• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformasi Gelombang Laut Di Pantai Mutiara Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Transformasi Gelombang Laut Di Pantai Mutiara Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

(2)
(3)

Tabel A2. Nilai-nilai Sudut Datang (θi), Sudut Bias (θr), Jarak Ortogonal Antar Lintasan (B1 dan B2), dan Koefisien Refraksi (Kr) dengan Sudut Datang 45o

(4)
(5)

Lanjutan Tabel A2

Lintasan h (m) C1 C2 θi (o) θr (o) B1 (m) B2 (m) Kr

O

2 4,583 4,165 10 9,08 100 93,25 1,0356 1,5 4,165 3,665 18 15,78 93,25 86,52 1,0382 1 3,665 3,039 16 13,21 86,52 77,31 1,0579 0,5 3,039 2,182 18 12,82 77,31 68,84 1,0597

P

1,5 4,165 3,665 15 13,16 98,37 91,25 1,0383 1 3,665 3,039 17 14,03 91,25 59,46 1,2388 0,5 3,039 2,182 22 15,60 59,46 38,52 1,2424

Q

(6)

Tabel A3. Nilai-nilai Sudut Datang (θi), Sudut Bias (θr), Jarak Ortogonal Antar Lintasan (B1 dan B2), dan Koefisien Refraksi (Kr) dengan Sudut Datang 90o

(7)
(8)

FOTO DOKUMENTASI

1 set alat Topcon Hiper Pro RTK Pengukuran di Pantai Mutiara

Titik BM dan Rover

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Akhir, Birhami. 2012, Lintasan Gelombang Laut Menuju Pelabuhan Pulau Baai di Provinsi Bengkulu, Tugas Akhir Program S1 Teknik Sipil, Universitas Andalas.

Baihaqi, Martin M. 2011, Membuat Proyeksi Peta Dengan Global Mapper, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Departemen of Army, 1984, Shore Protection Manual Volume 1, Washington DC, US Army Corps Engineers, Coastal Engineering Research Center.

Kramadibrata, Soedjono. Perancanaan Pelabuhan, Bandung: Ganeca Exact Bandung.

Lolong, M, 1998, Perumusan Karakteristik Gelombang Perairan Lemahabang Jawa Tengah, Tesis Master di Jurusan Teknik Sipil ITB.

Mera, Mas. 2011, Proses Pantai, Catatan Kuliah Program Magister Teknik Sipil, Universitas Andalas.

Mera, Mas. 2014, Pengantar Mekanika Gelombang Air, Catatan Kuliah Program Magister Teknik Sipil, Universitas Andalas.

Pratikto, W, A, dkk. 1997, Perencanaan Fasilitas Pantai dan Laut, Surabaya: BPFE Surabaya.

Samulano, Itto, Mas Mera. 2011, Refraksi dan Difraksi Gelombang Laut di Daerah Dekat Pantai Pariaman, Jurnal Rekayasa Sipil, Universitas Andalas.

Subagio, Triono, dkk. 2011, Belajar AutoCAD Itu Mudah, Yogyakarta: Andi Offset.

Tarigan, A, P, M, Zein, A,S, 2005, Analisa Refraksi Gelombang Pada Pantai, Jurnal Teknik Simetrika Vol 4 No. 2 345- 351.

Triatmodjo, Bambang. 1999, Teknik Pantai, Yogyakarta: Beta Offset.

(10)

BABI III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi yang digunakan pada penelitian ini dapat digambarkan pada diagram alir dalam Gambar 3.1 yang terdiri dari: mengumpulkan literatur, mengumpulkan data sekunder, mengolah data, menentukan profil tinggi gelombang dan menggambar arah lintasan gelombang.

Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian Mulai

Mengumpulkan Literatur

Mengumpulkan Data 1. Data angin

2 P b i ik Mengolah Data

1. Menentukan parameter-parameter gelombang berdasarkan hasil perhitungan fetch.

2. Menentukan penjalaran gelombang laut dalam dengan menggunakan persamaan dispersi.

3 Menentukan parameter parameter transformasi gelombang

1. Menggambar arah lintasan gelombang 2. Menentukan profil tinggi gelombang

(11)

3.1 Mengumpulkan Literatur

Pada tahap ini, literatur-literatur yang berhubungan dengan proses penentukan profil tinggi gelombang dikumpulkan seperti teori gelombang linear, transformasi gelombang (refraksi dan shoaling) dan teori gelombang yang dibangkitkan oleh angin.

3.2 Mengumpulan Data-data

Data yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah peta batimetri dan data kecepatan beserta arah angin.

3.3 Mengolah Data

Data-data yang diperoleh dari lapangan dan kepustakaan yang bersesuaian dengan pokok bahasan, disusun dengan sistematis dan logis dan dilakukan pengolahan data yaitu batimetri, kecepatan dan arah angin diolah untuk peramalan gelombang dan penjalaran gelombang.

3.3.1 Menentukan Fetch

Perhitungan fetch terdiri dari perhitungan, penentukan panjang efektif fetch dan sudut datang gelombang.

Perhitungan panjang fetch efektif dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menentukan titik tinjau yang akan ditentukan fetch efektifnya

(12)

c. Jika sepanjang garis busur dihalangi oleh pulau, maka diproyeksikan terhadap garis lurus sejajar pantai sesuai denganskala peta yang dipakai.

d. Hitung fetch efektif dengan persamaan (3.1):

Feff = �� cos�

Σcos� (3.1)

di mana

Feff = fetch rata-rata efektif.

Xi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch.

α = deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan pertambahan

6o sampai sudut sebesar 42o pada kedua sisi dari arah angin.

Sedangkan sudut datang gelombang berjumlah 3 variasi yaitu sudut 0o, 45o, 90o yang mengacu ke arah Utara dan berputar (rotasi) ke arah Timur.

3.3.2 Peta Batimetri

Peta batimetri diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung di lokasi pantai Mutiara, dengan menggunakan 1 set alat Topcon Hiper Pro RTK yang terdiri dari Base dan Rover, FC 200 ,Tripod, stik jalon dan meteran. Peta batimetri ini nantinya dapat peroleh dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menentukan titik Base Mark (BM) di suatu tempat di sekitar lokasi pengukuran, dimana nantinya alat Base akan di set.

(13)

3. Alat base, rover dan Fc 200 di hidupkan. Aplikasi yang digunakan pada Fc 200 adalah Topsurv.

4. Sambungkan Fc 200 ke Base, buka aplikasi topsurv dan lakukan pengaturan pada titik base dahulu, kemudian sambungkan Fc 200 ke Rover dan alat sudah bisa digunakan.

5. Pengukuran dilakukan pada titik di sekitar garis pantai dan dilanjutkan dengan mengukur kedalaman laut tegak lurus terhadap garis pantai.

6. Data hasil dari pengukuran tadi disimpan, kemudian diolah menggunakan aplikasi Google Earth, Global Mapper, Map Info dan AutoCad sehingga diperoleh nantinya peta batimetri Pantai Mutiara.

3.3.3 Menentukan Periode dan Tinggi Gelombang Laut Dalam

Tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan dipengaruhi oleh kecepatan angin (U), lama hembusan angin (D), fetch (F) dan arah angin. Pada umumnya pengukuran angin dilakukan di daratan, sedangkan di dalam rumus- rumus pembangkitan gelombang, data angin yang digunakan adalah yang ada di atas permukaan laut. Oleh karena itu diperlukan transformasi data angin di atas daratan (yang terdekat dengan lokasi studi) ke data angin di atas permukaan laut (Triadmodjo, 1999). Hubungan antara angin di atas laut dan angin di atas daratan terdekat diberikan oleh persamaan berikut:

RL =

(3.2)

Di mana

UL = Kecepatan angin yang diukur di darat (m/dt); Uw = Kecepatan angin di laut (m/dt);

(14)

Nilai UA dan fetch digunakan untuk menghitung besarnya gelombang dan periode gelombang yang terjadi. Peramalan gelombang yang ditentukan dengan menggunakan Grafik Peramalan Gelombang.

3.3.4 Menentukan Kecepatan dan Panjang Gelombang Laut Dalam

Kecepatan dan panjang gelombang laut dalam dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan dispersi yang diekspresikan oleh persamaan (3.3).

ω = gk tanh kh (3.3)

Jika persamaan dispersi (3.3) dibagi dengan k2 diperoleh: ω2

Sehingga persamaan (3.4) dapat ditulis menjadi: C2 = �

����ℎ �ℎ (3.5) Subsitusikan C = L/T dan k = 2π/k ke persamaan (3.5) diperoleh:

C2 =��

3.3.5 Menentukan Parameter-Parameter Transformasi Gelombang

(15)

hukum Snellius pada persamaan 3.9 dan menentukan koefisien refraksi dengan menggunakan persamaan 3.11, sedangkan pendangkalan (shoaling) hanya menentukan koefisien pendangkalan (Ks) yang menggunakan persamaan 3.8.

Ks =

� = �

����

�� (3.8)

��� �1 �1

= ��� �2 �2

(3.9)

H = Ho Ks Kr (3.10)

Kr = ��1

2

(3.11)

3.4 Menggambarkan Arah Lintasan Gelombang.

Mengambar arah lintasan gelombang ini berdasarkan Hukum Snellius di mana sudut datang (α) dan kecepatan gelombang (C) telah diketahui, sehingga diperoleh nilai koefisien refraksi (Kr).

