• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni yang Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon (Studi Kasus di Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni yang Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon (Studi Kasus di Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri)"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI TEGAKAN HUTAN RAKYAT JATI DAN MAHONI YANG TERSERTIFIKASI UNTUK PERDAGANGAN KARBON

Studi Kasus di Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri

MUHAMMAD SOFIYUDDIN

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

Muhammad Sofiyuddin (E01400036). Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni yang Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon (Studi Kasus di Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri). Dibimbing oleh Dr. Ir. Herry Purnomo, MComp dan Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS.

Keadaan hutan indonesia dua puluh tahun terakhir cukup memprihatinkan, hal ini terlihat dari tingginya laju kerusakan hutan (deforestrasi) indonesia. Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan ini, Indonesia menuai banyak bencana berupa banjir dan tanah longsor, selain itu isu yang saat ini ramai di perbincangkan oleh dunia internasional adalah perubahan iklim (Climate Change) berupa pemanansan global yang disebabkan meningkatnya gas CO2 di atmosfer

bumi. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mencegah agar akibat-akibat ini tidak semakin meluas dan sekaligus menciptakan dampak ekonomi yang merata dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Upaya yang dilakukan menyiratkan bahwa diperlukan kesadaran akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan. Hutan rakyat yang diawali oleh gerakan reboisasi lahan atau tanah kosong dapat menjadi salah satu alternatif solusi untuk mengatasi deforestrasi dan alternatif penyimpanan karbon, munculnya perdagangan karbon dunia menyebabkan hutan rakyat dapat menjadi pilihan dalam penyimpanan karbon karena hal ini akan memberikan kontribusi bagi para petani hutan rakyat. Hutan rakyat memiliki kontribusi yang sangat besar dalam pemenuhan kayu indrustri di beberapa daerah, oleh karena itu perlu diadakan suatu penelitian tentang cara pengelolaan, potensi tegakan dan karbon di hutan rakyat untuk mengetahui seberapa besar kontribusinya terhadap fungsi ekologi dan fungsi ekonomi masyarakat sekitar hutan.

Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui cara-cara pengelolaan hutan rakyat, menghitung potensi tegakan dan potensi simpanan karbon hutan rakyat, mengkaji kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani.

(3)
(4)

The Potential of Certified Teak And Mahagony Rural Forest Stand For Carbon Trading:

A Case Study at Desa Selopuro Kabupaten Wonogiri

By:

Muhammad Sofiyuddin, Herry Purnomo, and Teddy Rusolono

INTRODUCTION. The condition of Indonesian forests in the last 20 years has been very concerning, as deforestation has reached a high level. Deforestation is one of the main causes of numerous cases of flood and landslide. Other factor, which has become an international issue, is none other than the global warming caused by the increasing amount of CO2 in the Earth’s atmosphere. Efforts done so far imply that the

society’s involvement to save the forests is very crucial. Community forests initialized by land reforestation is a possible solution to handle deforestation and an altrernative for carbon saving. The world’s carbon trading has made the rural forests an option for carbon saving, since they give a lot of contribution to the forest farmers. Rural forests also give a huge contribution to the availability of industrial wood in several regions. Therefore, it is necessary to hold a research on how to develop the potential of trees and carbon of the rural forests. It is very useful to find out how big it contributes to the ecological and economical functions of the people living around the forests.

METHOD. Research was done from March 2005 – April 2005 at Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri. Materials that were used include the teak and mahogany forests belong to the people living in the research field. Research tools include measuring ribbon, hypsometer haga, tally sheets, hardware (a set of computer and stationary), and software (Ms. Excel for data processing). The data were collected by measuring the rural forest stand on the respondents’ fields (the respondents were forests farmer) purposively. On the other hand, the data on how to work on the rural forests were collected by interviewing the forest farmers as respondents. Field data were processed to get the trees’ density and volume per hectar. The potential of biomass and tree carbon is gotten by using the allometric equation from the previous research. The project viability to develop the rural forests is done by using the Net Present Value (NVP) and Benefit Cost Ratio (BCR) analysis.

RESULT AND DISCUSSION. The rural forest development was initialized by the concerns about the critical land condition and the difficulties to get clean water. The rural forest development consists of land preparation, plantation, maintanance, and harvesting. The teak stand density on tegalan range between 41-350 trees/ha and that of mahogany range between 41-237 trees/ha. The teak stand density on pekarangan range between 56-181 trees/ha and that of mahogany ranges between 47-374 trees/ha. The stand volume on tegalan range between 6,86-93,65 m3/ha and that of pekarangan range between 2,34 - 81,07. If we

compare the trees density per hectar in every year of development, the density on tegalan is higher than that of pekarangan, except in the 15th year. It is possibly caused by the choice of farmers to cut down mahogany trees on tegalan that have completed the cycle. In average, the density and volume start to decrease in the 25th year of development. It happens because farmers perform a lot of teak and mahogany trees cutting. The carbon potential of tegalan range between 9,36 – 74,627 tonC/ha and that of pekarangan range between 2,49 – 29,90 tonC/ha for 5 up to 25 years of development. The carbon potential of stand increases along with growth of the stand every year. The increase of stand carbon is also influenced by the trees density and the ways to develop the rural forests. The NPV and BCR values for rural forests development without carbon selling on the discount rate less than 12% and the carbon price is US$ 3-8/tonC is more than one, or in other words, is positive. On the other hand, if the discount rate increases up to 15%, the values are less than one or negative. The NPV and BCR values for rural forests development with carbon selling are considered positive only if the discount rate variant is 10% and the carbon price range between US$ 3-8/tonC.

CONCLUSION.The study concludes the following : (1) The forest farmers of Selopuro have done excellent efforts to mantain and develop the forests, as ecologically proven by the appearance of water springs on previously dry lands. Moreover, the forests have received the acknowledgement as the first certified forests in Indonesia. (2) The stand density on tegalan is 41-358 trees/ha, while that of pekarangan is 103-306 trees/ha. The stand volume of every tegalanis 6,86-93,65 m3/ha and of every pekarangan is 2,34-81,07. (3)

(5)

POTENSI TEGAKAN HUTAN RAKYAT JATI DAN MAHONI YANG TERSERTIFIKASI UNTUK PERDAGANGAN KARBON

Studi Kasus di Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri

MUHAMMAD SOFIYUDDIN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni yang Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon : Studi Kasus di

Desa Selopuro, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri.

Nama : Muhammad Sofiyuddin NRP : E01400036

Disetujui

Pembimbing Utama Pembimbing Kedua

Dr.Ir. Herry Purnomo, MComp Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS NIP. 131 795 793 NIP. 131 760 840

Diketahui

Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 26 November 1982, merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak H. Didin Muhyiddin dan Ibu Hj. Maraimunah. Penulis menempuh jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak pada tahun 1986 sampai 1988 di TK Ardialoka. Pada tahun 1988 – 1994 menempuh sekolah dasar di SD Negeri Pengadilan I Bogor. Pada tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 7 Bogor, dan menyelesaikannya pada tahun 1997. penulis kemudian melanjutkan lagi ke SMU Negeri 5 Bogor dan menyelesaikannya pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Pada masa perkuliahan, penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Tasikmalaya, Jawa Barat pada bulan Juli sampai Agustus 2003. Praktek Kerja Lapang dilaksanakan pada tahun 2004 di PT. Wira Karya Sakti, Kabupaten Musi Banyu Asin, Jambi. Selama masa perkuliahan penulis aktif di Forest Management Student Club (FMSC) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan IPB.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala limpahan Rakhmat dan Hidayah-Nya yang telah memberikan kemudahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Potensi Tegakan Hutan Rakyat Jati dan Mahoni yang Tersertifikasi untuk Perdagangan Karbon (Studi Kasus di Desa Selopuro Kabupaten Wonogiri). Penulis menyadari bahwa terlaksananya penelitian ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Apa dan Mama yang telah memberikan dukungan secara moril dan materil, dan adikku tercinta Tira Destira yang selalu membawa keceriaan di rumah. 2. Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS selaku

dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, pengetahuan dan selalu memberi semangat juga kesabarannya selama membimbing penulis. 3. Pihak FKPS Selopuro dan PERSEPSI atas bantuannya dalam pengumpulan

data di lapangan.

4. Ibu dan Bapak Puyono atas bantuan dan tempat menginap selama penelitian di Selopuro.

5. Bapak dan Ibu KPAP Departemen MNH atas bantuannya dalam proses administrasi selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.

6. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan mengucapkan rasa terima kasih atas seluruh bantuannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan. Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi yang membaca.

