• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Rinosinusitis Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Penderita Rinosinusitis Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA RINOSINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011

OLEH :

STEPHEN JOHAN PRASETYO 090100276

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KARAKTERISTIK PENDERITA RINOSINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

OLEH :

STEPHEN JOHAN PRASETYO 090100276

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Karakteristik Penderita Rinosinusitis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik Medan Tahun 2011

Nama : Stephen Johan Prasetyo

NIM : 090100276

Pembimbing, Penguji I,

(dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL) (dr. Iqbal Pahlevi Adeputra Nst, Sp.BA) NIP. 19740616 200912 1 002 NIP. 19730721 200912 1 001

Penguji II,

(dr. Juliandi Harahap, M.A.) NIP. 19700702 199802 1 001

Medan, 12 Januari 2013 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

(4)

ABSTRAK

Rinosinusitis merupakan penyakit yang membuat peradangan pada organ sinus. Rinosinusitis merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, terbukti pada data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita rinosinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2011.

Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain retrospektif. Data penderita rinosinusitis dikumpulkan dari bagian rekam medis di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan pada tahun 2011.

Jumlah total penderita rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2011 adalah 188 orang, tertinggi pada kelompok usia 40-49 tahun (20,7%) dan lebih banyak diderita oleh perempuan (54,8%). Pekerjaan yang paling banyak adalah PNS (28,7%). Keluhan utama yang paling banyak adalah keluhan hidung tersumbat (57,4%). Berdasarkan lama penyakit, penderita rinosinusitis kronis yang paling banyak ditemukan (49,5%). Single rinosinusitis yang terbanyak yang diderita oleh penderita rinosinusitis (63,8%) dan sinus yang paling banyak terlibat adalah sinus maksilaris (58,5%). Jenis terapi terbanyak adalah medikamentosa (77,7%). Hanya 1 orang pasien (0,5%) yang menunjukkan adanya komplikasi yaitu abses subperiosteal.

Sinus maksila merupakan sinus yang paling banyak terlibat yang ditemukan pada penderita rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik Medan. Hal ini dikarenakan sinus maksila merupakan sinus terbesar dan letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus.

(5)

ABSTRACT

Rhinosinusitis is a disease which make a sinus organ inflammation. Rhinosinusitis is one of the most common disease in almost all countries. The prevalence of rhinosinusitis in Indonesia is extremely high, based on the data obtained from the RI health department in 2003, rhinosinusitis is in the 25th rank from 50 major disease. The aim of this research is to know the description of rhinosinusitis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2011.

This is a descriptive study with a retrospective design. The data of rhinosinusitis patiens were collected from medical records at H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2011.

A total of 188 patients were treated as Rhinosinusitis in Haji Adam Malik General Hospital in 2011 with the highest number of suffering is between 40-49 years age group (20.7%) and more often in female patients (54.8%). The most common profession found are public officers (28.7%). The most chief complaint made were nasal congestion (57.4%). According to the duration of disease, chronic rhinosinusitis are the most commonly observed (49.5%). Majority of rhinosinusitis patients suffered from single rhinosinusitis (63.8%) and the most common paranasal sinus that was involved was maxilarry sinus (58.5%). The most therapy was medicine (77.7%). There was only one patient with subperiosteal abscess complication (0.5%).

Maxilarry sinus is the most frequently sinus that involved in rhinosinusitis patients in Haji Adam Malik General Hospital Medan. This is because maxillary sinus is the largest sinus, from the position of the ostium which higher than the base of sinus.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

2. dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp. THT-KL, selaku dosen pembimbing penulis atas kesabaran, waktu, dan masukan-masukan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan proposal penelitian.

3. Seluruh staf pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan.

4. Teman-teman kelompok sesama bimbingan penelitian dan teman-teman penulis lainnya, yang telah memberi bantuan berupa saran, kritikan, dan motivasi selama penyusunan penelitian.

5. Keluarga penulis yang tercinta, Daniel selaku adik peneliti dan Bapak Edi dan Ibu Jenny selaku orang tua peneliti, yang telah memberikan dukungan selama ini dalam bentuk moril maupun materiil.

(7)

Akhir kata, penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia kedokteran.

Medan, 12 Januari 2013

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Sampul ... i

Halaman Pengesahan ……….. ii

ABSTRAK ……….……….. iii

ABSTRACT ………. iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi………... vii

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

Daftar Singkatan ... xii

Daftar Lampiran ……….. xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ……….. 3

1.3.2. Tujuan Khusus ………. 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 5

2.1. Anatomi Sinus Paranasal ... 5

2.2. Bagian-bagian Sinus Paranasal ... 6

2.2.1. Sinus Maksila ... 6

2.2.2. Sinus Etmoid ... 7

2.2.3. Sinus Sfenoid ... 8

2.2.4. Sinus Frontal ... 8

2.3. Definisi Rinosinusitis ... 9

2.4. Etiologi ... 10

2.5. Patofisiologi ... 11

2.6. Gejala Klinis ... 12

2.7. Epidemiologi ... 13

2.7.1. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Orang ... 13

2.7.2. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Tempat dan Waktu 14 2.8. Diagnosis ... 14

2.9. Terapi ... 15

(9)

2.9.2. Pembedahan ... 17

2.10. Komplikasi ... 18

2.10.1. Orbita ... 19

2.10.2. Intrakranial ... 19

2.10.3. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal ... 19

2.10.4. Kelainan Paru ... 19

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL……... 20

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 20

3.2. Definisi Operasional ... 20

BAB 4 METODE PENELITIAN ……… 25

4.1. Rancangan Penelitian ... 25

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 25

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 26

4.5. Metode Analisis Data ... 26

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……..……… 27

5.1. Hasil Penelitian ... 27

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 27

5.1.2. Karakteristik Individu ... 27

5.1.3. Distribusi Berdasarkan Umur ... 27

5.1.4. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 28

5.1.5. Distribusi Berdasarkan Pekerjaan ... 28

5.1.6. Distribusi Berdasarkan Keluhan Utama ... 29

5.1.7. Distribusi Berdasarkan Lama Penyakit ... 30

5.1.8. Distribusi Berdasarkan Lokasi Sinus yang Terkena ... 31

5.1.9. Distribusi Berdasarkan Jumlah Sinus yang Terlibat ... 32

5.1.10. Distribusi Berdasarkan Jenis Terapi ... 32

5.1.11. Distribusi Berdasarkan Komplikasi ... 33

5.2. Pembahasan ... 34

5.2.1. Distribusi Berdasarkan Umur ... 34

5.2.2. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 35

5.2.3. Distribusi Berdasarkan Pekerjaan ... 36

5.2.4. Distribusi Berdasarkan Keluhan Utama ... 36

5.2.5. Distribusi Berdasarkan Lama Penyakit ... 37

5.2.6. Distribusi Berdasarkan Lokasi Sinus yang Terkena ... 37

(10)

5.2.8. Distribusi Berdasarkan Jenis Terapi ... 39

5.2.9. Distribusi Berdasarkan Komplikasi ... 39

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ……..………. 41

6.1. Kesimpulan ... 41

6.1. Saran ... 42

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.3.1. Klasifikasi Rinosinusitis………... 10