3.5 Menentukan Tinggi Gelombang Pecah

(16)

BAB IV

PERHITUNGAN DAN ANALISIS 4.1 Gambaran Umum Lokasi

Daerah pantai Cermin terletak di kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai yang terletak pada posisi 20 57” Lintang Utara, 30 16” Lintang Selatan, 980 33” Bujur Timur, 990 27” Bujur Barat dengan luas wilayah 1.900,22 km2. Dengan ketinggian wilayah 0-500 meter dari permukaan laut. Secara administratif Kabupaten Serdang Bedagai berbatasan dengan beberapa daerah, yaitu :

• Sebelah Utara : Selat Malaka

• Sebelah Timur : Kabupaten Batu Bara dan Simalungun

• Sebelah Selatan : Kabupaten Simalungun

• Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki banyak potensi di daerah pesisir pantai nya, salah satunya adalah pesisir Pantai Mutiara. Pantai Mutiara berada di Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin sekitar 43 Km dari Kota Medan Kabupaten Serdang Bedagai yang terletak pada posisi 2° 57”- 3° 16” Lintang Utara, 98° 33” Bujur Timur, 99° 27” Bujur Barat Sumatera Utara.

(17)

dinamika pantainya, disamping perubahan yang diakibatkan oleh dinamika alami pesisir dan laut. Adapun pencitraan satelit lokasi Pantai Mutiara dapat dilihat seperti pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Pencitraan satelit Pantai Mutiara, SUMUT (GMap Catcher)

4.2 Peramalan Pembangkitan Gelombang

Peramalan pembangkitan gelombang (wave generation) yang disebabkan oleh hembusan angin, ditentukan berdasarkan atas panjang fetch efektif, sudut datang gelombang dan parameter gelombang.

4.2.1. Panjang Fetch Efektif

Fetch efektif berguna untuk meramalkan parameter gelombang berupa tinggi

gelombang dan periode gelombang. Pengukuran fetch efektif dilakukan pada satu titik tinjau yang berada di garis pantai. Hasil perhitungan panjang fetch efektif dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Hasil perhitungan panjang fetch efektif Pantai Mutiara

(18)

α (o

) cos α Xi (km) Xi cos α (km) 42 0,74 437,675 325,2362925 36 0,80 388,875 314,599875 30 0,86 350,75 303,7495 24 0,91 300,425 274,4382375 18 0,95 308,05 292,986355 12 0,97 280,6 274,45486

6 0,99 225,7 224,45865 0 1 215,025 215,025 6 0,99 217,465 216,2689425 12 0,97 218,533 213,7466383 18 0,95 208,925 198,7085675 24 0,91 198,25 181,101375 30 0,86 201,3 174,3258 36 0,80 193,675 156,683075 42 0,74 208,925 155,2521675 Total 13,5 3521,035336

Feff = ������ � � ��� � =

3521 ,03

13,5 = 260,61 km

Jika panjang fetch efektif ini dikonversikan ke satuan mil laut (nautical mile) dengan 1 km = 0,539957 mil laut.

Feff = 260,61 km x 0,539957 mil laut

1 km = 140,73 mil laut

Fetch lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 4.3

Gambar 4.2 Peta fetch Pantai Mutiara (GMap Catcher)

183 km

(19)

4.2.2. Batimetri

Peta batimetri pantai Mutiara berguna untuk meramalkan arah dari gelombang laut yang menuju ke garis pantai berdasarkan sudut datang gelombang

(θ), kecepatan angin (C) dan koefisien refraksi (Kr). Peta batimetri ini diperoleh

dari pengolahan data hasil pengukuran alat RTK Topcon dengan menggunakan aplikasi Google Earth, Global Mapper, Map Info dan AutoCad. Langkah-langkah pengolahan data mentah hingga menjadi peta batimetri adalah sebagai berikut:

1. Data berupa koordinat titik X,Y dan kedalaman yang disimpan dalam format notepad di pindahkan ke Excel 2007, dirapikan dan disimpan kembali dalam format notepad.

2. Buka aplikasi Global Mapper, klik file > open data tadi dan akan tampil tab pilihan dibawah ini, lalu ok.

Gambar 4.3 Membuka data (Global Mapper)

3. Klik file > open data tadi lagi, tapi pada pilihan import type, ganti jadi pilihan kedua. Ulangi lagi untuk pilihan ketiga.

(20)

Gambar 4.4 Pengaturan kontur (Global Mapper)

5. Setelah selesai, export data dalam format map info dengan cara klik file > export vektor data ke format Map Info TAB/MAP.

6. Buka apikasi Map Info, open file tadi, kemudian export ke format Cad agar data bisa diolah dalam aplikasi Autocad sehingga dapat diperoleh peta batimetri Pantai Mutiara seperti gambar dibawah ini.

(21)

4.2.2 Kecepatan Angin

Kecepatan angin diperoleh dari data angin sebagai berikut: Tabel 4.2 Data Kejadian Angin

Bulan

Tahun 2014 Kecepatan

(m/s) Arah

Januari 3,2 NW

Februari 3,53 N

Maret 3,5 N

April 3,25 N

Mei 2,9 N

Juni 3,15 NE

Juli 2,75 NE

Agustus 2,85 SE September 2,9 CALM

Oktober 2,9 N

November 2,7 W

Desember 2,4 W

Sumber : Stasiun Klimatologi Sampali Medan 4.2.2.1 Perhitungan Gelombang Signifikan dan Periode

1. Contoh : Tahun 2014 pada arah Utara kecepatan angin maksimal 3,53 m/s. 2. Dihitung kecepatan angin di laut dengan menggunakan grafik hubungan antara

kecepatan angin di laut dan di darat.

Gambar 4.6 Grafik hubungan antara kecepatan angin di laut dan di darat. RL = 1,56

(22)

Dari grafik didapat nilai RL = 1,56 Uw = UL x RL

= 3,53 x 1,56 = 5,5 m/dtk 3. Menghitung nilai U

A dengan rumus:

UA = 0,71 x Uw1,23 = 0,71 x 5,51,23 = 5,79 m/dtk

4. Dari nilai UA dan Fetch yang didapat, tinggi dan periode gelombang dapat dicari dengan menggunakan Grafik Peramalan Gelombang sebagai berikut:

(23)

Dari hubungan nilai UA dan Fetch pada grafik diatas, tidak didapatkan hasil Durasi (jam), Tinggi (m) dan Periode (detik) yang diharapkan karena melebihi kondisi maksimum pada grafik Peramalan Gelombang. Oleh karena itu, berdasarkan nilai UA = 5,79 m/det, didapat pada kondisi maksimum:

Tinggi (H) = 0,8 m Periode (T) = 4,75 det

4.3 Penjalaran Gelombang Laut Dalam

Persamaan dispersi dapat menentukan penjalaran gelombang yang datang dari laut dalam. Penjalaran gelombang dari laut dalam ini mempunyai gerak yang lebih teratur karena tidak ada lagi pengaruh angin.

Lo = ��2

2�

Lo =

9,81 (4,75)2 2(3,14)

L o = 35,25 m

dimana nilai kecepatan gravitasi (g) = 9,81 m/s2 dan konstanta π = 3,14. Dengan persamaan (2.33) didapat nilai kecepatan gelombang laut dalam:

Co = ��

2� = ��

Co =

35,25

4,75 = 7,42 m/s

4.4 Transformasi Gelombang

(24)

Persamaan dispersi untuk laut transisi pada persamaan (2.27) memerlukan analisis numerik untuk menyelesaikan persamaan tersebut untuk mendapatkan parameter panjang gelombang (L) pada tiap-tiap kedalaman tertentu. Analisis numerik yang dapat digunakan adalah persamaan Newton-Raphson (Mera, 2011).

ω2

= gk tanh (kh)

�2

� = k tanh kh (4.1) Dengan menambahkan parameter tinggi (h) pada masing-masing ruas persamaan (4.1) menjadi:

�2

� = (kh) tanh (kh) (4.2) Persamaan di atas menjadi persamaan fungsi dan untuk menyelesaikan persamaan tersebut digunakan persamaan Newton-Raphson.

kh = (kh) - f(kh)/ f’(kh)

f(kh) = (kh) tanh (kh) - �2ℎ

� (4.3) fungsi di atas atau persamaan (4.3) diturunkan terhadap kh.

f’ (kh)= tanh (kh) + (�ℎ)

���ℎ2�ℎ (4.4) dengan melakukan iterasi, akan didapatkan nilai k baru.

k = kh / h (4.5)

nilai error didapat dari selisih nilai k awal dengan nilai k setelah proses iterasi. e = k(a) – k(b) (4.6) Masukkan nilai frekuensi sudut (ω), percepatan gravitasi (g) dan kedalaman yang

diketahui (h).

ω = 2π/4,75 = 1,322 s-1

(25)

h = 4 m

iterasi 1: k(a) = 1 ; kh = 4 f (kh) = 4 tanh (4) – 0,713 f (kh) = 3,28

f’(kh) = tanh (4)+ 4

cosh2 (4)

f’(kh) = 1

kh = �ℎ − f(kh )

f′(kh ) = 0,73

k(b) = kh/h = 0,73/4 = 0,183

e = k(a) – k(b) = 1 – 0,183 = 0,817 iterasi 2: k(b)= 0,183 ; kh = 0,730

f (kh) = 0,730 tanh (0,730) – 0,413 f (kh ) = -0,257

f’(kh) = tanh (0,730)+ 0,730

cosh2 (0,730)

f’(kh) = 1,07

kh = �ℎ − f(kh )

f′(kh ) = 0,971

k(c)= kh/h = 0,971/4 = 0,242

e = k(b) – k(c) = 0,183 – 0,242 = -0,060 iterasi 3: k(c) = 0,242 ; kh = 0,971

f (kh) = 0,971 tanh (0,971) – 0,712 f (kh ) = 0,015

f’(kh) = tanh (0,971) + 0,971

cosh2 (0,971)

(26)

kh = �ℎ − f(kh )

Apabila nilai error (e) dari proses iterasi di atas sama dengan nol, maka proses iterasi dicukupkan. Dengan demikian nilai bilangan gelombang (k) untuk kedalaman (h) = 4 m adalah 0,239. Untuk kedalaman 4 meter dan kedalaman selanjutnya proses perhitungan iterasi dihitung pada Tabel 4.3.

