• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persistensi Pada Pasangan Infertil Suku Batak Toba Dalam Memperoleh Keturunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Persistensi Pada Pasangan Infertil Suku Batak Toba Dalam Memperoleh Keturunan"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PERSISTENSI PADA PASANGAN INFERTIL SUKU BATAK TOBA DALAM MEMPEROLEH KETURUNAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

CHRISTINA JULIANA SIMBOLON 081301099

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Persistensi Pada Pasangan Infertil Suku Batak Toba Dalam Memperoleh Keturunan

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2013

CHRISTINA JULIANA SIMBOLON

(3)

Persistensi Pada Pasangan Infertil Suku Batak Toba Dalam Memperoleh Keturunan

Christina Juliana Simbolon dan Rodiatul Hasanah, M.Si, psikolog ABSTRAK

Kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga adalah hal yang sangat diinginkan oleh pasangan Batak Toba yang sudah menikah. Hal ini disebabkan karena pasangan Batak Toba menganggap anak itu sebagai harta yang paling berharga dalam hidupnya (Harahap, 1987). Dengan adanya anak maka tujuan hidup yang ideal dalam budaya Batak Toba dapat tercapai, kemudian garis keturunan ada yang meneruskan, adat Dalihan Na Tolu ada yang melengkapi, harta kekayaan ada yang mewarisi serta dapat menambah sahala orang tua (Harahap, 1987). Karena itu pasangan Batak Toba akan merasakan tekanan dan dorongan yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan pasangan pada umumnya dalam memperoleh keturunan. Pasangan Batak Toba sering sekali diminta untuk berpisah atau melakukan bigami dengan alasan tidak memiliki keturunan. Bahkan istri yang meminta suami untuk menikah kembali dengan wanita lain agar garis keturunan suami tidak punah (Vergouwen, 1986). Untuk itu pasangan Batak Toba yang sulit memiliki keturunan akan berusaha semampu mungkin untuk melakukan usaha baik itu dari segi medis, tradisional hingga kepada usaha yang berhubungan dengan keagamaan untuk dapat memperoleh keturunan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana persistensi pasangan infertil suku Batak Toba dalam melakukan usaha untuk memperoleh keturunan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Responden penelitian berjumlah dua pasang suami istri infertil suku Batak Toba. Prosedur pengambilan responden menggunakan teknik snowball/chain sampling. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam. Penelitian dilakukan di Kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua pasangan persisten dalam melakukan usaha memperoleh keturunan baik itu dari segi medis, tradisional hingga kepada usaha yang berhubungan dengan keagamaan. Kedua pasangan tetap gigih melakukan usaha untuk memperoleh keturunan meskipun sering sekali kedua pasangan tersebut mengalami kegagalan dan hambatan dalam hal materi, waktu dan kesehatan sewaktu melakukan usaha untuk memperoleh keturunan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa selain faktor dukungan dan feedback

positif dari keluarga, nilai hagabeon juga berpengaruh terhadap persistensi kedua pasangan dalam melakukan usaha untuk memperoleh keturunan.

(4)

Persistence Of Infertile Couple Ethnic Batak Toba To Obtain The Children Christina Juliana Simbolon dan Rodiatul Hasanah, M.Si, psikolog

ABSTRACT

The presence of a child is in the middle of the family is a very desired by Batak Toba couples who are married. This is because Batak Toba couples considers the child as the most precious treasure in life (Harahap, 1987). With the child, an ideal destination life in Batak Toba culture can be achieved, there is a continuing lineage, customs of Dalihan Na Tolu are complementary, existing who inherit the wealth and can add parent sahala (Harahap, 1987). Therefore Batak Toba couples will feel the pressure and encouragement relatively stronger compared with couples in general to obtain the children. Batak Toba couples often asked to split up or do a bigamy by reason of not have the children. Even the wife who asked for the husband to married with another woman in order to husband lineage not extinction (Vergouwen, 1986). For the Batak Toba couples that difficult to obtain the children, will attempt as much as possible to do the effort both in terms of medical, traditional up to the religious effort to obtain the children.

The research aims to look at how the persistence of infertile couples Batak Toba to make efforts to obtain the children. The research used a qualitative approach with a phenomenological method. The respondents were two couples Batak Toba that infertile. The sampling procedure used the snowball techniques/chain sampling. Data retrieval is done by in-depth interviews. The research was conducted in Medan.

The results showed that both couples are persistent to make efforts to obtain the children both in terms of medical, traditional up to the religious. Both couples remain persistent perform effort to obtain the children despite often the couple failure and barriers in material, time and health when making an attempt to obtain the children. The results also suggest that factors other than the support and positive feedback from family, the value of hagabeon also affect the persistence of both couples in efforts to obtain the children.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan karunia dan kekuatan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi dengan judul Persistensi Pada Pasangan Infertil Suku Batak Toba Dalam Memperoleh Keturunan. Adapun penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Penulis mendapat banyak bimbingan, saran dan dukungan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU beserta Pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing penulis. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas kesabaran ibu dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala bimbingan, masukan, kritikan dan dukungan moril yang telah ibu berikan kepada penulis.

(6)

4. Ibu Etty Rahmawati, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan

5. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan yang berharga kepada penulis. Seluruh staf administrasi yang bersedia membantu penulis dalam pengurusan administrasi dan menyediakan segala keperluan selama perkuliahan khususnya dalam penelitian ini.

6. Teman-teman angkatan 2008 yang selalu mendukung dan menghibur selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk segala kebersamaan dan keceriaan kita selama ini.

7. Kedua pasang responden dalam penelitian ini. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Bantuan yang telah diberikan sangat berarti bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap penelitian ini dapat menambah informasi dan bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Desember 2013 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN...i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI A. Persistensi ... 15

1. Definisi Persistensi ... 15

2. Komponen Persistensi ... 16

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persistensi ... 17

B. Pasangan Infertil... 19

1. Definisi Pasangan Infertil ... 19

2. Penyebab Infertilitas ... 20

3. Dampak Infertilitas...21

4. Upaya Medis Untuk Pasangan Infertil... 22

C. Suku Batak Toba ... 23

1. Definisi Batak Toba ... 23

(8)

3. Dampak Infertilitas Dalam Budaya Batak Toba ... 26

4. Upaya Tradisional Untuk Pasangan Infertil...28

D. Persistensi Pada Pasangan Infertil Suku Batak Toba Dalam Memperoleh Keturunan ... 30

E. Kerangka Berpikir ... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 35

B. Responden Penelitian ... 36

1. Karakteristik Responden ... 36

2. Jumlah Responden ... 36

3. Prosedur Pengambilan Responden ... 37

4. Lokasi Penelitian ... 37

C. Metode Pengambilan Data ... 37

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 38

1. Alat Perekam (Tape Recorder) ... 38

2. Pedoman Wawancara ... 39

E. Kredibilitas Penelitian ... 39

F. Prosedur Penelitian ... 40

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 40

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 41

3. Tahap Pencatatan Data ... 43

4. Prosedur Analisa Data ... 43

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Kedua Pasangan ... 46

B. Hasil Analisa Data 1. Pasangan I Istri ... 47

(9)

2. Pasangan II

Istri...65 Suami...74 C. Interpretasi Data

1. Pasangan I

Istri...82 Suami...88 2. Pasangan II

Istri...94 Suami...100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 106 B. Saran ... 108

(10)

DAFTAR TABEL

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

(12)