Tabel 5.1. Distribusi Berdasarkan Umur... 28

Tabel 5.2. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin... 28

Tabel 5.3. Distribusi Berdasarkan Pekerjaan... 29

Tabel 5.4. Distribusi Berdasarkan Keluhan Utama... 29

Tabel 5.5. Distribusi Berdasarkan Lama Penyakit... 30

Tabel 5.6. Distribusi Berdasarkan Lokasi Sinus yang Terkena... 31

Tabel 5.7. Distribusi Berdasarkan Jumlah Sinus yang Terlibat... 32

Tabel 5.8. Distribusi Berdasarkan Jenis Terapi... 32

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

DAFTAR SINGKATAN

ABRS : Acute Bacterial Rhinosinusitis

AIDS : Acquired Immnunodefficiency Syndrome

ARS : Acute Rhinosinusitis

BSEF : Bedah Sinus Endoskopi Fungsional

C : Caninus

CRS : Chronic Rhinosinusitis

CT : Computed Tomography

DEPKES : Departemen Kesehatan

EP3OS : European Position Paper on Rhinosinusitis on Nasal

Polyps

FESS : Functional Endoscopy Sinus Surgery

KOM : Kompleks Ostiomeatal

M : Molar

MRI : Magnetic Resonance Imaging

NAMCS : National Ambulatory Medical Care Survey

NGT : Nasogastric Tube

P : Premolar

PA : Postero-anterior RI : Republik Indonesia

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SPN : Sinus Paranasal

SPSS : Statistical Product and Service Solution

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 : Ethical Clearance

Lampiran 3 : Surat Izin Penelitian

(15)

ABSTRAK

Rinosinusitis merupakan penyakit yang membuat peradangan pada organ sinus. Rinosinusitis merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, terbukti pada data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita rinosinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2011.

Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain retrospektif. Data penderita rinosinusitis dikumpulkan dari bagian rekam medis di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan pada tahun 2011.

Jumlah total penderita rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2011 adalah 188 orang, tertinggi pada kelompok usia 40-49 tahun (20,7%) dan lebih banyak diderita oleh perempuan (54,8%). Pekerjaan yang paling banyak adalah PNS (28,7%). Keluhan utama yang paling banyak adalah keluhan hidung tersumbat (57,4%). Berdasarkan lama penyakit, penderita rinosinusitis kronis yang paling banyak ditemukan (49,5%). Single rinosinusitis yang terbanyak yang diderita oleh penderita rinosinusitis (63,8%) dan sinus yang paling banyak terlibat adalah sinus maksilaris (58,5%). Jenis terapi terbanyak adalah medikamentosa (77,7%). Hanya 1 orang pasien (0,5%) yang menunjukkan adanya komplikasi yaitu abses subperiosteal.

Sinus maksila merupakan sinus yang paling banyak terlibat yang ditemukan pada penderita rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik Medan. Hal ini dikarenakan sinus maksila merupakan sinus terbesar dan letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar sinus.

(16)

ABSTRACT

Rhinosinusitis is a disease which make a sinus organ inflammation. Rhinosinusitis is one of the most common disease in almost all countries. The prevalence of rhinosinusitis in Indonesia is extremely high, based on the data obtained from the RI health department in 2003, rhinosinusitis is in the 25th rank from 50 major disease. The aim of this research is to know the description of rhinosinusitis patients in H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2011.

This is a descriptive study with a retrospective design. The data of rhinosinusitis patiens were collected from medical records at H. Adam Malik General Hospital, Medan in 2011.

A total of 188 patients were treated as Rhinosinusitis in Haji Adam Malik General Hospital in 2011 with the highest number of suffering is between 40-49 years age group (20.7%) and more often in female patients (54.8%). The most common profession found are public officers (28.7%). The most chief complaint made were nasal congestion (57.4%). According to the duration of disease, chronic rhinosinusitis are the most commonly observed (49.5%). Majority of rhinosinusitis patients suffered from single rhinosinusitis (63.8%) and the most common paranasal sinus that was involved was maxilarry sinus (58.5%). The most therapy was medicine (77.7%). There was only one patient with subperiosteal abscess complication (0.5%).

Maxilarry sinus is the most frequently sinus that involved in rhinosinusitis patients in Haji Adam Malik General Hospital Medan. This is because maxillary sinus is the largest sinus, from the position of the ostium which higher than the base of sinus.

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan tersering di seluruh dunia (Soetjipto, 2010). Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (Soetjipto, 2010).

Di Indonesia, prevalensi rinosinusitis termasuk tinggi. Hal ini dapat diketahui berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003 yang menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama (Soetjipto, 2006).

Di Amerika Serikat, 1 dari 7 orang dewasa terkena sinusitis dengan lebih dari 30 juta penderita didiagnosa setiap tahunnya. Di sana, sinusitis sering terjadi pada awal musim gugur hingga awal musim semi. Berdasarkan data National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), kira-kira 14 persen orang dewasa dilaporkan memiliki episode rinosinusitis setiap tahunnya dan didiagnosis ke-5 terbanyak berdasarkan peresepan antibiotik, serta 0,4% didiagnosa rawat jalan (Brook, 2012).

(18)

Sinusitis kronik adalah salah satu penyakit kronis dengan prevalensi tinggi di Amerika Serikat yang mempengaruhi semua kelompok umur. Prevalensinya sekitar 146 per 1000 populasi dan insidensinya akan terus meningkat tiap tahun. Hasil ini berdasarkan estimasi konservatif dari 18-22 juta dokter yang mengunjungi Amerika Serikat tiap tahun dan biaya pengobatan langsung sebesar $3,4 – 5 miliar per tahunnya. Sebanyak 64% pasien yang mengidap AIDS diketahui juga menderita sinusitis kronik (Brook, 2012).

Menurut Soejipto (2006) dalam tulisan Multazar (2008), data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari–Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya (300 pasien) adalah rinosinusitis kronis.

Di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah kasus rinologi periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 yaitu penderita rawat jalan sebanyak 12.557 kasus dan penderita rawat inap sebanyak 1.092 kasus dengan perbandingan antara pria dan wanita hampir sama (46% : 54%). Kasus rawat inap yang terbanyak yaitu rinosinusitis (41,5%) dan kasus pada kelompok umur 30 – 39 tahun sebanyak 23,3% (Sujuthi dan Punagi, 2008).

Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 pasien rinosinusitis (64,29%) dari seluruh pasien rinologi (Lasminingrum, 2008).

Dibagian THT-KL Fakultas Kedokteran UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 – 2007 didapatkan 118 penderita rinosinusitis kronis (42%) dari seluruh pasien rinologi (Dewanti, 2008).

(19)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah bagaimana karakteristik penderita rinosinusitis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik-Medan pada tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui karakteristik penderita rinosinusitis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik-Medan pada periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2011.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan umur, jenis kelamin, dan pekerjaan di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2011. 2. Untuk mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan keluhan

utama di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2011.

3. Untuk mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan klasifikasi lamanya penyakit di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2011.

4. Untuk mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan lokasi sinus yang terkena di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2011.

5. Untuk mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan jumlah sinus yang terlibat di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2011.

6. Untuk mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan jenis terapi yang dilakukan pada penderita rinosinusitis di RSUP H. Adam Malik-Medan tahun 2011.

(20)

1.4. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Memberikan informasi tentang gejala-gejala rinosinusitis agar dapat diberikan penanganan dini untuk mencegah komplikasi.

2. Sebagai bahan untuk pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran dari sinus paranasal terdapat di sana (Broek, 2010).

Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel etmoid. Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak terbentuk. Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina (Broek, 2010).

(22)

Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Patel, 2007)

2.2. Bagian-bagian Sinus Paranasal 2.2.1. Sinus Maksila

(23)

sekitar 15 cm2 dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah resesus zigomatikus (Stammberger, 2008).

Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo (2010), yang perlu diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang gigi taring (C) dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis maksilaris juga dapat menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila yang lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang harus melalui infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di daerah tersebut mengalami inflamasi.

2.2.2. Sinus Etmoid

Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu kemudian, lipatan-lipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan sebuah bagian anterior 'ascending' dan sebuah bagian posterior 'descending' (ramus asendens dan ramus desendens). Semua struktur permanen etmoid berkembang dari puncak tersebut (Stammberger, 2008).

(24)

Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5 sekat tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior ke posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang terbesar), dasar atau lamela basalis dan konka superior (Walsh, 2008). Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Soetjipto, 2010).

2.2.3. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior (Stankiewicz, 2010). Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml (Soetjipto, 2010). Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan (Stammberger, 2008).

Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjipto, 2010).

2.2.4. Sinus Frontal

(25)

anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi (Stammberger, 2008).

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Soetjipto, 2010).

2.3. Definisi Rinosinusitis

(26)

Tabel 2.3.1. Klasifikasi Rinosinusitis (Benninger, 2008)

Klasifikasi Durasi

Akut 7 hari hingga ≤ 4 minggu

Subakut 4 hingga 12 minggu

Akut Rekuren ≥ 4 kali episode ARS per tahun

Kronik ≥ 12 minggu

Eksaserbasi Akut Rinosinusitis Kronik

Keadaan akut yang memburuk pada CRS

2.4. Etiologi

Menurut Andrew P. Lane dan David W. Kennedy (2003), faktor-faktor yang berhubungan dengan patogenesis rinosinusitis dibagi dalam 2 besar, yaitu faktor manusia dan lingkungan. Faktor manusia misalnya seperti genetik / kelainan kongenital (kista fibrosis, sindrom silia imotil), alergi / kondisi imun tubuh, kelainan anatomi, penyakit sistemik, kelainan endokrin, gangguan metabolik, dan keganasan. Sedangkan faktor lingkungan misalnya seperti infeksi (virus, bakteri, dan jamur), trauma, bahan kimia berbahaya, iatrogenik (medikamentosa ataupun pembedahan).

Sinusitis yang disebabkan oleh infeksi ada 3 agen penyebabnya, yaitu virus, bakteri, dan jamur. Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sementara rinosinusitis bakterial akut disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan

Haemophilus influenza (sekitar 60% kasus rinosinusitis akibat bakteri). Sisanya disebabkan oleh Streptococcus grup A, Streptococcus milleri, Staphylococcus aureus, Neisseria spp., basil gram negatif, Klebsiella sp., Moraxella catarrhalis, dan Pseudomonas sp. Patogen anaerobik seperti Peptostreptococcus, Bacteroides

(27)

Beberapa faktor predisposisi selain yang di atas adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan tersebut secara perlahan akan menyebabkan perubahan mukosa dan kerusakan silia dalam hidung dan sinus paranasal (Mangunkusumo, 2010).

2.5. Patofisiologi

Sinus normal biasanya dalam keadaan yang steril. Bakteri yang masuk ke sinus dapat dieliminasi dengan cepat melalui sekresi mukus yang dikeluarkan oleh sel epitel kolumnar bersilia. Mukus itu sendiri dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar submukosa. Oleh karena itu, jika ada kelainan pada silia, maka proses eliminasi bakteri pun terhambat (Lane, 2003).

Baik atau tidak baiknya keadaan sinus dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks ostio-meatal (KOM). Mukus sangat bermanfaat dalam menjaga kesehatan sinus karena mengandung substansi antimikrobial (immunoglobulin) dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama-sama dengan udara pernafasan (Soetjipto, 2010).

(28)

Rinosinusitis akut biasanya terjadi karena infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas. Infeksi ini lebih umum terjadi pada individu yang memiliki faktor-faktor predisposisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Infeksi tersebut akan menyebabkan pembengkakan mukosa hidung sehingga mengakibatkan oklusi atau obstruksi ostium sinus (Benninger, 2008). Apapun penyebabnya, sekali saja ostium mengalami oklusi, hipoksia lokal akan terjadi pada kavum sinus dan sekresi sinus menjadi terakumulasi. Kombinasi antara keadaan hipoksia dan sekresi yang tertumpuk tadi akan menyebabkan tumbuhnya bakteri patogen di dalam sinus (Lane, 2003). Peradangan juga menyebabkan mukus menjadi lebih kental dan gerakan silia lebih lambat daripada normal.

Alergi sangat berperan penting pada kejadian rinosinusitis. Reaksi antigen-antibodi pada keadaan alergi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular, edema mukosa, dan pada akhirnya mengakibatkan obstruksi ostia. Walaupun agen infeksius dapat menjadi penyebab utama inflamasi sinus, mereka juga ditemukan sebagai infeksi sekunder pada individu yang mengalami rinitis alergi (Benninger, 2008).

Berbeda dengan rinosinusitis akut, patofisiologi rinosinusitis kronik masih belum dapat diketahui secara jelas, namun faktor predisposisi lebih berperan penting, misalnya seperti penyakit sistemik dan lingkungan (Shah, 2008). Pada pasien rinosinusitis kronis yang penyebabnya bakteri patogen, organisme terbanyak adalah Staphylococcus sp. (55%) dan Staphylococcus aureus (20%). Beberapa studi lain menyebutkan prevalensi yang tinggi ditemukan dengan infeksi enterobakter, bakteri anaerob, bakteri gram-negatif, dan jamur (Benninger, 2008).

2.6. Gejala Klinis

(29)

hiposmia/anosmia, dijumpai sekret purulen pada pemeriksaan hidung, nyeri wajah seperti tertekan, kongesti wajah (penuh), dan demam (hanya pada rinosinusitis akut). Sedangkan gejala minor antara lain : sakit kepala, demam (non-akut), halitosis, lemah/letih, nyeri gigi, batuk, nyeri telinga/ seperti ditekan dan merasa penuh di telinga. Untuk diagnosis rinosinusitis dibutuhkan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor (Benninger, 2008).

2.7. Epidemiologi Rinosinusitis

2.7.1. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Orang

Penelitian Hedayati, et al tahun 2010 di Rumah Sakit Boo Ali Iran, didapatkan proporsi penderita rinosinusitis kronik tertinggi yaitu pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 21 orang (42%). Penderita terdiri dari 26 laki-laki (52%) dan 24 perempuan (48%), dimana keluhan terbanyak yaitu hidung tersumbat pada 48 orang (96%).

Hasil penelitian Sogebi, et al (2002-2006) di Sagamu Nigeria didapatkan 110 penderita rinosinusitis kronik dengan distribusi umur yaitu < 18 tahun 21 orang (19,1%) dan ≥ 18 tahun 89 orang (80,9%). Penderita terdiri dari 54 laki-laki (49,09%) dan 56 perempuan (50,91%), dimana lokasi rinosinusitis terbanyak yaitu sinus maksila (70,51%).

Penelitian Multazar tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik Medan, didapatkan proporsi penderita rinosinusitis kronis tertinggi pada kelompok umur 28–35 tahun 20,61%, umur diatas 18 tahun 88,18%, dengan proporsi laki-laki 42,91% dan perempuan 57,09%. Keluhan utama ialah hidung tersumbat (75,3%). Pada pemeriksaan foto polos SPN didapatkan proporsi single rinosinusitis 87,8%, sedangkan multisinusitis pada pemeriksaan CT Scan SPN 44,4%. Penatalaksanaan medikamentosa 77,36%, sedangkan operasi BSEF 80,6% (Multazar, 2011).