(27)

Lanjutan Tabel 4.3 0,31824 0,63648 0,00166 0,99759 0,63482 0,31741 0,00083 0,31741 0,63482 1,2E-06 0,99613 0,63482 0,31741 0

1,5 0,2672725

1 1,5 1,09045 1,17621 0,57291 0,38194 0,618059

0,38194 0,57291 0,02921 0,93698 0,54174 0,36116 0,02078 0,36116 0,54174 0,00051 0,90368 0,54117 0,36078 0,000378 0,36078 0,54117 1,8E-07 0,90305 0,54117 0,36078 0

1 0,1781817

1 1 0,58341 1,18157 0,50624 0,50624 0,493761 0,50624 0,50624 0,05824 0,86284 0,43874 0,43874 0,067494 0,43874 0,43874 0,00285 0,77666 0,43508 0,43508 0,003664 0,43508 0,43508 9,1E-06 0,77166 0,43507 0,43507 0

0,5 0,0890908

1 0,5 0,14197 0,85534 0,33402 0,66804 0,331956 0,66804 0,33402 0,01851 0,62149 0,30424 0,60849 0,059559 0,60849 0,30424 0,00072 0,57292 0,30299 0,60598 0,002509 0,60598 0,30299 1,3E-06 0,57084 0,30299 0,60597 0

Kecepatan gelombang (C), panjang gelombang (L) dan pengklasifikasian gelombang berdasarkan kedalaman ditabelkan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil perhitungan kecepatan gelombang (C), panjang gelombang (L) dan pengklasifikasian gelombang.

(28)

Berdasarkan persamaan:

C2 = ���

2π���ℎ 2πℎ

(4.7)

terlihat bahwa kecepatan gelombang (C) tergantung pada kedalaman air (h) dimana gelombang tersebut merambat. Jika kecepatan gelombang berkurang, panjang gelombang (L) akan ikut berkurang secara sebanding. Pada proses refraksi energy flux di antara dua lintasan gelombang (wave rays) adalah tetap. Jalur gelombang (wave ray) adalah garis normal (tegak lurus) pada puncak gelombang. (Yuwono,1982).

Pembuatan diagram refraksi dapat menggunakan hukum Snellius dimana sudut datang jalur gelombang akan dibiaskan apabila melewati kedalaman yang akan ditinjau. Paramater-parameter pada hukum Snellius meliputi kecepatan rambat gelombang datang (C1) dan gelombang bias (C2), serta sudut datang

gelombang (θi). Pembuatan diagram refraksi di-plot menggunakan software

AutoCAD 2002.

Langkah-langkah pembuatan diagram refraksi dengan menggunakan software AutoCAD 2002:

1. Peta batimetri yang diperoleh dari pengolahan data hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan software Global Mapper dan Map Info, di export ke format CAD sehingga peta batimetri bisa digunakan dalam proses analisis dan pembuatan diagram refraksi dalam software AutoCAD 2002. 2. Memusatkan objek pembuatan diagram refraksi di depan garis pantai dengan

luas daerah pada peta adalah 1500 m x 1500 m.

(29)

mengacu ke arah utara dan berputar (rotasi) ke arah timur. Nilai-nilai sudut datang gelombang sebesar 0o , 45o,dan 90o.

4. Untuk masing-masing sudut datang dibuatkan diagram refraksinya dan untuk setiap wave ray diberi penomoran.

5. Sudut datang gelombang pada kontur awal dicatat untuk selanjutnya diolah di Ms. Excell. Pada Ms. Excell dicari nilai sudut bias dengan menggunakan hukum Snellius .

6. Hasil sudut bias kemudian di-plot di AutoCAD 2002.

7. Pada kontur selanjutnya diulangi kembali langkah no.6 dan no.7

8. Pada wave ray selanjutnya proses sama dengan wave ray sebelumnya (langkah no 6,7 dan 8).

Persamaan hukum Snellius untuk sudut datang gelombang sebesar 0o, wave ray A pada kontur pertama (h = 4 m):

Koefisien refraksi adalah akar perbandingan antara jarak ortogonal antar wave ray sebelum dibiaskan dengan sesudah dibiaskan.

Kr = ��1 �2

Kr = �

(30)

Untuk sudut datang gelombang (θi), sudut bias gelombang (θr), jarak ortogonal antar lintasan gelombang dan koefisien refraksi untuk masing-masing sudut datang 0o , 45o,dan 90o selanjutnya ditabelkan pada Lampiran A1, A2 dan A3.

Koefisien pendangkalan (Ks) merupakan fungsi antara kedalaman laut (h) dengan panjang gelombang (L).

Ks = �

noLo

nL

Nilai asimtot (n) merupakan perbandingan kecepatan grup (group celerity) dengan kecepatan gelombang (C). Faktor transimisi n merupakan asimtot fungsi dari panjang gelombang (L) dan kedalaman (h).

Nilai no untuk laut dalam/ transisi dan laut dangkal = 0,5 dan 1

n = Cg

Untuk kedalaman 3,5 meter dan kedalaman selanjutnya, nilai Koefisien Pendangkalan (Ks) dan Faktor Asimtot (n) dapat dilihat pada Tabel 4.5.

(31)

4.5 Analisis Lintasan Gelombang di Pantai Mutiara

4.5.1. Simulasi Lintasan Gelombang dengan sudut datang -30o dan 30o

Gambar 4.8 Simulasi lintasan gelombang dengan sudut datang -30o dan 30o

4.5.2. Analisis Lintasan Gelombang dengan Sudut Datang 0o (Utara)

(32)

Terlihat pada Gambar 4.9 Lintasan gelombang A, B, C dan D yang melewati kedalaman 4 m telah mengalami pembelokan (refraksi) karena sudut datang gelombang yang tidak tegak lurus terhadap garis kontur.. Lintasan gelombang yang melewati kedalaman 3,5 m dan yang lebih dangkal, efek refraksi semakin jelas terlihat. Misalnya lintasan gelombang H, I, J, K dan L yang merapat satu sama lain. Hal ini berarti terjadi pegumpulan energi gelombang yang disebut dengan konvergen energi gelombang dimana energi gelombang pada daerah itu membesar, akibatnya tinggi gelombang juga semakin tinggi karena tinggi gelombang berbanding lurus dengan energinya.

(33)

4.5.3. Analisis Lintasan Gelombang dengan Sudut Datang 45o (Timur Laut)

Gambar 4.10 Lintasan gelombang dengan sudut datang 45o

(34)

Sedangkan lintasan J sampai K tidak menampakkan pembelokan gelombang yang disebabkan oleh sudut datang gelombang yang tegak lurus dengan kontur .

Lintasan gelombang A, B, C dan D tampak merenggang satu sama lain (divergen energi gelombang) sehingga tinggi gelombang semakin rendah. Pada lintasan gelombang L, M, N, O, P dan Q tampak merapat (konvergen energi gelombang) sehingga tinggi gelombang membesar. Bila ditarik garis lurus sejajar pantai, maka akan tampak bahwa arah lintasan gelombang sebagian bergerak ke sisi kiri dan sisi kanan garis pantai.

4.5.4. Analisis Lintasan Gelombang dengan Sudut Datang 90o (Timur)

(35)

Sama seperti Gambar 4.9, pada Gambar 4.11 lintasan gelombang A, B, C dan D yang melewati kontur kedalaman 4 m menampakkan lintasan-lintasan tersebut berbelok (refraksi). Pada kedalaman 3,5 m dan seterusnya semua lintasan gelombang juga menampakkan lintasan gelombang yang mulai berbelok yang juga disebabkan oleh sudut datang gelombang yang tidak tegak lurus dengan kontur. Lintasan gelombang A, B, I, J, K dan L menunjukkan hal yang sama pada lintasan-lintasan gelombang yang ada pada lintasan gelombang dengan sudut datang 0o (konvergen energi gelombang) sehingga tinggi gelombang semakin tinggi. Pada lintasan gelombang B, C, D, E, F dan G juga menunjukkan hal yang sama pada lintasan-lintasan gelombang yang ada pada lintasan gelombang dengan sudut datang sebelumya (divergen energi gelombang) sehingga tinggi gelombang mengecil. Bila ditarik garis lurus sejajar pantai, maka akan tampak bahwa arah lintasan gelombang bergerak ke sisi kiri garis pantai.

4.6 Tinggi Gelombang Pecah

Akibat dari transformasi gelombang dalam perambatannya dari perairan laut dalam maka tinggi gelombang di suatu perairan dapat ditentukan dengan persamaan (2.30).

H = Ho Ks Kr

(36)

Tabel 4.6 Seleksi informasi dari skala beaufrot (The Open University, 1994 pada Supangat dan Susanna, 2001).

Pada lintasan A dengan kedalaman 4 meter dan arah sudut datang sebesar 0o tinggi gelombang pecah adalah:

H = Ho Ks Kr

H = (1) (0,9237) (0,988) H = 0,912 m

Untuk wave ray, koefisien refraksi (Kr), koefisien pendangkalan (Ks) dan tinggi gelombang pecah (H) selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 4.7, 4.8 dan 4.9. Sedangkan gambar lintasan gelombang dan arah gelombang dapat dilihat dari Gambar 4.9 sampai dengan Gambar 4.11.

