PENDAHULUAN Latar Belakang
Pala Banda (Myristica fragrans Houtt) adalah tanaman asli Indonesia yang berasal dari kepulauan Maluku (Purseglove et al. 1981) dan termasuk tanaman penting diantara tanaman rempah-rempah. Tanaman pala menghasilkan dua pro-duk bernilai ekonomi cukup tinggi, yaitu biji pala dan fuli yang menyelimuti biji. Kedua produk tersebut menghasilkan minyak pala, atsiri, rempah, dan bahan obat. Selain itu, pala dimanfaatkan sebagai pengawet makanan dan minuman (Ojechi et al. 1998). Minyak pala mengandung senyawa atsiri yang memiliki khasiat farma-kologis sehingga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba atau bioinsektisida (Stecchini et al. 1993). Selain dimanfaatkan untuk minyak atsiri, daging buah pala juga digunakan dalam industri manisan, sirup, dan selai.
Produksi pala Indonesia tahun 2000 tercatat sekitar 20 ribu ton yang diha-silkan pada areal 60,6 ribu ha (Ditjen Perkebunan 2000). Areal tanaman pala ter-sebar di 14 provinsi di Indonesia. Negara-negara utama produsen pala adalah In-donesia, Grenada, Sri Lanka, Trinidad, China dan India (GCNA 2001). Ekspor pala dunia 76% berasal dari Indonesia, 20% dari Grenada, dan selebihnya dibagi bersama oleh Sri Lanka, Trinidad, dan Tobago (Mark dan Pomeroy 1995). Ada ti-ga produk pala yang bernilai ekspor: biji pala, fuli (mace), dan minyak atsiri. In-donesia tahun 2000 mengekspor sekitar 8 ton biji pala dan lebih dari 1 ton fuli ke berbagai negara (Anonim 2001).
Minyak pala terutama dihasilkan melalui distilasi biji pala dan fuli. Distilasi uap (steam distillation) dan distilasi air (hydrodistillation) merupakan dua metode ekstraksi minyak yang bekerja berdasarkan suhu dan tekanan uap. Metode distilasi dapat menghasilkan minyak 5 sampai 15% bobot pala. Pala menghasilkan minyak yang peka cahaya dan suhu, tidak berwarna, kuning pucat atau hijau muda dengan aroma khas pala (Peter 2001). Minyak pala larut dalam alkohol tetapi tidak larut dalam air.
yang lebih disukai dan banyak mengandung komponen eter fenil propanoid (Ma-sada 1976) dan terpen (Lewis 1984). Selain itu, minyak pala East Indian dila-porkan kaya senyawa aromatik miristisin (hingga 14%) dibandingkan minyak pala West Indian yang kandungannya kurang dari 1%.
Pala, fuli, oleoresin, dan minyak atsiri dipakai dalam industri pangan dan minuman. Pala yang berbentuk bubuk banyak digunakan terutama dalam industri pengolahan pangan. Di Asia Tenggara, China dan India, pala dalam bentuk utuh dan bubuk digunakan silih berganti. Pala merupakan bahan bumbu standar pada banyak makanan di Belanda. Pala dan oleoresin digunakan sebagai rempah dalam penyiapan daging, sup, saus, makanan yang dipanggang, permen, puding, serta bumbu daging dan sayur.
Indonesia memiliki sumberdaya genetik pala yang besar dengan pusat asal tanaman di Kepulauan Maluku. Keragaman tanaman ditemukan di Pulau Banda, Siau, dan Papua (Hadad dan Hamid 1990). Sebagai pusat asal (center of origin), Indonesia perlu mengambil peran yang lebih besar dalam pengelolaan, pengem-bangan, dan pemanfaatan tanaman pala. Pala sebagai komoditas penting perlu di-kelola dan dimanfaatkan secara optimal guna mendukung pembangunan pertanian di Indonesia.
Ruang Lingkup dan Kerangka Penelitian
Penelitian terdiri atas tiga aspek kajian dan masing-masing kajian berkaitan satu dengan yang lain. Aspek pertama mencakup kajian morfologi, agronomi, dan pembuatan deskriptor pala Banda menurut ekotipe di Maluku dan Maluku Utara. Aspek kedua, kajian fisiko-kimia minyak pala dan komponen atsiri pala Banda. Aspek ketiga, karakterisasi pala pada level biokimia isozim dan DNA. Ketiga as-pek kajian tersebut dirumuskan masing ke dalam tiga subjudul penelitian sebagai berikut.
1. Kajian Morfologi, Agronomi, dan Pembuatan Deskriptor Pala Banda; 2. Karakterisasi Komponen Atsiri Minyak Pala Banda Maluku; dan 3. Identifikasi Isozim dan DNA.
Dalam pelaksanaan penelitian, kegiatan lapangan, sampling, pengamatan, dan analisis laboratorium selanjutnya disusun ke dalam satu kerangka penelitian seperti tampak pada Gambar 1. Penelitian pertama mencakup sampling tanaman pala Banda di Maluku dan Maluku Utara untuk mengkaji karakteristik aspek eko-logi, morfologi tanaman, dan agronomi. Data agroekologi yang diperoleh yang mencakup iklim, tanah, topografi selanjutnya digunakan untuk penyusunan des-kriptor pala yang diperlukan sebagai pedoman deskripsi tanaman.
Sampling tanaman dilakukan untuk mendapatkan bahan pala untuk ekstraksi minyak dan identifikasi komponen atsiri. Ekstraksi menggunakan metode hidro-distilasi, sedangkan identifikasi dengan teknik GC-MS. Melalui kegiatan karakte-risasi minyak pala, sifat fisiko-kimia, dan komponen/komposisi senyawa atsiri, karakteristik pala Banda dapat teridentifikasi lebih lengkap.
PENELITIAN 1 PENELITIAN 2 PENELITIAN 3
Gambar 1 Kerangka pemikiran dan alur penelitian. Maluku: Banda,
Ambon, Luhu
Minyak pala Maluku Utara:
Ternate, Tidore, Bacan
Populasi pala Banda
Karakterisasi:
• Kondisi Ekologi
• Morfologi Tanaman
• Aspek Agronomi sampling
Data agroekologi pala Banda
sampling Pala menurut ekotipe
Komponen At-siri Hidrodistilasi
GC-MS
Deskriptor
pala Data fisi-ko-kimia
Identifikasi
Molekuler Pala Banda
Isozim: PER, AAT, EST,
dan ACP
DNA: RAPD
Data bioki-mia/molekuler
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian dimaksudkan untuk mengeksplorasi lebih jauh karakteristik dan potensi pala Banda yang ada di Maluku dan Maluku Utara untuk pengembangan komoditas lebih lanjut. Selain itu, untuk mengetahui stabilitas karakter pala Ban-da paBan-da enam ekotipe berbeBan-da.
Penelitian bertujuan untuk: 1) mengkarakterisasi pala Banda dari aspek eko-tipe, morfologi tanaman, dan agronomi, 2) membuat deskriptor pala Banda berda-sarkan ekotipe tipikal Maluku dan Maluku Utara, 3) mengekstraksi minyak pala dan mengidentifikasi komponen atsiri penyusunnya, dan 4) mengidentifikasi iso-zim dan DNA.
PEMBAHASAN UMUM
Studi morfo-ekotipe pala menggambarkan karakteristik ekologi seperti kondisi tanah, fisiografi lahan, tanah, iklim, dan karakteristik tanaman pala itu sendiri khususnya morfologi, produksi dan buah.
Pertanaman pala di Maluku dan Maluku Utara terletak pada lanskap perbu-kitan hingga pegunungan dengan kemiringan lereng 10 sampai 45% dan dari ke-tinggian hingga 400 m dpl. Pertanaman pala di Banda, Ambon, dan Luhu terletak mulai dari kaki gunung yang berjarak beberapa meter di atas permukaan laut (dpl) hingga sekitar 500 m dpl. Sementara itu, areal pala di Ternate, Tidore, dan Bacan terletak di lanskap pegunungan yang jaraknya sekitar beberapa kilometer dari tepi pantai. Sebagian besar wilayah Maluku bertipe iklim IIIC kecuali kepulauan Banda yang bertipe IIB. Dalam setahun wilayah Maluku menerima rata-rata cu-rah hujan 2.029 hingga 2.951 mm dengan suhu 22,1 sampai 31,0 oC; kelembaban 82,1 sampai 85,5%; dan penyinaran 57 hingga 59%; serta memiliki dua pola hu-jan: fluaktutif (multiple wave) dan ganda (double wave).
Pertanaman pala di Maluku Utara terdapat pada ketinggian dari 20 m hingga 500 m dpl. Intensitas penyinaran matahari yang sedang (50-60%) dan ketersediaan air hujan yang cukup sepanjang tahun adalah kondisi ekotipe yang sangat baik ba-gi perkembangan pala Banda. Selain itu, tanah vulkanik subur yang mendominasi lahan pala di Maluku (Gunung Salahutu, Gunung Binaya, Gunung Api Banda) dan Maluku Utara (Gunung Gamalama) menjadikan kondisi yang baik bagi pro-duktivitas tanaman. Di luar habitat aslinya, pala Banda juga berkembang pada daerah-daerah vulkanik. Vernon et al. dalam Purseglove et al. (1981) dalam sur-vei tanah yang dilakukan di Grenada menunjukkan bahwa pulau-pulau tempat pa-la berkembang tanahnya hampir seluruhnya berkarakteristik vulkanik, tersusun dari batuan piroklastik dan lava masif. Kondisi ekologi yang demikian memben-tuk, hingga tingkat tertentu, karakteristik khas pala Banda seperti sifat morfologi dan agronomi.
Berdasarkan uji Bartlett, karakteristik morfologi pala Banda memper-lihatkan stabilitas yang tinggi (90%) di dua ekotipe, Maluku dan Maluku Utara. Sifat stabilitas karakter menguntungkan tanaman baik dari segi agronomi maupun ekologi. Secara agronomi, karakteristik morfologi yang stabil dapat digunakan se-bagai identitas dalam identifikasi varietas (Guiard 1995). Pemanfaatkan karakter morfologi sebagai deskriptor tanaman/varietas dapat diterima apabila sifat-sifat tersebut memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan stabil (Cross 1990).
