• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

VIKA SYAFITRI

127011013/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

VIKA SYAFITRI

127011013/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nama Mahasiswa : VIKA SYAFITRI

Nomor Pokok : 127011013

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

3. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum

(5)

Nama : VIKA SYAFITRI

Nim : 127011013

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP WASIAT WAJIBAH

DALAM PERSPEKTIF FIKIH ISLAM (STUDI

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK

INDONESIA TENTANG AHLI WARIS YANG

BERAGAMA NON-MUSLIM)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dan dalam kitab-kitab Fikih Islam. Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010, putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menyatakan memberikan wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris non-muslim, jadi yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang beragama Islam.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan menurut hukum Islam. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap Al-Quran, buku-buku fikih Islam, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan.

Dalam Fikih Islam tidak menyebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah, karena pada masa dahulu para ulama lebih berpedoman kepada teks Al-Quran dan Sunnah, berbeda dengan ulama sekarang yang lebih rasional dalam memfatwakan hukum, selain itu memberi kesempatan kepada Hakim untuk berijtihad dalam memutuskan perkara di Pengadilan dengan cara menggali lebih dalam hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Pandangan Ulama Fikih Islam terhadap wasiat wajibah ini pada umumnya adalah pemberian wasiat berdasarkan atas ketetapan Hakim kepada orang-orang tertentu dengan batasan yang telah ditentukan yaitu tidak lebih dari sepertiga dari harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memberikan wasiat wajibah kepada keluarga yang non-muslim adalah didasarkan pada rasa keadilan yang dilihat dari kemanusiaan yang bertujuan untuk menjaga keutuhan keluarga atas realitas sosial di masyarakat Indonesia.

(7)

Compilation of the Islamic Law in the Book of Fiqh. Article 194 up to Article 208 regulate common will, while Article 209 regulates specific will for adopted child or adoptive parents. Based on several jurisprudences of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, it is found that wajibah will is also given to non-Moslem heirs. It is found in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 368.K/AG/1995, in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 51.K/AG/1999, and in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 16.K/AG/2010. These Rulings of the Supreme Court of the Repubic of Indonesia give wajibah will to non-Moslem heirs so that the jurisprudences are different from the concept of the Islamic Fiqh in which the heir of another religion is prohibited to inherit the property of the testator who is Moslem.

The theory used in the research was the theory of justice according to Islam, along with judicial normative method which analyzed deeply the Al-Quran, Islamic Fiqh books, legal provisions, jurisprudences, and legal experts’ opinion. The data were gathered by using library research method.

The Islamic Fiqh does not mention who will get wajibah will since in those days the Islamic scholars were guided by the Al-Quran and As-Sunnah. The Islamic scholars today are more rational in giving law as advice and the judge is given the opportunity to give their ijtihad (interprete the Islamic law) in giving a verdict in Court by digging up laws in the society. The opinion of the Islamic Fiqh scholars on the wajibah is, generally, based on the judge’s verdict, in giving a will to a specific person, on condition that it is not more than one third of the testator’s property. The food for thought of the Supreme Court in giving wajibah will to non-moslem heirs is the sense of judgment viewed from humanity which is aimed to keep the unity in families and the reality found in the Indonesian society.

(8)

menyelesaikan penulisan ini yang merupakan syarat guna mencapai gelar Megister

Kenotariatan. Berkat rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS

YURIDIS TERHADAP WASIAT WAJIBAH DALAM PRESFEKTIF FIKIH

ISLAM (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

TENTANG AHLI WARIS YANG BERAGAMA NON-MUSLIM)”. Penulisan

tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Megister

Kenotariatan (M. Kn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat

beriring salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran

Islam sehingga kita keluar dari zaman kebodohan.

Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya

pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa

khususnya yang berada, di lingkungan pendidikan hukum. Penulis sangat menyadari

bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah

manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun

materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

(9)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku

anggota Komisi Pembimbing dan yang telah memberikan arahan, bimbingan,

masukan, dan saran, dalam penulisan tesis ini.

4. Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku Ketua Komisi

Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran,

dalam penulisan tesis ini.

5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku anggota Komisi

Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran,

dalam penulisan tesis ini.

6. Ibu Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji Program

Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan dan saran

dalam penulisan tesis ini.

7. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji pada

Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan

dan saran dalam penulisan tesis ini.

8. Seluruh Dosen/pengajar mata kuliah pada Program Studi Magister Kenotariatan

Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti

pendidikan.

9. Seluruh Staf Biro Pendidikan Megister Kenotariatan yang telah banyak

memberikan bantaun kepada penulis selama ini.

10. Sahabat-sahabatku di Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana

(10)

S.Pd dan Ibunda tercinta Harita, S.Pd yang salalu memberikan dukungan do’a, moral,

dan materiil serta kasih sayang hingga dengan saat ini, serta kepada

saudara-saudaraku, uni Maulia Oktaviani, S.E., Trya Adha S.I.Kom, Hazra Ristia, dan M.

Aufar Zhafari, yang selalu memberikan dukungan yang tiada henti.

Hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang

diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan

kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari

sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.

.

Medan, November 2014 Penulis

(11)

2. Tempat, Tanggal Lahir : Jambi, 04 Mei 1990

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Belum Menikah

5. Agama : Islam

6. Alamat : Jl. Tulip II RT. 02 No. 63 Kota Jambi

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Dasrul S.Pd

2. Nama Ibu : Harita S.Pd

3. Nama Saudara : Maulia Oktaviani S.E Trya Adha S.I.Kom Hazra Ristia

M. Aufar Zhafari III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Neg. 80/IV Kota Jambi

2. SMP : SMP N 11 Kota Jambi

3. SMA : SMA N 4 Kota jambi

4. Perguruan Tinggi (S1) : Fakultas Hukum Universitas Jambi (UNJA)

(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka Konsepsional ... 18

G. Metode Penelitian ... 21

1. Jenis dan Penelitian... 22

2. Sumber Data ... 23

3. Teknik Pengumpulan Data ... 24

4. Analisis Data... 24

BAB II WASIAT WAJIBAH BERDASARKAN FIKIH ISLAM ... 25

A. Pengaturan Wasiat Wajibah Dalam Fikih Islam ... 25

1. Wasiat ... 25

2. Sumber-Sumber Hukum Wasiat ... 27

3. Rukun dan Syarat Wasiat... 32

4. Wasiat Wajibah... 38

(13)

