PEMODELAN SPASIAL TINGKAT KERAWANAN
KONVERSI LAHAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN
SUNGAI (DAS) DELI SUMATERA UTARA
Suci Arisa Purba 061201017
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMODELAN SPASIAL TINGKAT KERAWANAN
KONVERSI LAHAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN
SUNGAI (DAS) DELI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh :
SUCI ARISA PURBA 061201017
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMODELAN SPASIAL TINGKAT KERAWANAN
KONVERSI LAHAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN
SUNGAI (DAS) DELI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh :
SUCI ARISA PURBA
061201017/MANAJEMEN HUTAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pemodelan Spasial Tingkat Kerawanan Konversi Lahan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli
Sumatera Utara
Nama : Suci Arisa Purba
NIM : 061201017
Departemen : Kehutanan
Program Studi : Manajemen Hutan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Nurdin Sulistiyono, S.Hut, M.Si Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si
Ketua Anggota
Mengetahui,
ABSTRAK
SUCI ARISA PURBA: Pemodelan Spasial Tingkat Kerawanan Konversi Lahan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Sumatera Utara. Dibimbing oleh NURDIN SULISTIYONO dan YUNUS AFIFUDDIN.
Belum adanya informasi tentang tingkat kerawanan konversi lahan hutan di DAS Deli menyebabkan DAS Deli berada pada kekritisan. Kegiatan konversi lahan hutan akan berdampak terhadap menurunnya fungsi hutan, terutama fungsinya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta penyerapan karbon. Penelitian ini dilakukan di DAS Deli meliputi Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan pada April – Juli 2009 dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG), Penginderaan Jauh (PJ) dan Global Positioning System (GPS) yang merupakan tiga teknologi spasial yang sangat berguna. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penentu kerawanan konversi lahan hutan) untuk menghasilkan unit pemetaan baru (unit lahan) yang akan digunakan sebagai unit analisis. Hasil penelitian menunjukkan daerah dengan tingkat kerawanan konversi lahan hutan tinggi mempunyai luasan 662,13 Ha atau 11,42 % yang menyebar pada semua kecamatan di DAS Deli, di bagian hulu pada Kecamatan Berastagi, di bagian tengah pada Kecamatan Sibiru-Biru, Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Namorambe serta di bagian hilir pada kecamatan Hamparan perak dan Medan Labuhan berupa hutan mangrove. Dari seluruh kawasan dengan tingkat kerawanan konversi hutan tinggi tersebut, 132,98 Ha merupakan hutan lindung dan sisanya 529,15 Ha adalah hutan rakyat.
ABSTRACT
SUCI ARISA PURBA: Spatial Modeling of Forest Land CONVERSION Rate Vulnerability in Deli Watershed, North Sumatera. Supervised by Nurdin SULISTIYONO and YUNUS AFIFUDDIN.
The absence of information about the level of vulnerability to conversion of forest land in the river basin watershed caused Deli Deli is at criticality. Forest land conversion activities will impact on the decrease of forest functions, especially its function as regulator of water management, flood prevention, erosion and carbon sequestration. This research was conducted in the watershed includes Karo, Deli Serdang and Medan in April-July 2009 using Geographic Information System (GIS), Remote Sensing (RS) and Global Positioning System (GPS), which are three very useful spatial technology. Spatial analysis was done by overlaying several spatial data (parameters determining vulnerability to conversion of forest land) to produce a new mapping units (land units) which will be used as the unit of analysis. The results showed the area with the level of vulnerability of high conversion of forest land has an area of 662.13 hectares or 11.42%, which is spread in all districts in the Deli watershed, upstream from the District of Berastagi, in the middle of the Sibiru-biru, Pancur Batu District and District Namorambe and in part downstream of the district of Medan Labuhan carpet of silver and mangroves. Of all the regions with high levels of vulnerability to forest conversion, the 132.98 hectares are protected forests and the remaining 529.15 hectares are forest people.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Sipispis, Kabupaten Serdang Bedagai pada
tanggal 18 Desember 1988 dari ayahanda Ahmad Bakri Purba dan Ibunda Siti
Aisyah Damanik. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.
Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sipispis dan pada tahun yang
sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih program studi Manajemen
Hutan, Departemen Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Bendahara Umum
Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) Departemen Kehutanan, sebagai anggota
bidang Keputrian di Badan Kenaziran Musholla Baitul Asjar Departemen
Kehutanan, sebagai asisten praktikum Mata kulian Dendrologi, asisten praktikum
Mata Kuliah Klimatologi Hutan, asisten praktikum Mata Kulian Ekologi Hutan
dan asisten lapangan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H).
Prestasi yang pernah diraih adalah sebagai salah satu pemenang dalam
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Artikel Ilmiah dan PKM Penelitian tahun
2009 dari DIKTI, selain itu pernah menjadi finalis pada program Student
Enterpreneur Center (SEC) USU.
Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan
Hutan (P3H) di Tangkahan dan Pulau Sembilan Kabupaten Langkat serta kegiatan
Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penelitian yang berjudul “Pemodelan Spasial Tingkat
Kerawanan Konversi Lahan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Sumatera
Utara” ini dapat selesai sebagaimana mestinya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nurdin Sulistiyono,
S.Hut, M. Si dan Bapak Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si selaku komisi
pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan- rekan yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu penulis menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi penulis
maupun pihak yang membutuhkan.
Medan, Agustus 2010
DAFTAR ISI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan... ... 41
Saran... ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Karakterstik sensor Landsat 7... 6
2. Parameter penentuan rawan konversi lahan hutan... 19
3. Klasifikasi tutupan lahan citra satelit Landsat TM 7 tahun 2009... 22
4. Hasil evaluasi separabilitas tutupan lahan citra Landsat TM 7 tahun 2009.. 23
5. Hasil evaluasi kontingensi tutupan lahan citra Landsat TM7 tahun 2009... 24
6. Monogram citra landsat TM 7 DAS Deli (band 543)... 26
7. Sebaran ketinggian di DAS Deli... 27
8. Sebaran kelerengan di DAS Deli... 28
9. Sebaran kelas jarak dari jalan di DAS Deli... 29
10. Sebaran kelas jarak dari sungai di DAS Deli... 29
11. Sebaran kelas jarak dari pemukiman di DAS Deli... 34
12. Kepadatan penduduk menurut kecamatan di DAS Deli 2008... 36
13. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut kabupaten/kota 2008... 37
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Kerangka pemikiran ... ... 3
2. Tahapan penelitian... 20
3. Peta sebaran tutupan lahan DAS Deli... 25
4. Peta sebaran kelerengan di DAS Deli... 30
5. Peta sebaran ketinggian di DAS Deli... 31
6. Peta sebaran jarak dari jalan di DAS Deli... 32
7. Peta sebaran jarak dari sungai di DAS Deli ... 33
8. Peta sebaran jarak dari pemukiman di DAS Deli ... 35
9. Peta sebaran kepadatan penduduk di DAS Deli... 40
10. Peta sebaran pendapatan perkapita di DAS Deli... 41
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Titik koordinat berdasarkan pada pengecekan lapangan dengan GPS.... 46
2. Peta admnistrasi DAS Deli... 56
ABSTRAK
SUCI ARISA PURBA: Pemodelan Spasial Tingkat Kerawanan Konversi Lahan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Sumatera Utara. Dibimbing oleh NURDIN SULISTIYONO dan YUNUS AFIFUDDIN.