Berdasarkan analisis DNA pala ekotipe Maluku Utara memperlihatkan ja-rak genetik 0,22 dari pala yang terdapat di luar ekotipe Banda. Tampaknya bahwa semakin jauh jarak geografis dari Banda, DNA cenderung bervariasi dengan iden-titas genetik (0,7626 unit) dan jarak genetik (0,2710 unit) yang tidak banyak beru-bah. Di luar ekotipe aslinya, pala Banda tidak cukup banyak mengalami variasi dalam level molekuler isozim maupun DNA.
Karakteristik pala Banda penting lainnya adalah produksi buah dan minyak atsiri. Buah dengan edible portion tinggi seperti yang ditunjukkan oleh pala ekotipe Bacan (EP = 84.23%) menguntungkan bagi pengembangan industri manisan pala. Proporsi daging buah yang tinggi pala ekotipe Bacan memiliki nilai ekonomi yang baik. Produktivitas per tahun pala Banda berkisar 1.700 sampai 2.600 buah/pohon. Tingkat produksi tersebut setengah dari potensi produksi yang dapat dicapai. Pe-mupukan tanaman dapat menghasilkan pala 5.000 buah/pohon/tahun. Produksi tersebut setara dengan 26 kg biji kering. Produktivitas pala Banda juga dapat di-perbaiki dengan pengaturan jarak tanam dan pemangkasan pohon pelindung seca-ra teseca-ratur. Pohon pelindung bagi pala adalah hal yang pokok dan diperlukan se-lama siklus pertumbuhan tanaman.
dan 19,5 - 21,98% untuk Maluku Utara. Fuli merupakan arilus yang mempunyai banyak sel-sel yang berperan meyimpan minyak atsiri dalam konsentrasi tinggi.
Kandungan minyak atsiri pala bergantung pada spesies tanaman, organ yang diekstrak, umur panen, dan cara ekstraksi. Spesies M. fragrans Houtt hingga saat ini adalah jenis pala yang memiliki produktivitas dan kualitas yang lebih tinggi dari spesies lainnya, misalkan M. argentea Warb dan M. malabarica L. Spesies
M. argentea Warb yang merupakan pala Papua memiliki kandungan minyak atsiri yang rendah dan beraroma tidak sedap (Purseglove et al. 1981). Demikian juga halnya dengan M. malabarica L yang bahkan minyak atsiri yang dihasilkan tidak memiliki aroma (Guenther 1952).
Kadar minyak juga bergantung pada organ tanaman pala. Biji dan fuli ada-lah dua organ utama penghasil minyak atsiri dalam konsentrasi yang tinggi jika dibandingkan dengan organ lainnya. Sutedja (1980) dalam penelitiannya menun-jukkan bahwa daun pala yang diekstrak dengan cara distilasi hanya meng-hasilkan 1,7% minyak atsiri. Pada penelitian yang sama, biji dan fuli masing-masing menghasilkan minyak atsiri 17,1% dan 21,8%. Biji pala muda mengandung mi-nyak atsiri yang lebih tinggi dibandingkan organ pala lainnya. Biji pala muda pa-la ekotipe Ternate mengandung minyak atsiri yang lebih tinggi, yaitu 13,32%. Kandungan minyak atsiri yang tinggi pada biji pala muda disebabkan oleh kon-sentrasi minyak yang terakumulasi dan belum mengalami degrarasi untuk peng-gunaan proses metabolisme dan translokasi.
Minyak atsiri atau minyak pala diperoleh melalui beberapa metode ektraksi dan distilasi (Daferera et al. 2002; Guo dan Yu 1985). Metode distilasi minyak pala dilakukan dengan menggunakan air (hydro distillation) atau uap panas (steam distillation). Minyak pala mudah menguap (sehingga disebut volatile oil), ber-warna bening hingga kuning pucat dan memiliki bau dan rasa khas pala. Di udara terbuka, minyak pala mengalamai oksidasi dan resinifikasi sehingga menghasilkan minyak yang lebih kental (David et al. 2001).
mi-nyak pala yang utama adalah bobot jenis, indeks bias, putaran optik, dan kelarutan dalam alkohol. Sifat-sifat tersebut menentukan mutu minyak pala. Menurut Tjip-tadi dan Yasnita (1986) lama waktu distilasi mempengaruhi bobot jenis, indeks bias, putaran optik, dan sisi penguapan. Sifat fisiko-kimia minyak pala ekotipe Maluku umumnya stabil daripada Maluku Utara. Bobot jenis pala ekotipe Malu-ku adalah 0,897 - 0,909 ml/g, sedangkan MaluMalu-ku Utara 0,884 - 0,910 mm/g. Ki-saran bobot jenis yang diperoleh sesuai dengan SNI pala nasional. Bobot jenis minyak pala yang memenuhi standar menurut SNI adalah 1,488 - 1,495 (kiteria lengkap terdapat pada Tabel 29). Stabilitas dalam bobot jenis pala Banda penting karena menentukan kualitas komersialnya. Sifat fisiko-kimia lainnya adalah in-deks bias. Penelitian menunjukkan kedua ekotipe memiliki pala dengan inin-deks bi-as yang stabil, yaitu 1,489 - 1,491 untuk ekotipe Maluku, dan 1,486 - 1,149 untuk Maluku Utara. Kriteria indeks bias yang ditetapkan oleh British Standard Institu-tions for Nutmeg Oil bagi minyak pala East Indian adalah 1,4750 - 1,488, dan ba-gi West Indian adalah 1,4720 - 1,4760 (Peter 2001).
iklim, musim, faktor geografis dan tanah, waktu panen, dan teknik distilasi yang digunakan. Minyak atsiri umumnya terdiri atas berbagai campuran se-nyawa ki-mia yang terbentuk dari unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan unsur lainnya seper-ti nitrogen dan belerang (Copalakrishnan 1992).
Secara ekologi karakteristik pala Banda baik dalam aspek morfologi, agro-nomi, dan DNA memperlihatkan variasi yang kecil. Pada level morfologi, pala Banda di enam ekotipe menunjukkan variasi sekitar 10%. Pada level DNA, pala Banda tidak cukup banyak berubah sebagaimana ditunjukkan oleh identitas gene-tik yang hanya turun hingga sekitar 76,3%. Perubahan tersebut terjadi pada pala Banda ekotipe Ternate. Homogenitas populasi pala Banda pada agroekosistem di Maluku dan Maluku Utara sangat mendukung stabilitas karakter genetik. Penyer-bukan silang yang merupakan tipe utama perkembangbiakan seksual pala Banda tidak cukup tekanannya untuk mengubah performa genetik sebab ekotipe tersusun oleh populasi pala Banda yang sangat homogen. Terhadap karakteristik isozim, pala Banda memperlihatkan performa yang lebih homogen/stabil.
Terhadap karakteristik agronomi, seperti produksi dan sifat-sifat buah peru-bahannya cukup beragam. Variasi karakter agronomi yang terjadi antar ekotipe lebih banyak ditentukan oleh pengaruh faktor-faktor lingkungan tanaman. Pro-duksi sebagai karakter kuantitatif biasanya sangat bergantung pada kondisi ling-kungan. Faktor lingkungan seperti tingkat kesuburan tanah, penyinaran matahari, suhu udara dan ketersediaan lengas tanah adalah faktor dominan yang secara lang-sung berhubungan dengan produktivitas tanaman. Flamini et al. (2002) dalam penelitiannya pada Rosmarinus officinalis L menyatakan bahwa karakteristik agronomi dan produksi dicirikan oleh kondisi ekotipe tanaman. Lebih jauh Copalakrishnan (1992) memperlihatkan bahwa komposisi minyak atsiri pala ber-variasi menurut asal geografisnya. Tidak ada penelitian yang mendalam menge-nai hubungan variasi produksi minyak atsiri dengan karakteristik ekologis begitu juga dengan faktor genetik tanaman. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor lingkungan ekologis bersama-sama dengan faktor genetik tanaman membentuk fenotipe dengan karakteristik tertentu tanaman.
pembe-rian pupuk kimia dan pengendalian hama/penyakit dengan pestisida. Pengelolaan tanpa input teknologi pertanian telah lama dipraktekkan oleh petani pala di Malu-ku dan dilaMalu-kukan secara turun-ternurun. Oleh karena itu, sistem budidaya pala di Maluku dan Maluku Utara dapat dikategorikan sebagai sistem pertanian organik penuh (fully organic farming system). Dari sisi produktivitas, sistem tanpa input tidak dapat menghasilkan produksi maksimal, tetapi dari sisi ekologis sangat menguntungkan. Pertanaman pala dengan sistem pertanian organik bebas dari ba-han kirnia (pupuk, pestisida atau zat pengatur tumbuh) yang berpotensi meng-ganggu ekosistem dan lingkungan.
Dalam penelitian diketahui dari informasi petani bahwa pemberian input teknologi, misalnya pupuk kimia dapat dilakukan, tetapi urnumnya tidak dikehen-daki oleh petani. Petani pala, khususnya di Maluku menghendikehen-daki tingkat produk-tivitas seperti saat ini. Menurut pengalaman petani, produkproduk-tivitas pala yang mele-bihi tingkat saat ini dapat mempersingkat umur biologis tanaman. Meski belum ada penelitian yang membuktikan pernyataan petani tersebut, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa umumnya pohon-pohon pala dengan pengelolaan sangat minimal masih memperlihatkan produktivitas yang relatif tinggi dan stabil bahkan hingga berumur di atas 50 tahun.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pala
Pala (Myristica fragrans Houtt) tergolong ke dalam famili Myristicaceae yang menurut taksonomi tumbuhan terletak antara Annonaceae dan Lauraceae (Joseph 1980). Famili Myristicaceae memiliki 18 genus dan sekitar 300 spesies. Myristica adalah genus terbesar dengan 72 spesies yang diketahui banyak tersebar mulai dari India dan Sri Lanka sampai ke timur mulai dari Malaysia hingga ke Australia bagian timur laut, Taiwan dan Pasifik termasuk Kepulauan Solomon, Fi-ji dan Samoa (Purseglove et al. 1981). Sebagian besar spesies genus Myristica, yaitu sekitar 34 spesies, endemik ditemukan di Papua sehingga oleh beberapa pe-neliti Papua dipandang sebagai pusat asal dan penyebaran tanaman pala.