B. Wasiat Wajibah Dalam Konteks Negara-Negara Islam ... 74

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PUTUSANNYA TENTANG PEMBERIAN WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON-MUSLIM... 86

A. Putusan-Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Wasiat Wajibah... 86

1. Duduk Perkara Putusan Wasiat Wajibah Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995 ... 86

2. Duduk Perkara Putusan Wasiat Wajibah Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999 ... 99

3. Duduk Perkara Putusan Wasiat Wajibah Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010 ... 104

B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Wasiat Wajibah ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 119

A. Kesimpulan ... 119

B. Saran ... 120

(14)

sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dan dalam kitab-kitab Fikih Islam. Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010, putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menyatakan memberikan wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris non-muslim, jadi yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang beragama Islam.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan menurut hukum Islam. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap Al-Quran, buku-buku fikih Islam, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan.

Dalam Fikih Islam tidak menyebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah, karena pada masa dahulu para ulama lebih berpedoman kepada teks Al-Quran dan Sunnah, berbeda dengan ulama sekarang yang lebih rasional dalam memfatwakan hukum, selain itu memberi kesempatan kepada Hakim untuk berijtihad dalam memutuskan perkara di Pengadilan dengan cara menggali lebih dalam hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Pandangan Ulama Fikih Islam terhadap wasiat wajibah ini pada umumnya adalah pemberian wasiat berdasarkan atas ketetapan Hakim kepada orang-orang tertentu dengan batasan yang telah ditentukan yaitu tidak lebih dari sepertiga dari harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memberikan wasiat wajibah kepada keluarga yang non-muslim adalah didasarkan pada rasa keadilan yang dilihat dari kemanusiaan yang bertujuan untuk menjaga keutuhan keluarga atas realitas sosial di masyarakat Indonesia.

(15)

Compilation of the Islamic Law in the Book of Fiqh. Article 194 up to Article 208 regulate common will, while Article 209 regulates specific will for adopted child or adoptive parents. Based on several jurisprudences of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, it is found that wajibah will is also given to non-Moslem heirs. It is found in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 368.K/AG/1995, in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 51.K/AG/1999, and in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 16.K/AG/2010. These Rulings of the Supreme Court of the Repubic of Indonesia give wajibah will to non-Moslem heirs so that the jurisprudences are different from the concept of the Islamic Fiqh in which the heir of another religion is prohibited to inherit the property of the testator who is Moslem.

The theory used in the research was the theory of justice according to Islam, along with judicial normative method which analyzed deeply the Al-Quran, Islamic Fiqh books, legal provisions, jurisprudences, and legal experts’ opinion. The data were gathered by using library research method.

The Islamic Fiqh does not mention who will get wajibah will since in those days the Islamic scholars were guided by the Al-Quran and As-Sunnah. The Islamic scholars today are more rational in giving law as advice and the judge is given the opportunity to give their ijtihad (interprete the Islamic law) in giving a verdict in Court by digging up laws in the society. The opinion of the Islamic Fiqh scholars on the wajibah is, generally, based on the judge’s verdict, in giving a will to a specific person, on condition that it is not more than one third of the testator’s property. The food for thought of the Supreme Court in giving wajibah will to non-moslem heirs is the sense of judgment viewed from humanity which is aimed to keep the unity in families and the reality found in the Indonesian society.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke

orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam

saja yang mengatur, tetapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat.

Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Semuanya

memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sahnya pelaksanaan wasiat tersebut.

Begitu pula di Indonesia, sama mempunyai aturan sendiri tentang wasiat ini. Di

antaranya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk non muslim

yang tidak tunduk pada hukum adatnya, sedangkan untuk umat Muslim diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam.

Secara garis besar wasiat merupakan penghibahan harta dari seseorang kepada

orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya yang menghibah

tersebut. Wasiat ialah suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang

dilaksanakan sesudah meninggal dunia seseorang. Menurut asal hukum, wasiat adalah

suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apa pun.

Karenanya, tidak ada dalam syariat Islam suatu wasiat yang wajib dilakukan dengan

jalan putusan hakim.1 Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari

seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus

(17)

dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain di

luar harta peninggalan.2

Perihal wasiat juga diatur dalam Quran antara lain diatur dalam surat

Al-Baqarah ayat 180, yang artinya berbunyi “diwajibkan atas kamu, apabila seorang

diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang

banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatanya secara makruf, (ini adalah)

kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. Makruf di sini artinya, adil dan baik.

Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 juga menyebutkan tentang wasiat, yang

artinya berbunyi “dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara mu dan

meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah

hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi

jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang

meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan

Allah maha perkasa lagi bijaksana”.

Wasiat begitu penting dalam kewarisan hukum Islam karena tidak hanya

dinyatakan dalam surat Al-Baqarah, akan tetapi juga dinyatakan dalam surat

An-Nisaa ayat 11 dan 12. Dalam ayat-ayat ini dinyatakan kedudukan wasiat yang harus

diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan pewaris

kepada anak-anak, duda, janda, dan saudara-saudara pewaris.

(18)

Surat An-Nisaa ayat 11 dinyatakan yang artinya berbunyi, “Allah

mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian

seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak

itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta

yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh

separoh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam

dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang

yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja),

maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa

saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)

sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang)

orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang

lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.

Sesungguuhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Surat An-Nisaa ayat 12 dinyatakan yang artinya berbunyi, “dan bagimu

(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka

tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu

mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah memenuhi wasiat

yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para isteri memperoleh

seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu

mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu

(19)

utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak

meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara

laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing

dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu

lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu, sesudah

dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak

memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)

Syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Penyantun.

