ANALISIS KELEMBAGAAN DAN DAMPAK PENERAPAN
SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS
MASYARAKAT LESTARI (PHBML) TERHADAP
PETANI HUTAN RAKYAT KABUPATEN WONOGIRI
DYAH PUSPITALOKA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Kelembagaan dan Dampak
Penerapan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML)
Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
RINGKASAN
DYAH PUSPITALOKA. Analisis Kelembagaan dan Dampak Penerapan
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri. Dibimbing oleh METI EKAYANI dan NUVA.
Pemenuhan kebutuhan kayu untuk industri yang berorientasi ekspor saat ini tidak bisa hanya mengandalkan pasokan dari hutan alam. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah pemenuhan kebutuhan kayu untuk industri terutama diperoleh dari hutan rakyat dan hutan tanaman industri (Departemen Perindustrian, 2009). Litbang Kehutanan (2009) menyatakan bahwa hutan tanaman, salah satunya hutan rakyat, akan menjadi sumber bahan baku industri perkayuan di masa depan karena potensi dan ketergantungan pada hutan alam semakin menurun. Hal ini menjadi peluang bagi hutan rakyat terutama yang tersertifikasi. Terkait dengan sertifikasi di sektor kehutanan, lembaga sertifikasi mencoba untuk mensertifikasi hutan rakyat sebagai bentuk penghargaan atas usaha melestarikan hutan dan menstimulasi daerah lain yang memiliki hutan rakyat untuk ikut serta dalam sertifikasi. Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada sertifikasi dalam bentuk sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Penelitian dilakukan untuk melihat keuntungan dan kerugian dari adanya sertifikasi di hutan rakyat serta penting atau tidaknya melakukan sertifikasi di hutan rakyat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keragaan kelembagaan; faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi pada petani hutan; dan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari penerapan sertifikasi. Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2012 di FKPS Selopuro, FKPS Sumberejo, dan PPHR Catur Giri Manunggal. Penting untuk diketahui bahwa ketiga unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi ini memperoleh sertifikasi dengan bantuan dari lembaga donor sehingga tidak ada beban biaya yang harus ditanggung.
Adanya sertifikasi berhasil membentuk kelembagaan unit manajemen hutan rakyat yang potensial dan didukung dengan keberadaan TPKS (Tempat Pemasaran Kayu Sertifikasi) sebagai sarana pemasaran khusus untuk kayu sertifikasi. Namun kelembagaan yang ada belum berjalan dengan optimal karena kekurangan modal, tidak adanya pembeli akhir-akhir ini, ketidakmampuan dari unit manajemen untuk memenuhi pasokan kayu yang diminta pembeli, dan tidak berjalannya mekanisme perdagangan kayu sertifikasi melalui TPKS sebagai perantara. Disamping itu, ditemukan adanya biaya transaksi dalam kelembagaan perdagangan hutan rakyat yakni dalam bentuk biaya surat izin penebangan kayu. Adanya biaya transaksi dan kemungkinan pembebanan sertifikasi dengan biaya sendiri berpotensi mengurangi keuntungan yang diperoleh petani dari pengusahaan hutan.
sertifikasi yakni memberikan insentif atas usaha pelestarian lingkungan. Pada kenyataannya premium price ini pernah didapat tapi tidak ada keberlanjutannya sampai sekarang karena tidak ada pembeli yang mau membeli dengan harga di atas harga pasar.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan diketahui bahwa adanya sertifikasi tidak memberikan dampak yang signifikan. Ditinjau dari aspek sosial, adanya sertifikasi tidak menunjukkan penguatan kelembagaan namun adanya sertifikasi berhasil meningkatkan kapasitas petani dalam pengolahan hasil hutan menjadi handicraft, pengembangan kemitraan, meningkatkan pengetahuan petani mengenai hutan rakyat dan pengelolaannya, dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai fasilitator akses terhadap informasi yang simetris.