Spesies utama pala yang telah dibudidayakan adalah M. fragrans Houtt, M. succedanea Warb, dan M. argentea Reinw. Dua spesies pertama banyak dijumpai di Maluku dan Maluku Utara, sedangkan yang terakhir banyak terdapat di Papua. 1. Myristica fragrans Houtt
Tanaman pala Banda sejak tahun 1834 telah menyebar luas ke berbagai tempat seperti misalnya ke Grenada, Pinang Malaysia, Sri Lanka, dan Kerala In-dia (GCNA 2001). Di Indonesia, jenis tersebut sudah dikembangkan secara ko-mersial di beberapa daerah, seperti di Manado, Aceh, Makassar, Papua, dan Bo-gor.
Spesies M. fragrans Houttmemiliki 44 kromosom somatik (2n) yang bersi-fat holokinetik, yaitu mempunyai berkas gelendong yang menyelimuti seluruh kromosom (Purseglove et al. 1981). Dalam taksonomi, spesies tersebut sinonim dengan M. officinalis L.f., M. moschata Thumb, dan M. aromatica Lamk (De Guzman dan Siemonsma 1999). Di Indonesia jenis tersebut lebih dikenal seba-gai pala Banda dan diketahui merupakan pala yang bernilai ekonomi paling tinggi.
gene-ratif setelah berumur 5 hingga 7 tahun yang ditandai dengan terbentuknya bunga. Tanaman yang berbunga jantan akan berkembang menjadi pohon jantan yang ti-dak menghasilkan buah, sementara yang berbunga betina akan menghasilkan ta-naman betina yang menghasilkan buah. Hingga kini jenis kelamin pala belum bisa diketahui sampai bunga terbentuk meskipun telah dilakukan penelitian hingga ke tingkat molekuler.
(a) (b) (c)
Gambar 2 Pohon pala M. fragrans Houtt (a), M. argentea Warb (b) dan
M. succedanea Reinw (C). (Inzet: buah).
Buah pala menghasilkan dua produk berbeda yaitu biji pala dan fuli. Biji pala adalah bagian utama buah yang menghasilkan bahan rempah. Biji mencapai umur matang setelah enam hingga sembilan bulan. Fuli pala merupakan arilus biji yang berubah warna menjadi merah darah pada saat biji atau buah berumur tujuh sampai sembilan bulan.
Beberapa sifat buah M. fragrans Houtt, yaitu untuk setiap 100 g mengan-dung 10 g air, 7 g protein, 33 g mentega pala, 5 g minyak atsiri, 30 g karbohidrat, 11 g serat, 2 g abu (De Guzman dan Siemonsma 1999). Dalam minyak pala terdapat senyawa aromatik miristisin yang bersifat halusinogenik dan toksik. 2. Myristica argentea Warb
tinggi 15 sampai 20 m dengan daun yang tebal dan lebar (Gambar 2b). Batang berwarna gelap atau sawo kehitaman.
Bunga jantan berbentuk infloresens yang terdiri atas 3 sampai 5 bunga. Bunga betina ukurannya lebih kecil bunga jantan dan biasanya tunggal. Spesies tersebut memiliki ciri khas dari buahnya yang besar dan lonjong. Begitu pula dengan biji yang dihasilkan yang dapat mencapai ukuran panjang 4 cm. Buah terbelah saat mencapai umur masak. Buah tanaman tersebut memiliki kandungan komponen atsiri safrol yang tinggi (De Guzman dan Siemonsma 1999). Daging buah yang tebal menjadikan pala Papua sesuai untuk industri manisan atau asinan pala.
3. Myristica succedanea Reinw
Pala M. succedanea Reinw terdapat banyak di Maluku Utara, yaitu di Ter-nate, Tidore, Bacan, dan Halmahera. Di Maluku Utara spesies tersebut dikenal sebagai pala Patani. Tinggi pohon mencapai 10 sampai 20 m (Gambar 2c). Kanopi pohon M. succedanea Reinw berbentuk piramida hingga lonjong dengan perca-bangan yang agak teratur (Hadad 1992). Bunga jantan dalam beberapa buah atau infloresensia dan beraroma. Sementara bunga betina lebih pendek dari bunga jan-tan dan biasanya tunggal.
Buahnya agak lonjong dengan biji yang bulat sampai lonjong. Pala jenis tersebut meskipun menghasilkan fuli yang tebal, kualitasnya lebih rendah diban-dingkan dengan pala Banda. Sebagian besar spesies genus Myristica berbentuk pohon tropik yang bersifat tak meranggas, tumbuh di daerah hutan hujan tropis di dataran rendah hingga ketinggian 400 m dpl namun beberapa spesies ditemukan tumbuh di pegunungan dengan elevasi hingga 700 m dpl (Purseglove et al. 1981).
Tabel 1 Spesies utama genus Myristica dan sinonimnya
Spesies Sinonim Nama umum Sumber
M. fragrans Houtt M. officinalis L
M. moschata Thunb
M. aromatica Lamk Pala Banda
(1)
M. ambeinensis Gandoger (2)
M. argentea Warb M. finschii Warb Pala Papua/pala Makassar
Ket.: (1) Purseglove et al., 1981; (2) Groome, 1970.
Selain empat spesies di atas, dikenal pula spesies Myristica ekotipe Malabar yang disebut Myristica malabarica L, dan Virola surinamensis Rol. (Groome 1970). Spesies V. surinamensis Lamk adalah jenis pala liar yang berkembang di ekotipe Suriname dan tidak dibudidayakan karena tidak memiliki nilai ekonomi yang berarti.
Studi genetik pada tanaman pala sangat sedikit dilakukan. Di Indonesia, hampir tidak ada laporan yang memadai mengenai aspek genetik maupun pemu-liaan pala. Studi sitologi yang dilaporkan oleh Purseglove et al. (1981) menyata-kan bahwa M. fragrans Houtt memiliki kromosom somatik 2n sebanyak 42, de-ngan kromoson dasar diduga sebanyak 7 buah. Penelitian lainnya melaporkan bahwa pala memiliki kromosom 2n = 44 (Peter 2001).
Morfologi Tanaman
Pala umumnya bersifat diosius (bunga jantan dan betina terdapat pada tana-man yang berbeda) tetapi kadang dijumpai monosius yaitu bunga jantan dan be-tina terletak pada pohon yang sama. Pengamatan di hutan pala Maluku dan Malu-ku Utara menunjukkan bahwa berdasarkan letak bunga, terdapat tiga tipe tanaman pala yaitu tanaman jantan, tanaman betina, dan tanaman hermaprodit. Tanaman jantan didominasi oleh Myristica fatua Houtt, betina oleh M. fragrans Houtt, dan hermaprodit di antara keduanya. Pada pala tidak dikenal bunga hermaprodit.
Tanaman pala jantan dicirikan oleh habitus yang lebih kecil dari tanaman betina, memiliki cabang yang lebih tegak, daun lebih kecil dan menghasilkan ba-nyak bunga jantan dalam bentuk rangkaian yang membawa 3 sampai 15 bunga per rangkaian. Jumlah bunga betina antara 1 sampai 3 per rangkaian. Bunga betina dan jantan keduanya berbentuk oval berwarna kuning gading dengan ukuran pan-jang sekitar 4 sampai 8 mm. Dalam perkebunan pala, umumnya rasio pohon jan-tan terhadap betina dipertahankan 1:10 (Hadad 1990).
Struktur dan sifat tanaman pala yang menyerupai pohon menjadikan tana-man tersebut sebagai tanatana-man hutan yang berfungsi menghijaukan kawasan lereng pegunungan yang penting dalam mencegah erosi. Pala memiliki sistem perakaran yang dangkal namun ekstensif, satu akar tunggang dan beberapa cabang akar se-kunder yang menyebar hanya beberapa cm di bawah permukaan tanah. Kedala-man akar tanaKedala-man sekitar 3,5 sampai 5 m. Pala memiliki sistem perakaran yang dangkal sehingga mudah tumbang oleh terpaan angin kencang. Pada tahun 1955 tercatat 80% populasi tanaman di perkebunan pala di Grenada rusak oleh badai angin 'Janet' (Muller et al. 1980).
tana-man pala akan terus berlangsung silih berganti tanpa ada batas yang jelas antara musim pertama dan berikutnya.
Penyerbukan bunga pada tanaman pala tidak sepenuhnya dipahami. Bebera-pa laporan menyebutkan penyerbukan Bebera-pala dibantu oleh sejenis ngengat yang dis-ebut 'mibone'. Pengamatan di Maluku dan Maluku Utara menunjukkan bahwa ngengat dan semut hitam kemungkinan berperan dalam penyerbukan sebab kedu-anya seringkali hadir pada waktu tanaman pala dalam fase pembungaan. Semut sangat tertarik oleh nektar yang dihasilkan bunga jantan maupun betina. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Cruickshank (1973). Flach (1966) berpendapat bahwa pala tergolong ke dalam tanaman yang menyerbuk silang obligat.
Kondisi Umum Ekotipe Maluku dan Maluku Utara
Maluku Tengah yang mencakup Pulau Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau Seram terletak pada 2,50 - 7,50 Lintang Selatan dan 126,50 - 132,50 Bujur Timur. Kawasan tersebut dibatasi oleh Laut Seram di Utara, Laut Banda di Selatan, Pulau Buru di Barat, dan perairan Papua di Timur.
Luas wilayah Maluku Tengah sekitar 257.890 km2 dengan luas daratan 19.594 km2. Luas Pulau Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau Seram dan pulau-pulau sekitarnya masing-masing 761 km2, 172 km2, dan 18.679 km2. Maluku tengah juga merupakan daerah bergunung. Gunung Salahutu merupakan gunung tertinggi (1.038 m dpl) yang terletak di Pulau Ambon, gunung Api di Kepulauan Banda (667 m dpl), dan gunung Binaya di Pulau Seram (3.027 m dpl).
Wilayah Maluku memiliki areal sekitar 472.142 ha yang potensial untuk pengembangan komoditas unggulan tanaman industri seperti cengkeh dan pala. Untuk komoditas perkebunan seperti kelapa, kakao, dan kopi robusta tersedia lahan seluas 443.438 ha, dan kopi arabika serta kayu manis dengan luas 29.864 ha. Tanaman perkebunan lainnya yang dapat dikembangkan adalah jambu mete, sukun, kemiri, kapuk randu, atau kayu-kayuan dengan luas tersedia 120.442 ha. Tanaman hortikultura buah-buahan tahunan yang diunggulkan adalah manggis, salak, durian, lengkeng dengan luas tersedia 617.401 ha. Pengembangan lahan basah atau sawah diarahkan pada areal dengan luas 265.386 ha, sedangkan untuk lahan kering, komoditas yang diunggulkan adalah padi gogo, jagung, dan kacang tanah dengan luas 114.948 ha. Untuk pengembangan perikanan air payau (tambak) tersedia areal 26.466 ha. Komoditas pala di Maluku Tengah dikembang-kan di atas areal lebih dari 5,2 ribu ha. Menurut data tahun 2003, luas areal pala di Pulau Ambon, Banda, dan Seram Barat masing-masing 449, 18, dan 128 ha dengan produksi berturut-turut 41, 244 dan 10 ton.