Secara prinsip, wasiat dalam sistim hukum kewarisan Islam mengandung

makna yang sangat penting guna menangkal jika terjadinya kericuhan dan perpecahan

dalam keluarga, karena tidak menutup kemungkinan akan adanya anggota keluarga

yang emosional dalam pembagian harta warisan.

Wasiat diartikan sebagai pernyataan keinginan pewaris sebelum kematian atas

harta kekayaannya sesudah meninggalnya. Wasiat dalam sistem hukum Islam di

Indonesia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang seperti kewarisan

barat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat. Wasiat hanya diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1

Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V yaitu pasal 194 sampai dengan pasal 209

(20)

Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf f menyebutkan wasiat adalah

pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan

berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan

dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat

atau orang tua angkat. Dalam khasanah hukum Islam, wasiat tidak biasa ini disebut

waiat wajibah.

Konsep wasiat harta dalam Islam ditujukan kepada kerabat jauh atau kerabat

yang tak mendapat hak peroleh waris dan juga terhadap orang lain. Dari pemahaman

inilah berkembang teori penalaran hukum atas hukum wasiat hingga sampai pada

penalaran tentang kedudukan hukumnya. Dan terakhir menyangkut wasiat wajibah.

Wasiat wajibah ini di Indonesia sebenarnya hanya mulai dikenal di tahun

90-an, bersamaan dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam, sebagai perwujudan

konsensus yuris Islam di Indonesia. Ini berarti bahwa wasiat wajibah merupakan

produk baru hukum wasiat dalam hukum Islam di Indonesia.

Kompilasi hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri tentang

konsep wasiat wajibah ini, yaitu membatasi orang yang berhak menerima wasiat

wajibah ini hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Terhadap orang tua

angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat wajibah maksimal sebanyak

spertiga dari harta warisan anak angkatnya. Sedangkan terhadap anak angkat yang

tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak spertiga dari harta orang tua

(21)

mengubah konsep wasiat wajibah ini hanya terbatas kepada anak angkat dan orang

tua angkat saja.

Sayangnya, Kompilasi Hukum Islam tidak memberikan defenisi dalam

ketentuan umum tentang wasiat wajibah tersebut. Secara teori, wasiat wajibah

didefenisikan sebagai tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat

negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah

meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.3

Menurut Fatchur Rahman, wasiat wajibah adalah hanya terhadap cucu

laki-laki maupun perempuan baik pancar laki-laki-laki-laki maupun pancar perempuan yang orang

tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya.4

Sedangkan menurut Mohd Zamro Muda bahwa wasiat wajibah ialah sebahagian dari

pada harta peninggalan yang diperuntukan oleh undang-undang untuk anak-anak

yang kematian ibu atau bapak sebelum datuk atau nenek atau mereka meninggal

serentak dan anak-anak tersebut tidak mendapat bahagian dari pada harta peninggalan

datuk atau nenek mereka karena didindingi (dihijab) oleh bapak atau ibu saudara

mereka. Justeru itu, diberi kepada mereka dengan kadar dan syarat-syarat tertentu

sebagai wasiat dan bukan sebagai pusaka.5

Kompilasi Hukum Islam mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat

wajibah dan berbeda dalam pengaturannya dari negara-negara Islam yang lain.

3Abdul Manan I,Beberapa Masalah Hukum Tentang Wasiat Dan Permasalahannya Dalam

Konteks Kewenangan Peradilan Agama,Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor 38 Tahun IX, 1998, Hl. 23

4Fatchur Rahman,Ilmu Waris, PT. Alma’arif, Bandung, 1975, Hal. 63

(22)

Konsep Kompilasi Hukum Islam adalah memberikan wasiat wajibah terbatas pada

anak angkat dan orang tua angkat saja. Sementara negara-negara Islam lainnya

melembagakan wasiat wajibah untuk mengatasi persoalan cucu yang orang tuanya

meninggal dunia lebih dahulu daripada kakek atau neneknya.

Undang-Undang Wasiat Wajibah Mesir Nomor 71 Tahun 1946 disebutkan

kandungan pokoknya sebagai berikut:6

1. Apabila mayit tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak laki-lakinya

yang telah mati diwaktu dia masih hidup atau mati bersamanya sekali pun

secara hukum, warisan dari peninggalannya seperti bagian yang berhak

diterima oleh si anak laki-laki ini seandainya anak laki-laki ini hidup di waktu

ayahnya mati. Maka wajiblah wasiat wajibah untuk keturunan anak laki-laki

ini dalam peninggalan harta ayahnya menurut bagian anak laki-laki ini dalam

batas-batas sepertiga; dengan syarat keturunan dari anak laki-laki ini bukan

pewaris dan si mayit tidak pernah memberikan kepadanya tanpa imbalan

melalui tindakan lain apa yang wajib diberikan kepadanya. Dan bila apa yang

diberikan kepadanya itu kurang dari bagiannya maka wajiblah baginya wasiat

dengan kadar yang menyempurnakan. Wasiat demikian diberikan kepada

golongan tingkat pertama dari anak-anak laki-laki dari anak-anak perempuan

dan kepada anak laki-laki dari anak-anak laki-laki dari garis laki-laki dan

seterusnya kebawah; dengan syarat setiap pokok (yang menurukan)

(23)

menghijab cabang (keturunannya) bukan menghijab cabang pokok yang lain

dan bagian setiap pokok dibagikan kepada cabangnya. Dan bila pembagian

warisan itu turun ke bawah seperti halnya kalau pokok atau pokok-pokok

mereka yang sampai kepada si mayit itu mati sesudah si mayit dan kematian

mereka (pokok-pokok) dalam keadaan tertib seperti tertibnya tingkat-tingkat.

2. Apabila mayit mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dengan wasiat

yang melebihi bagiannya maka kelebihan wasiat itu merupakan wasiat

ikhtiyariyyah. Dan bila ia mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kurang

dari bagiannya maka wajib disempurnakan. Bila ia mewasiatkan kepada

sebagian orang yang wajib diwasiatkan dan tidak kepada sebagian yang lain

maka orang yang tidak mendapatkan wasiat itu wajib diberi kadar bagiannya.

