TESIS
Oleh
VIKA SYAFITRI
127011013/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
VIKA SYAFITRI
127011013/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : VIKA SYAFITRI
Nomor Pokok : 127011013
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum
Nama : VIKA SYAFITRI
Nim : 127011013
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP WASIAT WAJIBAH
DALAM PERSPEKTIF FIKIH ISLAM (STUDI
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK
INDONESIA TENTANG AHLI WARIS YANG
BERAGAMA NON-MUSLIM)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dan dalam kitab-kitab Fikih Islam. Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010, putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menyatakan memberikan wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris non-muslim, jadi yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang beragama Islam.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan menurut hukum Islam. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap Al-Quran, buku-buku fikih Islam, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan.
Dalam Fikih Islam tidak menyebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah, karena pada masa dahulu para ulama lebih berpedoman kepada teks Al-Quran dan Sunnah, berbeda dengan ulama sekarang yang lebih rasional dalam memfatwakan hukum, selain itu memberi kesempatan kepada Hakim untuk berijtihad dalam memutuskan perkara di Pengadilan dengan cara menggali lebih dalam hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Pandangan Ulama Fikih Islam terhadap wasiat wajibah ini pada umumnya adalah pemberian wasiat berdasarkan atas ketetapan Hakim kepada orang-orang tertentu dengan batasan yang telah ditentukan yaitu tidak lebih dari sepertiga dari harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memberikan wasiat wajibah kepada keluarga yang non-muslim adalah didasarkan pada rasa keadilan yang dilihat dari kemanusiaan yang bertujuan untuk menjaga keutuhan keluarga atas realitas sosial di masyarakat Indonesia.
Compilation of the Islamic Law in the Book of Fiqh. Article 194 up to Article 208 regulate common will, while Article 209 regulates specific will for adopted child or adoptive parents. Based on several jurisprudences of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, it is found that wajibah will is also given to non-Moslem heirs. It is found in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 368.K/AG/1995, in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 51.K/AG/1999, and in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 16.K/AG/2010. These Rulings of the Supreme Court of the Repubic of Indonesia give wajibah will to non-Moslem heirs so that the jurisprudences are different from the concept of the Islamic Fiqh in which the heir of another religion is prohibited to inherit the property of the testator who is Moslem.
The theory used in the research was the theory of justice according to Islam, along with judicial normative method which analyzed deeply the Al-Quran, Islamic Fiqh books, legal provisions, jurisprudences, and legal experts’ opinion. The data were gathered by using library research method.
The Islamic Fiqh does not mention who will get wajibah will since in those days the Islamic scholars were guided by the Al-Quran and As-Sunnah. The Islamic scholars today are more rational in giving law as advice and the judge is given the opportunity to give their ijtihad (interprete the Islamic law) in giving a verdict in Court by digging up laws in the society. The opinion of the Islamic Fiqh scholars on the wajibah is, generally, based on the judge’s verdict, in giving a will to a specific person, on condition that it is not more than one third of the testator’s property. The food for thought of the Supreme Court in giving wajibah will to non-moslem heirs is the sense of judgment viewed from humanity which is aimed to keep the unity in families and the reality found in the Indonesian society.
menyelesaikan penulisan ini yang merupakan syarat guna mencapai gelar Megister
Kenotariatan. Berkat rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS
YURIDIS TERHADAP WASIAT WAJIBAH DALAM PRESFEKTIF FIKIH
ISLAM (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG AHLI WARIS YANG BERAGAMA NON-MUSLIM)”. Penulisan
tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Megister
Kenotariatan (M. Kn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat
beriring salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran
Islam sehingga kita keluar dari zaman kebodohan.
Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya
pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa
khususnya yang berada, di lingkungan pendidikan hukum. Penulis sangat menyadari
bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah
manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun
materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku
anggota Komisi Pembimbing dan yang telah memberikan arahan, bimbingan,
masukan, dan saran, dalam penulisan tesis ini.
4. Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku Ketua Komisi
Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran,
dalam penulisan tesis ini.
5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku anggota Komisi
Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan, dan saran,
dalam penulisan tesis ini.
6. Ibu Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji Program
Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan dan saran
dalam penulisan tesis ini.
7. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji pada
Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan
dan saran dalam penulisan tesis ini.
8. Seluruh Dosen/pengajar mata kuliah pada Program Studi Magister Kenotariatan
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti
pendidikan.
9. Seluruh Staf Biro Pendidikan Megister Kenotariatan yang telah banyak
memberikan bantaun kepada penulis selama ini.
10. Sahabat-sahabatku di Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana
S.Pd dan Ibunda tercinta Harita, S.Pd yang salalu memberikan dukungan do’a, moral,
dan materiil serta kasih sayang hingga dengan saat ini, serta kepada
saudara-saudaraku, uni Maulia Oktaviani, S.E., Trya Adha S.I.Kom, Hazra Ristia, dan M.
Aufar Zhafari, yang selalu memberikan dukungan yang tiada henti.
Hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang
diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari
sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.
.