(30)

(93,3%). Asma ditemukan pada 84 orang (51,5%) dan rinitis alergi 44 orang (27%) (Frisdiana, 2011).

Penelitian Eko tahun 2008 di Yogyakarta dengan menggunakan desain

Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan rinitis alergi berhubungan secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,003) dan diperoleh nilai OR=3,95 (CI 95%=1,55-10,11).

Penelitian Primartono tahun 2003 di Semarang dengan menggunakan desain Cross Sectional, hasil analisis statistik menunjukkan deviasi septum berhubungan secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik (p=0,019) dan diperoleh nilai RP=4,90 (CI 95%=1,19-20,11).

2.7.2. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Tempat dan Waktu

Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), sekitar 14 % penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya. Prevalensi rinosinusitis kronik di Kanada tahun 1997 pada perempuan yaitu 5,7% dan laki-laki 3,4%. Prevalensi rinosinusitis kronik di Skotlandia Utara dan Karibia Selatan tahun 1999 yaitu 9,6% dan 9,3% (Frisdiana, 2011).

Penelitian Staikuniene et al (2000-2005) di Lithuania, dari 121 penderita rinosinusitis kronik didapatkan 84 orang (69,4%) menderita polip hidung dan 48 orang (39,6%) menderita asma. Penelitian See Goh, et al (April 2001 – Agustus 2002) di Malaysia didapatkan 30 penderita rinosinusitis kronik dimana 8 orang (26,7%) disebabkan oleh infeksi jamur yang diagnosisnya ditegakkan dari spesimen pembedahan.

2.8. Diagnosis

(31)

dan posterior. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) (Mangunkusumo, 2010). Meatus medius sering dapat diinspeksi dengan baik setelah pemberian dekongestan (Shah, 2008). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis (Mangunkusumo, 2010).

Naso-endoskopi (kaku maupun fleksibel) sangat penting dalam evaluasi rinosinusitis. Pada acute bacterial rhinosinusitis (ABRS), naso-endoskopi bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis sekaligus mendapatkan sekret dari meatus media untuk dikultur (Shah, 2008). Untuk mengurangi kontaminasi dari hidung, kultur dari meatus media dapat dilakukan melalui aspirasi sinus maksila yang merupakan gold standard untuk diagnosis ABRS (Benninger, 2008).

Pemeriksaan penunjang pilihan utama untuk menilai gambaran sinus adalah CT-scan. Kelebihannya ialah mampu memberi gambaran sinus pada rinosinusitis kronis yang gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan memiliki keterbatasan yaitu sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus saluran pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi optimal didapatkan dengan coronal scans (Shah, 2008). Pemeriksaan penunjang yang lain adalah foto polos, yaitu dengan posisi Waters, PA dan lateral. Biasanya foto tersebut hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal (Mangunkusumo, 2010). Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior dan dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. MRI hanya dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita dan intrakranial (Shah, 2008).

2.9. Terapi

(32)

2.9.1. Medikamentosa

Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis bakterial akut. Antibiotik yang dipilih adalah yang berspektrum lebar, yaitu golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin, maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Mangunkusumo, 2010). Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai.

Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih memuaskan jika diberikan sesuai dengan hasil kultur (Busquets, 2006). Gold standard untuk kultur sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun hal ini harus dilakukan pada pasien tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan komplikasi minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus sangat penting dalam memilih jenis obat pada rinosinusitis kronik karena organisme patogennya berbeda dengan ABRS. Antibiotik yang biasanya diberikan pada rinosinusitis kronik adalah yang sesuai untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan anaerob (Shah, 2008).

Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik seperti guaifenesin (Shah, 2008), steroid oral/ topikal, pencucian rongga hidung (irigasi) dengan NaCl atau pemanasan (diatermi) (Mangunkusumo, 2010). Steroid hidung (spray) sering diberikan untuk terapi pemeliharaan/maintenance pada rinosinusitis kronik. Nasal saline irrigation

(33)

Untuk pasien dengan riwayat alergi dapat ditangani dengan cara menghindarkan faktor pencetus, pemberian steroid topikal, dan imunoterapi (Shah, 2008). Antihistamin generasi ke-2 diberikan bila ada alergi berat (Mangunkusumo, 2010).

2.9.2. Pembedahan

Tatalaksana pembedahan yang dilakukan ada beberapa cara, antara lain : bedah sinus endoskopi fungsional dan operasi sinus terbuka, seperti operasi

Caldwell-Luc, etmoidektomi eksternal, trepinasi sinus frontal dan irigasi sinus.

a. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo, 2010).

b. Operasi Caldwell-Luc

Operasi dengan metode Caldwell-Luc dilakukan pada kelainan sinus maksilaris. Indikasi operasi dengan metode ini yaitu jika terlihat manifestasi klinis seperti mukokel sinus maksilaris, polip antrokoanal, misetoma, atau benda asing yang tidak dapat dijangkau melalui endoskopi intranasal (Lund, 2008).

c. Etmoidektomi Eksternal

(34)

d. Trepinasi Sinus Frontal

Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal sulit dilakukan akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan dekompresi pus pada sinus frontalis cepat dilakukan (Lane, 2003).

e. Irigasi Sinus

Irigasi sinus bermanfaat sebagai diagnostik sekaligus terapi. Irigasi sinus dilakukan pada sinusitis maksilaris akut yang tidak dapat ditangani dengan pengobatan konservatif dan juga dijadikan sebagai prosedur tambahan untuk drainase eksternal pada komplikasi orbita yang akut. Pungsi antrum biasanya dilakukan pada meatus inferior hidung (Lund, 2008).

2.10. Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasinya berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi lain yang dapat dijumpai pada sinusitis kronik yaitu osteomielitis, abses subperiostal serta kelainan paru (Mangunkusumo, 2010).

2.10.1. Komplikasi Orbita

Komplikasi orbita disebabkan infeksi sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita), paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila (Mangunkusumo, 2010). Ryan Chandler (1970) membagi komplikasi orbita menjadi 5, yaitu selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus (Gianonni, 2006).

2.10.2. Komplikasi Intrakranial

(35)

2.10.3. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal

Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Mangunkusumo, 2010).

2.10.4. Kelainan Paru

(36)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengetahui karakterisitik penderita rinosinusitis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP Haji Adam Malik-Medan pada periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2011.

[image:36.595.112.512.324.554.2]

inosinusi

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal. Penderita rinosinusitis adalah orang yang dinyatakan menderita rinosinusitis seperti yang tercatat pada kartu status di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Karakteristik Penderita • Umur

• Jenis kelamin • Pekerjaan • Keluhan utama • Lama penyakit

• Lokasi sinus yang terkena • Jumlah sinus yang terlibat • Jenis terapi

• Komplikasi

(37)

3.2.2. Umur adalah lama waktu hidup sejak dilahirkan. Umur responden adalah jumlah tahun hidup responden sejak lahir sampai didiagnosis menderita rinosinusitis yang dinyatakan dalam satuan tahun.

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Numerik

3.2.3. Jenis kelamin adalah sifat jasmani yang membedakan dua makhluk sebagai laki-laki dan perempuan. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu laki-laki dan perempuan.