Ditinjau dari segi ekonomi, sertifikasi tidak membuat perubahan dalam mekanisme penjualan kayu yang terjadi di masyarakat maupun perubahan dalam hal premium price. Dilain hal, adanya sertifikasi memberikan keuntungan dari segi terciptanya sarana pengolahan hasil hutan menjadi handicraft dan adanya bantuan pada kas kelompok yang disumbangkan oleh instansi yang melakukan studi banding atau kunjungan. Analisis dampak ekonomi secara kuantitatif dilakukan melalui analisis biaya dan manfaat terhadap dua skenario yakni tanpa biaya sertifikasi dan dengan biaya sertifikasi PHBML. Adanya pembebanan biaya sertifikasi yang terdiri dari biaya pengajuan, biaya penilaian sertifikasi, dan biaya
surveillance berpotensi menurunkan nilai manfaat pengolalaan hutan rakyat sebesar 1,79%. Penurunan nilai ini tidak terlalu besar namun cukup membuat manfaat pengelolaan hutan rakyat yang sudah kecil menjadi semakin kecil. Biaya sertifikasi yang harus dibayarkan sebesar Rp 480.000.000 untuk dua kali sertifikasi yang akan dilaksanakan pada tahun ke-3 dan ke-19. Dengan kata lain kelompok tani harus menyediakan dana sekitar Rp 240.000.000 pada saat pelaksanaan sertifikasi. Hal ini sangat membebani petani karena pada saat pelaksanaan sertifikasi tersebut petani belum panen. Sehingga menjadi pertanyaan besar, darimana dana sertifikasi yang sangat besar tersebut dapat disediakan. Sehingga muncul pertanyaan perlukah sertifikasi di hutan rakyat, mengingat beban dan manfaat yang tidak sebanding. Namun juka sertifikasi hutan rakyat dirasa penting, penelitian ini mencoba menyarankan beberapa skema solusi, diantaranya iuran anggota kelompok tani, kemitraan dengan perusahaan eksportir ke negara yang menyarankan sertifikasi, dan subsidi pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dampak lingkungan diketahui bahwa perbaikan kondisi lingkungan yang terjadi bukan akibat dari perbaikan pengelolaan hutan setelah adanya sertifikasi namun akibat program pengembangan hutan yang dilakukan pemerintah dan petani hutan rakyat sejak tahun 1965-an. Program pengembangan hutan dilakukan karena kondisi daerah Kabupaten Wonogiri yang gersang. Beberapa program yang dijalankan dari tahun 1965-an adalah program kebun bibit desa, World Food Programme, dan Gerhan. Keberhasilan program pengembangan hutan rakyat inilah yang memberikan dampak lingkungan diantaranya perbaikan kondisi udara, kualitas air, dan peningkatan jumlah fauna misalnya ayam alus, kijang, dan kera.
ANALISIS KELEMBAGAAN DAN DAMPAK PENERAPAN
SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS
MASYARAKAT LESTARI (PHBML) TERHADAP
PETANI HUTAN RAKYAT KABUPATEN WONOGIRI
DYAH PUSPITALOKA H44080055
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi :IAnalisis Kelembagaan dan Dampak Penerapan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri
Nama : Dyah Puspitaloka
NIM : H44080055
Menyetujui: Pembimbing I,
Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc NIP. 19690917 200604 2 001
Pembimbing II,
Nuva, SP, M.Sc -
Mengetahui,
Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
UCAPAN TERIMA KASIH
Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari kontribusi semua pihak. Penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc selaku dosen pembimbing pertama dan Ibu
Nuva, SP, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua atas saran, arahan, dan
dukungan selama penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen penguji utama dan Adi
Hadianto, SP, M.Si selaku dosen penguji perwakilan departemen atas saran
dan kritiknya.