Sementara itu, komoditas unggulan yang direkomendasikan untuk Maluku Utara adalah cengkeh dan pala dengan luas sekitar 498.125 ha. Maluku Utara memiliki areal pala sekitar 9.833 ha dengan produksi 5,9 ton. Pada areal yang sama juga dapat dikembangkan tanaman hortikultura buah seperti manggis, salak, durian, dan lengkeng (BPS Maluku Utara 2003).
290.266 ha. Tanaman pangan lahan kering mencakup lahan untuk pengembangan tanaman gembili dengan luas 140.532 ha. Pengembangan untuk perikanan tambak tersedia areal seluas 26.466 ha. Untuk hutan produksi, lahan tersebut diarahkan peruntukannya untuk kawasan hutan dengan luas tersedia 1.888.464 ha, dan untuk kawasan konservasi seluas 805.541 ha.
Minyak Pala dan Komponen Atsiri
Minyak pala terutama dihasilkan melalui proses distilasi biji pala dan fuli. Distilasi uap (steam distillation) dan distilasi air (hydrodistillation) merupakan dua metode ekstraksi minyak yang bekerja berdasarkan suhu dan tekanan uap. Metode distilasi dapat menghasilkan minyak 5 sampai 15% bobot pala. Pala menghasilkan minyak yang tidak berwarna, kuning pucat atau hijau muda, peka cahaya dan suhu, dan beraroma khas pala (Peter 2001). Minyak pala larut dalam alkohol tetapi tidak larut dalam air.
Dikenal dua tipe minyak pala, East Indian dan West Indian. Minyak pala East Indian dan West Indian berbeda dalam aroma dan mutu. Minyak pala East Indian, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, lebih unggul daripada minyak pala West Indian karena memiliki aroma yang lebih disukai dan mengandung komponen eter fenil propanoid (Masada 1976) dan terpen (Lewis 1984) yang tinggi. Selain itu, minyak pala East Indian dilaporkan kaya senyawa aromatik mi-ristisin (hingga 14%) jika dibandingkan dengan minyak pala West Indian yang kandungannya kurang dari 1%.
Tabel 2 Karakteristik minyak pala East dan West Indian menurut British Standards Institution for nutmeg oil
Karakteristik (pada 20 oC ) East Indian West Indian
Warna : Tak berwarna-kuning Tak berwarna-kuning pucat Bobot jenis (g/ml) : 0,885 - 0,915 0,860 - 0,880
Putaran optik : 8,00 - 25,00 25,00 - 450
Indeks bias : 1,4750 - 1,4880 1,4720 - 1,4760 Kelarutan dlm etanol 90% : 3,0 volume 4,0 volume
dengan bau dan citarasa khas pala. Selain biji dan fuli, dari daun juga dapat dipe-roleh minyak namun konsentrasinya lebih rendah (kurang dari 1%). Secara kimia, minyak pala sama dengan yang dari biji dan fuli, tetapi bau dan citarasanya ber-beda. Ekstraksi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa metode. Ekstraksi minyak atsiri dari bahan fuli lebih baik menggunakan metode karbon dioksida cair dan pekat karena menghasilkan minyak dengan mutu dan citarasa yang lebih baik dibandingkan dengan cara distilasi uap (Naik et al. 1988).
Minyak atsiri mengandung beberapa komponen atau senyawa, sebagian be-sar penting bagi industri. Karena aromanya yang khas, minyak atsiri pala banyak dimanfaatkan sebagai bahan dalam industri kosmetik. Selain itu, minyak atsiri juga banyak digunakan dalam industri farmasi. Sifat-sifat farmakologi pala ditentukan oleh senyawa yang terdapat di dalam komponen atsiri. Laporan mengenai komponen atsiri pala pertama kali disampaikan oleh Power dan Salway (1907, 1908).
Gambar 3 Beberapa komponen atsiri pala Banda.
aromatik, seperti miristisin, safrol, dan elemisin merupakan komponen atsiri yang menentukan citarasa dan karakteristik farmakologis minyak pala.
Analisis GC memperlihatkan terdapat 33 senyawa atsiri dalam minyak pala dan 51 dalam minyak fuli. Kedua minyak komposisinya secara kualitatif sama, perbedaannya hanya pada kuantitas. Minyak pala mengandung sekitar 76,8% monoterpen; 12,1% monoterpen teroksigenasi; dan 9,8% eter fenil propanoid, sedangkan minyak fuli mengandung 51,2% monoterpen; 30,3% monoterpen teroksigenasi; dan 18,8% eter fenil propanoid (Mallavarupu dan Ramesh 1998). Komposisi minyak atsiri bervariasi menurut lokasi geografis pala (Baldry et al.
1976; Masada 1976; Lawrence 1981; Kumar et al. 1985; Copalakrishnan 1992). Pala M. fragrans Houtt dari Indonesia dilaporkan mengandung 2% miristisin dibandingkan dengan 0,13% pada M. argentea Warb. Miristisin tidak ditemukan dalam M. muelleri L. Kadar safrol, yang diduga bersifat karsinogenik, kadarnya adalah 0,13; 0,15; dan 0,24% masing-masing dalam M. fragrans Houtt, M. argentea Warb, dan M. muelleri L. (Archer 1988). Fraksi miristisin bersama dengan elemisin menentukan sifat halusinogenik pala. Komposisi atsiri dalam minyak pala berubah pada penyimpanan jangka panjang. Selama penyimpanan dan transportasi, minyak pala harus terhindar dari cahaya langsung dan disimpan dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu tidak lebih dari 25 oC. Penyimpanan yang lama merusak komposisi minyak.
industri parfum dan farmasi. Dalam farmasi, jenis minyak tersebut dimanfaatkan sebagai bahan obat balsem dan rematik.
Pemanfaatan Pala
Pala dan fuli keduanya dimanfaatkan dalam industri farmasi. Pala dalam bentuk bubuk jarang digunakan secara tersendiri namun dicampur dengan bebe-rapa bahan obat. Penggunaan minyak atsiri dalam aromaterapi kian meningkat. Komponen utama pala dan fuli, yaitu miristisin, elemisin dan isoelemisin jika dis-ajikan dalam bentuk aroma akan berkhasiat sebagai penghilang stres. Di Jepang, banyak perusahaan menggunakan pengharum udara yang beraroma pala untuk memperbaiki lingkungan udara tempat bekerja.
Pala sebagai obat lebih banyak digunakan di Timur daripada di Barat. Segai obat, pala memiliki sifat stimulatif dan karminatif. Biji pala mengandung ba-han obat yang bersifat karminatif, deodoran, astringen, narkotik, aprodisiak dan baik untuk mencegah pilek, dan mual/muntah. Sifat antioksidan pala telah dila-porkan oleh beberapa peneliti (Madsen dan Bertelsen 1995; Lagouri dan Boskou 1995).
Minyak pala berguna dalam pengobatan penyumbatan kandung kemih, hali-tosis, dispepsia, flatulens, impotensi, insomnia, dan penyakit kulit. Minyak pala juga secara eksternal berguna sebagai bahan stimulan dan penawar iritasi. Seba-gian besar sifat farmakologis pala ditentukan oleh senyawa-senyawa yang terkan-dung di dalam minyak atsiri. Minyak atsiri fuli memiliki banyak sifat fisiologis dan organoleptik yang sama dengan minyak atsiri biji pala. Mentega pala meru-pakan stimulan eksternal yang bersifat sedang dan dimanfaatkan dalam bentuk lo-tion, minyak rambut, plaster yang dipakai mengobati rematik, kelumpuhan, dan nyeri (Mallavarapu dan Ramesh 1998).
berba-haya karena jika berlebihan dapat menimbulkan efek narkotik, gejala delirium, dan kejang-kejang epilepsi yang tampak 1 sampai 6 jam sesudah pema-kaian (Shulgin 1963).
Minyak pala digunakan dalam kosmetik, yaitu untuk parfum dan pengharum ruangan karena sifat aromatiknya. Minyak fuli memiliki sifat fisiko-kimia dan organoleptik yang hampir sama dengan minyak pala. Minyak fuli dalam jumlah terbatas dimanfaatkan dalam industri parfum dan sabun .
Komponen mirisitisin yang berkhasiat halusinogenik dilaporkan dapat digu-nakan sebagai bahan insektisida yang efektif (Ejechi et al. 1998). Kamfen yang terdapat dalam minyak atsiri pala digunakan dalam pembuatan kamfer dan se-nyawa lainnya yang bersifat antibakteri, anticendawan, dan antiserangga (Huang
et al. 1997). Pinen, komponen atsiri lainnya, digunakan dalam pembuatan kam-fer, pelarut, bahan pembantu pembentukan plastik, parfum dan minyak pinus sin-tetik. Dipentin dimanfaatkan dalam pembuatan resin dan dipakai sebagai bahan pembasah (wetting agent) dan perata larutan (dispersing agent). Asam miristat di-gunakan dalam pembuatan sabun, deterjen cair, shampoo, kream cukur, parfum, plastik; bahan pencampur pada pembuatan karet, dan cat minyak; bahan untuk pembuatan ester untuk citarasa dan parfum dan sebagai bahan aditif makanan. Si-fat larvasida juga dilaporkan dimiliki oleh fuli sebagaimana dilaporkan Nakamura
et al. (1988) dalam penelitiannya dengan larva Toxocara canis L. Karakteristik Tanaman: Isozim dan DNA
Selain karakter morfologi, isozim dan DNA lebih banyak digunakan sebagai karakter atau penciri tanaman karena lebih stabil dan terpercaya. Isozim atau isoenzim merupakan protein enzim yang memiliki beberapa bentuk namun meng-katalisis reaksi yang sama (Adam 1983). Umumnya isozim dikendalikan oleh lo-kus kodominan yang diwariskan menurut kaidah Mendel dan banyak lolo-kus isozim diekspresikan pada seluruh tahap atau siklus pertumbuhan (Hamrick 1989).