Belum adanya informasi tentang tingkat kerawanan konversi lahan hutan di DAS Deli menyebabkan DAS Deli berada pada kekritisan. Kegiatan konversi lahan hutan akan berdampak terhadap menurunnya fungsi hutan, terutama fungsinya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta penyerapan karbon. Penelitian ini dilakukan di DAS Deli meliputi Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan pada April – Juli 2009 dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG), Penginderaan Jauh (PJ) dan Global Positioning System (GPS) yang merupakan tiga teknologi spasial yang sangat berguna. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penentu kerawanan konversi lahan hutan) untuk menghasilkan unit pemetaan baru (unit lahan) yang akan digunakan sebagai unit analisis. Hasil penelitian menunjukkan daerah dengan tingkat kerawanan konversi lahan hutan tinggi mempunyai luasan 662,13 Ha atau 11,42 % yang menyebar pada semua kecamatan di DAS Deli, di bagian hulu pada Kecamatan Berastagi, di bagian tengah pada Kecamatan Sibiru-Biru, Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Namorambe serta di bagian hilir pada kecamatan Hamparan perak dan Medan Labuhan berupa hutan mangrove. Dari seluruh kawasan dengan tingkat kerawanan konversi hutan tinggi tersebut, 132,98 Ha merupakan hutan lindung dan sisanya 529,15 Ha adalah hutan rakyat.
ABSTRACT
SUCI ARISA PURBA: Spatial Modeling of Forest Land CONVERSION Rate Vulnerability in Deli Watershed, North Sumatera. Supervised by Nurdin SULISTIYONO and YUNUS AFIFUDDIN.
The absence of information about the level of vulnerability to conversion of forest land in the river basin watershed caused Deli Deli is at criticality. Forest land conversion activities will impact on the decrease of forest functions, especially its function as regulator of water management, flood prevention, erosion and carbon sequestration. This research was conducted in the watershed includes Karo, Deli Serdang and Medan in April-July 2009 using Geographic Information System (GIS), Remote Sensing (RS) and Global Positioning System (GPS), which are three very useful spatial technology. Spatial analysis was done by overlaying several spatial data (parameters determining vulnerability to conversion of forest land) to produce a new mapping units (land units) which will be used as the unit of analysis. The results showed the area with the level of vulnerability of high conversion of forest land has an area of 662.13 hectares or 11.42%, which is spread in all districts in the Deli watershed, upstream from the District of Berastagi, in the middle of the Sibiru-biru, Pancur Batu District and District Namorambe and in part downstream of the district of Medan Labuhan carpet of silver and mangroves. Of all the regions with high levels of vulnerability to forest conversion, the 132.98 hectares are protected forests and the remaining 529.15 hectares are forest people.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perencanaan dan pengelolaan sumber daya hutan yang baik terutama
melakukan analisis tingkat kerawanan maupun kekritisan suatu lahan, khususnya
hutan mutlak diperlukan untuk menjaga kelestariannya. Untuk itu, diperlukan
informasi yang memadai yang bisa dipakai oleh pengambil keputusan, termasuk
diantaranya informasi spasial. Akurasi tinggi, kebutuhan akan data terkini, dan
mencakup areal yang luas mengenai suatu kondisi lahan dapat dilakukan dengan
Sistem Informasi Geografis (SIG), Penginderaan Jauh (PJ) dan Global Positioning
System (GPS) yang merupakan tiga teknologi spasial yang sangat berguna untuk
memantau tingkat kerawanan konversi hutan.
Kerusakan sumberdaya alam hutan yang terjadi saat ini telah
menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan hidup daerah aliran sungai
(DAS) seperti tercermin pada sering terjadinya erosi, banjir, kekeringan,
pendangkalan sungai dan waduk serta saluran irigasi (Asdak, 1995). Tekanan
yang besar terhadap sumber daya alam oleh aktivitas manusia, salah satunya dapat
ditunjukkan adanya perubahan penutupan lahan begitu cepat.
Belum adanya informasi tentang tingkat kerawanan konversi lahan hutan
di DAS Deli menyebabkan DAS Deli berada pada kekritisan. Kegiatan konversi
lahan hutan akan berdampak terhadap menurunnya fungsi hutan, terutama
fungsinya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta penyerapan
karbon. Luasan hutan yang semakin berkurang di daerah hulu yang merupakan
kawasan penyangga bagi Kota Medan, berdampak pada daerah tengah dan hilir.
permasalahan diatas maka dalam penelitian ini akan dilakukan pemodelan spasial
tingkat kerawanan konversi lahan hutan dengan Penginderaan Jauh (PJ) dan
Sistem Informasi Geografi (SIG) di DAS Deli Sumatera Utara.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah membangun model spasial sehingga
dapat menggambarkan atau memetakan tingkat kerawanan konversi lahan hutan di
DAS Deli Sumatera Utara.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai daerah
dengan tingkat kerawanan konversi lahan hutan di DAS Deli sehingga dapat
digunakan sebagai informasi/masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan
untuk pencegahan konversi hutan yang semakin besar di masa yang akan datang.
Kerangka Pemikiran
Alur keranga pemikiran dari penelitian ini disajikan dalam Gambar 1
sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka pemikiran Kondisi biofisik
- Ketinggian tempat - Kelerengan lahan - Jarak dari jalan - Jarak dari sungai - Jarak dari pemukiman
Kondisi sosial ekonomi - Tingkat kepadatan
penduduk
- Tingkat pendapatan - Nilai ekonomi lahan
Menurunnya fungsi hutan Sebagai penyangga daerah hilir DAS
Pemetaan tingkat kerawanan konversi lahan hutan di DAS
Deli Konversi lahan
hutan di DAS Banjir, longsor, erosi dll
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli
DAS merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang
menerima hujan, manampung, menyimpan dan mengalirkan ke sungai dan
seterusnya ke danau atau ke laut. Selain itu DAS juga merupakan suatu ekosistem
dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antar faktor-faktor biotik,
nonbiotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem maka setiap ada masukan ke
dalam DAS, proses yang terjadi dan berlangsung di dalam DAS dapat dievaluasi
berdasarkan keluaran sistem tersebut (Suripin, 2002).
DAS Deli berkelok-kelok melewati Kabupaten Karo, Deli Serdang dan
Kota Medan. DAS Deli yang diapit oleh DAS Percut dan DAS Belawan terdiri
dari tujuh gugus sungai yaitu Sungai Petani, Simai-mai, Deli, Babura, Bekala, Sei
Kambing dan Paluh Besar. DAS Deli mengalir sepanjang 72 kilometer dari hulu
digunung hingga ke hilir di laut.
Hasil analisis Tim SIG ESP menunjukan kawasan tangkapan air di Sungai
Deli sudah sangat kritis. Hutan negara hanya tersisa 7,59 %, dengan tutupan
vegetasi (termasuk kebun masyarakat dan kawasan mangrove) hanya 15%.
Sebaliknya lahan kritis ditambah pemukiman mencapai 34,3%. Kawasan
budidaya luasnya mencapai 45,5%. Sebaliknya badan air hanya 167,38 Ha atau
0,29%. Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Deli (BPDAS) Wampu-Sei
Ular mengungkapkan luas DAS Deli 48.162 Ha, sementara data ESP
mendapatkan jumlah yang sedikit lebih luas yaitu 56.848,88 Ha. Di kawasan hulu,
lahan, perambahan liar serta pencurian humus. Kerusakan ini sudah berlangsung
selama puluhan tahun tanpa adanya upaya memadai untuk menghentikannya. Para
ahli konservasi sependapat bahwa kerusakan habitat merupakan penyebab utama
punahnya keragaman hayati yang sangat kaya (ESP, 2006).
Landsat TM 7
Landsat TM 7 adalah satelit paling akhir dari
Diluncurkan pada tanggal
memperbarui rasio citra satelit, menyediakan citra yang up-to-date dan bebas
awan. Meski Program Landsat Program dikelola ole
dikumpulkan dan didistribusikan ole
memungkinkan gambar tiga dimensi dari Landsat 7 dan sumber-sumber lainnya
untuk dapat dengan mudah dinavigasi dan dilihat dari berbagai sudut. Landsat 7
dirancang untuk dapat bertahan 5 tahun, dan memiliki kapasitas untuk
mengumpulkan dan mentrasmisikan hingga 532 citra setiap harinya. Satelit ini
adalah polar, memiliki orbit yang sinkron terhadap matahari, dalam arti dapat
memindai seluruh permukaan bumi; yakni selama 232 orbit atau 15 hari. Massa
satelit tersebut 1973 kg, memiliki panjang 4,04 meter dan diameter 2,74 meter.