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

3.2.4. Pekerjaan adalah kegiatan rutin atau sehari-hari yang dilakukan penderita rinosinusitis yang tercatat pada kartu status. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi:

1. Pelajar/Mahasiswa 2. PNS/TNI/POLRI 3. Pegawai Swasta

4. Pensiunan PNS/TNI/POLRI 5. Wiraswasta

6. Ibu Rumah Tangga 7. Petani

8. Pekerja lepas

(38)

3.2.5. Keluhan utama adalah keluhan yang paling berat yang dirasakan oleh pasien rinosinusitis yang menyebabkan pasien berobat ke dokter. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi:

Gejala Mayor:

1. Obstruksi hidung/ sumbatan 2. Sekret hidung purulen

3. Gangguan penghidu (hiposmia/ anosmia) 4. Nyeri wajah seperti tertekan

5. Kongesti wajah (wajah terasa penuh) 6. Demam (akut)

Gejala Minor: 1. Sakit kepala 2. Demam (non-akut) 3. Halitosis

4. Lemah/ letih 5. Nyeri gigi 6. Batuk 7. Nyeri telinga Keluhan utama yang lain:

1. Pipi bernanah 2. Hidung berbau 3. Hidung berair 4. Epistaksis 5. Bersin

6. Nyeri pada hidung 7. Hidung gatal 8. Pipi bengkak

9. Keluar nanah dari hidung 10.Keluar ingus

11.Pilek

(39)

Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

3.2.6. Lama penyakit adalah lama waktu yang diderita oleh pasien rinosinusitis. Penilaian karakteristik menurut Mangunkusumo (2010):

1. Akut : ≤ 4 minggu 2. Subakut : > 4 - 12 minggu 3. Kronis : > 12 minggu Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal

3.2.7. Lokasi sinus yang terkena adalah organ sinus yang mengalami kelainan pada penderita rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi :

1. Sinus maksila 2. Sinus etmoid 3. Sinus frontal 4. Sinus sfenoid

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

3.2.8. Jumlah Sinus yang terlibat adalah jumlah organ sinus yang mengalami kelainan pada pasien rinosinusitis.

Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi :

1. Single rinosinusitis jika ditemukan keterlibatan satu sinus paranasal, 2. Multisinusitis jika ditemukan keterlibatan dua atau lebih sinus paranasal,

(40)

Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Ordinal

3.2.9. Jenis terapi adalah jenis penatalaksanaan yang dipilih untuk mengobati penderita rinosinusitis. Jenis terapi dibagi 2, yaitu secara medikamentosa dan operasi.

Terapi dengan operasi dilakukan antara lain dengan: 1. Bedah sinus endoskopi fungsional

2. Operasi Caldwell-Luc

3. Etmoidektomi eksternal 4. Trepinasi sinus frontal 5. Irigasi sinus (kaak spooling) Cara pengukuran : Observasi Alat ukur : Rekam medis Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

3.2.10. Komplikasi rinosinusitis adalah penyakit baru yang bisa timbul diakibatkan dari rinosinusitis yang tercatat dalam rekam medis. Penilaian karakteristik dikelompokkan menjadi:

1. Komplikasi orbita 2. Komplikasi intrakranial

3. Osteomielitis dan abses subperiosteal 4. Kelainan paru

5. Tidak ada komplikasi

(41)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan rancangan penelitian retrospektif, yaitu pengumpulan data dengan menggunakan rekam medik penderita rinosinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi

Lokasi penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan yang merupakan rumah sakit pemerintah sekaligus rumah sakit tipe A. Berdasarkan status rumah sakit tersebut, maka segala hal yang berhubungan dengan pengobatan rumah sakit ini dapat dijangkau oleh rakyat kota Medan dari semua kalangan. Selain itu, rumah sakit ini juga berperan sebagai rumah sakit rujukan dari beberapa rumah sakit yang ada di kawasan Sumatera.

4.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 Juli s/d 31 Agustus 2012.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita rinosinusitis yang tercatat pada rekam medik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan pada periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2011.

4.3.2. Sampel

(42)

yang didiagnosa menderita rinosinusitis. Kriteria eksklusi adalah status rekam medis penderita rinosinusitis yang tidak lengkap, tidak ada (hilang) dan data rekam medik yang diagnosis akhirnya bukan rinosinusitis.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medis pasien periode 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2011.

4.5. Metode Analisis Data

(43)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H. Adam Malik Medan adalah rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas ± 10 ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No.17 km.12, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

5.1.2 Karakteristik Individu

Berdasarkan data rekam medis, jumlah penderita rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2011 tercatat kira-kira 488 orang. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah data rekam medik yang lengkap, yaitu sebanyak 188 kasus. Data yang dieksklusi adalah data yang tidak lengkap (123 data), data yang hilang (100 data) dan data pasien dengan diagnosis akhir bukan rinosinusitis (77 data). Karakteristik yang dinilai adalah berdasarkan umur, jenis kelamin, pekerjaan, keluhan utama, lama penyakit, lokasi sinus yang terkena, jumlah sinus yang terlibat, jenis terapi dan komplikasi.

5.1.3 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Umur

(44)
[image:44.595.113.517.154.319.2]

Tabel 5.1 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Umur di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

No Umur Jumlah % Jumlah

1 0-9 8 4.3

2 10-19 20 10.6

3 20-29 33 17.6

4 30-39 38 20.2

5 40-49 39 20.7

6 50-59 34 18.1

7 60-69 11 5.9

8 70-79 5 2.7

Total 188 100.0

Kelompok umur tertinggi terdapat pada pasien kelompok umur 40-49 tahun yaitu sebanyak 39 orang (20,7%) sedangkan kelompok umur terendah terdapat pada kelompok umur 70-79 tahun yaitu sebanyak 5 orang (2,7%).

5.1.4 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jenis kelamin pasien di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2011 dijelaskan pada tabel 5.2 berikut:

Tabel 5.2 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

No Jenis Kelamin Jumlah % Jumlah

1 Laki-laki 85 45.2

2 Perempuan 103 54.8

Total 188 100.0

[image:44.595.114.518.566.634.2]
(45)

5.1.5 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Pekerjaan

[image:45.595.109.518.235.471.2]

Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan pekerjaan di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun 2011 dijelaskan pada tabel 5.3 berikut:

Tabel 5.3 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Pekerjaan di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

No Pekerjaan Jumlah % Jumlah

1 Pelajar 17 9.0

2 PNS 54 28.7

3 Pegawai Swasta 4 2.1

4 Pensiunan PNS 7 3.7

5 Wiraswasta 37 19.7

6 Ibu Rumah Tangga 35 18.6

7 Tidak Bekerja 7 3.7

8 Petani 8 4.3

9 Pekerja Lepas 3 1.6

10 Di bawah umur 2 1.1

11 Mahasiswa 13 6.9

12 TNI 1 0.5

Total 188 100.0

Berdasarkan tabel 5.3 diatas dijelaskan bahwa jumlah sampel dengan pekerjaan sebagai PNS merupakan yang tertinggi dengan sampel sebanyak 54 orang (28,7%), sedangkan pekerjaan sebagai TNI merupakan sampel yang terendah yaitu sebanyak 1 orang (0,5%).

(46)
[image:46.595.113.521.154.639.2]

Tabel 5.4 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Keluhan Utama di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

No Keluhan Utama Jumlah % Jumlah

GEJALA MAYOR

1 Hidung tersumbat 108 57.4

2 Sekret hidung purulen 8 4.3

3 Gangguan penciuman 3 1.6

4 Nyeri pada wajah 6 3.2

5 Wajah terasa penuh 0 0

6 Demam (akut) 0 0

GEJALA MINOR

7 Sakit kepala 20 10.6

8 Demam (kronik) 1 0.5

9 Halitosis 0 0

10 Lemah/ letih 0 0

11 Nyeri gigi 0 0

12 Batuk 1 0.5

13 Nyeri telinga 0 0

KELUHAN UTAMA LAIN

14 Pipi bernanah 1 0.5

15 Hidung berbau 9 4.8

16 Hidung berair 9 4.8

17 Epistaksis 7 3.7

18 Bersin 4 2.1

19 Nyeri pada hidung 4 2.1

20 Hidung gatal 1 0.5

21 Pipi bengkak 1 0.5

22 Keluar nanah dari hidung 1 0.5

23 Keluar ingus 1 0.5

24 Pilek 3 1.6

Total 188 100.0

Dijelaskan pada tabel 5.4 keluhan utama yang paling banyak diderita pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik Medan adalah keluhan hidung tersumbat yaitu 108 orang (57,4%).

