• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hubungan kekerabatan berdasarkan morfologi, aktivitas harian, gambaran darah dan karakter DNA mitokondrion beberapa subspesies burung beo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hubungan kekerabatan berdasarkan morfologi, aktivitas harian, gambaran darah dan karakter DNA mitokondrion beberapa subspesies burung beo"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUBUNGAN KEKERABATAN BERDASARKAN

MORFOLOGI, AKTIVITAS HARIAN, GAMBARAN DARAH

DAN KARAKTER DNA MITOKONDRION

BEBERAPA SUBSPESIES BURUNG BEO

(Gracula religiosa

Linnaeus 1758)

ERNA SUZANNA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul :

”ANALISIS HUBUNGAN KEKERABATAN BERDASARKAN MORFOLOGI, AKTIVITAS HARIAN, GAMBARAN DARAH, DAN KARAKTER DNA MITOKONDRION BEBERAPA SUBSPESIES BURUNG BEO (Gracula religiosa Linnaeus 1758)”

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2007

(3)

ABSTRACT

ERNA SUZANNA. Analysis of phylogenic relationship based on morphology, daily activities, hemathology and mitochondrial DNA characteristic of some subspecies of Mynah birds (Gracula religiosa

Linnaeus 1758). Advisory committee: Prof. Dr. drh. Nawangsari Sugiri, Prof.drh. Reviany Widjajakusuma, PhD, Dr. Ir.Dedy Duryadi Solihin, DEA, Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc, and Dr. Ir. A. M. Thohari,DEA.

The subspecies status of Mynah bird is currently unclear. Reports on their genetic characteristics and diversity are still lacking especially on their molecular aspects. The objectives of this research are to analyze the phylogenic relationship based on morphological, daily activities variations, haemathology, genetic variability and genetic distance of four subspecies of Mynah birds of Nias, Medan, Kalimantan and Flores origin and other four mynah birds of unknown origin. SPSS software was used to analyze the main grouping of the birds using grouping distance of 20, with the following results. Based on the morphometric measurements, the resulting dendrogram showed that four main groups of mynah birds i.e. a) birds of unknown origin (UK4 and UK2), b) nias mynahs (N1, N2, N3, N4, N5, N6, N7, N8) c) medan mynahs (M1 and M2) and d) kalimantan mynahs (K1, K2, K3), flores mynahs (F1 and F2) and mynahs of unknown origin (UK1, UK3). Based on the daily activities, the dendrogram showed two main groupings, i.e. a) nias, medan and flores mynahs group and b) kalimantan mynah. Analysis based on the length and width of red blood cells and red blood nuclear cells showed two main groupings, i.e. a) Nias (N1, N2, N3), Medan (M1), Kalimantan (K1, K2) and Flores (F2) group and b) Nias (N4), Medan (M2), Kalimantan (K3), Flores (F1) and mynahs of unknown origin (UK1, UK2, UK3, UK4) group. Based on the hemathology variations (erythrocyte, hemoglobin level, hematocrit value and leukocyte) showed two main groupings, i.e. a) Nias, Kalimantan, mynah UK3, and mynah UK2 group and b) Medan, Flores and mynah UK1 and mynah UK4. Sequencing of the PCR product using primer H417 on D-loop

Domain I mtDNA, yielded a base sequence of 400 bp. The results of

D-loop fragments sequencing were put on multiple alignment with other Mynahs from Thailand (Genbank) and were analyzed with the aid of MEGA program version 3. Comparison with Thailand mynah revealed 36 different nucleotide sites. Genetic distance based on nucleotide D-loop

(4)

Cyanopica cyanus interposita, northern thailand race mynah and southern thailand race mynah for comparisons resulted in six groups of Mynah birds i.e. a) cross breed of nias mynah and kalimantan mynah group (N2, N3, N4, K1, K2, K3, UK2, UK4) b) medan mynah group (M1, M2, northern thailand race mynah) c) Nias (N1) d) Kalimantan (K2, UK3) e) Flores (F1, F2) and f) Sumbawa (UK1). D-loop domain I mtDNA could be used to differentiate the subspecies. The morphological variations could be used to support the phylogenetic analysis among the subspecies of Mynah birds. The variations of haemathology and daily activities of Mynah birds supplement this research and are contribute significantly in captive breeding for mynah birds.

Keywords: Mynah birds, morphology, daily activities, hemathology,

(5)

ABSTRAK

ERNA SUZANNA. Analisis hubungan kekerabatan berdasarkan morfologi, aktivitas harian, gambaran darah dan karakter DNA mitokondrion beberapa subspesies burung beo (Gracula religiosa

Linnaeus 1758). Dibimbing oleh Prof. Dr. drh. Nawangsari Sugiri, Prof. drh. Reviany Widjayakusuma, PhD, Dr. Ir.Dedy Duryadi Solihin, DEA, Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc dan Dr. Ir. A. M. Thohari, DEA.

Sampai saat ini status subspesies dari burung beo masih belum jelas. Laporan hasil penelitian tentang karakter genetik dan keragamannya masih jarang, khususnya dalam aspek molekuler. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kekerabatan berdasarkan variasi morfologi, variasi aktivitas harian burung beo di penangkaran, variasi gambaran darah dan variabilitas genetik serta jarak genetik dari empat subspesies beo, yang berasal dari Nias, Medan, Kalimantan, Flores serta empat ekor burung beo yang tidak diketahui asal-usulnya. Berdasarkan hasil analisis kelompok utama dengan menggunakan perangkat lunak SPSS pada pengukuran morfometri dengan jarak pengelompokkan 20 diperoleh dendrogram yang menunjukkan adanya empat kelompok besar burung beo yaitu kelompok : a) beo yang tidak diketahui asal usulnya (UK4 dan UK2) b) beo nias (N1, N2, N3, N4, N5, N6, N7, N8) c) beo medan (M1 dan M2) dan d) beo kalimantan (K1, K2, K3), beo Flores (F1 dan F2) dan beo yang tidak diketahui asal usulnya (UK1, UK3). Berdasarkan hasil analisis kelompok utama pada aktivitas harian burung beo di penangkaran dengan menggunakan perangkat lunak SPSS dengan jarak pengelompokkan 20 diperoleh dendrogram yang menunjukkan adanya dua kelompok besar yaitu a) kelompok beo nias, beo medan dan beo flores serta b) beo kalimantan. Hasil analisis kelompok utama berdasarkan ukuran panjang dan lebar sel darah merah dan inti sel darah merah dengan menggunakan SPSS dengan jarak pengelompokkan 20 menunjukkan adanya dua kelompok besar yaitu : a) kelompok beo nias (N1, N2, N3), beo medan (M1), beo kalimantan (K1, K2), dan beo flores (F2) serta b) kelompok beo nias (N4), beo medan (M2), beo kalimantan (K3), beo flores (F1) dan beo yang tidak diketahui asal usulnya (UK1, UK2, UK3, UK4). Berdasarkan gambaran darah secara keseluruhan (eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan leukosit) dengan menggunakan SPSS dengan jarak pengelompokkan 20 diperoleh dendrogram yang menunjukkan adanya dua kelompok besar yaitu kelompok a) beo nias, beo kalimantan, beo UK3, dan beo UK2 serta b) beo medan, beo flores dan beo UK1 dan beo UK4. Perunutan DNA hasil PCR dengan menggunakan Primer H417 daerah Domain I D-loop

DNA mitokondrion, menghasilkan runutan nukleotida berukuran 400 pb. Hasil perunutan sebagian D-loop mtDNA disejajarkan berganda dengan menggunakan fragmen DNA burung beo yang berasal dari Thailand

(Genbank) dengan menggunakan perangkat lunak Program MEGA versi

(6)

penelitian menunjukkan adanya 36 situs nukleotida yang berbeda diantara subspesies burung beo. Jarak genetik berdasarkan perbedaan nukleotida menunjukkan jarak terkecil 0 (0%) dan jarak terbesar 36 (9%). Pohon filogeni (pohon filogram) yang dihasilkan dengan metode Neighbor Joining berdasarkan perbedaan nukleotida dengan pembanding ayam white leghorn memperlihatkan lima kelompok burung beo yaitu kelompok: (a) beo campuran antara beo nias dan beo kalimantan (N2, N3, N4, K1, K2, K3, UK2, UK4) (b) beo medan (M1, M2, N1, beo thailand utara) (c) kalimantan murni (K2, UK3) (d) flores (F1, F2) (d) kemungkinan beo sumbawa (UK1). Dengan menggunakan pembanding Pica pica pica, Pica

pica jankowskii dan Cyanopica cyanus interposita, beo thailand utara dan

beo thailand selatan diperoleh enam kelompok beo yaitu: (a) beo campuran antara beo nias dan beo kalimantan (N2, N3, N4, K1, K3, UK2, UK4) (b) beo medan (M1, M2, beo thailand utara) (c) beo nias murni (N1) (d) kalimantan murni (K2, UK3) (e) flores (F1, F2) (f) kemungkinan beo sumbawa (UK1). Domain I D-loop DNA mitokondrion dapat digunakan untuk membedakan subspesies burung beo. Adanya variasi morfologi dapat mendukung analisis filogram (analisis filogeni) diantara subspesies burung beo. Variasi gambaran darah, dan variasi aktivitas harian burung beo melengkapi penelitian ini dan sangat berguna untuk pengelolaan burung beo di penangkaran.

(7)

.

