• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Usia Rata-Rata Berhenti Mengompol (Nocturnal Enuresis) pada Anak SD Harapan I Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Usia Rata-Rata Berhenti Mengompol (Nocturnal Enuresis) pada Anak SD Harapan I Medan"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN USIA RATA-RATA BERHENTI MENGOMPOL

(NOCTURNAL ENURESIS) PADA ANAK SD HARAPAN I MEDAN

Oleh:

FINI MEIRISA ALNAZ 080100017

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

GAMBARAN USIA RATA-RATA BERHENTI MENGOMPOL

(NOCTURNAL ENURESIS) PADA ANAK SD HARAPAN I MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH INI DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH KELULUSAN SARJANA

KEDOKTERAN

Oleh:

FINI MEIRISA ALNAZ 080100017

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Gambaran Usia Rata-Rata Berhenti Mengompol (Nocturnal Enuresis) pada Anak SD Harapan I Medan

Nama : Fini Meirisa Alnaz NIM : 080100017

Pembimbing, Penguji,

dr. Lita Feriyawati, M.Kes

NIP. 197002082001122001 NIP. 197610042001122002 dr. Alya Amila Fitrie, M.Kes

NIP. 197604202003122001 dr. Rina Amelia, M.A.R.S

Medan, Desember 2011 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

NIP. 195402201981101001

(4)

ABSTRAK

Nocturnal enuresis ( mengompol ) merupakan pengeluaran air kemih yang tidak disadari pada malam hari oleh seseorang yang pengendalian kandung kemihnya diharapkan sudah tercapai. Hal ini terjadi pada anak-anak yang tidak bisa menahan buang air kecil dalam waktu yang lama seperti pada saat tidur dan dianggap masih normal diperkirakan sampai usia 5 tahun.

Penelitian deskriptif dengan pengamatan potong lintang ini bertujuan untuk melihat gambaran usia rata-rata berhenti mengompol pada anak SD Harapan I Medan, faktor-faktor resiko terjadinya mengompol tersebut, serta bagaimana cara menanganinya. Data didapatkan dari kuesioner yang diberikan kepada 114 orang tua siswa yang dipilih secara acak stratifikasi.

Hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang masih mengompol

sampai pada saat penelitian dilakukan sebanyak 5,3% dan usia berhenti mengompol adalah 34,2% pada usia 1-2 tahun, 42,1% pada usia 3-4 tahun, 13,2% pada usia 5-6 tahun, 2,6% pada usia 7-8 tahun, dan 2,6% pada usia diatas 8 tahun.

Dapat disimpulkan bahwa usia rata-rata berhenti mengompol pada anak

SD Harapan I Medan adalah pada usia 3-4 tahun. Hal ini didukung dengan adanya usaha orang tua untuk mengajarkan anak BAK (buang air kecil) di kamar mandi yang dimulai sejak usia 1 tahun dan pada malam hari orang tua membangunkan

anaknya untuk ke kamar mandi agar tidak mengompol.

(5)

ABSTRACT

Nocturnal enuresis ( bedwetting ) is involuntary urination while sleeping after the age of which bladder control usually accours. It is a common problem among children who cannot control their bladder for long time like sleeping and it is still normal until the age before 5 years old.

This cross sectional descriptif study was using stratified random sampling to see the picture average age of stop bedwetting among children in SD Harapan I Medan, risk factor of bedwetting and how to treat it. Data were obtained by using questionnaire which was completed by 114 parents.

The response rate was 5,3% children were still having bedwetting when the observation was conducted, 34,2% children stop bedwetting by age of 1-2 year old, 42,1% from 3-4 years old, 13,2% from 5-6 years old, 2,6% from 7-8 years old, and 2,6% from above 8 years old.

The conclusion is some children in SD Harapan I Medan stop bedwetting by the age of 3 years old. It is supported by the effort of parents to teach their children about toilet training from age of 1 and always awake their children to go to toilet every night to avoid bedwetting.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga karya tulis ilmiah yang berjudul “ Gambaran Usia Rata-Rata Berhenti Mengompol (Nocturnal Enuresis) pada anak di SD Harapan I Medan “ ini dapat selesai. Adapun karya tulis ilmiah ini disusun sebagai tugas akhir serta sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Perencanaan dan penulisan karya tulis ilmiah ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar berkat dukungan berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah, Sp. PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Lita Feriyawati, M.Kes sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan berbagai ide dan tinjauan sehingga karya tulis ilmiah ini bisa diselesaikan.

3. dr. Alya Amila Fitrie, M.Kes dan dr. Rina Amelia, MARS selaku dosen penguji yang telah memberikan berbagai saran dan kritik sehingga karya tulis ilmiah ini bisa menjadi lebih baik.

4. Seluruh civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, terutama kepada dosen dan staf departemen IKK serta staf Medical Education Unit (MEU)

5. Kepala Sekolah SD Harapan I Medan, Guru dan para Responden yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

(7)

7. Rekan-rekan seperjuangan dan sahabat di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang setia menolong dan senantiasa bertukar pendapat: Rizki Anindita Pratiwi Matondang, Astinal Eka Sari, Tri Suci Handayani, Ira Mendrofa, Siti Aisyah Dalimunthe, Taya Rizki Arini, M. Faridz Syahrian, Alviera Yuliandra, Yuli Marlina, Hanidya Fazwat, dan Syahrul Hidayat Nasution.

8. Sahabat-sahabat yang selalu mendoakan dan mendukung kegiatan dalam melaksanakan karya tulis ilmiah ini: Widya Rahmadani Utami, Anjani Rawalina, Ficka Prameidia Utami, Rinna Ayu Gustira, Shoumi Ramadhani, dan Annisa Khairat.

9. Teman-teman kelompok karya tulis ilmiah yang selalu bersama: Wan Alya Atiqah dan Harry Kumar.

10.Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan kalian.

Penulis menyadari bahwa kaya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua, member informasi dan manfaat dalam pengembangan ilmu kedokteran.

Medan, Desember 2011 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Definisi ... 5

2.2 Epidemioligi ... 5

2.3 Anatomi dan Fisiologi Kandung Kemih ... 6

2.4 Teori Perkembangan Anak ... 14

2.5 Etiologi dan Patofisiologi ... 16

2.6 Diagnosa ... 18

2.7 Diagnosa Banding ... 20

2.8 Penatalaksanaan ... 21

2.9 Komplikasi dan Prognosis ... 23

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 24

3.1 Kerangka Konsep ... 24

(9)

BAB 4 METODE PENELITIAN... 26

4.1 Jenis Penelitian ... 26

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 26

4.4 Kriteria Penelitian ... 28

4.5 Metode Pengumpulan Data ... 28

4.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 28

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEBAHASAN ... 30

5.1 Hasil Penelitian ... 30

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 30

5.1.2 Karakteristik Responden ... 30

5.1.3 Hasil Analisa Data ... 31

5.2 Pembahasan ... 39

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

6.1 Kesimpulan ... 43

6.2 Saran ... 44

(10)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responsen ... 30

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Status Mengompol Saat Ini ... 31

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Usia Berhenti Mengompol ... 31

Tabel 5.4 Distribusi Frekue nsi dari Frekuensi Mengompol ... 32

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Usia Belajar Buang Air Kecil di Kamar Mandi (Toilet Training) ... 32

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Buang Air Besar di Celana Saat Masih Mengompol ... 33

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Konsumsi Kafein Sebelum Tidur ... 33

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Usaha Mengatasi Mengompol ... 33

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga Terlambat Berhenti Mengompol ... 34

Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Melewatkan Kegiatan Menginap Karena Mengompol ... 34

Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Usia Responden berdasarkan Jenis Kelamin ... 35

Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi Status Mengompol berdasarkan Jenis Kelamin ... 35

Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Jenis Kelamin ... 36

Tabel 5.14 Distribusi Frekuensi Status Mengompol berdasarkan Usia Responden ... 36

Tabel 5.15 Distribusi Frekuensi Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Usia Responden ... 37

Tabel 5.16 Distribusi Frekuensi Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Usia Belajar BAK di kamar mandi (toilet training) ... 37

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar 1 Anatomi Kandung Kemih ... 7

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Lembar Penjelasan

Lampiran 3 Kuesioner Penelitian

Lampiran 4 Surat Pernyataan Validitas

Lampiran 5 Lembar Pernyataan Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Lampiran 6 Data Induk Responden

Lampiran 7 Output Data SPSS

Lampiran 8 Ethical Clearence

(13)

ABSTRAK

Nocturnal enuresis ( mengompol ) merupakan pengeluaran air kemih yang tidak disadari pada malam hari oleh seseorang yang pengendalian kandung kemihnya diharapkan sudah tercapai. Hal ini terjadi pada anak-anak yang tidak bisa menahan buang air kecil dalam waktu yang lama seperti pada saat tidur dan dianggap masih normal diperkirakan sampai usia 5 tahun.

Penelitian deskriptif dengan pengamatan potong lintang ini bertujuan untuk melihat gambaran usia rata-rata berhenti mengompol pada anak SD Harapan I Medan, faktor-faktor resiko terjadinya mengompol tersebut, serta bagaimana cara menanganinya. Data didapatkan dari kuesioner yang diberikan kepada 114 orang tua siswa yang dipilih secara acak stratifikasi.

Hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang masih mengompol

sampai pada saat penelitian dilakukan sebanyak 5,3% dan usia berhenti mengompol adalah 34,2% pada usia 1-2 tahun, 42,1% pada usia 3-4 tahun, 13,2% pada usia 5-6 tahun, 2,6% pada usia 7-8 tahun, dan 2,6% pada usia diatas 8 tahun.

Dapat disimpulkan bahwa usia rata-rata berhenti mengompol pada anak

SD Harapan I Medan adalah pada usia 3-4 tahun. Hal ini didukung dengan adanya usaha orang tua untuk mengajarkan anak BAK (buang air kecil) di kamar mandi yang dimulai sejak usia 1 tahun dan pada malam hari orang tua membangunkan

anaknya untuk ke kamar mandi agar tidak mengompol.

(14)

ABSTRACT

Nocturnal enuresis ( bedwetting ) is involuntary urination while sleeping after the age of which bladder control usually accours. It is a common problem among children who cannot control their bladder for long time like sleeping and it is still normal until the age before 5 years old.

This cross sectional descriptif study was using stratified random sampling to see the picture average age of stop bedwetting among children in SD Harapan I Medan, risk factor of bedwetting and how to treat it. Data were obtained by using questionnaire which was completed by 114 parents.

The response rate was 5,3% children were still having bedwetting when the observation was conducted, 34,2% children stop bedwetting by age of 1-2 year old, 42,1% from 3-4 years old, 13,2% from 5-6 years old, 2,6% from 7-8 years old, and 2,6% from above 8 years old.

The conclusion is some children in SD Harapan I Medan stop bedwetting by the age of 3 years old. It is supported by the effort of parents to teach their children about toilet training from age of 1 and always awake their children to go to toilet every night to avoid bedwetting.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nocturnal enuresis (bedwetting ) atau dalam bahasa Indonesia yang dikenal dengan istilah “mengompol” merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada anak – anak. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa keadaan seperti peranan orang tua terhadap penerapan kebiasaan toilet training, konsumsi air minum berlebihan sebelum tidur, serta peranan riwayat keluarga.

Pengertian dari Nocturnal enuresis ini sendiri merupakan pengeluaran air kemih yang tidak disadari pada malam hari oleh seseorang yang pengendalian kandung kemihnya diharapkan sudah tercapai, dan hal ini terjadi pada malam hari (Sekarwana, 1993). Nocturnal enuresis terjadi pada anak-anak yang tidak bisa menahan buang air kecil dalam waktu yang lama seperti pada saat tidur.

Nocturnal enuresis tanpa pengosongan urin yang jelas pada siang hari mengenai 20% sampai usia 5 tahun, kemudian berhenti secara spontan pada kira-kira 15 % anak tersebut setiap tahun (Gonzales, 2000). Adapun usia puncak anak-anak mengalami enuresis adalah usia 4-5 tahun dengan komposisi 18% laki-laki dan 15% perempuan, pada usia 12 tahun menurun menjadi 6% laki-laki dan 4% perempuan (Gray dan Moore, 2009).

(16)

Berdasarkan data yang didapat Hazza dan Tarawneh (2002) dari kuesioner yang diperoleh dari orang tua anak usia 6-8 tahun di sekolah dasar di Jordan, didapatkan 48,9% anak usia 6 tahun mengalami nocturnal enuresis, 21% pada anak usia 7 tahun, dan 8,4% pada usia 8 tahun. Dari penelitian ini juga didapatkan 50,5% dengan riwayat orang tua dengan nocturnal enuresis, 50% berkonsultasi ke dokter, 75%diterapi dengan pemberian obat-obatan, dan 14% dihukum oleh orang tua bila mengompol. Prevalensi ini mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Asia dan Eropa karena adanya faktor-faktor terkait.

Sedangkan dari epidemiologi yang diperoleh Yousef, Basaleem, dan Taher (2009) dari 655 orang anak, maka didapati penurunan kejadian nocturnal enuresis, sehingga pada usia 6-8 tahun hanya ditemukan sebanyak 31,5% dan 8,7% pada usia 15 tahun ke atas. Selain itu didapati juga 37,2% dengan riwayat keluarga mengalami nocturnal enuresis, 45,5% disertai diurnal enuresis, 41,7% disertai dysuria, 41,0% disertai konstipasi, 82,3% karena dihukum bila mengalami

nocturnal enuresis, dan 91% membutuhkan penanganan medis. Hal ini dipengaruhi jumlah keluarga dan sosial ekonomi keluarga.

(17)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah berupa “Berapakah usia rata-rata berhenti mengompol (nocturnal enuresis) pada anak-anak di SD Harapan I Medan pada tahun 2011?“

1.3 Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran usia rata-rata berhenti mengalami nocturnal enuresis pada anak di SD Harapan I Medan.

2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalensi nocturnal enuresis pada anak di SD Harapan I Medan.

2. Mengetahui faktor-faktor resiko nocturnal enuresis yang terjadi pada anak-anak di SD Harapan I Medan.

3. Mengetahui usia rata-rata berhenti mengalami nocturnal enuresis pada anak laki – laki dan anak perempuan di SD Harapan I Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari uraian tujuan penelitian diatas, maka manfaat yang diharapkan adalah: 1. Untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis khususnya

mengenai nocturnal enuresis serta menerapkan pengalaman ilmiah dalam penulisan dan pelaksanaan penelitian.

2. Responden penelitian ini adalah orang tua murid di SD Harapan I Medan. Hasil yang diperoleh diharapkan menjadi kontribusi sebagai informasi kepada orang tua mengenai perkiraan usia anak berhenti mengalami

nocturnal enuresis, faktor-faktor resiko terjadinya nocturnal enuresis

(18)

3. Di kalangan masyarakat nocturnal enuresis dianggap sebagai hal yang memalukan, oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tambahan bagi pembaca dan menambah wawasan serta pengetahuan masyarakat mengenai perkiraan usia anak berhenti mengalami

nocturnal enuresis.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Enuresis adalah pengeluaran urin yang terjadi pada orang yang pengendalian kandung kemihnya diharapkan sudah tercapai. Berdasarkan waktu,

enuresis dibagi menjadi nocturnal enuresis (sleep wetting/bedwetting) yaitu

enuresis yang terjadi pada malam hari, dan diurnal enuresis (awake wetting) yaitu

enuresis pada siang hari. Sedangkan berdasarkan awal terjadinya enuresis dibagi menjadi enuresis primer, bila terjadi sejak lahir dan tidak pernah ada priode normal dalam pengontrolan buang air kecil, serta enuresis sekunder yang terjadi setelah enam bulan sampai satu tahun dari priode dimana kontrol pengosongan urin sudah normal (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982; Sekarwana, 1993; Dalton, 2000).

2.2 Epidemiologi

Nocturnal enuresis tanpa pengosongan urin yang jelas pada siang hari mengenai 20% sampai usia 5 tahun, kemudian berhenti secara spontan pada kira-kira 15 % anak tersebut setiap tahun (Gonzales, 2000).

Menurut Tanagho (2008), anak perempuan dengan kandung kemih normal lebih cepat dapat mengontrol buang air kecilnya daripada anak laki-laki. Pada usia 6 tahun, 10% masih mengalami nocturnal enuresis, bahkan pada usia 14 tahun sebanyak 5% juga masih ada yang mengalami nocturnal enuresis. Didapati 50% kasus mengalami keterlambatan pematangan sistem saraf dan myoneurogenik intrinsik kandung kemih, 30% kasus dipengaruhi keadaan psikologis, dan 20% lainnya disebabkan oleh penyakit-penyakit organik. Dan biasanya nocturnal enuresis fungsional berhenti pada usia kurang lebih 10 tahun.

(20)

tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Asia dan Eropa karena adanya faktor-faktor terkait.

Sedangkan dari epidemiologi yang diperoleh Yousef, Basaleem, dan Taher (2009) dari 655 orang anak, maka didapati penurunan kejadian nocturnal enuresis, sehingga pada usia 6-8 tahun hanya ditemukan sebanyak 31,5% dan 8,7% pada usia 15 tahun ke atas.

Adapun usia puncak anak-anak mengalami enuresis adalah usia 4-5 tahun dengan komposisi 18% laki-laki dan 15% perempuan, pada usia 12 tahun menurun menjadi 6% laki-laki dan 4% perempuan. Maka harus ada penanganan dan penjelasan pada orang tua mengenai “Law of 15” yaitu: 15% anak mengalami

enuresis, 15% insidensinya berkurang pada setiap tahunnya, 15% disertai dengan

encopresis (pengeluaran tinja secara tidak layak), dan 15% mengalami enuresis

sekunder (Gray dan Moore, 2009).

2.3 Anatomi dan Fisiologi Normal Kandung Kemih 2.3.1 Anatomi Kandung Kemih

Kandung kemih adalah organ muskular berongga yang berfungsi sebagai penyimpanan urin. Pada laki-laki terletak tepat dibelakang simphisis pubis dan didepan rektum, sedangkan kandung kemih wanita terletak dibawah uterus dan didepan vagina. Kapasitas normal kandung kemih sebanyak 400-500 ml (Tanagho, 2008).