Bogor, Januari 2007

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat ... 3

Pengertian Biomassa ... 5

Pendugaan dan Pengukuran Biomassa ... 6

Perdagangan Karbon ... 7

Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis) ... 8

Tinjauan Umum Mahoni Daun Besar (Swietenia Macrophylla) ... 10

Analisis Kelayakan Proyek ... 10

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

Bahan dan Alat Penelitian ... 13

Metode Penelitian Pengumpulan Data ... 13

Pengolahan dan Analisis Data ... 15

Analisis Finansial ... 16

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis... 18

Sarana dan Prasarana ... 19

Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk ... 20

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Kondisi dan Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Selopuro

Karakteristik Responden ... 22

Riwayat Pengelolaan Hutan Rakyat Sertifikasi Lestari ... 23

Kondisi pengelolaan dan Cara Budidaya ... 24

Deskripsi Tegakan Hutan Rakyat ... 27

Potensi Karbon Tegakan Hutan Rakyat ... 32

Analisis Finansial Komponen Biaya ... 35

Pendapatan ... 37

Perbandingan NPV dan BCR Pengelolaan Hutan Rakyat Dengan dan Tanpa Skema Perdagangan Karbon ... 39

SIMPULAN DAN SARAN ... ...42

DAFTAR PUSTAKA ... ...43

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Potensi tegakan hutan rakyat Desa Sumberejo tahun 1998 ... 9

2. Tata guna lahan Desa Sumberejo ... 19

3. Mata pencaharian penduduk Selopuro ... 20

4. Sejarah perkembangan hutan rakyat di Selopuro ... 24

5. Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola tegalan untuk tanaman jati ... 28

6. Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola tegalan untuk tanaman mahoni...28

7. Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola tegalan...28

8. Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola pekarangan untuk tanaman jati. ... 29

9. Sebaran potensi tegakaan hutan rakyat pola pekarangan untuk tanaman mahoni. ... 29

10. Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola pekarangan ... 30

11. Komponen biaya untuk pengelolaan hutan rakyat ... ...35

12. Potensial penebangan pohon selama satu daur...37

13. Komponen pendapatan petani dari pengelolaan hutan rakyat...38

14. Komponen pendapatan petani hutan rakyat dari penjualan karbon...39

15. NPV dan BCR pada berbagai suku bunga untuk pengelolaan hutan rakyat tanpa skema perdagangan karbon... 40

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian ... 18 2. Sebaran kelas diameter pada berbagai variasi umur tegakan

untuk lahan tegalan ... 31 3. Sebaran kelas diameter pada berbagai variasi umur tegakan

untuk lahan pekarangan. ... 31 4. Perbandingan kerapatan pohon per hektar

tegalan dan pekarangan ... 32 5. Potensi rata-rata karbon total pada berbagai variasi umur tegakan

di tegalan. ... 33 6. Potensi rata-rata karbon total pada berbagai variasi umur tegakan

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Identitas umum responden ... 46

2. Identitas dan riwayat lahan yang dikelola. ... 47

3. Kondisi dan cara budi daya ... 48

4. Rekapitulasi data lapangan untuk pekarangan. ... 50

5. Rekapitulasi data lapangan untuk tegalan. ... 51

6. Rekapitulasi biaya pengelolaan hutan rakyat. ... 52

7. Arus kas penerimaan dan biaya sepanjang waktu pengelolaan tanpa mekanisme penjualan karbon. ... 53

8. NPV dan BCR pengelolaan hutan rakyat tanpa penjualan karbon . . ...55

9. Contoh arus kas penerimaan dan biaya sepanjang waktu pengelolaan dengan mekanisme penjualan karbon untuk harga karbon 3 USD ... 56

10. NPV dan BCR pengelolaan hutan rakyat dengan mekanisme penjualan karbon untuk harga karbon 3 USD ... ...58

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keadaan hutan indonesia dua puluh tahun terakhir cukup memprihatinkan, hal ini terlihat dari tingginya laju kerusakan hutan (deforestrasi) indonesia. Menurut beberapa laporan baik pemerintah maupun lembaga-lembaga pemerhati kehutanan (LSM) laju deforestrasi hutan Indonesia meningkat hingga mencapai rata-rata 2 juta hektar tiap tahunnya (Barus, 1997). Laporan ini juga menyebutkan bahwa dua faktor utama penyebabkan kerusakan hutan adalah tekanan pertambahan penduduk dan adanya proyek-proyek pembangunan yang luas yang mengekploitasi hutan untuk tujuan komersil.

Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan ini, Indonesia menuai banyak bencana berupa banjir dan tanah longsor, selain itu isu yang saat ini ramai diperbincangkan oleh dunia internasional adalah perubahan iklim (Climate Change) berupa pemanansan global yang disebabkan meningkatnya gas CO2 di

atmosfer bumi. Peningkatan gas CO2 di atmosfer salah satunya disebabkan oleh

hilangnya biomassa akibat penebangan pohon dari hutan (Murdiarso, 2003). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mencegah agar akibat-akibat ini tidak semakin meluas dan sekaligus menciptakan dampak ekonomi yang merata dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Upaya yang dilakukan menyiratkan bahwa diperlukan adanya kesadaran akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan. Beberapa kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini berupa kebijakan hutan rakyat, HPH bina desa, Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), maupun melalui Perhutanan Sosial yang dilakukan Lembaga Swadaya Masyarakat (Barus, 1997).

Ekosistem hutan memainkan peranan yang penting dalam mengurangi perubahan iklim karena hutan memiliki kemampuan menyerap karbon, salah satunya CO2 dan kemudian menyimpannya dalam tegakan hutan. Kerusakan

(15)

Hutan rakyat yang diawali oleh gerakan reboisasi lahan atau tanah kosong dapat menjadi salah satu alternatif solusi untuk mengatasi deforestrasi dan alternatif penyimpanan karbon. Selain itu munculnya perdagangan karbon dunia menyebabkan hutan rakyat dapat menjadi pilihan dalam penyimpanan karbon karena hal ini akan memberikan kontribusi bagi para petani hutan rakyat. Hutan rakyat memiliki kontribusi yang sangat besar dalam pemenuhan kayu indrustri di beberapa daerah, oleh karenanya perlu diketahui potensi volume dan kerapatan tiap hektarnya.

Cara pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani lokal juga memberikan dampak ekologi yang besar dalam mengurangi laju degradasi areal berhutan karena memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal yang tinggi. Oleh karena itu perlu diadakan suatu penelitian tentang cara pengelolaan, potensi tegakan dan karbon di hutan rakyat untuk mengetahui seberapa besar kontribusinya terhadap fungsi ekologi dan fungsi ekonomi masyarakat sekitar hutan.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Mengetahui cara-cara pengelolaan hutan rakyat.

2. Menghitung potensi tegakan dan potensi simpanan karbon hutan rakyat. 3. Mengkaji kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk beberapa pihak, antara lain :

1. Dari sisi akademik, hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang sistem pengelolaan, potensi hutan rakyat, dan acuan untuk penelitian lebih lanjut dilokasi penelitian.

2. Memberikan masukan kepada pengambil kebijakan dalam pengelolaan dan pengembangan hutan rakyat di lokasi penelitian.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Rakyat

Alrasid dalam Barus (1997) menyatakan hutan rakyat pada dasarnya adalah hutan yang dibangun pada lahan milik, ditanami dengan pohon yang pengelolaan dan pembinaannya dilakukan oleh pemiliknya atau badan usaha seperti koperasi dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan pemerintah. Hutan rakyat menunjukkan pada pengelolaannya, yakni rakyat dengan kasus hutan pada tanah miliknya yang bervariasi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Istilah untuk hutan rakyat berbeda-beda antar kelompok masyarakat, ada talun, leuweng, wono, lembo, simpung, repong, tombak, dan lain-lain. Beberapa faktor telah mendorong budidaya hutan rakyat di Jawa, faktor ekologis, ekonomi, dan budaya, hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal–areal lahan kering daerah atas (Suharjito, 2000).

Suryohadikusumo dalam Suharjito (2000) menyatakan hutan rakyat adalah hutan tanaman yang tumbuh di atas tanah milik rakyat atau hak-hak lainnya yang jelas penggarap lahannya (yang menanam, memelihara dan akan memanen hasilnya), sedangkan menurut Barus (1997) hutan rakyat adalah hutan yang dikelola oleh satuan masyarakat di bawah bimbingan teknis kehutanan.

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 hektar dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% dan atau tanaman tahun pertama sebanyak 500 batang tanaman (Dirjen RRL, 1997), selanjutnya Tim Arupa (2001) menyatakan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik perseorangan maupun bersama-sama atau badan hukum dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pengelolaan hutan rakyat berorientasi pada kawasan yang sempit dengan lebih menekankan pada pengelolaan pohon per pohon, sehingga setiap individu pohon mendapat perhatian yang khusus.

(17)

seperti pada hutan negara, akan tetapi lebih menekankan pada umur tebang rata-rata pohon yang akan ditebang.

3. Penebangan pohon di hutan rakyat biasanya dilakukan tanpa pengukuran diameter dan tinggi pohon serta tidak dilakukan perhitungan volume pohon atau volume tegakan, yang biasanya dilakukan untuk mengetahui besarnya produksi kayu yang dihasilkan.

Secara umum hutan rakyat adalah hutan milik dan berada diluar kawasan hutan negara, dari batasan ini hutan rakyat memilki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Tidak merupakan kawasan yang kompak, tetapi terpencar-pencar diantara pedesaan lainnya.