Tak seperti pendahulunya, Landsat memiliki memori 378 gigabits (kira-kira 100
citra). Instumen utama Landsat 7 adalah Enhanced Thematic Mapper Plus
(ETM+) (Wikipedia, 2009).
Landsat 7 adalah satelit remote sensing yang dioperasikan oleh USGS
(United States Geological Survei), berorbit polar pada ketinggian orbit 705 Km,
dengan membawa sensor ETM+ yang dapat menghasilkan citra multispektral dan
Landsat 7 adalah untuk menyajikan data inderaja berkualitas tinggi dan tepat
waktu dari kanal tampak (visible) dan infra merah yang meliput seluruh daratan
dan kawasan di sekitar pantai di permukaan bumi dan secara berkesinambungan
memperbaharui data base yang ada. Namun setelah beroperasi lebih dari empat
tahun, satelit ini mengalami kerusakan pada bagian SLC (Scan Line Collector)
sehingga menghasilkan citra satelit yang tidak utuh, USGS telah berusaha
memperbaiki kerusakan yang terjadi, tetapi tidak berhasil, bahkan sejak
November 2003 kerusakan yang terjadi dinyatakan sebagai kerusakan yang
permanen. Satelit Landsat telah lebih dari sepuluh tahun dimanfaatkan oleh
pengguna di Indonesia untuk berbagai sektor kegiatan. Oleh karena itu sampai
saat ini masih banyak pengguna data inderaja yang bergantung pada data Landsat,
padahal banyak data inderaja satelit yang dihasilkan oleh satelit lainnya yang
mungkin dapat mensubstitusi data Landsat paska kerusakan (Arief, 2004).
Tabel 1. Karakteristik sensor Landsat 7
Instrument (Sensor) Enhanced Thematics Mapper (ETM+)
Lebar Cakupan (swath width) 185 Km
Pengamatan Balik (revisit time) 16 hari Orbit
Ketinggian Orbit
Hampir Polar, Sinkron Dengan Matahari 705 Km Melintasi Ekuator (local time) 10,00 ±15 min Band Kisaran Spektral (µ) Resolusi spasial (m)
6 Gelombang infra merah Thermal (TIR)
10,40 - 12,50 60
Short Wave IR 2.090 - 2,350 30
Modus Mono 0,520 - 0,900 15
Tanggal diluncurkan 15 April 1999
Misi dirancang dalam waktu (Mission life)
Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh
Sistem informasi geografis mempunyai kemampuan analisis terhadap data
spasial untuk keperluan manipulasi maupun permodelan. Fungsi analisis ini
dijalankan memakai data spasial dan data atribut. Sistem ini menjawab berbagai
pertanyaan yang dikembangkan dari data yang ada menjadi suatu persoalan yang
relevan. Data spasial dan sistem informasi geografis hanya merupakan model
penyajian yang merefleksikan berbagai aspek realitas dunia nyata, sedangkan
untuk meningkatkan peran data dalam pengambilan keputusan mengenai
kenyataan tersebut, suatu model harus ditampilkan untuk menggambarkan obyek
–obyek termasuk manyajikan hubungan antar obyek (Arifin dkk, 2006).
Teknologi yang digunakan dalam sistem informasi geografis memperluas
penggunaan peta, model-model kartografi dan statistik spasial dengan
memberikan kemampuan analisis, tidak hanya tersedia untuk pengembangan
model medan kompleks dan pengujian masalah bentang lahan serta masalah
penggunaan lahan. Saat ini penggunaan SIG yang paling umum adalah untuk
pembuatan peta tematik kota dan memberikan revisi peta-peta tersebut
(Howard, 1996).
Penginderaan jauh dapat digunakan untuk analisis perhitungan beberapa
sifat fisik antara lain arah lereng dan kemiringan lereng dari peta Shuttle Radar
Topography Mission (SRTM) atau dari interpolasi kontur menjadi peta Digital Elevation Model (DEM). Dengan data DEM juga dapat dianalisis topografi di
suatu DAS dan kelas kemiringan lereng masing-masing satuan lahan.
Karakteristik kondisi fisik suatu lahan DAS didominasi oleh faktor topografi di
kemiringan lereng yang curam dan topografi perbukitan atau pegunungan maka
akan berpotensi terhadap kekritisan suatu DAS. Parameter tersebut dari
kemiringan lereng, topografi dan ketinggian tempat suatu wilayah dapat dihitung
atau dianalisis dengan penginderaan jauh (Harjadi dkk, 2007).
Model Data Spasial
SIG dengan penyederhanaannya melakukan pendekatan terutama secara
spasial dan non spasial. Analisis spasial dalam SIG berusaha menerangkan
fenomena dunia nyata melalui model dunia nyata (real world model). Model
dunia nyata ditujukan untuk mengurangi kompleksitas dengan mengambil
fenomena-fenomena tertentu saja yang sejalan dengan tujuan. Model dunia nyata
selanjutnya diterangkan melalui model data. Proses interpretasi fenomena alami
dengan menggunakan model dunia nyata dan model data disebut dengan
pemodelan data (Bernhardsen, 1998).
Model merupakan representasi dari realita. Tujuan pembuatan model
adalah untuk membantu mengerti, menggambarkan, atau memprediksi bagaimana
suatu fenomena bekerja di dunia nyata melalui penyederhanaan bentuk fenomena
tersebut. Pemodelan spasial terdiri dari sekumpulan proses yang dilakukan pada
data spasial untuk menghasilkan suatu informasi umumnya dalam bentuk peta.
Kita dapat menggunakan informasi tersebut untuk pembuatan keputusan, kajian
ilmiah, atau sebagai informasi umum. Representasikan model dunia nyata di
dalam SIG ada dua. Pertama adalah jenis data spasial yang merepresentasikan
aspek keruangan yang disebut data-data posisi, ruang, koordinat. Kedua adalah
jenis data yang merepresentasikan aspek deskriptif terhadap fenomena yang
Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitas
yang membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena
berakar pada keaslian data spasial. Data spasial menjelaskan fenomena geografi
terkait dengan lokasi relatif terhadap permukaan bumi (georeferensi), berformat
digital dari penampakan peta, berbentuk koordinat titik-titik, dan simbol-simbol
mendefinisikan elemen-elemen penggambaran (kartografi), dan dihubungkan
dengan data atribut yang disimpan dalam tabel-tabel sebagai penjelasan dari data
spasial tersebut (georelational data structure) (Hurvitz, 2003).
Hurvitz (2003) membagi model data spasial kedalam dua kategori dasar,
yaitu model data vektor dan model data raster.
1. Model Data Vektor
Model data vektor merepresentasikan setiap fitur ke dalam baris dalam
tabel dan bentuk fitur didefinisikan dengan titik x, y dalam space. Fitur-fitur dapat
memiliki ciri-ciri yang berbeda lokasi atau titik, garis atau poligon. Lokasi-lokasi
seperti alamat customer direpresentasikan sebagai point yang memiliki pasangan
koordinat geografis. Garis, seperti sungai atau jalan, direpresentasikan sebagai
rangkaian dari pasangan koordinat. Poligon didefinisikan dengan batas dan
direpresentasikan dengan poligon tertutup. Semua itu dapat didefinisikan secara
legal, seperti paket dari tanah; administratif, seperti kabupaten. Saat menganalisa
data vektor, sebagian besar dari analisa melibatkan atribut-atribut dari tabel data
layer.
Tiga macam model data vektor yaitu :
- Titik, adalah representasi grafis yang paling sederhana untuk suatu
diidentifikasi di atas peta dan dapat ditampilkan pada layar monitor
dengan menggunakan simbol-simbol.