(37)

(Ho = 1 m) pada sudut datang 0o

(38)

(Ho = 1 m) pada sudut datang 45o

(39)
(40)

Dari perhitungan tinggi gelombang pecah (Tabel 4.7, 4.8 dan 4.9) tersebut diperoleh tinggi gelombang maksimum sebesar 1,635 meter, yang berada pada lintasan gelombang A pada kedalaman 1 meter dengan arah sudut datang gelombang 90o dan tinggi gelombang minimum sebesar 0,871 m pada lintasan G pada kedalaman 3 m dengan arah sudut datang gelombang 90o. Dari perhitungan tinggi gelombang tersebut juga diperoleh nilai H pada kedalaman awal di laut transisi lebih kecil dari Ho. Hal ini adalah hal yang pasti karena tinggi gelombang akan rendah dahulu sebelum naik apabila mendekati garis pantai ataupun daerah yang dangkal. Tinggi gelombang yang akan mendekati garis pantai akan semakin besar karena efek shoaling akan bertambah besar seiring dengan berkurangnya kedalaman. Tinggi gelombang maksimum lebih kecil dari 3 meter sehingga tidak diperlukan pembuatan breakwater.

Berdasarkan dari beberapa simulasi arah lintasan gelombang diatas dapat kita ketahui bahwa nilai koefisien refraksi (Kr) berpengaruh pada nilai sudut datang

(θi) dan sudut bias (θr). Nilai koefisien refraksi (Kr) semakin mengecil jika

(41)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan data angin (kecepatan dan arah) dan fetch diperoleh tinggi gelombang laut dalam 0,8 meter dengan periode 4,75 detik. Panjang gelombang laut dalam (Lo) 35,25 meter dan kecepatan gelombang laut dalam (Co) 7,42 meter/sekon.

Hasil simulasi dengan tiga sudut datang yang berbeda (0o, 45o, dan 90o) diperoleh tinggi gelombang pecah maksimum sebesar 1,635 meter dan tinggi gelombang pecah minimum sebesar 0,871 meter. Tinggi gelombang maksimum lebih kecil dari 3 meter sehingga tidak diperlukan pembuatan breakwater. Dari perhitungan tinggi gelombang tersebut juga diperoleh nilai H pada kedalaman awal di laut transisi lebih kecil dari Ho. Hal ini adalah hal yang pasti karena tinggi gelombang akan rendah dahulu sebelum naik apabila mendekati garis pantai ataupun daerah yang dangkal. Tinggi gelombang yang akan mendekati garis pantai akan semakin besar karena efek shoaling akan bertambah besar seiring dengan berkurangnya kedalaman.

5.2 Saran

(42)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pantai

Pantai (shores) adalah daerah yang berada di tepi perairan (laut atau danau) yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan surut terendah. Daerah pantai adalah suatu pesisir beserta perairannya dimana daerah tersebut masih dipengaruhi aktivitas darat atau laut. Pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih dipengaruhi oleh pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Garis pantai adalah garis pertemuan antara daerah darat dan air laut, dimana letaknya tidak tetap dan dapat berpindah-pindah sewaktu-waktu sesuai dengan pasang-surut air laut dan erosi-akresi pantai yang terjadi. Terminologi umum pantai menurut Coastal Engineering Research Center (CERC, 1984) dapat dilihat pada Gambar

2.1.

Gambar 2.1 Terminologi umum pantai (CERC, 1984)

(43)

Breaker zone adalah daerah dimana kondisi gelombang mengalami

ketidak-stabilan dan kemudian pecah. Surf zone adalah daerah antara bagian dalam dari gelombang pecah dan batas naik-turunnya gelombang di pantai. Pantai yang landai mempunyai surf zone yang lebar. Swash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai (Triatmodjo, 1999).

2.1.1 Bentuk Pantai

Penyesuaian bentuk pantai merupakan tanggapan yang dinamis alami pantai terhadap laut. Proses dinamis pantai sangat dipengaruhi oleh littoral transport, yang didefinisikan sebagai gerak sedimen di daerah dekat pantai

(44)

Gambar 2.2 Proses pembentukan pantai (Triatmodjo, 1999)

(45)

Pantai berlumpur terjadi di daerah pantai dimana terdapat banyak muara sungai yang membawa sedimen suspensi dalam jumlah besar ke laut. Selain itu kondisi gelombang di pantai tersebut relatif tenang sehingga tidak mampu membawa sedimen tersebut ke perairan dalam laut lepas.

2.1.2 Sifat-Sifat Sedimen Pantai

Sedimen pantai bisa berasal dari erosi garis pantai itu sendiri, dari daratan yang dibawa oleh sungai dan / atau dari laut dalam yang terbawa arus ke daerah pantai. Sifat-sifat tersebut adalah ukuran partikel dan distribusi butir sedimen, rapat massa, bentuk, kecepatan endap, tahanan terhadap erosi.

1. Ukuran Partikel Sedimen

Sedimen pantai diklasifikasikan berdasarkan ukuran butir menjadi lempung, lumpur, pasir, kerikil, koral (pebble) dan batu (boulder). Ukuran butir median D50 adalah paling banyak digunakan untuk ukuran butir basir. D50 adalah ukuran butir dimana 50% dari berat sampel.

2. Rapat Massa, Berat Jenis dan Rapat Relatif

Rapat massa ρ adalah massa tiap satuan volume, sedang berat jenis γ

adalah berat tiap satuan volume. Terhadap hubungan antar berat jenis dan rapat massa, yang membentuk γ = ρ g. Rapat massa atau berat jenis sedimen merupakan fungsi dari komposisi mineral. Rapat relatif adalah perbandingan antara rapat massa suatu zat dengan rapat massa air pada 4o. Rapat massa air pada temperatur tersebut adalah 1000 kg/m3 dan rapat relatif pasir adalah sekitar 2,65.

3. Kecepatan Endap

(46)

2.1.3 Transpor Sedimen Pantai

Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Transpor sedimen dibedakan menjadi 2 macam yaitu : transpor menuju dan meninggalkan pantai (onshore-offshore transport) yang mempunyai arah rata-rata tegak lurus garis pantai, sedangkan transpor sepanjang pantai (longshore transport) mempunyai arah rata-rata sejajar pantai.

Sifat-sifat sedimen pantai dapat mempengaruhi laju transpor sedimen di sepanjang pantai.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju sedimen antara lain :

a. Karakteristik material sedimen (distribusi dan gradasi butir, kohesifitas faktor bentuk, ukuran, rapat massa dan sebagainya)

b. Karakteristik gelombang dan arus (arah dan kecepatan angin, posisi pembangkitan gelombang, pasang surut dan kondisi topografi pantai yang bersangkutan)

Transpor sedimen sepanjang pantai, terbagi dalam 2 kondisi :

a. Transpor sedimen dasar, yaitu angkutan sedimen dimana bahan sedimen bergerak menggelinding, menggeser atau meloncat di dasar atau dekat sekali di atas dasar.

(47)

pengertian akan adanya mekanisme tersebut perlu diperhatikan untuk memahami sifat – sifat angkutan sedimen di pantai dalam hubungannya dengan permulaan gerak sedimen. Pada umumnya, di daerah pantai transpor sedimen dasar lebih besar dari pada transpor sedimen susupensi.

Pada dasarnya terdapat 4 metode dasar dalam memperkirakan transport sedimen sepanjang pantai :

a. Mengukur debit sedimen di lokasi yang ditinjau, cara ini adalah cara terbaik untuk memperkirakan transpor sedimen sepanjang pantai.

b. Menghitung berdasarkan data yang memperlihatkan perubahan historis topografi daerah pantai yang bersangkutan. Beberapa indikatornya adalah : perubahan garis pantai, pola pendangkalan dan laju pengendapan pada inlet dan endapan di sekitar groin atau jetty.

c. Menggunakan kurva / rumus empiris yang menghubungkan komponen sepanjang pantai dari fluks energi gelombang (Wafe Energy Flux) dengan laju angkutan sedimen sejajar pantai, sehingga diperoleh data gelombang lokal. Cara ini digunakan apabila 2 cara di atas tidak dapat diterapkan. d. Metode empiris berdasarkan pada tinggi gelombang pecah rerata tahunan

dapat digunakan untuk memperkirakan transpor sedimen sepanjang pantai apabila ketiga metode di atas tidak bisa diterapkan.

2.2 Gelombang Laut

(48)

dijumpai di semua tempat di seluruh dunia. Gross (1993) mendefenisikan gelombang sebagai gangguan yang terjadi di permukaan air. Sedangkan Sverdrup at al, (1946) mendefenisikan gelombang sebagai sesuatu yang terjadi secara

periodik terutama gelombang yang disebabkan oleh adanya peristiwa pasang surut.

2.2.1 Bentuk, Sifat dan Karakteristik Gelombang Laut

Massa air permukaan selalu dalam keadaan bergerak, gerakan ini terutama ditimbulkan oleh kekuatan angin yang bertiup melintasi permukaan air dan menghasilkan energi gelombang dan arus. Bentuk gelombang yang dihasilkan cenderung tidak menentu dan tergantung pada beberapa sifat gelombang, periode dan tinggi dimana gelombang tersebut dibentuk, gelombang jenis ini disebut “Sea”. Gelombang yang terbentuk akan bergerak ke luar menjauhi pusat asal

gelombang dan merambat ke segala arah, serta melepaskan energinya ke pantai dalam bentuk hempasan gelombang. Rambatan gelombang ini dapat menempuh jarak ribuan kilometer sebelum mencapai suatu pantai, jenis gelombang ini disebut “Swell”.