Persistensi Pada Pasangan Infertil Suku Batak Toba Dalam Memperoleh Keturunan

Christina Juliana Simbolon dan Rodiatul Hasanah, M.Si, psikolog ABSTRAK

Kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga adalah hal yang sangat diinginkan oleh pasangan Batak Toba yang sudah menikah. Hal ini disebabkan karena pasangan Batak Toba menganggap anak itu sebagai harta yang paling berharga dalam hidupnya (Harahap, 1987). Dengan adanya anak maka tujuan hidup yang ideal dalam budaya Batak Toba dapat tercapai, kemudian garis keturunan ada yang meneruskan, adat Dalihan Na Tolu ada yang melengkapi, harta kekayaan ada yang mewarisi serta dapat menambah sahala orang tua (Harahap, 1987). Karena itu pasangan Batak Toba akan merasakan tekanan dan dorongan yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan pasangan pada umumnya dalam memperoleh keturunan. Pasangan Batak Toba sering sekali diminta untuk berpisah atau melakukan bigami dengan alasan tidak memiliki keturunan. Bahkan istri yang meminta suami untuk menikah kembali dengan wanita lain agar garis keturunan suami tidak punah (Vergouwen, 1986). Untuk itu pasangan Batak Toba yang sulit memiliki keturunan akan berusaha semampu mungkin untuk melakukan usaha baik itu dari segi medis, tradisional hingga kepada usaha yang berhubungan dengan keagamaan untuk dapat memperoleh keturunan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana persistensi pasangan infertil suku Batak Toba dalam melakukan usaha untuk memperoleh keturunan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Responden penelitian berjumlah dua pasang suami istri infertil suku Batak Toba. Prosedur pengambilan responden menggunakan teknik snowball/chain sampling. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam. Penelitian dilakukan di Kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua pasangan persisten dalam melakukan usaha memperoleh keturunan baik itu dari segi medis, tradisional hingga kepada usaha yang berhubungan dengan keagamaan. Kedua pasangan tetap gigih melakukan usaha untuk memperoleh keturunan meskipun sering sekali kedua pasangan tersebut mengalami kegagalan dan hambatan dalam hal materi, waktu dan kesehatan sewaktu melakukan usaha untuk memperoleh keturunan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa selain faktor dukungan dan feedback

positif dari keluarga, nilai hagabeon juga berpengaruh terhadap persistensi kedua pasangan dalam melakukan usaha untuk memperoleh keturunan.

(13)

Persistence Of Infertile Couple Ethnic Batak Toba To Obtain The Children Christina Juliana Simbolon dan Rodiatul Hasanah, M.Si, psikolog

ABSTRACT

The presence of a child is in the middle of the family is a very desired by Batak Toba couples who are married. This is because Batak Toba couples considers the child as the most precious treasure in life (Harahap, 1987). With the child, an ideal destination life in Batak Toba culture can be achieved, there is a continuing lineage, customs of Dalihan Na Tolu are complementary, existing who inherit the wealth and can add parent sahala (Harahap, 1987). Therefore Batak Toba couples will feel the pressure and encouragement relatively stronger compared with couples in general to obtain the children. Batak Toba couples often asked to split up or do a bigamy by reason of not have the children. Even the wife who asked for the husband to married with another woman in order to husband lineage not extinction (Vergouwen, 1986). For the Batak Toba couples that difficult to obtain the children, will attempt as much as possible to do the effort both in terms of medical, traditional up to the religious effort to obtain the children.

The research aims to look at how the persistence of infertile couples Batak Toba to make efforts to obtain the children. The research used a qualitative approach with a phenomenological method. The respondents were two couples Batak Toba that infertile. The sampling procedure used the snowball techniques/chain sampling. Data retrieval is done by in-depth interviews. The research was conducted in Medan.

The results showed that both couples are persistent to make efforts to obtain the children both in terms of medical, traditional up to the religious. Both couples remain persistent perform effort to obtain the children despite often the couple failure and barriers in material, time and health when making an attempt to obtain the children. The results also suggest that factors other than the support and positive feedback from family, the value of hagabeon also affect the persistence of both couples in efforts to obtain the children.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Keluarga dan anak umumnya menjadi topik pembicaraan apabila dua orang sahabat lama baru berjumpa. Jarang sekali dalam perjumpaan antara dua orang sahabat membicarakan soal kekayaan. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya nilai anak dalam kehidupan seseorang atau keluarga yang melebihi dari nilai harta kekayaan yang dimiliki (Ihromi, 1999).

Nilai anak bagi orang tua dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dari adanya kenyataan bahwa anak menjadi tempat bagi orang tua untuk mencurahkan kasih sayangnya, anak sebagai sumber kebahagiaan keluarga, anak sebagai bahan pertimbangan pasangan suami-istri ketika ingin bercerai, anak sebagai tempat untuk mensosialisasikan nilai–nilai dalam keluarga dan harta kekayaan keluarga diwariskan serta anak sebagai tempat orang tua dalam menggantungkan berbagai harapannya (Ihromi, 1999). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh ibu Nainggolan sebagai berikut:

(15)

masyarakat Batak Toba menganggap anak sebagai harta yang paling berharga dalam hidupnya (Harahap & Siahaan, 1987).Tidak hanya itu, masyarakat Batak Toba juga menganggap bahwa dengan adanya anak maka tujuan hidup yang ideal dalam budaya Batak Toba dapat tercapai yang tercakup dalam nilai 3H (hagabeon, hamoraon dan hasangapon) (Harahap & Siahaan, 1987).

Lubis (1997) menjelaskan bahwa hagabeon sama artinya dengan bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan yang dimaksudkan disini adalah kebahagiaan dalam hal keturunan. Keturunan dipandang sebagai pemberi harapan hidup karena keturunan adalah kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat.

Hamoraon (kekayaan) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dimana kekayaan ini diidentikkan dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak individu tidak akan merasa kaya meskipun banyak harta seperti yang diungkapkan dalam ungkapan “Anakkonhi do hamoraon diahu” (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya)

Hasangapon (kemuliaan & kehormatan) merupakan kedudukan seseorang dalam lingkungan masyarakat. Untuk mencapai hasangapon seseorang harus terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora). Diantara nilai

hamoraon hagabeon dan hasangapon, nilai hagabeon merupakan nilai yang paling penting karena nilai hagabeon mengungkap makna bahwa orang Batak Toba sangat mendambakan kehadiran anak dalam keluarga.

(16)

(Gultom, 1992). Masyarakat umum Batak mengartikan marga sebagai kelompok

suku dan suku induk yang berasal dari rahim yang sama (Vergouwen, 1986). Keyakinan ini disebabkan oleh penetapan struktur garis

keturunan mereka yang menganut garis keturunan laki-laki (patrilineal) yang berarti bahwa garis marga orang Batak Toba diteruskan oleh anak laki-laki. Jika orang Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka marga tersebut akan punah. Adapun posisi perempuan dalam budaya Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.

Adat Dalihan Na Tolu ada yang melengkapi. Dalihan Na Tolu merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak Toba. Ketiga hubungan kekeluargaan itu adalah:

1.Hula-hula (keluarga dari pihak pemberi istri/wanita) 2.Dongan sabutuha (kawan semarga)

3.Boru (keluarga dari pihak penerima istri/wanita

Anak laki-laki nantinya akan beristri dan keluarga pihak pemberi istri akan disebut dengan hula-hula sedangkan anak perempuan akan bersuami dan keluarga pihak penerima istri akan disebut boru. Dengan demikian lengkaplah unsur

Dalihan Na Tolu yakni dongan sabutuha, hula-hula dan boru

(Siahaan & Harahap, 1987).