Medan, November 2014 Penulis
2. Tempat, Tanggal Lahir : Jambi, 04 Mei 1990
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Status : Belum Menikah
5. Agama : Islam
6. Alamat : Jl. Tulip II RT. 02 No. 63 Kota Jambi
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : Dasrul S.Pd
2. Nama Ibu : Harita S.Pd
3. Nama Saudara : Maulia Oktaviani S.E Trya Adha S.I.Kom Hazra Ristia
M. Aufar Zhafari III. PENDIDIKAN
1. SD : SD Neg. 80/IV Kota Jambi
2. SMP : SMP N 11 Kota Jambi
3. SMA : SMA N 4 Kota jambi
4. Perguruan Tinggi (S1) : Fakultas Hukum Universitas Jambi (UNJA)
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsep ... 13
1. Kerangka Teori ... 13
2. Kerangka Konsepsional ... 18
G. Metode Penelitian ... 21
1. Jenis dan Penelitian... 22
2. Sumber Data ... 23
3. Teknik Pengumpulan Data ... 24
4. Analisis Data... 24
BAB II WASIAT WAJIBAH BERDASARKAN FIKIH ISLAM ... 25
A. Pengaturan Wasiat Wajibah Dalam Fikih Islam ... 25
1. Wasiat ... 25
2. Sumber-Sumber Hukum Wasiat ... 27
3. Rukun dan Syarat Wasiat... 32
4. Wasiat Wajibah... 38
B. Wasiat Wajibah Dalam Konteks Negara-Negara Islam ... 74
BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PUTUSANNYA TENTANG PEMBERIAN WASIAT WAJIBAH KEPADA AHLI WARIS NON-MUSLIM... 86
A. Putusan-Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Wasiat Wajibah... 86
1. Duduk Perkara Putusan Wasiat Wajibah Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995 ... 86
2. Duduk Perkara Putusan Wasiat Wajibah Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999 ... 99
3. Duduk Perkara Putusan Wasiat Wajibah Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010 ... 104
B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Wasiat Wajibah ... 110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 119
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran ... 120
sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dan dalam kitab-kitab Fikih Islam. Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010, putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menyatakan memberikan wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris non-muslim, jadi yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang beragama Islam.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan menurut hukum Islam. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap Al-Quran, buku-buku fikih Islam, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan.
Dalam Fikih Islam tidak menyebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah, karena pada masa dahulu para ulama lebih berpedoman kepada teks Al-Quran dan Sunnah, berbeda dengan ulama sekarang yang lebih rasional dalam memfatwakan hukum, selain itu memberi kesempatan kepada Hakim untuk berijtihad dalam memutuskan perkara di Pengadilan dengan cara menggali lebih dalam hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Pandangan Ulama Fikih Islam terhadap wasiat wajibah ini pada umumnya adalah pemberian wasiat berdasarkan atas ketetapan Hakim kepada orang-orang tertentu dengan batasan yang telah ditentukan yaitu tidak lebih dari sepertiga dari harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris. Yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memberikan wasiat wajibah kepada keluarga yang non-muslim adalah didasarkan pada rasa keadilan yang dilihat dari kemanusiaan yang bertujuan untuk menjaga keutuhan keluarga atas realitas sosial di masyarakat Indonesia.
Compilation of the Islamic Law in the Book of Fiqh. Article 194 up to Article 208 regulate common will, while Article 209 regulates specific will for adopted child or adoptive parents. Based on several jurisprudences of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, it is found that wajibah will is also given to non-Moslem heirs. It is found in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 368.K/AG/1995, in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 51.K/AG/1999, and in the Ruling of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 16.K/AG/2010. These Rulings of the Supreme Court of the Repubic of Indonesia give wajibah will to non-Moslem heirs so that the jurisprudences are different from the concept of the Islamic Fiqh in which the heir of another religion is prohibited to inherit the property of the testator who is Moslem.
The theory used in the research was the theory of justice according to Islam, along with judicial normative method which analyzed deeply the Al-Quran, Islamic Fiqh books, legal provisions, jurisprudences, and legal experts’ opinion. The data were gathered by using library research method.
The Islamic Fiqh does not mention who will get wajibah will since in those days the Islamic scholars were guided by the Al-Quran and As-Sunnah. The Islamic scholars today are more rational in giving law as advice and the judge is given the opportunity to give their ijtihad (interprete the Islamic law) in giving a verdict in Court by digging up laws in the society. The opinion of the Islamic Fiqh scholars on the wajibah is, generally, based on the judge’s verdict, in giving a will to a specific person, on condition that it is not more than one third of the testator’s property. The food for thought of the Supreme Court in giving wajibah will to non-moslem heirs is the sense of judgment viewed from humanity which is aimed to keep the unity in families and the reality found in the Indonesian society.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke
orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam
saja yang mengatur, tetapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat.
Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Semuanya
memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sahnya pelaksanaan wasiat tersebut.
Begitu pula di Indonesia, sama mempunyai aturan sendiri tentang wasiat ini. Di
antaranya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk non muslim
yang tidak tunduk pada hukum adatnya, sedangkan untuk umat Muslim diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam.
Secara garis besar wasiat merupakan penghibahan harta dari seseorang kepada
orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya yang menghibah
tersebut. Wasiat ialah suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang
dilaksanakan sesudah meninggal dunia seseorang. Menurut asal hukum, wasiat adalah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apa pun.
Karenanya, tidak ada dalam syariat Islam suatu wasiat yang wajib dilakukan dengan
jalan putusan hakim.1 Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari
seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus
dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain di
luar harta peninggalan.2
Perihal wasiat juga diatur dalam Quran antara lain diatur dalam surat
Al-Baqarah ayat 180, yang artinya berbunyi “diwajibkan atas kamu, apabila seorang
diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatanya secara makruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. Makruf di sini artinya, adil dan baik.
Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 juga menyebutkan tentang wasiat, yang
artinya berbunyi “dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara mu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi
jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan
Allah maha perkasa lagi bijaksana”.
Wasiat begitu penting dalam kewarisan hukum Islam karena tidak hanya
dinyatakan dalam surat Al-Baqarah, akan tetapi juga dinyatakan dalam surat
An-Nisaa ayat 11 dan 12. Dalam ayat-ayat ini dinyatakan kedudukan wasiat yang harus
diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan pewaris
kepada anak-anak, duda, janda, dan saudara-saudara pewaris.