KAJIAN MORFOLOGI, AGRONOMI, DAN
PEMBUATAN DESKRIPTOR PALA BANDA (Myristica fragrans Houtt) Abstrak
Pala Banda adalah tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomi dan ekologi. Pala tumbuh dan beradaptasi baik pada agroekologi Maluku. Penelitian bertujuan mengeksplorasi lebih jauh aspek ekologi, morfologi, dan agronomi pala di Maluku dan Maluku Utara, dan membuat deskriptor pala menurut ekotipe. Aspek ekologi yang dipelajari mencakup kondisi iklim, fisik/kimia tanah, dan fisiografi. Untuk studi morfologi, 21 sifat tanaman pala diamati dan skor/diukur lalu dianalisis dengan metode analisis klaster multivariat dan uji kesamaan ragam Bartlett-T. Untuk kajian agronomi digunakan pohon pala produktif berlingkar batang 25-50 cm dan tumbuh di dua elevasi, 0-50 m di atas permukaan laut (dpl) dan 250-300 m dpl. Pengamatan mencakup produksi, produktivitas, dan karakteristik proksimat buah. Data agronomi dianalisis dengan uji-T dan uji Dunnett. Data ekologi, morfologi, dan agronomi selanjutnya disusun menjadi suatu deskriptor dengan mengacu pada prosedur Tropical Fruit Descriptors IPGRI. Analisis komponen utama (PCA) dilakukan untuk variabel agroekologi.
Hasil menunjukkan bahwa agroekologi Maluku dicirikan oleh fisiografi pegunungan, perbukitan tektonik, vulkanik, dan karst dengan kelerengan 16-40%. Wilayah Ambon dan Banda sebagian besar tersusun dari tanah yang berbahan induk vulkanik, sementara Luhu berbahan sedimen. Iklim sebagian besar wilayah Maluku bertipe IIIC kecuali kepulauan Banda yang bertipe IIB. Wilayah Maluku mendapat curah hujan 2.029-2.951 mm/tahun dengan dua pola, fluaktutif (multiple wave) dan ganda (double wave), suhu 22,1-31,0 0C, kelembaban 82,1- 85,5%, dan penyinaran matahari 57-59%. Sementara itu, Maluku Utara dicirikan oleh tanah yang berbahan induk sedimen dan plutonik dan didominasi oleh fisiografi perbukitan/pegunungan vulkan, tektonik, dan karst dengan kelerengan 25-45%. Iklim Maluku Utara tergolong tipe IIIC (Tidore dan Bacan) dan IVB (Ternate) dengan pola hujan fluktuatif dan ganda. Suhu udara 23,6-30,1 0C, kelembaban 83% dan penyinaran 58%. Di antara 21 karakter morfologi tanaman yang diamati, 17 menunjukkan stabililitas yang tinggi (90%). Sifat morfologi yang cenderung berubah menurut ekotipe adalah warna buah, bentuk pangkal buah, panjang tangkai buah, dan indeks ukuran buah (IDbuah). Analisis klaster menunjukkan pala menurut karakter morfologi mengelompok ke dalam tiga kelas, 90% menyerupai karakteristik pala Banda. Produksi buah, biji, dan fuli di dua elevasi tidak menunjukkan perbedaan berarti. Secara umum produksi pala di ekotipe Banda lebih tinggi dibandingkan produksi ekotipe lainnya. Analisis proksimat memperlihatkan kadar air daging buah pala ekotipe Banda berbeda secara nyata dengan ekotipe lainnya. Rata-rata kadar air pala ekotipe Banda 79,5%. Perbedaan juga tampak dalam kandungan pektin. Protein, lemak, dan proporsi daging buah (EP) secara statistik tidak berbeda nyata. Berdasarkan kondisi iklim, tanah, dan karakteristik tanaman pala, Maluku dan Maluku Utara dapat dikelompokkan ke dalam empat morfo-ekotipe: ekotipe Banda meliputi Ambon dan Banda, ekotipe Luhu, ekotipe Ternate yang meliputi Ternate dan Bacan, dan ekotipe Tidore. Penelitian juga menghasilkan deskriptor pala masing-masing menurut ekotipe.
STUDY ON MORPHOLOGY, AGRONOMY, AND DESCRIPTOR MAKING FOR BANDA NUTMEG (Myristica fragrans Houtt)
Abstract
Banda nutmeg is an important spice crop economically and ecologically. The tree has long been growing and adapting well in Moluccas areas. The ob-jectives of the study are to explore morphological and agronomic aspects of the plant in two different areas, Moluccas and North Moluccas, and to establish a des-criptor as a guide for description of nutmeg characteristics. For morphology study, 21 characters of the plant were observed and analyzed using cluster method of multivariate analysis and Bartlett’T test. For agronomic study, trees with 25 to 50 cm in girth growing at two elevations, 0 to 50 m above sea level (asl) and 250 to 300 m asl were used. Agronomic observations included production, producti-vity, and fruit proximate characteristics. Data collected were subjected to T and Dunnett tests. Furthermore, based on ecological, morphological, and agronomic data, a nutmeg descriptor was composed according to Tropical Fruit Descriptors procedure of IBPGR.
Results showed that Moluccas was characterized by mountain physiography, tectonic hilly areas, volcanic, and karst with slope of 16 to 40%. Ecotypes of Banda and Ambon mainly consisted of volcanic soils, whereas Luhu consisted of sediment. Generally, Moluccas has climate IIIC type, except Banda with IIB. Annually, the area received rainfall 2,029 to 2,951 mm with two different pat-terns, fluctuate (multiple wave) and bimodal or double (double wave); tempera-ture 22.1 to 31.0 oC, relative humidity 82.1 to 85.5%, and solar radiation 57 to 59%. Meanwhile, North Mouluccas was characterized by volcanic hilly land-scape, tectonic, and karst soils with slope of 25 to 45%. The area has climate IIIC (Tidore and Bacan) and IVB (Ternate) types with fluctuatiate and double rainfall patterns. Temperature regime was between 23.6 and 30.1 oC, relative humidity 83%, and solar radiation 58%. Of 21 morphological plant characters observed, 17 showed a high stability in phenotype. The altered phenotypic characters included fruit colour, shape and length of peduncles, and fruit size index. Cluster analysis revealed that nutmeg trees could be grouped into three categories according to their morphology. Ninety percent of the studied trees foolowed with Banda type. Productions (fruit, seed, and mace) were not significantly different between the two elevations in both Moluccas and North Moluccas. Generally, nutmeg produc-tion in Banda ecotype was higher than that in other five ecotypes. Moreover, proximate analysis showed that water and pectin contents of the nutmeg from Banda ecotype were significantly different from the remaining ecotypes. Protein, fat, and EP, however, were not significantly different. Based on climatic, soil, and nutmeg characteristics, Moluccas and North Moluccas can be divided into four ecotypes, i.e. Banda (covering Banda and Ambon), Luhu, Ternate (covering Ter-nate and Bacan), and Tidore ecotypes. In this study, four nutmeg descriptors representing each ecotype have been established.
PENDAHULUAN
Pala (Myristica fragrans Houtt.) adalah tanaman yang penting karena
menghasilkan bahan rempah dan minyak atsiri yang bernilai ekonomi cukup
ting-gi. Komoditas pertanian unggulan di Maluku selain cengkeh adalah pala yang
ke-duanya banyak dibudidayakan oleh masyarakat setempat dalam bentuk
perkebu-nan rakyat (Kaya et al. 2002).
Pala dan fuli adalah dua bagian berbeda yang dihasilkan dari buah tanaman
pala. Tanaman pala berasal dari kepulauan Banda, Maluku. Spesies dari genus
Myristica tersebar mulai dari India dan Asia Tenggara sampai Australia bagian
utara dan Kepulauan Pasifik. Sinclair (1958) mencatat ada sekitar 75 spesies pala
yang ditemukan di wilayah tersebut. Daerah utama pala adalah Indonesia, daerah
yang dikenal sebagai sumber pala East Indian,dan Grenada yang dikenal sebagai
sumber pala West Indian. Pala juga berkembang dalam jumlah terbatas di Sri
Lanka, India, China, Malaysia, Sumatera Barat, Zanzibar, Mauritus, dan
Kepulauan Solomon (Peter 2001).
Pala tergolong ke dalam famili primitif Myristicaceae dengan 18 genus dan
300 spesies. Myristica merupakan genus yang paling primitif dari famili
Myristi-caceae (Sinclair 1958). Warming (1890) dan Talbot (1902) berpendapat bahwa
Myristicaceae berhubungan sangat dekat dengan Lauraceae. Tidak demikian
hal-nya dengan pendapat Wilson dan Maculans (1967), berdasarkan studi morfologi
dan anatomi, mereka berkesimpulan bahwa Myristicaceae lebih dekat dengan
An-nonaceae dan Canellaceae. Myristica dianggap sebagai anggota famili
Magno-liales atau secara taksonomi sama (Dahlgren 1983).
Tanaman pala berbentuk pohon yang tidak meranggas dengan tinggi 5
sam-pai 15 meter, kadang mencasam-pai 20 m. Batang mengandung cairan sel (sap) yang
berwarna coklat kemerahan, berdaun hijau berukuran panjang 5 sampai 15 cm dan
lebar 2 sampai 7 cm yang tersusun secara berselang seling di sepanjang ranting.
Permukaan atas daun licin mengkilap. Bunga pala umumnya diosius atau berumah
dua, tetapi bunga jantan dan betina kadang dijumpai pada pohon yang sama
(mo-nosius).
Pohon pala umumnya tidak berbunga sampai mencapai umur sekitar 5
mem-produksi buah hingga mencapai umur sekitar 75 tahun. Puncak mem-produksi terjadi 2
sampai 3 kali dalam setahun.
Pala dipetik bila telah mencapai umur panen yang ditandai dengan
terbelah-nya buah. Buah yang terbelah akan segera jatuh dari pohonterbelah-nya dan mengeluarkan
biji berwarna coklat kehitaman yang diselimuti arilus atau fuli yang berwarna
me-rah dame-rah. Biji pala menjadi kering dalam seminggu dengan sinar matahari.