(47)

Tabel 5.5 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Lama Penyakit di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

No Lama Penyakit Jumlah % Jumlah

1 Akut 63 33.5

2 Subakut 32 17.0

3 Kronik 93 49.5

Total 188 100.0

Rinosinusitis kronis merupakan yang terbanyak diderita oleh pasien di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011 dengan pasien sebanyak 93 orang (49,5%) dan penderita rinosinusitis subakut merupakan yang terendah yang diderita oleh pasien yaitu sebanyak 32 orang (17%).

5.1.8 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Lokasi Sinus yang Terkena

[image:47.595.105.518.508.706.2]

Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan lokasi sinus yang terkena di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011 dijelaskan pada tabel 5.6 berikut:

Tabel 5.6 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Lokasi Sinus di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

No Lokasi Sinus Jumlah % Jumlah

1 Maksila 110 58.5

2 Etmoid 5 2.7

3 Frontal 3 1.6

4 Sfenoid 2 1.1

5 Maksila dan Etmoid 23 12.2

6 Maksila dan Frontal 8 4.3

7 Maksila dan Sfenoid 3 1.6

8 Maksila, Etmoid dan Frontal 15 8.0

9 Maksila, Etmoid dan Sfenoid 2 1.1

10 Semua sinus 17 9.0

(48)

Pada tabel 5.6 dijelaskan bahwa yang menderita rinosinusitis maksilaris sebanyak 110 orang (58,5%) dan merupakan lokasi yang paling banyak terlibat sedangkan lokasi yang paling sedikit terlibat adalah rinosinusitis sfenoidalis yaitu 2 orang (1,1%). Pada beberapa pasien, infeksi pada sinus tidak hanya melibatkan 1 sinus saja tetapi bisa pada beberapa sinus. Pada penelitian ini didapatkan bahwa infeksi yang melibatkan dua atau lebih sinus terbanyak didapatkan pada lokasi maksilaris beserta etmoidalis sebanyak 23 orang (12,2%) sedangkan infeksi yang paling sedikit didapatkan pada lokasi maksilaris, etmoidalis dan sfenoidalis yaitu 2 orang (1,1%).

5.1.9 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Jumlah Sinus yang Terlibat

Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan jumlah sinus yang terlibat di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011 dijelaskan pada tabel 5.7 berikut:

Tabel 5.7 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Jumlah Sinus yang Terlibat di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

No Jumlah Sinus Terlibat Jumlah % Jumlah

1 Single 120 63.8

2 Multisinusitis 51 27.1

3 Pansinusitis 17 9.0

Total 188 100.0

Pada tabel 5.7 diatas dapat dijelaskan bahwa berdasarkan jumlah sinus yang terlibat, single rinosinusitis merupakan yang paling banyak diderita oleh pasien yang datang ke RSUP Haji Adam Malik Medan yaitu sebanyak 120 orang (63,8%) kemudian diikuti dengan Multisinusitis sebanyak 51 orang (27,1%) dan Pansinusitis 17 orang (9%).

5.1.10 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Jenis Terapi

(49)
[image:49.595.109.514.326.443.2]

Tabel 5.8 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Jenis Terapi di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

No Jenis Terapi Jumlah % Jumlah

1 Obat 146 77.7

2 Operasi 42 22.3

Total 188 100.0

Pada tabel 5.8 di atas dapat dijelaskan bahwa jenis terapi yang paling banyak adalah dengan obat yaitu sebanyak 146 orang (77,7%) dan terapi dengan operasi sebanyak 42 orang (22,3%).

No Jenis Operasi Jumlah % Jumlah

1 Bedah Sinus Endoskopi Fungsional 38 90.5

2 Operasi Caldwell-Luc 1 2.4

3 Etmoidektomi Eksternal 0 0

4 Trepinasi Sinus Frontal 0 0

5 Irigasi Sinus (Kaak Spooling) 3 7.1

Total 42 100.0

5.1.11 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Komplikasi

[image:49.595.115.518.584.716.2]

Distribusi penderita rinosinusitis berdasarkan komplikasi di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011 dijelaskan pada tabel 5.9 berikut:

Tabel 5.9 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Komplikasi di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

No Komplikasi Jumlah % Jumlah

1 Orbita 0 0

2 Intrakranial 0 0

3 Osteomielitis 0 0

4 Abses subperiosteal 1 0.5

5 Kelainan paru 0 0

6 Tidak ada komplikasi 187 99.5

(50)

Pada tabel 5.9 dinyatakan bahwa hampir tidak ada komplikasi pada penderita rinosinusitis. Komplikasi yang ada hanya abses subperiosteal sebanyak 1 orang (0,5%).

5.2 Pembahasan

5.2.1 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Umur

Kelompok umur yang paling banyak menderita rinosinusitis berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011 adalah kelompok 40-49 tahun yaitu sebanyak 39 orang (20,7%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dalimunthe (2010) di RSUP H. Adam Malik Medan bahwa distribusi tertinggi terdapat pada kelompok umur 40-49 tahun. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Multazar (2008) di RSUP Haji Adam Malik Medan yang memaparkan bahwa kelompok umur tertinggi penderita rinosinusitis kronis adalah kelompok 28-35 dan 44-51 tahun. Berdasarkan data European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps

pada tahun 2007, penderita dengan usia < 50 tahun adalah yang paling banyak menderita rinosinusitis.

Penelitian yang dilakukan Frisdiana (2010) di RS. Santa Elisabeth Medan pada tahun 2006-2010 menyatakan bahwa kelompok usia yang terbanyak menderita rinosinusitis adalah 23-31 tahun yaitu sebanyak 22 orang (21,6%).

Penelitian yang dilakukan oleh Acala (2010) di Poliklinik RSUP. Dr. Sardjito bahwa pasien rinosinusitis paling banyak pada umur dekade ke 3 dengan proporsi sebanyak 30%.

(51)

5.2.2 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Jenis Kelamin

Menurut hasil data penelitian ini dapat dipaparkan bahwa jumlah sampel berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki yaitu 103 orang (54,8%). Hasil ini sejalan dengan banyak penelitian sebelumnya. Dalam penelitian Dalimunthe (2010), ditemukan bahwa jumlah sampel berjenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu sekitar 58 orang (60,4%) dibandingkan laki-laki yaitu 38 orang (39,6%). Hasil penelitian Multazar (2008) di RSUP H. Adam Malik Medan juga menyatakan bahwa sampel perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki yaitu sebanyak 169 orang (57,09%).

Berdasarkan penelitian cross sectional Triolit (2004) terhadap 30 penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan didapatkan penderita perempuan sebanyak 16 penderita (53,3%) dan laki-laki sebanyak 14 penderita (46,67%).

Varonen (2003) pada penelitiannya menyatakan bahwa dari total 150 pasien rinosinusitis yang dimasukkan kedalam penelitiannya, terdapat 105 perempuan (70%) dan 45 laki-laki (30%).