Surat An-Nisaa ayat 11 dinyatakan yang artinya berbunyi, “Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separoh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguuhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Surat An-Nisaa ayat 12 dinyatakan yang artinya berbunyi, “dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka
tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah memenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak
memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
Syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.
Secara prinsip, wasiat dalam sistim hukum kewarisan Islam mengandung
makna yang sangat penting guna menangkal jika terjadinya kericuhan dan perpecahan
dalam keluarga, karena tidak menutup kemungkinan akan adanya anggota keluarga
yang emosional dalam pembagian harta warisan.
Wasiat diartikan sebagai pernyataan keinginan pewaris sebelum kematian atas
harta kekayaannya sesudah meninggalnya. Wasiat dalam sistem hukum Islam di
Indonesia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang seperti kewarisan
barat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat. Wasiat hanya diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V yaitu pasal 194 sampai dengan pasal 209
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf f menyebutkan wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan
dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat
atau orang tua angkat. Dalam khasanah hukum Islam, wasiat tidak biasa ini disebut
waiat wajibah.
Konsep wasiat harta dalam Islam ditujukan kepada kerabat jauh atau kerabat
yang tak mendapat hak peroleh waris dan juga terhadap orang lain. Dari pemahaman
inilah berkembang teori penalaran hukum atas hukum wasiat hingga sampai pada
penalaran tentang kedudukan hukumnya. Dan terakhir menyangkut wasiat wajibah.
Wasiat wajibah ini di Indonesia sebenarnya hanya mulai dikenal di tahun
90-an, bersamaan dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam, sebagai perwujudan
konsensus yuris Islam di Indonesia. Ini berarti bahwa wasiat wajibah merupakan
produk baru hukum wasiat dalam hukum Islam di Indonesia.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri tentang
konsep wasiat wajibah ini, yaitu membatasi orang yang berhak menerima wasiat
wajibah ini hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Terhadap orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat wajibah maksimal sebanyak
spertiga dari harta warisan anak angkatnya. Sedangkan terhadap anak angkat yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak spertiga dari harta orang tua
mengubah konsep wasiat wajibah ini hanya terbatas kepada anak angkat dan orang
tua angkat saja.
Sayangnya, Kompilasi Hukum Islam tidak memberikan defenisi dalam
ketentuan umum tentang wasiat wajibah tersebut. Secara teori, wasiat wajibah
didefenisikan sebagai tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat
negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah
meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.3
Menurut Fatchur Rahman, wasiat wajibah adalah hanya terhadap cucu
laki-laki maupun perempuan baik pancar laki-laki-laki-laki maupun pancar perempuan yang orang
tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya.4
Sedangkan menurut Mohd Zamro Muda bahwa wasiat wajibah ialah sebahagian dari
pada harta peninggalan yang diperuntukan oleh undang-undang untuk anak-anak
yang kematian ibu atau bapak sebelum datuk atau nenek atau mereka meninggal
serentak dan anak-anak tersebut tidak mendapat bahagian dari pada harta peninggalan
datuk atau nenek mereka karena didindingi (dihijab) oleh bapak atau ibu saudara
mereka. Justeru itu, diberi kepada mereka dengan kadar dan syarat-syarat tertentu
sebagai wasiat dan bukan sebagai pusaka.5
Kompilasi Hukum Islam mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat
wajibah dan berbeda dalam pengaturannya dari negara-negara Islam yang lain.
3Abdul Manan I,Beberapa Masalah Hukum Tentang Wasiat Dan Permasalahannya Dalam
Konteks Kewenangan Peradilan Agama,Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor 38 Tahun IX, 1998, Hl. 23
4Fatchur Rahman,Ilmu Waris, PT. Alma’arif, Bandung, 1975, Hal. 63
Konsep Kompilasi Hukum Islam adalah memberikan wasiat wajibah terbatas pada
anak angkat dan orang tua angkat saja. Sementara negara-negara Islam lainnya
melembagakan wasiat wajibah untuk mengatasi persoalan cucu yang orang tuanya
meninggal dunia lebih dahulu daripada kakek atau neneknya.
Undang-Undang Wasiat Wajibah Mesir Nomor 71 Tahun 1946 disebutkan
kandungan pokoknya sebagai berikut:6
1. Apabila mayit tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak laki-lakinya
yang telah mati diwaktu dia masih hidup atau mati bersamanya sekali pun
secara hukum, warisan dari peninggalannya seperti bagian yang berhak
diterima oleh si anak laki-laki ini seandainya anak laki-laki ini hidup di waktu
ayahnya mati. Maka wajiblah wasiat wajibah untuk keturunan anak laki-laki
ini dalam peninggalan harta ayahnya menurut bagian anak laki-laki ini dalam
batas-batas sepertiga; dengan syarat keturunan dari anak laki-laki ini bukan
pewaris dan si mayit tidak pernah memberikan kepadanya tanpa imbalan
melalui tindakan lain apa yang wajib diberikan kepadanya. Dan bila apa yang
diberikan kepadanya itu kurang dari bagiannya maka wajiblah baginya wasiat
dengan kadar yang menyempurnakan. Wasiat demikian diberikan kepada
golongan tingkat pertama dari anak-anak laki-laki dari anak-anak perempuan
dan kepada anak laki-laki dari anak-anak laki-laki dari garis laki-laki dan
seterusnya kebawah; dengan syarat setiap pokok (yang menurukan)
menghijab cabang (keturunannya) bukan menghijab cabang pokok yang lain
dan bagian setiap pokok dibagikan kepada cabangnya. Dan bila pembagian
warisan itu turun ke bawah seperti halnya kalau pokok atau pokok-pokok
mereka yang sampai kepada si mayit itu mati sesudah si mayit dan kematian
mereka (pokok-pokok) dalam keadaan tertib seperti tertibnya tingkat-tingkat.