Pohon pala umumnya bersifat diosius atau berumah dua yaitu bunga jantan
dan bunga betina terletak pada pohon yang berbeda. Pala umumnya menyerbuk
silang dan penyerbukannya dibantu oleh sejenis semut yang disebut Formicomum
braminus L, Anthridae (Amstrong dan Drummond 1980). Buah pala berbentuk
seperti pendulus, piriform, kuning gading, panjangnya sekitar 7 sampai 10 cm,
terbelah menjadi dua saat masak, menghasilkan biji berbentuk seperti buahnya
dan berwarna hitam kecoklatan dengan panjang 2 sampai 3 cm. Biji diselimuti
arilus yang disebut fuli yang berwarna merah darah, namun ditemukan varian pala
'Holland' yang menghasikan fuli warna gading. Biji pala memiliki endosperma
ruminat dan dipandang sebagai yang primitif diantara tumbuhan berbunga (Corner
1976).
Biji pala dan fuli merupakan produk utama pala Banda dan secara
komer-sial dipandang sebagai rempah. Pala dan fuli memiliki aroma khas pala yang
sama. Selain pala dan fuli beberapa produk lainnya juga penting. Oleoresin atau
mentega pala dan minyak atsiri adalah produk pala lainnya yang banyak
dimanfaatkan dalam industri pangan, farmasi, dan parfum.
Pala banyak diproduksi di daerah tropik, khususnya Indonesia dan Grenada.
Produksi pala dunia sekitar 12.000 ton per tahun dengan tingkat permintaan
sekitar 9.000 ton per tahun. Produksi fuli sekitar 2.000 ton. Produksi dan pangsa
pasar ekspor pala dan fuli dunia 75% dikuasai oleh Indonesia dan 25% oleh
Gre-nada. Negara lainnya yang memproduksi pala dalam jumlah relatif kecil adalah
India, Malaysia, Papua Nugini, Sri Lanka, dan Kepulauan Karibia.
Produksi pala banyak dihasilkan di pulau Siauw dan Sangihe, Sulawesi
Utara; Ambon dan Banda di Maluku; Ternate, Tidore, dan Bacan di Maluku
Utara; serta Papua. Daerah-daerah tersebut dikenal oleh dunia internasional
pala East Indian. Grenada, di lain pihak, menghasilkan pala West Indian yang
dicirikan oleh aroma yang lebih rendah dari East Indian dan warna minyak pala
yang dihasilkan lebih pucat. Pala 'Bombay' adalah jenis West Indian yang dalam
jumlah kecil diekspor Amerika Serikat. Pasar impor utama produk pala adalah
Masyarakat Ekomomi Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan India. Singapura dan
Belanda adalah negara pengekspor-ulang utama. Amerika merupakan pasar pala
terbesar dan mengimpor pala terutama jenis East Indian dari Indonesia sekitar
65% dari total impor pala per tahun.
Penelitian bertujuan untuk mengkarakterisasi pala Banda dari aspek ekotipe,
morfologi tanaman, dan agronomi. Selain itu penelitian dilakukan untuk
menyu-sun suatu deskriptor yang merupakan pedoman umum pendeskripsian tanaman
BAHAN DAN METODE Studi Morfologi dan Agronomi
Studi ekotipe pala menggunakan pendekatan karakteristik ekologi yang
mencakup tanah, fisiografi lahan, dan iklim; dan pendekatan karakteristik tanaman
pala itu sendiri khususnya karakteristik morfologi, produksi dan buah. Sampling
dilakukan di enam ekotipe di wilayah Maluku dan Maluku Utara. Di Maluku
dipi-lih tiga ekotipe: Ambon, Luhu, dan Banda; dan di Maluku Utara, sampling
men-cakup tiga ekotipe: Ternate, Tidore, dan Bacan. Sampel tanah komposit di tiga
ti-tik diambil pada daerah perakaran tanaman pala di masing-masing ekotipe.
Untuk kajian morfologi dan agronomi digunakan pohon pala produktif
be-rumur lebih dari 15 tahun sebagai bahan sampling. Di Maluku, sampling untuk
identifikasi morfologi tanaman dilakukan di tiga ekotipe: Ambon, Luhu, dan
Ban-da. Di Maluku Utara, sampel tanaman juga diambil di tiga ekotipe: Ternate,
Ti-dore, dan Bacan.
Studi morfologi tanaman dilakukan pada bulan Desember 2005 bertepatan
dengan waktu panen pala. Pada setiap lokasi dipilih enam pohon dan dari setiap
pohon masing-masing diambil sepuluh pengamatan. Karakteristik yang dipakai
sebagai penciri morfologi tanaman mengacu pada pedoman Tropical Fruit
Des-criptors (IPGRI 1980) yang dimodifikasi. Penciri dimaksud mencakup sifat-sifat
seperti tercantum dalam Tabel 3.
Pengukuran panjang, lebar, dan lingkar batang pohon memakai meteran;
di-ameter buah, biji, dan cabang dengan jangka sorong; bobot buah, biji, dan fuli
dengan neraca digital; dan warna daun, buah, biji, dan fuli dengan skala warna
Munsel Color Chart. Sifat-sifat morfologi dikarakterisasi sebagai variabel
nomin-al atau pengukuran. Variabel nominnomin-al selanjutnya diberi skor nilai untuk
memu-dahkan kuantifikasi.
Pohon-pohon pala yang produktif dan berukuran lingkar batang sekitar 25
sampai 50 cm digunakan sebagai populasi penelitian. Dalam populasi di setiap
lokasi dipilih secara acak 10 pohon, dan pada setiap pohon diambil 10 sampel
untuk pengamatan karakteristik tanaman. Untuk pengamatan produksi pala,
sampel diambil di dua elevasi yang berbeda yaitu di ketinggian 0 sampai 50 m dpl
dilakukan dua kali dalam setahun, April sampai Mei 2005 dan Desember hingga
Januari 2006.
Tabel 3 Sifat-sifat morfologi tanaman pala dan kategori pengukurannya
Sifat Morfologi Skor/Pengukuran Deskripsi
Ukuran daun (indeks) Indeks Panjang daun dibagi lebar
Bentuk ujung daun 1, 2, 3, 4 1= sangat tajam; 2= tajam;
Panjang tangkai bunga (cm) Kuantitatif Pengukuran dalam sentimeter
Diameter bunga (cm) Kuantitatif Pengukuran dalam sentimeter
Jumlah bunga per rangkai Kuantitatif Pengukuran diskret
Bentuk buah (ID)
Diameter tangkai buah (cm) Kuantitatif Pengukuran dalam sentimeter
Panjang tangkai buah (cm) Kuantitatif Pengukuran dalam sentimeter
Warna diskolorisasi/getah buah 1, 2 1= coklat; 2= coklat tua
Bentuk biji (ID)
Pengukuran karakteristik tanaman meliputi produksi buah, biji, dan fuli.
Untuk mendapatkan data detail mengenai karakteristik buah, dilakukan pengujian
proksimat yang meliputi kadar air, protein, lemak, pektin, dan EP (edible portion
of flesh). Penentuan kadar air, lemak, dan pektin menggunakan metode AOAC
(AOAC 1995); dan kadar protein dengan metode semi mikro Kjeldahl dari
AOAC. Prosedur analisis proksimat buah pala adalah sebagai berikut.
Sekitar 5 g daging buah pala ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam
la-bu yang berisi 60 sampai 100 ml toluen. Campuran dipanaskan di atas pemanas
listrik mulai dengan suhu rendah selama 45 menit hingga suhu tinggi selama 1
sampai 1,5 jam. Volume air yang terdistilasi kemudian dicatat. Untuk penetapan
faktor distilasi caranya sama dengan penetapan sampel, namun menggunakan
akuades 3 sampai 4 g. Faktor distilasi diperoleh dengan membagi berat air yang
didistilasi dengan volume air yang terdistilasi. Kadar air dalam bahan dihitung
dengan formula:
V adalah volume air yang terdistilasi, W bobot awal sampel, dan Fd adalah faktor
distilasi.
2. Penentuan kadar protein dengan metode Kjeldahl
Sebanyak 0,l g sampel yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl-30 ml kemudian ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis dan batu
didih. Sampel dididihkan hingga cairan berubah menjadi jernih. Campuran
dipindahkan ke dalam labu destilasi yang berisi 15 ml NaOH 50% lalu dibilas
dengan air suling. Labu erlenmeyer yang berisi HCl 0,02 N diletakkan di bawah
kondensor yang sebelumnya telah diberi 2 tetes indikator (campuran metil merah
0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol dengan perbandingan
2:1). Ujung tabung kondensor diletakkan terendam dalam labu larutan HCl
kemudian didistilasi sampai tersisa sekitar 25 ml destilat dalam labu erlenmeyer.
Ujung kondensor dibilas dengan sedikit air destilata dan bilasannya ditampung
dalam erlenmeyer selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0,02 N sampai terjadi
perubahan warna hijau menjadi ungu. Penetapan blanko dilakukan dengan cara
yang sama. Kadar protein bahan ditetapkan dengan rumus sebagai berikut.
Pada formula di atas, y adalah volume NaOH titer blanko, z volume NaOH titer
sampel, N normalitas NAOH, dan W bobot sampel. V Kadar air (%) = ⎯⎯ x Fd x 100%
W
(y – z) x N x 0,014 x 6,25
Kadar protein (%) = ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ x 100%
3. Penentuan kadar lemak
Dua gram sampel bebas air diekstraksi dengan pelarut eter dalam alat
soxhlet selama 6 jam. Hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam. Ekstrak
selan-jutnya didinginkan dalam desikator hingga bobotnya tetap. Kadar lemak dihitung
dengan rumus:
A adalah bobot lemak (g), B bobot contoh awal (g).
4. Penentuan kadar pektin
Sebanyak 50 g sampel yang telah diparut dimasukkan ke dalam gelas
piala-500 ml yang berisi 400 ml HCl 0,05 N. Sampel dibiarkan terekstrak hingga 2 jam
pada suhu 80 sampai 90 °C. Campuran kemudian dipindahkan ke labu takar-500
ml dan diisi akuades sampai tanda tera lalu dikocok hingga merata. Ekstrak
disaring dengan kertas Whatman nomor 4 dan filtrat dimasukkan ke labu
erlen-meyer.