2. Bentuk usaha tidak selalu murni berupa usaha bercocok tanam pohon-pohonan, adakalanya terpadu atau dikombinasikan dengan cabang-cabang usaha tani lainnya (perkebunan, peternakan, pertanian pangan dan lain-lain)

Hutan atau tegalan dalam kontek bahasa Jawa biasa disebut alas atau dalam bahasa Jawa yang halus disebut wono dalam hal ini biasa menunjukkan hutan rakyat. Rata-rata di hutan rakyat jati pohon jati yang belum besar sudah ditebang biasanya dengan ukuran diameter 10-20 cm dengan umur sekitar 10 tahun, hal ini biasanya disebabkan karena kebutuhan yang mendesak dan agak besar nominalnya seperti membayar sekolah anak. Dibeberapa daerah di Jawa yang tingkat pendidikannya rendah pohon jati dengan diameter 10-20 cm dijual murah dengan harga 25 -50 ribu rupiah/batang (Suharjito, 2000).

(18)

hutan rakyat pada saat ini. Namum pada kenyataanya di lapangan wono dapat berujud tegalan, pekarangan, kebonan bahkan sawah.

Harjanto dalam Suharjito (2000) hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut juga hutan milik. Hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan, dimana minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan karena rata-rata kepemilikan lahan di Jawa sangat sempit. Ciri pengusahaan hutan rakyat adalah :

1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang rendah.

2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.

3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.

4. Pendapatan hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% pendapatan total.

Prabowo dalam Suharjito (2000) menyatakan, untuk menjaga kelestarian hutan dan kelestarian hasilnya, petani-petani hanya akan melakukan penebangan bila sangat memerlukan saja dan hanya menebang jika diameter batang telah cukup besar, yaitu cukup untuk membuat tiang rumah (diameter sekitar 30 cm).

Pengertian Biomassa

Whitten et al. (1984) mendefinisikan biomassa hutan sebagai jumlah total berat kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, populasi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering tanur per satuan luas (ton/hektar). Menurut Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik hidup dalam pohon yang dinyatakan dalam berat kering oven per unit area.

(19)

bahan organik melalui proses fotosintesis. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu, dan ciri-ciri jenis tumbuhan masing-masing. Sisa hasil respirasi yang dilakukan tumbuhan disebut produksi primer bersih, lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah biomasa dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984).

Umumnya karbon menyusun 45 - 50 % bahan kering dari tanaman. Sejak kandungan karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah yang besar, sehingga hutan tropika merupakan cadangan simpanan karbon yang penting. Selain itu karbon tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitemore, 1985).

Pendugaan dan Pengukuran Biomassa

(20)

dengan rumus dasarnya, yaitu Y = a Db, Y adalah biomassa pohon (kg), D adalah diameter setinggi dada (130 cm), a dan b adalah konstanta (Brown, 1997).

Chapman (1976) mengelompokkan metode pendugaan biomassa di atas tanah ke dalam dua golongan besar, yaitu metode destruktif (pemanenan) dan metode non–destruktif (tidak langsung). Metode pemanenan terdiri dari tiga metode, yaitu (a) Metode pemanenan individu tanaman yang diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan tumbuhan per pohon cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis sedikit, (b) Metode pemanenan kuadrat, metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya dan (c) Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang rata-rata, metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang mempunyai ukuran individu seragam. Metode tidak langsung terdiri dari dua metode, yaitu (a) Metode hubungan allometrik, persamaan allometrik dibuat dengan mencari korelasi yang baik antara dimensi pohon dan (b) Metode crop meter, pendugaan biomassa pada metode ini dengan menggunakan peralatan elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu.

Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan, atau jumlah bagian-bagian tertentu seperti kayu yang sudah diekstraksi. Mengukur biomassa vegetasi pohon tidaklah mudah khususnya pada hutan campuran dan tegakan tidak seumur (Murdiarso et al. 1999).

Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti iklim, curah hujan dan suhu yang akan mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon (Kusmana et al. 1992). Suhu tersebut berdampak pada proses pengambilan karbon oleh tanaman dan penggunaan karbon dalam aktifitas dekomposer (Murdiarso et al. 1999). Sedangkan menurut Satoo dan Madgwick (1982) selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa adalah parameter umur, kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh.

Perdagangan Karbon

(21)

pakar lingkungan dunia mulai menggulirkan penyelamatan lingkungan dunia melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) bumi di Rio Jenairo, Brasil pada tahun 1992 yang kemudian hasilnya diratifikasi pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang. Pertemuan ini kemudian menghasilkan Kyoto Protokol yang mengagendakan penurunan tingkat emisi oleh negara industri (Annex I) sebesar 5% tahun 1990 pada tahun 2008-2012 (Anonim, 2006).

Murdiarso et al. (1999) mengatakan bahwa penanggulangan perubahan iklim dalam Protokol Kyoto ditanggulangi dengan cara yang lentur dengan menggunakan mekanisme pasar, yaitu melalui perdagangan karbon. Tujuannya adalah dapat mencapai penurunan emisi dengan cara yang semurah mungkin.

Perdagangan karbon ini dalam bentuk sertifikat yaitu keterangan yang menyatakan jumlah emisi para pelaku perdagangan yang akan diverifikasi oleh suatu badan internasional atau badan lain yang diakreditasi oleh badan tersebut. Reduksi Emisi Bersertifikat (RES) atau Certified Emisión Reduction (CER) inilah yang diperjualbelikan dalam sebuah pasar internasional CER dan dinyatakan dalam ton karbon yang direduksi (Murdiyarso, 2003). Dalam protokol Kyoto untuk perdagangan dengan negara berkembang ada mekanisme khusus yang disebut Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Mekanisme ini bertujuan untuk memberikan fasilitas kepada negara maju agar mencapai komitmen tentang tingkat emisinya dan negara berkembang mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Tinjauan Umum Jati (Tectona grandis Linn.f.)

(22)

Menurut Sumarna (2003) tinggi pohon jati dapat mencapai 30 - 45 m dengan tinggi batang bebas cabang 15 – 20 m dan diameter 220 cm. Pertumbuhan jati cukup cepat sampai umur 25 tahun namun setelah itu pertumbuhannya relatif lambat, pada umur 50 tahun produksinya dapat mencapai 417 m3/ha sedangkan pada umur 80 produksinya mencapai 539 m3/ha. Menurut Kuncahyo (1984) kurva pertumbuhan diameter jati dengan menerapkan metode multiphase sampling memiliki persamaan :

Log Y = 0,61 + 0,60 log X

dimana Y adalah nilai diameter dan X adalah umur pohon, sedangkan menurut Hermawan (1997) model pertumbuhan peninggi tegakan hutan tanaman jati memiliki persamaan :

Log Y = 0,814 + 0,388 log X

dimana Y adalah nilai peninggi dan X adalah umur pohon.

Di daerah Kapur Selatan pertimbangan masyarakat menanam jati dikarenakan tanah yang tandus, berkapur, suhu udara yang panas, dan tanaman jati ternyata cocok untuk ditanam didaerah dengan kondisi tesebut karena jati mampu beradaptasi dengan menggugurkan daun pada musim kemarau, selain itu jati memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan tidak memerlukan perawatan yang intensif. Masyarakat juga lebih memilih jati dibandingkan mahoni karena pertumbuhan mahoni lebih lama dan dari segi harga jual kalah jauh dibandingkan jati dan penyusutan pohon mahoni lebih cepat karena daunnya sering digunakan untuk makanan ternak (Awang, 2002). Berikut ini potensi tegakan hutan rakyat di salah satu desa di Kapur Selatan.

(23)

Tinjauan Umum Mahoni Daun Besar (Swietenia macrophylla King)

Swietenia macrophylla King yang terkenal dengan nama mahoni daun besar/lebar termasuk dalam genus Swietenia dan famili Meliceae. Jenis ini tergolong pohon yang mampu mengadakan pemangkasan alami dan dapat mencapai ketinggian 35 m. Tajuknya rapat dan lebat, daunnya berwarna hijau tua. Jenis ini tersebar di seluruh pulau jawa dari Jawa Barat sampai Jawa Timur (Samingan, 1982).

Mahoni daun besar tumbuh pada zona lembab dan menyebar luas secara alami atau dibudidayakan. Jenis ini merupakan jenis asli dari Meksiko, bagian tengah dan utara Amerika yaitu sekitar wilayah Amazon. Penanaman dan pembudidayaannya secara luas dilakukan di daerah Asia Bagian Selatan dan Pasifik (Departemen Kehutanan RI, 2001)

Menurut Samingan (1982) mahoni banyak digunakan sebagai bahan baku pelapis katagori mewah. Serat kayunya cukup indah memberikan lukisan-lukisan garis yang khas pada sayatan kayu, dengan berat jenis rata-rata nya 0,61 dan termasuk dalam katagori kelas awet III dan kelas kuat II – III, dengan kayu teras berwarna coklat kemerahan. Selain sebagai bahan baku kayu lapis mahoni juga banyak digunakan sebagai bahan bangunan, meubel, lantai, dan rangka pintu.