Chen (2009) dalam penelitiannya di Kanada menyatakan bahwa dari 73.364 orang yang disurvey mengenai penyakit kronik, 9,1% diantaranya menderita rinosinusitis dan prevalensi rinosinusitis tertinggi pada wanita yaitu sebesar 5,7% sedangkan laki-laki yaitu 3,4%.

Manor (2010) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa dari 137 pasien rinosinusitis, terdapat bahwa perempuan sebanyak 83 orang sedangkan laki-laki 54 orang.

Berbeda dengan hasil penelitian di atas, penelitian Dewanti (2008) di Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta dengan desain case series menyatakan bahwa proporsi jenis kelamin tertinggi adalah laki-laki 57,6% sedangkan wanita 42,4%.

(52)

perempuan kemungkinan karena perempuan lebih peduli dengan keluhan sakitnya.

5.2.3 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Pekerjaan

Dari penelitian ini didapatkan proporsi pekerjaan pada penderita rinosinusitis yang terbanyak adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil yaitu 54 orang (28,7%).

Banyaknya proporsi pekerjaan pada penderita rinosinusitis sebagai Pegawai Negeri Sipil yang berobat ke RSUP H. Adam Malik kemungkinan karena adanya asuransi kesehatan bagi pegawai negeri. Dengan adanya asuransi, maka penderita rinosinusitis yang bekerja sebagai pegawai negeri akan lebih ringan pembiayaan pengobatan di rumah sakit. Kekurangan dalam data penelitian ini adalah deskripsi tentang PNS tidak detail.

5.2.4 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Keluhan Utama Proporsi terbanyak berdasarkan keluhan utama pada penelitian ini adalah keluhan hidung tersumbat sebanyak 108 orang (57,4%). Hal ini sejalan dengan penelitianDalimunthe (2010) di RSUP H. Adam Malik Medan yang menyatakan bahwa keluhan utama rinosinusitis terbanyak adalah hidung tersumbat dengan jumlah penderita 65 orang (67,7%). Dari penelitian case series yang dilakukan oleh Multazar (2008) juga menunjukkan bahwa proporsi keluhan utama terbanyak pada penderita rinosinusitis adalah hidung tersumbat sebesar 75,3%.

Penelitian case series oleh Frisdiana (2010) di RS. Santa Elisabeth Medan pada tahun 2006-2010 juga didapati bahwa keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah hidung tersumbat yaitu 63,7%.

Penelitian case series Dewanti (2008) terhadap 118 penderita rinosinusitis kronis Dibagian THT-KL FK. UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 – 2007 didapatkan gejala klinis yang terbanyak ditemukan adalah hidung tersumbat sebanyak 65 kasus (55,1%).

(53)

Patofisiologi terjadinya rinosinusitis dimulai dengan reaksi inflamasi yang menyebabkan edema pada organ sinus. Edema tersebut akan menyebabkan penyumbatan pada hidung dan kompleks ostio-meatal pun tertutup sehingga aliran mukus menjadi terhambat. Hal tersebut akan menyebabkan mukus terakumulasi. Jika memungkinkan akan tumbuh bakteri patogen di sinus yang mengalami penyumbatan, maka akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri tersebut. Infeksi inilah yang disebut dengan rinosinusitis (Mangunkusumo, 2010). Dengan demikian, edema yang menyebabkan tertutupnya KOM sebagai awal timbulnya sinusitis akan memberikan gejala hidung tersumbat.

Penyebab non-infeksi hidung tersumbat antara lain bisa karena trauma, malformasi seperti deviasi septum, hipertrofi konka, polip kavum nasi, tumor hidung. (Ballenger, 1994)

5.2.5 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Lama Penyakit

Proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan lama penyakit yang paling banyak di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 adalah rinosinusitis kronis dengan pasien sebanyak 93 orang (49,5%) sedangkan penderita rinosinusitis akut sebanyak 63 orang (33,5%) dan penderita rinosinusitis subakut sebanyak 32 orang (17%). Hal ini sejalan dengan penelitian Dalimunthe (2010) yang menyatakan bahwa penderita rinosinusitis kronik sebanyak 75 orang (78,1%) sedangkan penderita rinosinusitis akut sebanyak 9 orang (9,4%).

(54)

5.2.6 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Lokasi Sinus

Data tentang lokasi sinus ini didapatkan berdasarkan pemeriksaan foto polos sinus paranasal dan CT-scan sinus paranasal pada rekam medik pasien. Jumlah pasien dengan pemeriksaan foto polos sinus paranasal tercatat sebanyak 179 orang, sedangkan CT-scan sebanyak 43 orang. Dari hasil penelitian ini, lokasi sinus yang terbanyak terlibat pada penderita rinosinusitis adalah sinus maksila yaitu sebanyak 110 orang (58,5%). Hasil ini sejalan dengan penelitian Dalimunthe (2010) yang menyatakan bahwa rinosinusitis maksilaris merupakan yang terbanyak yang diderita yaitu sebanyak 62 orang (64,6%).

Penelitian case series oleh Frisdiana (2010) di RS Santa Elisabeth Medan tahun 2006-2010 menjelaskan bahwa rinosinusitis maksilaris merupakan yang paling banyak diderita oleh pasien yaitu sebesar 94,1%.

Sogebi (2008), dalam penelitiannya menyatakan bahwa sinus maksila merupakan lokasi sinus yang paling banyak terdapat kelainan yaitu sebanyak 70,51%, sedangkan sinus sfenoidalis merupakan lokasi sinus yang paling jarang terdapat kelainan.

Sinus maksila adalah sinus paranasal terbesar dan yang paling sering terkena infeksi karena letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sinus. Selain itu dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksilaris (Ballenger, 1997).

Menurut Damayanti Soetjipto dan Endang Mangunkusumo (2010), sinus maksila paling sering terkena infeksi karena drenase aliran hanya tergantung dari gerak silia akibat letak ostium yang lebih tinggi dibandingkan dasar sinus. Selain itu, drenase yang harus melalui infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di daerah tersebut mengalami inflamasi.

5.2.7 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Jumlah Sinus yang Terlibat

(55)

Multazar (2008), dalam penelitian beliau dinyatakan bahwa yang paling banyak terlibat berdasarkan foto polos sinus paranasal adalah single rinosinusitis sebesar 87,8% dan paling rendah adalah pansinusitis sebesar 0,4%.

Penelitian Dalimunthe (2010) menyatakan bahwa single rinosinusitis merupakan yang paling banyak diderita oleh pasien-pasien yang datang ke RSUP Haji Adam Malik Medan yaitu sebanyak 64 orang (66,7%) lalu diikuti dengan Multisinusitis dengan 28 orang (29,2%) dan Pansinusitis yaitu 4 orang (4,2%).

Sogebi (2008) juga menyatakan bahwa sebanyak 73,08% subjek pada penelitiannya menderita single rinosinusitis, 21,79% multisinusitis dan 5,13% pansinusitis.

Penelitian Frisdiana (2010) menyatakan bahwa proporsi penderita rinosinusitis kronik berdasarkan sinus yang terlibat tertinggi adalah single

rinosinusitis 52,0% dan terendah pansinusitis 8,8%.