2. Apabila mayit mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dengan wasiat
yang melebihi bagiannya maka kelebihan wasiat itu merupakan wasiat
ikhtiyariyyah. Dan bila ia mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kurang
dari bagiannya maka wajib disempurnakan. Bila ia mewasiatkan kepada
sebagian orang yang wajib diwasiatkan dan tidak kepada sebagian yang lain
maka orang yang tidak mendapatkan wasiat itu wajib diberi kadar bagiannya.
Orang yang tidak diberi wasiat wajibah dikurangi bagiannya dan dipenuhi
bagian orang yang mendapat wasiat yang kurang dari apa yang diwajibkan
dari sisanya sepertiga. Bila hartanya kurang maka diambilkan dari bagian
orang yang tidak mendapat wasiat wajibah dan dari orang yang mendapat
wasiat ikhtiyariyyah.
3. Wasiat wajibah didahulukan atas wasiat-wasiat yang lain. Bila mayit tidak
mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dan dia mewasiatkan kepada
orang lain maka orang yang wajib diberi wasiat wajibah itu mengambil kadar
bagiannya dari sisa dari sepertiga harta peninggalan bila sisa itu cukup; bila
tidak maka dari sepertiga dari bagian yang diwasiatkan bukan dengan wasiat
Berdasarkan aturan perundang-undangan Mesir, wasiat wajibah ternyata
diperuntukkan pada orang-orang yang memiliki nasab kepada si mayyit (pewaris)
namun mereka dalam perhitungan bagian (fard) waris tidak mendapatkannya atau
karena terhijab oleh ahli waris yang lebih tinggi derajatnya. Pada biasanya mereka
adalah para cucu lelaki atau perempuan dari pancar lelaki maupun dari pancar
perempuan. Berbeda dengan maksud dari Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, wasiat
wajibah hanya diperuntukkan kepada anak angkat atau orang tua angkat saja.
Pengaturan wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit
dijelaskan dalam pasal 209. Pasal tersebut menunjukkan bahwa ketentuan pemberian
wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam hanya diperuntukkan bagi anak
angkat yang orang tua angkatnya meninggal dunia atau sebaliknya diberikan kepada
orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia.
Wasiat wajibah ini mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu
memberikan bagian kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah namunnash
tidak memberikan bagian yang semestinya,7 atau orang tua angkat dan anak angkat
yang mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris tetapi tidak diberi bagian
dalam ketentuan hukum waris Islam maka hal ini dapat dicapai jalan keluar dengan
menerapkan wasiat wajib sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta si
pewaris.
Istilah wasiat wajibah sekarang menjadi doktrin hukum baru dalam
perbendaharaan hukum Islam. Dasar hukum wasiat wajibah merupakan produk
penalaran hukum para yuris Islam sehubungan dengan upaya pengembangan hukum
normatif Islam tentang wasiat. Dan bisa jadi merupakan diskreasi atas kekosongan
hukum kewarisan terhadap orang-orang tertentu yang menuntut suatu keadilan. Atau
bisa jadi terjadi ketidak adilan bagi ahli waris lain yang merasa adanya wasiat
wajibah yang dapat merugikan hak bagian mereka.
Dalam perkembangannya ternyata wasiat wajibah diberikan kepada
pihak-pihak di luar anak angkat dan orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan
kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995, putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010, putusan-putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia tersebut menyatakan memberikan wasiat wajibah pada keluarga
atau ahli waris non-muslim, jadi yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih
Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si
pewaris yang beragama Islam.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang wasiat khususnya mengenai Wasiat wajibah, dengan judul “Analisis Yuridis
Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Prespektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Mengapa dalam Fikih Islam tidak disebutkan siapa saja yang berhak
2. Bagaimana pandangan Ulama Fikih Islam tentang wasiat wajibah?
3. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia
dalam putusan wasiat wajibah kepada keluarga atau ahli waris yang beragama
non-muslim?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mengapa dalam Fikih Islam tidak menyebutkan siapa saja
yang berhak mendapatkan wasiat wajibah.
2. Untuk mengetahui Bagaimana pandangan Ulama Fikih Islam tentang wasiat
wajibah.
3. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah
Agung Republik Indonesia dalam memutuskan wasiat wajibah kepada ahli
waris yang beragama non-muslim.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan ini dibedakan dalam dua, yaitu
manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis:
a. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut
terhadap perkembangan pengetahuan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya
dan khususnya dalam Ilmu Hukum Waris Islam mengenai Wasiat Wajibah.
Selain itu dapat juga sebagai referensi bagi pembaca umum dan mahasiswa
b. Manfaat Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan
pemahaman kepada para mahasiswa, akademisi dan masyarakat umum yang
berminat untuk mengetahui lebih dalam tentang Wasiat Wajibah.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di
lingkungan Pascasarjana program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
penelitian tentang “Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Presfektif Fikih
Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris
Yang Beragama Non-Muslim) belum pernah ada yang menelitinya, tetapi pernah
diteliti sebelumnya yang membahas tentang:
1. Achiriah, Nim: 992105031, Mahahsiswa Program Studi Megister Hukum,
Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul:
“Pelaksanaan Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat Menurut Kompilasi
Hukum Islam di Kota Medan”.
2. Muhammad Hekiki Mikhai, Nim: 107011107, Mahasiswa Program Studi
Megister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, dengan judul: “Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak wasiat
Wajibah Terhadap Ahli Waris Non Muslim (Studi Putusan No.