Manan (1994) menyatakan bahwa produksi mahoni daun besar pada tanah yang baik dapat menghasilkan kayu dua kali lebih besar dibandingkan jati yaitu 500 m3/ha, sedangkan pada tanah yang buruk hasilnya lebih buruk dibangdingkan dengan jati, sedangkan riap tanaman mahoni daun besar diperkirakan 15 – 17 m3/ha/th pada umur tanaman 40 – 50 tahun. Pada daur 50 – 60 tahun dalam sistem silvikultur tebang habis permudaan buatan (THPB) pertumbuhan riap volume rata-rata tahunan tegakan mahoni pada tanah subur yaitu 15 – 20 m3/ha dan pada tanah kurus yaitu 7 – 11 m3/ha, sedangkan kerapatannya mencapai 200 – 400 ph/ha pada umur 35 tahun (Ditjen Kehutanan, 1976).

Analisis Kelayakan Proyek

(24)

individu, dalam hal ini perorangan, perseroan, CV, atau kelompok usaha lain yang berhubungan dengan proyek. Hasil analisisnya disebut private return yang merupakan hasil untuk modal saham yang ditanam proyek. Analisis finansial didasarkan pada keadaan sebenarnya dengan menggunakan harga yang ditemukan di lapangan (real price).

Dengan mengetahui hasil analisis finansial, para pembuat keputusan juga dapat segera melakukan penyesuaian apabila proyek bejalan menyimpang dari rencana semula. Adapun menurut Gittinger (1986) salah satu cara untuk melihat kelayakan dari analisis finansial adalah menggunakan Cast Flow Analysis. Alasan penggunaan metode ini adalah adanya pengaruh waktu terhadap nilai uang selama umur ekonomis kegiatan usaha. Cast Flow Analysis dilakukan setelah komponen-komponennya ditentukan dan diperoleh nilainya. Komponen tersebut dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu penghasilan atau manfaat (benefit) dan biaya (cost). Selisih antara keduanya disebut manfaat bersih (net benefit) yang kemudian dijadikan nilai sekarang (present value) dengan mengalikannya dengan tingkat suku bunga (discount rate) yang ditetapkan. Tingkat diskonto ini harus senilai dengan opportunity cost of capital atau biaya marginal kegiatan tersebut dari sudut pandang pemilik modal atau peserta usaha dan biasanya tingkat diskonto merupakan tingkat usaha untuk meminjam modal.

Menurut Gittinger (1986) kriteria-kriteria yang digunakan dalam suatu evaluasi terhadap investasi proyek adalah Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR).

Net Present Value (NPV)

(25)

Menurut Perkins (1994) NPV diperoleh dengan mendiskonto keuntungan bersih yang dihasilkan oleh suatu proyek pada akhir masa proyek tersebut, menjadi nilai pada periode waktu terpilih dan biasanya pada waktu sekarang. Kelebihan utama dari NPV sebagai salah satu kriteria dalam melaksanakan analisis dan evaluasi terhadap proyek adalah bahwa kriteria ini mudah digunakan dan tidak bergantung pada ketentuan-ketentuan yang kompleks, mengenai dari mana biaya dan keuntungan didapatkan.

Benefit Cost Ratio (BCR)

(26)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis

Desa Selopuro termasuk salah satu desa di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, yang terletak 50 km kearah tenggara dari Kota Wonogiri. Desa Selopuro dikelilingi oleh 5 desa lainnya sebagai batas wilayah, yaitu:

1. Sebelah Utara : Desa Sumberejo

2. Sebelah Selatan : Desa Sendangsari dan Desa Selomerto, Kecamatan Giriwoyo

3. Sebelah Timur : Desa Batuwarno 4. Sebelah Barat : Desa Belikurip

Gambar 1 Peta situasi lokasi penelitian.

Selopuro dalam adminitrasi pemerintahan termasuk desa kelurahan yang terbagi ke dalam 7 lingkungan yaitu ; Watugeni, Pagersengon, Jarak, Selorejo, Sudan, Tulakan, dan Sidowayah, terbagi kedalam 5 rukun warga (RW) dan 15 Rukun tetangga (RT).

(27)

Tabel 2 Tata guna lahan Desa Selopuro

No Penggunaan Luas (ha) Persentase(%)

1.

Sumber : Monografi Desa tahun 2005

Desa Selopuro memiliki ketingggian tempat rata-rata 250 m dan masuk dalam tipe iklim C menurut katagori Schmidt dan Ferguson (data klimatologi 2005). Topografinya berbukit dengan struktur tanah yang didominasi oleh batuan gamping sebagai ciri khasnya, sedangkan jenis tanahnya banyak menunjukan jenis litosol mediteran coklat basa. Kondisi geografis dan struktur geologis dengan batuan kapur berlapis-lapis membuat daerah termasuk kawasan batu bertanah yang tanahnya terlihat sedikit dicelah-celah batu, tanah yang berkapur juga membuat kawasan ini cukup cocok untuk ditanami oleh jenis pohon jati (Tectona grandis).

Sarana dan Prasarana

(28)

kanak-kanak (Tk) dan 2 sekolah dasar (SD), tempat peribadatan terdiri dari 4 buah masjid dan 1 musolla, sedangkan sarana kesehatan yaitu 1 puskesmas pembantu.

Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk

Jumlah penduduk Desa Selopuro berdasarkan data tahun 2005 yaitu sebanyak 404 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 909 (50%) laki-laki dan 909 (50%) perempuan dengan jumlah total penduduknya 1818 jiwa. Sebanyak 1641 memeluk agama islam dan 177 memeluk agama kristen katholik. Sebagian besar penduduknya berusia antara 25 -55 tahun, yaitu berjumlah 561 jiwa (30,85%) yang terdiri dari 330 laki-laki dan 231 perempuan, sedangkan jumlah penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja atau berusia 15 tahun keatas dan kurang dari 60 tahun adalah 1435 jiwa (78,9%).

Sebagian besar penduduk Selopuro mata pencaharian utama yaitu sebagai petani hutan rakyat namun untuk kebutuhan hidup sehari-harinya hampir 50 % penduduk memiliki mata pencaharian sebagai buruh bangunan, secara keseluruhan mata pencaharian penduduk Selopuro dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Mata pencaharian penduduk Desa Selopuro No Mata

Pencaharian

Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Sumber : Monografi Desa tahun 2005

(29)

tingkat SD sebanyak 52,20%, tingkat SLTP 18,59%, tingkat SMU 8,85%, dan 0,4% yang tamat perguruan tinggi atau akademi.

Kondisi Hutan Rakyat

Sejarah pembangunan hutan rakyat di Desa Selopuro telah lama dirintis oleh para pemuda di desa tersebut, diawali atas keprihatinan akan kondisi lahan yang kian memburuk dikarenakan areal yang berbukit dan berbatu gamping maka pada akhir tahun 70-an diawali gerakan penghijauan diareal berbatu tersebut dengan tanaman kehutanan yaitu jenis jati yang pada awalnya bibit dikumpulkan dari areal hutan negara yang telah di tanami jati. Akhirnya usaha yang dilakukan oleh para pemuda diikuti oleh masyarakat desa dengan kesadaran sendiri mulai menanam jati dan mahoni disekitar pekarangan dan tegalannya, penanaman dilakukan pada musim penghujan dilahan yang tidak bisa ditanami tanaman pangan atau disela-sela batu yang ada tanahnya. Masyarakat desa mencari sendiri bibit-bibit tanaman tersebut atau meminta bantuan dari Perhutani.

Sejalan dengan perkembangannya terbentuklah organisasi-organisasi kecil kelompok tani, yang pada tahun 80-an mulai diorganisisir dengan baik. Saat ini di Selopuro terterdapat 5 Kelompok Tani Hutan Rakyat (KHR) yaitu KHR Percabaan di Pagersengon, KHR Ngudi Rejeki di Jarak, KHR Ngudi Mulyo di Sudan, KHR Sido Mulyo di Selorejo, sedangkan satu KHR di Watugeni sedang dalam proses penguatan.

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Kondisi dan Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Selopuro

Kondisi petani dan pengelolaan hutan rakyat diperoleh berdasarkan hasil pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara terhadap 30 responden yang terpilih berdasarkan umur pengelolaannya, dari 30 responden yang terpilih hampir 50 % petani telah mengelola hutan rakyatnya lebih dari 25 tahun.

Karakteristik Responden

Pengelolaan hutan rakyat di Desa Selopuro dilakukan oleh petani yang berumur di atas 35 tahun, dengan komposisi kelompok umur 35-45 (26,66%), kelompok umur 46-55 (53,33%) dan kelompok umur 56-65 (20%), dengan rata-rata umur responden 50 tahun. Menurut Kusnedi (2000), kelompok umur produktif yaitu antara umur 15-64 tahun, sedangkan umur tidak produktif yaitu umur 65 tahun keatas. Umur ini akan berpengaruh terhadap kegiatan pengelolaan hutan rakyat, di desa selopuro terlihat bahwa petani hutan rakyat berada pada umur produktif untuk mengelola hutannya.