Struktur kandung kemih berupa:

1. Dinding, dengan empat lapisan, yaitu:

a. Serosa, merupakan lapisan terluar yang berupa perpanjangan lapisan

peritoneal rongga pelvis.

(21)

c. Submukosa, berupa jaringan ikat dibawah mukosa dan berhubungan dengan muskularis.

d. Mukosa, yaitu lapisan terdalam berupa epitel transisional (Sloane, 2003; Wibowo, 2009).

2. Trigonum vesicae merupakan area halus, triangular, dan relatif tidak dapat berkembang yang terletak secara internal dibagian dasar kandung kemih. Sudut-sudutnya terbentuk dari tiga lubang yaitu dua disudut atas berupa muara ureter dan satu pada apex berupa uretra (Wibowo dan Parayana, 2009; Guyton dan Hall, 2007).

Gambar 1 Anatomi Kandung Kemih (sectiocadaveris.wordpress.com)

Persarafan kandung kemih diurus oleh saraf yang berasal dari plexus vesicalis dan plexus prostaticus yang merupakan bagian hypogastrium inferior. Persarafan ini terdiri dari:

• Serabut motoris yang bersifat parasimpatis untuk persarafan otot destrusor

melalui nervus erigentes. Preganglion neuron parasimpatis berlokasi pada nervus parasimpatis sakral di medula spinalis pada level sakral-2 sampai dengan sakral-4.

• Serabut sensoris yang bersifat simpatis melalui nervus hypogastricus akan

(22)

penuh, terbakar dan sesak kencing. Inervasi simpatis pada kandung kemih dan uretra berasal dari intermediolateral nuclei di region torakolumbal (torakal-10 sampai dengan lumbal-2) pada medula spinalis.

• Serabut simpatis untuk mempersarafi pembuluh darah. Inervasi somatik

pada rhapdospinkter uretra dan beberapa otot perineal yang diatur oleh

nervus pudendal. Serabut-serabut ini berasal dari sfingter motor neuron yang berlokasi di cabang ventral medula spinalis sakral (sakral-2 sampai dengan sakral-4) yang disebut nukleus onufis.

• Refleks detrusor memulai kontraksi involunter dari otot kandung kemih

karena peregangan dinding dan terjadi melalui serabut aferen dan eferen system parasimpatis dari nervus splanchnicus pelvicus. Refleks detrusor

menjadi aktif bila terisi 100-150 cc urin (Thor dan Donatucci, 2004 dalam Andersson, 2008; Wibowo dan Parayana, 2009).

Persarafan kandung kemih ini dikendalikan oleh: 1. Medula Spinalis

Pengandalian kandung kemih dan pengeluaran air kemih melalui sistem simpatis dan parasimpatis. Parasimpatis berasal dari medula spinalis sakral 2-4, yang keluar dari plexus pelvikus dan sakralis, menuju kandung kemih sebagai

nervus pudendal yang akan menyebabkan kontraksi pada otot-otot detrusor dan dilatasi sfingter interna. Sedangkan saraf simpatis berasal dari medula spinalis torakal 11 sampai lumbal 2, melalui plexus hypogastricus. Reseptor simpatis terdiri dari reseptor α dan β. Reseptor α terletak di bagian leher kandung kemih dan otot polos sekitar pangkal uretra yang menyebabkan kontraksi bagian bawah kandung kemih, sehingga menghambat pengosongan kandung kemih. Bila terjadi inhibisi, maka relaksasi leher kandung kemih dan bagian proksimal uretra,

sehingga terjadilah miksi. Reseptor β berada di korpus kandung kemih,

(23)

2. Otak

Otak memiliki pusat-pusat pengendali miksi yang diliputi oleh pontine micturition center, yaitu: pusat perangsang miksi berupa pons anterior dan hipotalamus posterior, dan pusat inhibisi pada otak tengah. Pada saat miksi, pusat-pusat ini akan mempermudah pusat-pusat miksi di medula spinalis sakral untuk memulai refleks miksi serta inhibisi kontraksi otot sfingter eksternum kandung kemih, sehingga terjadilah pengeluaran urin (Sloane, 2003).

Pada kandung kemih terdapat penahan berupa ligamentum-ligamentum, yaitu:

Ligamentum mediale puboprostaticum (pubovesicale), pada laki-laki

melekat pada prostat dan dinding belakang tulang pubis, sedangkan pada perempuan pada kolum vesika dan belakang pubis.

Ligamentum laterale puboprostaticum yang melekat bersamaan dengan

mediale menuju arcus tendineus fascia pelvis.

Ligamentum laterale vesicae yang melekat pada bagian posterolateral dari

fundus vesicae dan berlanjut ke plica rectovesicale pada laki-laki dan plica rectouterina pada perempuan (Widodo dan Parayana, 2009).

2.3.2 Fisiologi Miksi

(24)

Mekanisme miksi bergantung pada inervasi parasimpatis dan simpatis juga impuls saraf volunter. Pada pengeluaran urin dibutuhkan kontraksi aktif otot detrusor, maka:

• Bagian otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi

sebagai sfingter uretra internal yang diinervasi oleh neuron parasimpatis. • Sfingter uretra eksternal terbentuk dari serabut otot rangka dari otot

perineal transversa dibawah kendali volunter. Selain itu bagian

pubokoksigeus pada otot elevator juga berkontriksi dalam pembentukan sfingter (Sekarwana, 1993; Sloane, 2003; Ward, Clarke, and Linden, 2002).

Rata-rata pengeluaran urin adalah ± 1,5 l per hari, walaupun bisa berkurang hingga kurang dari 1 l per harinya dan meningkat hingga mendekati 20 l per hari (Ward, Clarke, dan Linden, 2002).

Refleks berkemih dicetuskan apabila reseptor-reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang. Kandung kemih orang dewasa dapat menampung sampai 250 atau 450 ml urin sebelum tegangan di dinding kandung kemih untuk mengaktifkan reseptor regang. Makin besar peregangan melebihi ambang ini, makin besar tingkat pengaktifan reseptor. Selain refleks ini dimulai, refleks ini bersifat regenerasi sendiri (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood, 2001).

Refleks berkemih terjadi dengan cara:

• Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls

parasimpatis yang menjalankan melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih.

• Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan relaksasi

sfingter internal dan eksternal (Sloane, 2003).

Pada anak-anak, miksi merupakan sebuah refleks lokal spinal dimana pengosongan kandung kemih dengan pencapaian tekanan kritis. Sedangkan pada dewasa, refleks ini dibawah kontrol volunter sehingga dapat diinhibisi oleh otak (Thomas dan Stanley, 2007). Selama miksi, proses yang terjadi berupa:

• Refleks detrusor meregang, mencetuskan refleks kontraksi dari otot-otot

(25)

• Relaksasi otot puborectalis sehingga kandung kemih akan turun sedikit

sehingga penghambatan uvula menurun dan segmen bagian pertama uretra melebar.

• Relaksasi otot sfingter uretra eksterna memungkinkan kandung kemih

untuk mengosongkan isinya dan dapat dibantu dengan tindakan valsava. • Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksterna

dan dasar panggul akan mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi kembali untuk pengisian urin selanjutnya (Wibowo dan Parayan, 2009).

Gangguan pada sistem saraf pusat atau komponen saluran kemih bagian bawah dapat menyebabkan tidak sempurnanya pengeluaran dan retensi urin atau tidak dapat menahan miksi, atau gejala-gejala kompleks kandung kemih yang berlebihan dengan karakteristik berupa sesak dan miksi berulang-ulang dengan atau tanpa inkontinensia urin (Abrams et al, 2002 dalam Andersson, 2008).

Pengisian dan pengeluaran urin pada kandung kemih dikontrol oleh sirkuit saraf di otak, medula spinalis, dan ganglia. Sirkuit ini mengkoordinasikan aktifitas otot polos di detrusor dan uretra. Suprapontin mempengaruhi keadaan “on-off switch” pada saluran kemih bagian bawah dengan dua cara operasi yaitu penyimpanan dan pengeluaran (Anderson dan Wein, 2004; Anderson dan Arner, 2004 dalam Andersson, 2008).

Berkemih dapat dicegah dengan kontraksi sfingter uretra eksterna yang disadari. Namun, jika kandung kemih terus menerus diisi dan teregang, maka kontrol sudah tidak mampu lagi mengendalikan (Sherwood, 2001).

(26)

meningkatkan tekanan intraabdominal sehingga memeras kandung kemih untuk mengosongkan isinya (Sherwood, 2001).

Jadi, refleks berkemih merupakan sebuah siklus yang lengkap. Terdiri dari:

1. Kenaikan tekanan secara progresif 2. Periode tekanan menetap

3. Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal

Bila refleks miksi yang terjadi tidak mampu mengosongkan, keadaan terinhibisi selama beberapa menit hingga 1 jam atau lebih sebelum terjadi refleks berikutnya. Bila kandung kemih terus menerus diisi, akan terjadi refleks miksi yang semakin sering dan kuat (Guyton dan Hall, 2007).

2.3.3 Perkembangan Pengendalian Kandung Kemih

Kematangan seorang anak untuk dapat mengendalikan kandung kemih tergantung dari:

• Kapasitas kandung kemih yang adekuat,

• Pengendalian sfingter eksterna kandung kemih secara sadar untuk memulai

dan mengakhiri miksi.