(17)

sebagian dari harta yang diwariskan (Vergouwen, 1986). Dahulu, apabila keluarga tersebut tidak memiliki keturunan terlebih lagi keturunan laki-laki maka seluruh harta warisan tersebut akan jatuh ke pihak adik kandung laki-laki/abang kandung yang memiliki keturunan terlebih lagi keturunan laki-laki. Akan tetapi hal tersebut saat ini sudah mulai bergeser dipengaruhi oleh perkembangan faktor ajaran agama yang menyatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan Tuhan. Dimana diketahui saat ini hampir semua masyarakat Batak Toba sudah memeluk agama sehingga hal itu menyebabkan pada sekarang ini anak perempuan sudah bisa mewarisi harta kekayaan apabila tidak memiliki saudara laki-laki. Hal ini didukung oleh pernyataan bapak Tamba yang merupakan salah seorang tokoh adat di daerah Samosir:

”...Kalau dulu apabila seorang bapak hanya memiliki anak perempuan saja dan tidak memiliki anak laki-laki maka seluruh harta kekayaannya akan dilimpahkan kepada saudaranya laki kandung yang memiliki anak laki-laki, akan tetapi saat ini sudah mulai bergeser meskipun hanya memiliki anak perempuan akan tetapi tidak memiliki anak laki-laki, anak perempuannya tersebut sudah bisa mewarisi harta peninggalan dari orang tuanya tersebut. Jadi tidak harus dilimpahkan seluruhnya lagi kepada saudaranya laki-laki yang memiliki anak laki-laki. Hal ini diakibatkan karena ajaran agama yang mengatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Dimana sekarang ini hampir semua masyarakat Batak kita tahu sudah beragama. Nah, hal inilah yang menyebabkan terjadinya pergeseran dalam budaya Batak Toba meskipun sebenarnya kita ketahui bahwa pewaris harta seutuhnya adalah anak laki-laki”.

(Komunikasi personal, 21Agustus 2013) Dan yang terakhir dengan adanya anak dalam sebuah keluarga maka dapat menambah sahala (wibawa) kedua orang tua. Ph.L.Tobing menyatakan konsep

(18)

kewibawaan kekayaan dan keturunan adalah orang yang memiliki sahala. Sahala

seseorang bertambah bila hal-hal tersebut bertambah (Harahap & Siahaan, 1987). Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami mengapa pasangan Batak Toba begitu mengharapkan kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga karena dipengaruhi oleh pentingnya peran anak tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya sekarang ini masih banyak dijumpai pasangan Batak Toba yang sulit memiliki keturunan meskipun sudah menikah dalam kurun waktu relatif lama/lebih dari 12 bulan lamanya tanpa menggunakan alat kontrasepsi akan tetapi belum juga memiliki keturunan atau biasa disebut dengan infertilitas (Papalia & Olds, 1998).

Tentunya masalah kesuburan dan ketidaksuburan ini menjadi masalah yang cukup sensitif bagi kebanyakan pasangan terutama bagi pasangan yang sulit untuk memiliki keturunan. Biasanya untuk kebanyakan kasus infertilitas sering sekali yang dipersalahkan adalah pihak wanita. Jika dalam sebuah rumah tangga tidak memiliki keturunan wanitalah yang selalu dianggap bertanggung jawab seolah-olah masalah ketidaksuburan ini hanya urusan wanita saja. Bahkan ada yang sampai menceraikan istrinya padahal mereka belum memeriksakan diri ke dokter untuk mencari tahu siapa yang sebenarnya bermasalah (Junaidi, 2011).

(19)

tersebut tidak punah (Vergouwen, 1986). Hal ini didukung oleh pernyataan bapak Tamba yang merupakan salah seorang tokoh adat di daerah Samosir :

“...Yah! Memang sampai berpisah (cerai) demi mendapatkan anak! Bahkan ada lagiyang menikah sampai beberapa kali biar bisa punya anak! Tapi kalau menurut saya, ini semua kembali lagi ke keluarga tersebut! Siapa itu keluarganya! Biasanya kalau yang seperti ini terjadi, itu karena keluarganya masih memegang kuat akan adat istiadat Bataknya. Masih kentallah adat Batak yang dipegangnya itu! Maka sampai ada yang diceraikan demi mendapatkan keturunan! Bahkan ada yang sampai berkali-kali menikah! Tapi hal seperti ini kebanyakan terjadi di kampung-kampung yang memang adat budaya itu masih dipegang kuatlah oleh masyarakatnya! Tapi kalau setahu saya kalau di kota, hal seperti ini sudah jaranglah yah dijumpai meskipun mungkin ada satu dari beberapa yang bercerai dan menikah lagi untuk mendapatkan keturunan! Pemikiran orang di kota mungkin sudah lebih majulah dari orang-orang di kampung! Jadi intinya begitulah! Semua tergantung kepada keluarganya itu sendiri”.

(Komunikasi personal,22 Mei 2012) Pasangan Batak Toba yang sulit untuk memiliki keturunan juga kerap sekali mendapatkan ejekan dari orang-orang sekitar maupun dari keluarga sendiri. Berikut adalah kutipan hasil wawancara dengan bapak Situmorang yang telah menikah 8 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...Kalau ejekan pasti ada yah dek! Palingan mungkin dari tetanggalah! Yang bilang seperti ini “ehe, manalah bisa lagi punya anak itu! Nikah aja pun dah berumur! Kadangkan gak enak aja dengarnya! Kok tega aja gitu yah! Tapi kami cuek aja! Gak openlah! Toh juga yang ngejalanin kita kok, bukan dia kan?”

(20)

keturunan merasakan emosi seperti marah, panik, putus asa dan sedih yang dapat berpengaruh terhadap aktivitas seksual mereka (Read, 2004). Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan ibu Simbolon yang telah menikah selama 10 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...Sedih aja dirasa dek! Apalagi kalau ngeliat ibu-ibu lain ngegendong anak! Ngeri awak rasa! Awak kapanlah yah bisa gendong bayi! Terus kadang ada irinya juga! Yah irinya gini, kalau misalnya kita jumpa nih ama teman-teman seperjuangan kita dulu, eh tau-taunya dah main gendong anak aja! Udah itu kami juga jadi sering emosian dek! Gara-gara gak ada anak! Dikit-dikit marah! Terus ngomong juga jadi seenaknya aja! Terakhir jadi sering stress juga yah dek! Stress mungkin karena dah usaha kesana kemari tapi gak juga punya anak yah! Itu aja mungkin dek”.

(Komunikasi personal, 27September 2012) Biasanya pasangan Batak Toba yang mengalami keadaan demikian akan melakukan berbagai cara untuk bisa memiliki keturunan, mulai dari melakukan usaha medis seperti artificial Insemination, in vitro fertilization, embryo transplant, gamette intrafallopian transfer, ovum transfer hingga kepada melakukan kebiasaan-kebiasaan budaya yang diyakini dapat mempercepat terjadinya kehamilan. Adapun kebiasaan budaya tersebut seperti suami dan kerabat laki-laki mendatangi ayah dari pihak istri dan melalui upacara khusus memohon restu kiranya mertuanya mau memanjatkan doa supaya puteri dan menantunya diberi karunia (Vergouwen, 1986).

(21)

dalam semua upacara religius. Upacara ini disertai dengan pemberian persembahan berupa hewan-hewan kurban yang dipersembahkan kepada leluhur tersebut yang dipimpin oleh datu (pemimpin acara) dan diikuti dengan tarian-tarian persembahan. Adapun tujuan dilakukannya pesta ini adalah karena banyak dari keturunan yang tidak mempunyai keturunan sehingga mereka ingin memohon kepada leluhur agar melimpahkan “tabung penyimpanan anak panah yang penuh

dengan anak-anak” (Vergouwen, 1986).