Berdasarkan tingkat pendidikan dari 30 responden sebanyak 40 % hanya lulus Sekolah Dasar (SD), 30 % lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), 23,33% lulus Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA), dan hanya 6,6 % yang berpendidikan sarjana. Tingkat pendidikan ini akan berpengaruh terhadap penyerapan teknologi dan informasi tentang pengelolaan hutan rakyat dan informasi pasar.

Lebih dari 50% responden mempunyai pekerjaan tetap sebagai petani, yaitu petani hutan rakyat dan juga petani tanaman semusim, sisanya bekerja sebagai buruh, pegawai negeri, guru, dan pensiunan. Untuk menambah penghasilan biasanya responden mempunyai pekerjaan sampingan sebagai tani, buruh tani, wiraswasta, dan beternak.

(31)

Riwayat Pengelolaan Hutan Rakyat Sertifikasi Lestari

Kondisi lahan sebelum menjadi hutan rakyat pada umumnya dipergunakan untuk pertanian berupa palawija, semak belukar dan lahan kosong/tidur. Penggunaan lahan untuk pesawahan sangat jarang atau bahkan tidak ada dikarenakan topografi yang curam dan berbatu, untuk sawah biasa petani menggunakan area waduk yang airnya kering pada musim kemarau.

Petani mulai menanam jati dan mahoni dikarenakan hasil palawija yang kurang baik pada areal berbatu dan banyak menyebabkan erosi tanah pertaniannya. Upaya penanaman tanaman keras atau kehutanan juga diawali oleh keprihatinan warga akan krisis air bersih dan pemanfaatan lahan yang berbatu dan topografi yang curam.

Penghijauan mulai dilakukan oleh pemuda Misman dan Sayadi di Lingkungan Pagersengon yang didasari keprihatinan akan kondisi tersebut pada awal tahun 70-an, dengan menggandeng pemuda lainya seperti Sarno (Jarak), dan Sukimin (Sidowayah). Pada awalnya pengembangannya petani hutan rakyat di Desa Selopuro hanya menanam jati yang bibitnya diperoleh dengan mengumpulkannya dari induk jati yang besar dan lurus yang diambil hutan negara dekat desa, pada perkembangannya petani mulai menanam mahoni karena dapat dipanen lebih cepat dan dapat tumbuh pada lahan berbatu.

Akhirnya pada tahun 1971 para pemuda membentuk Kelompok Tani Hutan Rakyat (KHR) untuk bisa mengorganisir penghijauan yang dilakukan, hal ini dikarenakan luasnya Desa Selopuro yang terbagi-bagi kedalam 7 Lingkungan (setingkat RW), KHR yang terbentuk awal yaitu KHR Percabaan di Lingkungan Pagersengon, yang akhirnya berdampak terhadap lingkungan di sekitarnya untuk mendirikan kelompok-kelompok tani seperti KHR Ngudi Rejeki di Lingkungan Jarak (1975), Tani Mulyo di Lingkungan Watugeni (1978), KHR Ngudi Rahayu di Lingkungan Sudan (1985), KHR Sidomulyo di Lingkungan Pendem (1987), KHR Ngudimulyo di Lingkungan Tulakan (1987), dan KHR Sidodadi di Lingkungan Sidowayah (1990). (Buku Kegiatan Kelompok, 1993).

(32)

Swadaya Masyarakat (LSM) lokal PERSEPSI (Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi Sosial) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada tahun 2004 hutan rakyat di Selopuro telah lulus sertifikasi dan dikukuhkan sebagai Hutan Rakyat Sertifikasi pertama di Indonesia. Pada tabel berikut dapat dilihat secara umum sejarah perkembangan hutan rakyat Selopuro menjadi Hutan Rakyat Sertifikasi.

Tabel 4 Sejarah perkembangan hutan rakyat di Selopuro

Periode Tahun Keterangan

Rintisan 1968-1971 1. Uji coba tanaman kayu

2. Awal penyadaran masyarakat .

3. Kerjasama dengan Perhutani pengadaan bibit.

Penataan 1980-an

1. Pembuatan Kebun Bibit Desa

2. Pembentukan Kelompok Tani Hutan Rakyat. 3. Aturan kepengurusan dan aturan kelola hutan

Pengembangan 1990-an 1. Penguatan hak petani hutan rakyat 2. Pembuatan sertifikat tanah

3. Pengembangan jaringan kelola hutan rakyat

Penguatan 2000 -

Sekarang 1. Kerja sama dengan PERSEPSI dan LEI untuk memprakarsai sertifikasi pengelolaan hutan rakyat lestari.

2. Penguatan kelompok dengan pembentukan Forum Komunikasi Petani Sertifikasiv(FKPS)

3. Pengembangan kelstarian dan pasar kayu serifikasi

4. Alih pengalaman pelestarian hutan ke generasi baru

5. Menjaga kepercayaan

Sumber : PERSEPSI (2005).

Kondisi Pengelolaan dan Cara Budidaya

(33)

pemukiman, sedangkan pekarangan jaraknya dekat dengan pemukiman, letaknya di sekitar halaman depan atau belakang rumah pemiliknya.

Lebih dari separuhnya (66,66%) responden petani hutan rakyat di Selopuro memiliki lahan tegalan dan pekarangan, sisanya (26,66%) memiliki tegal, pekarangan, dan sawah pertanian, dan (6,66%) hanya memiliki pekarangan saja. Pada lahan pekarangan biasanya petani menerapkan pola agroforestry dengan menanam tanaman kayu yaitu jati dan mahoni yang dicampur dengan tanaman buah-buahan, sedangkan di tegalan petani menanam tanaman kayu yang dicampur dengan tanaman palawija, dan tanaman buah-buahan tetapi setelah tanaman kayu menaungi tanaman pertanian/palawija tumpangsari dihentikan. Lahan sawah merupakan lahan retribusi yang letaknya di pinggiran waduk yang hanya ditanami petani pada musim kemarau ketika debit air waduk berkurang.

Luas rata-rata kepemilikan lahan hutan rakyat yang dikelola oleh responden Desa Selopuro untuk tegalan sebesar 0.8 ha, dan 0,2 ha untuk pekarangan yang umumnya berstatus milik sendiri dengan jarak rata-rata dari tempat tinggal sekitar 0,5 - 2 km.

Sebanyak (50%) responden meluangkan waktu seminggu 2 kali untuk pengontrolan lahan tegalannya dan setiap hari untuk lahan pekarangan. Sebagian lainnya tidak mempunyai waktu khusus dan terjadwal karena selain hutan rakyat, responden mempunyai pekerjaan lain yang rutin setiap hari dilakukan seperti pegawai negeri, guru, dan usaha meubel. Tenaga kerja untuk mengelola hutan rakyat berasal dari anggota keluarga atau tenaga orang lain (buruh), dengan upah harian rata-rata sebesar Rp 20.000/hari.

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Selopuro terdiri dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan penebangan. Kegiatan penyiapan lahan diawali dengan pembersihan lahan dari semak belukar dan bekas tebangan yang dilanjutkan pembuatan teras untuk mengurangi erosi tanah dikarenakan tofografi Desa Selopuro yang berbukit dan berbatu. Selain membuat teras, persiapan lahan yang lain adalah membuat lubang tanaman (±10-15 cm) dan batas lahan dengan orang lain.

(34)

tersebut pada awalnya berasal dari cabutan dari tempat lain yaitu hutan milik negara (PERHUTANI), ada juga yang berasal dari biji yang dikumpulkan juga dari hutan milik PERHUTANI. Tidak ada jarak tanam, karena penanaman hanya dilakukan diantara sela-sela batu. Baru pada tahun 1980-an kegiatan penanaman lebih intensif dengan bibit yang berasal dari kebun bibit desa (KBD) yang dibuat oleh para pemuda. Periode selanjutnya tahun 1990-an sampai saat ini adalah periode permudaan alam, permudaan dilakukan dengan trubusan dan penanaman pengayaan yaitu penyebaran bibit yang secara alami tumbuh berlimpah di bawah tegakan dari tempat-tempat yang rapat ke tempat-tempat yang jarang.

Pada prakteknya kegiatan pemeliharaan tanaman jarang dilakukan oleh petani responden dan para petani di Selopuro, petani cenderung membiarkan lahan hutannya tumbuh dengan sendirinya. Pemeliharaan yang dilakukan hanya berupa pendangiran tanah dan pembabatan tumbuhan bawah yang dilakukan satu kali dalam setahun itu pun pada tanaman muda yang berumur 1-2 tahun. Pemupukan jarang dilakukan, hanya dilakukan pada saat petani memupuk tanaman pertanian atau palawijanya saja yang akan memberikan dampak terhadap tanaman kayu di sekitarnya.

Dalam sistim pemanenan kayu yang dilakukan oleh petani Selopuro tidak terdapat sistem pengaturan hasil, hampir seluruh petani responden memanen kayu pada saat membutuhkan uang dalam jumlah besar, biasanya pada saat tahun ajaran baru untuk biaya sekolah, berobat, biaya hajatan, atau keperluan kayu untuk membangun rumah sendiri. Pertimbangan pemanenan kayu ditentukan berdasarkan umur pohon dan diameter pohon, umur tebang rata-rata petani responden adalah 20 tahun, dengan diameter rata-rata 20 cm untuk tanaman jati, dan umur tebang rata-rata mahoni 15 tahun dengan diameter rata-rata 15 cm.