3. Pak Teguh, Pak Edi, Pak Taryanto, LSM Persepsi, Mbak Indra selaku Manajer Komunikasi LEI, Pak Siman, Pak Mulyadi, Pak Sutanto, Pak Mulyono, Pak
Rujimin, warga FKPS Selopuro, FKPS Sumberejo, dan PPHR Catur Giri
Manunggal.
4. Ibu Sumarmi dan Ayah, adik-adikku Regita Pramudyah Wardhani dan Ardi
Putra Alfirdaus atas segala dukungan dan doa.
5. Keluarga besar Gg. Buntu dan seluruh saudara atas dukungan dan motivasi.
6. Sahabat selama di IPB: Rosselina Cindy, Yenti Kumala S. dan Meyla Dona.
7. Teman-teman ESL 45 khususnya Ria Siregar, Septi Sitorus, Tantri Sianturi,
dan Pebri Sagala yang selalu memberi dukungan dan motivasi.
8. Teman-teman satu bimbingan: Nurul, Mirza, Erwan, Evy, Shinta, Elok, dan
Nova untuk kebersamaan dan motivasi selama tugas akhir.
9. Asri Joni atas segala dukungan dan motivasi bagi masa depan penulis.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan. Atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis
Kelembagaan dan Dampak Penerapan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari (PHBML) Terhadap Petani Hutan Rakyat Kabupaten
Wonogiri”. Dalam skripsi ini penulis memiliki tujuan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab penerapan sertifikasi PHBML, mengidentifikasi
kelembagaan, dan menganalisis dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pada
petani hutan rakyat.
Penulis ingin berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi yang telah ditulis ini dapat memberikan
manfaat pada semua pihak yang terkait dengan ekolabel sektor kehutanan.
Bogor, Februari 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
I. PENDAHULUAN . ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Hutan Rakyat, Potensi, dan Peranannya ... 10
2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Kaitannya dengan Sustainable Forest Management (SFM) ... 11
2.3 Ekolabeling ... 13
2.3.1 Jenis-Jenis Ekolabel Sektor Kehutanan ... 14
2.3.2 Pokok-Pokok Informasi dalam Produk dengan Ekolabel ... 17
2.3.3 Ekolabel Sektor Kehutanan sebagai Non-Tariff Barrier ... 17
2.4 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan ... 18
2.5 Kelembagaan ... 19
2.6 Penelitian Terdahulu ... 20
2.6.1 Penelitian Mengenai Ekolabel ... 20
2.6.2 Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi LEI ... 21
2.6.3 Penelitian Mengenai Kelembagaan ... 22
2.6.4 Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan ... 23
2.7 Kebaruan (Novelty) dari Penelitian ... 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 25
IV. METODE PENELITIAN ... 29
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29
4.2 Jenis dan Sumber Data ... 29
4.3 Metode Pengambilan Sampel ... 30
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 31
4.4.1 Keragaan Kelembagaan ... 31
4.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML pada Petani Hutan ... 32
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 35
5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 35
5.1.1 Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal ... 36
5.1.2 Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Selopuro ... 37
5.1.3 Forum Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Sumberejo ... 38
5.2 Karakteristik Responden ... 39
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44
6.1 Keragaan Kelembagaan Unit Manajemen Hutan Rakyat dalam Sertifikasi PHBML ... 44
6.1.1 Identifikasi Stakeholder, Peran, dan Hubungan Antar Stakeholder ... 45
6.1.2 Biaya transaksi ... 60
6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML pada Petani Hutan Rakyat ... 62
6.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML ... 67
6.3.1 Dampak Sosial pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML ... 67
6.3.2 Dampak Ekonomi pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML ... 74
6.3.3 Dampak Lingkungan pada Petani Hutan dengan Penerapan Sertifikasi PHBML ... 85