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2007 Hak cipta dilindungi

(8)

ANALISIS HUBUNGAN KEKERABATAN BERDASARKAN

MORFOLOGI, AKTIVITAS HARIAN, GAMBARAN DARAH,

DAN KARAKTER DNA MITOKONDRION

BEBERAPA SUBSPESIES BURUNG BEO

(Gracula religiosa

Linnaeus 1758

)

Oleh

ERNA SUZANNA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Menyetujui

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr.drh. Nawangsari Sugiri Ketua

Prof. drh. Reviany Widjajakusuma, PhD Dr. Ir. Dedy Duryadi, DEA Anggota Anggota

Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA Prof. Dr.Ir Ani Mardiastuti, MSc Anggota Anggota

Mengetahui

2. Ketua Program Studi Biologi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

Judul : Analisis hubungan kekerabatan berdasarkan morfologi, aktivitas harian, gambaran darah dan karakter DNA mitokondrion beberapa subspesies burung beo (Gracula religiosa Linnaeus 1758)

Nama : Erna Suzanna

NIP : 96 5079

(10)

Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmatNYA

dan perkenanNYA sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam

semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w, ahlul bait serta pengikutnya

selamanya, aamiin.

Tulisan ini berisi hasil penelitian tentang analisis kekerabatan

berdasarkan morfologi, aktivitas harian, gambaran darah dan perunutan

nukleotida mtDNA D-loop Domain I, pada empat subspesies burung beo (Gracula religiosa Linnaeus 1758). Penelitian ini dilaksanakan untuk menyusun disertasi sebagai syarat memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi Biologi di

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Untuk itu, penulis

menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada Komisi Pembimbing yaitu Prof. Dr. drh. Nawangsari

Sugiri, Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, Prof. drh. Reviany Widjajakusuma,

PhD, Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc dan Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari,

DEA atas segala kesabaran, ketelitian, pengertian dan dukungannya selama

penulis menempuh program Doktor. Semoga Allah SWT membalasnya dengan

pahala yang setimpal, senantiasa memberikan cahaya petunjukNYA, kesehatan

yang disyukuri serta rezeki yang berkah, Aamiin.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor,

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ketua Program Studi Biologi, Dekan

Fakultas Kehutanan dan Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti

Program Doktor. Tak lupa penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada Dr.Ir.

Komang G Wiryawan selaku Kepala Pusat Studi Ilmu Hayati dan Bioteknologi

IPB yang telah memberi ijin penulis melakukan penelitian beserta fasilitasnya di

Laboratorium Biologi Molekuler, juga kepada Kepala Bidang Zoologi, Puslit

Biologi LIPI Cibinong yang telah memberi ijin untuk penelusuran spesimen

burung beo dan isolasi DNA. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr.

Manee Archawaranon dan Dr. Sanya Kudan dari Rhamkamhaeng University,

Bangkok, Thailand yang telah memberi informasi jenis primer yang dipakai untuk

pelaksanaan teknik PCR pada burung beo.

Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan

(11)

Ir. Burhanuddin Masy’ud MSi yang telah berkenan menguji penulis dan

memberikan masukan-masukan yang sangat berharga pada disertasi ini.

Terimakasih khusus kepada Dr. Yeni Mulyani, Ir. Arzyana, MSc, Dr.

Rinekso Soekmadi, Ir. Maria, MSc.Agr, Ir.Teti , MSi, Dr. Tutik, Dr. Adi, Dr.Susi,

Dr. Noor FH, Dr. Dini, Dr. E.K.S. Harini, Dr. Yanto, Dr. Agus PK, Insan, S.Hut,

Lasriama SSi, Fitri S.Hut, Esti, SSi, Ir. Dones Rinaldi MScF, Ir. Lin, Msi, Ir.

Endes MSi dan istri, Dr. Mirza, Dr. Lailan, Ir. Nulwita Msi, Alumni Fahutan:

Yuyun, Resti, Eva, Puri Puspitasari, Dian Arafah, Nanang, Eka, Reka, Nugraha,

juga kepada Intan, Yati, Bp. Suherman, Neng Etty, Bp. Acu, Bp Taufik, Bp. Heri

dan teman-teman sejawat lainnya yang telah banyak mendukung baik moril

maupun materiil. Hanya Allah SWT yang akan membalas kebaikan mereka,

dengan yang lebih baik lagi, aamiin.

Rasa terimakasih yang tak putus-putusnya penulis ucapkan kepada Apih

(alm. Bp. Dedy Supardi) dan Mamih (alm. Ibu Tuti Fatimah) tercinta, yang telah

membesarkan, mendidik dengan penuh kasih sayang, yang selalu mendukung

dan mendoakan dengan tulus, semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala

yang tak putus-putusnya, menyayanginya, memberikan tempat yang indah dan

meridhoinya. Aamiin. Untuk suami tersayang Mas Sondi Sopiansyah Dipl.Kes,

Ibu Nensila, Bi Ir. Nunung, Mang Dr. Burhanuddin dan kel., Bp. Dr. Maman & Bi

Poppy dan kel., Kang Ir. Lucky, Teh Dra. Yayu , Teh Hanny SmHk, Yosi S.H.,

Reza, Welly, Fanny, Yudi, SPi, Om Anam, Deden, Nurul dan juga

saudara-saudara saya di Perum. Nuansa Hijau yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu, terimakasih atas kesabaran, dukungan, do’a dan bantuannya baik moril

maupun materiil. Semoga Allah SWT membalas dengan yang lebih baik lagi,

aamiin.

Akhirnya, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada lembaga yang

memberikan bantuan selama penulis menjalani program doktor, yaitu DIKTI

melalui TMPD dan Lembaga Penelitian IPB melalui OPF.

Tak ada gading yang tak retak, penulis menyampaikan maaf yang

sedalam-dalamnya apabila ada kekurangan dalam menempuh pendidikan

program Doktor, dan semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2007

(12)

Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 8 Agustus 1964 sebagai anak ke tiga dari ayah Bp. Dedy Supardi (alm) dan Ibu Tuti Fatimah (alm). Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1976 di SD Teladan Papandayan I Bogor, Sekolah Menengah Pertama lulus tahun 1980 di SMP Negeri II Bogor, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri III Bogor Tahun 1983.

Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur PMDK , penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun 1984 dan menyelesaikan Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1987. Pendidikan Profesi Dokter Hewan diselesaikan pada tahun 1988. Penulis pada tahun 1991 mendapat kesempatan untuk mengikuti program pendidikan Master of Science in Tropical Forestry di program studi Wildlife Management, Faculty of Forestry, Georg-August-University Göttingen, Germany, dan menyelesaikannya pada tahun 1993. Penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan S3 di Program Studi Biologi FMIPA, IPB dengan sponsor dari TMPD DIKTI pada tahun 1996.

Penulis bekerja sebagai dosen untuk mata kuliah Penangkaran Satwaliar di Laboratorium Penangkaran Satwaliar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, sejak tahun 1990 sampai sekarang.

Pada tahun 2001 penulis memperoleh Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya 10 tahun dari Presiden Republik Indonesia, Bpk. K.H. Abdurrahman Wahid. Pada tahun 2003 penulis berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Penulis menikah dengan Mas Sondi Sopiansyah, Dipl.Kes, pada tanggal 7 Februari 2005. Penulis mendapatkan penghargaan SEAG Logo Contest Award pada tahun 2005, yang diadakan oleh South East Asia and Germany Inter Alumni Network, dan pada tanggal 28 Juni 2006 penulis dikaruniai Allah SWT seorang putri cantik yang diberi nama Ayu Nada Chadijah. Alhamdulillah.

(13)

Halaman

PRAKATA ... i

RIWAYAT HIDUP ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

I. PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 7

Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Beo ... 8

Taksonomi ... 8

Morfologi ... 9

Habitat dan Penyebaran ... 12

Perilaku ... 14

Perilaku Beo di Alam ... 15

Perilaku Bersarang ... 15

Perilaku Beo Nias di Penangkaran ... 17

Gambaran Darah Burung Beo ... 17

Penentuan Jenis Kelamin ... 20

Genetika Konservasi ... 22

(14)

Daerah Kontrol D-Loop DNA mitokondrion ... 26

III. BAHAN dan METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 32

Bahan dan Alat ... 32

Metode Penelitian ... 33

Pengukuran Karakter Morfologi ... 33

Pengamatan Aktivitas Harian Beo di Penangkaran ... 34

Analisis Gambaran Darah ... 35

Isolasi dan Purifikasi DNA ... 35

Analisis Daerah D-loop DNA mitokondrion Amplifikasi Fragmen DNA Menggunakan Metode PCR ... 37

Perunutan Nukleotida Daerah Kontrol D-loop Mitokondrion ... 38

Analisis Data ... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Hubungan Kekerabatan ... 41

Karakter Morfologi ... 41

Sifat-sifat Kuantitatif ... 41

Sifat-sifat Kualitatif Burung Beo ... 47

Aktivitas Harian Burung Beo di Penangkaran ... 53

Gambaran darah burung beo ... 67

Eritrosit ... 67

Hemoglobin ... 72

Nilai Hematokrit ... 74

Leukosit ... 76

Analisis Biologi Molekuler ... 80

Isolasi DNA Total Burung Beo ... 80

Amplifikasi D-loop mtDNA ... 80

(15)

Hubungan Kekerabatan Burung Beo G.religiosa spp ... 97

V. PEMBAHASAN UMUM ... 102

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(16)

