
kerjasama antara kejaksaan dan BPKP dalam menentukan unsur kerugian
keuangan negara untuk kasus tindak pidana korupsi. Karena beberapa kasus
memberikan fakta akan adanya koordinasi yang harus dibangun antara BPKP
dengan Kejaksaan, karena seringkali ada kesan bahwa beberapa kasus hanya
mengakui BPKP sebagai satu-satunya alat bukti yang dapat menentukan besarnya
kerugian negara. Hal ini terbukti dari banyaknya perkara korupsi di tingkat
kepolisian maupun kejaksaan yang berkas perkaranya belum lengkap karena
menunggu hasil audit BPKP. Misalnya pada kasus PLTG Borang dimana
Kejaksaan tetap bersikeras menginginkan hasil audit BPKP karena menurutnya
saksi ahli lain tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga penyidikan pun
dihentikan karena hanya menggunakan ahli independen untuk menyatakan ada
unsur kerugian negara.
Jadi, BPKP merupakan bagian Tim Pemberantasan Korupsi selain KPK,
Kepolisian dan Kejaksaan. BPKP dalam melaksanakan perannya bersinergi dengan
penegak hukum yang lain seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. BPKP ini
fungsinya tidak bisa melakukan penangkapan seperti kejaksaan, tapi membantu
penyidik untuk bisa melakukan penangkapan, jadi BPKP fungsinya bisa membantu
penyidik dalam rangka audit investigatif yaitu audit terhadap kegiatan-kegiatan yang
diduga mengandung penyimpangan-penyimpangan dan berindikasi Tindak Pidana
Korupsi. Kemudian membuat laporan, laporan audit investigasi itu apabila terpenuhi
Selanjutnya apabila penyidik sudah sampai pada tahap penyidikan. Hal yang sama
juga dilakukan oleh KPK juga meminta bantuan kepada BPKP untuk menghitung
kerugian keuangan negara dan apabila laporan perhitungan kerugian keuangan negara
sudah selesai diserahkan kepada penyidik yaitu jaksa, polisi, KPK, untuk diproses
lebih lanjut apabila terpenuhi tindak pidana korupsi untuk diproses lebih lanjut
sampai penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan dan sebagainya. Pada tahap
dimana Penyidik sudah menyelesaikan tugasnya, BPKP ini masih membantu lagi
dalam rangka memberikan keterangan ahli dipersidangan, jadi BPKP ini sangat
berperan penting sampai dipersidangan. Jadi yang berhak melakukan penangkapan
adalah penyidik, BPKP hanya bisa memberikan sarana berupa hasil audit,
memberikan laporan agar dapat melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak
pidana korupsi. Peran BPKP membantu penyidik memberikan kontribusi, data,
laporan, hasil audit investigatif maupun perhitungan kerugian keuangan negara yang
dapat digunakan untuk proses hukum tadi. Jadi peran, fungsi, wewenang dan dan
mekanisme koordinasi antara BPKP dan Kejaksaan dinilai menarik untuk diangkat
dalam sebuah penelitian.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang
1. Bagaimana kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur
kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi.
2. Bagaimana faktor-faktor penghambat dan solusi untuk mengatasi faktor
penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan
dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana
korupsi ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam penentuan unsur
kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dan solusi untuk mengatasi faktor
penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang BPKP dan Kejaksaan
dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana
korupsi.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi
yaitu :
Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat dan masukan dalam upaya penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi di Indonesia yang dewasa ini sedang sangat gencar
dilakukan oleh Pemerintah dengan memaksimalkan peran, fungsi dan wewenang
sampai pada mekanisme koordinasi antara BPKP dan Kejaksaan sebagai bagian
dari Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani suatu perkara
tindak pidana korupsi.
2. Secara Praktis
a. Bagi Pemerintah
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah
agar segera merumuskan peraturan perundang-undangan yang untuk
selanjutnya dapat dijadikan pedoman oleh masing-masing lembaga khususnya
BPKP dan Kejaksaan dalam rangka memaksimalkan peran, fungsi dan
wewenang lembaga-lembaga tersebut dalam rangka mendukung upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Permasalahan ini sangat penting
dikemukakan karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi
ketidakkonsistenan peran, fungsi dan BPKP sebagai bagian dari Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena terkadang hasil audit
investigasi BPKP tidak dapat dijadikan alat bukti karena hasil audit
investigasi BPKP bukan merupakan audit yang hasilnya dapat dijadikan dasar
untuk mengungkap kasus korupsi tetapi lebih merupakan tindakan
laporan pertanggungjawaban kepada presiden. BPKP sebagai pengawas
internal memberikan peringatan dini sebelum adanya temuan BPK. Namun
untuk beberapa kasus, hasil audit BPKP dianggap sebagai satu-satunya alat
bukti dalam kasus tindak pidana korupsi seperti contoh kasus PLTG Borang
sebagaimana disebutkan di atas. Sedangkan untuk Kejaksaan, penelitian ini
dianggap penting karena sebagaimana diketahui bahwa Kejaksaan sebagai
salah satu pilar penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,
sehingga Kejaksaan harus melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik.
