• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Toksisitas Ekstrak Benalu Kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Toksisitas Ekstrak Benalu Kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Lampiran 1 Perhitungan % kematian larva Artemia Salina Leach

% �������� = jumlah larva mati

jumlah larva total awal x 100%  Konsentrasi 20 ppm :

Perhitungan nilai LC50 Ekstrak Metanol Daun Benalu Kopi

(3)

Persamaan regresi garis linier y = ax + b

Grafik Log Konsentrasi terhadap Probit y = 2,899x - 0,156

Grafik Log konsentrasi Vs Probit

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

DAFTAR PUSTAKA

Adfa, M., 2005, Survey Etnobotani, Studi Senyawa Flavonoid dan Uji Brine

Shrimp Beberapa Tumbuhan Obat Tradisional Suku Serawai di Propinsi Bengkulu,Gradien 1 (1): 43, 45-46.

Anderson, J.E. 1991. A blind comparison of simple bench top bioassay and

human tumor cell cytotoxities as antitumor priesscrenns, natural product chemistry. Phytochemical Analysis 2 : 107 – 111

Anonim. 1996. Laporan Pengkajian Tahun Anggaran 1996/1997, Kapsulisasi Ekstrak Daun Benalu di Daerah Istimewa Yogyakarta, sentra P3T Provinsi D.I. Yogyakarta.

Carballo JL,dkk. 2002. Comparison between two brine shrimp assays to detect

in vitro cytotoxicity in marine natural products. BMC Biotechnology.

Dhahiyat, Y dan Djuangsih. 1997. Uji Hayati (Bioassay); LC 50 ( Acute Toxicity Tests) Menggunakan Daphnia dan Ikan. [Laporan Hasil Penelitian]. PPSDAL LP UNPAD.Bandung.

Djarijah, A.S. 1995. Pakan Alami. Kanisius. Yogyakarta

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I) Jilid 1, 2000. p. 3-4.

Dewi, N.A. 2011. Potensi Ekstrak Daun Rambutan (Naphelium lappaceum L.) sebagai pembasmi larva nyamuk Culex pipiens. Skripsi. Samarinda: Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman.

Finney, N.D. (1971). Probit Analysis 3rd ed. Cambrige University Press.

Cambrige. England.

Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi. FK-UI: Jakarta.

Gordon, M.H. 1990. The mechanism of antioxidants action in vitro. Di dalam: B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elsivier Applied Science. London.

Hamburger, M., Hostettmann, K., 1991. Bioactivity in plants: the link between phytochemistry and medicine. Phytochemistry 30 (12): 3864-3874

(9)

Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia. Terbitan kedua. Penerbit ITB. Bandung.

Harmita., 2009, Buku Ajar Analisis Hayati,(Edisi III, Cetakan I), Dalam Manurung J., (Editor), Jakarta: EGC, hal: 42-43, 48, 76-78

Harmita dan Radji, M., 2008. Kepekaan Terhadap Antibiotik. Dalam: Buku Ajar Analisis Hayati, Eds.3.EGC. Jakaerta:1-5.

Hieronymus, B. 2008. Ragam dan Khasita Tanaman Obat. Jakarta : AgroMedia Pustaka.

Indiastuti D.N., et al.,. 2008.Skrining Pendahuluan Toksisitas Beberapa Tumbuhan Benalu terhadap Larva Udang Artemia salina Leach,Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 6 (2): 82.

Ikawati, Muthi. 2008. Pemanfaatan Benalu Sebagai Agen Antikanker. Paper. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Isnansetyo Alim dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton, Zooplankton. Pakan Alam untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta.

Lamson, Davis W, MS, ND, and Brignall, Matthew S. ND. 2000. Antioxidants

and cancer III: Quercetin, Alternative Medicine Review Volume 5

Number 3

Mailandri, M. 2012. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Garcinia kydia Roxb dengan Metode DPPH dan Identifikasi Senyawa Kimia Fraksi yang Aktif. FMIPA UI.

Maukar, A. Morein. 2013. Analisis Kandungan Fitokimia Dari Uji Toksisitas Ekstrak Metanol Daun Soyogik (Sauraula bracteosa DC) Dengan Menggunakan Metode Maserasi. Jurnal Ilmiah Sains Vol.13. FMIPA. Universitas Sam Ratulangi, Manado.

McLaughin, J.L. and Rogers, L.L. 1988. The use of biological assay to

evaluate botanicals. Drug Information Journal 32 : 513-524.

Meyer, B.N., Ferrigni, N.R., Putman, J.E., Jacsben, L.b., Nicols, D.E. and McLaughlin, J.L. 1982. Brine Shrimp : a convenient general bioassay

for active plant constituent. Plant Medica45: 31-34

(10)

Mudjiman, A. 1988. Udang Renik Air Asin (Artemia Salina). Bhatara Karya Aksara. Jakarta.

Pitojo, S. 1996. Benalu Hortikultura Pengendalian dan Pemanfaatan. Trubus Agriwidya, Tegal, Jawa Tengah.

Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Erlangga. Jakarta.

Priyanto, 2009, Toksikologi: mekanisme, terapi antidotum, dan penilaian resiko,(Cetakan I), Dalam Sunaryo H., (Editor), Jakarta: Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi, hal: 151-152, 157.

Purnomo, B. 2000. Uji Ketoksikan Akut Fraksi Etanol Daun Benalu (Dendropathe Sp) Pada Mencit Jantan Dan Uji Kandungan Kimia, Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Riset Kesehatan Dasar Indonesia. 2013. Situasi Penyakit Kanker. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.

Rosidah, S. Yulinah ,Elin, S. Gana. 1999. Uji Aktivitas Antiradang pada Tikus Galur Wistar dan Telaah Fitokimia Ekstrak Daun Babadotan dan Ekstrak Rimpang Jahe. http://bahan-alam.fa.itb.ac.id. [18 Maret 2008]

Santoso, S.O. 1993. Perkembangan Obat Tradisional dan Ilmu Kedokteran di Indonesia dan Upaya Pengembangannya Sebagai Obat Alternatif. Pidato Pengukuhan Pada Upacara Penerima Jabatan Sebagai Guru Besar dab Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 4 Sepetember 1993.

Sastrohamidjojo, H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Cetakan Pertama. UGM-Press. Yogyakarta.

Sirait, M. 2000. Penuntun Fitokimia Dalam Farmasi. Penerbit ITB. Bandung.

Siregar, J.P. C. Dan Amalia, L. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta : EGC.

Soejono, 1995. Inventarisasi Pohon Inang Benalu di Kebun Raya Purwodadi. Makalah Seminar Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia IX 21-22 September 1995. Universitas Gadjah Mada.

Tamaru, C.S., H. Ako, R. Paguirigan, Jr. Pang. 2004. Enrichment of Artemia

for Use in Freshwater Ornamental Fish Production.

http://www.lama.kcc.edu/CSTA/Artemia.htm/ [13 September 2009].

(11)

Wongkar, J.S., Max, J.R., Jemmy, A. 2015. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Benalu Langsat ( Dendrophthoe petandra (L) Miq) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) LC50. Jurnal FMIPA UNSRAT.

(12)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat – alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

- Rotary Vacum Evaporator Buch

- Penangas Uap Memmert

- Cawan porselen

- Labu alas Pyrex

- Labu Erlenmeyer Pyrex

- Neraca Analitis Mettler Toledo

(13)

3.2 Bahan – bahan - Daun benalu kopi

- larva udang Artemia salina Leach

- Methanol

- Metanol p.a p.a Merck

- Aquadest

- HCl (l)

- Air laut sintetik

- DMSO 1%

- Pereaksi Wagner

- Perekasi Meyer

- Pereaksi Dragendorff

- Pereaksi Bouchardart

- HCl (p)

- FeCl35%

- CeSO4 1%

- H2SO4 10%

- Ragi

- Aquadest

- Garam

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan Serbuk Daun Benalu Kopi

Daun benalu kopi (Loranthus ferruginius Roxb.) segar yang telah dikumpulkan,

dicuci dengan air hingga bersih dari kotoran yang melekat dan ditiriskan. Daun

dikeringkan dengan cara diangin – anginkan. Kemudian dihaluskan dengan

(14)

3.3.2 Pembuatan Ekstrak Metanol Daun Benalu Kopi

Pembuatan ekstrak metanol daun benalu kopi dilakukan dengan metode maserasi

sebanyak 200g serbuk daun benalu kopi dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer,

ditambahkan pelarut metanol hingga serbuk daun terendam. Didiamkan selama

kurang lebih 48 jam dan ditutup dengan rapat lalu disaring menggunakan kertas

saring. Selanjutnya filtrate yang diperoleh dipekatkan dengan Rotary Vacum

Evavorator untuk memisahkan pelarutnya hingga diperoleh ekstrak metanol dari

daun benalu kopi, kemudian dipanaskan diatas penangas uap untuk menguapkan

pelarut yang masih tersisa.

3.3.3 Skrining Fitokimia Senyawa Metabolit Sekunder 3.3.3.1 Uji Flavonoid

Filtrat metanol dari daun benalu kopi dimasukkan kedalam tabung reaksi,

kemudian ditambahkan larutan pereaksi FeCl3 1%. Jika terjadi perubahan menjadi

endapan berwarna hitam maka menunjukkan adanya senyawa flavonoid.