• Pengendalian pusat miksi diotak untuk merangsang atau menghambat

miksi pada berbagai tingkat kapasitas kandung kemih (Gray dan Moore, 2009).

Adapun usia perkembangan kandung kemih, yaitu:

• Neonatus, berkemih terjadi secara spontan dan merupakan refleks medula

spinalis. Bila jumlah urin bertambah, kandung kemih mengembang dan terjadi refleks yang menimbulkan kontraksi otot detrusor dan relaksasi otot sfingter eksternum kandung kemih.

• Usia 1-2 tahun, kapasitas kandung kemih bertambah serta maturasi lobus

frontalis dan parietalis otak. Sehingga anak sudah menyadari bila kandung kemih penuh tapi belum mampu mengendalikan miksi.

• Usia 2,5 tahun, anak sudah tahu cara dan guna miksi sehingga anak sudah

(27)

• Usia 3 tahun, anak akan pergi ke kamar mandi bila ingin miksi dan sudah

dapat menahan miksi dalam waktu yang cukup lama, terutama saat bermain dan biasanya akan miksi sekitar 8-14 kali / hari. Pada usia ini usia ini anak sudah dapat mengendalikan miksi pada siang hari, pada malam hari 75% anak usia 3,5 tahun sudah tidak mengalami nocturnal enuresis

(mengompol).

• Usia 4,5 tahun, anak sudah dapat mengendalikan kandung kemih secara

lengkap.

• Usia 5 tahun, anak akan miksi sebanyak 5-8 kali / hari dan akan menolak

miksi bukan ditempatnya (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982; Sekarwana, 1993).

(28)

2.4 Teori Perkembangan Anak

Dalam konsep jalur perkembangan menyatakan bahwa seorang anak dapat melewati tahap suksesi. Teori-teori psikoanalitik mengungkapkan bahwa gagasan tentang tahapan-tahapan itu secara kualitatif mamiliki jangka waktu yang berbeda dalam perkembangan emosi dan kesadaran (Needlman, 1999). Adapun teori-teori perkembangan tersebut:

1. Psikoseksual

Teori ini diungkapkan oleh Sigmund Freud yang menggambarkan lima stadium perkembangan anak, yaitu:

• Fase oral (sejak lahir sampai 1 tahun), tempat pemusatan utama adalah

mulut, bibir, dan lidah sehingga kegiatan yang paling disukai anak pada usaha ini adalah menggigit dan menghisap.

• Fase anal (1-3 tahun), tempat pemusatan adalah anus dan daerah

sekitarnya. Pada fase inilah anak seharusnya mendapatkan kontrol sfinkter volunter (toilet training).

• Fase falik oedipal (3-5 tahun), genital merupakan pusat perhatian,

stimulant, dan kegembiraan. Pada masa ini anak senang memegang bagian genital dan adanya kecemasan kastrasi (takut kehilangan atau cedera genital). Selain itu pada fase ini juga terdapat Oedipus kompleks, dimana anak menyukai orang tua yang berlawanan jenis dengannya.

• Fase laten (5-6 tahun sampai 11-12 tahun), pada fase ini keadaan dorongan

seksual relatif dan dengan resolusi kompleks oedipal. Dorongan seksual relative dialihkan dengan tujuan yang lebih dapat diterima secara social, seperti sekolah atau olahraga.

• Fase genital (11 - 12 tahun), fase ini merupakan stadium akhir

(29)

2. Psikososial

Teori ini diungkapkan oleh Erik Erikson, dengan pembagian:

• Kepercayaan dasar (sensorik oral), fase ini terjadi pada kisaran usia 0-1

tahun, dimana kepercayaan dilanjutkan dengan mudahnya makan, kedalaman tidur, dan relaksasi usus.

• Otonomi lawan rasa malu-malu dan ragu-ragu (muscular-anal), fase ini

terjadi pada usia 1-3 tahun dimana secara biologis termasuk berjalan, belajar, makan sendiri, dan berbicara. Selain itu terdapat rasa malu saat menyadari diri sendiri karena pemaparan negatif dan keraguan jika orang tua menyisihkan anak.

• Inisiatif lawan rasa bersalah (motor penggerak genital), fase ini terjadi

pada usia 3-5 tahun dimana inisiatif timbul dalam tugas untuk kepentingan aktifitas motorik maupun intelektual. Pada fase ini juga terdapat rasa bersalah terhadap perenungan tujuan dan persaingan denga saudara kandung.

• Keaktifan lawan rendah diri (laten), fase ini terjadi pada usia 6-12 tahun

dimana anak sibuk membangun, menciptakan, dan menyelesaikan.

• Identitas lawan difusi identitas, fase ini terjadi pada usia 11 tahun sampai

akhir mas remaja, dimana terdapat perjuangan untuk mengembangkan identitas ego (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010; Needlmann, 1999). 3. Kognitif

Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang membagi:

• Fase sensori motor (tahap I-IV), fase ini terjadi dari lahir sampai dengan 2

tahun, dimana intelegensia terletak terutama pada tindakan dan gerak yang terkoordinasi dibawah suatu pola perilaku sebagai respon stimulus lingkungan tertentu.

• Fase sensori motor (tahap V-VI)

• Fase praoperasional (konkret), fase ini terjadi pada usia 7-11 tahun dimana

timbul pikiran logika mampu mengambil sudut pandang orang lain serta mengingat angka, panjang, berat, dan volume.

(30)

• Fase operasi formal (abstrak), fase ini terjadi mulai usia 11 tahun sampai

akhir usia remaja, dimana sudah mampu berfikir tentang pikiran seseorang, menggunakan dua sistem referensi secara bersamaan dan untuk memegang konsep kemungkinan (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010; Needlmann, 1999).

Sedangkan menurut Anna Freud, aspek pertumbuhan dan perkembangan normal pada anak-anak berupa ketergantungan menuju kemandirian, mengompol menuju kontrol kandung kemih, dan keterikatan dalam diri sendiri menuju persahabatan. Aspek-aspek ini mencerminkan pergerakan dari masa bayi yang juga imatur menuju kompleksitas anak yang telah berkembang (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010; Needlmann, 1999).

2.5 Etiologi dan Patofisiologi

Penyebab dari nocturnal enuresis tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa kemingkinan yang menjadi penyebab, seperti:

1. Faktor Genetik

Dari anamnesa didapati bahwa salah satu atau kedua orang tua mengalami enuresis. Dari beberapa penelitian dasar genetik enuresis ditemukan pada kembar monozigotik (identik) dan dizigotik (faternal) (Von Gontard, Schaumburg, Hollmann, Eiberg, dan Ritting, 2001 dalam Gray dan Moore, 2009).

2. Faktor Urodinamik

Enuresis abnormal berhubungan denga kecilnya kapasitas kandung kemih yang dipengaruhi oleh kontraksi detrusor yang berlebihan. Hal ini diduga akibat kurangnya inhibitor kontraksi kandung kemih dan tidak adanya koordinasi antara otot-otot detrusor dan otot-otot sfingter (Gray dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993).

3. Faktor Antidiuretik

(31)

4. Faktor Kematangan Neurofisiologi

Terlambatnya mekanisme korteks dalam mengendalikan refleks pembuangan urin dijadikan sebagai hipotesa kemungkinan terjadi nocturnal enuresis dimana pada pemeriksaan EEG anak dengan nocturnal enuresis didapati peningkatan serebral aritmia. Dan hal ini tidak dipengaruhi oleh tingkatan tidur dalam dan pola tidur (Gonzales, 2000; Gray dan Moore, 2009; Sekarwan, 1993).

5. Faktor Keterlambatan Perkembangan Anak

Keterlambatan perkembangan dapat menjadi salah satu faktor, pada anak yang terlambat berjalan juga akan terlambat belajar mengontrol miksi. Dimana nocturnal enuresis merupakan manifestasi kematangan diri dari aspek individual dalam perkembangan (Koff, 1997; Meadow dan Newell, 2003).

6. Faktor Psikologis

Biasanya hal ini terjadi karena adanya faktor stres selama priode perkembangan antara usia 2-4 tahun. Stres psikologis berhubungan dengan enuresis sehingga mempengaruhi perkembangan anak, seperti kelahiran saudara, perceraian orang tua, pemaksaan fisik dan seksual, kematian dalam keluarga, serta masalah disekolah. Hal ini dipengaruhi oleh stres emosional, kecemasan, serta gangguan psikiatri. Dimana nocturnal enuresis merupakan usaha untuk mendapatkan perhatian, seperti lahirnya adik menyebabkan perhatian orang tua berkurang sehingga menyebabkan anak menjadi cemas dan anak melakukan hal ini untuk mencari perhatian orang tuanya. Selain itu proses belajar dan stress belajar dikemudian hari dapat menyebabkan kembalinya enuresis. Akan tetapi kebanyakan anak mengalami nocturnal enuresis tidak mengalami sakit psikologis (Gray dan Moore, 2009; Hogman dan Dech, 2007, Tanagho, 2008; Sekarwan, 1993).