Orang yang tidak diberi wasiat wajibah dikurangi bagiannya dan dipenuhi

bagian orang yang mendapat wasiat yang kurang dari apa yang diwajibkan

dari sisanya sepertiga. Bila hartanya kurang maka diambilkan dari bagian

orang yang tidak mendapat wasiat wajibah dan dari orang yang mendapat

wasiat ikhtiyariyyah.

3. Wasiat wajibah didahulukan atas wasiat-wasiat yang lain. Bila mayit tidak

mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dan dia mewasiatkan kepada

orang lain maka orang yang wajib diberi wasiat wajibah itu mengambil kadar

bagiannya dari sisa dari sepertiga harta peninggalan bila sisa itu cukup; bila

tidak maka dari sepertiga dari bagian yang diwasiatkan bukan dengan wasiat

(24)

Berdasarkan aturan perundang-undangan Mesir, wasiat wajibah ternyata

diperuntukkan pada orang-orang yang memiliki nasab kepada si mayyit (pewaris)

namun mereka dalam perhitungan bagian (fard) waris tidak mendapatkannya atau

karena terhijab oleh ahli waris yang lebih tinggi derajatnya. Pada biasanya mereka

adalah para cucu lelaki atau perempuan dari pancar lelaki maupun dari pancar

perempuan. Berbeda dengan maksud dari Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, wasiat

wajibah hanya diperuntukkan kepada anak angkat atau orang tua angkat saja.

Pengaturan wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit

dijelaskan dalam pasal 209. Pasal tersebut menunjukkan bahwa ketentuan pemberian

wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam hanya diperuntukkan bagi anak

angkat yang orang tua angkatnya meninggal dunia atau sebaliknya diberikan kepada

orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia.

Wasiat wajibah ini mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu

memberikan bagian kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah namunnash

tidak memberikan bagian yang semestinya,7 atau orang tua angkat dan anak angkat

yang mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris tetapi tidak diberi bagian

dalam ketentuan hukum waris Islam maka hal ini dapat dicapai jalan keluar dengan

menerapkan wasiat wajib sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta si

pewaris.

Istilah wasiat wajibah sekarang menjadi doktrin hukum baru dalam

perbendaharaan hukum Islam. Dasar hukum wasiat wajibah merupakan produk

penalaran hukum para yuris Islam sehubungan dengan upaya pengembangan hukum

(25)

normatif Islam tentang wasiat. Dan bisa jadi merupakan diskreasi atas kekosongan

hukum kewarisan terhadap orang-orang tertentu yang menuntut suatu keadilan. Atau

bisa jadi terjadi ketidak adilan bagi ahli waris lain yang merasa adanya wasiat

wajibah yang dapat merugikan hak bagian mereka.

Dalam perkembangannya ternyata wasiat wajibah diberikan kepada

pihak-pihak di luar anak angkat dan orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi

Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan

kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995, putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010, putusan-putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia tersebut menyatakan memberikan wasiat wajibah pada keluarga

atau ahli waris non-muslim, jadi yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih

Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si

pewaris yang beragama Islam.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

tentang wasiat khususnya mengenai Wasiat wajibah, dengan judul “Analisis Yuridis

Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Prespektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan

beberapa tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengapa dalam Fikih Islam tidak disebutkan siapa saja yang berhak

(26)

2. Bagaimana pandangan Ulama Fikih Islam tentang wasiat wajibah?

3. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia

dalam putusan wasiat wajibah kepada keluarga atau ahli waris yang beragama

non-muslim?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka

tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui mengapa dalam Fikih Islam tidak menyebutkan siapa saja

yang berhak mendapatkan wasiat wajibah.

2. Untuk mengetahui Bagaimana pandangan Ulama Fikih Islam tentang wasiat

wajibah.

3. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah

Agung Republik Indonesia dalam memutuskan wasiat wajibah kepada ahli

waris yang beragama non-muslim.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan ini dibedakan dalam dua, yaitu

manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis:

a. Manfaat Teoritis

Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut

terhadap perkembangan pengetahuan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya

dan khususnya dalam Ilmu Hukum Waris Islam mengenai Wasiat Wajibah.

Selain itu dapat juga sebagai referensi bagi pembaca umum dan mahasiswa

(27)

b. Manfaat Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan

pemahaman kepada para mahasiswa, akademisi dan masyarakat umum yang

berminat untuk mengetahui lebih dalam tentang Wasiat Wajibah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap

hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di

lingkungan Pascasarjana program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

penelitian tentang “Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Presfektif Fikih

Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris

Yang Beragama Non-Muslim) belum pernah ada yang menelitinya, tetapi pernah

diteliti sebelumnya yang membahas tentang:

1. Achiriah, Nim: 992105031, Mahahsiswa Program Studi Megister Hukum,

Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul:

“Pelaksanaan Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat Menurut Kompilasi

Hukum Islam di Kota Medan”.

2. Muhammad Hekiki Mikhai, Nim: 107011107, Mahasiswa Program Studi

Megister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara, dengan judul: “Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak wasiat

Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim (Studi Putusan No.

(28)

3. Sahriani, Nim: 077011084, Mahasiswa Program Studi Megister Kenotariatan,

Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul:

“Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Presfektif

Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No.

51.K/AG/1999)”.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Di dalam suatu penelitian diperlukan suatu dasar kerangka teori guna

dimaksudkan untuk mengemukakan beberapa teori berdasarkan pemaparan yang ada

kaitannya dengan permasalahan dalam penulisan penelitian, sehingga diharapkan

dapat melahirkan suatu pemikiran yang dapat diterima sebagai suatu landasan

berfikir.

Bagi suatu penelitian, teori atau kerangka teoritis mempunyai beberapa

kegunaan. Kegunaan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:8

a. Teori berguna untuk lebih mempertajam dan mengkhususkan faktor-faktor

yang hendak diselediki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistim klasifikasi fakta,

membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

(29)

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena

telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut mungkin faktor-faktor

tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada

pengetahuan peneliti.

Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau suatu proses tertentu terjadi.9 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau

butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem)

yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.10 Teori bisa dipergunakan

untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan

teori hukum adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta

hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.11 Teori yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah teori keadilan menurut hukum Islam.

Keadilan (A’dl) menurut hukum Islam tidak hanya merupakan dasar dari

masyarakat Muslim yang sejati, sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa

yang akan mendatang.12

Berlaku adil sangat berkaitan dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki

oleh seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil. Hak dan

9 J.J.J. M. Wisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, Hal. 203

10M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, Hal. 80. 11Mukti Fajar Nur Dewata Dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, Hal. 16.

(30)

kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada

yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, hukum berdasarkan amanah harus

ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya.

Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya

dengan amanat kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya amanat yang berkenaan

dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan adalah sebuah keniscayaan

demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh

dari banyak orang kepada penguasa. Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang

tidak dapat dipisahkan, namun kekuasaan yang patut dan harus ditaatai hanyalah yang

mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.

Menurut penelitian M. Quraish Shihab, paling tidak ada empat makna

keadilan:13

a. Pertama, ‘adl dalam arti sama. Pengertian ini ditemukan di dalam Al-Quran

Surah An-Nisa, Asy-Syura, Al-Ma’idah, An-Nahl, dan Al-Hujurat. Menurut

Al-Baidhawi, kata ‘adl bermakna “berada dipertengahan dan

mempersamakan. Pendapat seperti ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha

bahwa keadilan yang diperintahkan disini dikenal oleh pakar bahasa Arab dan

bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa

yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub

menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang

dimiliki oleh setiap manusia. Ini berimplikasi pada persamaan hak karena

(31)

mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap

manusia dan dengan sebab sifatnya sebagai manusia menjadi dasar keadilan

dalam ajaran-ajaran ketuhanan.

b. Kedua, ‘adldalam arti seimbang. Pengertian ini ditemukan di dalam Al-Quran

Surah Al-Ma’idah dan Al-Infithar. M Quraish Shihab menjelaskan bahwa

keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat

beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar

tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Keadilan di dalam pengertian

‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah lah Yang Maha

Bijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan serta mengelola segala sesuatu

dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan

ini nantinya mengantarkan kepada pengertian ‘keadilan illahi’.

c. Ketiga, ‘adl dalam arti perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak

itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah yang didefenisikan dengan

“menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya

melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah kezaliman, yakni pelanggaran

terhadap hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam QS. Al-An’am.

Pengertian‘adl ini melahirkan keadilan sosial.

d. Keempat, ‘adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah. ‘adl di sini berarti

memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah

(32)

untuk itu. Keadilan Allah mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak

tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Dalam Islam, persyaratan adil sangat menentukan benar atau tidaknya dan sah

atau batalnya suatu pelaksanaan hukum dalam beberapa hal. Umpamanya dalam

kewarisan, sebagaimana dikemukakan oleh Hasanain Muhammad Makhluf, ahli Fikih

Kontemporer asal Mesir, bahwa Islam mensyaria’atkan aturan hukum yang adil

karena menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki

seseorang sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang lain14.

Keadilan dalam kewarisan tidak berarti membagi sama rata harta warisan

semua ahli waris, tetapi berpihak kepada kebenaran sebagaimana yang telah

digariskan Allah dalam Al-Qur’an. Jika laki-laki memperoleh lebih banyak dari

perempuan ini terkait dengan tanggung jawab laki-laki yang lebih besar daripada

perempuan untuk membiayai rumah tangganya. Jika menyimpang dari apa yang telah

di gariskan dalam Al-Qur’an berarti pembagiannya telah dilakukan secara tidak adil.

Dalam wasiat, yang harus dibayarkan adalah maksimal sepertiga dari harta

yang diwariskan orang yang wafat, tidak boleh lebih. Artinya orang yang

memberikan wasiat melebihi sepertiga harta warisan telah berlaku aniaya, yang

merupakan kebalikan dari adil.

Pengertian umum dari berlaku adil dalam masalah kewarisan dan wasiat juga

termasuk larangan memakan harta orang lain dengan cara bathil, atau mengajukan

kepada hakim untuk memakan sebagian harta orang lain (QS Al-Baqarah: 188).15

(33)

2. Kerangka Konsepsional

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsespsi

dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan

kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.16

Suatu kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti, akan tetapi

merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan

fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan

dalam fakta tersebut.17

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian

yang akan dipergunakan sebagai dasar penlitian hukum, guna menghindari perbedaan

penafsir dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan

dalam proses penelitian ini.

Selanjutunya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman

yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian

dikemukakan dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

(34)

a. Wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian suatu benda dari

pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris

meninggal dunia.18

Menurut Ahmad Rafiq secara etimologi, para ahli hukum Islam

mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang

yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa

menuntut imbalan atautabarru.19

Wasiat adalah pesan seseorang untuk memberikan suatu kepada orang lain

setelah ia meninggal dunia.20

Wasiat adalah suatu tidakan untuk mengalihkan harta atau hak dari seseorang

kepada orang lainnya dan berpindah-pindahnya setelah meninggal yang

berwasiat. Juga dapat diartikan sebagai suruhan atau melakukan suatu

perbuatan sesudah wafatnya seseorang.21

b. Wasiat wajibah menurut Ahmad Rafiq adalah tindakan yang dilakukan

penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi

putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada

orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.22

18Johni Najwan,Hukum Kewarisan Islam,Yayasan Baitul Hikmah, Padang, 2003, Hal. 206 19Abdul Manan II,Op Cit, Hal. 149

20Moh. Muhibbin Dan Abdul Wahid,Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum

Positif Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Hal. 55

21Hasballah Thaib I, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992, Hal. 36

(35)