b. Bagi Dunia Pendidikan dan Akademisi
Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi dunia pendidikan dan
akademisi khususnya dalam rangka menumbuhkan kesadaran hukum anti
korupsi dan kesadaran hukum untuk berperan memberantas korupsi.
c. Bagi Masyarakat
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya
dalam upaya mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah, khususnya terhadap political will pemerintah dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di
“Kewenangan BPKP dan Kejaksaan dalam Penentuan Unsur Kerugian Negara
terhadap Tindak Pidana Korupsi” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan
perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang
tindak pidana korupsi tapi dengan persfektif dan kajian yang berbeda. Jadi
penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur,
rasional, obyektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Penelitian ini juga terbuka
atas masukan serta saran-saran yang membangun dalam rangka penyempurnaan.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk
mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek
masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara
deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini
berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan
sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum
yang dianggap paling relevan. Sebagai acuan pokok untuk mengorganisasi dan
menganalisa masalah tesis ini, penulis mengunakan Konsep “Pembagian Kekuasaan”
Salah satu ciri negara hukum, yang disebut the rule of law atau dalam bahasa
Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan
dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum
yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh karena itu,
konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau constitutional
state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam gagasan yang sama, gagasan
negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional
democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan
atas hukum.
Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan dilakukan dengan
pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan internal kekuasaan negara itu sendiri,
yaitu dengan mengadakan pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam
fungsi-fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini, yang dapat dianggap paling
berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan
itu adalah Montesquieu dengan teori trias politica-nya. yaitu cabang kekuasaan
legislatif, cabang kekuasaan eksekutif atau administratif, dan cabang kekuasaan
yudisial.
Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Espirit des Lois” (1784) atau dalam
bahasa Inggris-nya “The Spirit of The Laws“, yang mengikuti jalan pikiran John
Locke, membagi kekuasaan negara kedalam tiga cabang, yaitu:
1. Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang.
3. Kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.
Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara
modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the
executive or administrative function), dan yudisial (the judicial function).
Sebelumnya, John Locke dalam bukunya “Two Treatises of Government”
(1689), juga membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya.
Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara meliputi :
1. Fungsi Legislatif.
2. Fungsi Eksekutif.
3. Fungsi Federatif.
Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat dua sarjana itu nampaknya
mirip. Tetapi dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka berbeda. John Locke
mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan
fungsi kekuasaan kehakiman (yudisial). Montesquieu lebih melihat pembagian atau
pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan
John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan kedalam dan keluar negara-negara
lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi defencie baru timbul apabila fungsi
diplomacie terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting adalah fungsi
federatif. Sedangkan fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan kedalam kategori
fungsi legislatif, yang itu terkait dalam fungsi pelaksanaan hukum. Tetapi bagi
Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negerilah (diplomasi)
Justru dianggap penting oleh Montesquieu adalah fungsi yudisial atau fungsi
kekuasaan kehakiman.18
Dalam bahasa yang lebih sederhana, Miriam Budiardjo menjabarkan legislatif
sebagai kekuasan untuk membentuk undang-undang, eksekutif untuk
menyelenggarakan undang-undang, dan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili
pelanggaran undang-undang. Selanjutnya, baik mengenai tugas (fungsi) maupun
mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya, ketiganya harus
terpisah satu sama lain.19
1. Division Of Power And Separation Of Power
Persoalan pembatasan kekuasaan (limitation of Power) berkaitan erat dengan
teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori pembagian kekuasaan
(division atau distribution of power). Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan
atau pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias
politica-nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para ahli
berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini.
Istilah “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga
fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan
18
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung, 2007, hal. 21.
19
dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan
masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif,
kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula
kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada
intinya, satu organ hanya memiliki satu fungsi, sebaliknya satu fungsi hanya
dilakukan oleh satu organ.
Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan, para ahli biasa
menggunakan pula istilah division of power atau distribution of power. Ada pula
sarjana yang menggunakan istilah division of power sebagai genus, sedangkan
separation of power merupakan bentuk species-nya. Bahkan, Arthur Mass, misalnya,
membedakan pengertian division of power tersebut kedalam dua pengertian, yaitu;
capital division of power dan territorial division of power. Pengertian pertama
bersifat fungsional, sedangkan yang kedua bersifat kewilayahan dan kedaerahan.