- Garis adalah bentuk linier yang akan menghubungkan paling sedikit
dua titik dan digunakan untuk mempresentasikan obyek-obyek dua
dimensi. Obyek atau entitas yang dapat direpresentasikan dengan garis
antara lain jalan, sungai, jaringan listrik, saluran air.
- Poligon digunakan untuk merepresentasikan obyek-obyek dua dimensi,
misalkan: Pulau, wilayah administrasi, batas persil tanah adalah entitas
yang ada pada umumnya direpresentasikan sebagai poligon. Satu
poligon paling sedikit dibatasi oleh tiga garis di antara tiga titik yang
saling bertemu membentuk bidang. Poligon mempunyai sifat spasial
luas, keliling terisolasi atau terkoneksi dengan yang lain, bertakuk
(intended), dan overlapping.
2. Model Data Raster
Model data raster merepresentasikan fitur-fitur ke dalam bentuk matrik
yang berkelanjutan. Setiap layer merepresentasikan satu atribut (meskipun atribut
lain dapat diikutsertakan ke dalam sel matrik). Entiti spasial raster disimpan di
dalam layer yang secara fungsionalitas direlasikan dengan unsur-unsur petanya.
Contoh sumber entiti spasial raster adalah citra satelit (misalnya Ikonos).
Konversi Lahan
Sihaloho (2004) menjelaskan mengenai faktor-faktor penyebab konversi
1. Faktor pertambahan penduduk yang begitu cepat berimplikasi kepada
permintaan terhadap lahan pemukiman yang semakin meningkat dari tahun ke
tahun;
2. Faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat
pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil
penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha mencari bentuk
usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk
mendapatkan modal dalam memulai usahanya, petani pada umumnya menjual
tanah yang dimilikinya. Masyarakat pedesaan beranggapan akan mendapatkan
keuntungan yang lebih tinggi dari penjualan lahan pertanian untuk kegiatan
industri dibandingkan harga jual untuk kepentingan persawahan. Di sisi lain
pengerjaan lahan pertanian memerlukan biaya tinggi. Sehingga petani lebih
memilih sebagian tanah pertaniannya untuk dijual untuk kegiatan
non-pertanian;
3. Faktor luar, yaitu pengaruh warga dari desa-kelurahan perbatasan yang telah
lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak Perseroan Terbatas (PT);
4. Adanya penanaman modal pihak swasta dengan membeli lahan-lahan produktif
milik warga;
5. Proses pengalihan pemillik lahan dari warga ke beberapa PT dan ke beberapa
orang yang menguasai lahan dalam luasan yang lebih dari 10 hektar; dan
6. Intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Berdasarkan RTRW tahun 2005, seluas 269,42 hektar lahan Kelurahan
Kecilnya manfaat ekonomi yang secara langsung dirasakan oleh
masyarakat dari penggunaan lahan sebagai hutan, mengakibatkan banyak
terjadinya perubahan penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat di
kawasan lindung menjadi penggunaan lahan yang secara ekonomi memberikan
nilai yang lebih tinggi, sehingga pola penggunaan lahan di Sub DAS Ciesek,
sesuai penelitian Sulistiyono (2006) yang ada sekarang ini tidak sesuai dengan
pola peruntukannya sebagaimana yang telah disusun dalam RTRW tahun 2000.
Sebagai dampaknya kawasan lindung menjadi tergangu akibat desakan
penggunaan lahan oleh masyarakat.
Barlow (1978) menyatakan bahwa pola penggunaan lahan ditentukan oleh
besarnya land rent (nilai manfaat lahan) yang diterima pemilik/pengguna lahan
dari suatu pola penggunaan lahan. Pola penggunaan lahan yang memberikan land
rent yang tinggi yang diterima akan mengganti pola penggunaan lahan dengan
sewa lahan yang rendah. Nilai land rent yang rendah suatu penggunaan lahan
akan digantikan oleh nilai land rent yang lebih tinggi dari suatu pola penggunaan
lahan.
Apabila dilakukan alih fungsi (konversi) lahan dari hutan menjadi lahan
pertanian (sawah atau tegalan), maka akan lepas/keluar air dari lahan tersebut
sebanyak 600- 1.050 m3 per hektar (600 ribu – 1,05 juta) liter. Apalagi bila lahan
hutan dikonversi menjadi lahan pemukiman maka sekitar 1.300 m3 (1,3 juta liter)
air akan keluar/lepas dari setiap hektar kawasan yang dikonversi tersebut. Volume
air sebanyak ini jelas dapat menimbulkan banjir pada lingkungan sekitar atau di
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini mengambil lokasi di DAS Deli yang meliputi Kabupaten
Karo, Kabupaten Deli Serdang dan Medan. Analisis data dilakukan di
Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2010 –
Juli 2010.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas :
a. Data spasial : citra Landsat TM 7 path/row 129/58 (Mei 2009 dan April 2009)
dan 129/57 (Oktober 2009) dari Glovis, data digital elevation model (DEM)
dari shuttle radar topography mission (SRTM), peta digital administrasi DAS
Deli, peta digital jalan, peta digital sungai dan peta digital kota dari BPKH
b. Data non spasial : data kepadatan penduduk dan data tingkat pendapatan
perkapita dari BPS
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Computer
(PC), Software pengolah data GIS, Global Positioning System (GPS) dan kamera
digital.
Metode Penelitian
Pengumpulan data
Data primer diperoleh dari pengambilan titik di lapangan dengan
menggunakan GPS sebagai training area. Data sekunder berupa data utama dan
2009 dan April 2009) dan path/row 129/57 (Oktober 2009), data DEM dari SRTM
dan data pendukung diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH),
BPDAS, BPS, dan stakeholder (peneliti, universitas dan lain-lain). Data yang
dikumpulkan yaitu data spasial berupa peta digital jalan, peta digital sungai, peta
digital administrasi, serta data non spasial berupa data kepadatan penduduk dan
data tingkat pendapatan perkapita.
Analisis data
1. Analisis citra untuk pembuatan peta tutupan lahan
Citra Landsat TM 7 dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh peta
penutupan lahan (land cover) dari kawasan yang diteliti. Analisis citra dapat
dilakukan dalam empat tahap sebagai berikut:
a. Mosaik citra, adalah penggabungan dua citra yakni citra landsat 129/57 dan
citra landsat 129/58 sehingga gambaran pada kedua citra tersebut bertampalan.
b. Subset citra, adalah memotong (cropping) citra untuk menentukan daerah
kawasan yang diteliti dari kedua citra tersebut.
c. Klasifikasi citra (image classification), bertujuan untuk pengelompokan atau
segmentasi terhadap kenampakan-kenampakan yang homogen dengan
menggunakan teknik kuantitaif. Klasifikasi citra yang digunakan yakni
klasifikasi terbimbing (supervised classification). Klasifikasi terbimbing
adalah proses klasifikasi dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan
dan memilih training area untuk tiap kategori penutup lahan yang mewakili
sebagai kunci interpretasi.
d. Uji ketelitian, dilakukan dengan menggunakan metode maksimum likelihood.
yang diperoleh dengan cara pengecekan di lapangan serta pengukuran
beberapa titik (sampel area) yang dipilih dari setiap bentuk
penutupan/penggunaan lahan yang homogen. Besarnya tingkat akurasi akan
diperoleh dari hasil uji ketelitian, yang dihitung dari matriks analisis akurasi
dengan formulasi sebagai berikut:
Producer’s accuracy = x100%
X
N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan
r = Jumlah baris/lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas)
Xkk= Jumlah piksel pada kelas bersangkutan (diagonal matriks)
Xkt = ∑Xij (jumlah semua kolom pada baris ke i)
Xtk = ∑Xij (jumlah semua kolom pada lajur ke j)
2. Pembuatan peta ketinggian
Data SRTM ditampalkan dengan daerah penelitian kemudian diubah
dalam bentuk file DEM. Proses ini menggunakan fitur export raster and elevation
data pada menu file. Kemudian data dalam bentuk file DEM tersebut
dikonversikan ke grid dengan menggunakan model builder. Setelah
yang telah ditentukan sehingga diperoleh peta ketinggian. Kemudian peta
ketinggian tersebut diproyeksi dalam koordinat projected dengan datum WGS 84
UTM.