3. Sahriani, Nim: 077011084, Mahasiswa Program Studi Megister Kenotariatan,
Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul:
“Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Presfektif
Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No.
51.K/AG/1999)”.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Di dalam suatu penelitian diperlukan suatu dasar kerangka teori guna
dimaksudkan untuk mengemukakan beberapa teori berdasarkan pemaparan yang ada
kaitannya dengan permasalahan dalam penulisan penelitian, sehingga diharapkan
dapat melahirkan suatu pemikiran yang dapat diterima sebagai suatu landasan
berfikir.
Bagi suatu penelitian, teori atau kerangka teoritis mempunyai beberapa
kegunaan. Kegunaan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:8
a. Teori berguna untuk lebih mempertajam dan mengkhususkan faktor-faktor
yang hendak diselediki atau diuji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistim klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut mungkin faktor-faktor
tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada
pengetahuan peneliti.
Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau suatu proses tertentu terjadi.9 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau
butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem)
yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.10 Teori bisa dipergunakan
untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan
teori hukum adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta
hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.11 Teori yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah teori keadilan menurut hukum Islam.
Keadilan (A’dl) menurut hukum Islam tidak hanya merupakan dasar dari
masyarakat Muslim yang sejati, sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa
yang akan mendatang.12
Berlaku adil sangat berkaitan dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki
oleh seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil. Hak dan
9 J.J.J. M. Wisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, Hal. 203
10M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, Hal. 80. 11Mukti Fajar Nur Dewata Dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, Hal. 16.
kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada
yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, hukum berdasarkan amanah harus
ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya.
Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya
dengan amanat kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya amanat yang berkenaan
dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan adalah sebuah keniscayaan
demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh
dari banyak orang kepada penguasa. Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan, namun kekuasaan yang patut dan harus ditaatai hanyalah yang
mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.
Menurut penelitian M. Quraish Shihab, paling tidak ada empat makna
keadilan:13
a. Pertama, ‘adl dalam arti sama. Pengertian ini ditemukan di dalam Al-Quran
Surah An-Nisa, Asy-Syura, Al-Ma’idah, An-Nahl, dan Al-Hujurat. Menurut
Al-Baidhawi, kata ‘adl bermakna “berada dipertengahan dan
mempersamakan. Pendapat seperti ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha
bahwa keadilan yang diperintahkan disini dikenal oleh pakar bahasa Arab dan
bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa
yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub
menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang
dimiliki oleh setiap manusia. Ini berimplikasi pada persamaan hak karena
mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap
manusia dan dengan sebab sifatnya sebagai manusia menjadi dasar keadilan
dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
b. Kedua, ‘adldalam arti seimbang. Pengertian ini ditemukan di dalam Al-Quran
Surah Al-Ma’idah dan Al-Infithar. M Quraish Shihab menjelaskan bahwa
keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat
beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar
tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Keadilan di dalam pengertian
‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah lah Yang Maha
Bijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan serta mengelola segala sesuatu
dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan
ini nantinya mengantarkan kepada pengertian ‘keadilan illahi’.
c. Ketiga, ‘adl dalam arti perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak
itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah yang didefenisikan dengan
“menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya
melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah kezaliman, yakni pelanggaran
terhadap hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam QS. Al-An’am.
Pengertian‘adl ini melahirkan keadilan sosial.
d. Keempat, ‘adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah. ‘adl di sini berarti
memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah
untuk itu. Keadilan Allah mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak
tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
Dalam Islam, persyaratan adil sangat menentukan benar atau tidaknya dan sah
atau batalnya suatu pelaksanaan hukum dalam beberapa hal. Umpamanya dalam
kewarisan, sebagaimana dikemukakan oleh Hasanain Muhammad Makhluf, ahli Fikih
Kontemporer asal Mesir, bahwa Islam mensyaria’atkan aturan hukum yang adil
karena menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki
seseorang sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang lain14.
Keadilan dalam kewarisan tidak berarti membagi sama rata harta warisan
semua ahli waris, tetapi berpihak kepada kebenaran sebagaimana yang telah
digariskan Allah dalam Al-Qur’an. Jika laki-laki memperoleh lebih banyak dari
perempuan ini terkait dengan tanggung jawab laki-laki yang lebih besar daripada
perempuan untuk membiayai rumah tangganya. Jika menyimpang dari apa yang telah
di gariskan dalam Al-Qur’an berarti pembagiannya telah dilakukan secara tidak adil.
Dalam wasiat, yang harus dibayarkan adalah maksimal sepertiga dari harta
yang diwariskan orang yang wafat, tidak boleh lebih. Artinya orang yang
memberikan wasiat melebihi sepertiga harta warisan telah berlaku aniaya, yang
merupakan kebalikan dari adil.
Pengertian umum dari berlaku adil dalam masalah kewarisan dan wasiat juga
termasuk larangan memakan harta orang lain dengan cara bathil, atau mengajukan
kepada hakim untuk memakan sebagian harta orang lain (QS Al-Baqarah: 188).15
2. Kerangka Konsepsional
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsespsi
dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.16
Suatu kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti, akan tetapi
merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan
fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan
dalam fakta tersebut.17
Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan sebagai dasar penlitian hukum, guna menghindari perbedaan
penafsir dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan
dalam proses penelitian ini.