7. Faktor Lain

(32)

Nocturnal enuresis dianggap abnormal menurut beberapa penelitian: • Menurut Miller et al (1960), Oppel et al (1968), Kaffman dan Elizur

(1977) di tempat berbeda dengan kriteria inkontinensia yang mirip (1-3 bulan) dan dengan prospektif menyatakan bahwa anak-anak yang masih mengalami nocturnal enuresis sampai usia 4 tahun, berbeda dengan usia yang lebih muda, kemungkinan akan berhenti mengalami hal tersebut selama 12 bulan (fall sharply).

• Di Baltime pada sampel anak laki-laki (Oppel et al, 1968) lebih dari 40%

anak usia 2 tahun berhenti mengalami nocturnal enuresis, pada tahun berikutnya 20% pada anak usia 3 tahun, dan hanya 6% pada anak usia 4 tahun yang masih mengalami nocturnal enuresis.

• Kaffman dan Elizur pada tahun 1977 menyatakan enuresis pada anak usia

lebih dari 4 tahun memiliki lebih banyak masalah kebiasaan daripada yang tidak, tetapi tidak dengan anak yang berusia 3 tahun. Jadi, nocturnal enuresis masih dianggap normal sampai usia 3 tahun (Shaffer, 1985).

2.6 Diagnosa

Pada nocturnal enuresis gejala yang dikeluhkan berupa pengeluaran urin dimalam hari, tanpa adanya rasa panas atau terbakar. Tetapi warna urin tetap jernih (Tanagho, 2008).

Untuk menegakkan diagnosa dari nocturnal enuresis harus dilakukan: 1. Anamnesa

(33)

Selain itu ditanyakan juga riwayat keluarga, dan riwayat penyakit sebelumnya seperti diabetes insipidus, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronis, infeksi saluran kemih, konstipasi, serta tanyakan juga keadaan psikososial anak dan keadaan keluarga (Gonzales, 2000; Gray dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi: inspeksi didaerah abdomen untuk melihat

distensi abdomen karena retensi tetapi biasanya pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Sedangkan palpasi dilakukan pada abdomen dan rektum sesudah pengosongan urin dan serta awasi kekuatan dan kualitas arus urin (Gray dan Moore, 2009; Sekarwana, 1993).

Selain itu lakukan juga pemeriksaan refleks sfingter, sensasi perineal, tonus anal, cara berjalan dan tulang belakang apakah terdapat kelainan medula spinalis (Sekarwana, 1993).

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan berupa urinalisis yang diperoleh setelah puasa 1 malam dan evaluasi berat jenis spesifik atau osmolaritas urin atau keduanya untuk menyampingkan poliuria sebagai penyebab frekuensi inkontinensia (Gonzales. 2000).

Urinalisis yang dilakukan untuk melihat adanya infeksi (positif nitrat dan leukosit), diabetes melitus (glukosuria), tumor saluran kemih (hematuria), dan penyakit ginjal (proteinuria) (Gray dan Moore, 2003, Meadow dan Newell, 2003, Sekarwana,1993).

Biakan urin dilakukan sebagai tes lanjutan bila urinalisis abnormal dan harus dilakukan secara rutin untuk melihat patologi saluran kemih (Gray dan Moore, 2009).

4. Pemeriksaan Penunjang Lain

Foto X-Ray pada nocturnal enuresis dengan excretory urogram yang diambil segera setelah miksi tidak ada kelainan dan terlihat tidak ada urin residu.

(34)

Berdasarkan PPDGJ III pedoman diagnostik dari enuresis adalah:

• Suatu gangguan yang ditandai oleh buang air kecil tanpa kehendak, pada

siang dan/atau malam hari, yang tidak sesuai dengan usia mental anak, dan bukan akibat dari kurangnya pengendalian kandung kemih akibat gangguan neurologis, serangan epilepsi, atau kelainan struktural pada saluran kemih.

• Tidak terdapat garis pemisah yang tegas antara gangguan enuresis dan

variasi normal usia seorang anak berhasil mencapai kemampuan pengendalian kandung kemihnya. Namun demikian, enuresis tidak lazim didiagnosis terhadap anak dibawah usia 5 tahun atau dengan usia mental kurang dari 4 tahun.

• Bila enuresis berhubungan dengan suatu gangguan emosional atau

perilaku, yang lazim merupakan diagnosis utamanya, hanya bila terjadi sedikitnya beberapa kali dalam seminggu.

Enuresis ada kalanya timbul bersamaan dengan enkopresis, dalam hal ini

enkopresis yang diutamakan (Maslim, 2001).

2.7 Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari nocturnal enuresis dapat berupa:

1. Diurnal enuresis. Diurnal enuresis merupakan keadaan enuresis yang terjadi pada siang hari (Sekarwana, 1993).

2. Obstruksi saluran kemih bagian bawah. Pada penyakit ini terjadi penurunan pancaran urin, nyeri, miksi terjadi siang dan malam, pyuria, demam, serta sering terjadi distensi kandung kemih. Pada urogram didapati dilatasi kandung kemih dan saluran kemih bagian atas. Karena terjadi obstruksi kuat yang disebabkan spasme di otot dinding pelvis menyebabkan kerusakan kandung kemih dan ginjal (Tanagho, 2008). 3. Infeksi saluran kemih. Infeksi yang terjadi tidak berhubungan dengan

(35)

dijumpai sel nanah atau bakteri atau keduanya yang disertai dengan penurunan fungsi ginjal (Tanagho, 2008; Hagman dan Dech, 2003).

4. Penyakit Neurogenik. Pada anak dengan kelainan cabang atau batang saraf sakralis dapat terjadi kegagalan dalam kontrol miksi baik disiang hari maupun malam hari (Tanagho, 2008).

2.8 Penatalaksanaan 2.8.1 Farmakologi

Obat-obat yang digunakan dalam menangani kasus-kasus enuresis berupa: 1. Desmopresin Acetate, merupakan antidiuretik yang meningkatkan

reabsorbsi air. Obat ini diberikan sebelum tidur dengan cara disemprotkan ke hidung. Desmopresin dapat digunakan dalam mengurangi nocturnal enuresis sampai anak dapat menahan miksi, tidak memiliki efek samping, dan menunjukkan efek antienuretik yang signifikan. Tetapi desmopresin

kontra indikasi pada pasien dengan thrombotic thrombocytopenic purpura

(Gonzales, 2000; Meadow dan Newell, 2003; Tanagho, 2008; Veygradier, Meyer, dan Loirat, 2006 dalam Gray dan Moore, 2009).

2. Imipramin, merupakan obat antidepresan trisiklik yang diminum 25 mg sebelum makan malam (Meadow dan Newell, 2003; Tanagho, 2008). Mekanisme kerjanya belum jelas, namun mempunyai efek signifikan pada saat tidur (Mikkelsen, Rapoport, Nee, Gruenau, Mendelson, dan Grlinc, 1980 dalam Koff, 1997). Respon klinis obat ini bergantung pada kadar plasma dalam darah, efek sampingnya berupa toksik dan lethal overdosis

bila digunakan dalam dosis besar (Jogensen, Lober, Christiansen, dan Gram, 1980; Degatta Gracia, dan Acosta, 1984 dalam Koff 1997). Efek samping yang terjadi dapat berupa iritabilitas, penurunan nafsu makan, mual dan muntah (Yeung dan Shioe, 2007 dalam Gray dan Moore, 2009). 3. Obat-obat parasimpatolitik seperti atropine atau Belladona berguna

menurunkan tonus otot detrusor. Dapat juga digunakan Methaline bromide

(36)

4. Obat simpatomimetik seperti dextroamphetamine sulfate 5-10 mg sebelum tidur ( Tanagho, 2008 ).

Obat-obatan ini tidak terlalu berguna karena sebagian besar akan mengalami relaps saat penggunaan obat dihentikan (Meadow dan Newell, 2003). 2.8.2 Non Farmakologi

Terapi yang dapat dilakukan berupa:

1. Perubahan kebiasaan, yaitu mengurangi asupan air 2 jam sebelum tidur, mencegah mengonsumsi minuman berkafein, orang tua membangunkan anaknya pada malam hari untuk miksi denga cara mengidupkan lampu atau mengusapkan handuk dingin diwajahnya, latihan menahan miksi untuk memperbesar kapasitas kandung kemih agar waktu antara miksi menjadi lebih lama, minta anak membantu membersihkan serta mengganti alas tempat tidur nya dan mengganti piyama sendiri, serta memberi hadiah bila anak tidak mengompol (Gray dan Moore, 2009; Meadow dan Newell, 2003; Sekarwan, 1993).

2. Miksi sebelum tidur, dimana anak diharuskan pergi ke toilet untuk buang air kecil sebelum tidur pada setiap malamnya (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982).

3. Menggunakan alarm, yang dilakukan selama 4-6 minggu disertai dengan pemberian hadiah agar dapat lebih efektif. Alarm dipasang sebelum tidur dan berbunyi atau bergetar saat miksi (Gray dan Moore, 2009; Hogmann dan Dech, 2007, Sekarwan, 1993, Tanagho, 2008).