3. Pembuatan peta kelerengan
Prosedur pembuatan peta kelerengan hampir sama dengan pembuatan peta
ketinggian. Peta kelerengan diperoleh dari data DEM melalui proses terrain slope.
3. Pembuatan peta jarak dari sungai
Peta buffer diperoleh dengan memanfaatkan perangkat lunak GIS. Peta
digital jaringan sungai dalam bentuk shapefile dipotong sesuai dengan daerah
penelitian. Kemudian diolah dengan menggunakan fitur create buffer pada menu
theme, sehingga diperoleh peta jarak dari sungai.
4. Pembuatan peta jarak dari jalan
Prosedur pembuatan peta jarak dari jalan hampir sama dengan pembuatan
peta jarak dari sungai. Peta acuan yang digunakan adalah peta jaringan jalan
dalam bentuk shapefile.
5. Pembuatan peta jarak dari pemukiman
Prosedur pembuatan peta jarak dari pemukiman hampir sama dengan
pembuatan peta jarak dari sungai dan peta jarak dari jalan. Peta acuan yang
digunakan adalah peta digital kota dalam bentuk shapefile.
6. Pembuatan peta spasial kepadatan penduduk dan pendapatan perkapita
Dilakukan dengan editing data atribut pada peta digital administrasi DAS
Deli. Data pendukung yang diperoleh kemudian dimasukkan pada atribut
dengan menambahkan field pada peta DAS Deli tersebut.
Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay)
beberapa data spasial (parameter penentu kerawanan konversi lahan hutan) untuk
menghasilkan unit pemetaan baru (unit lahan) yang akan digunakan sebagai unit
analisis. Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan rawan konversi
lahan hutan menggunakan perangkat lunak GIS dengan bantuan ekstensi
geoprocessing. Secara garis besar tahapan dalam analisis spasial untuk
penyusunan data spasial (peta) rawan konversi lahan hutan terdiri dari 4 tahap,
yaitu (a) tahap tumpangsusun data spasial, (b) tahap editing data atribut, (c) tahap
analisis tabuler, dan (d) presentasi grafis (spasial) hasil analisis
. Metode yang digunakan dalam tahap analisis tabuler adalah metode
skoring. Setiap parameter penentu kerawanan konversi lahan hutan (Tabel 2)
diberi skor tertentu, dan kemudian pada setiap unit analisis skor tersebut
dijumlahkan. Hasil penjumlahan skor (skor akhir )selanjutnya diklasifikasikan
untuk menentukan tingkat kerawanan konversi lahan hutan.
Skor akhir = (3 *[Skor ketinggian tempat]) + (5*[Skor kelerengan]) + (10*[Skor jarak dari jalan]) + (2*[Skor jarak dari sungai]) + (20*[Skor jarak dari pemukiman]) + (10*[Skor kepadatan]) + (10*[Skor pendapatan])
7. Uji Ketelitian
Dari hasil interpretasi tingkat kerawanan konversi lahan hutan dilakukan
validasi terhadap kondisi sesungguhnya di lapangan. Untuk itu perlu dilakukan
pengecekan lapangan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kerawanan
konversi lahan hutan pada lokasi rawan konversi lahan hutan. Hasil dari
pengecekan lapangan dengan bantuan alat Global Positioning System (GPS)
dimana fungsinya dapat menentukan keberadaan lokasi contoh tersebut. Uji
ketelitian dilakukan dengan cara ground check (cek lapangan) di beberapa titik
Pengambilan titik ini dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yakni
biaya, waktu, dan tenaga.
Tabel 2. Parameter penentuan rawan konversi lahan hutan
Gambar 2. Tahapan penelitian sosial ekonomi masyarakat - Kepadatan penduduk
nilai-nilai rawan konversi lahan hutan
Tidak - Jarak dari sungai - Jarak dari pemukiman
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Indikator Kerawanan Konversi Lahan Hutan Tutupan lahan
Berdasarkan hasil pengambilan titik di lapangan dengan GPS dan
interpretasi citra Landsat TM 7 yang dilakukan, menunjukkan tipe penutupan
lahan di DAS Deli yang meliputi Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Karo dan
Medan adalah beragam. Tipe tutupan lahan yang ditemukan di lapangan
dikelompokkan menjadi sebelas kelas tutupan lahan yaitu hutan, kebun campuran,
sawit, semak belukar, awan, pemukiman, badan air, lahan kosong, pertanian lahan
kering, tambak dan sawah.
Berdasarkan klasifikasi tutupan lahan yang dilakukan (Tabel 3.) dapat
dilihat luas hutan tahun 2009 adalah 5.721,52 Ha atau 11,5 % dari luas
keseluruhan daerah aliran sungai Deli sebesar 48.340,69 Ha. Penggunaan lahan
yang paling besar yaitu pada pemukiman sebesar 10.713,92 Ha atau 22,17 %. Hal
ini menandakan bahwa kondisi penggunaan lahan di DAS Deli saat ini lebih
didominasi oleh kawasan pemukiman.
Kriteria pengelompokan kelas pada klasifikasi terbimbing (supervised
classification) ditetapkan berdasarkan penciri kelas (signature editor) yang
diperoleh melalui pembuatan training area. Penciri kelas ini akan
mengelompokkan piksel yang sama ke dalam suatu kelas berdasarkan pada Area
of interest (AOI) yang dibuat pada citra yang akan diklasifikasi. Training area
yang dibuat adalah titik koordinat X dan Y yang diperoleh berdasarkan pada
Tabel 3. Klasifikasi tutupan lahan citra satelit Landsat TM 7 tahun 2009 9 Pertanian lahan kering 7.138,36 14,77 10 Tambak 923,91 1,91 11 Sawah 624,98 1,29 Total 48.340,69 100 Sumber: Hasil interpretasi citra landsat TM 7 tahun 2009
Klasifikasi tutupan lahan yang sudah dibuat kemudian diuji ketelitiannya
dengan evaluasi separabilitas dan kontingensi. Separabilitas adalah ukuran
statistik antar dua kelas. Ukuran separabilitas yang digunakan yaitu transformed
divergence yang dianggap baik untuk evaluasi keterpisahan antar kelas (Jaya,
1996). Hasil dari evaluasi separabilitas (Tabel 4.) menunjukkan nilai terendah
berada diantara lahan kosong dan pemukiman dengan nilai 1712,48 yang berarti
sedang keterpisahannya. Menurut Jaya (1996) nilai separabilitas 1700-1899
adalah sedang keterpisahannya.
Akurasi dari klasifikasi tutupan lahan kemudian dievaluasi dengan
menggunakan matrik kontingensi (error matrix/confusion matrix) yang memuat
jumlah piksel yang diklasifikasi. Akurasi yang digunakan adalah Kappa accuracy,
karena akurasi ini menggunakan semua elemen dalam matrik. Dari hasil
perhitungan menunjukkan bahwa nilai Kappa accuracy adalah 95,56 %(Tabel 5.),
yang berarti hasil klasifikasi dapat diterima. Menurut Jaya (1996) bahwa nilai
akurasi di atas 85% berarti hasil klasifikasi dapat diterima dengan tingkat
pengklasifikasian ulang pada penutupan lahan tersebut dan dari hasil klasifikasi
tersebut dapat dibuat peta tutupan lahan (Gambar 3.)