Separation of power diartikan oleh O. Hood Philips dan yang lainnya sebagai
the distribution of the powers of government among different organs. Dengan kata
lain, kata separation of power diidentikkan dengan distribution of power. Oleh karena
itu, istilah-istilah separation of powers, division of powers, distribution of powers,
dan demikian pula istilah-istilah pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasan,
menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya mempunyai arti yang sama saja, tergantung
konteks pengertian yang dianut. Jimly mencontohkan, misalnya, dalam Konstitusi
Amerika Serikat, kedua istilah separation of Power dan division of power sama-sama
pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian (territorial division of power),
sedangkan istilah separation of power dipakai dalam konteks pembagian kekuasaan
di tingkat federal, yaitu antara legislature, the executive, dan judiciary (capital
division of power).20
2. Checks And Balances
Sejalan perkembangan teori pemisahan kekuasaan, dikenal pula konsep
checks and balances. Istilah checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s
Law Dictionary, diartikan sebagai “arrangement of governmental powers whereby
powers of one governmental branch check or balance those of other brances.”
Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances
merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan
satu dengan yang lain. Tujuan dari konsepsi ini adalah untuk menghindari adanya
konsentrasi kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu. Kata “checks” dalam
checks and balances berarti “suatu pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar
suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan
kesewenang-wenangan. Adapun “balance,” merupakan suatu keseimbangan
kekuasaan, agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat
(konsentrasi kekuasaan) sehingga menimbulkan tirani.21
20
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 14.
21
Di Indonesia konsep yang dianut adalah pembagian kekuasaan (distribution of
power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power), dimana, kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif walaupun menjalankan peran dan fungsinya
masing-masing, namun tidak terpisah satu dengan yang, tetapi saling berhubungan
dan melakukan koordinasi. Hal ini adalah dalam rangka check and balance dan fungsi
saling mengawasi antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Misalnya
kekuasaan eksekutif dan legislatif yang bekerjasama dalam hal pembuatan
undang-undang, adanya koordinasi antara eksekutif dan legislatif dalam pemberian grasi dan
amnestif untuk para narapidana dan sebagainya. Jadi, satu lembaga dengan lembaga
lain walaupun menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing, masih
melakukan koordinasi dan kerjasama dalam melaksanakan tugasnya sehingga
menjadi satu kesatuan yang bekerja dalam satu sistem negara hukum.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sebagai suatu sistem, peradilan
pidana mempunyai perangkat struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja secara
koheren, koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang
maksimal. Kombinasi antara Efisiensi dan efektivitas dalam sistem sangat penting,
sebab belum tentu efisiensi masing-masing subsistem dengan sendirinya
menghasilkan efektivitas. 22 Efektivitas sistem peradilan pidana, secara umum antara
lain dapat diukur melalui indikator-indikator tingkat pengungkapan perkara oleh
polisi (clearance rate), tingkat keberhasilan jaksa dalam membuktikan dakwaan
(conviction rate), kecepatan penanganan perkara (speedy trial), tingkat penggunaan
22
alternatif pidana kemerdekaan (rate of alternative sanction), menonjol atau tidaknya
disparitas (disparity of sentencing performance), dan tingkat residivisme (rate of
recall to prison).23
Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak
berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan
pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk
pencegahan. Efektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada
kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan
profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya.24 Tanpa
kesadaran baik dari aparat penegak hukum, pembuat hukum, dan masyarakat dimana
hukum akan diterapkan, maka penegakan hukum akan menjadi proses untuk
mengabsahkan kekuatan yang absolut dengan pembenaran/justifiksasi hukum yang
bersifat korup, otoriter, represif, yang sekaligus mencerminkan kepentingan dari para
oligarki penguasa.
Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem peradilan pidana
(criminal justice system) memberikan dampak pada proses penegakan hukum di
Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum, seperti efektivitas
penerapan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia yang walaupun pada
hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembuat Undang-undang
dan masyarakat internasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allott yang
23
Ibid, hal. 120. 24
menyatakan bahwa pembuatan hukum yang kilat atau tergesa-gesa akan dapat
mengakibatkan hukum menjadi tidak efektif, yang pada gilirannya membuat apa yang
diinginkan hukum itu tidak tercapai.25 Sedangkan Soerjono Soekanto melihat
efektivitas suatu kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses
yang pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat
keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai
unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan
moral (etika dalam arti sempit), hal ini sebagaimana pendapat Roscoe Pound.26
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya sistem
peradilan pidana (criminal justice system) menjadi prioritas utama dalam bidang
penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub
sistem di dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya kualitas
maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tujuan dari
sistem peradilan pidana adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
25
Antony Allot, The Efectiveness of Law, Valparaiso University Law Review, Vol.15 Wiater,198, hal. 233 dalam Bismar Nasution. Ibid, hal.4
26