Halaman

1. Gambaran darah beo thailand

(Archawaranon 2005)………... 20

2. Rata-rata ukuran berat (g) dan morfometri (mm) beo nias, beo medan, beo kalimantan, dan beo flores ……… 41

3. Rata-rata ukuran berat (g) dan morfometri (mm) beo yang

tidak diketahui asal-usulnya (UK1, UK2, UK3, UK4) ………….. 44

4. Sifat-sifat kualitatif beo nias, beo medan, beo kalimantan dan

beo flores ………... 49

5. Sifat-sifat kualitatif beo UK1, UK2, UK3, UK4 ………. 51

6. Cara aktivitas dari empat subspesies beo di penangkaran …... 59

7. Rata-rata panjang dan lebar sel eritrosit serta panjang dan

lebar inti sel eritrosit……….. 70

8. Kadar hemoglobin (g %) beo nias, beo medan, beo

kalimantan, beo flores, beo UK1, beo UK2, beo UK3 dan beo

UK4………… ……… 73

9. Nilai hematokrit (%) beo nias, beo medan, beo kalimantan,

beo flores, beo UK1, beo UK2, beo UK3, beo UK4 …….……... 74

10. Jumlah leukosit (x 103/ mm3) beo nias, beo medan, beo kalimantan beo flores, beo UK1, beo UK2, beo UK3,

beo UK4 ………. 77

11. Rata-rata diferensiasi leukosit burung beo nias, beo medan, beo kalimantan,beo flores, beo UK1, beo UK2, beo UK3 dan

beo UK4 ………. 78

12. Perbedaan nukleotida daerah D-loop domain I mtDNA burung beo penelitian dengan pembanding beo thailand utara dan beo thailand selatan (Genbank) (total nukleotida yang

(17)

13. Perbedaan komposisi nukleotida burung beo penelitian terhadap beo thailand, burung C.c.interposita, P.p.pica,

P.p.jankowskii dan ayam White leghorn (Genbank) sebagai

outgroup (total nukleotida yang dibandingkan

adalah 466 pb)………... 87

14. Perbedaan komposisi nukleotida burung beo penelitian terhadap beo thailand, P.p.jankowskii, P.p.pica,

C.c.interposita (Famili Corvidae, Genbank) sebagai

pembanding(total nukleotida yang dibandingkan

adalah 457 pb)……… 88

15. Perbedaan komposisi nukleotida burung beo penelitian terhadap beo thailand (Genbank) sebagai pembanding (total

nukleotida yang dibandingkan adalah 400 pb)………. 89

16. Kelompok subspesies beo berdasarkan berbagai analisis

(18)

Halaman

1. Beberapa spesimen beo yang diawetkan

(Sumber: Prijono dan Waluyo 1996 (a,c,d,e) dan

dokumentasi pribadi (b)) ... 10

2. Penyebaran beo di Indonesia dan Thailand ... 12

3. Peta penyebaran daerah asal berbagai subspesies beo (Frisch 1986 dengan modifikasi) ... 13

4. Eritrosit burung beo jawa (Hawkey & Dennet 1989) ... 18

5. Gambaran darah pada beberapa jenis burung (Hawkey & Dennet 1989) ... 19

6. Kariotip burung beo thailand ( G.r. religiosa dan G.r. intermedia) ... 21

7. Diagram struktur mitokondrion manusia (Lodish et al. 1995) ... 28

8. Genom mitokondrion Gallus gallus (Sorenson 2003) ... 30

9. Perbandingan skematis dari daerah D-loop mtDNA mamalia dan galliformes (Randi & Lucchini 1998) ... 31

10. Dendogram hasil pengamatan morfometri burung beo . ... 46

11. Karakter cuping kuduk beo:(a) beo medan (b) beo kalimantan (c) beo nias (d) beo flores ... 48

12. Karakter cuping kuduk beo UK1, UK2, UK3 dan UK4 ... 48

13. Rata-rata aktivitas harian burung beo medan ... 54

14. Rata-rata aktivitas harian burung beo kalimantan ... 54

15. Rata-rata aktivitas harian burung beo nias ... 55

16. Rata-rata aktivitas harian burung beo flores ... 56

17. Dendogram hasil pengamatan rata-rata aktivitas harian burung beo ... 57

(19)

(d) flores [F1] (e) UK1 (f) UK2 (g) UK3 (h) UK4 ... 69

20. Dendogram berdasarkan rata-rata panjang dan lebar sel eritrosit, panjang dan lebar inti sel eritrosit ... 71

21. Grafik rata-rata kadar hemoglobin beo nias, beo medan, beo kalimantan, beo flores, beo UK1, beo UK2, beo UK3

dan beo UK4 ... 73

22. Grafik rata-rata nilai hematokrit beo nias, beo medan, beo kalimantan, beo flores, beo UK1, beo UK2, beo UK3

dan beo UK4 ... 75

23. Grafik rata-rata jumlah leukosit (x 103 /mm3) beo nias, beo medan, beo kalimantan, beo flores, beo UK1, beo UK2, beo UK3

dan beo UK4 ... 77

24. Dendogram berdasarkan komponen sel darah beo nias, beo medan, beo Kalimantan, beo flores, beo UK1, beo UK2, beo UK3

dan UK4 ... 79

25. DNA G.religiosa spp hasil amplifikasi pasangan Primer F NDGE dan Primer R H417 ... 80

26. Lokasi penempatan Primer F NDGE dan Primer R H417 pada mtDNA

G.religiosa spp ... 81

27. Konstruksi pohon filogeni (filogram) dari nukleotida daerah

domain I D-loop (466 pb) pada beo penelitian, beo Thailand (Genbank) dengan ayam white leghorn, burung P.P.pica, P.p. jankowskii,

Cyanopica cyanus interposita sebagai pembanding .………94

28. Konstruksi pohon filogeni (filogram) dari nukleotida daerah

domain I D-loop (457 pb) pada beo penelitian, beo thailand (Genbank) dengan burung P.P.pica, P.p. jankowskii, Cyanopica cyanus

interposita sebagai pembanding .………..………95

29. Konstruksi pohon filogeni (filogram) dari nukleotida daerah

(20)

Halaman

1. Ukuran morfologi spesies beo yang berada di Museum Zoologi

Cibinong ………. 122

2. Karakter morfologi lima kelompok beo thailand (Sumber : Archawaranon dan Mevatee 2002)……… 124

3. Perkembangan anakan beo ……….. 125

4. Burung-burung yang dapat menirukan suara ………. 126

5. Hasil uji Khi-kuadrat perbedaan aktivitas harian antar anak jenis

beo ………. 127

6. Letak penempelan primer F NDGE dan primer R H417

pada ayam………. 131

7. Hasil perunutan D-loop mtDNA burung beo……… 134

8. Hasil pensejajaran berganda nukleotida D-loop beo penelitian terhadap beo thailand, burung P.p.jankowskii, P.p.pica, C.c.

interposita dan ayam white leghorn (Genbank) sebagai

pembanding……… 137

9. Hasil pensejajaran berganda nukleotida D-loop beo penelitian terhadap beo thailand, burung P.p.jankowskii, P.p.pica, dan C.c.

interposita (Genbank) sebagai pembanding………. 141

10. Hasil pensejajaran berganda nukleotida (400 pb) D-loop beo

penelitian terhadap beo thailand (genbank)………. 145

11. Rata-rata komposisi nukleotida (%) sebagian daerah D-loop

mtDNA (berukuran 466 pb) burung beo penelitian, beo thailand,

C.cyanus interposita, P.p.pica, P.p.jankowskii dan ayam white

leghorn sebagai pembanding (* Genbank) ……….. 148

12. Rata-rata komposisi nukleotida (%) sebagian daerah D-loop

mtDNA (berukuran 457 pb) burung beo penelitian, beo thailand,

C.cyanus interposita, P.p.pica, dan P.p.jankowskii sebagai

pembanding (* Genbank) ……….….. 149

13. Rata-rata komposisi nukleotida (%) sebagian daerah D-loop

(21)

14. Hasil perunutan sebagian D-loop mtDNA beo thailand utara ….. 151

15. Hasil perunutan sebagian D-loop mtDNA beo thailand

selatan………. 153

16. Hasil perunutan sebagian D-loop mtDNA Pica pica pica ……….. 155

17. Hasil perunutan sebagian D-loop mtDNA Pica pica jankowskii 156

18. Hasil perunutan sebagian D-loop mtDNA Cyanopica cyanus

(22)

DAFTAR SINGKATAN

12Sr RNA 12 S ribosomal RNA 16Sr RNA 16 S ribosomal RNA

ATPase 6 Adenosine triphosphatase subunit 6 ATPase 8 Adenosine triphosphatase subunit 8

COI Cytochrome c oxidase subunit I

COII Cytochrome c oxidase subunit II COIII Cytochrome c oxidase subunit III Cyt b Cytochrome b apoenzyme

ND 1 Nicotinamide adenine dinucleotide dehydrogenase subunit 1 ND 2 Nicotinamide adenine dinucleotide dehydrogenase subunit 2 ND 3 Nicotinamide adenine dinucleotide dehydrogenase subunit 3 ND 4 Nicotinamide adenine dinucleotide dehydrogenase subunit 4 ND 4 L Nicotinamide adenine dinucleotide dehydrogenase subunit

4L

ND 5 Nicotinamed adenine dinucleotide dehydrogenase subunit 5 ND 6 Nicotinamed adenine dinucleotide dehydrogenase subunit 6 dloop Displacement loop

tRNA _ (_) Transfer RNA three letter amino acid abbreviation (anticodon)

A Adenine

G Guanine

C Cytosine

(23)

Latar Belakang

Burung beo (Gracula religiosa Linnaeus 1758) merupakan salah satu satwa yang banyak digemari masyarakat, karena kepandaiannya dalam menirukan ucapan-ucapan manusia ataupun suara lain yang didengarnya. Hal ini menyebabkan tingginya nilai ekonomis burung beo. Selain mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, beo mempunyai peranan ekologis yang penting, yaitu menjaga keseimbangan ekosistem di alam dalam hal pengontrol hama, penyebar biji, penyerbuk bunga dan juga indikator lingkungan yang sehat (Welty 1982, Prijono dan Waluyo 1996).