(37)

2.8.3 Indikasi terapi

Nocturnal enuresis bukanlah sebuah penyakit, dan akan menghilang dengan sendirinya. Oleh karena itu sebenarnya masalah ini tidak perlu diterapi akan tetapi dicegah, dimana orang tua dituntut untuk melakukan beberapa tindakan untuk menanggulangi masalah ini. Adapun hal yang sebaiknya dilakukan berupa perubahan kebiasaan serta pengajaran terhadap anak untuk miksi sebelum tidur. Sedangkan penggunaan obat-obatan tdak begitu disarankan, karena hanya bersifat sementara (Gauthier, Edelmann, dan Barnett, 1982).

2. 9 Komplikasi dan Prognosis

(38)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam peneitian ini adalah:

Anak SD, Berhenti mengompol

berdasarkan usia (Nocturnal enuresis )

Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Definisi Operasional 3.2.1 Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada penelitian ini anak yang akan diteliti adalah anak yang menjalani pendidikan pada tingkat sekolah dasar di SD Harapan I Medan.

3.2.2 Usia

Usia atau umur merupakan waktu hidup atau nyawa. Pada penelitian ini, usia anak yang akan diteliti adalah anak dengan usia 6-12 tahun yang menjalani pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar di SD Harapan I Medan.

Alat ukur : kuesioner

Cara mengukur : angket

(39)

3.2.2 Mengompol (Nocturnal enuresis)

Nocturnal enuresis atau yang sering disebut mengompol adalah pengeluaran urin di malam hari pada anak-anak yang belum bisa mengendalikan buang air kecil dengan sempurna. Pada penelitian ini yang akan diteliti adalah mengenai usia berhenti seorang anak berhenti mengompol dan factor-faktor yang mempengaruhinya.

Alat ukur : kuesioner

Cara mengukur : angket

(40)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk melihat persentase usia rata-rata berhenti mengompol ( nocturnal enuresis ) pada anak sekolah dasar. Pendekatan yang digunakan adalah dengan pengamatan cross sectional ( potong lintang ), artinya peneliti melakukan proses pengambilan data dalam satu kali pengamatan, dimana dilakukan pengumpulan data dari kuisioner yang dibagikan kepada orang tua anak tersebut. (Ghazali, et al., 2006)

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada sekolah dasar (SD) Harapan I Medan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2011.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dari penelitian ini adalah orang tua dari anak usia 6-12 tahun yang menjalani pendidikan pada kelas 1-6 di SD Harapan I Medan pada bulan Oktober 2011.

4.3.2 Sampel Penelitian

(41)

Besar sampel yang akan diambil dalam penelitian ini sehingga dapat mewakili populasi, yaitu:

Keterangan ( Wahyuni, 2007 ) :

n = besar sampel minimum

= nilai distribusi normal baku ( table Z ) pada α tertentu

P = harga proporsi di populasi

d = kesalahan ( absolut ) yang dapat ditolelir

N = jumlah di populasi

Pada penelitian ini, ditetapkan nilai sebesar 1,96 dengan derajat

kepercayaan 95%, nilai d yang digunakan 10%. Untuk nilai N diperoleh 650 orang pada sekolah tersebut. Sedangkan untuk nilai P adalah 50%. Maka, apabila diaplikasikan kedalam rumus:

n = 83,78

(42)

4.4 Kriteria Penelitian

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dari penelitian ini berupa:

4.4.1 Kriteria Inklusi

• Orang tua dari anak usia 6-12 tahun

• Orang tua dari anak yang menjalani pendidikan pada tingkat sekolah dasar • Mendapatkan informed consent

4.4.2 Kriteria Eksklusi

• Tidak mengisi angket dengan lengkap

• Orang tua dari anak-anak yang dengan gangguan kandung kemih • Orang tua dari anak-anak dengan infeksi kandung kemih

4.5 Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang didapat langsung dari sampel penelitian yang meliputi usia rata-rata berhenti mengompol. Pengumpulan data usia rata-rata berhenti mengompol dilakukan melalui angket yang diberikan kepada orang tua anak yang diteliti dengan berpedoman pada instrumen penelitian. Data usia rata-rata berhenti mengompol yang akan didapat berupa data diskrit.

4.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data

(43)

menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data. Dan terakhir dilakukan

saving yaitu penyimpanan data ( Notoatmodjo, 2010 ).

Analisis data pada penelitian ini merupakan analisis univariate

(44)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di SD Harapan I Medan yang terletak di jalan Imam Bonjol no. 35 Kelurahan Jati, Medan Maimun Medan. Sekolah dasar ini merupakan bagian dari Yayasan Pendidikan Harapan Medan. Bangunan sekolah terbuat dari batu bata, memiliki lapangan olah raga dan lapangan bermain, serta lapangan parkir. Lingkungan sekolah dikelilingi jalan raya, bersebelahan dengan gereja HKBP Sudirman, dan bersebrangan dengan taman Ahmad Yani dan RS Elisabeth Medan.

Pada sekolah ini terdiri dari 6 tingkatan kelas yang tiap tingkatannya terdiri dari 3 kelas yaitu kelas A, kelas B, dan kelas C. Jumlah siswa pada sekolah ini adalah 654 orang yang terbagi pada kelas-kelas tersebut. Kegiatan belajar mengajar berlangsung dimulai pukul 07.00 sampai pukul 13.00.

5.1.2 Karakteristik Responden

Penelitian dilakukan pada 114 responden yang merupakan siswa – siswi SD Harapan I Medan pada tahun 2011, dengan karakteristik responden jenis kelamin dan usia.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responsen

Karakteristik Frekuensi Persentase (%) Jenis Kelamin

Laki – laki 46 40,4

Perempuan 68 59,6

Total 114 100

Usia (tahun)

6-8 51 44,7

9-10 46 40,4

>10 17 14,9

[image:44.595.110.504.568.738.2]
(45)

5.1.2.1 Jenis Kelamin

Pada penelitian, jenis kelamin responden laki-laki sebanyak 46 orang (40,4%), dan perempuan sebanyak 68 orang (59,6%), seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.1.

5.1.2.2 Usia

Berdasarkan karakteristik usia, pada penelitian didapati responden paling banyak berada pada usia 6-8 tahun yaitu sebanyak 51 orang (44,7%). Sedangkan responden paling sedikit pada usia 6 tahun yaitu 11 orang (9,6%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1.

5.1.3 Hasil Analisa Data

5.1.3.1 Status Mengompol Saat Ini

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Status Mengompol Saat Ini

Status Mengompol Frekuensi Persentase (%)

Sudah Berhenti Mengompol 108 94,7

Masih Mengompol 6 5,3

Total 114 100

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa responden yang sudah berhenti mengompol pada saat dilakukan penelitian sebanyak 108 orang (94,6%), sedangkan yang masih mengompol pada saat dilakukan penelitian sebanyak 6 orang (5,3%).

5.1.3.2 Usia Berhenti Mengompol

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Usia Berhenti Mengompol

Usia Berhenti mengompol (tahun) Frekuensi Persentase(%)

Masih mengompol sampai sekarang 6 5.3

1-2 39 34,2

3-4 48 42,1

5-6 15 13,2

7-8 >8

3 3

2,6 2,6

[image:45.595.115.505.321.474.2] [image:45.595.109.503.597.741.2]
(46)

Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa responden yang masih mengompol pada usia saat diteliti ada sebanyak 6 orang (5,3%), yang sudah berhenti pada usia 1-2 tahun sebanyak 39 orang (34,2%), pada usia 3-4 tahun sebanyak 48 orang (42,1%), pada usia 5-6 tahun sebanyak 15 orang (13,2%),pada usia 7-8 tahun sebanyak 3 orang (2,6%) dan pada usia diatas 8 tahun sebanyak 3 orang (2,6%).

5.1.3.3 Frekuensi Mengompol

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi dari Frekuensi Mengompol

Frekuensi Mengompol Frekuensi Persentase (%)

1-3 kali / minggu 38 33,3

1-3 kali / bulan 43 37,7

Setiap hari 33 28,9

Total 114 100

Frekuensi mengompol pada responden dari penelitian didapati 1-3 kali / minggu sebanyak 38 orang (33,3%), 1-3 kali / bulan sebanyak 43 orang (37,7%), sedangkan responden yang mengompol setiap hari sebanyak 33 orang (29,8%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.4.

5.1.3.4 Usia Belajar Buang Air Kecil di Kamar Mandi (Toilet Training) Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Usia Belajar Buang Air Kecil di Kamar

Mandi (Toilet Training)

Usia Toilet Training (tahun) Frekuensi Persentase (%)

1 48 42,1

2 37 32,5

3 18 15,8

>3 11 9,6

Total 114 100

(47)

5.1.3.5 Buang Air Besar di Celana Saat Masih Mengompol

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Buang Air Besar di Celana Saat Masih Mengompol

BAB di celana Frekuensi Persentase (%) Pernah Tidak pernah Total 14 100 114 12,3 87,7 100

Pada penelitian didapati responden yang pernah mengalami buang air besar dicelana saat masih mengompol sebanyak 14 orang (12,3%), sedangkan yang tidak pernah sebanyak 100 orang (87,7%) seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.6.