Kemudian melakukan kegiatan mangupa tondi. Kegiatan mangupa ini bertujuan untuk menguatkan tondi (roh), meningkatkan daya yang bersemayam dalam dirinya dan untuk memperkuat ikatan antara dia dengan tempat tinggalnya. Jika kegiatan mangupa ini dilakukan kepada wanita yang belum memiliki keturunan maka tujuannnya adalah untuk meningkatkan daya tangkal tondinya (rohnya) terhadap kekuatan animis dan jahat yang sudah mengincarnya dan segera memiliki anak (Vergouwen, 1986). Hal ini didukung oleh kutipan hasil wawancara dengan bapak Hutapea yang telah menikah selama 4,5 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...Saya juga udah pernah diupa tondi sama orang tua saya. Tahun yang lewat atau dua tahun yang lalu kalau gak salah yah! Jadi kami disini itu dikasih makan dengan ikan mas sama orang tua saya dan keluarga saya. Tapi sebelum kami memakan nasi ikan mas yang akan diberikan kami, terlebih dahulu orang tua kami itu mengucapkan kata-kata pengharapanlah biar nantinya dengan diberikannya kami makan dengan ikan mas ini, nantinya kami jadi cepatlah punya anak.”

(22)

yang memang pantas mendapatkan persembahan makanan. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh anak kepada orang tuanya atau mertuanya dengan tujuan mendapatkan berkat dari orang tuanya atau mertuanya sehingga putrinya/menantunya tersebut cepat mendapatkan keturunan (Vergouwen, 1986). Hal ini didukung oleh kutipan hasil wawancara dengan bapak Limbong yang telah menikah selama 9 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...Yah! Saya juga pernah lakuin kayak gini ke mama saya! Biasanya kalau mau lakuin ini saudara kita tuh pada ngumpullah semua! Terus dimasaklah semua nasi dan ikan untuk acara ini! Setelah disiapkan semua dalam satu piring dan sudah didoakan terlebih dahulu barulah nasi sama ikan tadi saya suapkan ke orang tua saya! Tapi sebelum saya suapkan ke orang tua saya, terlebih dulu saya ngomonglah sepatah dua kata sama orang tua saya! Kayak kata-kata pengharapan gitulah dek! Barulah saya kasih! Gunanya katanya biar dapat berkat dari orang tua kita atau bisa juga biar cepat dapat anak.”

(Komunikasi personal, 28 Juni 2012) Kemudian melakukan kegiatan pemberian dondon tua. Dondon tua ini diartikan sebagai dibebani nasib baik. Istilah ini diterapkan kepada benda yang diberikan kepada seseorang. Melalui benda ini diharapkan ada keberuntungan yang berpindah kepada orang yang menerimanya. Kegiatan ini bisa dilakukan kepada wanita yang sudah lama tidak memiliki anak dengan tujuan segera memiliki keturunan (Vergouwen, 1986). Hal ini didukung oleh kutipan hasil wawancara dengan bapak Manalu yang telah menikah selama 5 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...Kalau kami kemaren itu, ulos tersebut dikasi bersamaan ketika kami diupa-upa sama orangtua! Jadi pas kami sudah siap dikasi makan dan sudah diucapkan sepatah dua kata dari orang tua kami barulah ulos tersebut diberikan! Harapannya nanti dengan diberikannya ulos tadi, kami jadi cepat punya anak! Gitu dek!”

(23)

Selain melakukan kegiatan di atas, banyak juga pasangan Batak Toba yang melakukan ziarah ke makam-makam nenek moyang yang sudah lama meningggaldan berkusuk dengan tujuan agar segera memiliki keturunan. Hal ini didukung oleh kutipan hasil wawancara dengan bapak Limbong yang telah menikah 9 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...ziarah pernah juga! Kemaren itu kami ziarah ke kuburan opung saya yang udah lama ninggal. Kami ditemanin sama tulang saya. Terus pas dah sampai di kuburan, kami ngomonglah ke “sahala” opung kalau tujuan kami datang kesitu ingin berziarah dan memohonlah supaya “sahala” opung itu memudahkan jalan bagi kami biar kami cepat punya anak! Terus itu kusuk juga udah sering dilakuin! Itu sih dek.”

(Komunikasi personal, 22 Agustus 2013) Tidak jarang juga ketika melakukan usaha untuk memperoleh keturunan, pasangan mengalami kesulitan/kendala. Adapun kendala/kesulitan yang dialami mungkin kondisi perekonomian yang tidak mencukupi sewaktu akan melakukan usaha untuk memperoleh keturunan. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan bapak Limbong yang telah menikah selama 9 tahun akan tetapi belum memiliki keturunan :

“...Kadang mau berobat ke dokter biaya mahal. Ya terpaksalah karena mahal yah berobat tradisionallah dulu. Ya itulah dulu yang bisa sanggup kan? Kalau mau ke dokter yah tunggu adalah dulu duit.”

(24)

“...Terkadangkan bosan juga yah, berobat ke dokter udah pernah, berobat kampung udah segala macam, ziarah udah, didekkei, sampe disonggot-songgoti pun udah tapi tetap aja juga belum ada hasil, mungkin belum rejekilah kurasa dek.”

(Komunikasi personal, 29 Desember 2013) Meski terdapat berbagai hambatan dan kesulitan dari diri pasangan itu sendiri akan tetapi masih banyak juga pasangan Batak Toba yang belum memiliki keturunan tetap bertahan dalam perkawinan dan terus berupaya mendapatkan keturunan. Berikut merupakan hasil wawancara dengan ibu Sihombing yang telah menikah selama 4,5 tahun :

“...Termotivasi aja untuk terus berusaha! Kenapa pasangan lainnya bisa berhasil punya anak sementara saya gak? Terus juga karnakan dikita orang batak anak itu sangatlah penting. Karena kalau gak ada anak garis keturunan bakalan gak ada yang akan meneruskan! Kemudian juga karena adanya dukungan dari orang orang terdekat yang senantiasa mendukung usaha kami dan juga doa-doa dari orang-orang yang senantiasa mendoakan kami agar kiranya kami dapat segera punya anak! Itu aja sih dek yang membuat kami masih tetap bertahan untuk terus berusaha biar cepat punya anak.”

(Komunikasi personal, 7 Oktober 2012) Dari fenomena di atas dapat dilihat bahwa pasangan-pasangan tersebut mengalami berbagai hambatan dalam berusaha untuk memperoleh keturunan. Akan tetapi hal ini tidak membuat pasangan-pasangan tersebut menjadi putus asa dan berhenti untuk berusaha melainkan tetap gigih dalam melakukan berbagai usaha untuk memperoleh keturunan karena pentingnya nilai anak dalam budaya Batak Toba. Kegigihan didefinisikan oleh Seligman & Peterson (2004) sebagai kelanjutan dari tindakan sukarela yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan meskipun ada hambatan, kesulitan atau keputusasaan. Kegigihan (persistensi)

(25)

Seligman & Peterson (2004). Hill (2000) mengemukakan bahwa kegigihan (persistensi) merupakan faktor penting dalam mewujudkan keinginan (desire) menjadi suatu kenyataan. Dasar dari persistensi adalah kekuatan kehendak (the power of will). Hal yang menjadi penghalang bagi individu bukanlah ketakutan melainkan kebosanan, frustasi, kesulitan dan godaan untuk melakukan sesuatu yang lebih mudah dan menyenangkan (Seligman & Peterson, 2004).