Burung beo tersebar mulai dari India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara sampai Kepulauan Sunda Besar (Sumatera, Kalimantan, Jawa) dan Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Sumbawa, Flores, Bawean), Andaman serta Palawan (Medway & Wells 1976, MacKinnon 1990, Von Frisch 1986). Di seluruh dunia hanya terdapat satu spesies beo, yang terdiri dari beberapa subspesies (Monroe & Sibley 1993). Informasi mengenai jumlah subspesies burung beo di dunia sampai saat ini masih belum jelas dan terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Menurut Peters (1962), di seluruh dunia terdapat 10 subspesies, lima subspesies diantaranya terdapat di Indonesia, sedangkan Weil (1983) dan Von Frisch (1986) berpendapat bahwa di dunia terdapat 11 subspesies burung beo, yaitu G.r. indica, G.r. peninsularis, G.r.intermedia, G.r. palawensis, G.r. ptilogenys, G.r. andamanensis, G.r. robusta, G.r. batuensis, G.r. religiosa,

G.r. venerata, dan G.r. mertensi.

(24)

Nias bagian selatan (Direktorat PPA 1981), sedangkan pada tahun 1996 hanya tinggal 50-80 ekor (Thohari et al. 1996).

Dari lima subspesies beo (G.r. religiosa (beo medan), G. r. robusta (beo nias), G. r. batuensis (beo lampung), G. r. venerata (beo sumbawa)

dan G. r. mertensi (beo flores) yang terdapat di Indonesia, dua subspesies

dilindungi undang-undang (SK Mentan no. 742/Kpts/Um/12/1978; Undang-undang No. 5 Tahun 1990; SK Menhut No. 301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992) yaitu G.r.religiosa dan G.r.robusta (Noerdjito dan Maryanto 2001, Sutedja dan Indrabrata 1992, Noerdjito 1987). Sebetulnya yang terancam kelestariannya tidak hanya beo nias

(G.r.robusta) dan beo medan (G.r.religiosa) saja, tetapi hampir semua

jenis beo telah mengalami penangkapan dari habitat alaminya (Prijono dan Waluyo 1996).

Akhir-akhir ini sudah sulit ditemukan empat subspesies beo lainnya, baik di habitat alaminya maupun di penangkaran, yaitu beo medan (G.r.religiosa), beo lampung (G.r.batuensis), beo flores (G.r.mertensi) dan beo sumbawa (G.r.venerata) (Mardiastuti A. 20 Pebruari 2001, komunikasi pribadi). Selain faktor ekologi dan demografi, variasi genetik, khususnya kuantifikasi dan sebaran variasi genetik merupakan faktor kritis yang penting dalam pengenalan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati (Chan dan Archese 2002). Teknologi biologi molekuler merupakan alat yang sangat kuat dalam menentukan sistematika (Campbell et al. 2006). Sibley dan Ahlquist (1991) yakin bahwa setidak-tidaknya beberapa aspek morfologi pasti sejalan dengan bukti yang diperoleh dengan teknik DNA (teknik biologi molekuler).

(25)

mempunyai ketahanan hidup yang rendah, bobot badan yang kurang, ataupun steril (Selander 1983, Ralls et al. 1988, Haig & Nordstrom 1991).

Menurut Haig & Nordstrom (1991) untuk menunda proses kepunahan diperlukan beberapa tindakan antara lain 1) pengelolaan keanekaragaman hayati dalam ekosistem dan 2) pengelolaan keanekaragaman genetik dalam gene pool spesies. Dalam hubungannya dengan upaya melestarikan keanekaragaman hayati, yang mencakup tiga unsur penting yaitu keanekaragaman ekosistem, spesies dan genetic., Nampaknya masih sedikit sekali informasi mengenai keanekaragaman genetik pada satwa asli Indonesia.

Ketiadaan data mengenai filogeni dari ke empat subspesies beo ini mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi baik mengenaii morfologi, aktivitas harian empat subspesies beo, gambaran darah maupun keragaman genetik serta karakter DNA mitokondrion (Asam deoksiribonukleat)beo di lokasi penangkaran.

DNA mitokondrion memiliki banyak kelebihan sebagai penanda molekular pada tingkatan intraspesies vertebrata karena pola pewarisan melalui garis ibu yang menyebabkan tidak ada rekombinasi dan laju mutasi tinggi (Avise 1994) beberapa kali lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti (Brown et al. 1982). Daerah D-loop mitokondrion pada hewan tidak mengandung runutan DNA penyandi protein, namun mempunyai variasi runutan DNA tertinggi di seluruh genom (Aquadro dan Greenberg 1983) dan D-loop domain I dan domain III mengandung variabilitas nukleotida yang tinggi sedangkan domain II sangat abadi (conserve) pada vertebrata (Baker& Marshall 1997, seperti yang diacu dalam Randi & Lucchini 1998).

(26)

kalimantan memiliki cuping kuduk yang terpisah, dan cuping pipi yang tegak, dan terpisah dengan cuping kuduk. Dengan perbedaan khas ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam sampai tingkat molekuler (DNA) sehingga dapat memperjelas dan mempertegas penamaan subspesies bagi beo kalimantan. Penulis juga ingin membandingkannya dengan hasil analisis morfometri, aktivitas harian, dan gambaran darah burung beo dengan menggunakan analisis komponen utama (SPSS), dengan tujuan agar ditemukannya suatu metode yang dapat membedakan subspesies burung beo dengan biaya yang relatif lebih ekonomis.

Perumusan Masalah

Permasalahan utama yang dihadapi dalam rangka konservasi burung beo adalah (1) Akhir-akhir ini sudah sulit ditemukan lima subspesies beo (beo nias (G.r.robusta), beo medan (G.r.religiosa), beo lampung (G.r.batuensis), beo flores (G.r.mertensi) dan beo sumbawa

(G.r.venerata), baik di habitat alaminya maupun di penangkaran.

(27)

beo asal Indonesia dengan beo asal Thailand berdasarkan analisis daerah

D-loop DNA mitokondrion.

Untuk menjawab benarkah beo asal Medan dan asal Kalimantan tergolong dalam satu subspesies maka penelitian mengenai analisis filogeni berdasarkan molekuler perlu segera dilakukan bagi beberapa subspesies burung beo, sebagai dasar bagi pengelolaan populasi beo di habitat alaminya, sehingga terjamin kelestariannya. Analisis morfometri, aktivitas harian dan gambaran darah dari empat subspesies beo di penangkaran perlu dilakukan sebagai pembanding dan pelengkap dalam penelitian ini dan diharapkan dapat diperoleh metode yang dapat membedakan subspesies burung beo dengan biaya yang relatif lebih ekonomis.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini terdiri atas dua lingkup yang mendasar yaitu:

1. Biologi empat subspesies burung beo ( G.r. religiosa [beo medan],

G.religiosa spp. asal Kalimantan, G.r. robusta [beo nias], dan G.r.

mertensi [beo flores]) dari empat lokasi habitat alaminya, yang

(28)

2. Analisis filogeni molekuler dengan menggunakan metode PCR-sekuensing DNA sebagian daerah kontrol D-loop mtDNA. Burung yang dijadikan sampel diperoleh dari habitat aslinya (Nias, Medan, Kalimantan dan Flores) yang dipelihara di Laboratorium Penangkaran Satwaliar, Fakultas Kehutanan IPB, juga empat sampel yang tidak diketahui asalnya. Sebagai pembanding dipakai fragmen D-loop DNA mitokondrion beo thailand dari Genbank,

G.r.intermedia (no. akses AF411342) dan G.r.religiosa (no. akses

AF465252), urutan nukleotida ayam leghorn (Desjardins & Morais 1990 kode akses NC_001323), Pica pica pica (Magpies, Famili Corvidae, Kryukov et al. 2004, kode akses AY701166), Pica pica

jankowskii (Magpies, Famili Corvidae, Kryukov et al. 2004, kode

akses AY701167), Cyanopica cyanus interposita (Famili Corvidae, Kryukov et al. 2004, kode akses AY701152).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hubungan kekerabatan dapat dianalisis berdasarkan variasi morfologi, variasi aktivitas harian, serta variasi gambaran darah dari empat subspesies beo sebagai dasar pengelolaan burung beo di penangkaran dan untuk mengetahui dan menganalisis variabilitas genetik, jarak genetik dan hubungan kekerabatan empat subspesies burung beo (G.r. religiosa (beo medan), G.religiosa spp. (beo kalimantan) G.r. robusta (beo nias), G.r.

mertensi (beo flores), berdasarkan hasil perunutan sebagian daerah

(29)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memperjelas jumlah subspesies beo yang sebenarnya ada di Indonesia sehingga dapat diperoleh strategi konservasi yang tepat bagi pengelolaan burung beo baik secara in-situ maupun eks-situ. Data yang diperoleh diharapkan menjadi data dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan, khususnya di bidang bioteknologi.

Hipotesis

Terdapat variasi morfologi, variasi aktivitas harian, variasi gambaran darah dan terdapat karakter nukleotida yang unik di daerah sebagian D-loop mtDNA diantara empat subspesies burung beo Indonesia

(G.r. religiosa [beo medan] dan G.religiosa spp. [asal dari Kalimantan].