Analisa tutupan lahan beserta monogram dari citra landsat TM 7 tahun
2009 (Tabel 6.), dibuat berdasarkan hasil klasifikasi terbimbing (supervised
classification) yang dilakukan dan interpretasi citra dengan menggunakan
kombinasi saluran (band) 5 (mid IR), 4 (near IR) dan 3 (red). Saluran tersebut
sesuai untuk menggambarkan kenampakan yang ada di lapangan. Lillesand dan
Kiefer (1997) menyatakan bahwa band 5 dapat membedakan salju dan awan, band
4 untuk membedakan jenis tumbuhan, aktifitas dan untuk membatasi tubuh air,
dan band 3 dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, yang dapat
digunakan nuntuk membantu dalam pemisahan spesies tanaman juga untuk
Tabel 4. Hasil evaluasi separabilitas tutupan lahan citra Landsat TM 7 tahun 2009
Tutupan lahan Awan Badan air Hutan Kebun
campuran
Lahan kosong
Pemukiman Pertanian lahan kering
Sawah Sawit Semak
belukar
Tambak
Awan 0 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2000
Badan air 2000 0 1990,79 1999,97 2000 1991,57 2000 1996,42 2000 1997,82 1877,36
Hutan 2000 1990,79 0 1992,05 2000 2000 2000 2000 1999,25 1917,86 2000
Kebun campuran 2000 1999,97 1992,05 0 1999,98 1999,85 1909,76 2000 1957,95 1995,46 2000
Lahan kosong 2000 2000 2000 1999,98 0 1712,48 1871,51 1999,99 2000 2000 1999,98
Pemukiman 2000 1991,57 2000 1999,85 1712,48 0 1844,73 1974,97 2000 2000 1850,24
Pertanian lahan kering
2000 2000 2000 1909,76 1871,51 1844,73 0 1998,69 2000 1999,99 1999,25
Sawah 2000 1996,42 2000 2000 1999,99 1974,97 1998,69 0 2000 2000 1974,56
Sawit 2000 2000 1999,25 1957,96 2000 2000 2000 2000 0 1792,37 2000
Semak belukar 2000 1997,82 1917,86 1995,46 2000 2000 1999,99 2000 1792,37 0 1999,92
Tabel 6. Monogram citra landsat TM 7 DAS Deli (band 543) No Kelas tutupan
lahan
Keterangan Monogram
1 Badan Air Meliputi semua kawasan perairan seperti sungai, kolam, laut, kanal dan lain-lain yang ditandai dengan warna biru kehitaman
2 Hutan Meliputi hutan alam dan hutan rakyat (agroforestri) seperti campuran pohon buah dan pohon kehutanan atau tanaman perkebunan dan pohon kehutanan serta hutan rakyat monokultur. Ditandai dengan tekstur yang kasar dan warna hijau tua kehitaman
3 Kebun
campuran
Meliputi campuran antara tanaman pertanian dan perkebunan termasuk perkebunan tebu, perkebunan tembakau, ditandai dengan warna hijau tua dan pola yang tidak teratur
4 Lahan kosong Meliputi lapangan bola, puncak gunung (batuan), kawah vulkanik, lahan bekas kebakaran dan lain-lain yang ditandai dengan warna merah muda dan tekstur halus
5 Pemukiman Meliputi semua kawasan
perkampungan, perkotaan, pelabuhan, bandara, dan lain-lain yang ditandai dengan warna ungu namun tekstur yang agak kasar dan terdapat jaringan jalan
6 Pertanian lahan kering
Tabel 6. (Lanjutan)
Kawasan bekas hutan yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah termasuk alang-alang, ditandai dengan warna hijau muda kekuningan, tekstur halus, pola teratur dan juga tidak
9 Tambak Semua aktivitas perikanan darat atau penggaraman yang tampak dengan pola pematang di sekitar pantai yang ditandai dengan warna biru agak kehitaman, tekstur halus dan pola seragam 10 Sawit Semua perkebunan sawit yang
ditandai dengan warna hijau muda dan tekstur agak kasar
11 Awan Semua kenampakan awan yang
menutupi kawasan di bawahnya, ditandai dengan warna putih terang
Ketinggian tempat
Secara umum kondisi DAS Deli seluas 48.340,69 Ha, memiliki sebaran
ketinggian 0 mdpl sampai > 2000 mdpl (Tabel 7.). Sebagian besar kawasan berada
pada ketinggian 0 mdpl – 500 mdpl (85, 92 %) dan sedikit sekali yang berada
pada ketinggian > 2000 mdpl (0,16 %).
Berdasarkan peta sebaran ketinggian tempat di DAS Deli (Gambar 4),
dapat dilihat bahwa daerah dataran rendah berada pada Kota Medan dan
Kabupaten Deli serdang. Kondisi topografi berupa dataran rendah berpeluang
terjadinya banjir di daerah tersebut, apalagi dengan kondisi hutan yang semakin
Tabel 7. Sebaran ketinggian di DAS Deli Sumber: Hasil analisis citra Landsat TM 7 dan SRTM (2009)
Kelerengan lahan
Sebaran kelas kelerengan lahan di DAS deli bervariasi dari landai (0-8%)
sampai sangat curam (> 40 %) (Tabel 8.). Kelas lereng yang paling mendominasi
yaitu pada kelas datar (93,5 %) dan yang paling sedikit pada kelas sangat curam
(0,01 %). Peta sebaran kelerengan di DAS Deli dapat dilihat pada Gambar 5.
Secara umum, kelerengan berpengaruh pada tingkat kerawanan konversi lahan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, konversi lahan akan terjadi pada kondisi
topografi datar sampai sedang.
Tabel 8. Sebaran kelerengan di DAS Deli
No Kelerengan Keterangan Luas (Ha) Luas (%) Sumber: Hasil analisis citra Landsat TM 7 dan SRTM (2009)
Jarak dari jalan
Sebaran kelas jarak dari jalan di DAS deli berada pada jarak terendah 0 m
- 200 m dan tertinggi > 800 m (Tabel 9.). Jarak dari jalan merupakan indikator
yang sangat menentukan pada kerawanan konversi lahan hutan. Semakin dekat
semakin ekstrim. Peta sebaran kelas jarak dari jalan di DAS Deli tersaji pada
Gambar 6.
Tabel 9. Sebaran kelas jarak dari jalan di DAS Deli
No Jarak dari jalan (m) Luas (Ha) Luas (%) Sumber: Hasil analisis citra Landsat TM 7 (2009)
Jarak dari sungai
Sebaran kelas jarak dari sungai di DAS deli berada pada jarak terendah 0
m - 200 m dan tertinggi > 800 m (Tabel 10.). Jarak kawasan hutan ke sungai akan
menjadi pemicu terjadinya konversi lahan hutan ke pertanian. Semakin dekat
dengan air, kecenderungan untuk konversi lahan hutan akan semakin meningkat.
Lahan pertanian membutuhkan banyak air, untuk itu petani biasanya
memanfaatkan air tersebut untuk menyiram tanaman. Peta sebaran kelas jarak
dari sungai di DAS Deli tersaji pada Gambar 7.
Tabel 10. Sebaran kelas jarak dari sungai di DAS Deli
Jarak dari pemukiman
Sebaran kelas jarak dari pemukiman di DAS deli berada pada jarak
terendah 0 m - 1000 m dan tertinggi > 4000 m (Tabel 11.). Jarak dari pemukiman
berpengaruh terhadap konversi lahan hutan, yaitu semakin dekat kawasan hutan
dengan pemukiman, masyarakat akan cenderung untuk melakukan konversi hutan.
Hal ini terjadi karena bertambahnya jumlah anggota dalam keluarga, adanya
perpindahan penduduk dan lain-lain yang menyebabkan kebutuhan akan tempat
tinggal akan semakin meningkat, tidak ada cara lain selain mengkonversi lahan
hutan untuk pemukiman. Peta sebaran kelas jarak dari pemukiman di DAS Deli
tersaji pada Gambar 8.