3.3.3.2 Uji Terpenoid

Filtrat metanol dari daun benalu kopi diteteskan pada plat tipis, kemudian

ditambahkan CeSO4 1% dalam H2SO4 10%. Jika terbentuk warna merah

kecoklatan menunjukkan adanya senyawa terpenoid.

3.3.3.3 Uji Saponin

Filtrat metanol dari daun benalu kopi dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu

ditambahkan aquades, kemudian dikocok kuat – kuat selama 10 detik. Jika

terbentuk busa yang stabil tidak kurang dari 10 menit menunjukkan adanya

senyawa saponin.

3.3.3.4 Uji Alkaloid

Filtrat metanol dari daun benalu kopi dimasukkan kedalam 4 tabung reaksi dan

selanjutnya ditambahkan dengan pereaksi alkaloida diantaranya :

1. Tabung I ditambahkan larutn pereaksi Wagner. Jika terbentuk endapan

(15)

2. Tabung II ditambahkan larutan pereaksi Meyer. Jika terbentuk endapan

menggumpal berwarna putih atau putih kekuningan, menunjukkan adanya

senyawa alkaloida.

3. Tabung III ditambahkan larutan pereaksi Bouchardat. Jika terbentuk

endapan bewarna coklat kemerahan, menunjukkan adanya senyawa

alkaloida.

4. Tabung IV ditambahkan larutan pereaksi Dragendorff. Jika terbentuk

endapan merah atau jingga, menunjukkan adanya senyawa alkaloida.

3.3.4 Uji Toksisitas dengan Metode Brime Shrimp Lethality Test ( BSLT) 3.3.4.1Pembuatan Air Laut Buatan (ALB)

Siapkan air laut buatan dengan melarutkan 38 gram noniodium dalam 1 liter air

mineral (Harmita, 2009).

3.3.4.2 Pembuatan Ekstrak Ragi

Ditimbang ragi sebanyak 3 mg, lalu ragi dilarutkan dengan 5 ml air laut buatan

diaduk dan dihomogenkan. Disimpan ekstrak ragi didalam vial dan siap untuk

digunakan.

3.3.4.3 Penyiapan Kontrol Negatif

Kontrol negatif yang digunakan untuk uji toksisitas pada larva udang Artemia

salina Leach yaitu dibuat dengan dimasukkan pelarut ( metanol p.a) kedalam vial

dan dikeringkan, lalu ditambahkan 1 ml air laut buatan, 1 tetes dimetil sulfoksida

(DMSO) 1%, 10 ekor larva udang Artemia salina Leach dan 1 tetes ragi kedalam

vial, kemudian ditambahkan air laut buatan sampai volumenya menjadi 5 ml.

3.3.4.4 Persiapan Larva Udang Artemia salina Leach

Telur udang ditetaskan 2 hari sebelum dilakukan uji. Disiapkan bejana untuk

penetasan telur udang. Wadah yang digunakan dibagi menjadi dua bagian, bagian

gelap dan terang kemudian ditambahkan air laut buatan. Satu ruang dalam bejana

tersebut diberi penerangan dengan cahaya lampu pijar/neon 15 watt untuk

(16)

terjagadan merangsang proses penetasan. Sebelum ditetaskan telur Artemia salina

Leach sebanyak 20 mg terlebih dahulu dicuci yakni ditaburkan dan direndam pada

wadah berisi akuades selama 1 jam, lalu ditiriskan sampai airnya tuntas, kemudian

telur ditempatkan / direndam pada bagian gelap dari wadah berisi air laut buatan

sekitar 500 mL.

Telur udang yang terendam air laut buatan dibiarkan selama 2 x 24 jam

sampai menetas menjadi benur (nauplius) yang matang dan siap digunakan dalam

percobaan. Telur akan menetas dalam waktu 18-48 jam dan akan bergerak secara

alamiah menuju daerah terang sehingga larva udang terpisahkan dari bagian telur

atau kulit telur. Larva yang sehat bersifat fototropik dan siap dijadikan hewan uji

setelah berumur 48 jam. Nauplius dipisahkan dari telurnya dengan dipipet ke

dalam beker/vial yang berisi air laut buatan.

3.3.4.5 Persiapan Larutan Uji

Ekstrak yang kan diuji dibuat dalam beberapa konsentrsi 20 ppm, 40 ppm,60 ppm

80 ppm, dan 100 ppm. Ekstrak yang telah dalam variasi konsentrasi dipipet

masing – masing sebanyak 100 µl menggunakan alat mikropipet ke dalam botol

vial, dibuat tiga kali pengulangan (triplo).

3.3.4.6 Uji Toksisitas Brime Shrimp Lethality Test ( BSLT)

Vial disediakan untuk tiap kelompok sesuai peringkat konsentrasi dengan

masing-masing disediakan 5 vial dan direplikasi sebanyak 3 kali(triplo), kemudian vial

yang berisi larutan uji sebanyak 100 µl dikeringkan sampai semua pelarutnya

menguap sehingga tidak berbau pelarutdan dapat ditunjukkan dengan proses

pengeringan menghasilkan penimbangan yang konstan dengan bobot tetap (Adfa,

2005), kemudian ditambahkan DMSO 1 % 1-3 tetes (50-150 µL) termasuk vial

kontrol untuk melarutkan sampel kembali jika diperlukan. Selanjutnya vial yang

telah diisi sampel kemudian ditambah air laut buatan 1 mL (Indiastuti, 2008),

kemudian 10 ekor larva udang Artemia salina Leach yang berumur 48 jam

dimasukan dalam vial. Satu tetes ragi (0,6 mg/mL) dimasukkan ke dalam setiap

vial sebagai makanan Artemia (Harmita & Radji, 2008), lalu ditambahkan air laut

(17)

kerja yang sama tanpa memasukan ekstrak daun benalu kopi ke dalam vial.

Vial-vial tersebut diletakkan di bawah penerangan. Jumlah Artemia salina Leach

yang mati dalam tiap vial selama 24 jam dihitung dengan cara manual dan

mikroskopik. Kriteria standar untuk menilai kematian larva udang adalah bila

larva udang tidak menunjukkan pergerakan selama beberapa detik observasi.Cara

manual yaitu dengan mengamati larva di dalam vial dengan bantuan lup,

kemudian diamati dalam kaca arloji dengan bantuan cahaya. Jumlah nauplii yang

mati dihitung dengan mengurangkan jumlah total nauplii pada tiap konsentrasi

dengan jumlah nauplii yang masih hidup. Sedangkan cara mikroskopik adalah

dilakukan pengamatan di bawah mikroskop.

3.3.4.7 Analisa Toksisitas

Efek toksik diperoleh dari pengamatan dengan menghitung % kematian

(mortalitas) larva Artemia salina Leach pada tiap konsentrasi. Ciri – ciri larva

Artemia Salina Leach yang mati dilihat dari fisik larva yang sudah tidak bergerak,

lalu dilihat dari warna tubuh yang lebih gelap, serta seolah – olah bentuk tubuh

lebih ramping tidak memiliki sayap.Jumlah Artemia salina Leach yang mati

dalam tiap vial selama 24 jam dihitung. Persen kematian diperoleh dari hasil

perkalian rasio dengan 100%, yaitu larva yang mati dibagi jumlah larva awal

dikali 100% untuk tiap replikasi. Lalu dibandingkan dengan kontrol dan dilakukan

analisis hasil sehingga diperoleh harga LC50.

% ��������= jumlah larva mati

jumlah larva total awal x 100%

Apabila pada kontrol ada yang mati, persen kematian ditetapkan dengan rumus

Abbott (Meyer et al., 1982; Harmita & Radji,2008).

%��������=jumlah larva yang mati pada uji−jumlah larva mati pada kontrol

(18)

Dari persen kematian, dicari angka/nilai probit tiap kelompok hewan uji melalui

tabel, menentukan log dosis tiap-tiap kelompok kemudian dibuat grafik dengan

persamaan garis lurus hubungan antara nilai probit vs log konsentrasi, y = bx + a.

Dimana y : angka probit dan x : log konsentrasi, kemudian ditarik garis dari harga

probit 5 (= 50% kematian) menuju sumbu X, didapatkan log konsentrasi. Log

konsentrasi diantilogkan untuk mendapatkan harga LC50atau LC50 dapat juga

dihitung dari persamaan garis lurus tersebut dengan memasukkan nilai 5 (probit

dari 50 % kematian hewan coba) sebagai y sehingga dihasilkan x sebagai nilai log

konsentrasi. LC50 dihitung dan diperoleh dari antilog nilai x tersebut (Priyanto,

(19)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Ekstraksi Daun Benalu Kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.)