5.1.3.6 Konsumsi Kafein Sebelum Tidur

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Konsumsi Kafein Sebelum Tidur

Kafein Frekuensi Persentase (%)

Ada mengkonsumsi kafein Tidak ada mengkonsumsi kafein

Total 4 110 114 3,5 96,5 100

Pada penelitian didapati responden yang mengonsumsi kafein sebelum tidur sebanyak 4 orang (3,5%), sedangkan yang tidak mengonsumsi kafein sebelum tidur sebanyak 110 orang (96,5%). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.7.

5.1.3.7 Usaha Mengatasi Mengompol

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Usaha Mengatasi Mengompol

Usaha Frekuensi Persentase (%)

Pampers/diaper

Mengurangi minum sebelum tidur Membangunkan dimalam hari

(48)

Dari penelitian, usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah mengompol berupa menggunakan pampers / diaper sebanyak 28 orang (24,6%), mengurangi minum sebelum tidur sebanyak 16 orang (14%), membangunkan anak dimalam hari untuk buang air kecil sebanyak 64 orang (56,1%), menjanjikan hadiah bila anak tidak mengompol sebanyak 4 orang (3,5%), sedangkan menghukum anak bila mengompol sebanyak 2 orang (1,8%) seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.8.

5.1.3.8 Riwayat Keluarga Terlambat Berhenti Mengompol

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga Terlambat Berhenti Mengompol

Riwayat Frekuensi Persentase (%)

Orang tua Saudara kandung Tidak ada Total 2 10 102 114 1,8 8,8 89,5 100

Riwayat keluarga yang terlambat berhenti mengompol dari penelitian didapati pada orang tua responden sebanyak 2 orang (1,8%), saudara kandung responden sebanyak 10 orang (8,8%), sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat keluarga yang terlambat berhenti mengompol sebanyak 102 orang (89,5%). Hal ini dapt dilihat pada tabel 5.9.

[image:48.595.106.518.265.422.2]

5.1.3.9 Melewatkan Kegiatan Menginap Karena Mengompol

Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Melewatkan Kegiatan Menginap Karena Mengompol

[image:48.595.107.517.598.680.2]
(49)

Pada penelitian didapati responden yang melewatkan kegiatan menginap dikarenakan malu saat masih mengompol sebanyak orang 2 (1,8%), sedangkan yang tidak pernah melewatkan kegiatan menginap dikarenakan malu saat masih mengompol sebanyak 112 orang (98,2%) seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.10.

5.1.3.10 Usia Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Usia Responden berdasarkan Jenis Kelamin Usia

Responden

Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

N % N %

6-8 tahun 21 45,6 30 44,1 51

9-10 tahun 19 41,4 27 39,7 46

>10 tahun 6 13 11 16,2 17

Total 46 100 68 100 114

Pada penelitian didapati responden laki-laki yang paling banyak pada usia 6-8 tahun sebanyak 21 orang, sedangkan responden perempuan paling banyak usia 6-8 tahun sebanyak 30 orang. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.11.

[image:49.595.112.513.488.652.2]

5.1.3.11 Status Mengompol berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi Status Mengompol berdasarkan Jenis Kelamin

Status Mengompol

Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

N % N %

Sudah berhenti 44 95,7 64 94,2 108

Masih

mengompol 2 4,3 4 5,8 6

Total 46 100 68 100 114

(50)
[image:50.595.112.511.161.322.2]

5.1.3.12 Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Jenis Kelamin

Usia Berhenti Mengompol

Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

N % N %

Masih mengompol 2 4,3 4 5,9 6

1-2 tahun 10 21,7 29 42,8 39

3-4 tahun 22 47,8 26 38,2 48

5-6 tahun 8 17,5 7 10,2 15

7-8 tahun 1 0,2 2 2,9 3

>8 tahun 3 6,5 0 0 3

Total 46 100 68 100 114

Pada penelitian didapati usia berhenti mengompol pada anak laki-laki paling banyak pada usia 3-4 tahun, yaitu sebanyak 22 orang. Sedangkan pada anak perempuan usia berhenti mengompol paling banyak pada usia 1-2 tahun, yaitu sebanyak 29 orang. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.13.

5.1.3.13 Status Mengompol berdasarkan Usia Responden

Tabel 5.14 Distribusi Frekuensi Status Mengompol berdasarkan Usia Responden

Usia responden

Status Mengompol

Total Laki-laki Perempuan

N % N %

6-8 tahun 47 43,5 4 66,7 51

9-10 tahun 44 40,7 2 33.3 46

>10 tahun 17 15,8 0 0 17

Total 108 100 6 100 114

[image:50.595.113.512.441.600.2]
(51)
[image:51.595.115.538.113.293.2]

5.1.3.14 Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Usia Responden

Tabel 5.15 Distribusi Frekuensi Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Usia Responden

Usia Responden

Usia Berhenti Mengompol

Total Sekarang 1-2 tahun 3-4 tahun 5-6 tahun 7-8 tahun >8 tahun

N % N % N % N % N % N %

6-8 tahun 4 66,7 19 48,7 19 40 8 53,2 0 0 1 33 51 9-10 tahun 2 33,3 12 30,7 24 50 4 26,6 3 100 1 33 46 >10 tahun 0 0 8 20,6 5 10.4 3 0,2 0 0 1 33 17 Total 6 100 39 100 48 100 15 100 3 100 3 100 114

Dari penelitian, responden dengan usia 6-8 tahun kebanyakan berhenti mengompol pada usia 1-2 tahun dan 3-4 tahun yaitu sebanyak 19 orang. Sedangkan responden dengan usia 9-10 tahun kebanyakan berhenti mengompol pada usia 3-4 tahun yaitu sebanyak 24 orang, responden dengan usia >10 tahun kebanyakan berhenti mengompol pada usia 1-2 tahun yaitu sebanyak 18 orang. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.15.

5.1.3.15 Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Usia Belajar BAK di kamar mandi (toilet training)

Tabel 5.16 Distribusi Frekuensi Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Usia Belajar BAK di kamar mandi (toilet training)

Usia Berhenti

Usia Belajar BAK di Toilet

Total

<1 2 3 >3

N % N % N % N %

Masih 4 8,3 1 2,7 1 5,5 0 0 6

1-2 tahun 31 64,6 4 10,9 2 11,1 2 18,2 39 3-4 tahun 12 25 24 64,8 10 55,5 2 18,2 48

5-6 tahun 1 2,1 5 13,5 3 16,8 6 54,5 15

7-8 tahun 0 0 2 5,4 0 0 1 9,1 3

>8 tahun 0 0 1 2,7 2 11,1 0 0 3

[image:51.595.113.532.515.683.2]
(52)

Pada penelitian didapati bahwa pada anak-anak yang masih mengompol sampai saat diteliti kebanyakan mulai belajar BAK (buang air kecil) dikamar mandi pada usia 1 tahun yaitu sebanyak 4 orang, sedangkan yang berhenti pada usia 1-2 tahun kebanyakan mulai belajar BAK dikamar mandi pada usia 1 tahun atau dibawahnya yaitu sebanyak 31 orang, yang berhenti pada usia 3-4 tahun kebanyakan mulai belajar BAK dikamar mandi pada usia 2 tahun atau dibawahnya yaitu sebanyak 24 orang,yang berhenti pada usia 5-6 tahun kebanyakan mulai belajar BAK dikamar mandi pada usia diatas 3 tahun yaitu sebanyak 6 orang dan 7-8 tahun pada usia 2 tahun sebanyak 2 orang, yang berhenti pada usia diatas 8 tahun mulai belajar BAK dikamar mandi pada usia 2 tahun yaitu sebanyak 1 orang. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.16.

[image:52.595.112.511.461.635.2]

5.1.3.16 Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Konsumsi Kafein Sebelum Tidur

Tabel 5.17 Distribusi Frekuensi Usia Berhenti Mengompol berdasarkan Konsumsi Kafein Sebelum Tidur

Usia Berhenti Mengompol

Konsumsi Kafein

Total

Ada Tidak Ada

N % N %

Masih

mengompol 1 0,25 5 4,5 6

1-2 tahun 1 0,25 38 34,5 39

3-4 tahun 1 0,25 47 42,9 48

5-6 tahun 1 0,25 14 12,7 15

7-8 tahun 0 0 3 2,7 3

>8 tahun 0 0 3 2,7 3

Total 4 100 110 100 114

(53)

5.2 Pembahasan

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan adanya variasi karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, status mengompol pada saat ini, usia berhenti mengompol, frekuensi mengompol, usia balajar BAK dikamar mandi, status BAB (buang air besar) di celana saat masih mengompol, mangonsumsi kafein sebelum tidur, usaha mengatasi masalah mengompol, riwayat keluarga terlambat berhenti mengompol, dan adakah melewatkan kegiatan menginap karena masih mengompol.Penelitian dilakukan pada anak usia 6 sampai 12 tahun, dan didapati usia responden terbanyak adalah pada usia 6-8 tahun yaitu sebanyak 51 orang (44,7%), yang terdiri dari 30 orang perempuan dan 21 orang laki-laki. Sedangkan untuk jenis kelamin responden, yang berjenis kelamin perempuan 68 orang (59,6%) lebih besar dibandingkan laki-laki 46 orang (40,4%). Perbedaan proporsi antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda.