(49)

Sebuah gelombang terdiri dari beberapa bagian antara lain:

a. Puncak gelombang (Crest) adalah titik tertinggi dari sebuah gelombang. b. Lembah gelombang (Trough) adalah titik terendah gelombang, diantara

dua puncak gelombang.

c. Panjang gelombang (Wave length) adalah jarak mendatar antara dua puncak gelombang atau antara dua lembah gelombang.

d. Tinggi gelombang (Wave height) adalah jarak tegak antara puncak dan lembah gelombang.

e. Periode gelombang (Wave period) adalah waktu yang diperlukan oleh dua puncak gelombang yang berurutan untuk melalui satu titik.

Menurut Nontji (1987) antara panjang dan tinggi gelombang tidak ada satu hubungan yang pasti akan tetapi gelombang mempunyai jarak antar dua puncak gelombang yang makin jauh akan mempunyai kemungkinan mencapai gelombang yang semakin tinggi. Pond and Pickard (1983) mengklasifikasikan gelombang berdasarkan periodenya, seperti yang disajikan pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Klasifikasi gelombang berdasarkan periode

Periode Panjang Gelombang Jenis Gelombang 0 – 0,2 Detik 0,9 -15 Detik Beberapa ratus meter Gelombang besar

(50)

Bhat (1978), Garisson (1993) dan Gross (1993) mengemukakan bahwa ada empat bentuk besaran yang berkaitan dengan gelombang, yakni :

a. Amplitudo gelombang (A) adalah jarak antara puncak gelombang dengan permukaan rata-rata air.

b. Frekuensi gelombang (f) adalah sejumlah besar gelombang yang melintasi suatu titik dalam suatu waktu tertentu (biasanya didefenisikan dalam satuan detik).

c. Kecepatan gelombang (C) adalah jarak yang ditempuh gelombang dalam satu satuan waktu tertentu.

d. Kemiringan gelombang (H/L) adalah perbandingan antara tinggi gelombang dengan panjang gelombang.

2.2.2 Faktor-faktor Pembentuk Gelombang dan Jenis-jenis Gelombang Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam tergantung dari sumber pembangkitnya.

1. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang berhembus di permukaan laut disebut gelombang angin. Angin yang bertiup di atas permukaan laut merupakan pembangkit utama gelombang. Bentuk gelombang yang dihasilkan cenderung tidak menentu dan bergantung pada beberapa sifat gelombang periode dan tinggi dimana gelombang dibentuk.

(51)

kedudukannya terhadap bumi, distribusi air yang tidak merata pada permukaan bumi dan ketidak teraturan konfigurasi kolom samudera.

3. Ada juga gelombang yang diakibatkan kapal yang bergerak, gempa atau letusan gunung berapi di dalam laut dan sebagainya.

Diantara macam-macam gelombang di atas, gelombang angin laut dan gelombang pasang surut merupakan salah satu faktor utama dalam perencanaan desain bangunan-bangunan pantai seperti dermaga, groin, jetty, sea wall dan sebagainya.

Gelombang yang sering tejadi di tepi pantai umumnya gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Secara periodik, gelombang yang terjadi juga disebabkan oleh pasang surut, kemudian ada juga gelombang yang disebabkan oleh adanya aktivitas vulkanis seperti letusan gunung api bawah laut, maupun adanya peristiwa patahan atau pergeseran lempengan samudera (aktivitas tektonik), yang dikenal dengan gelombang tsunami.

Pada umumnya bentuk gelombang sangat komplek dan sulit digambarkan secara matematis karena ketidaklinierannya, tiga dimensi dan bentuknya yang random (Triatmodjo, 1999). Ada beberapa teori dengan berbagai tingkat kekomplekannya dan ketelitian untuk menggambarkan fenomena gelombang di alam, diantaranya adalah teori airy, teori Stokes, teori Gerstner, teori Mich, teori knoidal dan teori tunggal. Teori gelombang airy adalah teori gelombang kecil, sedangkan teori yang lain adalah teori gelombang amplitudo terbatas (finite amplitude waves). Dari berbagai teori diatas, teori gelombang Airy adalah teori

(52)

kedalaman relatifnya, yaitu perbandingan antara kedalaman laut (d) dan panjang gelombang (L). maka gelombang diklasifikasikan menjadi tiga (Triatmodjo, 1999) yaitu:

1. Gelombang di laut dangkal (shallow water)

 d/L ≤ 1/20

 tanh (2πd/L) ≈ (2πd/L)

 C = �gd  L = T �gd

2. Gelombang di laut transisi (transitional water)

 1/20 < d/L < ½

 2πd/L < tanh (2πd/L) < 1

 C = [gT/2π] tanh (2πd/L)

 L = [gT2/2π] tanh [gT2/2π] 3. Gelombang di laut dalam (deep water)

 d/L ≤ 1/2

 tanh (2πd/L) ≈ (2πd/L)

 C = C0 = �gd  L = L0 = T �gd

Di mana

d/L = Kedalaman relative;

C = Cepat rambat gelombang (m); L = Panjang gelombang (m); G = Gravitasi 9,81 m/dt2; T = Periode gelombang (dt).

(53)

Gambar 2.3 Gelombang yang berada pada sistem koordinat x-z (CERC, 1984)

di mana

η = elevasi muka air ; f(x,t) = H/2 cos (kx - ωt). H = tinggi gelombang.

k = angka gelombang ; k = 2π/L.

L = panjang gelombang, yaitu jarak antara 2 puncak gelombang yang berurutan. x = koordinat horizontal, diukur dalam arah penyebaran gelombang.

ω = frekuensi gelombang ; ω= 2π/T.

T = periode gelombang, yaitu interval wktu yang dibutuhkan oleh air untuk kembali pada kududukan yang sama dengan kedudukan sebelumnya. t = waktu.

y = koordinat vertikal, diukur dari muka air laut (still water level, SWL). h = kedalaman air.

Hubungan panjang gelombang (L), kecepatan (celerity) gelombang (C) dan periode (T) adalah:

C = L / T (2.1)

Perlu diperhatikan, bahwa kecepatan gelombang yang telah disebutkan di atas adalah untuk gelombang yang berjalan di laut dalam. Di perairan dangkal, kedalaman air berpengaruh pada kecepatan gelombang, kecepatan gelombang dapat dinyatakan dalam persamaan :

C=��� 2�tanh

2�ℎ

(2.2)

(54)

dimana percepatan gravitasi bumi g = 9,81 m�2, L = Panjang gelombang (m) dan h = Kedalaman air (m), tanh adalah fungsi matematik yang disebut tangen hiperbolik. Jika x kecil, misalnya kurang dari 0,05 maka tanh x ≈ x. Jika x lebih

besar dari π, maka tanh x ≈ 1.

Teori gelombang sederhana diasumsikan sebagai berikut: a. Bentuk gelombang adalah sinusoidal.

b. Amplitudo gelombang sangat kecil dibanding dengan panjang gelombang dan kedalaman air.

c. Viskositas dan tegangan permukaan diabaikan.

d. Gaya koriolis dan vortisitas, yang keduanya bergantung pada rotasi bumi dapat diabaikan.

e. Kedalaman air seragam dan dasar air tidak ada benjolan-benjolan. f. Gelombang tidak didefleksi oleh daratan atau penghalang yang lain.

Di lapangan, prediksi dengan menggunakan model gelombang permukaan yang sederhana cukup mendekati perilaku gelombang yang dibangkitkan oleh angin.

2.2.3 Pergerakan Gelombang Laut

(55)

Gelombang permukaan terjadi karena adanya pengaruh angin. Peristiwa ini merupakan peristiwa pemindahan energi angin menjadi energi gelombang di permukaan laut dan gelombang ini sendiri akan meneruskan energinya ke molekul air. Gelombang akan menimbulkan riak dipermukaan air dan akhirnya dapat berubah menjadi gelombang yang besar. Gelombang yang bergerak dari zona laut lepas hingga tiba di zona dekat pantai (nearshore beach) akan melewati beberapa zona gelombang yaitu : zona laut dalam (deep water zone), zona refraksi (refraction zone), zona pecah gelombang (surf zone) dan zona pangadukan gelombang (swash zone) (Dyer,1978). Uraian rinci dari pernyataan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :

(56)

Pada zona surf, terjadi angkutan sedimen karena arus sepanjang pantai terjadi dengan baik. Pada kedalaman dimana gelombang tidak menyelesaikan orbitalnya, gelombang akan semakin tinggi dan curam dan akibatnya mulai pecah (Kennet, 1982). Sebuah gelombang akan pecah bila perbandingan antara kedalaman perairan dan tinggi gelombang adalah 1,28 (Yuwono, 1986) atau bila perbandingan antara tinggi gelombang dan panjang gelombang melampaui 1 : 7 (Gross, 1993).

Saat pecah gelombang akan mengalami perubahan bentuk. Dyer (1978) membedakannya kedalam tiga bentuk empasan (tipe breaker), sementara Galvin (1966) mengklasifikasikan tipe hempasan gelombang yaitu : tipe plunging, spilling, surging dan collapsing

a. Plunging, terjadi karena seluruh puncak gelombang melewati kecepatan gelombang, tipe hempasan ini berbentuk cembung kebelakang dan cekung kearah depan. Gelombang ini sering timbul dari hempasan pada periode yang lama dari suatu gelombang yang besar dan biasanya terjadi pada dasar pantai yang hampir lebih miring dibandingkan pada tipe Spilling. Walaupun sangat menarik, namun umumnya gelombang ini tidak terjadi lama dan juga tidak baik untuk berselancar. Bahkan tipe hempasan ini mampu menimbulkan kehancuran yang cukup hebat.

(57)

c. Surging, adalah tipe hempasan dimana gelombang pecah tepat di tepi pantai. Tipe hempasan ini sangat mempengaruhi lebarnya zona surf suatu perairan karena jenis gelombang yang pecah tepat di tepi pantai akan mengakibatkan semakin sempitnya zona surf. Gelombangnya lebih lemah saat mencapai pantai dengan dasar yang lebih curam dan kemudian gelombang akan pecah tepat pada tepi pantai (Gross, 1993).

d. Collapsing, merupakan gelombang yang pecah setengah dari biasanya. Saat pecah gelombang tersebut tidak naik ke darat, terdapat buih dan terjadi pada pantai yang sangat curam (Galvin, 1968).