5.2.8 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Jenis Terapi

Jenis terapi atau penatalaksanaan terbanyak pada penderita rinosinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 adalah dengan obat-obatan atau medikamentosa pada 146 orang (77,7%), sedangkan pasien yang ditangani dengan operasi sebanyak 42 orang (22,3%). Berdasarkan jenis operasi yang paling sering dilakukan adalah FESS sebanyak 38 orang (90,5%) diikuti dengan kaak spooling sebanyak 3 orang (7,1%) dan operasi Caldwell-Luc hanya 1 orang (2,4%). Hal ini sejalan dengan penelitian Multazar (2008) di RSUP H. Adam Malik Medan yang menyatakan bahwa penatalaksanaan terbanyak pada penderita rinosinusitis kronik adalah dengan dengan medikamentosa dengan proporsi 77,36%, sementara penatalaksanaan dengan operasi hanya 22,64%.

(56)

5.2.9 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Komplikasi

Jumlah penderita rinosinusitis tahun 2011 di RSUP H. Adam Malik Medan yang mengalami komplikasi pada penelitian ini hanya 1 orang (0,5%). Komplikasinya adalah abses subperiosteal.

Penelitian oleh Dalimunthe di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2010 menyatakan bahwa komplikasi rinosinusitis yang diderita pasien adalah mukokel sebanyak 1 orang (1%). Sedangkan sekitar 95 orang pasien yang lain (99 %) tidak menunjukkan adanya komplikasi.

Frisdiana (2010), dalam penelitiannya menyatakan bahwa dari 102 penderita rinosinusitis kronik yang dirawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth dari tahun 2006-2010, tidak ada yang menunjukkan komplikasi.

(57)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kelompok umur pasien tertinggi terdapat pada kelompok umur 40-49 tahun yaitu sebanyak 39 orang (20,7%) sedangkan proporsi kelompok umur pasien terendah terdapat pada kelompok umur 70-79 tahun yaitu sebanyak 5 orang (2,7%).

2. Distribusi proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan jenis kelamin lebih banyak diderita oleh sampel perempuan yaitu sekitar 103 orang (54,8%) sedangkan jumlah sampel laki-laki yaitu 85 orang (45,2%).

3. Distribusi proporsi penderita rinosinusitis yang terbanyak berdasarkan pekerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yaitu 54 orang (28,7%).

4. Keluhan utama yang paling banyak didapatkan pada penderita rinosinusitis adalah hidung tersumbat yaitu 108 orang (57,4%).

5. Berdasarkan lama penyakit, penderita rinosinusitis kronis merupakan yang paling banyak ditemukan di RSUP. Haji Adam Malik pada tahun 2011 yaitu 93 orang (49,5%).

6. Lokasi sinus yang paling banyak terkena adalah sinus maksila yaitu sebanyak 110 orang (58,5%).

7. Berdasarkan jumlah sinus yang terlibat, single rinosinusitis merupakan yang paling banyak diderita oleh pasien yaitu sebanyak 120 orang (63,8%).

8. Berdasarkan jenis terapi, tatalaksana dengan medikamentosa merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan operasi yaitu sebanyak 146 orang (77,7%).

(58)

6.2. Saran

1. Untuk penelitian pada masa yang akan datang mengenai kasus rinosinusitis, diharapkan peneliti lain menambah variabel karakteristik dan dapat menggunakan sampel yang lebih besar.

2. Diharapkan bagi peneliti lain yang akan meneliti tentang rinosinusitis berdasarkan rekam medik agar dapat lebih hati-hati dalam membacanya untuk mendapatkan data yang akurat.

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Acala, V., Sudarman, K., Christanto, A., dan Widodo, S., 2010. Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik. Dalam: Riyanto, B., ed. Cermin Dunia Kedokteran. Edisi 179. Jakarta: Dian Rakyat, 409-414.

Andika MT, 2007. Frekuensi Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis yang Disebabkan Infeksi Jamur di Departemen THT-KL FK USU. Dalam: Tesis Bagian THT-KL FK Universitas Sumatera Utara Medan.

Benninger, M.S., 2008. Rhinosinusitis. In: Browning G.G., et al. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. Great Britain: Hodder Arnold, 1439-1445.

Broek, P.V.D, Feenstra L., 2010. Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12. Jakarta: EGC, 99-100.

Chen, Y., Dales, R., Lin, M., 2009. The Epidemiology of Chronic Rhinosinusitis

in Canadians. The Laryngoscope. Available from:

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1097/00005537-200307000-00016/full

Dalimunthe, S.A., 2010. Gambaran Penderita Rinosinusitis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010. Universitas Sumatera Utara. Available from:

. [Accessed 12 Januari 2013].

2012 ].

Darmawan, S., dkk, 2005. Gambaran Klinis Pasien Sinusitis di Departemen FKUI RSCM 1998-2004. Media Medika Indonesia Volume 40 Nomor 3. Available from:

Dewanti DAK, Hawala S, Istiningsih C, Indrawati LPL, 2008. Pola Epidemiologi Rhinosinusitis Kronis di Bagian THT RS Sardjito Tahun 2006-2007. Dalam Kumpulan Abstrak PIT-PERHATI. Bandung.

(60)

Fokkens W, et al, 2007. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinology 45 Supplement 20. Available from: http://www.rhinologyjournal.com/supplement_20.pdf

Frisdiana, Y., 2010. Karakteristik penderita rinosinusitis kronik rawat inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2006-2010. Universitas

Sumatera Utara. Available from: . [Accessed 1 June

2012].

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/28871.pdf

Giannoni, C.M. and Weinberger D.G., 2006. Complications of Rhinosinusitis. In:

Bailey, B.J., et al. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 495-504.

. [Accessed 1 June 2012].

Hedayati, et al, 2010. Prevalence of Fungal Rhinosinusitis Among Patients with Chronic Rhinosinusitis From Iran. Journal de Mycologie Medicale 261. Available from: http://www.aspergillus.org.uk/pdfs/hedayati10.pdf

HTA Indonesia, 2006. Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia. Available from:

. [Accessed 12 Januari 2013].

Lane., A.P. and Kennedy, D.W., 2003. Sinusitis and Polyposis. In: Snow., J.B. and Ballenger., J.J. Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. Spain: BC Decker Inc., 774-785.

Lund, V.J. and Jones, J.R., 2008. Surgical management of rhinosinusitis. In:

Browning G.G., et al. Scott-Bro

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Patel, 2007)
Tabel 2.3.1. Klasifikasi Rinosinusitis (Benninger, 2008)
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 5.2 Distribusi Penderita Rinosinusitis Berdasarkan Jenis Kelamin di
+5

Referensi

Dokumen terkait

Distribusi proporsi sinus yang terlibat penderita rinosinusitis kronik rawat inap berdasarkan penatalaksanaan medis di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tahun 2006-2010 dapat

Prevalensi penderita karsinoma hepatoseluler proporsi terbanyak pada kelompok umur 40-60 tahun yaitu 89 pasien (58,2%) , pada penelitian ini jenis kelamin terbanyak

Dari hasil penelitian didapati distribusi karakteristik pasien berdasarkan kategori umur sebagai berikut: kategori umur penderita penyakit stroke terbanyak adalah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita HIV/AIDS yang mengalami IO sedang terbanyak pada umur &gt; 30 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan rendah,

Pada tabel 5.7 diatas dapat dijelaskan bahwa berdasarkan jumlah sinus yang terlibat untuk single rinosinusitis merupakan yang paling banyak diderita oleh pasien-pasien yang datang

Farhat pada tahun 2004 di Medan mendapatkan hasil yang berbeda yaitu keluhan terbanyak pada penderita sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas adalah hidung berbau

Hasil Penelitian: Didapatkan 111 penderita, dimana distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional terbanyak

Hasil Penelitian: Didapatkan 111 penderita, dimana distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional terbanyak