200 g serbuk daun benalu kopi

Dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer

Direndam dengan 1 liter metanol selama 48 jam (± 2 hari)

Disaring

Residu Filtrat

Dipekatkan dengan Rotary Vacum Evavorator

Dipanaskan diatas penangas air

(20)

3.4.2 Skrining Fitokimia Ekstrak Metanol Daun Benalu Kopi

dimasukkan kedalam tabung reaksi

tabung I + pereaksi Wagner

tabung II + pereaksi Maeyer

tabung III + pereaksi Dragendorf

tabungIV + pereaksi Bouchardat

ditambahkan dengan aquadest

dikocok Ekstrak Metanol Daun Benalu Kopi

ditambahkan FeCl3 1%

Alkaloid Terpenoid Flavonoid Saponin ditambahkan

(21)

3.4.3 Uji Toksisitas dengan Metode Uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), ( McLaughlin, 1988)

3.4.3.1 Persiapan Larva Udang

38 g garam non iodium untuk air laut buatan

Dimasukkan kedalam wadah yang telah disekat dua bagian ( setengah terbuka setengah tertutup)

Ditambahkan 1 L aquadest

Dimasukkan 20 gram telur Artemia salina Leach pada bagian sekat yang tertutup

Diberikan lampu dibagian yang terbuka untuk menarik udang pada bagian sekat yang terbuka

Dibiarkan selama 24 jam, hingga telur menetas

Nauplii menuju bagian yang bercahaya

Dibiarkan selama 48 jam

(22)

3.4.3.2 Pembuatan larutan Induk 100 ppm

0.025 gram Ekstrak Methanol Daun Benalu Kopi

Dimasukkan kedalam labu takar 25ml

Ditambahkan Metanol p.a hingga garis batas

Dihomogenkan

25 ml Larutan Induk 1000 ppm ppm

Dipipet 2,5 ml larutan induk 1000 ppm

Dimasukkan dalam labu takar 25 ml

Ditambahkan metanol p.a hingga garis batas

Dihomogenkan

(23)

3.4.3.3 Uji Toksisitas 3.4.3.3.1 Larutan Ekstrak

25 ml larutan Ekstrak 100 ppm

Dibuat variasi 20,40,60,dan 80 ppm

Dipipet 5 ml

Dipipet 100 µl kedalam botol vial

Dikeringakan/diuapkan

Diisi 3 ml air laut buatan

Diteteskan 1 - 3 tetes DMSO 1%

Dimasukkan 10 ekor larva udang

Diteteskan 1 tetes ekstrak ragi

Dibiarkan selama 24 jam

Diamati jumlah larva yang mati

Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali

Dihitung nilai LC50

(24)

3.4.3.3.2 Larutan Kontrol

1 ml Metanol p.a

Dimasukkan kedalam botol vial

Dikeringkan/diuapkan

Ditambahkan 1 ml air laut buatan

Diteteskan 1 tetes DMSO 1%

Dimasukkan 10 ekor larva udang

Diteteskan 1 tetes ragi

Dibiarkan selama 24 jam

Diamati jumlah larva yang mati

Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali

Dihitung nilai LC50

(25)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Skrining Fitokimia Ekstrak Metanol Daun Benalu Kopi

Ekstrak metanol daun benalu kopi diperoleh dengan metode maserasi

menggunakan pelarut metanol, dilakukan skrining fitokimia untuk mengetahui

senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid, terpenoid, saponin dan alkaloid

yang ditunjukkan pada tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.1 Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Metanol Daun Benalu Kopi

Golongan Pereaksi Hasil Skrining Fitokimia

Bouchardat - Tidak terjadi

perubahan

Alkaloid Wagner - Tidak terjadi

perubahan

Meyer - Tidak terjadi

perubahan

Dragendorf - Tidak terjadi

perubahan

Perubahan warna/endapan menunjukkan adanya kandungan senyawa metabolit

(26)

4.1.2 Hasil Uji Toksisitas Ekstrak Metanol Daun Benalu Kopi Menggunakan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Uji toksisitas ditentukan berdasarkan metode Brine Shrimp Lethality Test

(BSLT), yaitu metode yang menganalisa sifat toksik suatu bahan berdasarkan

mortalitas larva Artemia Salina Leach. Seberapa mampu bahan bersifat racun

terhadap larva Artemia Salina leach dan mampu membunuh larva Artemia Salina

Leach hingga 50% dalam waktu 24 jam. Ekstrak metanol daun benalu kopi

mampu membunuh dan bersifat racun terhadap larva Artemia Salina Leach, dalam

beberapa variasi konsentrasi seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut ini :

a. Konsentrasi 20 ppm

a b c

(27)

b. Konsentrasi 40 ppm

a

a b c

Gambar 4.2 (a) kematian larva sebanyak 3 ekor pada replikasi ke 1, (b)kematian larva sebanyak 1 ekor pada replikasi ke 2 (c)kematian larva sebanyak 3 ekor pada replikasi ke 3.

c. Konsentrasi 60 ppm

a b c

(28)

d. Konsentrasi 80 ppm

a b c Gambar 4.4 (a)kematian larva sebanyak 6 ekor pada replikasi ke 1, (b)kematian

larva sebanyak 6 ekor pada replikasi ke 2, (c)kematian larva sebanyak 6 ekor pada replikasi ke 3.

e. Konsentrasi 100 ppm

a b c

Gambar 4.5 (a) kematian larva sebanyak 8 ekor pada replikasi ke 1, (b) kematian larva sebanyak 8 ekor pada replikasi ke 2 (c) kematian larva sebanyak 7 ekor pada replikasi ke 3.

Keterangan : larva yang mati gambarnya tampak jelas dan berwarna lebih gelap

(29)

Adapun hasil pengukuran jumlah total kematian larva dapat ditunjukkan dalam

tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 4.2 Hasil Pengukuran Jumlah Total Kematian Larva Selama 24 Jam

C ( ppm) Log C Jumlah larva mati tiap

Dari persamaan garis linier diperoleh LC50 sebesar 58.88 ppm

Keterangan:

(-) : tidak ada larva yang mati

4.2 Pembahasan

4.2.1 Skrining Fitokimia Kandungan Senyawa Metabolit Sekunder Ekstrak Metanol Daun Benalu Kopi

Berdasarkan hasil skrining fitokimia, diperoleh bahwa ekstrak metanol daun

benalu kopi pada golongan flavonoid dengan penambahan FeCl3, menunjukkan

adanya terbentuk endapan hitam. Pada golongan terpenoid dengan pereaksi

CeSO4 1% dalam H2SO4 10% menunjukkan adanya pembentukan endapan coklat

kemerahan. Pada golongan saponin dengan penambahan akuades, tidak

menunjukkan adanya pembentukkan busa yang stabil saat dikocok. Pada golongan

alkaloid dengan pereaksi Wagner, Bouchardat, dan Dragendorf tidak terjadi

perubahan warna sedangkan dengan penambahan pereaksi Meyer tidak terjadi

pembentukkan putih kekuningan. Sehingga, ini menunjukkan bahwa ekstrak

metanol daun benalu kopi mengandung senyawa metabolit sekunder golongan

(30)

4.2.2 Uji Toksisitas Ekstrak Metanol Daun Benalu Kopi Menggunakan Metode Brime Shrimp Lethality Test (BSLT)

Uji BSLT merupakan uji toksisitas yang paling sederhana dengan menggunakan

larva Artemia Salina Leach sebagai hewan ujinya. Uji ini dimaksudkan untuk

skrining awal potensi sebagai senyawa antikanker. Larva Artemia Salina Leach

yang digunakan berumur 48 jam atau yang disebut dengan nauphilus. Larva

Artemia Salina Leach yang digunakan sebanyak 10 ekor dengan waktu

pengamatan 24 jam.

Ditabel 4.2 diatas telah dijelaskan hasil pengujian ekstrak metanol daun

benalu kopi terhadap larva Artemia Salina Leach dengan waktu pengamatan 24

jam, dimana hasil pengujian terhadap Larva Artemia Salin Leach dengan

konsentrasi 20,40,60,80, dan 100 ppm didapatkn persen kematian larva berturut –

turut 10%; 23.33%; 56.66%; 60%; dan 76.66%. Untuk kontrol negatif dengan

menggunakan pelarut metanol tidak menunjukkan adanya kematian, sehingga

dapat dikatakan bahwa pelarut yang digunakan tidak mempengaruhi pengujian.

Kematian larva Artemia Salina Leach disebabkan oleh kandungan

senyawa bioaktif yang terdapat dalam sampel yang diujikan. Senyawa bioaktif

tersebut masuk kedalam tubuh larva, yang kemudian bertindak sebagai racun

perut sehingga mengganggu sistem pencernannya. Selain itu, reseptor perasa pada

mulut larva juga dihambat sehingga larva gagal mengenali makanannya yang

kemudian menyebabkan kematian (Djarijah, 1995). Hasil pengujian menunjukkan

bahwa persen kematian Artemia Salina semakin meningkat seiring meningkatnya

(31)

Gambar 4.6. Grafik hubungan antara konsentrasi dengan %kematian larva Artemia Salina Leach.

Untuk mengetahui toksisitas dari ekstrak metanol daun benalu kopi yang

diujikan, dihitung nilai LC50 menggunakan persamaan regresi linier log

konsentrasi (x) vs probit (y) pada penelitian ini persamaan regresi linier yang

didapat adalah y = 2,899x – 0,156. Dengan Persamaan tersebut dapat dihitung

LC50 dari ekstrak metanol benalu kopi yang diujikan terhadap larva Artemia

Salina Leach.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ekstrak metanol benalu kopi

mampu membunuh 50% populasi larva Artemia Salina Leach dengan konsentrasi

58,88 ppm. Berdasarkan hasil LC50 yang diperoleh menandakan bahwa ekstrak

metanol daun benalu kopi bersifat toksik.

4.2.3Hubungan Senyawa Toksik dengan Aktivitas Antikanker

Larva Artemia Salina Leach memiliki kemampuan berkembang biak yang cepat

seperti sel kanker. Kesamaan lain yang dimiliki Artemia Salina Leach adalah

membran kulitnya yang tipis seperti sel kanker. Kandungan senyawa metabolit

sekunder yang ada dalam ekstrak metanol daun benalu kopi ini diharapkan

mampu menyebabkan kematian. Adanya kematian larva Artemia Salina Leach

tersebut dapat diasumsikan bahwa ekstrak metanol daun benalu kopi yang

(32)

Kematian larva Artemia Salina Leach dihubungkan dengan adanya

senyawa toksik. Didalam penelitian ini senyawa toksik berasal dari senyawa

metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak metanol daun benalu kopi

(Loranthus Ferrugineus Roxb.). Berdasarkan uji skirining fitokimia ekstrak

metanol daun benalu kopi mengandung senyawa bioaktif yang dapat larut dalam

metanol yaitu flavonoid dan terpenoid. Flavonoid termasuk senyawa polifenol

alam yang mempunyai bioaktifitas sebagai penangkal radikal bebas dan dapat

menginhibisi protein karena adanya gugus fenol. Berdasarkan penelitian terdahulu

tumbuhan benalu kopi mengandung flavonoid utama yaitu kuersetin. Kuersetin

adalah kelompok flavonol terbesar, kuersetin juga merupakan suatu aglikon yang

apabila berikatan dengan glikonnya akan menjadi glikosida, kuersetin dipercaya

dapat melindungi tubuh dari beberapa jenis penyakit degenerative dengan cara

mencegah terjadinya proses peroksidasi lemak. Kuersetin memperlihatkan

kemampuan mencegah proses oksidasi dari low density lipoproteins (LDL)

dengan cara menangkap radikal bebas dan mengkhelat ion logam transisi.

Senyawa ini dapat beraksi sebagai antikanker pada regulasi siklus sel, berinteraksi

dengan reseptor estrogen (ER) tipe II dan menghambat enzim tirosin kinase

(Lamson et al., 2000).

Larva yang 60% tersusun atas protein mati dikarenakan senyawa metabolit

sekunder yaitu flavonoid, dimana struktur fenol dari flavonoid mampu

menginhibisi aktivitas protein kinase sehingga menghambat jalur transduksi sinyal

dari membran sel ke inti sel, dan menggangu proses pencernaan serta

pertumbuhan larva sehingga lama - kelamaan larva mati. Senyawa fenol pada

senyawa alam yang dikenal sebagai polifenol dalam konsentrasi tinggibekerja

dengan merusak membran sitoplasma secara total dengan mengendapkan protein

sel. Akan tetapi bila dalam konsentrasi rendah , fenol merusak membran sel yang

menyebabkan kebocoran metabolit penting dan menginaktifkan metabolisme pada

tubuh larva (Carballo,2002). Hal ini dianggap bahwa senyawa flavonoid dapat

(33)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Ekstrak metanol daun benalu kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.)mengandung

senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid dan terpenoid.

2. Uji Toksisitas ekstrak metanol benalu kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.)

dengan metode Brime Shrimp Lethality Test (BSLT) memiliki nilai LC50

sebesar 58,88 ppm. Ini menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun benalu kopi

(Loranthus ferrugineus Roxb.) bersifat toksik dan berdasarkan hasil LC50 yang

didapatkan pada penelitian ini, ekstrak metanol daun benalu kopi berpotensi

sebagai antikanker karena LC50< 1000 ppm (Meyer,et al., 1982).

5.2 Saran

Diharapkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti selanjutnya untuk

menguji ekstrak metanol daun benalu kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.)dengan

uji sitoksisitas terhadap cell line kanker pada manusia untuk mengetahui apakah

ekstrak metanol daun benalu kopi dapat dijadikan obat yang berpotensi sebagai

(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Uraian Tumbuhan Benalu Kopi (Loranthus Ferrugineus Roxb.) 2.1.1 Deskripsi Tumbuhan

Benalu kopi (Loranthus Ferrugineus Roxb.) merupakan jenis tumbuhan yang

hidupnya tidak memerlukan media tanah. Ia hidup sebagai parasit, melekat pada

sel inang, dan menghisap nutrisi yang dimilikinya sehingga menyebabkan

kematian pada sel inang tersebut. Adanya klorofil menyebabkan tanaman benalu

memiliki kemampuan melakukan proses fotosintesis. Akan tetapi, tanaman ini

tidak mampu mengambil air dan unsur hara secara langsung dari tanah yang

menjadikannya sebagai tanaman parasit (Pitojo,1996)

Bentuk dari benalu kopi yaitu akar berbentuk ramping, menjalar pada

inangnya dan berwarna kusam. Batang tumbuhan panjang tegak berwarna hijau

kusam. Daun bentuk lonjong kecil – kecil yang memiliki warna hijau tua sedikit

kasar permukaannya. Terdapat biji kecil – kecil disela – sela tangkai daun dan

batang, biji berbentuk kecil seperti isi pensil, memiliki sungut pendek. Habitus

dari tumbuhan ini sangat besar, cukup besar. (Pitojo,1996). Tumbuhan benalu

kopi dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut :

(35)

2.1.2 Kandungan Senyawa Kimia Tumbuhan

Kandungan kimia yang terdapat dalam benalu adalah flavonoid, tanin, asam

amino, karbohidrat, alkaloid, dan saponin (Anonim,1996). Berdasarkan berbagai

penelitian, senyawa dalam benalu yang diduga memiliki aktivitas antikanker

adalah flavonoid, yaitu kuersetin yang bersifat inhibitor terhadap enzim DNA

topoisomerase sel kanker (Anonim,1996). Berdasarkan berbagai penelitian yang

ada senyawa flavonoid pada benalu yang berperan dalam melawan kanker adalah

kuersetin. Kuersetin memiliki aktivitas antioksidan yang dimungkinkan oleh

komponen fenoliknya yang sangat reaktif. Kuersetin akan mengikat radikal bebas

sehingga dapat mengurangi reaktifitas radikal bebas tersebut, (Purnomo, 2000).

2.1.3 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan Benalu Kopi (Loranthus Ferrugineus Roxb.)

hasilidentifikasi tumbuhan di laboratorium Herbarium Medanense, Universitas

Sumatera Utara, adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Santalales

Famili : Loranthaceae

Genus : Loranthus

Spesies :Loranthus Ferrugineus Roxb.

Nama lokal : Benalu Kopi ( Herbarium Medanense, 2015)

2.1.4 Khasiat Tumbuhan

Benalu kopi adalah salah satu tanaman parasit yang biasa digunakan dalam

pengobatan tradisional. Sebagai tanaman parasit benalu tidak banyak

(36)

tanaman inangnya,sementara sebagai salah satu tanaman obat, benalu mempunyai

peranan yang penting. Secara tradisional benalu digunakan antara lain sebagai

obat batuk, amandel, campak, diabetes dan kanker (Pitojo,1996).

2.1.5 Perkembangbiakan Tumbuhan 2.1.5.1 Organ Perkembangbiakan Benalu

Tumbuhan benalu dapat berkembangbiak dengan cara generative dan

vegetative. Pada kebanyakan spesies benalu, cara utama untuk

perkembangbiakannya melalui cara generative, sedangkan bagi beberapa

spesies benalu melalui cara generatif dan vegetative yang saling

melengkapi. Organ perkembangbiakan generative berupa biji dan organ

perkembangbiakan vegetative yaitu haustoria.

2.1.5.2 Pertumbuhan Benalu

Pertumbuhan benalu tidak secepat tanaman yang hidup dan mengambil

makanan langsung dari tanah. Pertumbuhan benalu tersebut sangat

dipengaruhi oleh ketersediaan hara yang dapat dimanfaatkan benalu dari

tanaman yang dihinggapinya.

Pertumbuhan benalu mengeluarkan haustoria, menjalar kebagian lain

tanaman inang, mengadakan penetrasi kejaringan, dan menghisap hara

garam mineral, serta air dari tanaman inang. Benalu memiliki hijau daun

sehingga dapat berasimilasi membentuk karbohidrat untuk mencukupi

kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, benalu termasuk kedalam kategori

tumbuhan hemiparasit. Beberapa hal yang mempengaruhi pertumbuhan

benalu sebagai berikut :

a. Spesies Benalu

Perilaku pertumbuhan benalu berbeda – beda, ada yang tumbuhnya

kuat, ada yang membentuk percabangan banyak, ada yang membentuk

habitus kecil, dan lain – lain. Spesies benalu yang pertumbuhannya

kuat antara lain Dendrophthoe. Benalu yang berhabitus kecil antara

(37)

Perilaku perakarannya pun bermacam – macam. Pada spesies Viscum,

tidak membentuk haustoria diluar tanaman inang sedangkan pada

Dendrophthoe menunjukkan cirri bahwa jaringan tanaman sempat

berpijaknya benalu mengalami pertumbuhan abnormal yang dikenal

dengan istilah hipertrofi. Pertumbuhan semacam itu juga terjadi pada

tempat – tempat haustoria menetrasi tanaman. Apabila benalu hidup

lama ditanaman inang, maka akan terbentuk tonjolan tak beraturan dan

kadang – kadang berupa bangunan yang mempunyai nilai artistic.

b. Jenis Tanaman Inang

Walau benalu dapat hidup menumpang pada tanaman berkayu

golongan dikotil, tetapi tidak semua tanaman tersebut terserang benalu.

Ada kelompok tanaman yang seolah – olah disukai benalu dan ada

kelompok tanaman yang tidak disukai oleh benalu. Pada tanaman

berdaun lebar atau yang berkulit lunak, benalu cenderung tumbuh lebih

subur.

c. Letak atau Posisi Benalu

Benalu sering tumbuh dibatang, cabang atau di ranting tanaman.

Adapun letak benalu bermacam-macam, ada yang di bagian tengah,

atas atau samping tanama. Letak benalu tersebut cenderung

mempengaruhi arah pertumbuhan benalu. Benalu yang berada di

bagian tengah pohon biasanya cenderung tumbuh kearah bawah

sehingga ranting-ranting benalu keliatan terkulai. Benalu yang berada

di bagian atas, akan cenderung tumbuh ke atas, kearah sinar, dan

membentuk cabang serta ranting yang kuat.

d. Iklim

Iklim makro maupun iklim mikro, selain mempengaruhi

perkecambahan biji benalu, juga mempengaruhi pertumbuhan benalu.

Di daerah yang mempunyai musim hujan dan musim kemarau jelas,

memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan benalu. Di

musim hujan,tanaman inang dan tumbuhan benalu sama-sama tumbuh

subur. Sedangkan di musim kemarau, beberapa tanaman inang

(38)

bereaksi untuk mengatasi keadaan tersebut. Pada waktu tanaman inang

gugur daunya, benalu akan mengikuti cara tersebut sehingga

penguapan air terbatas. Pengaruh musim kemarau panjang sering

menyebabkan benalu yang tumbuh di dekat batang lebih kuat

mengatasi situasi yang tidak menguntungkan tersebut. Pada

daerah-daerah yang bulan keringnya sedikit, serta di daerah-daerah yang lembab

pertumbuhan benalu lebih baik daripada di daerah kering.

e. Hubungan antara inang dan benalu

Hubungan antara tumbuhan benalu dengan tanaman inangnya telah

lama dipertanyakan oleh ahli botani, apakah hubungan tersebut seperti

okulasi pada tanaman. Docters Van Leeuwen (1945) dalam tulisannya

tentang benalu di jawa, pernah menyinggung kemungkinan adanya

hubungan timbal balik, seperti hubungan okulasi pada benalu

dendrophthoe magna yang hidup di atas Quereus pseudomoliveca yang

hampir semua tajuknya didominasi oleh benalu tersebut. Pada

peristiwa autoparasit atau hiperparasit yang pendukungnya sama-sama

benalu diduga keras hubungannya seperti okulasi(Pitojo,1996).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan yang dapat larut sehingga dapat

terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Sampel yang

diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak

dapat larut seperti serat, protein dan lain – lain. Senyawa aktif yang terdapat

dalam berbagai sampel dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri,

alkaloid, flavonoid dan lain – lain.

Prosedur ekstraksi yang digunakan bertujuan untuk mendapatkan senyawa

yang diinginkan dan untuk menghilangkan komponen yang tidak diinginkan dari

tanaman menggunakan pelarut yang selektif. Tanaman yang diekstrak

mengandung campuran kompleks dari metabolit seperti alkaloida, glikosida,

(39)

Metode ekstraksi dengan maserasi adalah proses pengekstrakkan sampel

dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau

pengadukan pada temperature ruangan. Maserasi kinetic berarti dilakukan

pengadukkan yang kontinu (terus – menerus). Remaserasi berarti dilakukan

pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama

dan seterusnya (Depkes, 2000).

2.3 Senyawa Metabolit Sekunder

Senyawa metabolit pada makhluk hidup dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu,

senyawa metabolit primer dan senyawa metabolit sekunder. Senyawa metabolit

primer didefinisikan sebgai produk akhir dalam proses metabolisme makhluk

hidup yang fungsinya sangat esensial bagi kelangsungan hidup organisme

tersebut, serta terbentuk secara intraseluler. Contohnya, protein, lemak,

karbohidrat dan DNA. Sedangkan senyawa metabolit sekunder dapat

didefenisikan sebagai suatu produk metabolic yang dihasilkan oleh proses

metabolisme sekunder makhluk hidup, dimana produk tersebut bukan merupakan

kebutuhan pokok untuk hidup dan tumbuh, serta terbentuk secara ekstraseluler.

Metabolit sekunder banyak bermanfaat bagi manusia, dan makhluk hidup lain

karena banyak diantaranya bersifat sebagai obat, vitamin, pigmen (Pratiwi, 2008)

Skrining fitokimia merupakan uji kualitatif kandungan kimia dalam suatu

tumbuhan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang

terkandung di dalam tumbuhan tersebut. Senyawa metabolit sekunder yang

memiliki khasiat untuk kesehatan diantaranya, alkaloid, flavonoid, terpenoid,

tannin, dan saponin.

2.3.1 Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon. Flavonoid umumnya

terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan gula bersenyawa pada satu

atau lebih gugus hidroksil fenolik. Flavonoid terdapat pada seluruh bagian

tumbuhan termasuk pada buah, tepung sari dan akar. Flavonoid dapat bekerja

(40)

flavonoid mempunyai rasa pahit hingga dapat menolak sejenis ulat tertentu

(Sastrohamidjojo, 1996). Pemeriksaan senyawa flavonoid dapat dilakukan dengan

menambahkan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol yang

menimbulkan warna hijau, merah ungu, ataupun hitam kuat (Mailandari, 2012).

2.3.2 Alkaloid

Alkaloid adalah metabolit basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen

yang biasanya dalam gabungan berbentuk siklik.. Alkaloid umumnya memiliki

sifat padatan kristal, sedikit alkaloid berbentuk amorf, dan sebagian ada yang cair,

bersifat basa, berasa pahit, kebanyakkan alkaloid tidak berwarna. Pada umumnya

basa bebas alkaloid hanya larut dalam pelarut organik, tetapi ada beberapa yang

dapat larut dalam air (Sastrohamijdojo, 1996). Alkaloid dapat dideteksi dengan

menggunakan pereaksi Dragendorf, Mayer, dan Bouchardat (Mailandari,2012).

2.3.3 Saponin

Pembentukkan busa sewaktu mengesktraksi tumbuhan atau pada saat memekatkan

ekstrak tumbuhan merupakan bukti adanya saponin. Uji saponin yang sederhana

adalah mengocok ekstrak alcohol – air dari tumbuhan dalam tabung reaksi dan

diperhatikan apakah terbentuk busa tahan lama pada permukaan cairan. Saponin

juga dapat diperiksa dalam ekstrak kasar berdasarkan kemampuannya

menghemolisis sel darah (Harborne, 1996).

2.3.4 Terpenoid

Terpenoid adalah suatau senyawa yang tersusun atas isoprene dan kerangka

karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5. Terpenoid

terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpene dan seskuiterpen yang

mudah menguap, diterpen yang sukar menguap dan yang tidak menguap

triterpene dan sterol. Secara umum senyawa ini larut dalam lemak dn terdpat

dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya senyawa ini diidentifikasi dengan

pereaksi Liberman-Bouchard (anhidrat asetat-asam sulfat) yang memberikan

(41)

2.4 Toksitologi

Toksitologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan

sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek

terapeutis obat berhubungan erat dengan efek toksisnya (Tjay, 2002). Toksikologi

merupakan ilmu yang lebih tua dari Farmakologi. Disiplin ini mempelajari

sifat-sifat racun zat kimia terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Sedikitnya 50.000

zat kimia kini digunakan oleh manusia dan karena tidak dapat dihindarkan, maka

kita harus sadar tentang bahayanya (Ganiswarna, 1995).

Setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat mengakibatkan efek

toksik. Pada umumnya, hebatnya reaksi toksis berhubungan langusng dengan

tingginya dosis, bila dosis diturunkan, efek toksis dapat dikurangi pula

(Tjay, 2002).

Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan

ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelcus pada tahun 1564 telah

meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan bahwa dosis

menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum).

Sekarang dikenal banyak faktor yang menentukan apakah suatu zat kimia bersifat

racun, namun dosis tepat merupakan faktor utama yang terpenting. Untuk setiap

zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama

sekali, atau suatu dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan

kematian. Untuk zat kimia dengan efek terapi, maka dosis yang kuat dapat

menimbulkan efek farmakoterapeutik (Ganiswarna, 1995).

Sintesis zat kimia yang diperkirakan berjumlah 1000 per tahun,

menyebabkan toksikologi tidak hanya meliputi sifat-sifat racun, tetapi lebih

penting lagi mempelajari keamanan setiap zat kimia yang dapat masuk ke dalam

tubuh. Zat-zat kimia itu disebut xenobiotik (xeno = asing). Setiap zat kimia baru

harus diteliti sifat-sifat toksiknya sebelum diperbolehkan penggunaannya secara

(42)

Salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik

adalah dengan uji toksisitas terhadap larva udang dari Artemia Salina Leach

(Brine ShrimpLethality Test). Metode ini sering digunakan untuk praskrining

terhadap senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak tanaman karena murah,

cepat, mudah (tidak perlu kondisi aseptis) dan dapat dipercaya (Meyer, et all.,

1982).

2.5 Brine Shrimp Lethality Test

Penelitian fitokimia saat ini lebih ditekankan pada penelitian untuk mendapatkan

senyawa bioaktif. Uji hayati yang digunakan untuk tujuan ini sebaiknya

sederhana, cepat, ekonomis, dan memiliki korelasi statistik yang valid dengan

bioaktivitasnya yang diinginkan (Anderson, 1991).

Salah satu uji aktivitas yang mudah, murah, cepat dan akurat yaitu dengan

menggunakan larva Artemia Salina Leach dikenal dengan istilah Brine Shrimp

Lethality Test (BSLT). Uji mortalitas larva udang merupakan salah satu metode

uji bioaktivitas pada penelitian senyawa bahan alam. Penggunaan larva udang

untuk kepentingan studi bioaktivitas sudah dilakukan sejak tahun 1956 dan sejak

saat itu telah banyak dilakukan pada studi lingkungan, toksisitas, dan penapisan

senyawa bioaktif dari jaringan tanaman. Uji ini merupakan uji pendahuluan untuk

mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Adapun penerapan untuk system

bioaktivitas dengan menggunakan larva udang tersebut antara lain, untuk

mengetahui residu pestisida, anastetik local, senyawa turuna morpin, mikotoksin,

karsinogenitas suatu senyawa dan polutan untuk air laut serta sebagai alternative

metode yang murah untuk uji toksisitas (Hamburger dan Hostettman, 1991)

Senyawa aktif yang memiliki daya bioaktifitas tinggi diketahui

berdasarkan nilai Lethal Concentration 50% (LC50), yaitu suatu nilai yang

menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat menyebabkan kematian hewan uji

sampai 50%. Data mortalitas yang diperoleh kemudian diolah dengan analisis

probit yang dirumuskan oleh Finney (1971) untuk menentukan nilai LC50 pada

derajat kepercayaan 95%. Senyawa kimia memiliki potensi bioaktif jika

(43)

2.5.1 Larva Artemia Salina Leach 2.5.1.1 Sistematika

Artemia salina merupakan bangsa udang-udangan yang diklasifikasikan sebagai

berikut:

Genus :Artemia (Mudjiman, 1992).

2.5.1.2 Tahap penetasan dan Morfologi.

Nama Artemia diberikan untuk pertama kali oleh Schlosscer yang menemukannya

di suatu danau asin pada tahun 1755. Kemudian oleh Linnaeus (1758)

melengkapkan jasad renik ini menjadi Artemia salina. Keistimewaan Artemia

sebagai plankton adalah memiliki toleransi (kemampuan beradaptasi) pada kisaran

kadar garam yang sangat tinggi dimana tidak ada satupun organisme lain yang

mampu bertahan hidup ternyata Artemia mampu mentolerirnya (Djarijah, 1995).

Artemia salina dijual-belikan dalam bentuk telur istirahat yang disebut

dengan kista. Kista ini apabila dilihat dengan mata telanjang berbentuk

bulatan-bulatan kecil berwarna kecoklatan dengan diameter berkisar antara 200-350

mikron. Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18-24 jam apabila

diinkubasikan dalam bentuk dalam air bersalinitas 5-70/mil (Mudjiman,1992).

Artemia salina yang baru menetas disebut nauplius. Nauplius berwarna

orange berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikrometer, lebar 170

mikron dan beratnya 0,002 mg. Ukuran-ukuran tersebut sangat bervariasi

tergantung strainnya. Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang

antena. Selain itu, di antara antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan

ocellus (Mudjiman, 1992).

Artemia salina dewasa biasanya berukuran panjang 8-10 mm yang

ditandai dengan adanya tangkai mata yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian

(44)

sebelas pasang thorakopoda. Pada Artemia jantan, antena berubah menjadi alat

penjepit (maskular gasper). Sedangkan pada Artemia betina antenna mengalami

penyusutan, sepasang indung telur atau ovarium terhadap di kedua sisi saluran

pencernaan, di belakang thorakopoda. Telur yang sudah matang disalurkan ke

uterus (Mudjiman, 1992). Bentuk dari larva Artemia Salina Leach dapat dilihat

pada gambar 2.2 berikut ini :

Gambar 2.2 Artemia Salina Leach

2.5.1.3. Siklus Hidup

Artemia salina banyak ditemukan di danau-danau yang kadar garamnya sangat

tinggi sehingga disebut brine shrimp. Toleransi terhadap kadar garam sangat

menakjubkan, bahwa pada siklus hidupnya memerlukan kadar garam yang tinggi

agar dapat menghasilkan kista. Kadar garam yang diperlukan agar Artemia salina

tersebut dapat menghasilkan kista bervariasi tergantung strain, pada umumnya

membutuhkan kadar garam di atas 100/ml (Mudjiman, 1992).

Keasaman air (pH) juga mempengaruhi kehidupan Artemia salina. Seperti

halnya hewan-hewan yang hidup di air laut, Artemia salina juga membutuhkan pH

air yang sedikit basa bersifat untuk kehidupannya. Agar Artemia salina dapat

tumbuh dengan baik maka pH air yang digunakan untuk budidaya berkisar antara

7,5-8,5 (Mudjiman, 1992).

Artemia salina bersifat pemakan segala atau omnivora. Artemia salina

mengambil pakan dari media hidupnya terus menerus sambil berenang.

Pengambilan makanan dibantu dengan antena II pada nauplius (Mudjiman, 1992).

Menurut cara reproduksinya, Artemia salina dibagi menjadi dua, yaitu

(45)

biseksual berkembangbiak secara seksual, yaitu didahului dengan perkawinan

antara jantan dan betina. Sedangkan Artemia salina partenogonik berkembang

biak secara partenogenesis, yaitu betina menghasilkan telur atau nauplius tanpa

adanya pembuahan (Mudjiman, 1992).

Siklus hidup Artemia salina cukup unik, baik jenis biseksual maupun

partenogenesis. Perkembangannya dapat secara ovovivar maupun ovipar

tergantung kondisi lingkungan terutama salinitas. Pada salinitas tinggi akan

dihasilkan kista yang keluar dari induk betina sehingga disebut dengan

perkembangbiakan secara ovipar. Sedangkan pada salinitas rendah tidak akan

menghasilkan kista akan tetapi langsung menetas dan dikeluarkan sudah dalam

bentuk nauplius sehingga disebut dengan perkembangbiakan secara ovovipar

(Mudjiman, 1992).

Ada 3 tahapan proses penetesan Artemia ini yaitu tahap hidrasi, tahap

pecah cangkang, dan tahap pengeluaran. Tahap hidrasi terjadi penyerapan air

sehingga kista yang diawetkan dalam bentuk kering tersebut akan menjadi bulat

dan aktif bermetabolisme. Tahap selanjutnya adalah tahap pecah cangkang yang

disusul tahap pengeluaran yang terjadi beberapa saat sebelum nauplius keluar dari

cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).

Secara alami makanan Artemia terdiri dari detritus bahan organik (sisa

jasad hidup yang hancur), ganggang, bakteri dan cendawan. Dalam pemeliharaan

makanan yang diberikan adalah katul padi, tepung beras, tepung kedelai atau ragi

(Mudjiman, 1992). Secara keseluruhan siklus hidup larva Artemia Salina Leach

dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut ini :

(46)

Uji BSLT dengan menggunakan larva udang Artemia salina dilakukan dengan

menetaskan telur – telur tersebut dalam air laut yang dibantu dengan aerasi. Telur

Artemia salina akan menetas sempurna menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva Artemia salina yang baik digunakan untuk uji BSLT adalah yang berumur 48 jam

sebab jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian Artemia salina bukAn

disebabkan toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan

(Meyer et al., 1982). Kista ini berbentuk bulatan – bulatan kecil bewarna kelabu

kecoklatan dengan diameter berkisar 200 – 300µm. Kista yang berkualitas baik,

apabila diinkubasi dalam air dengan kadar garam 5 – 70 permil akan menetas

sekitar 18 – 24 jam. Artemia salina yang baru menetas disebut nauplius, bewarna

orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170

mikron dan berat 0,002mg. Nauplius berangsur – angsur mengalami

perkembangan dengan 15 kali pergantian kulit hingga dewasa. Pada setiap

pergantian kulit disebut instar (Mudjiman,1998).

Keunggulan penggunan larva udang Artemia salina untuk uji BSLTini

adalah sifatnya yang peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih

cepat, mudah dibiakkan dan harganya murah. Sifat peka Artemia salina

kemungkinan disebabkan oleh keadaan membran kulitnya yang sangat tipis

sehingga memungkinkan terjadinya difusi zat dari lingkungan yang

mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya. Artemia salina ditemukan hampir

pada seluruh permukaan perairan dibumi yang memiliki kisaran salinitas 10 –

20g/l, hal inilah yang menyebabkannya mudah dibiakkan. Larva yang baru saja

menetas berbentuk bulat lonjong dan berwarna kemerah – merahan dengan

panjang 400 µm dengan berat 15µg. Anggota badannya terdiri dari sepasang

sungut kecil (anteluena atau antenna) dan sepasang sungut besar (anten atau

antenna II). Di bagian depan diantara kedua sungut kecil tersebut terdapat bintik

merah yang berfungsi sebagai mata (oselus). Di belakang sungut besarnya

terdapat sepasang mandibula (rahang) yang kecil, sedangkan dibagian perut

(47)

2.5.2 Lethal Consentration -50 ( LC50)

Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat

toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar. Suatu senyawa kimia dikatakan

bersifat racun akut jika senyawa tersebut dapat menimbulkan efek racun dalam

jangka waktu singkat, dalam hal ini 24 jam. Sedangkan jika senyawa tersebut baru

menimbulkan efek dalam jangka waktu yang panjang, disebut racun kronis

(karena kontak yang berulang – ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit)

(Harmita, 2009)

LC50 ( Median Lethal Concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan

kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik

dan perhitungan pada suatu waktu pengamatan tertentu, untuk beberapa penelitian

LC50 24 jam, LC50 48 jam , LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji

(Dhahiyat dan Djuangsih, 1997)

Selanjutnya pengujian efek toksik dihitung dengan analisa probit yaitu

menghitung mortalitas dengan cara : akumulasi mati dibagi jumlah akumulasi

hidup dan mati (total) dikali 100%. Grafik dibuat dengan log konsentrasi sebagai

sumbu x terhadap mortalitas sebagai sumbu y. Nilai LC50 merupakan konsentrasi

dimana zat menyebabkan kematian 50% yang diperoleh dengan memakai

persamaan regresi linier y = a + bx. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bilai nilai

LC50 < 1000 µg/ml untuk ekstrak dan < 30 µg/ml untuk suatu senyawa.

Tingkat toksisitas suatu ekstrak dapat diklasifikasikan berdasarkan LC50, yaitu

kategori sangat tinggi / highly toxic bila mampu membunuh 50% larva pada

konsentrasi 1-10 µ g/ml, sedang / medium toxic pada konsentrasi 10 -100 µg/ml,

(48)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kanker adalah penyakit yang disebabkan terjadinya berkembangan sel –

sel tubuh yang tidak normal, diluar kewajaran. Penyakit kanker merupakan

penyakit penyebab kematian terbesar kedua setelah kardiovaskular. Selain itu

angka peningkatan penderita yang mengidap penyakit kanker berkembang sangat

pesat, yaitu mencapai angka 347.792 orang pada tahun 2013 dan terus bertambah

setiap tahunnya (Riset kesehatan Dasar, 2013). Belum adanya terapi dan

pengobatan yang dianggap tepat untuk mengatasinya memicu masyarakat pada

umumnya dan peneliti pada khususnya untuk mengeksplorasi bahan – bahan alam

yang dianggap potensial sebagai alternatif agen antikanker. Benalu kopi

(Loranthus Ferrugineus Roxb.) merupakan salah satu dari daftar tanaman yang

telah digunakan masyarakat sebagai tanaman obat yang berpotensi sebagai

antikanker (Santoso,1993).

Benalu merupakan tanaman yang unik, satu sisi benalu merupakan parasit

bagi inang tempat tumbuhnya tetapi benalu dapat dimanfaatkan sebagai tanaman

obat (Soejono,1995). Berdasarkan pengalaman,benalu yang menempel pada

tumbuhan tertentu telah digunakan dalam pengobatan tradisional. Benalu pada

umumnya digunakan sebagai obat campak, sedangkan benalu pada jeruk nipis

dimanfaatkan sebagai ramuan obat untuk penyakit amandel. Benalu teh sendiri

digunakan sebagai obat kanker (Purnomo, 2000).

Kandungan kimia yang terdapat dalam benalu adalah flavonoid, tannin,

asam amino, karbohidrat, alkaloid, dan saponin (Anonim,1996). Berdasarkan

berbagai penelitian, senyawa dalam benalu yang diduga memiliki aktivitas

antikanker adalah flavonoid, yaitu kuersetin yang bersifat inhibitor terhadap

enzim DNA topoisomerase sel kanker (Anonim, 1996).

Penggunaan benalu tanaman sebagai antikanker yang menjanjikan masih

membutuhkan eksplorasi lebih lanjut baik dari sisi budaya maupun formulasi,

(49)

untuk meringankan beban penderita kanker dan meningkatkan taraf kesehatan

masyarakat (Ikawati, 2008).

Obat tradisional merupakan obat-obatan yang berasal dari alam dan telah

dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Selain digunakan secara

turun menurun dimasyarakat, obat ini lebih murah dan mudah didapat. Namun

diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap tanaman yang digunakan sebagai obat

tradisional, karena masih banyak yang belum diketahui bagaimana sifat toksisitas

dari tanaman obat tersebut (Hyeronimus, 2008)

Senyawa toksik adalah suatu senyawa atau zat yang dapat merusak sel

normal dan juga sel kanker, serta digunakan untuk menghambat pertumbuhan sel

tumor maligan (Siregar dan Amalia, 2004). Untuk mengetahui suatu tanaman

memiliki potensi sebagai antitumor dan antikanker perlu dilakukan penelitian

awal, salah satunya melalui uji toksisitas menggunakan metode Brine Shrimp

Lethality Test (BSLT).

Pada penggunaan bahan baku obat baik terbuat secara alami maupun

sintetis, bahan baku tersebut harus dilakukan uji toksisitasnya terlebih dahulu,

sehingga dalam penerapan bisa dinyatakan aman dan diketahui seberapa besar

jumlah senyawa toksik yang terkandung didalam bahan obat tersebut. Uji

toksisitas merupakan salah satu aktivitas biologi terhadap ekstrak atau fraksi

isolate tanaman dengan mengamati respon kematian pada hewan percobaan.

Hewan percobaan untuk uji toksisitas biasanya menggunakan ikan, larva nyamuk

dan larva udang. Kematian dari hewan percobaan dianggap sebagai respon

terhadap pengaruh senyawa tertentu. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh

Meyer, senyawa kimia yang mempunyai nilai LC50 kurang dari 1000 ppm

dikatakan memiliki potensi toksik untuk bahan obat antikanker (Dewi, 2011).

Uji toksisitas dengan menggunakan BSLT ini dapat ditentukan dari jumlah

kematian Artemia salina Leach akibat pengaruh ekstrak atau senyawa bahan alam.

Hasil uji dinyatakan sebagai LC50, dinyatakan bersifat toksik/aktif terhadap

Artemia salina Leach bila ekstrak tumbuhan tersebut memiliki LC50< 1000 µg/mL

dan berpotensi sitotoksik serta dapat dikembangkan sebagai antikanker (Meyer,

(50)

Jika hasil uji BSLT menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan bersifat toksik

maka dapat dikembangkan ke penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi senyawa

sitotoksik tumbuhan sebagai usaha pengembangan obat alternatif antikanker. Jika

hasil uji BSLT menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan tidak bersifat toksik maka

dapat dikembangkan ke penelitian lebih lanjut untuk meneliti khasiat-khasiat lain

dari ekstrak tersebut.

Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Ikawati, (2008)

yang berjudul “Pemanfaatan Benalu Sebagai Agen Antikanker”, menyatakan

benalu yang mengandung senyawa flavonoid yaitu kuersetin mempunyai potensi

untuk menjadi agen antikanker salah satu contohnya adalah benalu teh dan

membuka kemungkinan benalu lain yang masih dalam satu famili juga bersifat

sebagai agen antikanker.

Menurut Maukar, (2013) yang berjudul “ Analisis Kandungan Fitokimia

dari Uji Toksisitas Ekstrak Metanol Daun Soyogik (Sauraula bracteosa DC)

Dengan menggunakan metode maserasi”, menghasilkan nilai LC50 yang diperoleh

berdasarkan uji toksisitas menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test

(BSLT) daun soyogik yaitu sebesar 37,30 ppm kandungan fenolik, flavonoid, dan

tannin berturut – turut adalah 43,06 ; 6,52 dan 17,91 ppm. Ini menyatakan bahwa

ekstrak metanol daun soyogik bersifat toksik

Menurut Wongkar, (2015) yang berjudul “Uji Toksisitas Ekstrak Daun

Benalu Langsat (Dendrophthoe petandra (L) Miq) dengan Metode Brine Shrimp

Lethality Test (BSLT) LC50“, menghasilkan nilai LC50 yang diperoleh

berdasarkan uji toksisitas metode BSLT ekstrak daun benalu langsat adalah

sebesar 0,561 ppm ini menyatakan benalu tidak bersifat toksik, dikarenakan tidak

ada terjadi kematian 50% pada masing – masing variasi konsentrasi.

Menurut Indiastuti, (2008) yang berjudul “Skrining Pendahuluan

Toksisitas Beberapa Tumbuhan Benalu terhadap Larva Udang Artemia Salina

Leach”, menghasilkan nilai LC50 dari ekstrak metanol benalu Loranthus

Peretandrus sebesar 29,24 µg/ml dan untuk nilai LC50 ekstrak metanol Viscum

articulatum sebesar 10,83 µg/ml. ini menunjukkan benalu tersebut bersifat toksik

(51)

Benalu kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.) adalah salah satu contoh dari

beberapa tumbuhan yang dapat ditemukan pada pohon kopi yang berada di Desa

Perbaji, Kecamatan Tigandreket, Kabuaten Kabanjahe, Sumatera Utara yang

digunakan masyarakat setempat sebagai obat untuk mengatasi sakit perut, sakit

pinggang dan dapat mengobati penyakit kanker. Namun sampai saat ini belum ada

penelitian yang menyatakannya secara ilmiah, maka dari itu peneliti tertarik untuk

meneliti ekstrak benalu kopi dengan uji toksisitas menggunakan metode Brine

Shrimp LethalityTest (BSLT) sebagai salah satu penelitian awal untuk mengetahui

aktivitas senyawa toksik dalam tumbuhan tersebut yang dapat bermanfaat untuk

mengobati penyakit kanker.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan pada penelitian ini adalah :

1. Apa saja golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat didalam

ekstrak metanol daun benalu kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.)

berdasarkan uji skrining fitokimia?