Dari 114 responden yang diteliti, responden yang masih mengompol sampai saat penelitian dilakukan ada sebanyak 6 orang (5,3%), yang terdiri dari 2 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Dan dari analisa data kebanyakan responden yang masih mengompol tersebut berusia 7 tahun. Sedangkan yang sudah berhenti mengompol sebanyak 108 orang (94,7%). Hal ini sejalan dengan penelitian Hazza dan Tarawneh (2002) yang dilakukan pada 306 responden yang menunjukkan hasil sebanyak 162 orang (23,8%) responden masih mengompol dan yang sudah tidak mengompol sebanyak 519 orang (76,2%). Maka dapat dilihat bahwa pada penelitian terhadap anak usia sekolah dasar didapati sebagian besar anak pada usia ini sudah berhenti mengompol.

(54)

nocturnal enuresis. Begitu juga dengan Kaffman dan Elizur (1977) yang menyatakan bahwa mengompol dianggap normal sampai usia 3 tahun. Sedangkan untuk usia berhenti mengompol pada usia 4-6 tahun sebanyak 36 orang (31,6%), usia 7-9 tahun sebanyak 5 orang (4,4%), dan yang berhenti pada usia diatas 9 tahun sebanyak 1 orang (0,9%). Pada penelitian Hazza dan Tarawneh (2002) didapatkan 17,1% anak usia 6 tahun yang sudah berhenti mengompol, 41% pada anak usia 7 tahun, dan 41,9% pada usia 8 tahun, sedangkan epidemiologi yang diperoleh Yousef, Basaleem, dan Taher (2009) dari 655 orang anak, yang sudah berhenti mengompol pada usia 6-8 tahun sebanyak 11,6% dan usia 9-11 tahun sebanyak 25,1%.

Frekuensi mengompol pada responden dari penelitian ini paling banyak adalah 1-3 kali / bulan dengan komposisi sebanyak 43 orang (37,7%). Hal ini menyatakan bahwa walaupun anak tersebut mengompol, tapi frekuensinya tidak terlalu sering. Berbeda dengan epidemiologi yang diperoleh Yousef, Basaleem, dan Taher (2009) untuk frekuensi mengompol setiap hari sebanyak 47,8%, 1-3 kali / minggu, 37,2%, 1-3 kali / bulan 10,6%, 1 kali / 6 bulan 0,9%, dan lebih dari 2 kali / 6 bulan 3,5%, hal ini mungkin disebabkan adanya perbedaan karakteristik dan kebiasaan di tempat dilakukan penelitian.

Pada responden penelitian ini, usia belajar BAK dikamar mandi paling banyak pada usia 1 tahun sebanyak 48 orang (42,1%), dan dari hasil analisa data responden sudah berhenti mengompol paling banyak pada usia 2 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa semakin cepat anak diajarkan untuk BAK dikamar mandi, maka akan membiasakan anak tersebut untuk tidak mengompol lagi. Selain itu didiukung juga oleh teori Psikoseksual dari Sigmund Freud yang menyatakan bahwa pada fase anal (usia 1-3 tahun) tempat pemusatan anak adalah anus dan daerah sekitarnya, pada fase inilah anak seharusnya mendapatkan kontrol sfinkter volunter (toilet training).

(55)

menunujukkan bahwa mengompol juga disertai dengan BAB dicelana, seperti yang dinyatakan oleh Maslim (2001) dalam PPDGJ III mengenai Enuresis. Selain itu didukung juga oleh pernyataan Gray dan Moore (2009) bahwa adanya “Law of 15” yaitu: 15% anak mengalami enuresis, 15% insidensinya berkurang pada setiap tahunnya, 15% disertai dengan encopresis (pengeluaran tinja secara tidak layak), dan 15% mengalami enuresis sekunder.

Untuk konsumsi kafein sebelum tidur hanya didapati sebanyak 4 orang (3,5%) yang pada saat mengompol mengonsumsi kafein sebelum tidur. Hal ini sejalan dengan epidemiologi Yousef, Basaleem, dan Taher (2009) yang mendapati hanya 1,6% anak dengan masalah enuresis memiliki kebiasaan mengonsumsi teh sebelum tidur.

Adapun cara orang tua dalam mengatasi masalah mengompol ini yang paling banyak dilakukan adalah membangunkan anak pada malam hari untuk BAK agar anak tersebut tidak mengompol, hal ini dilakukan oleh 64 orang tua responden (56,1%). Sedangkan pada penelitian Hazza dan Tarrawneh (2002) menyatakan 75% orang tua memilih untuk memberikan obat-obatan dalam mengatasi masalah mengompol ini, tetapi 14% orang tua lebih memilih menghukum anaknya apabila anak tersebut mengompol agar ia tidak mengulanginya lagi. Perbedaan cara mengatasi mengompol ini berbeda mungkin dikarenakan perbedaan tempat penelitian yang memiliki perbedaan kebiasaan dan perilaku.

(56)

Tarawneh (2002) didapati 50,5% kasus enuresis memiliki riwayat keluarga. Lain hal pada epidemiologi oleh Yousef, Basaleem, dan Taher (2009) yang menyatakan 42,9% memiliki riwayat keluarga terlambat berhenti mengompol yaitu pada orang tua, dan 31,1% pada saudara.

Untuk keadaan anak-anak akan melewatkan kegiatan menginap karena masih mengompol, pada penelitian hanya didapati sebanyak 2 orang (1,8%). Sebagian besar responden (98,2 %) menyatakan tidak terganggu oleh masalah ini. Berdasarkan komentar orang tua pada saat penelitian dilakukan, hal ini dikarenakan pada usia sekolah dasar banyak orang tua tidak mengijinkan anaknya untuk menginap disekolah. Hal ini didukung oleh epidemiologi Yousef, Basaleem, dan Taher (2009) yang menyatakan bahwa 87,6% kasus Nocturnal Enuresis tidak mengganggu kegiatan sekolah termasuk kegiatan menginap.

Dari penelitian ini didapati cukup banyak perbedaan dengan penelitian–penelitian yang yang sudah ada. Dan berdasarkan asumsi peneliti, hal ini dikarenakan adanya perbedaan karakteristik, kebiasan atau kebudayaan, jumlah responden, maupun cakupan wilayah penelitian.

(57)

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

Dari analisa deskriptif frekuensi dengan mengolah 114 sampel, maka diperoleh bahwa gambaran usia berhenti mengompol (Nocturnal Enuresis) pada anak di SD Harapan I Medan sebagai berikut: usia 1-2 tahun sebanyak 39 orang (34,2%), pada usia 3-4 tahun sebanyak 48 orang (42,1%), pada usia 5-6 tahun sebanyak 15 orang (13,2%), pada usia 7-8 tahun sebanyak 3 orang (2,6%) dan pada usia diatas 8 tahun sebanyak 3 orang (2,6%), dan yang masih mengompol sampai penelitian dilakukan sebanyak 5,3% yaitu 6 dari 114 responden yang terdiri dari 2 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Dengan kata lain sebagian besar anak-anak di SD Harapan I Medan berhenti mengompol pada usia 1-3 tahun.

Selain itu, dari penelitian juga dapat digambarkan karakteristik responden yaitu:

1. Usia responden terbanyak adalah pada usia 6-8 tahun.

2. Responden terdiri dari 59,6% perempuan dan 40,4% laki-laki. 3. Frekuensi mengompol paling banyak adalah 1-3 kali / bulan. 4. Usia belajar BAK dikamar mandi paling banyak pada usia 1 tahun.

5. Mengompol yang disertai dengan BAB dicelana didapati sebanyak 12,3%. 6. Riwayat mengonsumsi k

Gambar

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responsen
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Usia Berhenti Mengompol
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga Terlambat Berhenti
Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi Status Mengompol berdasarkan Jenis
+4

Referensi

Dokumen terkait

(2003) menunjukkan bahwa gangguan pen- dengaran pada penderita diabetes melitus tipe-2 terjadi pada kelompok usia yang lebih tua, dan penelitian yang dilakukan

Perhitungan dan pengolah data dapat menggunakan persamaan-persamaan yang ada seperti Persamaan 2.1 untuk menghitung kerja kompresor, Persamaan 2.2 untuk menghitung energy kalor

Pada alat tenun ini benang lusi dalam posisi vertikal dan selalu tegang karena ada pemberat atau beban, sedangkan benang pakan disisipkan dengan suatu alat yang disebut

Use case packages dengan aktor Petugas Dinas adalah use case verifikasi siswa yang terdiri dari verifikasi data siswa, tolak rekomendasi siswa, lihat status data siswa,

Implementasi Model Inkuiri Menggunakan Media LKS Berbasis Sains untuk Meningkatkan Hasil dan Minat Belajar Siswa. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Pembahasan di atas mengisyaratkan bahwa tidak seperti hal- nya teks- teks klasik yang menunjukkan ambiguitasnya dalam me- nentukan prinsip- prinsip kemanusiaan,

Aktivitas peserta didik dikatakan terlaksana dengan baik dan mendukung dalam melatihkan keterampilan berpikir kritis, jika persentase aktivitas yang relevan lebih besar

Melalui proses PCR-RAPD DNA dari anggrek Phalaenopsis yang sebelumnya diberi perlakuan penetesan colchicine 0% sampai 0,09% telah berhasil diperoleh pita-pita DNA genomik