(35)

Sebagian besar responden (80%) menjelaskan hutan rakyat bukan merupakan sumber ekonomi/pendapatan utamanya, hutan rakyat hanya memberikan kontribusi separuh dari pendapatannya. Penebangan kayu merupakan pilihan terakhir pada saat mendesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada hutan rakyat di Selopuro pencurian sangat jarang atau bahkan tidak pernah terjadi hal ini karena masyarakat telah menyadari manfaat dan fungsi hutan rakyat bagi kelangsungan hidupnya, selain itu sangsi sosial yang telah lama diterapkan di desa tersebut, dalam setiap penebangan satu pohon masyarakat harus menanam 10 pohon, walaupun tidak tertulis tetapi masyarakat sangat menaati peraturan tersebut.

Jika diberikan kompensasi penundaan untuk tidak menebang pohon dan diberi insentif (penggantian) atas penundaan tersebut, hampir seluruh responden mau menerimanya dengan syarat-syarat yang jelas.

Harapan para responden adalah agar keberadaan hutan rakyat di desanya tetap lestari, dan adanya perhatian pemerintah untuk membantu masyarakat yang kurang mampu dan bantuan penyuluhan untuk peningkatan pengetahuan petani, agar petani mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi.

Deskripsi Tegakan Hutan Rakyat

Seperti dijelaskan dalam metodologi penelitian, data primer yang diukur adalah data tegakan pohon yang mencakup diameter, tinggi dan umur pohon berdasarkan umur pengelolaan lahan yang ditentukan berdasarkan umur tanaman tertua pada setiap lahan. Pengukuran dilakukan secara sensus yaitu lima lahan tegalan dan lima lahan untuk pekarangan yang masing-masing mewakili umur pengelolaan 5 - 25 tahun.

(36)

Tabel 5 Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola tegalan untuk tanaman jati.

Tabel 6 Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola tegalan untuk tanaman mahoni.

Umur

Dari Tabel 5 dan 6 diketahui bahwa kerapatan tegakan secara umum meningkat untuk tanaman jati dan mahoni sejalan dengan bertambahnya umur, kecuali pada umur pengelolaan 15 tahun pada tanaman mahoni dikarenakan daur ekonomis untuk tanaman mahoni 15 tahun. Pada umur pengelolaan 25 tahun kerapatan pohon/ha mengalami penurunan dikarenakan petani melakukan banyak penebangan pohon pada umur ini. Diameter rata-rata terbesar terdapat pada umur pengelolaan 20 tahun untuk jati dan 25 tahun untuk mahoni. Deskripsi tegakan keseluruhan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

(37)

Dari tabel 7 diketahui bahwa secara keseluruhan pada tegalan rata-rata diameter, kerapatan pohon per hektar, dan rata-rata volume meningkat sejalan dengan bertambahnya umur, pertambahan ini dikarenakan petani tidak banyak melakukan penebangan, hanya pada waktu mendesak baru akan menebang pohon pada pohon-pohon berumur 20-25 tahun saja. Kerapatan dan volume rata-rata mengalami penurunan pada umur pengelolaan 25 tahun dikarenakan pada umur ini petani melakukan penebangan banyak pohon. Diameter rata-rata terbesar terdapat pada umur pengelolaan 25 tahun. Pada tabel 10 dan 11 disajikan deskripsi tegakan hutan rakyat dengan pola pekarangan.

Tabel 8 Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola pekarangan untuk tanaman jati.

Tabel 9 Sebaran potensi tegakaan hutan rakyat pola pekarangan untuk tanaman mahoni.

(38)

diameter rata-rata, kerapatan pohon per hektar, dan rata-rata volume pada tegal relatif lebih besar pada semua umur pengelolaan, hal ini disebabkan pada luasan yang berbeda dan pada lahan pekarangan petani biasanya menanam tanaman palawija di bawah tegakan, pada tegalan anakan dibiarkan tumbuh dengan sendirinya. Deskripsi tegakan keseluruhan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 10 Sebaran potensi tegakan hutan rakyat pola pekarangan.

Umur Pengelolaan

Diameter Rata-rata (cm)

Kerapatan Pohon (ph/ha)

Volume

Rata-rata (m3/ha)

5 10,7 103 2,35

10 10,8 353 9,08

15 14,4 547 43,33

20 16,3 430 81,08

25 15,5 306 60,86

(39)

0

Um ur Pengelolaan (Th)

K

Gambar 2 Sebaran kelas diameter pada berbagai variasi umur tegakan untuk lahan tegalan.

Berdasarkan grafik sebaran kelas diameter di atas, pada tegalan dapat dijelaskan bahwa kerapatan tegakan semakin kecil pada kelas diameter besar dan kerapatan tiap umur pengelolaan didominasi oleh kelas diameter 10-20 cm, hal ini dikarenakan petani mulai melakukan penanaman intensif pada waktu atau tahun yang bersamaan, yaitu pada tahun 1980-an kurang lebih 20 tahun yang lalu. Pada kelas diameter 20-30 cm terjadi penurunan kerapatan tegakan yang cukup signifikan dikarenakan petani banyak menebang pohon pada diameter ini, dimana petani menerapkan daur ekonomis jati dan mahoni pada kelas diameter 20-30 cm.

0

(40)

Grafik hubungan kelas diameter dengan kerapatan pohon pada pekarangan di atas tidak berbeda jauh dengan pada tegalan, semakin besar kelas diameternya maka kerapatannya berkurang, kerapatan pohon tiap umur pengelolaan juga di dominasi oleh kelas diameter 10-20 cm. Namun bila dibandingkan antara tegalan dan pekarangan kerapatan tiap umur pengelolaannya kerapatan pada tegalan lebih rapat, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

533

Gambar 4 Perbandingan kerapatan pohon per hektar tegalan dan pekarangan. Dari grafik di atas terlihat jelas bahwa kerapan pohon per hektar tiap umur pengelolaan pada tegalan lebih rapat dibandingkan pekarangan, kecuali pada umur pengelolaan 15 tahun hal ini mungkin disebabkan petani lebih memilih penebangan mahoni yang telah mencapai daur di tegalan. Dari grafik di atas diketahui bahwa kerapatan pohon perhektar pada tegalan dan pekarangan di Selopuro kurang dari 600 pohon per hektarnya.

Potensi Karbon Tegakan Hutan Rakyat

(41)

besarnya biomassa adalah parameter umur, kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh.

Perhitungan biomassa tegakan dengan menggunakan persamaan allometrik seperti dijelaskan dalm metodologi penelitian ini, berdasarkan hasil analisis data di lapangan diperoleh data karbon berdasarkan umur tegakan yang disajikan pada gambar 5 dan 6 berikut ini.

9.36

Gambar 5 Potensi rata-rata karbon total pada berbagai variasi umur tegakan di tegalan.

(42)

dengan pertambahan umur pengelolaannya, terjadi penurunan pada umur pengelolaan 25 tahun dibandingkan dengan umur pengelolaan 20 tahun dikarenakan penebangan yang dilakukan petani pada umur tanaman 25 tahun yang berpengaruh terhadap kerapatan pohonn per hektarnya, ini membuktikan bahwa jumlah karbon dipengaruhi oleh kerapatan pohon. Sama dengan pola tegalan, karbon rata-rata pada pekarangan pun meningkat sejalan dengan bertambahnya umur pengelolaan, namun kisaran karbon rata-rata perhektarnya lebih kecil dibandingkan dengan tegalan yaitu berkisar antara 2,49 – 29,90 tonC/ha. Selain umur tegakan dan kerapatan pohon, peningkatan karbon tegakan juga dipengaruhi oleh cara pengelolaan hutan rakyat yang berbeda-beda pada setiap petani seperti cara penebangan, pemeliharaan, dan penanaman, seperti dijelaskan oleh Murdiyarso (2003) bahwa panjang jangka penyimpanan karbon di dalam hutan akan sangat tergantung pada pengelolaan hutannya sendiri termasuk cara-cara mengatasi gangguan yang mungkin terjadi.

Analisis Finansial

Kelayakan usaha hutan rakyat di Desa Selopuro dapat diketahui dengan melakukan analisis finansial, menurut Gittinger (1986) salah satu cara untuk melihat kelayakan dari analisis finansial adalah menggunakan Cast Flow Analysis. Alasan penggunaan metode ini adalah adanya pengaruh waktu terhadap nilai uang selama umur ekonomis kegiatan usaha. Cast Flow Analysis dilakukan setelah komponen-komponen biaya dan pendapatan ditentukan dan diperoleh nilainya. Untuk mendapatkan nilai sekarang dari masing-masing komponen maka dikalikan dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Dalam penelitian ini dibuat skenario tingkat suku bunga yang digunakan yaitu 10%, 12%, 15%, penggunaan berbagai suku bunga tersebut untuk mengetahui kelayakan usaha hutan rakyat pada berbagai fluktuasi tingkat suku bunga saat ini. Suku bunga pinjaman dipakai untuk menentukan nilai kini dari biaya dan penerimaan yang didasarkan pada tingkat biaya investasi jangka panjang yang diberikan oleh bank.