Tabel 11. Sebaran kelas jarak dari pemukiman di DAS Deli
No Jarak dari pemukiman (m) Luas (Ha) Luas (%) 1 0 - 1000 31.485,12 65,13 2 1000 - 2000 13.272,09 27,46 3 2000 – 3000 2.200,49 4,55 4 3000 – 4000 787,52 1,63 5 > 4000 595,47 1,23 Total 48.340,69 100 Sumber: Hasil analisis citra Landsat TM 7 (2009)
Kepadatan penduduk
Sebaran kepadatan penduduk di kawasan berhutan DAS deli yaitu
kepadatan terendah 120 jiwa/Km2 pada Kecamatan Sibolangit dan tertinggi
25.613 jiwa/Km2 pada Kecamatan Medan Perjuangan (Tabel 12.). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh A.I. Fraser (1996) dalam Arifin (2001)
menyatakan bahwa tekanan penduduk merupakan penyebab utama kerusakan
hutan di Indonesia. Peta sebaran kelas kepadatan penduduk di DAS Deli tersaji
Tabel 12. Kepadatan penduduk menurut kecamatan di DAS Deli 2008 Hamparan Perak 230,15 145.483 632 600-700 Labuhan Deli 127,23 55.764 438 400-600 Simpang Empat 93,48 20.610 220 < 300 Berastagi 30,5 45.011 1.475 > 700 Tiga Panah 32,25 31.976 991 > 700 Sumber: Data olahan BPS dan analisis citra Landsat TM 7 (2009)
Pendapatan perkapita
Pendapatan perkapita merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan
suatu daerah. Berdasarkan pendapatan daerah perkapita di kawasan berhutan DAS
deli dapat dilihat bahwa pendapatan daerah terendah yaitu Rp.14.017.621,34
(Kabupaten Karo) dan tertinggi Rp. 31.026.883,44 (Kota Medan) (Tabel 13.). Peta
Tabel 13 . Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut kabupaten/kota
Medan 65.221.766,81 2.102.105 31.026.883,44 > 30 Deli Serdang 30.116.831,18 1.715.164 17.559.155,38 15 – 30
Karo 5.058.679,19 360.880 14.017.621,34 < 15 Sumber: Data olahan BPS dan analisis citra Landsat TM 7 (2009)
Model Spasial dan Analisis Tingkat Kerawanan Konversi Lahan
Model spasial dibangun dengan overlay antara parameter penentu
kerawanan konversi lahan. Tingkat kerawanan konversi lahan hutan di kawasan
berhutan DAS Deli diklasifikasikan berdasarkan skor akhir dari penjumlahan
semua hasil kali bobot dan skor masing-masing variabel. Kelas tingkat kerawanan
konversi hutan diklasifikasikan menjadi tiga kelas yakni tinggi, sedang dan rendah
dengan luasan yang berbeda-beda (Tabel 14.). Sebaran daerah dengan tingkat
kerawanan konversi hutan di DAS Deli disajikan pada Gambar 11.
Tabel 14. Sebaran tingkat kerawanan konversi lahan hutan DAS Deli
No Skor Kelas Kerawanan Luas (Ha) Luas (%)
1 ≤350 Rendah 1.280,64 22,02 2 350-500 Sedang 3.778,75 66,56 3 >500 Tinggi 662,13 11,42 Total 5.721,52 100 Sumber : Data olahan Citra Landsat TM 7 tahun 2009
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelas kerawanan tinggi dengan luas
662,13 Ha atau 11,42 % dari seluruh kawasan berhutan di DAS Deli. Berdasarkan
peta administrasi DAS Deli (Lampiran 2.) daerah tersebut menyebar pada semua
kecamatan di DAS Deli, di bagian hulu pada Kecamatan Berastagi, di bagian
tengah pada Kecamatan Sibiru-Biru, Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan
Namorambe serta di bagian hilir pada kecamatan Hamparan perak dan Medan
lahan hutan tinggi tersebut, 132,98 Ha merupakan hutan lindung dan sisanya
529,15 Ha adalah hutan rakyat.
Berdasarkan model spasial yang dibangun, dapat dianalisis bahwa pada
umumnya tingkat kerawanan konversi lahan yang tinggi terjadi pada kawasan
yang dekat dengan jalan raya. Hal ini dikarenakan kemudahan akses apabila
dilakukan perambahan hutan maupun nilai manfaat yang akan diperoleh apabila
hutan dikonversi menjadi pemukiman, industri, maupun kegiatan pertanian.
Sesuai literatur Sulistiyono (2009), besarnya nilai manfaat langsung dari hutan di
DAS Deli hanya sebesar Rp. 439,32/m2/tahun. Nilai ini masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan alternatif penggunaan lahan sawah, pertanian lahan kering,
perkebunan serta perumahan. Rendahnya manfaat langsung yang dirasakan oleh
masyarakat ini bepotensi menjadi salah satu penyebab semakin banyaknya lahan
hutan yang dialihfungsikan ke penggunaan non kehutanan yang mempunyai nilai
ekonomi lebih besar.
Kemiskinan merupakan salah satu faktor ekonomi yang sangat
berpengaruh terhadap terjadinya konversi lahan. Kecilnya nilai guna langsung
sebesar 4,41 % dari nilai ekonomi total kawasan hutan menunjukkan masih
kecilnya manfaat ekonomi kawasan hutan yang langsung dirasakan masyarakat
sekitar hutan (Sulistiyono, 2006). Masyarakat sekitar hutan akan mencari bentuk
usaha lain untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, seperti alih fungsi ke
pertanian atau menjual lahan hutan kepada pengusaha luar untuk dijadikan untuk
perumahan dan industri.
Faktor sosial terjadinya konversi lahan yaitu pertambahan penduduk yang
menyebabkan kebutuhan akan lahan pun semakin meningkat. Untuk itu
masyarakat cenderung mengganti lahan hutan yang ada untuk dijadikan
pemukiman. Faktor lain yaitu kelembagaan (kebijakan pemerintah) yang
dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, merupakan salah satu faktor
penentu proses alih fungsi lahan (Nasoetion, 2006). Adanya pengaturan tata ruang
yang kurang baik dan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa
mempertimbangkan faktor lingkungan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan model spasial yang dibangun, daerah dengan tingkat kerawanan
konversi lahan hutan tinggi mempunyai luasan 662,13 Ha atau 11,42 % yang
menyebar pada semua kecamatan di DAS Deli, di bagian hulu pada
Kecamatan Berastagi, di bagian tengah pada Kecamatan Sibiru-Biru,
Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Namorambe serta di bagian hilir pada
kecamatan Hamparan perak dan Medan Labuhan berupa hutan mangrove.
2. Dari seluruh kawasan dengan tingkat kerawanan konversi hutan tinggi
tersebut, 132,98 Ha merupakan hutan lindung dan sisanya 529,15 Ha adalah
hutan rakyat.
Saran
Diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan dengan DAS Deli
untuk mencegah terjadinya konversi hutan yang semakin meningkat dan
melakukan kegiatan reforestasi terutama di daerah hulu agar kejadian banjir di
DAFTAR PUSTAKA
Arief, H., 2004. Resourcesat-1 : Apakah Merupakan Generasi Penerus
Landsat-7?. BERITA INDERAJA VOL. III, No. 5, Juli 2004
Arifin, B. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia. Perspektif Ekonomi, Etika, dan Fraksis Kebijakan. Erlangga: Jakarta.
Arifin S, Carolita I dan Ghatot W. 2006. Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Longsor (Propinsi Lampung). Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital. Vol. 3. No.1. LAPAN.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Barlow, R. 1978. Land Resources Economic. 3rd Edition. Prentice Hall, Inc., Engelwood Cliffs: New Jersey.
Bernhardsen, T. 1998. Geographic Information System. Arendal Press. Washington .
BPDAS Wampu – Sei Ular. 2003. Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu Deli. BPDAS Wampu – Sei Ular. Medan
BPS. 2009. Deli Serdang dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Deli Serdang.