Untuk penetapan sampel, masing-masing aliguot dipipet 200 ml dan
dima-sukkan ke dalam gelas piala-500 ml yang berisi 250 ml akuades. Campuran
dinet-ralkan dengan penambahan NaOH 1 N dan 10 ml indikator PP NaOH 1 N sambil
diaduk kemudian dibiarkan semalam.
Sebanyak 50 ml asam asetat 1 N ditambahkan ke campuran, 5 menit
ke-mudian ditambahkan lagi 25 ml kalsium klorida 1 N, diaduk sampai merata.
La-rutan dibiarkan selama 1 jam kemudian dididihkan selama 2 menit. LaLa-rutan
dis-aring dengan kertas sdis-aring yang disegari air panas lalu dikeringkan dalam oven
102 °C selama 2 jam. Setelah didinginkan dalam desikator, ekstrak ditimbang di
dalam wadah timbangan tertutup. Endapan dicuci dengan air panas yang hampir
mendidih sampai bebas klorida (diuji dengan perak nitrat). Kertas saring yang
berisi endapan dipindahkan ke dalam wadah timbangan, dikeringkan pada suhu
100 °C semalam selanjutnya didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Kadar
pektin dalam bahan dihitung dengan menggunakan formula berikut. A
Kadar lemak (%) = ⎯ x 100%
Pada rumus di atas, a adalah bobot kertas saring kosong, b bobot kertas saring
akhir, dan W bobot sampel awal.
Dalam penyusunan deskriptor pala digunakan pedoman yang
direko-mendasikan oleh IPGRI dengan beberapa penyesuaian. Untuk deskripsi tanah dan
karakteristiknya berpedoman pada FAO (1990), dan untuk tanaman mengacu pada
pedoman Royal Horticultural Society (1986).
Analisis Data
Kesamaan sifat morfologi antarlokasi sampling yang didasarkan pada
ke-samaan ragam atau varian diuji menggunakan uji Bartlett. Statistik Bartlett
dihi-tung dengan formula:
(Σνi) ln (ΣνiS
2
,i/Σνi) - ln νi lnS
2 ,i
B = ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯
1 + {Σ (1/νi) – 1/Σνi}/{3(k-1)}
S2 ,i = Σni ,j=1(Xij – X)2 / (ni –1); k adalah banyaknya sampel, dan νi = ni –1. Xij
adalah rataan pengamatan ke-i dan sifat morfologi ke-j. Indeks kesamaan antar
individu tanaman pala di enam lokasi dan di dua ekotipe digambarkan dalam
dendogram menggunakan prosedur klaster dari Minitab 13. Data produksi dan
sifat kuantitatif buah lainnya dianalisis menggunakan Anova SAS, dan uji nilai
tengah Dunnett. Uji Dunnett dihitung dengan formula sebagai berikut.
ỹi - ỹj ± |d| s √1/ni + 1/nj
Pada persamaan di atas, ỹi - ỹj adalah selisih antara rataan 1 dan 2, |d| adalah
batas atas titik ekuikoordinat pusat (r-1) ragam distribusi T Student, s adalah
sim-pangan baku, serta ni dan nj adalah banyaknya pengamatan 1 dan 2.
(b – a)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Karakteristik Umum Ekotipe
Daerah Maluku secara astronomis terletak pada 2,50 sampai 7,50 Lintang
Se-latan (LS) dan 126,50 sampai 132,50 Bujur Timur (BT). Luas wilayah sekitar
257.890 km2 dan 19.594 km2 diantaranya adalah daratan (BPS Maluku 2003).
Wilayah ekologi Maluku didominasi oleh fisiografi pegunungan, perbukitan
tek-tonik, vulkanik, dan karst dengan kelerengan 16 sampai 40%. Wilayah Ambon
yang terletak pada 3o32'37,9'' LS dan 128012'48,0" BT, dan Banda yang terletak
pada 4o27'11,8" LS dan 129054'39,4" BT (Tabel 5) sebagian besar tersusun dari
tanah yang berbahan induk vulkanik, sementara Luhu berbahan induk sedimen.
Iklim Maluku secara umum bertipe IIIC kecuali kepulauan Banda yang
ber-tipe IIB (deskripsi ber-tipe iklim terdapat pada Lampiran 4). Selama 2005 wilayah
Maluku menerima rata-rata curah hujan 2.029 hingga 2.951 mm dengan suhu 22,1
sampai 31,0 0C; kelembaban 82,1 sampai 85,5%; dan penyinaran 57 hingga 59%.
Wilayah tersebut memiliki dua pola hujan yaitu fluaktutif (multiple wave) dan
ganda (double wave).
Tabel 4 Letak astronomi lokasi sampling di Maluku dan Maluku Utara
Maluku Posisi Lintang dan Bujur
LS/LU BT
1. Ambon 3o32'37,9'' LS 128012'48,0"
2. Banda 4o27'11,8" LS 129054'39,4"
3. Luhu 3o23'01,6" LS 127058'17,4"
Maluku Utara
4. Ternate 02023'04,6" LU 126033'23,5"
5. Tidore 02016'04,6" LU 126034'23,5"
6. Bacan 0030'21,4" LU 129003'01,2"
Semnetara itu, Maluku Utara yang terletak pada 30 LU dan 30 LS dan 124
sampai 1290 BT merupakan wilayah atau ekotipe yang dicirikan oleh tanah yang
tersusun dari bahan induk sedimen dan plutonik. Wilayah tersebut didominasi
oleh fisiografi perbukitan/pegunungan vulkan, tektonik, dan karst dengan
Ba-Iklim Banda, tahun 2005
can) dan IVB (Ternate) dengan dua pola hujan, ganda dan fluktuatif. Sebagian
besar wilayah Maluku dan Maluku Utara berdrainase baik dengan sistem
perta-nian yang didominasi hutan produksi.
Gambaran kondisi iklim selama penelitian tampak pada Gambar 4 dan Tabel
6. Ekotipe Banda memiliki rata-rata jumlah curah hujan dan hari hujan per tahun
masing-masing 2.541 mm dan 197 hari. Suhu udara berkisar antara 31,1 dan 23,0
0
C dengan rata-rata 28,2 0C, dan kelembaban udara sekitar 81% dengan tingkat
penyinaran matahari 57,6%. Karakteristik iklim ekotipe Ambon diwarnai dengan
jumlah curah hujan dan hari hujan masing-masing sebesar 2.951 mm dan 218 hari
per tahun. Suhu udara antara 30,1 dan 23,6 0C dengan rata-rata 26,3 0C.
Sementara ekotipe Luhu memiliki iklim dengan jumlah dan hari hujan per tahun
lebih sedikit daripada Banda dan Ambon, yaitu masing-masing 2.029 mm dan 165
hari.
Tabel 5 Kondisi iklim lokasi penelitian di Maluku tahun 2005
1. Januari 143,7 16,4 28,0 55,4
2. Februari 113,6 15,9 27,3 61,9
3. Maret 156,1 18,7 26,9 63,4
4. April 233,1 20,3 26,5 61,4
5. Mei 395,0 23,7 26,0 49,6
6. Juni 487,2 23,9 25,5 41,8
7. Juli 561,4 25,0 24,9 33,0
8. Agustus 373,4 22,0 24,8 47,8
9. September 138,1 12,6 25,4 58,8
10. Oktober 114,8 13,3 26,2 68,7
11. Nopember 89,3 8,8 26,8 77,2
12. Desember 145,2 17,4 27,3 62,6
Jumlah 2951,0 218,0
Rataan 245,9 18,2 26,3 56,8
Luhu
1. Januari 148,6 15,0 31,8 63,1
2. Februari 109,5 14,6 32,0 60,5
3. Maret 133,7 15,9 31,7 66,5
4. April 151,5 15,2 31,5 60,0
5. Mei 233,8 18,6 31,0 57,8
6. Juni 300,0 21,3 30,1 40,2
7. Juli 233,1 17,0 29,7 48,5
8. Agustus 208,0 14,9 29,5 56,5
9. September 131,2 12,7 30,0 61,6
10. Oktober 141,7 11,7 31,0 64,5
11. Nopember 99,6 12,3 31,6 67,9
12. Desember 138,7 15,8 31,8 60,3
Jumlah 2029,4 185,0
Iklim Ternate, Tahun 2005
Tabel 6 Kondisi iklim lokasi penelitian di Maluku Utara tahun 2005
Ekotipe C. Hujan (mm) H. Hujan (hari) Suhu (0C) Penyinaran (%) Maluku Utara
1. Januari 272,0 21,0 26,5 56,5
2. Februari 220,6 17,4 26,5 43,0
3. Maret 216,4 21,6 26,8 45,5
9. September 65,6 11,0 26,2 55,0
10. Oktober 210,8 14,4 26,4 71,0
11. Nopember 213,8 20,4 27,3 61,5
12. Desember 327,8 20,0 26,7 48,5
Jumlah 2.367,2 203,8
Rataan 197,3 17,0 26,6 57,8
Kondisi iklim Maluku Utara yang diwakili oleh Ternate (Tabel 6 dan
Gam-bar 5) dicirikan oleh hujan tahunan sebesar 2.367 mm dengan lama hujan sekitar
204 hari. Suhu udara berkisar 22,4 sampai 30,4 0C dengan rata-rata 26,6 0C.
Wi-layah Maluku Utara dalam setahun menerima penyinaran matahari 57,6% dan
ke-lembaban udara 88,3%. Data iklim daerah Tidore dan Bacan diwakili pengamatan
pada stasiun klimatologi Ternate, Maluku Utara.
Gambar 5 Pola suhu dan kelembaban di Ternate, Maluku Utara.
Kondisi tanah/kesuburan Maluku dan Maluku Utara dicirikan oleh
karakte-ristik fisik dan kimia seperti pada Tabel 7. Tanah di daerah Maluku tergolong
Kandungan bahan organik 1,42 hingga 2,74%; N-total 0,14 sampai 0,22%; dan
kadar P antara 5,3 sampai 9,8 ppm. Tanah memiliki sifat kimia kapasitas tukar
kation (KTK) antara 33,77 dan 17,80 me/100 g; dan kejenuhan basa (KB) 74,2
sampai 100%. Karakteristik tanah Maluku lainnya adalah memiliki daya hantar
listrik (DHL) 141,6 hingga 302,0 μS/cm dengan kandungan kation Al yang tidak
terdeteksi.