Wasiat wajibah menurut Chairuman Pasaribu dan Suhrawarsi K. Lubis adalah

wasiat yang dipandang sebagai telah dilakukan oleh seseorang yang akan

meninggal dunia, walaupun sebenarnya ia tidak meninggalkan wasiat itu.23

Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau

tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia.24

c. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama

Islam.25

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama

Islam.26

Hukum Islam adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan

mukallaf, baik berupa tuntutan (thalab), pemberian pilihan (takhyir), atau

berupa ketetapan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu

yang lain, sebagai syarat bagi adanya sesuatu yang lain, sebagai penghalang

(mani’) bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai pemberitahuan sah atau

batalnya suatu pekerjaan serta rukhshah dan azimah suatu pekerjaan.27

Hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan

mempunyai kekuatan yang mengikat, yang aturan tersebut digali dari dan

berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasulullah, yang hanya

mengatur tindakan lahiriah dari manusia yang dikenai hukum.28

23Ibid

24

Arif Furqan, Dkk,Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum,Departemen Agama RI, Jakarta, 2001, Hal. 120

25Ibid, Hal. 15

26Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di

Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 42

(36)

d. Kompilasi Hukum Islam bisa dikatakan sebagai materi hukum Islam yang

paling sempurna untuk dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan

Peradilan Agama.29

Kompilasi Hukum Islam adalah hukum tidak tertulis, tetapi dihimpuan dalam

sebuah buku.30

e. Fikih artinya paham atau pengertian. Ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas

menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di

dalam Al-Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang dapat dalam Sunnah

Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis.31

Ilmu fikih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat

di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada

perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban

melaksanakan hukum Islam.

f. Non-muslim berarti orang yang tidak atau bukan beragama muslim.32

G. Metode Penelitian

Istilah metodologi berasal dari kata metode yang berarti jalan, namun

demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan

kemungkinan-kemungkinan, sebagai berikut:

1) Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,

2) Suatu tekni yang umum bagi ilmu pengetahuan,

29Fahmi Amruzi,Op Cit,Hal. 47

30 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2011, Hal. 54

31Mohammad Daud Ali,Op Cit,Hal. 48

(37)

3) Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.33

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis

normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal. Penelitian yuridis normatif

atau penelitian doktrinal ini adalah penelitian hukum yang menggunakan sumber data

sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti

sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian

terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku,

peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa

permasalahan yang dibahas34.

Penelitian hukum ini merupakan suatu penelitian hukum yang dikerjakan

dengan tujuan menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku. Penelitian

tipe ini lazim disebut sebagai studi dogmatik atau yang dikenal dengan doctrinal

research35.

Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dikonsepkan

sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia

yang dianggap pantas.36

33Soerjono Soekanto,Op Cit,Hal. 5

34Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 13

35 Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Hal. 86

(38)

Pangkal tolak pencarian asas dan doktrin ini adalah norma-norma hukum

positif, maka sebenarnya kemungkinan penyelenggaraan penelitian doktrinal ini

bergantung pada sudah atau belum selesainya dan pada sudah atau belum lengkapnya

penelitian inventarisasi. Sementara itu, hasil-hasil yang akan diperoleh dalam

penelitian ini akan ditentukan pula oleh bahan-bahan apa yang di dalam penelitian

inventarisasi nyatanya diidentifikasikan dan diklasifikasikan sebagai hukum. Dalam

hubungan ini, dapatlah secara ringkas disimpulkan bahwa konsepsi hukum yang

dipilih dalam penelitian inventarisasi akan sepenuhnya menjadi predeterminan hasil

akhir setiap penelitian doktrinal.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis

normatif. Pada penelitian ini biasanya yang diteliti hanya bahan buku pustaka atau

data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier37.

2. Sumber Data

Berhubung metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka

sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan penelitian

yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum tersier, yaitu:

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari Al-Quran,

buku-buku fikih Islam, aturan hukum yang berbeda terdapat pada berbagai

perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

wasiat khususnya wasiat wajibah.

(39)

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan mengenai bahan hukum primer,

berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku ilmiah,

buku-buku fikih yang berhubungan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier adalah meliputi dari kamus hukum warisan,

artikel-artikel, yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.

3. Teknik Pengumpul Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan

studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan pustaka atau data

sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tersier.

Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer,

sekunder, dan tersier, dalam penelitian ini akan menggunakan alat penelitian studi

dokumen atau pustaka atau penelitian pustaka dengan cara mengumpulkan semua

dokumen-dokumen, buku-buku, dan peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian.

Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan

sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil

akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis data yang bersifat kualitatif. Kegiatan ini diharapakan akan memudahkan

dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian

menarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, sehingga diharapkan

(40)

BAB II

WASIAT WAJIBAH BERDASARKAN FIKIH ISLAM

A. Pengaturan Wasiat Wajibah Dalam Fikih Islam.

1. Wasiat.

Secara garis besar wasiat merupakan penghibahan harta dari seseorang kepada

orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang yang

menghibahkan.

Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, menaruh

kasih sayang, menyuruh, dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.

Pengertian wasiat secara etimologi hukum Islam adalah pemberian kepemilikan yang

dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si

pemberi meninggal dunia.38 Pemberian kepada orang lain tersebut dapat berupa

barang, piutang, atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah

orang yang berwasiat meninggal dunia.

Wasiat ialah suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang

dilaksanakan sesudah meninggal dunia seseorang. Menurut asal hukum, wasiat adalah

suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apa pun.39

Wasiat ialah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang

meninggal dunia.40

38H. M. Fahmi Al-Amruzi,Op Cit, Hal. 49 39Hasbi Ash-Shiddieqy,Op Cit, Hal. 273

(41)

Wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya,

dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat

terhadap harta peninggalannya atau pesan dari luar harta peninggalan.41

Wasiat adalah suatu tindakan untuk mengalihkan harta atau hak dari seseorang

kepada orang lainnya dan berpindahnya setelah meninggal yang berwasiat. Dapat

juga diartikan sebagai suruhan atau melakukan suatu perbuatan sesudah wafatnya

seseorang.42

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang

lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Dari paparan di atas mengenai apa itu wasiat, dapat ditarik suatu kesimpulan

bahwa timbulnya wasiat itu haruslah dengan cara suka rela dan tidak ada paksaan

dalam bentuk apapun, yang menyangkut pelimpahan hak, yang dilakukan dengan

cara baik itu secara lisan atau tulisan yang tidak disyaratkan adanya suatu kontra

prestasi, yang pelaksanaannya dilakukan sesudah pemberi wasiat itu meninggal

dunia.