Apabila memperhatikan gelombang di laut akan mendapat suatu kesan seolah-olah gelombang tersebut bergerak secara horizontal dari suatu tempat ke tempat lain. Tetapi kenyataanya tidaklah demikian karena suatu gelombang akan membentuk gerakan maju melintasi permukaan air. Di sana hanya terjadi gerakan kecil kearah depan dari massa air itu sendiri. Hal ini akan semakin mudah dipahami apabila meletakan sepotong gabus diantara gelombang-gelombang di laut. Potongan gabus akan tampak timbul tenggelam sesuai dengan gerakan berturut-turut, dari puncak dan lembah gelombang yang lebih atau kurang tinggi pada tempat yang sama.

(58)

merupakan puncak gelombang. Benda-benda ini kemudian dibawa dan membentuk lingkaran penuh melewati tempat paling bawah yaitu lembah gelombang (Pond and Picard, 1978). Semua fenomena yang di alami gelombang pada hakekatnya berhubungan erat dengan topografi dasar laut (sea bottom topography).

2.2.4 Parameter Gelombang Laut yang Disebabkan Oleh Angin

Gelombang angin dibangkitkan oleh angin. Angin yang berhembus di atas pemukaan air akan memindahkan energinya ke air. Kecepatan angin menimbulkan riak kecil di atas permukaan air. Bila kecepatan angin bertambah, riak tersebut semakin besar dan begitu sebaliknya. Semakin lama dan semakin kuat angin berhembus maka semakin besar gelombang yang terbentuk.

Angin yang bertiup di atas permukaan laut merupakan pembangkit utama gelombang. Bentuk gelombang yang dihasilkan cenderung tidak menentu dan bergantung pada beberapa sifat gelombang periode dan tinggi dimana gelombang dibentuk. Gelombang seperti ini disebut Sea. Bentuk gelombang lain yang disebabkan oleh angin adalah gelombang yang bergerak dengan jarak yang sangat jauh sehingga semakin jauh meninggalkan daerah pembangkitnya gelombang ini tidak lagi dipengaruhi oleh angin. Gelombang ini akan lebih teratur dan jarak yang ditempuh selama pergerakannya dapat mencapai ribuan mil. Jenis gelombang ini disebut Swell.

(59)

yang tinggi sesuai dengan panjang gelombang yang besar. Gelombang yang terbentuk dengan cara ini umumnya mempunyai puncak yang kurang curam jika dibandingkan dengan tipe gelombang yang dibangkitkan dengan angin yang berkecepan kecil atau lemah. Saat angin mulai bertiup, tinggi gelombang, kecepatan, panjang gelombang seluruhnya cenderung berkembang dan meningkat sesuai dengan meningkatnya waktu peniupan berlangsung (Hutabarat dan Evans, 1984).

Jarak tanpa rintangan dimana angin bertiup merupakan fetch yang sangat penting untuk digambarkan dengan membandingkan gelombang yang terbentuk pada kolom air yang relatif lebih kecil seperti danau (di darat) dengan yang terbentuk di lautan bebas, (Pond and Picard, 1978).

Gelombang yang terbentuk di danau dengan fetch yang relatif kecil dengan hanya mempunyai beberapa centimeter sedangkan yang terbentuk di laut bebas dimana dengan fetch yang lebih sering mempunyai panjang gelombang sampai ratusan meter. Kompleksnya gelombang-gelombang ini sangat sulit untuk dijelaskan tanpa membuat pengukuran-pengukuran yang lebih akurat dan kurang berguna bagi nelayan atau pelaut. Sebagai gantinya mereka membuat suatu cara yang lebih sederhana untuk mengetahui gelombang yaitu dengan menggunakan suatu daftar skala gelombang yang dikenal dengan Skala Beaufort untuk memberikan keterangan tentang kondisi gelombang yang terjadi di laut dalam hubungannya dengan kecepatan angin yang sementara berhembus (Hutabarat dan Evans, 1984).

(60)

penyederhanaan ke dalam gelombang harmonik (sinusoidal), dimana gelombang ini dapat mewakili gelombang acak tersebut. Gelombang harmonik ini dinamakan dengan gelombang signifikan (significant wave) dengan periodenya disimbolkan dengan Ts dan tingginya dengan Hs. Biasanya tinggi dan periode gelombang signifikan yang digunakan adalah T33 dan H33. Pembangkitan gelombang oleh angin didasarkan pada data angin, panjang fetch efektif dan batimetri.

2.2.4.1 Data angin

Data angin digunakan untuk meramalkan gelombang yang tejadi di permukaan laut pada lokasi pembangkitan. Data tersebut diperoleh dari pengukuran langsung di atas permukaan laut (dengan kapal) atau pengukuran di darat (dekat lokasi peramalan). Kecepatan angin diukur oleh anemometer (satuan knot, 1 knot = 0,5148 m/s).

Hasil dari persentase arah tiupan angin yang dominan akan digunakan untuk perencanaan gelombang. Data angin yang di peroleh adalah data angin dari pengukuran di darat, oleh karena itu data ini harus di transfer menjadi data angin laut sehingga dapat digunakan sebagai analisis prediksi gelombang. Rumus yang akan digunakan sebagai berikut (CERC, 1984):

UL = 0,86 x (U10) , untuk Z < 10 m (2.3) Uw = RL . [U10]L (2.4) UA = 0,71 . Uw1,23 (2.5)

Dimana :

[U10] L = kecepatan angin pada ketinggian 10 m di atas tanah (knot);

Uz = kecepatan angin yang di ukur pada elevasi Z m di atas tanah (knot); Z = ketinggian alat ukur di atas tanah (m);

Uw = kecepatan angin di laut (m/det); UA = kecepatan seret angin (m/det);

(61)

Angin yang berhembus di atas permukaan air akan memindahkan energinya ke air. Kecepatan angin akan menimbulkan tegangan pada permukaan laut, sehingga permukaan air yang semula tenang akan terganggu dan timbul riak gelombang kecil di atas permukaan air. Apabila kecepatan angin bertambah, riak tersebut menjadi semakin besar. Dan apabila angin berhembus terus pada akhirnya akan terbentuk gelombang. Semakin lama dan semakin kuat angin berhembus, semakin besar gelombang yang terbentuk (Triatmodjo, 1999).

Tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan dipengaruhi oleh kecepatan angin (U), lama hembusan angin (D), fetch (F) dan arah angin. Pada umumnya pengukuran angin dilakukan di daratan, sedangkan di dalam rumus- rumus pembangkitan gelombang, data angin yang digunakan adalah yang ada di atas permukaan laut. Oleh karena itu diperlukan transformasi data angin di atas daratan (yang terdekat dengan lokasi studi) ke data angin di atas permukaan laut (Triatmodjo, 1999). Hubungan antara angin di atas laut dan angin di atas daratan terdekat diberikan oleh persamaan berikut:

RL =

(2.6)

di mana

UL = Kecepatan angin yang diukur di darat (m/dt); Uw = Kecepatan angin di laut (m/dt);

(62)

Gambar 2.4 Hubungan kecepatan angin di laut dan di darat (CERC, 1984) Nilai UA dan fetch digunakan untuk menghitung besarnya gelombang dan periode gelombang yang terjadi. Peramalan gelombang yang ditentukan dengan menggunakan Grafik Peramalan Gelombang sebagai berikut:

(63)

2.2.4.2 Fetch

Fetch merupakan panjang keseluruhan suatu daerah pembangkit gelombang

yang dipengaruhi oleh angin yang berhembus dengan kecepatan dan arah yang konstan. Arah angin masih dianggap konstan apabila perubahannya tidak sampai 150. sedangkan kecepatan angin masih dianggap konstan apabila perubahannya tidak lebih dari 5 knot (2,5 m/dt) (Triatmodjo, 1999). Di dalam tinjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukan gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin (fetch rerata efektif). Berdasarkan kecepatan angin, lama angin berhembus dan panjang fetch dapat dilakukan peramalan tinggi gelombang signifikan dan periode gelombang signifikan dengan menggunakan rumus .

Fetch rata-rata efektif diberikan pada persamaan:

Feff = ��

cos�

Σcos� (2.7)

di mana

Feff = fetch rata-rata efektif.

Xi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch.

α = deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan pertambahan 6o sampai sudut sebesar 42o pada kedua sisi dari arah angin.

(64)

masing-masing gelombang di dalam suatu spectrum (deretan) gelombang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Di dalam kita mempelajari gelombang, kita beranggapan bahwa gelombang itu teratur dan sama karakteristiknya. Asumsi ini hanya untuk memudahkan kita untuk dapat mempelajari karakteristiknya. Maka dari itu gelombang alam harus dianalisis secara statistik (Triatmodjo, 1999). Analisis statistik gelombang diperlukan untuk mendapatkan beberapa karakteristik gelombang (Triatmodjo, 1999), yaitu:

1. Gelombang representatif (gelombang signifikan) 2. Probabilitas kejadian gelombang

3. Gelombang ekstrim

2.2.4.2 Batimetri

Batimetri adalah ilmu yang mempelajari kedalaman di bawah air dan studi tentang tiga dimensi lantai samudra atau danau. Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai atau dataran dengan garis-garis kontur (contour lines) yang disebut kontur kedalaman (depth contours atau isobath) dan dapat memiliki informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan.