Selanjutunya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman
yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian
dikemukakan dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:
a. Wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian suatu benda dari
pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia.18
Menurut Ahmad Rafiq secara etimologi, para ahli hukum Islam
mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang
yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa
menuntut imbalan atautabarru.19
Wasiat adalah pesan seseorang untuk memberikan suatu kepada orang lain
setelah ia meninggal dunia.20
Wasiat adalah suatu tidakan untuk mengalihkan harta atau hak dari seseorang
kepada orang lainnya dan berpindah-pindahnya setelah meninggal yang
berwasiat. Juga dapat diartikan sebagai suruhan atau melakukan suatu
perbuatan sesudah wafatnya seseorang.21
b. Wasiat wajibah menurut Ahmad Rafiq adalah tindakan yang dilakukan
penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi
putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada
orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.22
18Johni Najwan,Hukum Kewarisan Islam,Yayasan Baitul Hikmah, Padang, 2003, Hal. 206 19Abdul Manan II,Op Cit, Hal. 149
20Moh. Muhibbin Dan Abdul Wahid,Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Hal. 55
21Hasballah Thaib I, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992, Hal. 36
Wasiat wajibah menurut Chairuman Pasaribu dan Suhrawarsi K. Lubis adalah
wasiat yang dipandang sebagai telah dilakukan oleh seseorang yang akan
meninggal dunia, walaupun sebenarnya ia tidak meninggalkan wasiat itu.23
Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau
tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia.24
c. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama
Islam.25
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama
Islam.26
Hukum Islam adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, baik berupa tuntutan (thalab), pemberian pilihan (takhyir), atau
berupa ketetapan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu
yang lain, sebagai syarat bagi adanya sesuatu yang lain, sebagai penghalang
(mani’) bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai pemberitahuan sah atau
batalnya suatu pekerjaan serta rukhshah dan azimah suatu pekerjaan.27
Hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan
mempunyai kekuatan yang mengikat, yang aturan tersebut digali dari dan
berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasulullah, yang hanya
mengatur tindakan lahiriah dari manusia yang dikenai hukum.28
23Ibid
24
Arif Furqan, Dkk,Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum,Departemen Agama RI, Jakarta, 2001, Hal. 120
25Ibid, Hal. 15
26Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 42
d. Kompilasi Hukum Islam bisa dikatakan sebagai materi hukum Islam yang
paling sempurna untuk dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan
Peradilan Agama.29
Kompilasi Hukum Islam adalah hukum tidak tertulis, tetapi dihimpuan dalam
sebuah buku.30
e. Fikih artinya paham atau pengertian. Ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas
menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di
dalam Al-Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang dapat dalam Sunnah
Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis.31
Ilmu fikih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat
di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada
perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban
melaksanakan hukum Islam.
f. Non-muslim berarti orang yang tidak atau bukan beragama muslim.32
G. Metode Penelitian
Istilah metodologi berasal dari kata metode yang berarti jalan, namun
demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan
kemungkinan-kemungkinan, sebagai berikut:
1) Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,
2) Suatu tekni yang umum bagi ilmu pengetahuan,
29Fahmi Amruzi,Op Cit,Hal. 47
30 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2011, Hal. 54
31Mohammad Daud Ali,Op Cit,Hal. 48
3) Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.33
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal. Penelitian yuridis normatif
atau penelitian doktrinal ini adalah penelitian hukum yang menggunakan sumber data
sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti
sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian
terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku,
peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa
permasalahan yang dibahas34.
Penelitian hukum ini merupakan suatu penelitian hukum yang dikerjakan
dengan tujuan menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku. Penelitian
tipe ini lazim disebut sebagai studi dogmatik atau yang dikenal dengan doctrinal
research35.
Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia
yang dianggap pantas.36
33Soerjono Soekanto,Op Cit,Hal. 5
34Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 13
35 Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Hal. 86
Pangkal tolak pencarian asas dan doktrin ini adalah norma-norma hukum
positif, maka sebenarnya kemungkinan penyelenggaraan penelitian doktrinal ini
bergantung pada sudah atau belum selesainya dan pada sudah atau belum lengkapnya
penelitian inventarisasi. Sementara itu, hasil-hasil yang akan diperoleh dalam
penelitian ini akan ditentukan pula oleh bahan-bahan apa yang di dalam penelitian
inventarisasi nyatanya diidentifikasikan dan diklasifikasikan sebagai hukum. Dalam
hubungan ini, dapatlah secara ringkas disimpulkan bahwa konsepsi hukum yang
dipilih dalam penelitian inventarisasi akan sepenuhnya menjadi predeterminan hasil
akhir setiap penelitian doktrinal.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis
normatif. Pada penelitian ini biasanya yang diteliti hanya bahan buku pustaka atau
data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier37.
2. Sumber Data
Berhubung metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka
sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan penelitian
yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum tersier, yaitu:
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari Al-Quran,
buku-buku fikih Islam, aturan hukum yang berbeda terdapat pada berbagai
perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
wasiat khususnya wasiat wajibah.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan mengenai bahan hukum primer,
berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku ilmiah,
buku-buku fikih yang berhubungan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier adalah meliputi dari kamus hukum warisan,
artikel-artikel, yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.
3. Teknik Pengumpul Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan pustaka atau data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier.
Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier, dalam penelitian ini akan menggunakan alat penelitian studi
dokumen atau pustaka atau penelitian pustaka dengan cara mengumpulkan semua
dokumen-dokumen, buku-buku, dan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian.
Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan
sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil
akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data yang bersifat kualitatif. Kegiatan ini diharapakan akan memudahkan
dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian
menarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, sehingga diharapkan
BAB II
WASIAT WAJIBAH BERDASARKAN FIKIH ISLAM
A. Pengaturan Wasiat Wajibah Dalam Fikih Islam.
1. Wasiat.
Secara garis besar wasiat merupakan penghibahan harta dari seseorang kepada
orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang yang
menghibahkan.
Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, menaruh
kasih sayang, menyuruh, dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.
Pengertian wasiat secara etimologi hukum Islam adalah pemberian kepemilikan yang
dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si
pemberi meninggal dunia.38 Pemberian kepada orang lain tersebut dapat berupa
barang, piutang, atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah
orang yang berwasiat meninggal dunia.
Wasiat ialah suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang
dilaksanakan sesudah meninggal dunia seseorang. Menurut asal hukum, wasiat adalah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apa pun.39
Wasiat ialah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang
meninggal dunia.40
38H. M. Fahmi Al-Amruzi,Op Cit, Hal. 49 39Hasbi Ash-Shiddieqy,Op Cit, Hal. 273
Wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya,
dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat
terhadap harta peninggalannya atau pesan dari luar harta peninggalan.41
Wasiat adalah suatu tindakan untuk mengalihkan harta atau hak dari seseorang
kepada orang lainnya dan berpindahnya setelah meninggal yang berwasiat. Dapat
juga diartikan sebagai suruhan atau melakukan suatu perbuatan sesudah wafatnya
seseorang.42
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang
lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Dari paparan di atas mengenai apa itu wasiat, dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa timbulnya wasiat itu haruslah dengan cara suka rela dan tidak ada paksaan
dalam bentuk apapun, yang menyangkut pelimpahan hak, yang dilakukan dengan
cara baik itu secara lisan atau tulisan yang tidak disyaratkan adanya suatu kontra
prestasi, yang pelaksanaannya dilakukan sesudah pemberi wasiat itu meninggal
dunia.
Menurut pandangan ilmu hukum, bahwa wasiat merupakan perbuatan hukum
sepihak (merupakan pernyataan sepihak), jadi dapat saja wasiat dilakukan tanpa
dihadiri oleh penerima wasiat, dan bahkan dapat saja dilakukan dalam bentuk tertulis.
Bahkan dalam prakteknya dewasa ini, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang
41Anwar Sitompul,Op Cit. 60
tidak dikehendaki dibelakangan hari, sering wasiat itu dilakukan dalam bentuk akta
authentik, yaitu diperbuat secara notarial, apakah dibuat oleh atau di hadapan notaris,
atau disimpan dalam protokol notaris.43
Al-Quran masih mengakui hak untuk membuat pernyataan wasiat dalam
pembagian waris, dimana harta waris tersebut dideskripsikan sebagai porsi dari harta
yang masih tersisa, setelah pembagian wasiat dan utang-utang.44
Kitab Undang-Undang Wasiat Mesir dalam pasal 38 membolehkan wasiat
tidak boleh melebihi dari sepertiga bagian dari harta peninggalan kepada orang yang
dapat menerima pusaka tanpa tergantung perizinan ahli waris sebagaimana hanya
membolehkan wasiat kepada orang yang tidak menerima pusaka.45
2. Sumber-Sumber Hukum Wasiat
Sumber-sumber hukum wasiat itu ialah Al-Kitab, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan
Al-Ma’qul.46
1. Al-Kitab, antara lain ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah, Al-Maidah,
An-Nisaa.
Al-Baqarah ayat 180, yang artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
43
Suhardi K. Lubis, Komis Simanjuntak,Hukum Waris Islam,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 47 44Abdul Aziz Mohammed Zaud,The Islamic Law Of Bequest,Scorpion Publishing Ltd, London, 1986, Hal. 11
45
M. Yusuf Musa, T.T.,At Tirkah Wal Mirats Fil-Islami,Darul Ma’rifah, Kairo, Cet. II, Hal. 126 46
ibu, bapak, karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa”.
Al-Baqarah ayat 181, yang artinya:
“Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya,
maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Al-Baqarah ayat 182, yang artinya:
“(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu,
berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara
mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Al-Baqarah ayat 240, yang artinya:
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara mu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa
bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat
yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah maha perkasa lagi bijaksana”.
An-Nisaa ayat 11 dan 12, yang artinya:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk
dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuanmu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguuhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah memenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan
tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) Syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
Al-Maidah ayat 106, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan
oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan
agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu
ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang
(untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika
kamu ragu-ragu, “(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan
harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib
kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan Persaksian Allah;
sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
2. As-Sunnah, antara lain hadist yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas
r.a. ujarnya:47
“Rasulullah s.a.w. datang mengunjungi saya pada tahun haji wada’ di waktu
saya menderita sakit keras. Lalu saya bertanya: “hai Rasulullah! Saya
sedang menderita sakit keras. Bagaimana pendapat tuan. Saya ini orang
berada, tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak
saya perempuan, apakah sebaiknya saya mewasiatkan dua pertiga hartaku
(untuk beramal)?” “Jangan”, jawab Rasulullah. “Lalu sepertiga?”,
sambungku lagi. Rasulullah menjawab: “Sepertiga”. Sebab seperrtiga itu
banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan
yang cukup adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam
kedaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (Rw.
Bukhari-Muslim).
3. Al-Ijma’, ummat Islam sejak zaman Rasulullah s.a.w. sampai sekarang
banyak menjalankan wasiyat. Perbuatan yang demikian itu tidak pernah
diingkari oleh seorang pun. Ketiadaan ingkar seseorang itu menunjukkan
adanya ijma’.48
4. Al-Ma’qul (logika), menurut thabi’at, manusia itu selalu bercita-cita supaya
amal perbuatannya di dunia di akhirat dengan amal-amal kebajikan untuk
menambah amal taqarrub-nya kepada Allah yang telah dimilikinya, sesuai
dengan apa yang diperintahkan Nabi Muhammad s.a.w. dalam sabdanya yang
artinya:
“Allah S.W.T. memerintahkan sedekah kepadamu sepertiga harta untuk
menambah amal-amalmu sekalian, maka keluarkanlah sedekah itu menurut
kemauanmu atau menurut kesukaanmu.” (Rw. Bukhari).49
Atau untuk menambah kekurangan-kekurangan amal-perbuatannya sewaktu ia
masih hidup. Untuk menambah amal kebajikan yang telah ada dan menambah
kekurangan-sempurnaan amal tersebut tidak ada jalan lain, selain memberikan
wasiat.