BPS. 2009. Kabupaten Karo dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo.
BPS. 2009. Medan dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kota Medan.
BPS. 2009. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sumatera Utara Menurut Kabupaten/Kota 2004-2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.
Harjadi, B., D. Prakosa, A. Wuryanta. 2007. Analisis Karakteristik Kondisi Fisik Lahan DAS DENGAN PJ dan SIG di DAS Benain-Noelmina, NTT. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No.2 (2007) p: 74-79
Hurvitz, P. 2003. The GIS Spatial Data Mode. The University of Washington Spatial Technology.
Jaya, N. S. 1996. Penginderaan Jauh Satelit Kehutanan. Edisi I. IPB Press. Bogor.
Lillesand dan Kiefer, 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri (Penerjemah). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Nasoetion, L.I. 2006. Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan Implementasinya. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional Disampaikan pada Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian.
Prahasta, E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika, Bandung
Rauf, A. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Pertanian Hubungannya dengan Upaya Memitigasi Banjir, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Tanah pada Fakultas Pertanian, USU. Medan
Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB.
SRTM. 2010. Data and Elevation Model (DEM). dari [28 April 2010].
Sulistiyono, N. 2006. Penilaian Ekonomi Berbagai Pola Pengunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit IKONOS Tahun 2003 (Studi Kasus di Sub DAS Ciesek, DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor). Tesis Sekolah Pasca Sarjana IPB
Sulistiyono, N. 2009.
Suripin, 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta.
, 2009. Landsat 7 dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,
LAMPIRAN
Lampiran 1. Titik koordinat berdasarkan pada pengecekan lapangan dengan GPS
No X Y Tipe Tutupan Lahan
Lampiran 1. (Lanjutan) 44 454534 410582 Kebun Campuran 45 460740 365633 Hutan 46 458501 382522 Hutan 47 461310 383211 Hutan 48 461733 384158 Kebun Campuran 49 464029 388870 Kebun Campuran 50 463448 386886 Kebun Campuran 51 457457 383353 Kebun Campuran 52 457284 384348 Kebun Campuran 53 458871 382397 Kebun Campuran 54 463519 387672 Kebun Campuran 55 463337 386378 Kebun Campuran 56 462395 385134 Kebun Campuran 57 462333 385685 Kebun Campuran 58 463541 388163 Pertanian Lahan Kering 59 457609 382832 Pertanian Lahan Kering 60 464673 377704 Kebun Campuran 61 462930 372301 Kebun Campuran 62 463059 370812 Kebun Campuran 63 457176 362417 Kebun Campuran 64 455976 361025 Kebun Campuran 65 450040 360096 Kebun Campuran 66 454609 404963 Kebun Campuran 67 454758 409762 Kebun Campuran 68 455115 403262 Kebun Campuran 69 461489 393286 Pemukiman 70 455519 406805 Tebu 71 455603 407314 Tebu 72 455849 407914. Tebu
Lampiran 1. (Lanjutan)
No X Y Tipe Tutupan Lahan 124 453872 368986 Hutan 125 453784 368727 Hutan 126 453159 367618 Pemukiman 127 453429 368032 Hutan 128 453242 367471 Hutan 129 451435 363479 Sawah 130 450713 362920 Pemukiman 131 450566 362691 Hutan
132 450276 362313 Pertanian Lahan Kering 133 449703 361557 Lahan kosong 134 449647 361495 Lahan kosong 135 450319 360627 Hutan 136 449637 361116 Pemukiman 137 449046 360089 Pemukiman 138 448422 358834 Hutan 139 448610 356361 Kebun Campuran 140 447774 356002 Kebun Campuran 141 447766 356048 Pertanian Lahan Kering 142 447753 356087 Pertanian Lahan Kering 143 447728 356067 Pertanian Lahan Kering 144 447744 356159 Pertanian Lahan Kering 145 447788 355967 Hutan
Lampiran 1. (Lanjutan)
No X Y Tipe Tutupan Lahan 167 459036 403847 Tebu 168 455334 402924 Pemukiman 169 455290 402926 Pemukiman 170 455180 402930 Pemukiman 171 455561 405719 Kebun Campuran 172 455301 405253 Tebu 178 457360 404439 Kebun Campuran 179 457338 404726 Kebun Campuran 180 457143 404915 Kebun Campuran 181 456964 404902 Kebun Campuran 182 456524 404876 Tebu 183 456199 404859 Tebu 184 455764 404833 Tebu 185 455221 404153 Pemukiman 186 454986 403503 Pemukiman 187 454914 403289 Pemukiman 188 454918 403063 Pemukiman 189 454912 402822 Pemukiman 190 455033 402313 Kebun Campuran 191 462794 385984 Alang-alang 192 462793 386019 Alang-alang 193 462438 384966 Pertanian Lahan Kering 194 462087 384580 Pertanian Lahan Kering 195 461148 384866 Pertanian Lahan Kering 196 461149 384792 Pertanian Lahan Kering 198 461150 384625 Pertanian Lahan Kering 199 461300 384615 Pertanian Lahan Kering 200 461425 384609 Pertanian Lahan Kering 201 461547 384603 Pertanian Lahan Kering 202 461659 384599 Pertanian Lahan Kering 203 461790 384257 Pertanian Lahan Kering 204 461730 384159 Hutan
205 461617 383952 Pertanian Lahan Kering 206 461608 383899 Hutan
Lampiran 1. (Lanjutan)
No X Y Tipe Tutupan Lahan 210 460642 379482 Lahan Kosong 211 460842 379626 Pertanian Lahan Kering 212 460918 379613 Pertanian Lahan Kering 213 460985 379611 Pertanian Lahan Kering 214 461052 379612 Pertanian Lahan Kering 215 460906 379905 Badan Air
221 461442 380156 Pertanian Lahan Kering 222 461399 380158 Pertanian Lahan Kering 223 461356 380159 Pertanian Lahan Kering 224 461317 380160 Pertanian Lahan Kering 225 461266 380162 Pertanian Lahan Kering 226 461166 380169 Badan Air 227 461309 380619 Pemukiman 228 461151 380623 Lahan Kosong 229 462552 380354 Badan Air 230 462525 380495 Pertanian Lahan Kering 231 462417 380505 Sawah
Lampiran 1. (Lanjutan) 257 463307 383838 Kebun Campuran 258 463649 383990 Hutan
Lampiran 1. (Lanjutan)
No X Y Tipe Tutupan Lahan 296 458296 382522 Hutan 297 458194 382527 Hutan 298 457977 382531 Sawah 299 457941 382532 Kebun Campuran 300 457841 382535 Pertanian Lahan Kering 301 457732 382540 Pemukiman 302 457647 382624 Pertanian Lahan Kering 303 457599 382833 Kebun Campuran 304 457537 382975 Kebun Campuran 305 457495 383072 Kebun Campuran 306 457456 383302 Kebun Campuran 307 457464 383461 Kebun Campuran 308 457472 383623 Kebun Campuran 309 457478 383747 Kebun Campuran 310 457487 383924 Kebun Campuran 311 457478 383820 Semak Belukar 312 464087 414845 Alang-alang 313 464033 413487 Alang-alang 314 464699 407995 Alang-alang 315 448666 357875 Pemukiman 316 450092 360196 Hutan 318 464993 414237 Hutan 319 465180 383852 Hutan 320 465178 383449 Hutan 321 465266 379329 Hutan
322 465187 379185 Pertanian Lahan Kering 323 449187 356695 Kebun Campuran 324 462483 385732 Pertanian Lahan Kering 325 461917 384587 Pertanian Lahan Kering 326 456663 402932 Hutan
Lampiran 1. (Lanjutan)
Lampiran 1. (Lanjutan)
Lampiran 3. Kondisi tutupan lahan di lapangan
Hutan Semak belukar
Pemuki
Sungai Deli Kebun campuran