(65)

2.2.5 Persamaan Pengatur

Untuk fluida yang tidak mampu berputar (irrotional), tidak mampu mampat (incompressible) dan kecepatan ada, maka harus memenuhi persamaan:

∇ x u = 0 (2.8) Untuk aliran dua dimesi (2D) dalam bidang x-z persamaan menjadi:

∇ 2 φ = ∂2φ

∂x2 +

∂2φ

∂z2 = 0 (2.12) Persamaan (2.11) atau (2.12) disebut dengan persamaan Laplace.

2.2.6 Persamaan Gelombang Linear

Persamaan gelombang linear atau gelombang amplitudo kecil dapat diturunkan dari persamaan Laplace yang dua dimensi (2D) atau persamaan (2.12) dengan kondisi batas dari persamaan tersebut adalah:

(66)

Persamaan tersebut diselesaikan untuk mendapatkan nilai potensial kecepatan (φ). Berdasarkan nilai φ yang diperoleh tersebut, sifat-sifat gelombang seperti

fluktuasi muka air, kecepatan rambat gelombang, kecepatan partikel dan sebagainya dapat diturunkan.

Penyelesaian persamaan diferensial tersebut memberi hasil berikut ini: φ = ��

ω = frekuensi sudut gelombang. k = angka gelombang.

h = kedalaman laut. z = koordinat vertikal. x = koordinat horizontal. t = waktu.

Komponen vertikal kecepatan partikel di permukaan air yaitu w, w = ∂ η/∂t dan nilai η diberikan pada persamaan (2.13) sehingga:

w = ∂η = (−1

Persamaan (2.10) disubsitusikan ke persamaan (2.16), maka akan diperoleh persamaan:

ω2

(67)

Persamaan (2.13) disebut dengan persamaan dispersi atau hubungan dispersi (dispersion relation) yang memberikan hubungan yang mungkin antara angka gelombang (k), frekuensi gelombang (ω) dan kedalaman air (h).

Jika persamaan dispersi (2.17) dibagi dengan k2 diperoleh:

ω2 Sehingga persamaan (2.18) dapat ditulis menjadi:

(68)

Gambar 2.6. Kedalaman relatif dan asimtot-asimtot terhadap fungsi hiperbolik (Dean dan Dalrympel, 2000)

2.2.7 Klasifikasi Gelombang

Gelombang diklasifikasikan berdasarkan kedalaman relatif, yaitu perbandingan kedalaman air dibagi panjang gelombang (h/L) dan nilai batas tanh (2πh/L).

Tabel 2.2 Klasifikasi Gelombang Berdasarkan Kedalaman Relatif Klasifikasi Gelombang h/L 2πh/L (2πh/L) Laut Dalam

Transisi Laut Dangkal

> ½ 1/20 - ½

< 1/20

> π ¼ - π

< ¼

1 tanh (2πh/L)

2πh/L Sumber: Yuwono,1982

Pada laut dalam (h/L >>), maka tanh (2πh/L) ≈ 1, sehingga persamaan

(69)

L = ��2

2� = Lo (2.22) dimana Lo adalah panjang gelombang laut dalam, maka kecepatan gelombang laut dalam Co menjadi:

Co = Lo / T = ��2 (2.23)

Pada laut dangkal (h/L <<), maka tanh (2πh/L) ≈ 2πh/L, sehingga persamaan

(2.22) pada laut dalam menjadi:

L =��2 2π

2πℎ

� = ��2

� (2.24)

atau

L2/T2= gh (2.25) karena C = L/T maka persamaan (2.25) dapat ditulis:

C = ��ℎ (2.26) atau:

L = CT =��ℎ T (2.27)

2.2.8 Transformasi Gelombang

Dalam proses menuju tepian pantai, gelombang mengalami beberapa proses perubahan tinggi gelombang. Diantaranya proses pendangkalan (wave shoaling), proses refraksi (refraction), proses difraksi (difraction), atau proses pantulan (reflection) sebelum gelombang itu pecah (wave breaking) (Widi, 1997). Proses

(70)

mengikuti bentuk kontur kedalalaman laut. Shoaling dan refraksi sama-sama disebabkan oleh pendangkalan kedalaman. Sedangkan difraksi adalah proses pembelokan arah gelombang akibat terhalang oleh pemecah gelombang, sehingga gelombang masuk ke dearah dibelakang penghalang tersebut. Transformasi gelombang dapat dilihat lebih jelas pada penjalaran gelombang pada laut dangkal.

2.2.8.1 Pendangkalan (shoaling)

Hubungan antara tinggi gelombang dan kedalaman perairan dapat diturunkan dengan menganggap fluks energi adalah tetap di setiap titik.

J E0 = J E1 (2.28)

Jika k adalah angka gelombang atau k=2ω/L dan nilai persamaan n dimasukkan, koefisien shoaling (Ks) dapat ditulis dalam persamaan:

Ks =�

1 tanh �ℎ�1+ 2�ℎ

sinh 2 �ℎ�

(2.32)

(71)

Ks =� � 2��ℎ =�

�0 8�ℎ�

1/4

= 0.44644��0 (2.33)

2.2.8.2 Refraksi Gelombang

Refraksi terjadi bila penjalaran gelombang dari perairan yang lebih dalam ke lebih dangkal tidak tegak lurus garis kontur. Selain adanya perubahan kedalaman air, peristiwa refraksi gelombang juga diakibatkan oleh adanya perbedaan kecepatan gelombang yang biasanya disertai juga dengan perubahan panjang gelombang yang mengecil. Gambar 2.7 menunjukkan pola refraksi yang terjadi pada sebuah pulau kecil di lautan di mana pola refraksi tersebut digambarkan oleh garis puncak gelombang (wave crest) dan sinar gelombang (wave ray).

Gambar 2.7 Peristiwa refraksi gelombang (Triatmodjo, 1999)

Pada kontur ideal (garis kontur sejajar dengan garis pantai), berdasarkan gambar 2.8 berlaku Hukum Snellius.

��� �1

�1 =

��� �2

�2 (2.34)

di mana

Puncak gelombang

Garis Gelombang

(72)

α1 = sudut datang antara garis puncak gelombang dengan kontur dasar dimana gelombang melintas.

α2 = sudut datang yang sama diukur saat garis puncak gelombang melintasi kontur dasar.

C1 = kecepatan gelombang pada kedalaman di kontur awal. C2 = kecepatan gelombang pada kedalaman di kontur berikutnya.

Gambar 2.8 Garis refraksi yang melewati garis kontur sejajar pantai (Sorensen. 1978)

Penentuan tinggi gelombang di suatu lokasi perairan dangkal menggunakan rumus:

H = Ho Ks Kr (2.35)

Kr= ��1

2

= ����1

����2

(2.36)

di mana

H = tinggi gelombang di perairan lokal. Ho = tinggi gelombang pada laut dalam.

Ks = koefisien pendangkalan (shoaling coefficient). Kr = koefisien refraksi (refraction coefficient).

(73)

B2 = jarak ortogonal antara dua lintasan gelombang sesudah gelombang melintasi kontur dasar.

Tetapi secara umum , kontur lepas pantai tidak teratur dan bervariasi sepanjang pantai dan perubahan garis kontur kedalaman atau batimetri berlangsung secara kontinu, tetapi untuk mempermudah perhitungan refraksi, batimetri dapat di‘diskret’kan atau dibuat tidak kontinu, yaitu dapat dilihat pada gambar 2.9

Gambar 2.9 Batimetri kontinu dan ‘diskret’

Koefisien refraksi juga dapat dicari dengan menggunakan diagram refraksi, ada dua metode yang dapat digunakan yaitu:

1. Metode ortogonal gelombang.

Metode orthogonal dikemukakan oleh Arthur (1952). Teori ini berdasarkan snell’s law (Gambar 2.7).

��� �1

��� �2 =

�1

�2=

�1

�2 (2.37)

di mana

α1 dan α2 = sudut antara garis kedalaman dengan puncak gelombang C1 dan C2 = kecepatan jalar gelombang pada tempat yang ditinjau L1 dan L2 = panjang gelombang

(74)

Bila Persamaan (2.37) diterapkan pada suatu pantai dengan kedalaman garis

Perlu dicatat bahwa koefisien refraksi Kr pada dasarnya berawal dari konsep energi konservasi yang dapat dinyatakan sebagai berikut:

�1 =�0.��.�� (2.39) di mana

H0 dan H1 = tinggi gelombang awal dan tinggi gelombang pada lokasi tertentu Kr = koefisien refraksi

Ks = koefisien shoaling

Penggambaran refraksi metode orthogonal dapat dipermudah dengan cara grafis yaitu menggunakan template refraksi (SPM, 1984).

2. Metode Diagram

Metode diagram yang dimaksud di sini adalah menggunakan diagram perubahan arah dan tinggi gelombang dan koefisien refraksi-shoaling (Dean dan Dalrymple, 1992) yang dapat digunakan untuk menghitung arah gelombang, koefisien refraksi dan shoaling. Namun demikian metode ini digunakan untuk kontur kedalaman yang lurus dan parallel (Dean dan Dalrymple, 1992). Input

untuk metode ini adalah kedalaman awal ho, sudut gelombang αo dan periode T.

Dari ketiga input tersebut dapat dihitung sudut pergi gelombang α, koefisien

(75)

3. Metode Grafis Panjang Gelombang

Metode grafis panjang gelombang menggunakan perhitungan panjang gelombang untuk setiap kontur kedalaman yang ditinjau. Panjang gelombang yang dihitung di setiap titik pada kontur kedalaman dengan interval tertentu membentuk pola puncak gelombang (wave crest) dan sinar gelombang (wave ray) yang akan menampilkan suatu pola refraksi gelombang. Metode panjang gelombang ini menggunakan persamaan hubungan dispersi gelombang untuk mencari nilai bilangan gelombang (wave number). Nilai bilangan gelombang (k) akan digunakan untuk mencari nilai kecepatan (C). Selanjutnya nilai C digunakan untuk memperoleh nilai panjang gelombang L yang akan digambar di kertas grafik (Kamphuis, 2002).