Menurut pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan hukum

sepihak (merupakan pernyataan sepihak), jadi dapat saja wasiat dilakukan tanpa

dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis.

Bahkan dalam prakteknya dewasa ini, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang

41Anwar Sitompul,Op Cit. 60

(42)

tidak dikehendaki dibelakangan hari, sering wasiat itu dilakukan dalam bentuk akta

authentik, yaitu diperbuat secara notarial, apakah dibuat oleh atau di hadapan notaris,

atau disimpan dalam protokol notaris.43

Al-Quran masih mengakui hak untuk membuat pernyataan wasiat dalam

pembagian waris, dimana harta waris tersebut dideskripsikan sebagai porsi dari harta

yang masih tersisa, setelah pembagian wasiat dan utang-utang.44

Kitab Undang-Undang Wasiat Mesir dalam pasal 38 membolehkan wasiat

tidak boleh melebihi dari sepertiga bagian dari harta peninggalan kepada orang yang

dapat menerima pusaka tanpa tergantung perizinan ahli waris sebagaimana hanya

membolehkan wasiat kepada orang yang tidak menerima pusaka.45

2. Sumber-Sumber Hukum Wasiat

Sumber-sumber hukum wasiat itu ialah Al-Kitab, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan

Al-Ma’qul.46

1. Al-Kitab, antara lain ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah, Al-Maidah,

An-Nisaa.

Al-Baqarah ayat 180, yang artinya:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan

(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk

43

Suhardi K. Lubis, Komis Simanjuntak,Hukum Waris Islam,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 47 44Abdul Aziz Mohammed Zaud,The Islamic Law Of Bequest,Scorpion Publishing Ltd, London, 1986, Hal. 11

45

M. Yusuf Musa, T.T.,At Tirkah Wal Mirats Fil-Islami,Darul Ma’rifah, Kairo, Cet. II, Hal. 126 46

(43)

ibu, bapak, karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas

orang-orang yang bertakwa”.

Al-Baqarah ayat 181, yang artinya:

“Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya,

maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.

Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Al-Baqarah ayat 182, yang artinya:

“(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu,

berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara

mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Al-Baqarah ayat 240, yang artinya:

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara mu dan

meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu)

diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari

rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa

bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat

yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah maha perkasa lagi bijaksana”.

An-Nisaa ayat 11 dan 12, yang artinya:

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang

(44)

maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak

perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk

dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang

ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja),

maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.

(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)

sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuanmu dan anak-anakmu, kamu

tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguuhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh

isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu

mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah memenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)

sesudah dibayar utangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang

kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai

anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu

tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun

(45)

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara

perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara

itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari

seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu, sesudah

dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan

tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang

demikian itu sebagai) Syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Penyantun”.

Al-Maidah ayat 106, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi

kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan

oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan

agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu

ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang

(untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika

kamu ragu-ragu, “(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan

harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib

kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan Persaksian Allah;

sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang

(46)

2. As-Sunnah, antara lain hadist yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas

r.a. ujarnya:47

“Rasulullah s.a.w. datang mengunjungi saya pada tahun haji wada’ di waktu

saya menderita sakit keras. Lalu saya bertanya: “hai Rasulullah! Saya

sedang menderita sakit keras. Bagaimana pendapat tuan. Saya ini orang

berada, tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak

saya perempuan, apakah sebaiknya saya mewasiatkan dua pertiga hartaku

(untuk beramal)?” “Jangan”, jawab Rasulullah. “Lalu sepertiga?”,

sambungku lagi. Rasulullah menjawab: “Sepertiga”. Sebab seperrtiga itu

banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan

yang cukup adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam

kedaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (Rw.

Bukhari-Muslim).

3. Al-Ijma’, ummat Islam sejak zaman Rasulullah s.a.w. sampai sekarang

banyak menjalankan wasiyat. Perbuatan yang demikian itu tidak pernah

diingkari oleh seorang pun. Ketiadaan ingkar seseorang itu menunjukkan

adanya ijma’.48

4. Al-Ma’qul (logika), menurut thabi’at, manusia itu selalu bercita-cita supaya

amal perbuatannya di dunia di akhirat dengan amal-amal kebajikan untuk

menambah amal taqarrub-nya kepada Allah yang telah dimilikinya, sesuai

(47)

dengan apa yang diperintahkan Nabi Muhammad s.a.w. dalam sabdanya yang

artinya:

“Allah S.W.T. memerintahkan sedekah kepadamu sepertiga harta untuk

menambah amal-amalmu sekalian, maka keluarkanlah sedekah itu menurut

kemauanmu atau menurut kesukaanmu.” (Rw. Bukhari).49

Atau untuk menambah kekurangan-kekurangan amal-perbuatannya sewaktu ia

masih hidup. Untuk menambah amal kebajikan yang telah ada dan menambah

kekurangan-sempurnaan amal tersebut tidak ada jalan lain, selain memberikan

wasiat.

Wasiat itu disyari’atkan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Kalau

kebutuhan tersebut dapat ditutup melalui wasiat adalah logis sekiranya wasiat itu

disyariatkan. Karena di dalam wasiat itu terdapat unsur pemindahan hak milik dari

seseorang kepada orang lain, sebagaimana dalam pusaka mempusakai, maka sudah

selayaknya wasiat itu diperkenankan juga. Hanya saja pemindahan milik dalam

wasiat itu terbatas kepada sepertiga harta peninggalan saja, agar tidak merugikan para

ahli waris.