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 95
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Total Hutan Sertifikasi LEI Berdasarkan Jenis Sertifikasi…………. 3
2. Unit Manajemen Hutan Rakyat Pemegang Sertifikasi PHBML…… 4
3. Skema Waktu dan Biaya pada Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi Voluntary……….. 16
4. Penelitian Mengenai Ekolabel……… 21
5. Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi LEI……….. 21
6. Penelitian Mengenai Kelembagaan……… 22
7. Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan…. 23 8. Matriks Metode Analisis Data……… 31
9. Indikator Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan………... 33
10. Karakteristik Petani Hutan Sertifikasi……… 40
11. Peranan Masing-Masing Stakeholder……….…….. 45
12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML di Tingkat Petani Hutan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2012…… 63
13. Kemauan Melakukan Sertifikasi dan Resertifikasi dengan Biaya Sendiri……… 66
14. Analisis Biaya dan Manfaat Pembebanan Sertifikasi dalam 20 Tahun………. 83
16. Dampak Lingkungan Akibat Pengembangan Hutan pada Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi………... 86
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Kerangka Alur Pemikiran………. 28
2. Sketsa Sistem Tumpangsari di Ladang……… 42
3. Sketsa Penanaman di Pekarangan……… 43
4. Hubungan Antar Stakeholder……… 49
5. Pertemuan Rutin Per 35 Hari (Selapan) yang Diadakan oleh FKPS Sumberejo……… 53
6. Bentuk Organisasi FKPS……… 57
7. Bentuk Organisasi PPHR……… 57
8. Hasil Kerajinan Kayu Sertifikasi yang Dibuat oleh Petani-Petani Unit Manajemen Hutan Rakyat……… 73
9. Perbandingan Mekanisme Perdagangan Konvensional dan Sertifikasi……… 80
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Kelembagaan Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi… 100
2. Dampak Sosial Penerapan Sertifikasi PHBML di Tiga Unit
Manajemen Tersertifikasi………
102
3. Kriteria Penguatan Kelembagaan sebagai Dampak Sosial Penerapan Sertifikasi PHBML di Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat
Tersertifikasi……...
104
4. Dampak Ekonomi Penerapan Sertifikasi PHBML di Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Tersertifikasi………
106
5. Perhitungan Penggunaan Lahan, Jumlah Kayu, dan Pendapatan…… 109
6. Cashflow Skenario 1………... 111
7. Cashflow Skenario 2………... 113
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia mempunyai sumberdaya alam yang melimpah khususnya disektor
kehutanan. Hutan Indonesia merupakan hutan tropis ketiga terluas di dunia dan
menempati urutan kedua ditingkat keanekaragaman hayati (Forest Watch Indonesia,
2011). Jumlah luas daratan kawasan hutan di Indonesia sampai periode November
2011 mencapai 130.609.014,98 ha (Kementerian Kehutanan, 2011). Potensi sektor
kehutanan menjadikan sektor non-migas ini sebagai salah satu pemasok bahan baku
perindustrian.
Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen
Perindustrian (2009), kayu hutan rakyat menjadi bahan baku kelompok industri
pengolahan hulu dan hilir. Industri hulu yang terdiri dari industri saw-mill, plywood-mill, particle board, dan medium density fiber board dan industri hilir yang terdiri dari industri wood-working atau penghasil produk kayu dan industri furnitur memerlukan pasokan kayu lebih dari satu juta kubik pertahun. Departemen
Perindustrian juga memaparkan, kecenderungan yang terjadi saat ini adalah kayu
industri hilir diperoleh dari industri hulu dengan melibatkan keberadaan hutan rakyat
dan hutan tanaman industri. Peran kayu non hutan alam, yakni dari hutan rakyat dan
hutan tanaman industri, dalam perindustrian berkembang pesat mengingat semakin
terbatasnya pasokan kayu yang diperoleh dari hutan alam. Litbang Kehutanan (2009)
sumber bahan baku industri perkayuan di masa depan karena potensi dan
ketergantungan pada hutan alam semakin menurun.