(43)

saat ini dari masing-masing komponen, yang selanjutnya dapat diketahui rata-rata perhektarnya saat ini selama waktu pengelolaan hutan rakyat.

Komponen Biaya

Konsep biaya yang digunakan adalah biaya pembangunan atau pengelolaan hutan rakyat (establishment cost). Biaya tersebut dihitung seluruhnya sepanjang waktu pengelolaan hutan rakyat. Komponen biaya yang dihitung adalah biaya penyiapan lahan, penanaman, perawatan, dan biaya tahunan Biaya-biaya ini dihitung dengan mengasumsikan banyaknya atau lamanya hari orang kerja (HOK) yaitu waktu dan tenaga yang dikeluarkan petani untuk mengerjakan komponen tersebut yang dikalikan dengan rata-rata upah harian tenaga buruh di Selopuro yaitu Rp 20.000/hari. Untuk mengetahui rata-rata perhektarnya dibagi dengan luasan hutan rakyat yang dimiliki petani responden, setelah itu dirata-ratakan untuk 30 responden petani.

Dari perhitungan diatas diketahui biaya rata-rata pengelolaan hutan rakyat yang ditujukkan pada tabel berikut ini.

Tabel 11 Komponen biaya untuk pengelolaan hutan rakyat. No Komponen Biaya Rata-Rata

Biaya Per Ha (Rp/ha)

Biaya di Keluarkan

(Tahun ke) 1. Tanaman Pertanian

a. Bibit 255.250 1 - 5

b. Penyiapan Lahan dan Penanaman

140.000 1 - 5 2. Penyiapan Lahan HR

1 a. Pembersihan Lahan 3.297.354 dan Pembuatan Teras

(44)

pada tahun-tahun awal pengelolaan yaitu umur 1 - 5 tahun, dan komponen biaya pengelolaan hutan rakyat. Biaya pengelolaan tanaman pertanian terdiri dari biaya pengadaan bibit untuk masing-masing tanaman jagung Rp 150.000/ha, kacang tanah Rp 25.000/ha dan kedelai Rp 80.250/ha. Tanaman-tanaman ini ditanam bergantian sepanjang tahun, maka total biaya pengadaan bibit selama satu tahun adalah Rp 255.250/ha. Rata-rata HOK untuk penyiapan lahan dan penanaman tanaman pertanian adalah 7 HOK yang bila dikalikan dengan upah rata-rata harian Rp 20.000 maka biaya yang diperlukan adalah Rp 140.000/ha. Komponen biaya pengelolaan hutan rakyat terdiri dari penyiapan lahan, sebelum penanaman biasanya petani melakukan pembersihan lahan dari semak belukar dan pembuatan teras untuk mencegah erosi, rata-rata HOK untuk penyiapan lahan ini dari 30 responden adalah 75 HOK. Setelah dikalikan upah harian Rp 20.000/hari dan dirata-ratakan diperoleh biaya penyiapan lahan sebesar Rp 3.297.354/ha, penyiapan lahan ini dilakukan pada tahun pertama pengelolaan. Penanaman sendiri terdiri dari pembuatan lubang tanam dan tanam dengan lama HOK rata-ratanya 8 HOK, dan dihasilkan biaya penanaman sebesar Rp 298.912/ha yang dilakukan juga pada tahun pertama pengelolaan. Untuk perawatan terdiri dari babat dan wiwil dilakukan pada tahun ke 3 dan 4 dengan biaya rata-rata perhektarnya Rp 1.313.186/ha, sedangkan pemupukan dilakukan pada tahun ke 1 sampai tahun ke 5 dengan biaya rata-rata Rp 248.539/ha. Biaya tahunan berupa pajak yang dikeluarkan sepanjang tahun pengelolaan sebesar Rp 248.539/ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 6.

(45)

Pendapatan

Pendapatan petani dari hutan rakyat terdiri dari penerimaan dari hasil panen mahoni dan panen jati, selain itu petani juga menanam tanaman semusim di bawah tegakan yang dipanen setiap tahunnya selama waktu pengelolaan. Petani sebenarnya tidak mempunyai waktu yang pasti untuk memanen kayu dari hutan rakyatnya, namun menurut kebanyakan petani responden daur ekonomis untuk mahoni yaitu pada tahun ke 15 dan untuk jati pada tahun ke 25. Pemanenan pohon mahoni dan jati sendiri sebenarnya disesuaikan dengan jumlah kebutuhan petani, jadi tidak ada patokan berapa jumlah pohon pasti yang dipanen, selain itu kebanyakan petani melakukan tebang pilih tidak melakukan tebang habis pada hutan rakyatnya. Untuk melakukan analisis finansial maka dibuat skenario dimana petani mulai melakukan penjarangan pada umur pengelolaan 12 tahun, penjarangan dilakukan setiap 2 tahun sejak tanaman umur 12 tahun, dan tebang habis akhir daur pada umur 25 tahun. Jumlah perolehan tebangan penjarangan dan tebang akhir dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 12 Potensial penebangan pohon selama satu daur pengelolaan. Tahun

ke

Jumlah Pohon Perkiraan Volume (m3/ha)

Kegiatan

Jati Mahoni Jati Mahoni

12 17 22 10,01 3,89 Tebang Penjarangan

(46)

berdiri rata-rata sebesar Rp 335.000/m3 untuk jati dan Rp 250.000/m3 untuk mahoni.

Untuk tanaman semusim biasanya petani menanam jagung, kacang tanah, dan kacang kedelai yang dipanen bergantian selama satu tahun. Kisaran harga untuk tanaman semusim pada saat penelitian adalah Rp 1.100/kg untuk jagung, Rp 2.000/kg untuk kacang tanah, dan Rp 3.000/kg untuk kacang kedelai. Dari hasil panen petani responden diketahui bahwa rata-rata pendapatan petani dari tanaman semusim adalah sebesar Rp 1.460.000 pertahunnya.

Komponen pendapatan petani selama daur pengelolaan hutan rakyat untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel berikut.

Tabel 13 Komponen pendapatan petani dari pengelolaan hutan rakyat. No Komponen

Pendapatan

Total Pendapatan (Rp/ha)

Pendapatan diperoleh (Tahun ke)

1. Penjarangan 4.324.369 12,14

2. Penjarangan 8.210.119 16,18 3. Penjarangan 14.630.438 20, 22 4. Tebangan Akhir 33.426.281 25 5. Pertanian 1.460.400 1 - 5

(47)

tahun. Besarnya persediaan karbon yang dapat dihasilkan untuk dijual telah dihitung dan diketahui potensi untuk masing-masing periode.

Pendapatan petani dari penjualan karbon diketahui setelah jumlah karbon yang akan dijual dikalikan dengan harga karbon, jumlah karbon yang akan diperhitungkan ini berdasarkan jumlah penambahan karbon (rate) pada tahun verifikasi, sehingga jumlah stok karbon pada tahun verifikasi sebelumnya tidak akan diperhitungkan kembali. Pada penelitian ini jumlah stok karbonmerupakan rata-rata dari stok karbon pada tegalan dan pekarangan. Harga karbon yang digunakan berdasarkan kisaran harga karbon yang berlaku dipasar karbon internasional saat ini, menurut Smith dan Scherr (2002) kisaran harga karbon internasional yaitu antara 8–40 USD/tonC, walaupun demikian kisaran yang sering dipakai pada proyek karbon kehutanan antara 15-20 USD/tonC, hal ini berdasarkan laporan proyek karbon berskala kecil di beberapa negara berkembang. Oleh karena harga karbon yang bervariasi maka dalam penelitian ini dibuat 3 skenario harga jual karbon yaitu 15, 18, dan 21 USD/tonC (1 USD = Rp 9.500). Hal ini dilakukan untuk melihat kelayakan usaha pengelolaan hutan rakyat melalui skema penjualan karbon pada berbagai variasi harga karbon. Pendapatan petani dari skema penjualan karbon ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 14 Komponen pendapatan petani hutan rakyat dari penjualan karbon. Jumlah

Total Pendapatan t-CER (Rp/ha)

23,37 15,49 2.207.325 2.648.790 3.090.255 15 33,85 10,48 1.792.080 1.792.080 2.090.760 20

Perbandingan NPV dan BCR Pengelolaan Hutan Rakyat Dengan dan Tanpa Skema Perdagangan Karbon.

(48)

dikalikan dengan faktor diskon pada berbagai tingkat suku bunga. NPV dan BCR untuk pengelolaan hutan rakyat tanpa perdagangan karbon dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 15 NPV dan BCR pada berbagai suku bunga untuk pengelolaan hutan rakyat tanpa skema perdagangan karbon.