2.2.8.3 Difraksi Gelombang

(76)

Gambar 2.10 Difraksi gelombang di belakang rintangan (Triatmodjo, 1999)

Pada rintangan (pemecah gelombang) tunggal, tinggi gelombang di suatu tempat di daerah terlindung tergantung pada jarak titik tersebut terhadap ujung rintangan r, sudut antara rintangan dan garis yang menghubungkan titik tersebut dengan ujung rintangan β dan sudut antara arah penjalaran gelombang dan rintangan θ . Perbandingan antara tinggi gelombang di titik yang terletak di daerah terlindung dan tinggi gelombang datang disebut koefisien difraksi K’.

HA = K’ Hp (2.40) K’ = f (θ ,β ,r / L) (2.41) 2.2.8.4 Refleksi Gelombang

(77)

energi gelombang. Suatu bangunan yang mempunyai sisi miring dan terbuat dari tumpukan batu akan bisa menyerap energi gelombang lebih banyak dibanding dengan bangunan tegak dan masif. Pada bangunan vertikal, halus dan dinding tidak permeable, gelombang akan dipantulkan seluruhnya.

Besar kemampuan suatu bangunan memantulkan gelombang diberikan oleh koefisien refleksi, yaitu perbandingan antara tinggi gelombang refleksi Hr dan tinggi gelombang datang Hi :

X =��

�� (2.42)

Koefisien refleksi bangunan diestimasi berdasarkan tes model. Koefisien refleksi berbagai tipe bangunan disajikan dalam Tabel 2.4. berikut ini :

Tabel 2.3. Koefisien refleksi

Sumber: Triatmodjo, 1999

Tipe bangunan X

Dinding vertikal dengan puncak diatas air Dinding vertikal dengan puncak terendam Tumpukan batu sisi miring

Tumpukan balok beton

Bangunan vertikal dengan peredam energi (diberi lubang)

(78)

Dinding vertikal dan tak permeable memantulkan sebagian besar gelombang. Pada bangunan seperti itu koefisien refleksi adalah X=1 dan tinggi gelombang yang dipantulkan sama dengan tinggi gelombang datang. Gelombang di depan dinding vertikal merupakan superposisi dari kedua gelombang dengan periode, tinggi dan angka gelombang yang sama tetapi berlawanan arah.

Apabila refleksi adalah sempurna X=1 maka :

η = Hi cos kx cos σ t (2.43)

2.2.5.5 Gelombang Pecah

Dari rumus transformasi gelombang H = Kr Ks Ho pada kedalaman kecil (d ≈ 0) akan diperoleh tinggi gelombang yang sangat tinggi. Hal ini tidak mungkin terjadi karena kenyataannya di tepi pantai dengan kedalaman d ≈ 0, tinggi

gelombang H ≈ 0. Fenomena ini disebabkan karena gelombang yang bergerak ke pantai, pada kedalaman tertentu akan mengalami proses pecah gelombang (breaking wave). Kedalaman dimana gelombang pecah terjadi diberi notasi db dan tinggi gelombang pecah diberi notasi Hb.

Tinggi gelombang pecah dapat dihitung dengan rumus berikut ini.

��

�′0 = 1

3,3(�′�00)1/3 (2.44) Kedalaman air dimana gelombang pecah diberikan oleh rumus berikut :

��

Dimana a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m dan diberikan oleh persamaan berikut :

a = 43,75 (1 – e-19 m) (2.46)

b = 1,56

(79)

di mana

Hb : tinggi gelombang pecah

H’o : tinggi gelombang laut dalam ekivalen Lo : panjang gelombang di laut dalam

db : kedalaman air pada saat gelombang pecah m : kemiringan dasar laut

g : percepatan gravitasi T : periode gelombang

Dengan mengambil berbagai harga db maka dapat menentukan harga Hb dengan cara coba-coba. Harga db dan Hb digambarkan dalam grafik. Perpotongan antara grafik H = Ks xKr xHo dan grafik Hb merupakan lokasi gelombang pecah.

2.2.9 Energi Gelombang

Daerah pantai termasuk daerah dan lingkungan yang berada didekat pantainya sangat ditentukan dan didominasi oleh faktor-faktor gelombang. Gelombang yang terjadi dilaut dalam pada umumnya tidak berpengaruh pada dasar laut dan sedimen yang terdapat didalamnya. Sebaliknya gelombang yang terdapat di dekat pantai terutama di daerah pecahan ombak ( surf zone ) memiliki energi yang besar dan sangat berperan dalam pembentukan morfologi pantai seperti menyeret sedimen (sedimen berukuran pasir dan kerikil) yang berada di dasar laut diangkut dan ditumpahkan dalam bentuk gosong pasir (sand bard) Dahury,1996).

Energi total gelombang adalah jumlah dari energi kinetik Ek dan energi

potensial gelombang Ep. Energi kinetik adalah energi yang disebabkan oleh

(80)

terhadap muka air diam dan semua gelombang menjalar dalam arah yang sama, maka energi potensial gelombang sama besarnya dengan energi kinetiknya (Triatmodjo, 1999) yaitu:

Ep= Ek = ����

2

16 (2.48)

jika energi kinetik dan potensial sama , maka energi total (E) adalah

ET = Ep+ Ek = ����

2

8 (2.49) Energi gelombang adalah berubah dari satu titik ke titik lain sepanjang satu gelombang dan energi rerata satuan luas adalah:

E= �

� = ���2

8 (2.50)

2.2.10 Tenaga Gelombang

Menurut Triatmodjo (1999) tenaga gelombang adalah energi gelombang tiap satu satuan waktu yang menjalar dalam arah penjalaran gelombang. Tenaga dapat ditulis sebagai hasil kali dari gaya yang bekerja pada bidang vertikal yang tegak lurus penjalaran gelombang dengan kecepatan partikel melintasi bidang tersebut. Persamaan tenaga gelombang adalah:

(81)

terbentuk gelombang. Energi kinetik dari batu berpindah menjadi energi gelombang. Gelombang ini merambat dan mungkin pecah di tepi. Hal ini menjelaskan bahwa perpindahan energi itu jauh dari tempat pembangkit gelombang. Tingkat atau laju perpindahan energi ini disebut daya gelombang (wave power) atau fluks energi (energy flux). Fluks energi gelombang

dirumuskan sebagai berikut:

J = E Cn (2.52) di mana

E = energi total gelombang. C = kecepatan gelombang. n = asimtot.

nC adalah kecepatan energi yang ditransmisikan, kecepatan ini disebut kecepatan grup (group celerity) Cg dan dapat ditulis:

Cg = nC (2.53)

atau:

n = ��

� =

1 2�1 +

2�ℎ

(82)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada ketinggian wilayah 0-500 meter dari permukaan laut. Hingga saat ini tercatat ada 7 (tujuh) objek wisata bahari yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai yang telah memberikan pemasukan PAD, yang mana diantaranya Pantai Mutiara berada di Desa Kota Pari Kecamatan Pantai Cermin sekitar 43 Km dari Kota Medan. Objek wisata ini memiliki daya tarik tersendiri karena letaknya di areal hutan bakau (manggrove) di tepi pantai. Selain itu tanaman bakau ini berfungsi juga sebagai pelindung alami pantai dari terjadinya erosi pantai. Di daratan pesisir, terutama disekitar muara sungai besar, berkembang pusat-pusat pemukiman manusia yang disebabkan oleh kesuburan sekitar muara sungai besar dan tersedianya prasarana angkutan yang relatif mudah dan murah dan pengembangan industri juga banyak dilakukan di daerah pesisir.

Gambar

Tabel A1. Nilai-nilai Sudut Datang (θi), Sudut Bias (θr),  Jarak Ortogonal Antar Lintasan (B1 dan B2), dan Koefisien Refraksi (Kr) dengan Sudut Datang 0o
Tabel A3. Nilai-nilai Sudut Datang (θi), Sudut Bias (θr),  Jarak Ortogonal Antar Lintasan (B1 dan B2), dan Koefisien Refraksi (Kr) dengan Sudut Datang 90o
Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian
Gambar 4.1 Pencitraan satelit Pantai Mutiara, SUMUT (GMap Catcher)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas bisa jadi dibenarkan untuk kepentingan ilmu itu sendiri, seperti juga ekpresi seni yang menonjolkan pornografi

iklim kerja yang kondusif akan mampu meningkatkan disiplin kerja guru yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja guru. Faktor lain yang dapat mempengaruhi

Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi kehidupan. Aliran ini sering

Persamaan kimia bagi tindak balas antara magnesium dengan asid etanoik adalah seperti di bawah.. Berikan tiga maklumat yang dapat ditafsir daripada persamaan

tetapi cara yang dilakukan ini belum berhasil menumbuhkan minat belajar sesuai yang diharapkan. Situasi seperti ini tidak bisa dibiarkan terus. Siswa harus ditingkatkan

Kepala SDN Watukarung dalam meningkatkan partisipasi kerja guru menggunakan strategi yang tepat, diantaranya (a) kepala sekolah dalam membagi tugas dan pekerjaan

Pada suatu malam di tahun 1860, Warsodikromo(kepala desa pamenang) bermimpi dalam tidurnya, bahwa dalam sebuah areal gundukan tanah yang telah menjadi rawa

Dari kesekian manfaat labu siam tersebut, kami bermaksud untuk membuat selai yang berbahan dasar dari labu siam tersebut, alasannya adalah untuk menyelamatkan