Potensi sektor kehutanan sebagai penyedia bahan baku industri pengolahan
kayu menciptakan peluang pasar yang besar. Namun dilain hal, peluang pasar ini
terancam dengan adanya pemboikotan terhadap kayu tropis dan tuntutan ekolabel dari
lembaga pecinta lingkungan yang mempengaruhi pembeli-pembeli di negara importir
(Departemen Perindustrian, 2009). Ekolabel ini timbul akibat keprihatinan negara
maju akan kondisi industri kayu tropis dan adanya deforestasi yang terjadi di
negara-negara tropis. Keprihatinan ini menimbulkan penggunaan peraturan perdagangan
internasional untuk mempengaruhi proses produksi agar lebih ramah lingkungan dan
berkelanjutan (Wie, no date). Ekolabel sektor kehutanan yang merupakan bentuk dari
non-tariff barrier menjadi fokus utama dari kekhawatiran para eksportir disamping
tariff barrier. Perjanjian bilateral maupun multilateral telah membawa perubahan dalam penurunan tariff rates, tetapi hingga saat ini terjadi perkembangan pesat dalam pemberlakuan berbagai macam jenis non-tariff barrier yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan eksportir negara berkembang (Alavi, 2007).
Menanggapi timbulnya permintaan akan ekolabel sektor kehutanan,
dibentuklah Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), yakni lembaga independen yang
berwenang menetapkan standar sertifikasi pengelolaan hutan di Indonesia. Sampai
Februari 2011, luas hutan yang sudah tersertifikasi LEI mencapai 1.072.524 ha,
25.170 ha diantaranya adalah hutan rakyat yang sudah memperoleh sertifikasi
disertifikasi LEI yang diklasifikasikan berdasarkan jenis sertifikasi dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Total Hutan Sertifikasi LEI berdasarkan Jenis Sertifikasi
Jenis Sertifikasi Luas Area (ha) Jumlah Unit Manajemen (unit)
PHAPL (Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari) 502.649 03
PHBML (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Lestari) 025.170 12
PHTL (Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari) 544.705 03
CoC (Chain of Custody) - 06
Total 1.072.524 24
Sumber: LEI (no date)
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa unit manajemen pemegang sertifikasi paling banyak didominasi oleh pemegang sertifikasi PHBML yang merupakan
sertifikasi yang diberikan kepada masyarakat pemilik hutan rakyat atas usahanya
dalam mengelola hutan secara lestari. Hal ini merupakan terobosan baru yang
membuktikan bahwa sektor hutan rakyat ternyata mampu mengelola hutan secara
lestari.
Wonogiri yang merupakan kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah ini
memiliki 15.320 ha hutan rakyat, dimana 21,16% hutan rakyat tersebut sudah
tersertifikasi (LEI, no date). Daftar unit manajemen hutan rakyat beserta dengan luas area tersertifikasi, lokasi dan badan sertifikasi ditunjukkan lebih detail pada Tabel 2.
Penting untuk diketahui bahwa PHBML yang diperoleh ketiga unit
lembaga donor. Saat ini, biaya terkait dengan sertifikasi sepenuhnya ditanggung oleh
lembaga donor, sehingga unit manajemen hutan rakyat maupun petani hutan tidak
membayar sama sekali untuk pengajuan sertifikasi. Dana yang harus dikeluarkan
untuk mendapatkan sertifikasi PHBML tidak hanya mencakup dana pengajuan
sertifikasi saja tetapi juga mencakup dana surveillance dan dana tambahan lain yakni dana persiapan menuju pengajuan sertifikasi.