Sementara itu, tanah di daerah Maluku Utara memperlihatkan sifat fisik
lempung berpasir dengan pH 7,02 sampai 7,76. Kandungan bahan organik
berkisar 0,93 sampai 1,34%; N total berkisar 0,10 sampai 0,13%; dan kadar P
sekitar 4,4 sampai 5,6 ppm. Selain itu, tanah Maluku Utara mempunyai KTK 6,78
sampai 15,89 me/100 g, dan KB 100%. Kandungan kation Al tanah tidak
terde-teksi.
Pengamatan lapangan selanjutnya menunjukkan bahwa areal pertanaman
pala di Maluku hampir seluruhnya dikelola oleh masyarakat dalam bentuk
perke-bunan rakyat/tradisional. Pertanaman Pala di Kepulauan Banda dikelola secara
bersama antara petani dan Pemda setempat melalui sistem bagi hasil. Pemda
merupakan pihak pemilik lahan dan tanaman, sementara petani sebagai pengelola
dan buruh petik. Tidak seperti di Maluku, pertanaman pala di Maluku Utara
sepenuhnya dimiliki dan dikelola oleh petani dalam bentuk perkebunan rakyat
dengan tingkat pengelolaan tradisional. Pengamatan lapangan lainnya
menun-jukkan bahwa pertanaman pala di Maluku terletak diantara pohon pelindung
dengan proporsi 10 sampai 15% dari populasi pala. Pada ekotipe Banda, pohon
pelindung tanaman pala terutama adalah pohon kenari dan sedikit pohon kelapa,
dan durian. Sementara di Ambon dan Luhu pohon pelindung umumnya adalah
pohon kelapa dan durian. Tanaman pelindung bertajuk lebar lainnya seperti
mangga dan pohon kayu-kayuan juga dijumpai dalam proporsi yang kecil. Di
Ma-luku Utara, tanaman pala umumnya terdapat di antara naungan pohon kelapa, dan
sebagian kecil pertanaman pala menggunakan pohon pelindung tanaman
buah-buahan yang bertajuk lebar seperti pohon durian.
Pertanaman pala di Maluku dan Maluku Utara terdapat pada lanskap
perbu-kitan hingga pegunungan dengan kemiringan lereng 10 sampai 45% dan dari
Tabel 7 Sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian
Lokasi/Ekotipe
pH 1:1
C-Org.
N-Total P DHL Ca Mg K Na KTK KB Al H
Tekstur
Kelas Tekstur
H2O KCl Pasir Debu Liat
(%)† (%)‡ (ppm)* (uS/cm) (me/100 g) (%) (me/100 g) (%)
Maluku
1. Ambon 7,28 6,41 1,42 0,14 5,3 156,4 11,12 1,60 0,19 0,30 17,80 74,21 tr 0,04 62,27 22,38 15,35 Lempung Berpasir
2. Banda 6,53 5,45 2,22 0,20 9,8 141,6 14,00 4,46 1,38 0,95 13,77 100 tr 0,04 46,84 36,10 17,06 Lempung Berdebu
3. Luhu 7,60 6,83 2,74 0,22 5,9 302,0 31,54 5,81 0,76 0,50 15,89 100 tr 0,04 60,96 21,43 17,61 Lempung Berpasir
Maluku Utara
4. Ternate 7,40 6,57 0,93 0,10 4,4 143,5 6,02 1,63 0,13 0,21 6,78 100 tr 0,04 53,29 34,41 12,30 Lempung Berpasir
5. Tidore 7,76 6,83 1,10 0,10 5,6 285,0 24,44 1,42 0,76 0,30 15,89 100 tr 0,04 65,22 15,58 19,20 Lempung Berpasir
6. Bacan 7,02 6,30 1,34 0,13 5,3 137,3 9,61 1,71 0,38 0,43 8,26 100 tr 0,04 64,48 25,13 10,39 Lempung Berpasir
†
Walkley dan Black;
‡
Kjeldhal * Bray I.
besar terletak di lereng-lereng gunung yang menghadap ke laut dan berjarak 10
sampai 400 m dari tepi pantai. Sementara areal pala di Ternate, Tidore, dan
Ba-can terdapat di lanskap pegunungan yang jaraknya sekitar beberapa kilometer dari
tepi pantai. Pertanaman pala di Maluku Utara terletak mulai dari ketinggian 20 m
hingga 500 m dpl. Maluku dan Maluku Utara adalah daerah pegunungan yang
langsung menghadap ke laut sehingga pengaruh angin laut memberi kontribusi
tersendiri terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman pala.
Sistem pertanian perkebunan rakyat merupakan pola budidaya pala yang
hampir seluruhnya dipraktekkan oleh petani baik di Maluku maupun di Maluku
Utara. Di Maluku, pala ditanam di antara pohon pelindung dengan jarak tanam
yang bervariasi dan relatif tidak teratur. Jarak antar baris beragam dari 5 sampai 7
m dan dalam baris antara 5 sampai 8 m.
Pengelolaan perkebunan pala di Maluku dan Maluku Utara sangat minimal
dan bersifat tradisional, tanpa input pupuk kimia dan tindakan pengendalian
hama/penyakit. Praktek budidaya yang diterapkan sebatas pada pembersihan
kebun dari gulma dan pemangkasan cabang pohon-pohon pelindung. Kegiatan
panen dan pasca panen juga dilaksanakan menurut cara-cara tradisional petani
yang telah dipraktekkan turun-temurun.
Panen dilakukan dua hingga tiga kali setahun setelah buah mencapai umur 6
sampai 9 bulan setelah berbunga, tetapi tidak jelas batas antara musim panen
pertama dan kedua sebab pohon pala berbunga dan berbuah sepanjang tahun.
Kegiatan pasca panen mencakup pengeringan biji pala berbatok dan fuli segar di
bawah sinar matahari atau pengasapan menggunakan tungku. Pengasapan terbatas
untuk hasil biji pala. Biji pala tanpa batok dan fuli kering dengan kadar air sekitar
10-15% dicapai setelah penjemuran sinar matahari selama 1 sampai 2 minggu.
Sebagian petani di Banda mengeringkan biji pala di atas tungku pengasapan.
Pengeringan dengan pengasapan diselesaikan dalam waktu 3 sampai 5 hari. Biji
pala yang dikeringkan dengan pengasapan menghasilkan pala dengan daya simpan
lebih lama jika dibandingkan dengan pengeringan matahari, tetapi cara demikian
memerlukan tambahan biaya untuk pembuatan tungku dan bahan bakar. Sebagian
perkebunan di pulau Banda yang dikelola swasta memanfaatkan sistem
Karakteristik Morfologi Pala
Sebanyak 21 sifat morfologi yang terdiri atas 18 variabel ordinal dan 4
variabel pengukuran diamati dan diskor/diukur pada 10 pengamatan pada 6 lokasi
di Maluku dan Maluku Utara (Tabel 8).
Tabel 8 Sifat morfologi tanaman pala dan skor pengukurannya
Lokasi/Ekotipe Sifat Morfologi Skor/Pengukuran
Maluku:
Banda
Ukuran daun (indeks) 2,49 2,53 2,53 2,56 2,81 2,63 2,61 2,15 2,37 2,50
Bentuk ujung daun 3 3 2 2 2 2 3 2 2 2
Bentuk buah (ID) 1,17 1,10 1,22 1,21 1,06 1,21 1,18 1,11 1,14 1,21
Warna buah tua 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Bentuk ujung buah 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Bentuk pangkal buah 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Diameter tangkai buah (cm) 0,25 0,24 0,25 0,25 0,3 0,2 0,25 0,2 0,15 0,11
Panjang tangkai buah (cm) 2,2 2,3 1 2 2,5 2,3 2,7 2,7 2,2 2,3
Warna diskolorisasi buah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Bentuk biji (ID) 1,25 1,30 1,29 1,13 1,14 1,23 1,25 1,63 1,35 1,05
Warna biji tua 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Warna fuli 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Ambon
Ukuran daun (indeks) 2,35 2,89 1,82 2,13 1,93 2,33 3,16 2,28 3,06 2,54
Bentuk ujung daun 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Diameter bunga (cm) 0,41 0,47 0,46 0,45 0,45 0,51 0,48 0,51 0,49 0,49
Jumlah bunga per rangkai 2 1 1 1 3 2 1 2 2 1
Bentuk buah (ID) 1,02 1,03 1,27 1,24 1,27 1,26 1,29 1,24 1,27 1,26
Lokasi/Ekotipe Sifat Morfologi Skor/Pengukuran
Bentuk ujung buah 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Bentuk pangkal buah 3 3 3 3 3 4 3 3 3 4
Diameter tangkai buah (cm) 0,22 0,2 0,21 0,2 1,6 0,2 0,24 0,2 0,15 0,15
Panjang tangkai buah (cm) 1,7 2,4 1,9 2,3 1,8 2 2,1 2,1 2,1 2
Warna diskolorisasi buah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Bentuk biji (ID) 1,09 1,10 1,14 1,14 1,14 1,30 1,35 1,09 1,19 1,32
Warna biji tua 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Warna fuli 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Luhu
Ukuran daun (indeks) 2,13 2,15 2,21 2,46 2,39 2,28 2,43 2,44 2,35 2,30
Bentuk ujung daun 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1
Diameter bunga (cm) 0,42 0,42 0,46 0,43 0,51 0,5 0,4 0,4 0,46 0,45
Jumlah bunga per rangkai 2 1 1 2 1 2 2 1 2 2
Bentuk buah (ID) 1,20 1,20 1,20 1,21 1,21 1,18 0,91 1,16 1,21 1,16
Warna buah tua 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Bentuk ujung buah 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Bentuk pangkal buah 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Diameter tangkai buah (cm) 0,21 0,21 0,22 0,2 0,15 0,15 0,23 0,21 0,15 0,2
Panjang tangkai buah (cm) 1,9 2 1,9 1,5 1,8 1,6 2 1,7 1,8 2,1
Warna diskolorisasi buah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Bentuk biji (ID) 1,14 1,16 1,17 1,10 1,18 1,15 1,14 1,18 1,14 1,18
Warna biji tua 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Warna fuli 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Maluku Utara:
Ternate
Ukuran daun (indeks) 2,86 2,89 2,80 2,84 3,03 2,78 3,14 2,70 3,04 2,70
Bentuk ujung daun 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1
Bentuk buah (ID) 1,20 1,14 1,17 1,08 1,18 1,23 1,25 1,25 1,20 1,25