Suku Bunga

Pengelolaan hutan rakyat tanpa melakukan penjualan jasa karbon hanya layak secara finansial pada tingkat suku bunga 10%, dan menjadi tidak layak bila tingkat suku bunga meningkat menjadi 12% dan 15%. Hal ini dilihat dari nilai pendapat bersih petani saat ini (NPV). Dari tabel di atas diketahui pada tingkat suku bunga 10% NPV bernilai positif yang berati bahwa pengelolaan hutan rakyat layak untuk diusahakan, sedangkan untuk suku bunga 12 dan % 15% bernilai negatif yang menandakan bahwa pengelolaan hutan rakyat tidak layak. BCR untuk suku bunga 10% bernilai > 1 oleh karenanya pengelolaaan hutan rakyat layak untuk diusahakan dan bernilai <1 untuk suku bunga 12% dan 15% berarti pengelolaan hutan rakyat tidak layak.

NPV dan BCR untuk pengelolaan hutan rakyat dengan skema penjualan karbon pada berbagai tingkat suku bunga dan berbagai harga disajikan pada tabel berikut.

Tabel 16 NPV dan BCR pada berbagai suku bunga dan berbagai harga karbon untuk pengelolaan hutan rakyat dengan skema perdagangan karbon. Suku

Bunga (%)

NPV (Rp/ha) BCR Kelayakan

15 USD 18 USD 21 USD 15 USD 18 USD 21 USD

(49)

Dengan skema perdagangan karbon pengelolaan hutan rakyat layak secara finansial pada tingkat suku bunga 10% yang berlaku untuk berbagai skenario harga karbon, apabila suku bunga naik menjadi 12% dan 15% maka pengelolaan hutan rakyat menjadi tidak layak untuk berbagai skenario harga karbon. Dapat dilihat pada tabel NPV yang bernilai positif sampai tingkat suku bunga 10% untuk berbagai skenario harga karbon, dan bernilai negatif apabila terjadi peningkatan tingkat suku bunga menjadi 12% dan 15% untuk berbagai skenario harga karbon. BCR bernilai lebih >1 hanya pada tingkat suku bunga 10% dan 12% untuk berbagai skenario harga yang menunjukkan pengelolaan hutan rakyat layak untuk diusahakan, dan bernilai <1 pada tingkat suku bunga 15% yang menunjukkan pengelolaan hutan rakyat menjadi tidak layak untuk diusahakan.

Bila dibandingkan pendapatan bersih petani dari pengelolaan hutan rakyat dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, pendapatan bersih petani dari pengelolaan hutan rakyat dengan skema perdagangan karbon lebih besar dari pengelolaan tanpa skema perdagangan karbon pada harga karbon 18 USD dan 21 USD dengan tingkat suku bunga 10%, Sedangkan pada harga karbon 15 USD pengelolaan hutan rakyat dengan penjualan karbon tidak lebih menguntungkan dari tanpa penjualan karbon. Keikutsertaan hutan rakyat dalam skema perdagangan karbon tidak selalu meningkatkan pendapatan bersih, tergantung pada besarnya harga karbon yang berlaku. Dari hasil simulasi di atas, maka dalam pengelolaan hutan rakyat untuk skema perdagangan karbon perlu dilakukan penekanan tehadap biaya-biaya transaksi dan pertimbangan harga karbon yang memadai untuk skema perdagangan karbon hutan skala kecil, agar kegiatan ini menjadi layak secara finansial. Skema ini tidak akan berjalan bila hal tersebut tidak diperhatikan karena dari hasil simulasi pendapatan petani tanpa penjualan karbon sudah memberikan keuntungan yang cukup pada tingkat suku bunga 10%.

Selain itu diperlukan kerjasama berbagai pihak agar skema perdagangan karbon ini dapat

berjalan, karena seharusnya hutan rakyat yang sudah disertifikasi di Desa Selopuro ini bisa

dijadikan model untuk perdagangan karbon. Kelengkapan dan ketersediaan data secara rutin

sebagai akibat dari proses sertifikasi hutan rakyat lestari sangat menguntungkan untuk proyek

(50)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Petani hutan rakyat Selopuro telah melakukan pengelolaan hutan rakyat dengan baik untuk melestarikan hutannya, terbukti secara ekologis daerah yang tadinya kering sekarang sudah bermunculan mata air dan juga terbukti dengan diperolehnya sertifikasi hutan rakyat pertama yang lulus sertifikasi. 2. Kerapatan tegakan pada tegalan untuk jati berkisar antara 41-350 pohon/ha

dan mahoni 41-237 pohon/ha, sedangkan pada pekarangan untuk jati berkisar antara 56-181 pohon/ha dan mahoni 47-374 pohon/ha. Volume tegakan pada tegalan berkisar antara 6,86-93,65 m3/ha dan pekarangan berkisar antara 2,34 - 81,07 m3/ha.

3. Potensi karbon untuk tegalan berkisar antara 9,36-74,627 tonC/ha, sedangkan untuk pekarangan berkisar antara 2,49-29,90 tonC/ha untuk umur pengelolaan 5 sampai dengan 25 tahun. Potensi karbon tegakan meningkat sejalan dengan pertambahan umur tegakan.

4. Pengelolaan hutan rakyat tanpa penjualan karbon hanya layak secara finansial pada tingkat suku bunga 10%, dan untuk pengelolaan hutan rakyat dengan penjualan karbon layak secara finansial pada tingkat suku 10% dengan harga karbon 15-21 USD/tonC. Skema penjualan karbon lebih menguntungkan pada harga karbon 18 dan 21 USD dengan tingkat suku bunga kurang dari 10%.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian tentang simulasi potensi karbon untuk dapat melihat pengaruh peningkatan karbon pada umur yang lebih panjang secara dinamis.

2. Perlu adanya dukungan dari berbagai pihak khususnya pemerintah untuk pengembangan hutan rakyat untuk penjualan karbon melalui mekanisme yang sederhana agar bisa memberikan manfaat tambahan bagi petani hutan rakyat. 3. Peran aktif petani dalam monitoring potensi hutan rakyat dan potensi karbon

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho WC. 2002. Model Pendugaan Biomassa Pohon Mahoni (Swietenia macrophylla) di Kesatuan Pemangku Hutan Cianjur PT Perhutani Unit III Jawa Barat [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan. [Anonim]. 2006. Perdagangan Karbon Promadona Devisa Masa Depan.

http://www.cendrawasihpos.com/Alamku/artikel2.htm[26 okt 2006] Arupa. 2002. Hutan Rakyat di Wonosobo (Kearifan Rakyat yang Menjadi Sumber

Inspirasi Perda No. 22/2001) httpw://www.arupa.or.id/article-list/index-list.htm/news/januari 2002/index.htm.(30 Januari 2002).

Awang SA. 2001. Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan. Pustaka Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta.

Awang SA. 2002. Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta.

Barus V. 1997. Hutan Rakyat, Hutan Untuk Masa Depan. Yayasan Lestari Budaya. Jakarta.

Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A Primer. FAP Forestry Paper No. 134. FAO USA.

Chapman SB. 1976. Production Biology and Nutrient Budget, in : Chapman SB (Eds). Methode in Plant Ecology. Second Edition. Blockwell Scientific Publisher. Oxford.

Departemen Kehutanan RI. 1992. Manual Kehutanan. Dephut. Jakarta.

Departemen Kehutanan RI. 2001. Informasi Singkat Benih Edisi-5. Direktorat Pembenihan Tanaman Hutan. Jakarta.

Direktorat Jenderal RRL (Dirjen RRL). 1995. Peranan Pembangunan Hutan Rakyat Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Mutu Lingkungan. Makalah Dalam Rangka Seminar Nasional Hutan Rakyat Menuju Modal Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan; Jakarta, 29 Agustus 1995.

Ditjen Kehutanan. 1976. Pedoman Penanaman Mahoni (Swietenia macrophylla King). Departemen Pertanian. Jakarta.

Draper NR, Smith H. 1992. Analisis Regresi Terapan [Terjemahan]. Jakarta: Gramedia. Edisi 2.

Gittinger JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Universitas Indonesia-Press. Jakarta.

Grant WE, Pedersen EK, Marin SL.1997. Ecology ang natural Resource Management, System Analysis and Simulation. John Wiley and Sons, Inc, New York.

Gambar

Tabel 1 Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo, Kabupaten Wonogiri tahun 1998.
Gambar 1 Peta situasi lokasi penelitian.
Tabel 2   Tata guna lahan Desa Selopuro
Tabel 3  Mata pencaharian penduduk Desa Selopuro
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,

[r]

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas Kramat melalui wawancara dengan petugas kesehatan menunjukkan dari ke lima desa wilayah kerja Puskesmas

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan konsep rancangan combination tool yang merupakan alat bantu pembuatan produk menggunakan bahan dasar lembaran pelat

Pembangunan manusia Indonesia di bidang kesehatan dapat terlaksana dengan baik jika Indonesia bisa mewujudkan target sustainable development goals (SDG’s) seperti

[r]

mengurangkan masalah dalam hubungan manusia dan untuk memperbaiki kehidupan melalui interaksi manusia yang lebih baik.Selain itu,terdapat ramai pekerja dalam profesion bantuan

Segala puji dan syukur atas berkat rahmat Allah SWT yang telah melimpahkan segala anugerahn-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan