• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

SINERGI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DI INDONESIA

TESIS

Oleh

HENDAR RASYID NASUTION

077005118/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

SINERGI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HENDAR RASYID NASUTION 077005118/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

Judul Tesis

:

SINERGI ANTARA KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Hendar Rasyid Nasution Nomor Pokok : 077005118

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) K e t u a

(Dr. Mahmud Mulyadi,SH.M.Hum) (Syafruddin S.Hasibuan, SH.MH.DFM) A n g g o ta A n g g o t a

Ketua Program Studi Dekan

(4)

ABSTRAK

KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan harus terbebas dari pengaruh manapun. KPK, seperti lembaga lainnya juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugas dan tujuannya. Secara garis besar wewenang KPK dalam UU No. 30 Tahun 2002 dapat disimpulkan dengan rincian; wewenang yang menjadi tugas KPK. Pelaksanaan kerja KPK dan terbentuknya pengadilan khusus korupsi terbentur banyak permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain adalah hubungan koordinasi antara KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai sub sistem peradilan pidana terpadu dan juga tugas dan peranan KPK itu sendiri sebagai “super body”.

Dalam hal wewenang yang dinilai memiliki ketumpang-tindihan dengan kepolisian dan kejaksaan adalah kewenanganya dalam memeriksa, menyadap, menjebak dan lain sebagainya yang menurut beberapa kalangan hal tersebut merupakan kewenangan kepolisian dalam teknis-teknis lapangan. Sedangkan wewenangnya dalam pemeriksaan kasus terkait, dinilai tumpang tindih dengan kewenangan kejaksaan dalam hal-hal administratif terkait. Sedang menurut hemat penulis permasalahan tersebut sesungguhnya tidaklah bertentangan. Hal tersebut merupakan teknik hukum yang lahir dari asasnya yaitu ‘lex spesialis derogate lege

generali’. Kewenangan yang dimiliki kejaksaan dan kepolisian merupakan

pelaksanaan hukum secara global yang secara spesifik karena beberapa hal, kewenangan tersebut dapat diambil alih.

Adapun penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan mengenai wewenang dan peran KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Selanjutnya Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan sinergi peranan dan wewenang KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam penelitian hukum normatif yang digunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

(5)

penegak hukum, dan yang lebih parah adalah apabila justru terjadi koordinasi negatif, misalnya praktek mafia peradilan.

(6)

ABSTRACT

CEC (Corruption Eradication Commision) is a government agency. Its duties include investigating and prosecuting corruption cases and monitoring the governance of the state. It has the authority to request meetings and reports in the course of its investigations. It can also authorize wiretaps, impose travel bans, request financial information about suspects, freeze financial transactions and request the assistance of other law enforcement agencies. Law Of The Republic Of Indonesia Number 30 Of 2002 talks about CEC’S dutties and authorities to established to fight corruption.

Authorities between Indonesia National Police and Indonesian National Prosucetor are crashing, according to some people, the causing reason of this crash because of techincal system and adminstration system. Writer said this is supposed to be not the reason of the crashing since the theory of law said “lex spesialis derogate

lege generali” . The authorities system between Indonesia National Police and

Indonesia National Prosecutor in global specific corner could be taking by some reasons.

This Thesis is using analysis description, which is talking from the view of the situation and condition that happening on the point of the problems between Corruption Eradication Commision, Indonesia National Police and Indonesia National Prosecutor. This thesis using Normative Law to had the research according to the norm of methods, rules of law and some juridism decisions, which is related with function and authorities synergy between Corruption Eradication Commision, Indonesia National Police and Indonesia National Prosecutor in public cases especially on investigate corruption cases.

That’s why the corrdination between Corruption Eradication Commision, Indonesia National Police and Indonesia National Prosecutor needed so much to prevent from missunderstanding from negatives rivalities between them. If that problem is not prevented it will give obstacle to fight the corruption cases and these days is happened the corruption cases mostly having dead lock because of the uncoordinate between those government agencies and negative coordination, for example the mob justice.

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha

Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis

telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “SINERGI ANTARA

KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(KPK) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI

INDONESIA”.

Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan

dalam menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Di dalam penyelesaian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik

pengajaran, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak yang telah membantu

penyelesaian studi penulis, yaitu :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, sebagai Ketua Program Studi Ilmu

(8)

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS., selaku Pembimbing Utama yang telah

membuka cakrawala berfikir penulis khususnya mengenai Sinergi Antara

Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan Bapak Syafruddin S.Hasibuan,

SH.MH.DFM., selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi

masukan, arahan, dan selalu meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis.

6. Para Guru Besar, Staf Pengajar, serta seluruh Pegawai Program Studi Magister

Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

7. Terima kasih sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada Ayahanda

Kombes. Pol. Drs. H. Achmad Iskandar Nasution dan Ibunda Hernawati

Prihandini yang telah membesarkan dan meridhoi setiap langkah penulis di

kehidupan untuk menimba ilmu.

8. Kepada kedua adik tercinta dan keluarga besar yang telah memberikan bantuan

doa serta motivasi kepada penulis.

9. Terima Kasih kepada Nursyahfitri Lubis, SE dan keluarga besarnya yang telah

memberikan dukungan moril kepada penulis.

10. Sahabat-sahabatku : Fadly, Feby, Hary Sugiono, Abdillah, Kak Eliana dan

teman-teman satu kantor yang selalu memberikan dukungan dan doanya.

11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini yang

(9)

Semoga semua bantuan, motivasi, dan doa yang telah diberikan kepada

penulis, dibalas oleh Allah SWT. Besar harapan penulis, tesis ini dapat bermanfaat

bagi pengembangan pengetahuan ilmu hukum, khususnya bagi penulis sendiri dan

umumnya bagi pembaca.

Medan, April 2010

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Hendar Rasyid Nasution

Tempat/Tanggal Lahir : Semarang/15 Juli 1984

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia

Pendidikan : 1. TK Pertiwi Banda Aceh (Lulus Tahun 1990)

2. SD Bukit Nusa Indah Jakarta (Lulus Tahun 1996)

3. SMP Negeri I Bangkinang (Lulus Tahun 1999)

4. SMA Taruna Nusantara Magelang (Lulus Tahun

2002)

5. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(Lulus Tahun 2006)

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI………... viii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Perumusan Masalah……… 20

C. Keaslian Penelitian………... 21

D. Tujuan Penelitian……… 22

E. Manfaat Penelitian……….. 23

F. Kerangka Teori dan Konsepsi……… 25

a. Kerangka Teori……….. 25

b. Konsepsi……….……..………. 31

G. Metode Penelitian……… 39

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG KPK, KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN... 44

(12)

B. Tugas, Fungsi dan Wewenang Kejaksaan berdasarkan UU No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia... 53

C. Tugas, Fungsi dan Wewenang Kepolisian berdasarkan UU No. 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia... 63

D. Disharmoni/Benturan Kewenangan antara KPK, Kejaksaan dan

Kepolisian... 70

BAB III PERANAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK), KEJAKSAAN DAN KEPOLISIAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA (CRIMINAL JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA…. 74

A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)... 74

B. Kedudukan Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

Sistem)... 82

1. Kedudukan Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal

Justice Sistem)... 82

2. Kedudukan Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal

Justice Sistem)... 89

3. Kedudukan KPK dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

Sistem)... 92

C. Sinergi dan Harmonisasi antara Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

(13)

BAB IV SINERGI TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG KPK, KEJAKSAAN DAN KEPOLISIAN DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA DALAM KASUS

BLBI... 109

A. Tinjauan kasus BLBI secara umum………. 109

B. Proses penyelesaian kasus BLBI yang sudah ditempuh………….. 117

C. Pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK... 126

D. Sinergi Tugas, Fungsi dan Wewenang antara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam Proses penyidikan, penuntutan dan peradilan kasus BLBI……… 133

E. Penerbitan Letter of Release and Discharge………... 147

F. Tindakan Preemtif, Preventif dan Refressif dalam upaya penanggulangan tindak pidana Korupsi di Indonesia……….. 157

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 162

A. Kesimpulan... 162

B. Saran... 164

(14)

ABSTRAK

KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan harus terbebas dari pengaruh manapun. KPK, seperti lembaga lainnya juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugas dan tujuannya. Secara garis besar wewenang KPK dalam UU No. 30 Tahun 2002 dapat disimpulkan dengan rincian; wewenang yang menjadi tugas KPK. Pelaksanaan kerja KPK dan terbentuknya pengadilan khusus korupsi terbentur banyak permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain adalah hubungan koordinasi antara KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian sebagai sub sistem peradilan pidana terpadu dan juga tugas dan peranan KPK itu sendiri sebagai “super body”.

Dalam hal wewenang yang dinilai memiliki ketumpang-tindihan dengan kepolisian dan kejaksaan adalah kewenanganya dalam memeriksa, menyadap, menjebak dan lain sebagainya yang menurut beberapa kalangan hal tersebut merupakan kewenangan kepolisian dalam teknis-teknis lapangan. Sedangkan wewenangnya dalam pemeriksaan kasus terkait, dinilai tumpang tindih dengan kewenangan kejaksaan dalam hal-hal administratif terkait. Sedang menurut hemat penulis permasalahan tersebut sesungguhnya tidaklah bertentangan. Hal tersebut merupakan teknik hukum yang lahir dari asasnya yaitu ‘lex spesialis derogate lege

generali’. Kewenangan yang dimiliki kejaksaan dan kepolisian merupakan

pelaksanaan hukum secara global yang secara spesifik karena beberapa hal, kewenangan tersebut dapat diambil alih.

Adapun penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan mengenai wewenang dan peran KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Selanjutnya Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan sinergi peranan dan wewenang KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam penelitian hukum normatif yang digunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

(15)

penegak hukum, dan yang lebih parah adalah apabila justru terjadi koordinasi negatif, misalnya praktek mafia peradilan.

(16)

ABSTRACT

CEC (Corruption Eradication Commision) is a government agency. Its duties include investigating and prosecuting corruption cases and monitoring the governance of the state. It has the authority to request meetings and reports in the course of its investigations. It can also authorize wiretaps, impose travel bans, request financial information about suspects, freeze financial transactions and request the assistance of other law enforcement agencies. Law Of The Republic Of Indonesia Number 30 Of 2002 talks about CEC’S dutties and authorities to established to fight corruption.

Authorities between Indonesia National Police and Indonesian National Prosucetor are crashing, according to some people, the causing reason of this crash because of techincal system and adminstration system. Writer said this is supposed to be not the reason of the crashing since the theory of law said “lex spesialis derogate

lege generali” . The authorities system between Indonesia National Police and

Indonesia National Prosecutor in global specific corner could be taking by some reasons.

This Thesis is using analysis description, which is talking from the view of the situation and condition that happening on the point of the problems between Corruption Eradication Commision, Indonesia National Police and Indonesia National Prosecutor. This thesis using Normative Law to had the research according to the norm of methods, rules of law and some juridism decisions, which is related with function and authorities synergy between Corruption Eradication Commision, Indonesia National Police and Indonesia National Prosecutor in public cases especially on investigate corruption cases.

That’s why the corrdination between Corruption Eradication Commision, Indonesia National Police and Indonesia National Prosecutor needed so much to prevent from missunderstanding from negatives rivalities between them. If that problem is not prevented it will give obstacle to fight the corruption cases and these days is happened the corruption cases mostly having dead lock because of the uncoordinate between those government agencies and negative coordination, for example the mob justice.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak reformasi menggelinding 1998, kemauan politik (political will)

pemerintah untuk melakukan pemberantasan terhadap kejahatan korupsi telah

menjadi program prioritas nyata. Wujud kemauan politik tersebut dibuktikan dengan

disyahkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih,

Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan UU No. 31 Tahun 1999 (diubah dengan

UU No. 20 Tah un 2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu,

UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(KPK) memiliki peran sangat strategis. Akan tetapi dalam implementasinya, sebagai

masyarakat masih belum memuaskan. Kesenjangan kewenangan antara KPK dengan

penegak hukum, lemahnya dukungan politis pemerintah, terbatasnya fasilitas dan

KPK masih relatif muda merupakan faktor-faktor penyebab keterbatasan tersebut.

Sehingga dapat dimaklumi sekiranya peran KPK sampai saat ini belum optimal

sebagaimana diharapkan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Di satu pihak, fungsi KPK, sebagai lembaga Super Body institusi penegak

hukum kejahatan korupsi telah mendapatkan pembenaran juridis. Sehingga kehadiran

KPK, umumnya cenderung menimbulkan kontroversial dalam praktek penegakan

(18)

Hal tersebut dalam perkembangan ada kesan tebang pilih yang tidak dapat

dihilangkan jejaknya. Di pihak lain, peran institusi penegak hukum, seperti

Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan merasa terkurangi, sebab dalam waktu lalu

merupakan kewenangan bersama Polisi, Jaksa dan Pengadilan Umum. Akan tetapi,

sejak keluarnya UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, kejahatan korupsi, dalam ukuran tertentu (di atas 1 miliar) merupakan

jurisdiksi kompetensi KPK.

Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan keluarnya hanya

dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum internasional, selain korupsi

sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya penyalahgunaan kewenangan (abuse of

power) yang telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Juga kejahatan

korupsi menjadi sangat sulit diberantas karena muara utamanya berada pada instutusi

penegak hukum. Hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI),

mengungkapkan bahwa Lembaga-Lembaga vertical, (Polisi, Peradilan, Pajak,

Imigrasi, Bea Cukai, Militer dll), masih dipersepsikan sangat korup. Menurut versi

TI, bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga paling tinggi tingkat inisiatif

meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigrasi (90%), BPN (84%), Polisi

(78%) dan Pajak (76%). 1

Prosentase tingkat kejahatan korupsi di kalangan penegak hukum tidak akan

berkembang mustahil tanpa kontribusi budaya masyarakat, terutama terkait dengan

1

Thontowi Jawahir, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK dengan Institusi Penegak Hukum, diakses dari situs : http://www.

(19)

praktek budaya upeti, suap dan hutang budi, juga jalan pintas untuk memperoleh

pelayanan yang lebih cepat dan diutamakan. Dalam penelitiannya, Farouk

Muhammad mengungkapkan bahwa faktor-faktor penyebab yang dapat menjelaskan

fenomena korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, utamanya terkait dengan fakor

rendahnya kesejahteraan. Meskipun faktor penyebabnya tidak harus semata-mata atas

alasan kesejahteraan, motivasi memperkaya diri akan tetap relevan sebagai faktor

relevan dalam timbulnya kejahatan korupsi. 2

Kejahatan korupsi yang semula dipandang sebagai kejahatan biasa (Ordinary

Crime), masyarakat internasional saat ini, sepakat untuk menempatkan kejahatan

korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Keadaan luar biasa

tersebut meniscayakan adanya tindakan dan penanganan secara luar biasa pula.

Penanganan yang luar biasa tidaklah berarti dapat keluar dari koridor the rule of law.

Asas-asas hukum yang selama ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem

pemidanaan yang berkeadilan harus tetap dapat diberlakukan.

Dalam perspektif hukum nasional paska reformasi, UU No. 31 tahun 1999,

tentang Tindak Pidana Korupsi rumusan kejahatan korupsi lebih komprehensif.

Kejahatan korupsi dipandang, sebagai setiap orang yang secara melawan hukum

memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara. Secara substansif, pasal tersebut

mengandung perbuatan seseorang, baik aparat pemerintah atau bukan, tetapi

2

(20)

perbuatan yang menyalahi kewenangan tersebut, baik secara keseluruhan maupun

sebagian dapat berakibat timbulnya kerugian negara.

Seiring dengan itu, Muhammad Faraouk dalam kajiannya menyebutkan

bahwa bentuk-bentuk korupsi ke dalam dua sifat.(1) general dengan misal: merajalela

dimana-mana, relatif terbuka (mudah diketahui), menyangkut publik (banyak orang),

dengan jumlah uang yang relatif kecil serta pada umumnya melibatkan

pegawai/pejabat rendahan dan didorong oleh kebutuhan primer baik pribadi maupun

institusi. (2) Spesifik / terbatas: hanya pada kesempatan / menyangkut kasus tertentu

(eksklusif), relatif tertutup dengan modus yang canggih (sulit dibuktikan), melibatkan

orang tertentu (bisnis) dan pejabat yang berwenang yang lebih tinggi dengan jumlah

uang yang relatif besar dan biasanya lebih didorong oleh kesepakatan dari pada

primer.3

Selanjutnya Romli Atmasasmita, sebagai pakar hukum pidana internasional

menegaskan bahwa strategi pemberantasan korupsi di Indonesia harus menggunakan

empat (4) pendekatan yaitu pendekatan hukum, pendekatan moralistik dan keimanan,

pendekatan edukatif, dan pendekatan sosio-kultural. Begitu kompleksnya penyebab

kejahatan korupsi, maka pemberantasan korupsi dengan pendekatan konvensional

dipandang sudah tidak relevan lagi. Sehingga modus operasi tindak pidana korupsi

dalam sistem hukum pidana kita harus dijadikan suatu kejahatan luar biasa (Extra

Ordinary Crimes). Sebab, upaya mendahulukan kepentingan bangsa dan negara

dalam upaya memerangi kejahatan korupsi merupakan bentuk kewajiban negara

3

(21)

untuk memenuhi tuntutan hak-hak asasi sosial ekonomi masyarakat sebagaimana

dikemukakan oleh pasal 29 Deklarasi PBB.4

Dalam perspektif internasional, yang direkomendasikan oleh PBB, melalui

Centre for International Crime Prevention secara lebih rinci bahwa kejahatan korupsi

sangat terkait dengan sepuluh perbuatan pengadaan barang dan jasa. Hal tersebut

antara lain pemberian suap (Bribary), penggelapan (Embezzlement), pemalsuan

(Fraud), pemerasan (Extortion), penyalahgunaan jabatan atau wewenang (Abuse of

Discretion), pertentangan kepentingan/memiliki usaha sendiri (Internal Trading),

pilih kasih atau tebang pilih (Favoritisme), menerima komisi, nepotisme (Nepotism),

kontribusi atau sumbangan ilegal (Illegal Contribution). Secara faktual, perbuatan

korupsi yang dapat menimbulkan kerugian negara ditemukan di lapangan hampir 90

% kejahatan tindak pidana korupsi dilakukan oleh pejabat publik. 5

Terkait dengan sistem hukum penanggulangan tindak pidana kejahatan

korupsi, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah menjadi ikon nasional dan

internasional di Indonesia. Bilamana pada masa lalu, ketentuan normatif mengenai

pemberantasan tindak pidana korupsi telah dipandang kurang lengkap peraturan

hukumnya. Oleh karena ketiadaan lembaga penegak hukum khusus (Special Task

Force for Combating Corruption) menjadi penyebab utama penegakan hukum tindak

pidana korupsi menjadi tidak efektif. Karena itu, urgensi dibentuknya KPK, melalui

4

Romli Atmasasmita, Kajian komprehensif dan mendalam tentang Tindak Pidana Korupsi dalam tulisan. Sekitar Masalah Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2004, hal. 13.

5

Sarwedi Oemarmadi (dkk), Tool Kit Anti Korupsi, Lima Belas Langkah Pengadaan Barang

(22)

UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan memberikan amanah dan tanggung

jawab kepada KPK untuk melakukan peningkatan pemberantasan tindak pidana

korupsi, lebih profesional, intensif, tindak pidana korupsi telah merugikan keuangan

negara, dan juga menghambat pembangunan nasional.

Kedudukan KPK sebagai institusi hukum yang strategis oleh karena memiliki

kewenangan lebih credible dan profesional UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, status dan sifat serta kewenangan

KPK sebagai lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya

bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3). Kedua,

KPK secara khusus dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna

terhadap upaya pemberantasan korupsi (Pasal 4). Ketiga, asas-asas yang

dipergunakan KPK dalam menjalan tugasnya yaitu, kepastian hukum, keterbukaan,

akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Keempat, kewenangan KPK

yang melebihi penegak hukum konvensional adalah terletak pada pasal enam (6)

yaitu KPK mempunyai tugas, (a) kordinasi dengan instansi yang berwewenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang

berwenang dalam melakukan pemberantasan korupsi (c), melakukan penyelidikan

dan penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (d) melakukan

tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (e) melakukan monitor terhadap

(23)

Dari ketentuan UU inilah kemudian timbul kesan bahwa KPK dalam

kaitannya dengan kompetensi tugas dan fungsi di lapangan dipandang sebagai

Lembaga Negara Terkuat (Super Body). Status dan sifat KPK yang terkesan Super

Body tersebut antara lain dikarenakan tiga ciri dominan. Pertama, KPK sebagai

lembaga Negara (Special State Agency) yang secara khusus melakukan tugas dalam

tindak pidana korupsi. Kedua, keberadaan KPK melebihi peran dan fungsi yang

berada pada lembaga penegak hukum, antara Polisi, Kejaksaan, dan bahkan dengan

lembaga-lembaga negara lainnya. KPK memiliki kewenangan untuk tidak saja

melakukan koordinasi dan supervisi dengan institusi penegak hukum dan lembaga

negara lainnya dalam tindak pidana korupsi.6

Ketiga, KPK dapat menyatukan tugas dan fungsi yang berada dalam

kewenangan Kepolisian untuk penyelidikan dan penyidikan, Kejaksaan dalam hal

penyidikan dan penuntutan. KPK dalam membatasi segala tugas dan kewenanganya

terhadap kasus kerugian negara dengan nominal Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar).7

Namun, tiadanya sanksi hukuman yang lebih berat, seperti adanya hukuman mati

diberlakukan berbagai negara seperti China adalah merupakan alat pengerem

kejahatan korupsi juga termurah yang melemahkan keberadaan UU KPK.8

Sebagaimana masyarakat memandang KPK yang oleh UU ditempatkan

sebagai lembaga negara extra power dalam perjalanannya selama tiga tahun belum

6

Ibid, hal. 2.

7

Pasal 11 dan 12 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

8

Kamri. A, Pidana Mati dan HAM. Dalam Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep

(24)

juga memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Tanpa mengurangi makna dan arti

kehadiran KPK dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia, sebagaimana

juga timbul di berbagai negara seperti Thailand, Singapura dan juga Malaysia dan

Australia, KPK selain memperoleh peluang juga tantangan yang tidak cukup ringan.

Terdapat empat persoalan utama yang dihadapi KPK yang kemudian peran dan

fungsinya belum dapat diperoleh secara optimal sesuai dengan UU. 9

Pertama, tantangan internal di kalangan penegak hukum. Kecemburuan

kelembagaan ini tidak dapat dihindarkan karena maksud dan tujuan dari UU

Pembentukan KPK inkonsisten dengan ketentuan UU Kepolisian dan Kejaksaan.

Misalnya, dalam konteks penyidikan dan penuntutan yang semula menjadi

kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan sepertinya telah memberikan peluang akan

tak terbatasnya kewenangan KPK, meskipun jumlah 1 Milyar (Pasal 11) cukup jelas.

Namun, dalam arti pembagian dan pemisahan kewenangan tampak kurang konsisten

dan berpeluang UU membuat kevacuman hukum dalam mensinergikan fungsi

kerjasama di satu pihak, KPK dan pihak lain dengan Polisi dalam konteks

penyelidikan dan penyidikan. 10

Terdapat beberapa pihak yang menengarai jika peran KPK yang berlebihan

tidak segera diantisipasi tidak saja akan berdampak pada timbulnya kecemburuan di

lembaga penegak hukum yang lebih dulu berperan dan sistem pidana Indonesia

9

Ni’matul Huda, Sengketa Lembaga Negara (MK dan KY)’, artikel dalam majalah keadilan,

ed. I/XXII/2007. Sengketa yang terjadi di tubuh lembaga-lembaga Negara menurutnya berasal

diantaranya adalah dari keruwetan yuridis yang terdapat dalam kewenangan-kewenangan yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut.

10

(25)

(Indonesian Criminal Justice System), melainkan akan berpengaruh pada proses

deligitimisasi institusi penegak hukum. Hal ini didasarkan kepada, pertama KPK

sebagai institusi terobosan (breaking through) terhadap kemandegan kredibilitas

penegak hukum di Indonesia, yang sampai hari ini tidak dibatasi pemberlakuannya.

Kedua, timbulnya konflik internal penegak hukum akibat peran luar biasa KPK juga

tidak akan memberikan jaminan efisiensi dan efektiftas dari ketiga lembaga tersebut.

Apalagi indikasi sebagaimana disebutkan di atas, bahwa lembaga penegak hukum

juga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, secara khusus terdapat

kecenderungan kedudukan peran Polri dalam penyelidikan dan penyidikan termasuk

penggunaan intelegensi polisi dalam persoalan tindak pidana korupsi semakin

tereliminir oleh peran KPK berduet dengan Kejaksaan Agung.11

Kedua, KPK memiliki tantangan yang berat karena kepercayaan masyarakat

dengan kesan tebang pilih dilakukan KPK belum pupus. Apalagi hasil KPK untuk

mengembalikan uang negara dan dapat dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat

memang masih merupakan impian belaka. Dalam beberapa media, menyebutkan

bahwa jumlah pengeluaran dan biaya operasional dari KPK melebih 1 (satu) Trilyun

rupiah, sementara hasil yang diperoleh baru sekitar ratusan milyard. Misalnya, dalam

tahun ke II KPK telah menemukan 70 kasus dugaan korupsi di Departemen Sosial

dengan nilai Rp 287,89 Milyar. Dari jumlah tersebut sekitar 63 kasus dengan nilai

189,28 miliar telah ditindak lanjuti. Sama halnya peran KPK terkait dengan temuan

Audit BPKP dimana terdapat kerugian negara sebanyak 2,5 Trilyun sejak 2006 belum

11

(26)

ada tindak lanjut. Pada tahun 2006, Audit BPKP menemukan adanya dugaan korupsi

sebanyak 181 kasus sehingga negara dirugikan sebesar Rp 666,69 Trilyun. Hanya

sebagian kecil telah dilakukan proses hukum yaitu dari 146 kasus baru 32 kasus dan

hanya 3 kasus saja yang telah diputus. 12

Keterlambatan ini tentu saja terkait dengan selain, persoalan terbatasnya

tenaga penyidik, (yang saat ini sedang dibutuhkan sekitar 30 orang) juga sistem

pembuktian dalam kasus korupsi di pengadilan tidaklah cukup mudah. Memang

keterlambatan ini juga tidak dapat ditudingkan kepada KPK, sebab sangat tergantung

kepada lembaga negara itu sendiri.

Ketiga, tantangan KPK ke depan karena timbulnya kompleksitas hubungan

fungsional antara lembaga negara yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Hal

yang perlu mendapatkan perhatian utama dalam membangun pemerintahan yang baik

dan bersih. Keberadaan KPK di tingkat pusat dengan keterbatasan struktur dan fungsi

KPK secara organisatoris mustahil dapat diandalkan. Misalnya, bagaimana peran

KPK dapat meningkat sekiranya pelayanan standar kriminal bagi masyarakat

menuntut untuk dilayani. Misalnya, percepatan di bidang pelayanan publik

(percepatan layanan identitas, layanan kepolisian, layanan pertanahan, layanan usaha

dan penanaman modal, layanan kesehatan, layanan perpajakan, layanan pendidikan,

layanan transportasi, dan layanan utilitas dan layanan usia senja).

Dalam konteks ini diupayakan layanan pemerintah dapat dilakukan dengan

tanpa birokrasi yang berbelit-belit, dan juga proses pencepatan tanpa ada penyuapan.

12

(27)

Selain itu, tantangan yang tidak kalah pentingnya bagi jumlah anggota KPK adalah

berkaitan dengan penetapan Tolok Ukur Keberhasilan sesuai dengan INPRES No. 5

Tahun 2004 tentang Kordinasi Monitoring dan Evaluasi terkait dengan Pencepatan

Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut antara lain; (a) Memberikan gambaran yang

jelas tentang program yang dilaksanakan, (b) menciptakan kesepakatan untuk

menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan program/aktifitas, (c)

membangun dasar bagi pemantauan dan evaluasi, (d) memotivasi pelaksana program

dalam pencapaian hasil, (e) mengkomunikasikan hasil kepada stakeholders.

Perkembangan yang berkenaan dengan lembaga-lembaga khusus seperti

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum

(KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi

Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan sebagainya

merupakan bentuk tahap kedua dari gaung demokrasi di Indonesia, yang sebelumnya

didahului dengan bentuk kesadaran yang makin kuat bahwa peran badan-badan

Negara tertentu seperti organisasi Tentara, organisasi Kepolisian, Kejaksaan Agung,

serta Bank Sentral haruslah dikembangkan dengan independen. Yang idealnya

memang komisi-komisi atau lembaga-lembaga seperti ini bersifat independen dan

seringkali multifungsi. 13

Memang gebrakan KPK di bidang pemberantasan korupsi dewasa ini, boleh

dikatakan semakin gencar. Hal ini semakin ditandai dengan diambilalihnya

13

(28)

penanganan kasus BLBI oleh KPK yang sampai saat ini proses hukumnya sedang

berjalan. Hampir tidak ada alasan bagi KPK untuk menolak pengambil alihan kasus

BLBI. Kerugian negara dalam jumlah sangat besar, yang mencapai Rp. 138,4 triliun

dari Rp. 144,5 triliun dari BLBI yang dikucurkan; penyelewengan anggaran Rp. 84,4

triliun oleh 48 bank penerima; beratnya beban APBN dari tahun ke tahun untuk

melunasi utang BLBI; kebangkrutan negara yang luar biasa; dan bahkan kebusukan di

institusi kejaksaan yang mulai terkuak setidaknya telah lebih dari cukup sebagai

alasan sosial politik agar KPK turun tangan.14

Harus diakui, banyak pro dan kontra terkait dengan kewenangan KPK dalam

pengambilalihan kasus BLBI ini, hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat

tentang rentang waktu kewenangan KPK untuk menangani perkara.

Jika dilakukan beberapa analisa mengenai hal tersebut, setidaknya perdebatan

hukum tersebut terpolarisasi menjadi beberapa point sentral, yaitu :

1). KPK dinilai hanya berwenang menangani perkara yang terjadi setelah UU 30

Tahun 2002 tentang KPK terbentuk, atau sejak 27 Desember 2002. Perdebatan

ini hangat dibicarakan setelah Mahkamah Konstitusi memutus permohonan

Bram Mannopo. Saat itu didalilkan, KPK tidak berwenang menangani perkara

sebelum 27 Desember 2002, sehingga Pasal 68 UU No. 30 Tahun 2002 tentang

KPK, menyatakan harus dibatalkan karena bersifat retroaktif atau berlaku surut.

14

Thontowi Jawahir, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK

dengan Institusi Penegak Hukum, diakses dari situs : http://www. journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/168/159, tanggal 15 April 2009, hal. 6.

(29)

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan dan menyatakan Pasal 68 yang

berbicara tentang kewenangan KPK mengambil alih semua pekara sebelum

KPK terbentuk bersifat prospektif atau berlaku ke depan. Sehingga, pasal

tersebut jelas tidak mengandung unsur berlaku surut dan tidak melanggar

konstitusi. Dalam bagian pertimbangan lebih ditegaskan, sifat prospektif berarti

KPK hanya melanjutkan penanganan perkara yang telah dimulai sebelumnya

oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Di titik ini, perdebatan tentang berlaku surut

atau tidaknya kewenangan KPK dapat dinilai tuntas. Dengan penekanan, KPK

punya kewenangan penuh melanjutkan penanganan perkara korupsi yang ada

sebelum KPK terbentuk. Ini yang sering disebut dengan kewenangan

pengambilalihan. Dengan demikian, poin pertama tentang kewenangan KPK

yang terbatas pada perkara yang terjadi setelah UU KPK terbentuk telah dapat

dibantah.

2). KPK boleh menangani perkara yang terjadi sebelum UU KPK terbentuk, tetapi

terbatas pada waktu sejak UU 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, yaitu sejak 16

Agustus 1999. Pendirian ini cenderung mendasarkan dalilnya pada Pasal 1

angka (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Disebutkan; “tindak Pidana

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 31

Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi”. Sehingga, kemudian dipahami, KPK yang dibentuk untuk melakukan

(30)

“menimbang huruf (a)” hanya terbatas pada pengertian tindak pidana korupsi

yang diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jika dianalisa lebih lanjut, ada dua catatan hukum yang dapat diajukan

terhadap pandangan diatas. Pertama, telah terjadi pencampur-adukan antara aturan

yang berada di wilayah hukum materiil dengan aturan yang berada di wilayah hukum

formil. Bagian yang mengatur tentang definisi Tindak Pidana Korupsi (Pasal 1 angka

(1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK) dalam posisinya sebagai ketentuan yang

menunjuk ketentuan lain (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) merupakan aturan hukum materiil.

Kedua, dalil tersebut memahami Pasal 1 angka (1) UU KPK yang merujuk

pada UU Tipikor secara terpotong-potong, alias tidak komprehensif. Padahal,

merupakan konsep hukum yang diterima umum, sebuah Undang-Undang harus

dilihat secara sistematis dan menyeluruh. Perhatikan Pasal 43A ayat (1) UU 20/2001

jo UU 31 Tahun 1999 (UU Tipikor). Bagian yang terletak di Bab VI A, Ketentuan

Peralihan ini menyebutkan, ” Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU No. 31

Tahun 1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan UU No. 3

Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor, Sehingga, dapat dikatakan UU Tipikor

juga menganut definisi “Tindak Pidana Korupsi” yang mengacu pada UU No. 3

Tahun 1971.

Artinya, Pasal 1 angka (1) UU KPK mengantarkan pengertian Tipikor seperti

(31)

1971. Konsekuensi hukumnya, KPK mempunyai kewenangan penuh menangani

perkara yang berada pada yurisdiksi UU No. 3 Tahun 1971 sepanjang tidak melewati

masa daluarsa penuntutan. Dengan kata lain, persoalan bukanlah pada apakah KPK

berwenang atau tidak berwenang menangani perkara sebelum adanya UU No. 31

Tahun 1999, melainkan hanya soal kapan tindak pidana tersebut terjadi. Jika tindak

pidana terjadi sebelum UU 31/1999 diundangkan, maka dalam menangani perkara,

KPK menggunakan UU 3/1971 sebagai dasar hukum materiil penuntutan terhadap

terdakwa.

Dan, ketiga, KPK berwenang mengambil alih perkara sebelum UU KPK dan

UU Tipikor terbentuk, sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan pidana.

Poin ini berhubungan dengan pengaturan pasal Pasal 8, 9, 39 ayat (1), 68 UU KPK

dan Pasal 1 No. UU 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum acara

Pidana/KUHAP). Pasal 8, 9, 68 UU KPK mengatur dua hal prinsipil, yaitu:

kewenangan supervisi KPK dan pengambilalihan “proses” penanganan perkara.

Berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor, kata “proses” mengacu pada frasa

“penyelidikan, penyidikan dan penuntutan”. Dan, definisi frasa tersebut dapat dicari

pada KUHAP, yang pada prinsipnya diartikan sebagai “serangkaian tindakan”. Maka

jelaslah kewenangan pengambil alihan KPK yang diatur pada Pasal 68 UU KPK

sesungguhnya adalah kewenangan untuk melakukan serangkaian tindakan. Artinya,

sepanjang KPK melakukan tindakan (Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan)

berdasarkan UU KPK dan KUHAP, meskipun perkara terjadi sebelum adanya UU

(32)

berlaku surut. Karena KPK hanya melakukan “serangkaian tindakan” berdasarkan

UU KPK yang telah ada sebelum “serangkaian tindakan” KPK itu dilakukan.