G.r. robusta [beo nias], G. r. mertensi [beo flores]. Beo kalimantan

(30)

Bio-ekologi Burung Beo

Burung yang mampu menirukan suara-suara yang didengarnya, terdiri dari beberapa ordo, salah satu diantaranya adalah Passeriformes. Burung-burung yang termasuk ordo Passeriformes, subordo Passeres merupakan burung penyanyi (Songbird) yang terdiri dari 52 famili. Namun demikian, hanya tiga spesies dari ordo ini yang mampu menirukan suara yaitu magpies (Corvus corax, Corvidae), mockingbirds (Mimus polyglottos, Mimidae) (Lampiran 4) dan burung beo (Gracula religiosa) yang termasuk famili Sturnidae (Rutgers & Norris 1977; Storer et al. 1979). Selain burung beo, burung nuri dan kakatua juga mampu menirukan suara yang didengarnya (Forshow 1977; Sudaryanti 1984), walaupun perbendaharaan kata yang diikuti tidak sebanyak burung beo. Hal ini merupakan daya tarik tersendiri bagi penggemar burung untuk menjadikan burung beo sebagai hewan kesayangan.

Taksonomi

Menurut Peters (1937) dan Monroe dan Sibley (1993) burung beo diklasifikasikan ke dalam :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

SubFilum : Vertebrata

Kelas : Aves

Ordo : Passeriformes

SubOrdo : Passeres

Famili : Sturnidae

Genus : Gracula

(31)

Orang yang pertama kali memberi nama beo dengan nama latin

Gracula religiosa adalah Linnaeus pada tahun 1758 (Peters 1937; Monroe

dan Sibley 1993). Burung beo banyak disukai oleh masyarakat karena kepandaiannya di dalam menirukan suara yang didengarnya. Burung beo di Jawa dikenal dengan sebutan menco, sedangkan di Sumatera Utara dinamai tiung atau tiong (Prijono dan Waluyo 1996), di Pulau Nias dikenal dengan mageao (Sitepu 1997) dan dalam bahasa Inggris disebut Mynah (Campbell dan Lack 1985).

Morfologi

Berdasarkan cuping kuduknya, beo di Indonesia dibedakan atas lima subspesies (Peters 1962; Prijono dan Waluyo 1996, Gambar 1) yaitu:

1. G. r. religiosa Linnaeus 1758, mempunyai pangkal cuping kuduk

terpisah. Subspesies ini tersebar di Tanah Genting Kra Selatan, Sumatera, Simalue, Enggano, Pulau Dua, Bangka, Belitung, Kalimantan, Natuna, Karimata, Jawa, Bawean, Bali dan Kangean. Dalam dunia perdagangan burung dikenal dengan nama beo medan.

2. G. r. robusta Salvadori 1887, memiliki cuping kuduk bersatu antara kiri

dan kanan. Daerah sebarannya meliputi Nias, Pulau Babi, Tuangku dan Bangkaru dan dikenal dengan sebutan beo nias.

3. G. r. batuensis Finsch 1899, mempunyai ujung cuping kuduk

membelok ke atas dan pangkalnya terpisah. Penyebarannya meliputi Tello, Siberut, Sipora, Pagi, Anambas, Tambelan dan Tioman, sering disebut beo lampung.

4. G. r. mertensi Rensch 1928, memiliki ujung cuping kuduk yang

membelok ke atas, pangkalnya terpisah dan juga membelok ke atas. Pangkal cuping kuduk jika dilihat dari atas berbentuk seperti dua garis kuning memanjang ke arah paruh. Mempunyai daerah penyebaran di Flores, Pulau Pantai dan Alor.

5. G. r. venerata Bonaparte 1851, hampir sama dengan G. r. mertensi

(32)

Gambar 1. Beberapa spesimen beo yang diawetkan (Sumber : Prijono & Waluyo 1996 (a,c,d,e) dan dokumentasi pribadi (b))

a. Beo medan (G.r.religiosa) d. Beo nias (G.r.robusta) b. Beo kalimantan (G.religiosa spp) e. Beo flores (G.r.mertensi) c. Beo lampung (G.r.batuensis)

Pada umumnya, beo mempunyai ukuran panjang tubuh sekitar 300-380 mm. Warna bulunya hitam mengkilap dengan refleksi ungu dan hijau (Direktorat PPA 1981; Prijono & Waluyo 1996). Beo dewasa mempunyai noda putih di ujung bulu primer, sedangkan beo muda memiliki bulu yang kurang mengkilap. Paruh berwarna kuning, oranye sampai merah dan di bawahnya terdapat cuping kuduk berwarna kuning (Maradjo 1977). Beo memiliki leher yang pendek, berpial kuning di bawah mata sampai belakang kepala (Direktorat PPA 1981). Kulmen (paruh beo berukuran 30 mm, ulnar (sayap) 15 mm, ekor 69 mm dan tarso-metatarsus (kaki) 30 mm (Direktorat PPA 1981). Karakter morfologi beo

(a) (b) (c)

(33)

thailand utara (n=206) memiliki ukuran bobot badan 189,37±15,94 g, panjang badan 185,20± 7,40 mm, panjang cuping kuduk 28,60±5,60 mm, panjang tarsus 32,80±2,10 mm dan panjang ekor 75,10±5,10 mm (Archawaranon & Mevatee 2002, Lampiran 2).

(34)

Habitat dan Penyebaran

Daerah penyebaran subspesies beo di dunia meliputi India, Cina, Daratan Asia Tenggara, Thailand, Palawan, Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, Pulau Enggano, Bawean, Sumbawa, Flores, Alor dan Pulau Aru (MacKinnon 1993; Direktorat PPA 1980a). Beo dapat hidup di dataran rendah, bukit hutan primer, hutan rawa, hutan sekunder dan hutan persawahan sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut (m dpl) (Marlee & Voous 1988; Noerdjito 1987). MacKinnon (1993) menyebutkan bahwa pada umumnya beo terdapat di beberapa tempat dataran rendah Sumatera (termasuk pulau-pulau di sekitarnya) dan Kalimantan (termasuk pulau-pulau di sekitarnya), sampai ketinggian 1000 m dpl, sedangkan di Pulau Jawa dan Bali, dahulu umum ditemukan di pinggir hutan, tetapi sekarang sudah jarang karena adanya penangkapan dan kerusakan habitat.

Gambar 2. Penyebaran beo di Indonesia dan Thailand (Sumber: Peters 1962) Keterangan : G.r.religiosa G.r. robusta G.r.mertensi

(35)
(36)

Perilaku

Perilaku satwa dapat diartikan sebagai ekspresi suatu satwa yang disebabkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Pola-pola perilaku yang ditampilkan oleh satwa dapat digunakan untuk menggolongkan satwa secara sistematis berdasarkan persamaan dan perbedaan pola perilaku pada masing-masing satwa tersebut (Drickamer & Vessey 1982). Menurut Pettingil (1969) dan Lehner (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku satwa dinamakan rangsangan, stimuli atau

agents, sedangkan aktivitas yang ditimbulkan dinamakan respon.

Pola perilaku merupakan segmen perilaku yang mempunyai fungsi adaptasi, untuk menjamin kelangsungan hidup dan keberadaan makhluk hidup pada suatu kawasan tertentu yang sesuai dengannya (Scott 1969). Perilaku terdiri atas campuran komponen-komponen yang diwariskan, dibawa dari lahir (insting) dan diperoleh dari lingkungan selama hidup yaitu berupa pengalaman (Tanudimadja dan Kusumamihardja 1985). Kebanyakan studi tentang perilaku satwa dimulai dengan penyusunan etogram, yaitu suatu uraian lengkap dari perilaku yang ditampilkan oleh satwa (Drickamer & Vessey 1982). Dalam mempelajari perilaku satwa pola-pola perilaku dapat dikelompokkan ke dalam sistem-sistem perilaku, yaitu sekumpulan pola perilaku yang memiliki fungsi yang sama (Lehner 1979), yaitu:

1. Perilaku makan (Ingestive behavior)

2. Perilaku mencari tempat bernaung (Shelter seeking) 3. Perilaku bertentangan (Agonistic behavior)

4. Perilaku seksual (Sexual behavior)

5. Perilaku memelihara (Epilemetic behavior)

6. Perilaku mendekati yang memelihara (Et-epilemetic behavior) 7. Perilaku meniru (Allelomimetic behavior)

(37)

Perilaku Beo di Alam

Beo merupakan burung terbang yang tangkas dan sering terlihat terbang berkelompok (20-30 ekor), di hutan yang tidak terlalu lebat (Rutgers & Norris 1997). Mereka mempunyai kebiasaan bersuara pada pagi hari dan sore hari dengan suaranya yang bervariasi, kadang lembut dan riang, kadang serak dan kasar, bahkan dengan nada yang tinggi seperti seruling. Pada saat terbang tinggi sering dilakukan komunikasi dengan mengeluarkan suara-suara siulan keras atau seperti suara tangisan (Rutgers & Norris 1997).

Di alam burung beo nias memulai aktifitasnya pada pagi hari, dengan meninggalkan pohon sekitar pukul 05.00 untuk mencari makan di Hililego (Bukit Lelego, Kabupaten Nias) dan akan kembali lagi sekitar pukul 17.00 (Direktorat PPA 1981; Sitepu 1997). Makanan yang disukai beo adalah buah berdaging dari liana dan buah dari Dipterocarpaceae, yang mempunyai kulit buah tidak keras. Selain buah, beo menyukai serangga seperti capung, belalang, jangkrik dan telur semut (Direktorat PPA 1981, Prijono & Waluyo 1996).

MacKinnon & Phillips (1993) menyebutkan burung beo sering berada di pohon yang tinggi dan hidup berpasangan, kadang-kadang berkumpul dalam kelompok. Mereka mengunjungi daerah terbuka dan pohon berbuah, bercak putih pada sayapnya terlihat jelas saat terbang. Direktorat PPA (1980) menyebutkan mereka terbang bergerombol. Ketika terbang, warna kuning dari paruh serta kulit kepala yang tidak berbulu dan noda putih besar di sayapnya nampak jelas sekali. Sedangkan Noerdjito (1987) menambahkan bahwa beo nias sering berada di puncak-puncak pohon, kadang-kadang hinggap di tanah dan suka sekali bertengger di ranting pohon yang telah mati.

(38)

dengan merebut sarang burung pelatuk. Burung beo hampir tidak memiliki persaingan dengan burung lainnya, kecuali dengan burung gagak. Kadang-kadang beo ditemukan bersama-sama dengan burung rangkong kecil (Direktorat PPA 1981). Beo di alam menyukai tidur di sarang dalam lubang pohon walaupun tidak sedang bertelur (Frisch 1986).

Perilaku burung beo yang bersarang dalam lubang pohon saat mencari sarang menurut Stokes dan Stokes (1990) adalah sebagai berikut: satu atau sepasang burung mendatangi sarang, memeriksa di luar dan kemudian masuk ke dalam sarang. Hal ini dapat dilakukan berhari-hari atau berminggu-minggu dengan mendatangi beberapa sarang sebelum memilih satu diantaranya. Pada hari berikutnya burung kembali dengan betinanya dan mencoba menarik perhatian betinanya.

Menurut Whistler (1949) musim kawin burung beo berlangsung pada bulan Pebruari sampai Mei, sedangkan di Malaysia pada bulan Desember sampai Mei (Noerdjito 1987). Di Sumatera, musim kawin terjadi pada bulan Pebruari dan di Kalimantan pada bulan Pebruari dan Maret.

Perilaku membuat sarang sering berhubungan dengan proses bertelur. Jumlah telur burung beo dalam satu kali musim bertelur ialah dua sampai dengan tiga butir dengan bentuk oval (Whistler 1949), tetapi ada yang berpendapat lain dalam satu sarang terdapat empat butir telur (Direktorat PPA 1980a). Pengeraman dilakukan secara bergantian antara beo jantan dan beo betina, dengan lama pengeraman selama 12 hari (Stokes & Stokes 1990), sedangkan menurut Frisch (1986) lama pengeraman 14 sampai 18 hari. Telur beo yang baru menetas akan mengeluarkan anakan beo yang tidak berbulu (mulai hari pertama sampai dengan hari ke tiga) dan mulai hari ke empat sudah terlihat adanya pertumbuhan bulu seperti yang terlihat pada Lampiran 3 (http://www.mynahbird.com/articles).

(39)

anak burung beo meninggalkan sarang kurang lebih berumur 31 hari (Stokes & Stokes 1990).

Perilaku Beo Nias di Penangkaran. Di penangkaran, beo nias lebih banyak mengalokasikan waktu hariannya untuk aktivitas menjelajah (49,55%). Interaksi sosial lebih banyak terjadi di siang hari (Muallivah 1997). Perilaku agonistik pada kelompok beo nias terjadi pada saat aktivitas makan, perebutan tempat bertengger dan aktivitas saling menyelisik bulu. Periode keaktifan interaksi sosial terjadi pada siang hari, dimana aktivitas yang lain cenderung menurun (Muallivah 1997).

Gambaran Darah Burung Beo

Darah terdiri atas dua komponen yaitu 30-40% komponen sel, yang terdiri atas eritrosit dan leukosit, serta 60-70% merupakan komponen plasma yang terdiri atas air, elektrolit, metabolit, zat makanan, protein dan hormon (Swenson 1977). Darah berfungsi sebagai : 1) media transportasi, antara lain mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel jaringan tubuh dan karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru, mengangkut bahan makanan dari usus ke sel-sel tubuh, mengangkut air, elektrolit, enzim dan hormon; 2) homeostasis, dan 3) pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme (Swenson 1977; Widjajakusuma & Sikar 1986).

Eritrosit mempunyai fungsi pasif di dalam pembuluh darah, sedangkan leukosit mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan (Brown 1989). Eritrosit bangsa burung berbentuk lonjong dan memiliki inti. Pada umumnya jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, hormon, keadaan hipoksia, faktor musim, waktu harian, suhu lingkungan, status reproduksi, nutrisi dan aktivitas (Sturkie 1976; Hodges 1977 & Mitruka et al. 1977). Eritrosit beo disajikan pada Gambar 4 (Hawkey & Dennet 1989).

(40)

yang berpengaruh terhadap proses eritropoiesis dan jumlah eritrosit akan berpengaruh pula terhadap kadar hemoglobin darah. Hal ini terjadi karena hemoglobin terdapat di dalam eritrosit dan dibentuk saat proses pematangan eritrosit. Dengan demikian maka secara normal kadar hemoglobin di dalam darah berbanding lurus dengan jumlah eritrositnya. Pada burung jantan dewasa kadar hemoglobin lebih tinggi daripada burung betina dewasa (Schalm et al. 1975; Hodges 1977).

Nilai hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase volume eritrosit di dalam 100 ml darah. Pada hewan normal nilai hematokrit berbanding lurus dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Semua faktor yang mempengaruhi proses produksi dan jumlah eritrosit berpengaruh pula terhadap nilai hematokrit (Sturkie 1976).

Leukosit berperan sebagai unit pertahanan tubuh (Guyton 1982). Pada umumnya jumlah total leukosit cenderung lebih tinggi pada burung betina dewasa daripada jantan (Hodges 1977). Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, kondisi stres, aktivitas fisiologis yang tinggi, gizi, lingkungan, efek hormon, obat dan sinar x (Brown 1989; Sturkie 1976).

Gambar 4. Eritrosit burung beo jawa (Hawkey & Dennet 1989) Keterangan : Tanda panah hitam: sel sabit darah merah Tanda panah biru : eritrosit

Tanda panah merah : limfosit

Sel sabit darah merah sering ditemui pada burung beo (G.r.religiosa

(41)

(a) (b)

(c) (d)

mengandung oksigen dan tidak berhubungan dengan tanda klinik yang abnormal. Sebagaimana juga ditemukan pada beberapa spesies rusa dewasa (swamp deer), sapi, kambing dan beberapa carnivora kecil (Hawkey & Dennet 1989). Gambaran darah pada beberapa burung dapat dilihat pada Gambar 5 (Hawkey & Dennet 1989)

Gambar 5. Gambaran darah pada beberapa jenis burung (Hawkey & Dennet 1989) (a) Eosinofil (tanda panah hitam) pada burung lappet faced yang terinfestasi parasit

(b) Monosit (tanda panah hijau) pada burung flamingo normal (c) Heterofil (tanda panah hitam) dan trombosit (tanda panah merah) pada burung merpati normal

(d) Limfosit besar (tanda panah biru) pada burung elang

(42)

Tabel 1. Gambaran darah beo thailand (Archawaranon 2005) Parameter komponen

darah yang diukur

Jantan dewasa

(n= 20)

Betina dewasa

(n=15)

Beo muda

(n=10)

Eritrosit (106/mm3) 3,75 ± 0,44 3,17 ± 0,43 3,85 ± 0,59 Hematokrit (%) 47,00 ± 4,86 46,67 ± 3,64 48,60 ± 2,46 Hemoglobin (g/dl) 14,26 ± 1,18 13,59 ± 1,12 14,32 ± 0,62 MCV (µm3) 126,04 ± 11,69 124,23 ± 8,68 131,83 ± 13,89 MCH (pg/sel) 38,35 ± 3,57 37,69 ± 2,62 38,86 ± 4,47 MCHC (g/dl) 30,06 ± 1,53 29,08 ± 0,99 29,46 ± 0,52 Leukosit (103 sel/mm3) 20,77 ± 5,82 27,04 ± 6,80 27,88 ± 7,38 Heterofil (%) 43,79 ± 8,02 43,43 ± 7,91 34,75 ± 6,33 Limfosit (%) 48,65 ± 7,54 48,25 ± 8,47 58,44 ± 12,39 Basofil (%) 0,80 ± 0,73 0,27 ± 0,38 0,20 ± 0,40 Monosit (%) 4,60 ± 4,08 4,30 ± 3,19 4,30 ± 3,19 Keterangan : MCV : Mean Corpuscular Volume

MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin

MCHC : Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration

Penentuan Jenis Kelamin

Gracula religiosa adalah burung monomorf yaitu sulit dibedakan

antara jantan dan betina, sehingga untuk menentukan jenis kelamin dapat dilakukan dengan teknik pembuatan kromosom, teknik laparoskopi ataupun metode yang paling cepat dengan teknik PCR terhadap fragmen DNA penanda kelamin pada kromosom seksnya (W atau Z). Archawaranon (2004) telah melakukan teknik determinasi seks dengan menggunakan metode pembuatan kromosom yang berasal dari bulu ekor beo populasi thailand yaitu G.r.intermedia (Thailand Utara) dan

G.r.religiosa (Thailand Selatan), dan mendapatkan jumlah kromosom

diploid 80 pada beo thailand (Gambar 6).

(43)

makrokromosom, sedangkan kromosom W berbentuk submetasentrik dan berukuran lebih kecil (Archawaranon 2004). Kebanyakan kariotip unggas terdiri atas sejumlah sedikit makrokromosom dan sejumlah besar mikrokromosom ( Hammer 1970; Tegelstrom H & Ryttman H 1981). Pada Gambar 6 terlihat perbedaan cuping kuduk beo populasi thailand utara dan thailand selatan, yaitu beo populasi thailand utara memiliki cuping kuduk bersatu dengan cuping di pipi membentuk segitiga, sedangkan beo populasi thailand selatan memiliki cuping kuduk terpisah dengan cuping di pipi.