3. Rukun dan Syarat Wasiat

Sesungguhnya pembicaraan rukun dan syarat adalah menyangkut sah atau

tidaknya suatu perbuatan yang akan dilakukan, hanya saja antara rukun dan syarat

terdapat perbedaan dalam hal bahwa rukun merupakan esensi dari perbuatan itu

(48)

sendiri, sedangkan syarat bersifat eksternal. Berikut akan dijabari rukun dan syarat

wasiat, yaitu:

a. Orang yang memberi wasiat;

Orang yang memberi wasiat hendaknya harus memilik syarat sebagai berikut:

1) Berakal. Apabila ia berwasiat ketika ia masih sehat kemudian ia gila terus

menerus sampai enam bulan, maka wasiatnya batal dan apabila ia

berwasiat dalam keadaan sehat, kemudian ia menjadi dungu sampai ia

meninggal maka wasiat tersebut menjadi batal.50Apabila seseorang lemah

akalnya sehingga menghalangi ia untuk berpikir, maka sah wasiatnya atas

hartanya saja dan tidak sah mengangkat pelaksana wasiat untuk

anak-anaknya. Oleh sebab itu tidak dapat bertindak baik untuk dirinya sendiri

dan karena itu tentu saja tidak dapat menentukan orang yang akan

bertindak untuk orang lain.51

2) Baligh. Orang yang berwasiat disyaratkan telah sampai kepada keadaan

baligh dan karena itu tidak sah wasiat yang dilakukan oleh orang yang

dibawah umur, walaupun sudah mumayyiz.52

3) Merdeka. Tidaklah sah apabila wasiat yang dilakukan oleh seorang

budak, kecuali wasiat itu disyaratkan kepada keadaannya sesudah

merdeka. Para ulama, baik dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i atau

lainnya sepakat bahwa wasiat harus dilakukan oleh orang yang merdeka.

50Abdurrahman Al-Jaziri,Op Cit,Hal. 317 51Ibid.Hal. 324

52

(49)

Hamba sahaya tidak sah berwasiat sebagaimana tidak sahnya orang yang

terpaksa berwasiat.53

4) Tidak mempunyai hutang yang menghabiskan harta. Apabila harta

peninggalannya tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya, maka

wasiat tidak mungkin akan dilaksanakan, bahkan harta peninggalannya

akan dibagi-bagi kepada orang-orang yang memberi hutang kepadanya.54

5) Dengan cara sukarela. Wasiat tidak sah apabila dilakukan secara

bercanda, kekeliruan, pemaksaan, ataupun ketidak sukarelaan, apabila hal

ini terjadi, maka wasiat menjadi batal.55

b. Orang yang menerima wasiat;

Orang yang menerima wasiat harus memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:

1) Penerima wasiat sudah ada pada waktu wasiat terwujud. Pada waktu

wasiat terbentuk, harus jelas kepada siapa wasiat itu dialamatkan, dengan

demikian tidaklah dinamakan wasiat apabila tidak diketahui alamatnya

atau orang yang menerima wasiat belum ada pada waktu wasiat terjadi.56

2) Orang atau badan tertentu. Apabila penerima wasiat itu berupa badan

amal tidak disyaratkan pribadi orangnya, akan tetapi badan itu harus jelas

dan tertentu, misalnya mengatakan: “saya wasiatkan hartaku kepada

(50)

orang fakir atau orang-orang miskin”, wasiat itu sah, tidak menentukan

orang miskin atau orang fakir tertentu, bahkan kalau ia tidak menentukan

penerima wasiat sudah terkandung dalam badan amal.57

3) Penerima wasiat cakap untuk menerima wasiat. Ulama Hanafiah

berpendapat bahwa penerima wasiat disyaratkan cukup untuk memangku

hak, maka tidaklah sah wasiat kepada orang yang tidak mempunyai

kecakapan.58

4) Penerima wasiat bukan pembunuh dari pewasiat. Abu Yusuf berpendapat

bahwa apabila penerima wasiat adalah pembunuh pemberi wasiat, maka

wasiatnya batal.59

5) Penerima wasiat bukan badan maksiat.

6) Penerima wasiat bukan ahli waris dari pemberi wasiat. Wasiat kepada ahli

waris tidak sah, kecuali ada persetujuan ahli waris yang lainnya dan

besarnya wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan, karena

ahli waris sudah mendapat harta warisan sebagaimana yang ditetapkan

syara’.60

Syarat orang yang diserahi menjalankan wasiat yang akhir ini ada:61

57Ibid,Hal. 47

58Abdurrahman Al-Jaziri,Op Cit,Hal. 318 59Said Sabiq,Op Cit,Hal. 593

Referensi

Dokumen terkait

Didasari hasil penelitian ini, maka pemeriksaan dengan metode imunokromatografi yang diperbandingkan dengan uji mikroskopis yang merupakan pemeriksaan standar emas,

Nilai OR yang diperoleh yaitu 4,444 (95% CI= 1,855-10,648) sehingga dapat diartikan bahwa ibu yang terpapar asap rokok selama hamil memiliki risiko untuk mengalami kematian

Terkait dengan pertanyaan penelitian kedua, yaitu bagaimana dampak keterkenalan merk (brand familiarity) dalam co-branding pada perilaku konsumen, khususnya pada minat beli dan

Tujuan disusunnya analisis peta mutu pendidikan (capaian Standar Nasional Pendidikan) Kabupaten Jembrana adalah untuk mengetahui gambaran ketercapaian mutu pendidikan

Responden penelitian adalah petani pembudidaya ikan nila di Kecamatan Seginim Kabupaten Bengkulu Selatan berjumlah 50 pembudidaya ikan air tawar, khususnya ikan

Untuk menghitung besarnya gaya yang terjadi kita dapat menghitung perubahan defleksi membran karena gaya yang menekan- nya dengan menggunakan transduser pengukur

Dari berbagai masalah yang muncul dalam implementasi program PNPM Mandiri Perkotaan di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara, hal tersebut mendasari

Dalam penelitian ini, aspek organisasi adalah bagaimana sumber daya (manusia dan keuangan) di dalam struktur organsasi PNPM Mandiri Perkotaan di Manado, dikelola (diatur)