Dalam kasus BLBI yang terjadi sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999,

KPK tidak dapat dikatakan melakukan sesuatu yang berlaku surut (retroaktif) jika

KPK melakukan itu berdasarkan UU KPK, kecuali jika KPK mendasarkan

dakwaannya pada undang-undang (hukum materiil) yang belum ada ketika perbuatan

(tindak pidana BLBI) dilakukan. Berdasarkan hal diatas, pembahasan

pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK dapat merujuk kembali pada UU KPK. Pasal

9 UU KPK mengatur syarat dapat dilakukannya pengambilalihan. Dalam kasus

BLBI, tertangkap-tangannya Ketua Tim Penyelidik berinisial UTG dari Kejaksaan

Agung Minggu sore (2 Maret 2008) menunjukan terkandungnya unsur korupsi dalam

penanganan BLBI. Dengan demikian unsur Pasal 9 butir (d) UU KPK terpenuhi,

“pengambilalihan dapat dilakukan jika dalam penanganan kasus korupsi terdapat

unsur korupsi”.

Selain itu, penanganan BLBI juga berlarut-larut dan tertunda-tunda tanpa

dapat dipertanggungjawabkan seperti disebutkan pada Pasal 9 butir (b). Dan,

mengingat alasan yang diatur pada Pasal 9 bersifat alternatif yang ditunjukan dengan

penggunaan kata “atau“, maka tidak dibutuhkan pemenuhan semua unsur dari butir

(a) sampai dengan (f) untuk melakukan pengambilalihan kasus BLBI. Bahkan,

terpenuhinya salah satu unsur saja dari Pasal 9 telah dapat dijadikan dasar bagi KPK

(33)

Dengan demikian berdasarkan analisis hukum terhadap tiga polarisasi

pendapat tentang pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK ini, dapat dilihat secara

gamblang, bahwa KPK sudah memenuhi standar yuridis untuk mengambilalih kasus

BLBI. Satu masalah yang harus dipikirkan dalam prosesnya adalah, bagaimana KPK

bisa bekerjasama dengan lembaga penegak hukum yang lain, seperti Kejaksaan dan

Kepolisian untuk saling melengkapi kekurangan lembaga masing-masing, sehingga

kasus ini dapat diselesaikan dengan penuh keadilan. Sebagaimana diketahui, salah

satu penyebab diambil alihnya kasus BLBI ini dari tangan Kejaksaan adalah karena

lembaga Kejaksaan dikatakan tidak mampu menangani kasus BLBI yang ditandai

dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan yang telah tertangkap tangan

menerima uang success fee dari Artalyta sebesar 1,6 milyar yang ditandai dengan

adanya pengumuman Kejaksaan Agung yang menyatakan menghentikan

penyelidikan kasus BLBI pada tanggal 29 Februari 2008.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti

lebih lanjut mengenai pembagian tugas dan wewenang serta sinergi antara

lembaga-lembaga penegak hukum dalam rangka rangka pemberantasan tindak pidana korupsi,

antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Kejaksaan dan Kepolisian.

Dengan pengambilalihan kasus BLBI tersebut ke tangan KPK sebagai

lembaga independen, ada indikasi yang menunjukkan bahwa pada tahap selanjutnya

proses hukumnya akan berjalan di bawah kewenangan KPK. Bagaimana fungsi

Kepolisian dan Kejaksaan, tentunya menjadi tidak jelas dan ada indikasi adanya

(34)

penegakan hukumnya. Permasalahan ini layak dikemukakan karena tidak menutup

kemungkinan akan terjadi benturan antara KPK dengan institusi/tim pemberantasan

korupsi yang sudah ada atau bahkan terjadi tumpang tindih (over lapping). Kita tidak

bisa membayangkan apabila semuanya memeriksa kasus yang sama, dalam hal ini

tindak pidana korupsi dengan mekanisme yang sama akan tetapi menyimpulkan hasil

pemeriksaan yang berbeda. Tentunya hal ini akan berimplikasi terhadap

ketidakpastian hukum dalam penyelesaian kasus-kasus terkait yaitu tindak pidana

korupsi, dan pasti akan menimbulkan akibat-akibat hukum lain.

Kemungkinan lainnya adalah dengan diambil alihnya kasus BLBI ini oleh

KPK, lembaga Kepolisan dan Kejaksaan menjadi merasa tidak memiliki tanggung

jawab terhadap kasus tersebut. Sedangkan proses penegakan hukum membutuhkan

keterlibatan semua aparat penegak hukum. Padahal seluruh proses penegakan hukum

tindak pidana korupsi (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan) dilakukan

berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan UU

No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa penyelidik,

penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK, diberhentikan

sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai KPK. Hal

ini tentunya menjadi keanehan, mengapa penyelidik, penyidik dan penuntut umum

yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan harus menjadi pegawai pada KPK dan

diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi

pegawai KPK. Bukankah akan sangat lebih baik fungsi koordinasi dan sinergi antara

(35)

penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian serta proses penuntutan umum yang

dilakukan oleh Kejaksaan, bukan harus menjadi pegawai KPK terlebih dahulu baru

dapat melakukan hal tersebut.

Kejaksaan dan Kepolisian RI merupakan lembaga penegak hukum di

Indonesia. Kejaksaan khususnya, memiliki kedudukan sentral dalam upaya

penegakan hukum di Indonesia, kejaksaan merupakan salah satu subsistem dari

sistem peradilan pidana di Indonesia. Sistem peradilan pidana (Criminal Justice

System) di Indonesia hanya mengenal 4 (empat) subsistem, yaitu Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Tugas dan kewenangan

kejaksaan dalam lingkup peradilan semakin dipertegas dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana posisi

Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Namun dalam

perkara tindak pidana korupsi, kejaksaan diberikan kewenangan untuk menyidik

perkara tersebut. Kejaksaan juga dianggap sebagai pengendali proses perkara

dikarenakan hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat

dilimpahkan ke pengadilan atau tidak, disamping itu kejaksaan juga merupakan

satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana.

Pembentukan KPK dan Pengadilan khusus korupsi dalam pelaksanaannya

tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan karena dalam

praktek baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata

pelaksanaan kerja KPK dan terbentuknya Pengadilan Khusus Korupsi terbentur

(36)

penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan. Pasal 8 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa KPK berwenang juga

mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi

yang sedang dilakukan oleh kejaksaan. Disisi lain kejaksaan juga mempunyai

kewenangan sebagai eksekutor terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi

yang ditangani oleh KPK, dilihat dari hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan

selalu mempunyai hubungan koordinasi, baik dalam penanganan perkara korupsi

maupun dalam hal eksekusi terhadap perkara yang ditangani oleh KPK, tetapi dengan

adanya dualisme kewenangan tersebut maka hubungan kejaksaan dengan KPK

cenderung dapat menjadi kurang harmonis.

B. Perumusan Masalah

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

Kejaksaan dan Kepolisian dalam penyelesaian tindak pidana korupsi berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

(37)

2. Bagaimana sistem koordinasi dan sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum

dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan

Kepolisian) dalam penyelesaian kasus BLBI.

3. Bagaimana analisa kasus BLBI dalam kaitannya dengan sistem koordinasi dan

sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum dalam rangka pemberantasan

tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) dalam penyelesaian

kasus BLBI.

C. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa

penelitian tentang Sinergi antara Kepolisian, Lembaga Kejaksaan dan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

di Indonesia (Contoh Kasus mengenai Pengambilalihan Kasus BLBI dari Lembaga

Kejaksaan oleh KPK) belum pernah dilakukan. Walaupun masalah ini bukanlah issu

baru. Sudah banyak penelitian dan tulisan-tulisan terkait dengan masalah ini yang

sudah ada, seperti Peranan Hakim dalam Pengimplementasian Undang-Undang

Tindak Pidana Kourpsi dalam rangka Memberantas Korupsi (Studi kasus dalam

wilayah hukum Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Kemudian ada juga penelitian

terkait dengan Peranan Kejaksaan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi

di Kejaksaan Negeri Medan, Peran dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

(38)

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Peran dan kewenangan Polri dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun dalam penelitian ini, penulis khusus memusatkan penelitian pada

objek yang terkait dengan Sinergi antara Kepolisian, Lembaga Kejaksaan dan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

di Indonesia (Contoh Kasus mengenai Pengambilalihan Kasus BLBI dari Lembaga

Kejaksaan oleh KPK).

Selanjutnya penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas

keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk

kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan

dalam penelitian ini.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

Kejaksaan dan Kepolisian dalam penyelesaian tindak pidana korupsi berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

(39)

2. Untuk mengetahui sistem koordinasi dan sinergi antara ketiga lembaga penegak

hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan

Kepolisian) dalam penyelesaian kasus BLBI.

3. Untuk mengetahui analisa kasus BLBI dalam kaitannya dengan sistem koordinasi

dan sinergi antara ketiga lembaga penegak hukum dalam rangka pemberantasan

tindak pidana korupsi (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) dalam penyelesaian

kasus BLBI.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi

yaitu :

1. Secara Teoritis

Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat

memberi manfaat dan masukan dalam upaya penegakan hukum dan

pemberantasan korupsi di Indonesia yang dewasa ini sedang sangat gencar

dilakukan oleh Pemerintah.

2. Secara Praktis

a. Bagi Pemerintah

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah

agar segera merumuskan peraturan perundang-undangan yang untuk

selanjutnya dapat dijadikan pedoman oleh masing-masing lembaga (KPK,

(40)

standar yang jelas dalam melaksanakan peran, fungsi dan wewenangnya.

Permasalahan ini sangat penting dikemukakan karena tidak menutup

kemungkinan akan terjadi benturan antara KPK dengan institusi/tim

pemberantasan korupsi yang sudah ada atau bahkan terjadi tumpang tindih

(over lapping). Kita tidak bisa bayangkan apabila semuanya memeriksa kasus

yang sama, dalam hal ini tindak pidana korupsi dengan mekanisme yang sama

akan tetapi menyimpulkan hasil pemeriksaan yang berbeda. Tentunya hal ini

akan berimplikasi terhadap ketidakpastian hukum dalam penyelesaian

kasus-kasus terkait yaitu tindak pidana korupsi, dan pasti akan menimbulkan

akibat-akibat hukum lain.

b. Bagi Dunia Pendidikan dan Akademisi

Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi dunia pendidikan dan

akademisi khususnya dalam rangka menumbuhkan kesadaran hukum anti

korupsi dan kesadaran hukum untuk berperan memberantas korupsi.

c. Bagi Masyarakat

Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya

dalam upaya mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat

kepada pemerintah, khususnya terhadap political will pemerintah dalam

(41)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

a. Kerangka Teori

Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk

mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek

masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara

deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini

berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan

sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum

yang dianggap paling relevan. Sebagai acuan pokok untuk mengorganisasi dan

menganalisa masalah tesis ini, penulis mengunakan “ Konsep Sistem Peradilan

Pidana ”.

Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi,

interkoneksi dan interpendensi (interface) dengan lingkungannya dalam

peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi serta

subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystems of criminal justice

system), salah satu indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah

“sinkronisasi” pelaksanaan penegakan hukum. Selanjutnya sistem peradilan pidana

harus dilihat sebagai sistem terbuka (open system) sebab pengaruh lingkungan

seringkali berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya.15

Sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau

subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar

15

(42)

dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. Kombinasi antara Efisiensi

dan efektivitas dalam sistem sangat penting, sebab belum tentu efisiensi

masing-masing subsistem dengan sendirinya menghasilkan efektivitas. Efektivitas sistem

peradilan pidana, secara umum antara lain dapat diukur melalui indikator-indikator

tingkat pengungkapan perkara oleh polisi (clearance rate), tingkat keberhasilan jaksa

dalam membuktikan dakwaan (conviction rate), kecepatan penanganan perkara

(speedy trial), tingkat penggunaan alternatif pidana kemerdekaan (rate of alternative

sanction), menonjol atau tidaknya disparitas (disparity of sentencing performance),

dan tingkat residivisme (rate of recall to prison).16

Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak

berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan

pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk

pencegahan. Efektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada

kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan

profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya.17 Tanpa

kesadaran baik dari aparat penegak hukum, pembuat hukum, dan masyarakat dimana

hukum akan diterapkan, maka penegakan hukum akan menjadi proses untuk

mengabsahkan kekuatan yang absolut dengan pembenaran/justifiksasi hukum yang

bersifat korup, otoriter, represif, yang sekaligus mencerminkan kepentingan dari para

oligarki penguasa.

16

Ibid, hal. 120.

17

(43)

Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah berlakunya Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai 4 (empat) subsistem,

yaitu : subsistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Presiden, Kejaksaan

di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan Lembaga

Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Seluruh komponen sistem

peradilan pidana, termasuk pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, ikut

bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau

mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik tugas dan

wewenangnya masing-masing, tugas pencegahan kejahatan secara spesifik lebih

terkait dengan sub sistem kepolisian. Sementara tugas lainnya lebih terkait dengan

subsistem lembaga pemasyarakatan. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang

terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa (pada

tahap prajudisial) dan pengadilan (pada tahap judisial). Berikut ini dilihat skema

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) berdasarkan UU No. 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Skema : 1 Criminal Justice System untuk tindak pidana biasa

CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

KEPOLISIAN KEJAKSAAN HAKIM LEMBAGA

(44)

Hubungan polisi dan jaksa sendiri terutama berkaitan dengan tugas

penyidikan suatu tindak pidana. Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas,

penyalahgunaan kewenangan, tumpang tindihnya kewenangan, serta kegagalan

mencapai tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu

hukum yang di dalamnya antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh

negara diberikan tugas penegakan hukum pidana, bagaimana tata cara penegakannya,

apa saja tugas dan kewajibannya, serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak

sesuai dengan cara atau tugas dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal sebagai

hukum pidana formal atau hukum acara pidana, Wirjono Prodjodikoro merumuskan

hukum acara pidana ini sebagai suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat

cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan,

dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan

hukum pidana. Oleh karena itu, keempat subsistem ini memiliki hubungan yang erat

satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya berbeda.18

Dalam Konteks bekerjanya hukum di masyarakat, khususnya dalam

penanganan perkara tindak pidana korupsi, Kejaksaan, Kepolisan dan KPK sebagai

organisasi kenegaraan (birokrasi) diarahkan untuk mencapai tujuan negara, tujuan

hukum dan tujuan sosial. Mengenai hal ini Peter M. Blau dan Marshall M. Meyer

menyatakan bahwa kini dalam masyarakat kontemporer birokrasi telah menjadi suatu

18

(45)

lembaga yang menonjol, sebagai lembaga negara yang melambangkan era modern,

dan kita tidak mungkin memahami kehidupan sosial masa kini kalau kita tidak

mengerti tentang bentuk lembaga ini.19

Berikut skema Sistem Peradilan Pidana yang di dalamnya terlihat posisi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Skema : 2 Criminal Justice System dalam Tindak Pidana Korupsi

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

CRIMINAL JUSTICE SYSTEM TINDAK PIDANA KORUPSI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN HAKIM

TIPIKOR PENUNTUT

UMUM KPK PENYIDIK

KPK

Sebagaimana digambarkan pada skema 2 di atas, untuk tindak pidana korupsi,

seluruh prosesnya berada di bawah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), dengan proses peradilan pidana yang juga tersendiri. Di dalam prosesnya,

penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh penyelidik dan penyidik KPK yang bisa

saja berasal dari Kepolisian, namun sementara bekerja sebagai Pegawai KPK,

demikian juga halnya dengan Penuntut umum dan Hakim. Untuk Hakim, terkadang

19

(46)

dibutuhkan juga pembentukan Hakim Ad Hoc yang khusus bertugas untuk

menyelesaikan tindak pidana korupsi.

Di Indonesia Sistem Peradilan Pidana setelah KUHAP mempunyai 4 (empat)

subsistem, yaitu subsistem kepolisian yang secara administratif berada di bawah

Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah

Agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Hukum dan

Perundang-undangan. Tujuan Sistem Peradilan pdana dapat dikategorikan sebagai berikut : 20

a. Tujuan jangka pendek, yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku

tindak pidana ;

b. Dikategorikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih

luas yakni pengendalian dalam pencegahan kejahatan dalam konteks criminal

(Criminal Policy) ;

c. Tujuan jangka panjang apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan

masyarakat (Sosial Welfare) dalam konteks politik sosial (Sosial Politic).

Di dalam sistem peradilan pidana (Criminal justice system) terdapat adanya

suatu input – proccess – output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan/

pengaduan tentang terjadinya tindak pidana, dan yang dimaksudkan dengan proccess

adalah sebagai tindakan yang diambil oleh Kepolsian, Kejaksaan, Pengadilan dan

Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan yang dimaksud output adalah hasil-hasil yang

diperoleh.

20

Muladi, Pembinaan Narapidana dalam Kerangka Rancangan Undang-Undang Hukum

(47)

Herbert L. Packer dalam bukunya “The Limits of The criminal Sanction”,

mengungkapkan ada 2 (dua) model dalam proses Peradilan Pidana yaitu Model

Pengendalian Kejahatan (Crime Control Model) dan Model Perlindungan Hak (Due

Process Model). Packer mengajak kita untuk memahami betapa rumitnya proses

kriminal, dia berusaha mengambil karakteristik dari model-model yang berlawanan.

Perbedaan kedua model itu akan terlihat pada saat penangkapan sampai orang itu

diputuskan bersalah. Adapun karakteristik dari Crime Control Model adalah efisiensi

yang mana proses kriminal itu bekerja, cepat ditangkap dan diadili, seakan-akan

tersangka itu bersalah, sedangkan Due Process Model, karakteristiknya adalah

perlindungan hak-hak tersangka, untuk menentukan kesalahan seseorang harus

melalui suatu persidangan. Dalam kenyataaanya kedua model ini sangat banyak

mempengarui hukum acara pidana indonesia, karakteristik Due Process Model

menonjol pada KUHAP yaitu dilindunginya hak-hak tersangka, namun dalam

bekerjanya KUHAP, maka Crime Control Model yang paling menonjol.21

b. Konsepsi

1. Tindak Pidana

Dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang diadakan

dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan dalam Buku

ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III. Ternyata dalam KUHP,

tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar pembagian tersebut, walaupun pada

21

(48)

bab dari buku I selalu ditemukan penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau

pelanggaran. Kiranya ciri-ciri pembedaan itu terletak pada penilaian kesadaran

hukum pada umumnya dengan penekanan (stressing) kepada delik hukum

(rechts-delichten) dan delik undang-undang (wet-(rechts-delichten).22

Beberapa sarjana, seperti Vos, Simon, Van Hammel dan sebagainya

mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa delik hukum sudah sejak

semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum sebelum

pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang. Sedangkan delik

undang-undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan

hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang.

Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan,

pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari

delik undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan,

peraturan pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya.

Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang dikemukakan

adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya untuk kejahatan

diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau penjara/tutupan. Ternyata

pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan dan denda diancamkan, baik

pada kejahatan maupun pelanggaran.23

22

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hal. 16.

23

P.A.F. Lumintang, Delik-Delik Khusus, Tindak-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma

(49)

Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa

Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia berarti :

a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum

b. Peristiwa pidana

c. Perbuatan pidana dan

d. Tindak pidana

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah “Het

Strafbare feit” antara lain :

a. Rumusan Simon

Simon merumuskan “Een Strafbaar feit” adalah suatu handeling

(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,

bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)

oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya

dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan

yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif

yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab

(toerekeningsvatbaar) dari petindak.

b. Rumusan Van Hammel

Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan

oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat

(50)

c. Rumusan VOS

VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia

yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.

Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak pidana

ini, yaitu24 :

a. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.

b. Wirdjono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan

merupakan “subjek” tindak pidana.

Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak pidana,

maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua suku

kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan singkatan

dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan,

sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak. Mungkin suatu

tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal suatu tindakan

tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jenis kelamin

saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada negara/pemerintah

(pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang dari golongan

lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan apakah ia salah

seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan tertentu. Bahwa jika

24

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah rumah tangga usaha pertanian kelompok umur kurang dari 15 tahun dengan petani utama laki-laki tercatat sebesar 96 rumah tangga, lebih tinggi daripada

Penelitian ini fokus pada analisis strategi internet marketing butik online di Surabaya melalui media sosial Instagram.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

TBK 0 (tidak kreatif) tidak memenuhi seluruhnya Untuk wawancara, data yang diperoleh selanjutnya ditranskip dan dikodekan dengan menggunakan suatu huruf

Transformasi sawijine karya sastra saka naskah dadi prosesi utawa ora bisa ditindakake kanthi sekabehane. Ana perangan saka karya sastra kasebut kang ditambahi

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh ketidakmampuan organ pankreas untuk memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, tubuh tidak

Melalui world wide web informasi tersebut ditampilkan dalam bentuk yang menarik, dinamis, dan interaktif, yang biasanya disebut website, sehingga masyarakat berlomba-lomba

Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)

Laporan akhir ini berjudul “ Rancang Bangun Alat Pendeteksi Boraks pada Makanan Menggunakan Sensor Warna Berbasis Mikrokontroler ” yang.. merupakan salah satu