Wasiat itu disyari’atkan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Kalau
kebutuhan tersebut dapat ditutup melalui wasiat adalah logis sekiranya wasiat itu
disyariatkan. Karena di dalam wasiat itu terdapat unsur pemindahan hak milik dari
seseorang kepada orang lain, sebagaimana dalam pusaka mempusakai, maka sudah
selayaknya wasiat itu diperkenankan juga. Hanya saja pemindahan milik dalam
wasiat itu terbatas kepada sepertiga harta peninggalan saja, agar tidak merugikan para
ahli waris.
3. Rukun dan Syarat Wasiat
Sesungguhnya pembicaraan rukun dan syarat adalah menyangkut sah atau
tidaknya suatu perbuatan yang akan dilakukan, hanya saja antara rukun dan syarat
terdapat perbedaan dalam hal bahwa rukun merupakan esensi dari perbuatan itu
sendiri, sedangkan syarat bersifat eksternal. Berikut akan dijabari rukun dan syarat
wasiat, yaitu:
a. Orang yang memberi wasiat;
Orang yang memberi wasiat hendaknya harus memilik syarat sebagai berikut:
1) Berakal. Apabila ia berwasiat ketika ia masih sehat kemudian ia gila terus
menerus sampai enam bulan, maka wasiatnya batal dan apabila ia
berwasiat dalam keadaan sehat, kemudian ia menjadi dungu sampai ia
meninggal maka wasiat tersebut menjadi batal.50Apabila seseorang lemah
akalnya sehingga menghalangi ia untuk berpikir, maka sah wasiatnya atas
hartanya saja dan tidak sah mengangkat pelaksana wasiat untuk
anak-anaknya. Oleh sebab itu tidak dapat bertindak baik untuk dirinya sendiri
dan karena itu tentu saja tidak dapat menentukan orang yang akan
bertindak untuk orang lain.51
2) Baligh. Orang yang berwasiat disyaratkan telah sampai kepada keadaan
baligh dan karena itu tidak sah wasiat yang dilakukan oleh orang yang
dibawah umur, walaupun sudah mumayyiz.52
3) Merdeka. Tidaklah sah apabila wasiat yang dilakukan oleh seorang
budak, kecuali wasiat itu disyaratkan kepada keadaannya sesudah
merdeka. Para ulama, baik dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i atau
lainnya sepakat bahwa wasiat harus dilakukan oleh orang yang merdeka.
50Abdurrahman Al-Jaziri,Op Cit,Hal. 317 51Ibid.Hal. 324
52
Hamba sahaya tidak sah berwasiat sebagaimana tidak sahnya orang yang
terpaksa berwasiat.53
4) Tidak mempunyai hutang yang menghabiskan harta. Apabila harta
peninggalannya tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya, maka
wasiat tidak mungkin akan dilaksanakan, bahkan harta peninggalannya
akan dibagi-bagi kepada orang-orang yang memberi hutang kepadanya.54
5) Dengan cara sukarela. Wasiat tidak sah apabila dilakukan secara
bercanda, kekeliruan, pemaksaan, ataupun ketidak sukarelaan, apabila hal
ini terjadi, maka wasiat menjadi batal.55
b. Orang yang menerima wasiat;
Orang yang menerima wasiat harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1) Penerima wasiat sudah ada pada waktu wasiat terwujud. Pada waktu
wasiat terbentuk, harus jelas kepada siapa wasiat itu dialamatkan, dengan
demikian tidaklah dinamakan wasiat apabila tidak diketahui alamatnya
atau orang yang menerima wasiat belum ada pada waktu wasiat terjadi.56
2) Orang atau badan tertentu. Apabila penerima wasiat itu berupa badan
amal tidak disyaratkan pribadi orangnya, akan tetapi badan itu harus jelas
dan tertentu, misalnya mengatakan: “saya wasiatkan hartaku kepada
orang fakir atau orang-orang miskin”, wasiat itu sah, tidak menentukan
orang miskin atau orang fakir tertentu, bahkan kalau ia tidak menentukan
penerima wasiat sudah terkandung dalam badan amal.57
3) Penerima wasiat cakap untuk menerima wasiat. Ulama Hanafiah
berpendapat bahwa penerima wasiat disyaratkan cukup untuk memangku
hak, maka tidaklah sah wasiat kepada orang yang tidak mempunyai
kecakapan.58
4) Penerima wasiat bukan pembunuh dari pewasiat. Abu Yusuf berpendapat
bahwa apabila penerima wasiat adalah pembunuh pemberi wasiat, maka
wasiatnya batal.59
5) Penerima wasiat bukan badan maksiat.
6) Penerima wasiat bukan ahli waris dari pemberi wasiat. Wasiat kepada ahli
waris tidak sah, kecuali ada persetujuan ahli waris yang lainnya dan
besarnya wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan, karena
ahli waris sudah mendapat harta warisan sebagaimana yang ditetapkan
syara’.60
Syarat orang yang diserahi menjalankan wasiat yang akhir ini ada:61
57Ibid,Hal. 47
58Abdurrahman Al-Jaziri,Op Cit,Hal. 318 59Said Sabiq,Op Cit,Hal. 593