Hill (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa komponen dalam persistensi, yaitu memiliki tujuan yang jelas, keinginan untuk mencapai tujuan tersebut, memiliki self-reliance, memiliki rencana yang terorganisir dan masuk akal, mampu bekerjasama dengan orang lain serta memiliki pemikiran yang terfokus untuk mencapai tujuan. Semua komponen yang dijabarkan tersebut harus dapat diubah menjadi kebiasaan sehingga persistensi dapat dicapai.

Banyaknya hambatan dalam memperoleh keturunan tersebut membuat peneliti menjadi terarik untuk melihat bagaimana persistensi pada pasangan Batak Toba yang infertil dalam memperoleh keturunan.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana persistensi pada pasangan infertil suku Batak Toba dalam berusaha untuk memperoleh keturunan.

C. TUJUAN PENELITIAN

(26)

D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini menjadi sumbangan pemikiran di bidang Psikologi Klinis dalam melihat persistensi pasangan infertil suku Batak Toba dalam memperoleh keturunan.

2. Manfaat Praktis

a.Bagi pasangan yang belum memiliki keturunan, hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi dan dukungan untuk pasangan yang mengalami masalah tersebut dengan memahami bagaimana persistensi pasangan Batak Toba yang infertil dalam memperoleh keturunan. Kemudian hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi penambah motivasi bagi pasangan Batak Toba yang infertil dalam berusaha untuk memperoleh keturunan.

b.Bagi masyarakat pada umumnya, hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi mengenai perlunya memberikan dukungan bagi usaha yang dilakukan oleh pasangan infertil untuk memperoleh keturunan.

(27)

E.SISTEMATIKA PENULISAN

BABI : Pendahuluan

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian.

BAB IV : Hasil Analisa Data

Bab ini menjabarkan hasil dari analisis data dalam bentuk penjelasan yang lebih terperinci dan runtut disertai dengan data yang mendukungnya.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PERSISTENSI 1. Definisi Persistensi

Persistensi merupakan salah satu kekuatan karakter yang dikemukakan oleh Seligman & Peterson (2004). Seligman & Peterson (2004) mendefinisikan persistensi sebagai kelanjutan dari tindakan sukarela yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan meskipun ada hambatan, kesulitan atau keputusasaan. Hill (2000) mengemukakan bahwa persistensi merupakan faktor penting dalam mewujudkan keinginan (desire) menjadi suatu kenyataan. Dasar dari persistensi adalah kekuatan kehendak (the power of will). Hal yang menjadi penghalang bagi individu bukanlah ketakutan melainkan kebosanan, frustasi, kesulitan dan godaan

untuk melakukan sesuatu yang lebih mudah dan menyenangkan (Seligman & Peterson, 2004).

(29)

2. Komponen Persistensi

Menurut Hill (2000) terdapat beberapa komponen dalam persistensi antara lain :

a. Kejelasan tujuan/Definiteness of purpose

Mengetahui tujuan dan apa yang diinginkan secara pasti merupakan langkah pertama dan terpenting dalam mengembangkan persistensi. Tujuan yang jelas merupakan motif yang kuat untuk mendorong seseorang mengatasi berbagai kesulitan.

b. Keinginan/Desire

Desire atau keinginan diperlukan untuk mempertahankan persistensi dalam memperoleh sesuatu yang diinginkan.

c. Self-reliance

Keyakinan diri akan kemampuan melakukan sesuatu yang sudah direncanakan, mendorong dirinya untuk persistensi dalam menjalankan rencana yang sudah direncanakan tersebut.

d. Kejelasan rencana/Definiteness of plans

Rencana yang terorganisir dapat meningkatkan persistensi seseorang. e. Pemahaman akurat/Accurate knowledge

Pengetahuan akurat akan suatu rencana yang telah disusun dapat meningkatkan persistensi.

f. Co-operation

(30)

g. Kekuatan kehendak/Will-power

Kebiasaan untuk berkonsentrasi pada suatu rencana yang sudah direncanakan untuk mencapai suatu tujuan dapat mengarah pada persistensi.

h. Kebiasaan/Habit

Persistensi merupakan hasil dari suatu kebiasaan. Pikiran menyerap pola perilaku dari kebiasaan dan menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari.

3. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Persistensi

Seligman & Peterson (2004) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persistensi yaitu effortful behavior, dukungan sosial dan feedback.

a. Effortful behavior

Menurut teori learned industriousness, individu yang memiliki riwayat mendapatkan reward atas perilaku tinggi untuk berusaha cenderung lebih mengerahkan usaha/upaya yang lebih besar di masa mendatang dibandingkan dengan individu yang memiliki riwayat mendapatkan reward atas perilaku rendah untuk berusaha (Eisenberger dalam Seligman & Peterson, 2004).

(31)

b. Dukungan sosial

Dukungan sosial merupakan salah satu hal yang dapat meningkatkan persistensi. Zaleski (dalam Seligman & Peterson, 2004) menemukan bahwa individu yang memiliki hubungan yang dekat dan suportif lebih dapat bertahan (persist) dan mengerahkan upaya dibandingkan individu yang tidak memiliki

hubungan dekat dan suportif. Vallerand, Fortier dan Guay (dalam Seligman & Peterson, 2004) menjelaskan bahwa self-determination

merupakan tautan yang menghubungkan dukungan sosial dengan persistensi. Dalam penelitiannya dengan anak sekolah, dukungan sosial menimbulkan

self-determination yang akhirnya menimbulkan persistensi yang lebih baik di bidang akademik (diukur dari kecenderungan siswa menyelesaikan sekolah atau putus sekolah) sedangkan penurunan dukungan sosial mengarah pada penurunan

self-determination dan menimbulkan peningkatan kecenderungan siswa putus sekolah.

c. Feedback

Menerima feedback positif berkontribusi dalam meningkatkan persistensi.

Dalam penelitian Kelley, Brownell, dan Campbell (dalam Seligman & Peterson, 2004) menunjukkan bahwa ketika ibu memberi

feedback yang bersifat positif dan korektif kepada anaknya yang berusia 2 tahun, anak tersebut bertahan (persist) lebih lama baik dalam tugas yang mudah ataupun tugas susah.

(32)

evaluasi negatif dari orang lain mengarahkan individu untuk lebih persistensi dalam tugasnya dibandingkan dengan evaluasi positif atau tanpa evaluasi. Mueller dan Dweck (dalam Seligman & Peterson, 2004) menemukan bahwa anak-anak yang dipuji kemampuan intelektualnya setelah kegagalan pertama kurang

persistent dan kurang menikmati tugas yang diberikan kepadanya dibandingkan anak yang dipuji usahanya.

Eisenberger (dalam Seligman & Peterson, 2004) menyatakan bahwa antara

feedback dan persistensi memiliki hubungan liniar dimana penguatan dapat meningkatkan persistensi, tetapi Drucker et al.(dalam Seligman & Peterson, 2004) menemukan hubungan kurvalinear dimana penguatan pada tingkat menengah dapat meningkatkan persistensi dan penguatan pada tingkat tinggi dan rendah mengurangi persistensi.

B. PASANGAN INFERTIL 1. Definisi Pasangan Infertil

(33)

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas maka disimpulkan bahwa pasangan infertil adalah pasangan yang sudah menikah dalam kurun waktu setidaknya satu tahun tanpa menggunakan alat kontrasepsi namun belum terjadi kehamilan.