(44)

Genetika Konservasi

Masalah genetika akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan dunia dalam hubungannya dengan masalah konservasi. Tolok ukur keberhasilan kegiatan konservasi didasarkan pada keanekaragaman genetiknya, sehingga keanekaragaman genetik menjadi indikator kunci yang penting. Keadaan alam yang berubah dari waktu ke waktu menyebabkan setiap spesies harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, untuk bertahan hidup. Variasi genetik menentukan kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan (Haig & Nordstrom 1991; Masy’ud 1992).

Kepunahan suatu spesies sebenarnya fenomena yang telah ada sejak dulu. Kepunahan suatu spesies diawali dengan terpecahnya populasi besar menjadi populasi kecil, yang mengakibatkan kehilangan atau berkurangnya variasi genetik. Pada akhirnya terjadi pengikisan kelenturan evolusi sehingga suatu spesies tidak mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang berubah (Nilsson 1983; Haig & Nordstrom 1991).

Keanekaragaman genetik identik dengan keanekaragaman alela dan heterozigositas alela. Hilangnya keanekaragaman hayati dapat menyebabkan 1) penyimpangan genetik secara acak, 2) derajat silang dalam (inbreeding) yang tinggi dan 3) pengurangan populasi efektif dari suatu spesies (Lacy 1987; Haig & Nordstrom 1991). Menurut Haig dan Nordstrom (1991), strategi yang dapat diaplikasikan pada populasi yang kecil yaitu dengan memasukkan individu-individu baru dari populasi yang lain secara teratur, sehingga akan memperbesar populasinya secara cepat.

(45)

(I=0,9969). Beo irian (Mino dumontii) merupakan spesies berbeda dengan beo medan dan beo nias, tapi masih berkerabat dekat. Antara beo nias dan beo irian mempunyai jarak genetik sebesar I=0,6022 dan D=0,2203, sedangkan antara beo medan dan beo irian memiliki jarak genetik sebesar I=0,6425 dan D=0,1921. Dari analisis polimorfisme protein darah, menunjukkan bahwa beo nias dan beo medan mempunyai kekerabatan yang lebih dekat dibandingkan dengan beo irian (Siregar 1997). Sedangkan di Thailand, Kudan et al. (2002 unpublished) telah melakukan perunutan DNA sebagian daerah D-loop mtDNA burung beo

G.r.intermedia dan G.r.religiosa masing-masing dari populasi Thailand

Utara dan Thailand Selatan. Primer PCR yang digunakan untuk amplifikasi sebagian daerah D-loop adalah Primer F (NDGE) 5’-CCA TAA CCA ACA ACC TGT CAAT-3’ dan Primer R (H417) 5’-AGT AGC TCG GTT CTC GTG AG-3’ (Kudan S 20 Juli 2004, komunikasi pribadi).

Genotip, Fenotip, Mutasi Gen, dan Evolusi Burung

Istilah genotip dan fenotip muncul untuk memahami interaksi antara gen dan lingkungan terhadap organisme. Suatu organisme dikatakan mirip atau menyerupai induknya karena ada beberapa persamaan ciri-ciri yang dapat dilihat. Dalam hal ini ciri-ciri tersebut diwariskan. Ditinjau dari sudut ilmu keturunan, ciri-ciri yang diwariskan tadi disimpan sebagai informasi genetik dalam gen-gen yang secara molekular tersusun atas asam nukleat DNA (Burns & Bottino 1988; Sofro 1994).

(46)

dipengaruhi oleh faktor lingkungan, maka ciri-ciri ini menjadi suatu penampilan atau fenotip. Organisme termasuk genotip yang sama bila mereka memiliki seperangkat gen yang sama. Sementara itu organisme termasuk dalam fenotip yang sama bila mereka memiliki beberapa persamaan ciri-ciri yang ditampilkan. Genotip memberikan seperangkat komplit gen yang diwariskan oleh suatu individu, sedangkan fenotip merupakan ciri-ciri lahiriah organisme yang dihasilkan karena interaksi antara gen dan lingkungan. Sebenarnya tidak ada dua individu yang memiliki fenotip sama karena pasti ada perbedaan walaupun sedikit (Singer & Berg 1981; Sofro 1994).

Mutasi terdiri atas dua jenis yaitu mutasi kromosom dan mutasi gen. Mutasi kromosom adalah perubahan yang terjadi pada kromosom, meliputi: a) duplikasi (penambahan), b) delesi (lenyapnya gen dari suatu kromosom), c) inversi (perubahan letak segmen kromosom), d) pindah silang (pertukaran gen dari kromosom homolog), e) translokasi (pertukaran dari kromosom (nonhomolog) (Sugiri 1988). Mutasi gen secara umum adalah perubahan apapun dalam bahan genetik. Mutasi gen tidak dapat dilihat dengan mikroskop. Perubahan bahan genetik ini pada dasarnya disebabkan oleh lima hal, yaitu : a) mutasi noktah yang meliputi perubahan pada kodon-kodon tunggal, b) transisi, c) transversi, d) insersi dan e) delesi. Namun secara lebih terbatas mutasi lebih menunjuk ke perubahan dalam gen (intragenik). Dalam mutasi semacam ini ada dua kelompok besar, yaitu penggantian basa dan mutasi pergeseran rangka.

(47)

transversi yaitu penggantian basa purin dengan pirimidin atau sebaliknya. Umumnya penyebab transversi berbeda dengan penyebab transisi karena tranversi tidak terjadi selama replikasi DNA, melainkan terkait dengan sistem reparasi DNA yang rentan terhadap kesalahan (Burns & Bottino 1988; Sofro 1994).

Akibat adanya mutasi transisi dan transversi dapat terjadi mutasi

misens atau nonsens. Pada mutasi misens, asam amino pada rantai

polipeptida yang disintesis digantikan dengan asam amino lain. Pada mutasi nonsens, kodon yang menyandi suatu asam amino berubah menjadi kodon henti sehingga sintesis rantai polipeptida berhenti sebelum waktunya (Burns & Bottino 1988; Sofro 1994).

Pada mutasi pergeseran rangka, mutasi terjadi apabila satu pasangan basa atau lebih ditambahkan (insersi) atau terhapus (delesi) dari molekul DNA. Hal ini dapat dimengerti karena kodon dibaca berurutan untuk tiap triplet nukleotida. Dengan adanya tambahan atau pengurangan basa, maka pembacaan triplet nukleotida menjadi bergeser. Akibat terjadinya geseran pembacaan kodon, maka asam amino yang disandi juga mengalami perubahan. Gen mutan semacam ini akan bertahan bila protein yang terbentuk dapat bertahan (Burns & Bottino 1988; Sofro 1994).

Dari kenyataan adanya mutasi, tampak bahwa meskipun proses replikasi DNA merupakan proses yang tepat, tetapi kadang-kadang juga terjadi kesalahan. Seringkali kesalahan ini dibetulkan dalam sel. Tetapi kadang-kadang kesalahan ini tidak diperbaiki dan terbawa terus pada proses replikasi selanjutnya. Kesalahan yang tidak diperbaiki semacam ini dapat bersifat merusak, tetapi tidak jarang pula tidak menimbulkan kerugian. Justru adanya mutasi semacam inilah yang menyebabkan timbulnya keanekaragaman kehidupan di dunia (Burns & Bottino 1988; Sofro 1994).

(48)

berkaki dua (Storer et al. 1979; Welty 1982). Evolusi terdiri dari dua jenis yaitu mikroevolusi dan makroevolusi, dimana mikroevolusi ialah evolusi yang berhubungan dengan gene pool pada populasi tunggal dan makroevolusi adalah evolusi yang termasuk asal usul spesies baru dan pengelompokan taksonomi tingkat tinggi ( Campbell et al. 2006).

Teknik DNA telah memungkinkan penelusuran sejarah evolusi organisme, termasuk burung. Menurut Sibley dan Ahlquist (1991) perbandingan DNA menunjukkan bahwa ada hubungan kekerabatan yang dekat antara dua kelompok passerine, yaitu antara kelompok jalak dan beo (starling) di Dunia Lama dengan kelompok mockingbird di Dunia Baru yang ternyata baru terpisah 25 juta tahun yang lalu. Berdasarkan penelitian-penelitian tentang anatomi kepala, syrinx dan protein otot yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya Sibley dan Ahlquist (1991) juga menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan yang signifikan antara beo dengan mockingbird, yaitu memiliki kepandaian meniru suara.

Dibandingkan dengan vertebrata terestrial lainnya burung adalah satu-satunya yang memiliki kemampuan terbang yang sangat kuat (Welty 1982). Kemampuan terbang burung inilah yang menurut Darlington (1966) merupakan faktor utama dalam penyebaran burung, atau dengan kata lain kondisi penyebaran burung di dunia saat ini adalah hasil dari pergerakan berpindah burung, dan bukan akibat dari pergeseran benua.

Daerah Kontrol D-loop Mitokondrion DNA

(49)

dan asam amino serta enzim yang terlibat dalam siklus asam sitrat (Lodish

et al. 1995, Artika 2003).

Membran dalam memiliki struktur melekuk, melipat kedalam ke bagian matriks mitokondrion, dikenal sebagai krista. Struktur melekuk-lekuk ini sangat membantu dalam meningkatkan luas permukaan membran dalam, sehingga meningkatkan kemampuannya dalam memproduksi ATP (Lodish et al. 1995, Artika 2003).

Matriks mitokondrion berupa cairan kental serupa gel, dengan campuran ratusan jenis enzim dengan konsentrasi yang sangat tinggi, untuk proses oksidasi piruvat, oksidasi asam lemak dan untuk menjalankan siklus asam trikarboksilat. Matriks mitokondrion juga mengandung salinan identik DNA genom mitokondrion, ribosom mitokondrion, tRNA dan berbagai jenis enzim yang diperlukan untuk ekspresi gen mitokondrion (Lodish et al. 1995, Artika 2003).

Molekul DNA mitokondrion mempunyai banyak kelebihan sebagai penanda molekular dalam mempelajari hubungan evolusi hewan pada berbagai tingkatan. Hal ini disebabkan ukuran DNA mitokondrion vertebrata relatif kecil (±16 kb) yang mengandung 13 gen menyandikan protein, 22 gen menyandikan tRNA (transfer RNA), 2 gen menyandikan rRNA (ribosomal RNA) dan satu ruas DNA berukuran besar yang tidak menyandikan protein. DNA mitokondrion tidak memiliki intron, kodon stop beberapa gennya tidak sempurna dan ujung 3’-CCA dari gen-gen tRNA-nya tidak ada.

Pola pewarisan mitokondrion melalui garis ibu yang menyebabkan tidak ada rekombinasi dan laju mutasinya tinggi, sehingga mempunyai keunggulan tersendiri sebagai penanda molekular tingkat intraspesies pada sebagian besar vertebrata (Avise 1994). Ekspresi genom mitokondrion berlangsung di mitokondrion. Berbeda dengan mRNA nukleus, mRNA mitokondrion tidak mengandung intron (Lodish et al.

(50)

Gambar 7. Diagram struktur mitokondrion manusia (Lodish et al. 1995) Keterangan: (a) Struktur tiga dimensi mitokondrion

(b) Diagram penampang melintang mitokondrion (c) Diagram satu dimensi mitokondrion

Genom mitokondrion mempunyai variasi runutan DNA yang tinggi, beberapa kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti dan kecepatan evolusi 5-10 kali lebih cepat daripada genom inti dan di daerah D-loop mengalami evolusi lebih cepat lagi (Brown et al. 1982, Majerus 1996). Genom mitokondrion ayam leghorn putih berukuran 16775 nukleotida. Genom mitokondrion unggas menyandikan set gen yang sama sebagaimana genom vertebrata lainnya (13 penyandi protein, 2 rRNA dan 22 tRNA) dan mempunyai model yang sangat ekonomis (Desjardins & Morais 1990).

Genom mtDNA ayam memperlihatkan dua karakter berbeda yaitu : menunjukkan novel gene order, ND6 dan tRNA Glu mempunyai lokasi berdekatan dengan daerah kontrol D-loop, di depannya terdapat tRNA Phe, 12sRNA, 16sRNA, ND1, ND2, COI, COII, ATP6, COIII, ND3, ND4, ND5 dan gen penyandi sitokrom b dan pada ayam tidak ada daerah yang setara dengan light-strand replication origin yang merupakan runutan DNA yang kekal, yang ditemukan diantara tRNA Cys dan tRNA Asn pada semua genom mitokondrion vertebrata. Hal ini menunjukkan bahwa genom

16569 pb

c b

(51)

16775 pb

mitokondrion galliformes terpisah dengan mamalia dan amfibia selama evolusi spesies vertebrata (Desjardins & Morais 1990).

Dalam sel vertebrata yang sedang aktif, sebagian dupleks DNA mitokondrion mengandung struktur pendek berutas tiga yang disebut

D-loop (Displacement Loop). D-loop tidak memiliki penyandi untuk gen-gen

struktural tetapi kebanyakan mengandung elemen pengatur replikasi mt DNA, transkripsi, dan pengatur ekspresi genetik mtDNA serta memiliki laju mutasi yang tinggi, bahkan tertinggi di seluruh genom sehingga mempunyai nilai informasi yang tinggi dalam menguji kekerabatan di dalam satu spesies (Brown et al. 1982; Aquadro & Greenberg 1983; Lodish et al. 1995; Vigilant et al. 1989).

D-loop bangsa burung diapit oleh gen tRNAGlu dan tRNAPhe, tidak

seperti vertebrata lainnya diapit oleh tRNAPro dan tRNAPhe (Desjardins dan Morais 1990, Gambar 8). Daerah D-loop mtDNA telah dirunut secara lengkap pada tujuh spesies ayam hutan Alectoris. Panjang D-loop sangat kekal (1155 ± 2 nukleotida) dan laju substitusi lebih rendah dibandingkan dengan gen sitokrom b pada spesies yang sama.

(52)

Analisis komparatif menunjukkan adanya pembagian daerah D-loop ke dalam tiga domain dengan bagian sisi domain I dan domain III mengandung variabilitas nukleotida yang tinggi, sedangkan domain II sebagai pusat yang sangat kekal pada vertebrata (Baker & Marshall, 1997 seperti yang diacu dalam Randi & Lucchini 1998). Walaupun demikian, 161 nukleotida pertama dari domain I D-loopAlectoris pada sisi setelah tRNAGlu, berevolusi pada laju yang lebih lambat dan memperlihatkan motif yang serupa dengan runutan DNA pada mamalia yang disebut ETAS (Extended Termination-Associated Sequences) I dan ETAS II (Sbisa et al. 1997) yang dapat membentuk struktur sekunder yang stabil. Bagian ke dua dari domain I mengandung daerah hipervariabel dengan dua kopi runutan DNA berulang ganda (tandemly repeated

sequence) pada spesies lain dari anseriformes dan galliformes (Quinn &

Wilson 1993; Fumihito et al.1995). Beberapa blok daerah kekal pada mamalia dapat dipetakan dalam domain pusat Allectoris. Domain III mempunyai variabilitas yang tinggi dan runutan DNA serupa dengan CSBI

(53)

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2001 sampai

dengan September 2005. Pengamatan dan pengukuran morfologi

(morfometri), pengamatan aktivitas harian dan gambaran darah empat

subspesies beo dilakukan di Laboratorium Penangkaran Satwaliar,

Fakultas Kehutanan IPB. Pemotretan eritrosit burung beo dilakukan di

Lab. Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB sedangkan analisis biologi

molekuler dilaksanakan di Laboratorium Genetik LIPI Cibinong dan di

Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Studi Ilmu Hayati dan Bioteknologi

IPB.

Bahan dan Alat

Untuk sampel morfometri dan pemeriksaan gambaran darah

burung digunakan sampel burung beo medan (n = 2), beo kalimantan (n =

3), beo nias (n = 8), beo flores (n=2), beo yang tidak diketahui asal

usulnya (unknown) (n = 4), kode UK1, UK2, UK3, dan UK4, berasal dari

pasar burung. Pada sampel tersebut dilakukan pengamatan dan

pengukuran morfologi atau morfometri serta pengambilan darah dari vena

ulnaris sebanyak 0,5 ml dengan menggunakan spuit yang telah diisi

antikoagulan (EDTA 10%). Pengiriman sampel ke laboratorium dilakukan

pada suhu dingin (± 4oC). Pemeriksaan eritrosit dilakukan dengan menggunakan hemositometer Neubaeur dan diperiksa di bawah

mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x dan 100x, kemudian

dilakukan pengambilan gambar menggunakan kamera Nikon.

Pengamatan aktivitas harian burung beo dilakukan pada empat ekor

burung beo yang masing-masing berasal dari Medan, Kalimantan, Nias

dan Flores.

Sampel burung beo yang digunakan untuk analisis DNA berasal

dari habitat aslinya yaitu dari Medan (n = 2, yaitu M1 dan M2), Kalimantan

Gambar

Gambar 1. Beberapa spesimen beo yang diawetkan (Sumber : Prijono & Waluyo 1996
Gambar 2.  Penyebaran beo di Indonesia dan Thailand (Sumber: Peters 1962)
Tabel 1. Gambaran darah beo thailand (Archawaranon  2005)
Gambar 6 terlihat perbedaan cuping kuduk beo populasi thailand utara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara jenis klon dan media dasar sangat memengaruhi jumlah nodul yang dihasilkan, dimana interaksi tertinggi dari kedua faktor tersebut

(2) Bentuk ekspresi bahasa yang terdapat pada wacana berita kriminal pembunuhan pada tanggal 1-7 November 2013 di situs www.bfmtv.com berupa kosakata yang

Sebagai kelanjutan proses pelelangan ini, kami mengundang saudara untuk menghadiri tahapan verifikasi dan pembuktian kualifikasi paket pekerjaan Pembangunan Pasar

Faktor pendukung pemanfaatan media digital untuk meningkatkan pemahaman peserta didik pada materi PAI secara internal adalah adanya kemauan dan upaya guru memanfaatkan

Memilih bibit ternak ayam yang akan dipelihara (akan digunakan bibir ayam kampong super, bibitnya dapat diperoleh dengan skala banyak serta pertumbuhan

Teknologi internet merevolusi sistem keamanan komunikasi dan kemampuan pengawasan jarak jauh.Sejak era komunikasi digital pada tahun 1970-an, pemberian sinyal

akan menampilkan data dari pemilik kendaraan tersebut, sehingga pada saat pencuri mencoba membawa keluar kendaraan tersebut, kendaraan tersebut akan dikenali sebagai

Setalah sistem operasi windows di load, maka servis XDMCP di Linux Server akan mentransfer GUI dari Windows Server ke Clientnya dengan remote desktop atau dengan VNC, sehingga di