2. Bagaimana hasil dari uji toksisitas ekstrak metanol daun benalu kopi

(Loranthus ferrugineus Roxb.) dan berapa nilai LC50 yang dihasilkan?

1.3. Pembatasan masalah

Dalam penelitian ini objek masalah dibatasi oleh:

1. Sampel benalu kopi yang digunakan berasal dari Desa Perbaji, Kecamatn

Tigandreket, kabupaten Kabanjahe, Sumatera Utara.

2. Ekstraksi daun benalu pohon kopi dilakukan dengan metode maserasi

dengan pelarut metanol

3. Skrinning fitokimia pada ekstrak metanol daun benalu kopi meliputi

kandungan senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, dan terpenoid.

4. Uji toksisitas dilakukan dengan metode Brine Shrimp Lethality Test

(52)

5. Variasi konsentrsi uji toksisitas ekstrak metanol benalu kopi yang

digunakan adalah 20, 40, 60, 80 dan 100 ppm.

6. Volum ekstrak yang digunakan sebesar 100µl yang dipipet menggunakan

mikropipet.

7. Perhitungan nilai LC50 menggunakan analisa Probit.

1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terkandung didalam

ekstrak metanol daun benalu kopi dengan skrinning fitokimia.

2. Untuk menguji daya toksisitas dari ekstrak metanol daun benalu kopi

dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) terhadap larva udang

Artemia salina Leachdan mengetahui nilai LC50 dengan analisa Probit.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

komponen – komponen kimia metabolit sekunder serta memberikan informasi

tentang daya toksisitas dari ekstrak metanol daun benalu kopi, dilihat dari nilai

LC50 sebagai acuan untuk mengetahui apakah ekstrak metanol daun benalu kopi

dapat dijadikan bahan obat herbal yang berpotensi sebagai antikanker.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dibeberapa labotarorium, diantaranya yaitu untuk

pembuatan ekstrak metanol daun benalu kopi dan uji toksisitas dilakukan di

laboratorium Biokimia/KBM FMIPA USU Medan, untuk pengamatan mortalitas

larva udang dilakukan di laboratorium Terpadu USU Medan, dan untuk uji

skrinning fitokimia dilakukan di laboratorium Kimia Organik Bahan Alam

(53)

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan skala laboratorium dan sebagai objek

penelitian adalah daun benalu kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.) kering yang

diperoleh dari Desa Perbaji, Kabanjahe. Daun benalu kopi dibersihkan dari

kotoran, dikeringkan dengan cara diangin – anginkan, lalu daun benalu kopi

dihaluskan dan kemudian ditimbang, selanjutnya direndam dengan metanol dan

disaring lalu filtrat yang dihasilkan dari proses perendaman dipekatkan dengan

Rotary Vacum Evavorator, ekstrak metanol diidentifikasi dengan skrinning

fitokimia meliputi senyawa alkaloid, flavonoid, saponin dan terpenoid. Ekstrak

metanol daun benalu kopi diuji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality

Test (BSLT) menggunakan larva Artemia Salina Leach dan ditentukan nilai LC50

(54)

UJI TOKSISITAS EKSTRAK BENALU KOPI (Loranthus ferrugineus Roxb.) DENGAN METODE Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

ABSTRAK

Uji toksisitas dari ekstrak metanol daun benalu kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.) telah dilakukan dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Daun benalu kopi yang telah dikeringanginkan dan dihaluskan, diekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol selama 2 hari, lalu disaring. Filtrat ekstrak metanol benalu kopi yang diperoleh dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator. Ekstrak metanol daun benalu kopi diskrining fitokimia untuk mengidentifikasi senyawa metabolit sekunder. Ekstrak daun benalu kopi dibuat dalam konsentrasi 20; 40; 60; 80; 100 mg/ml, untuk diuji daya toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) menggunakan larva udang sebanyak 10 ekor dengan volume ekstrak yang digunakan sebanyak 100 µl, dan ditentukan nilai LC50 menggunakan analisa

probit. Hasil uji skrining fitokimia ekstrak metanol daun benalu kopi menujukkan adanya golongan flavonoid dan terpenoid. Hasil uji toksisitas ekstrak metanol daun benalu kopi dengan metode Brine Shrimp Lethatility Test (BSLT) menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun benalu kopi memiliki potensi sebagai bahan antikanker karena dapat menimbulkan kematian diatas 50% populasi dengan nilai LC50 yang diperoleh sebesar 58,88 ppm.

(55)

TOXICITY ASSAY OF EXTRACT PARASITE COFFE (Loranthus

ferrugineus Roxb.) USING Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

ABSTRACT

Toxicity assaythe methanol extract of leaves parasite coffee (Loranthus

ferrugineus Roxb.) Has been performed using Brine Shrimp Lethality Test

(BSLT). Coffee parasite leaves that have been dried and crushed, extracted by using methanol for 2 days, and the methanol extract coffee parasite concentrated by rotary vacuum evaporator. The methanol extract coffee parasiteleavesderived phytochemical screening to identify secondary metabolite coumpounds. Extracts of leaves parasite coffee made in a concentration of 20; 40; 60; 80; 100mg/ml, to test the toxicity of the methods Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) using as many as 10 fish shrimp larva extracts used with volume of 100 mL, and the LC50

value is determined using probit analysis. Phytochemical screening test showed appositive results on the class of flavonoid and terpenoid compounds. The toxicity assay methanol extract the parasite coffeeleaves using Brine Shrimp method Lethatility Test (BSLT) showed that the methanol extract coffee parasite leaves has potential as an anticancer substance because it can cause the death of more than 50% of the population with LC50 values obtained at 58.88 ppm.

(56)

UJI TOKSISITAS EKSTRAK BENALU KOPI

(Lotanthus ferrugineus Roxb.) DENGAN

METODE Brine Shrimp Lethality

Test (BSLT)

SKRIPSI

SONYA CITRA BRATISCA

120802009

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(57)

METODE Brine Shrimp Lethality

Test (BSLT)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana sains

SONYA CITRA BRATISCA

120802009

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(58)

PERSETUJUAN

Judul : Uji Toksisitas Ekstrak Benalu Kopi (Loranthus

ferrugineus Roxb.) dengan Metode Brine

Shrimp Lethality Test (BSLT)

Kategori : Skripsi

Nama : Sonya Citra Bratisca

NomorIndukMahasiswa : 120802009

Program Studi : Sarjana (S1) Kimia

Departemen : Kimia

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di

Medan, Juni 2016

KomisiPembimbing :

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Dr.Firman Sebayang, MS Dr.RumondangBulan, MS

NIP. 195607261985031001 NIP.195408301985032001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

(59)

PERNYATAAN

UJI TOKSISITAS EKSTRAK BENALU KOPI (Loranthus ferrugineus

Roxb.) DENGAN METODE Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing – masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juni 2016

Gambar

Grafik Log konsentrasi Vs Probit
Tabel 4.1 Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Metanol Daun Benalu Kopi
Gambar 4.1 (a) tidak ada kematian larva pada replikasi ke 1 (b) kematian larva sebanyak 1 ekor pada replikasi ke 2 (b) kematian larva sebanyak 2 ekor pada replikasi ke 3
Gambar  4.2 (a) kematian larva sebanyak 3 ekor pada replikasi ke 1, (b)kematian larva sebanyak 1 ekor pada replikasi ke 2  (c)kematian larva sebanyak 3 ekor pada replikasi ke 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak metanol daun Garcinia benthami Pierre memiliki potensi toksisitas akut terhadap larva Artemia salina Leach dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality

Bagaimana aktivitas toksisitas akut ekstrak metanol daun sirsak ( Annona muricata L) terhadap larva Artemia salina Leach dengan metode Brine Shrimp Lethality Test

Perbandingan Toksisitas Ekstrak Teripang Holothuria atra Segar Dan Fermentasi Dengan Menggunakan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Bambang Yulianto dan

Analisis Kandungan Fitokimia Dari Uji Toksisitas Ekstrak Metanol Daun Soyogik (Sauraula bracteosa DC) Dengan Menggunakan Metode Maserasi.. Jurnal Ilmiah

Lampiran 4 Alat – alat dan Bahan yang Digunakan

Uji toksisitas dilakukan untuk mengetahui aktivitas yang terdapat pada ekstrak akar KB (Coptosapelta tomentosa) dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality

Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Rumput Knop (Hyptis capitata Jacq.) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).. Acute Toxicity of Knop Weed Leaves Ethanolic Extract

Uji toksisitas ekstrak metanol dan pigmen kasar (metanol-aseton dan fraksi dietil eter) dilakukan dengan menghitung nilai LC 50 -24 jam dengan metode uji BSLT (Brine Shrimp..