2. Penyebab Infertilitas

Menurut DeGenova (2005) hampir 40% ketidaksuburan disebabkan oleh masalah pria dan 40% disebabkan karena faktor wanita dan 20% disebabkan oleh faktor lainnya. Hal ini disebabkan adanya sejumlah masalah psikologis dan fisiologis. Untuk mampu membuahi/hamil wanita, lelaki harus :

1.Mampu mempertahankan ereksi untuk mengejekulasi sperma ke dalam vagina

2.Mampu melewati vas deferens dan uretra sehingga sperma dan semen bisa masuk

3.Mengeluarkan semen dalam jumlah yang tepat agar sperma tetap hidup untuk sampai pada ovum.

4. Menghasilkan sperma yang baik dalam jumlah yang cukup.

(34)

Adapun penyebab ketidaksuburan pada wanita diantaranya adalah gangguan organ reproduksi, vaginitis, penyakit menular seksual, gangguan endokrin pada pituitary, tiroid, dan adrenal, penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, gangguan genetik, penyebab immunologis (DeGenova, 2005).

Ketidaksuburan/infertility20% juga disebabkan oleh faktor yang melibatkan kedua pasangan. Faktor negatif meliputi intercourse terlalu sering/tidak, penggunaan protelium jelly atau lubricant lainnya yang merusak sperma,

intercourse yang hanya selama periode infertil setiap bulan dan bertambahnya usia atau kesehatan yang buruk (DeGenova, 2005).

3. Dampak Infertilitas

Infertilitas menyebabkan stresss dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan pria dan wanita. Pasangan seringkali mengalami depresi, rasa bersalah, cemas, ketegangan dalam hubungan dan isolasi selama proses fertility treatment

(DeGenova, 2005). Semakin tinggi stress, semakin rendah self-esteem pasangan

dan kontrol internalnya serta semakin tinggi konflik interpersonal (Abbey, Andrews, dan Halman, 1994). Mereka merasa bahwa mereka telah gagal,

(35)

4. Upaya Medis Untuk Pasangan Infertil

DeGenova (2005) menjelaskan bahwa treatment untuk menghasilkan keturunan tergantung pada penyebabnya. Pembedahan dan hormonal adalah cara yang umum dilakukan. Ada juga pasangan yang dianjurkan dengan metode

fertility kemudian mereka dapat melakukan intercourse ketika kemungkinan besar pihak wanita ovulasi. Jika tidak berhasil pasangan boleh mempertimbangkan metode alternatif lain yang tersedia.

1) Artificial insemination adalah penyuntikan sperma ke dalam vagina atau uterus

wanita untuk tujuan menghasilkan kehamilan (Cushner, 1986).

2) In vitro fertilization (IVF) melibatkan pengeluaran sel telur dari seorang

wanita, membuahi sel telur itu dengan sperma dalam laboratorium, tumbuh selama 3 atau 4 hari dan kemudian menanamkan satu atau lebih blastosit

berikutnya (pre-embrio) pada dinding rahim.

3) Embryo transplant dimana embrio dikembangkan lebih dari 14 hari. Tidak

melibatkan pembedahan, proses transfer dari donor ke resipien dicapai dengan melalui chateter yang dirancang secara special (pipa ke dalam saluran tubuh).

4) Gamete intrafallopian transfer (GIFT), sel telur dan sperma dimasukkan

secara langsung ke dalam tuba fallopi dimana pembuahan normal terjadi.

5) Ovum transfer, dimana donor wanita diinseminasi buatan oleh sperma dari

(36)

C. SUKU BATAK TOBA 1. Batak Toba

Orang Batak adalah salah satu suku dari Bangsa Indonesia yang tinggal di Sumatera Utara. Sumatera adalah pulau terbesar kedua sesudah kalimantan dan terletak diujung barat Indonesia. Orang Batak mendiami dataran tinggi Bukit Barisan sekitar Danau Toba (Nainggolan, 2012).

Suku Batak merupakan etnis keenam terbesar di Indonesia sesudah Jawa, Sunda, Tionghoa-Indonesia, Melayu dan Madura. Pada waktu itu penduduk Indonesia sudah ada sebanyak 237.641.326 jiwa. Suku Batak terdiri atas enam sub-suku yaitu Angkola dan Mandailing di sebelah selatan, Toba di pusat, Dairi/Pakpak di sebelah Barat-laut, Karo di sebelah Utara, dan Simalungun di sebelah Timur-laut (Nainggolan, 2012).

(37)

2. Nilai Anak Dalam Budaya Batak Toba

Harahap & Siahaan (1987) mengemukakan lima nilai peran anak dalam budaya Batak Toba yaitu :

a. Pencapai tujuan hidup yang ideal

Harahap & Siahaan (1987) menyatakan bahwa tujuan hidup yang ideal tercakup dalam nilai 3H yakni hamoraon, hagabeon dan hasangapon. Lubis (1997) menjelaskan bahwa hagabeon sama artinya dengan bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan yang dimaksudkan disini adalah kebahagiaan dalam keturunan. Keturunan dipandang sebagai pemberi harapan hidup karena keturunan itu adalah suatu kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat

Hamoraon (kekayaan) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, dimana kekayaan ini diidentikkan dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak individu tidak akan merasa kaya meskipun banyak harta seperti yang diungkapkan dalam ungkapan; “Anakkonhi do hamoraon diahu” (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya).

Hasangapon (kemuliaan & kehormatan) merupakan kedudukan seseorang dalam lingkungan masyarakat. Untuk mencapai hasangapon seseorang harus terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora). Diantara nilai

(38)

b. Pelengkap Dalihan Na Tolu

Anak juga dapat berperan sebagai pelengkap adat Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak Toba. Ketiga hubungan kekeluargaan itu adalah ;

1. Hula-hula (keluarga dari pihak pemberi istri/wanita) 2. Dongan sabutuha (kawan semarga)

3. Boru (keluarga dari pihak penerima istri/wanita)

Anak laki-laki nantinya akan beristri dan keluarga pihak pemberi istri akan disebut dengan hula hula sedangkan anak perempuan akan bersuami dan keluarga pihak penerima istri akan disebut boru. Dengan demikian lengkaplah unsur

Dalihan Na Tolu yaitu dongan sabutuha, hula hula dan boru

(Harahap & Siahaan, 1987).

c. Penambah ”sahala” orang tua

Anak juga dipandang dapat menambah sahala (wibawa) orang tua. Ph.L.Tobing menyatakan sahala sebagai salah satu aspek dari tondi (roh). Seorang yang memiliki kewibawaan kekayaan dan keturunan adalah orang yang memiliki sahala. Sahala seseorang bertambah bila hal-hal tersebut bertambah (Harahap & Siahaan, 1987).

d. Pewaris harta kekayaan

(39)

e. Penerus garis keturunan (marga)

Anak juga dipandang dapat meneruskan marga dari ayahnya. Marga merupakan asal-mula nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama (Gultom, 1992). Masyarakat umum Batak mengartikan marga sebagai kelompok suku dan suku induk, yang berasal dari rahim yang sama (Vergouwen, 1986). Keyakinan ini disebabkan oleh penetapan struktur garis keturunan mereka yang menganut garis keturunan laki-laki (patrilineal) yang berarti bahwa garis marga orang Batak Toba diteruskan oleh anak laki-laki. Jika orang Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka marga tadi akan punah. Adapun posisi perempuan Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.

3. Dampak Infertilitas Dalam Budaya Batak Toba

Vergouwen (1986) menyatakan ada beberapa dampak yang ditimbulkan apabila dalam sebuah keluarga tidak memiliki keturunan yaitu :

a. Garis keturunan punah

Sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal. Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki dan menjadi punah kalau tidak memiliki anak laki-laki. Laki-laki itulah yang membentuk kelompok kekerabatan; perempuan menciptakan hubungan besan karena ia harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal lainnya.

b. Mengangkat anak (adopsi)

(40)

keturunan laki-laki berarti hidup sengsara di alam baka. Bahkan orang Kristen masih berpikir bahwa tidak ada hal yang lebih buruk selain keadaan yang demikian. Untuk menghindari keadaan seperti itu, biasanya akan mengangkat anak. Mengangkat anak baru bisa mempunyai makna jika ada kemungkinan mendapatkan anak angkat laki-laki yang dapat melanjutkan galur bapak angkat. c. Beristri dua (bigami)

Salah satu alasan mengapa orang mengambil istri kedua ialah karena ia tidak memiliki keturunan, terutama kegagalan mendapatkan anak laki-laki. Mengambil istri kedua karena tidak mendapat anak tidak berarti karena ada persoalan antara suami-istri. Dalam kenyataannya justru istri sendirilah yang sering mendesak suami agar mengambil istri muda dengan harapan akan mendapatkan anak laki-laki, walaupun istri pertama itu mungkin sudah melahirkan tetapi perempuan. d. Bercerai

Penyebab utama berakhirnya suatu perkawinan tampaknya adalah ketidakmampuan seksual/cacat lain yang tak memungkinkan persenggamaan yang lazim. Kemandulan juga menjadi penyebab perceraian. Hal ini biasanya diperkirakan sebagai akibat dari tidak adanya keselarasan antara tondi pasangan sehingga dapat menghalangi lahirnya keturunan.

e. Tidak ada pewaris harta kekayaan

Harta peninggalan orang tua sepenuhnya diwarisi oleh anak laki-laki. Pewarisan menurut garis laki-laki disebut dengan mangihut-ihuton

(41)

tuanya. Anak perempuan dalam hal ini bisa memiliki sebagian dari warisan yang ditinggalkan apabila ia dengan baik-baik meminta kepada saudaranya laki-laki untuk memberikan sebagian dari harta yang diwarisinya. Disaat masih hidup seseorang dapat juga menyisihkan sebagian hak miliknya untuk anak perempuan, selain harta bawaan yang sudah diterimanya. Pemberian bisa diterima pada waktu itu atau dikemudian hari sewaktu anak perempuan itu kawin yakni sebagai

pauseang. Jatah yang diberikan kepada anak perempuan setelah bapaknya meninggal juga disebut dengan parmanomanoan (yang diterima dari yang meninggal sebagai kenang-kenangan).

4. Upaya Tradisional Untuk Pasangan Infertil

Vergouwen (1986) menyatakan ada beberapa cara yang sering dilakukan oleh masyarakat Batak Toba dalam memperoleh keturunan. Berikut adalah upaya tersebut :

1. Suami dan kerabat laki-lakinya akan mendatangi ayah dari pihak istri dan melalui upacara khusus memohon restu kiranya mertuanya sudi memanjatkan doa supaya putri dan menantunya diberi karunia

2. Sombaon

Upacara ini berupa upacara penghormatan kepada leluhur besar yang tertinggi dalam dunia roh yang mendekati kedudukan dewata, dia menjadi sombaon.

(42)

datu dan diikuti dengan tarian-tarian persembahan. Tujuan khusus dari pesta seperti ini ialah karena banyaknya dari keturunannya yang tidak mempunyai anak; mereka ingin memohon kepada leluhur agar melimpahkan “tabung penyimpanan

anak panah yang penuh dengan anak-anak”. 3. Mangupa tondi

Kegiatan mangupa ini bertujuan untuk menguatkan tondi (roh), meningkatkan daya yang bersemayam di dalam dirinya dan untuk memperkuat ikatan antara dia dengan tempat tinggalnya. Jika kegiatan mangupa ini dilakukan kepada wanita yang belum memiliki keturunan maka tujuannnya adalah untuk meningkatkan daya tangkal tondinya (rohnya) terhadap kekuatan animis dan jahat yang sudah mengintipnya dan segera memiliki anak.

4. Manulangi

Kegiatan manulangi ini berupa kegiatan menyuapi yang mana biasanya kegiatan ini ditujukan kepada mereka yang memang pantas mendapatkan persembahan makanan. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh anak kepada orang tuanya atau mertuanya dengan tujuan mendapatkan berkat dari orang tuanya atau mertuanya sehingga putrinya tersebut atau menantunya tersebut cepat mendapatkan keturunan.

5. Pemberian dondon tua.

(43)

bisa dilakukan kepada wanita yang sudah lama tidak memiliki anak dengan tujuan segera memiliki keturunan.

D. PERSISTENSI PADA PASANGAN INFERTIL SUKU BATAK TOBA DALAM MEMPEROLEH KETURUNAN

Kelahiran seorang anak (keturunan) menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam siklus kehidupan. Ini adalah bagian dari tujuan hidup masyarakat Batak Toba yang ideal yakni banyak anak (hagabeon), kaya materi/harta (hamoraon) dan dihormati/dihargai (hasangapon) (Harahap & Siahaan, 1987).

Hagabeon, hamoraon dan hasangapon adalah sesuatu yang sangat didambakan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba (Harahap & Siahaan, 1987). Adapun ungkapan yang sangat terkenal dalam budaya masyarakat Batak Toba adalah “Anakhonhi do hamoraon diahu (anak adalah harta yang paling berharga

dalam diri saya) (Harahap & Siahaan, 1987). Oleh karena itu, meskipun dalam sebuah keluarga Batak Toba sudah memiliki harta/materi yang berkecukupan (hamoraon) dan terhormat/dihargai (hasangapon) akan tetapi belum memiliki banyak keturunan baik itu laki-laki dan perempuan dalam budaya Batak Toba dianggap belum lengkap (gabe) (Harahap & Siahaan, 1987).

(44)

Tidak hanya itu, dengan adanya anak juga dapat melengkapi adat Dalihan Na Tolu. Dimana Dalihan Na Tolu merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak Toba. Ketiga hubungan kekeluargaan itu adalah hula-hula (pihak pemberi istri), dongan sabutuha (kawan semarga)dan boru (pihak penerima istri) (Harahap & Siahaan, 1987).

Dengan adanya anak juga, maka harta warisan yang dimiliki oleh orang tua ada yang mewarisi. Dimana dalam budaya Batak Toba pewaris harta sepenuhnya adalah laki-laki, akan tetapi wanita tetap bisa mewarisi sebagian dari harta warisan apabila saudaranya laki-laki tersebut mau berbagi dengan saudaranya perempuan (Vergouwen, 1986).

Dan yang tidak kalah penting adalah bahwa dengan adanya anak dalam sebuah keluarga dapat meneruskan garis keturunan dalam keluarga. Dimana budaya Batak Toba mengandung sistem patrilineal, dimana anak laki laki yang meneruskan garis keturunan. Untuk itu jika orang Batak Toba tidak memiliki keturunan laki-laki maka garis keturunan/marga tadi akan punah. Adapun posisi perempuan dalam budaya Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan

besankarena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal

yang lain (Vergouwen, 1986).

(45)

keluarganya (Vergouwen, 1986). Yang mana sekarang ini banyak sekali dijumpai pasangan Batak Toba yang sulit untuk memiliki keturunan meskipun telah menikah sekian tahun lamanya dan tidak menggunakan alat kontrasepsi, keadaan inilah yang disebut dengan infertilitas. Keadaan dimana pasangan yang meskipun sudah menikah dalam kurun waktu relatif lama/lebih dari 12 bulan lamanya tanpa menggunakan alat kontrasepsi akan tetapi belum juga memiliki keturunan (Papalia & Olds, 1998).

Maka tidak heran jika seorang suami yang tidak memiliki keturunan baik itu laki-laki maupun perempuan dari seorang istri meminta untuk berpisah (bercerai) dan kemudian itu menikah lagi dengan wanita lain untuk mendapatkan keturunan baik itu laki-laki dan perempuan (Vergouwen, 1986). Dan tidak heran juga jika pasangan yang sulit untuk memiliki keturunan tersebut mendapat ejekan dari lingkungan-lingkungan sekitar dan mengalami perasaan-perasaan negatif akibat dari keadaannya tersebut (DeGenova, 2005).

Tentunya hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pasangan yang mengalami keadaan tersebut. Untuk itu bila dalam sebuah keluarga terdapat pasangan yang belum memiliki keturunan maka pasangan tersebut akan berupaya semaksimal mungkin agar bisa memiliki keturunan. Pasangan akan melakukan apapun demi mendapatkan keturunan agar memiliki generasi penerus, ahli waris harta kekayaan, pencapai tujuan hidup yang ideal, pelengkap adat dalihan na tolu

(46)
(47)

E. PARADIGMA BERPIKIR

Pasangan Infertil dalam budaya Batak Toba

Tantangan bagi pasangan Batak Toba yang infertil

Dibutuhkan persistensidalam memperoleh keturunan

Definiteness of purpose

Accurate knowledge Definiteness of plans

Self-reliance Co-operation Desire Will-power Komponen Persistence Effortfull behavior Feedback Dukungan sosial

Diceraikan Diminta untuk berpisah/melakukan bigami Mendapat Ejekan Mengalami perasaan negatif Pencapai Tujuan Hidup

Ideal yang tercakup dalam nilai3H

Pelengkap Adat Dalihan

Na Tolu

Penambah sahala

orang tua

Pewaris Harta Kekayaan

Penerus Marga Anak Dalam Budaya Batak

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.PENDEKATAN KUALITATIF

Karena begitu banyaknya perilaku manusia yang sulit untuk dikuantifikasikan, dimana penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi, menyebabkan mustahil untuk diukur dan dibakukan, terlebih lagi bila dituangkan dalam satuan numerik maka dari itu penelitian mengenai perilaku manusia biasanya menggunakan penelitian kualitatif. Seperti yang dinyatakan oleh Poerwandari (2007) bahwa salah satu tujuan penting dari penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti yang mana sebagian besar dari aspek psikologi manusia juga sangat sulit untuk direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih “etis”

dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup hanya mencari what dan how much akan tetapi perlu juga untuk memahaminya (why dan how) dalam konteksnya.

Penelitian berikut ini menggunakan metode kualitatif fenomenologis guna untuk menggali dan mengidentifikasikan persistensi pada pasangan infertil suku Batak Toba dalam memperoleh keturunan sesuai dengan pengalaman mereka secara langsung (Moleong, 2010)

(49)

B.RESPONDEN PENELITIAN 1. Karakteristik Responden

Pemilihan subyek dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa karakteristik tertentu antara lain :

a. Pasangan Batak Toba

Pasangan Batak Toba yang dimaksud disini adalah pasangan suami istri yang telah menikah yang tergolong suku Batak Toba.

b. Memenuhi kriteria infertilitas

Pasangan infertil didefinisikan sebagai pasangan yang sudah menikah dalam kurun waktu setidaknya satu tahun atau lebih dan telah melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat kontrasepsi namun belum terjadi kehamilan. Dimana dalam hal ini istri dari pasangan tersebut belum mengalami menopouse.

2. Jumlah Responden Penelitian

(50)

3. Prosedur Pengambilan Responden

Penelitian ini menggunakan prosedur pengambilan subyek penelitian dengan teknik snowball/chain sampling (Poerwandari, 2009). Pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya. Peneliti bertanya pada subyek penelitiannya tentang subyek penelitian atau nara sumber lain yang penting atau harus dihubungi : “apakah anda mengetahui siapa yang dapat kami

hubungi untuk memperoleh informasi tentang?” Dengan bertanya pada orang yang telah diwawancarai mengenai siapa lagi yang dapat memberikan informasi, rantai semakin panjang dan bola salju semakin lama semakin besar.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Medan. Lokasi penelitian tersebut dipilih dengan alasan kemudahan peneliti dalam mendapatkan dan menemui subyek penelitian tersebut.

C.METODE PENGAMBILAN DATA

(51)

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan wawancara mendalam (in depth interview) dengan pedoman umum yang mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam. Poerwandari (2009) menjelaskan bahwa wawancara mendalam dengan pedoman umum merupakan wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal/aspek-aspek tertentu dari kehidupan/pengalaman subjek. Pedoman wawancara berisi “open ended question” yang bertujuan untuk menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian.

D.ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Alat bantu pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan pada saat melakukan wawancara dengan responden penelitian yakni menggunakan alat bantu sebagai berikut.

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

(52)

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara berupa open ended question. Pada pelaksanaannya, pedoman wawancara ini tidak digunakan secara kaku. Tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan hal lain yang masih berhubungan dengan topik penelitian agar wawancara tidak berjalan dengan kaku namun data yang didapatkan lebih lengkap dan akurat.

E.KREDIBILITAS PENELITIAN

Istilah yang pertama dan paling sering digunakan peneliti kualitatif adalah kredibilitas. Kredibilitas menjadi istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep vadilitas, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan

setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2009).

Adapun upaya peneliti untuk meningkatkan kredibilitas penelitian ini antara lain :

1. Memilih subjek penelitian yang sesuai dengan karakteristik.

(53)

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) saat wawancara atau pertemuan berikutnya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat.

4. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data dan strategi analisisnya.

5. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali data untuk menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda

F.PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, penulis melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006) yaitu:

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan infertilitas dan budaya Batak Toba serta menguraikan komponen-komponen yang berhubungan dengan persistensi berdasarkan teori yang relevan.

b. Menyusun pedoman wawancara

(54)

untuk menilai efektifitas pedoman wawancara sekaligus mengecek kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi. Selanjutnya, hasil akhir dari pedoman wawancara yang tersusun dan disetujui oleh dosen pembimbing dapat dibaca pada lampiran. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan karakteristik responden yang telah ditentukan, meminta kesediannya untuk menjadi responden dan mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan calon responden melalui informan yang ada.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

(55)

agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara dalam bentuk transkrip verbatim. Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

d. Melakukan analisa data

(56)

wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip merupakan salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

4. Prosedur Analisis Data

Menurut Poerwandari (2001) proses analisa data adalah sebagai berikut :

a. Organisasi data secara sistematis untuk memperoleh kualitas data yang baik,

mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data dan analisis

yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.

b. Koding dan analisis. Peneliti kemudian menyusun transkripsi verbatim atau

catatan lapangan sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong sebelah kanan

(57)

kontiniu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip. Selanjutnya peneliti

mulai memberi perhatian pada substansi data yang telah dikumpulkan.

c. Pengujian terhadap dugaan. Peneliti akan mempelajari data yang kemudian

akan mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan

sementara. Pengujian terhadap dugaan berkaitan erat dengan upaya

Gambar

Tabel 1. Gambaran Umum Responden Penelitian

Referensi

Dokumen terkait