Tabel 2. Unit Manajemen Hutan Rakyat Pemegang Sertifikasi PHBML
No Unit Manajemen
Area Tersertifikasi
(ha)
Lokasi Badan Sertifikasi
1 UM (Unit Manajemen) Hutan Adat Panjae Menua Sungai Utik
9.545 Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
PT. Mutu Agung Lestari
2 GOPHR (Gabungan Organisasi Pelestari Hutan Rakyat) Wono Lestari Makmur
1.179 Sukoharjo, Jawa Tengah
PT. Mutu Agung Lestari
3 UMHR (Unit Manajemen Hutan Rakyat) WARAS
5 UMHR Gerbang Lestari 2.889 Bangkalan, Jawa Timur
8 UMHR Rimbasari 1.073 Pacitan, Jawa Timur PT. Mutu Agung Lestari
9 FKPS (Forum Komunikasi Petani Sertifikasi) Selopuro
11 PPHR (Perkumpulan Pelestari Hutan Rakyat) Catur Giri Manunggal
2.434 Wonogiri, Jawa Tengah
PT. Mutu Agung Lestari
Menurut Alavi (2007), jika harus membayar maka biaya yang harus
dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikasi kayu sangat tinggi dan mengkonsumsi
waktu banyak (time consuming). Terlebih lagi adanya keberadaan biaya untuk menyesuaikan sistem operasi unit manajemen agar sesuai dengan skema sustainable forest management. Namun dilain hal adanya sertifikasi diklaim dapat memberikan dampak-dampak diantaranya adanya premium price, penetrasi di pasar baru, eksistensi di pasar lama dan dampak-dampak ekonomi, sosial dan lingkungan lainnya
(Simula et al, 2005). Oleh karena itu, penting untuk diteliti keragaan pelaksanaan sertifikasi hutan rakyat baik dari aspek kelembagaan maupun dampak-dampak yang
dirasakan oleh petani hutan rakyat untuk mengetahui prospek masa depan dari
sertifikasi PHBML jika di masa mendatang sertifikasi ini bersifat wajib (mandatory) dan harus dilakukan dengan biaya sendiri.
1.2 Perumusan Masalah
Pengembangan hutan rakyat secara lestari yang dilakukan oleh petani hutan
Kabupaten Wonogiri berhasil mengantarkan para petani dalam memperoleh
sertifikasi PHBML. Keberhasilan diperolehnya sertifikasi PHBML tidak lepas dari
bantuan lembaga donor dan juga bantuan dari LSM Persepsi dalam mendampingi
petani hutan rakyat selama sertifikasi. Keterlibatan multistakeholder dan peranan kelembagaan unit manajemen hutan rakyat menentukan keberhasilan diperolehnya
sertifikasi PHBML mengingat beban biaya yang harus ditanggung dan keharusan
petani hutan rakyat untuk mengajukan sertifikasi secara kolektif karena ada
harus dilengkapi. Oleh karena itu penting untuk diteliti keragaan dan peran
kelembagaan unit manajemen hutan rakyat selama proses sertifikasi untuk melihat
secara detail proses sertifikasi yang telah dilakukan ditinjau dari aspek
kelembagaannya.
Program sertifikasi FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo merupakan pilot project sertifikasi hutan rakyat, sedangkan program sertifikasi di PPHR Catur Giri Manunggal bukan program sertifikasi pilot project tetapi pelaksanaannya didanai oleh lembaga donor. Program-program sertifikasi yang dilaksanakan berimplikasi pada
tidak adanya pembebanan biaya terhadap petani hutan rakyat tetapi perlu diketahui
motivasi petani hutan dalam mengikuti program sertifikasi. Oleh karena itu,
faktor-faktor yang memotivasi petani hutan dalam mengikuti sertifikasi akan diteliti dalam
penelitian ini.
Kondisi sertifikasi PHBML saat ini merupakan bantuan dan pemberian
bantuan ini menurut pihak LEI bertujuan untuk mendorong percepatan munculnya
kesadaran pengelolaan hutan secara lestari dan diharapkan di masa mendatang unit
manajemen hutan rakyat dan petani hutan bisa lebih mandiri dalam hal pendanaan
sertifikasi selanjutnya. Diperolehnya sertifikasi PHBML diharapkan dapat
memberikan dampak, baik dari aspek ekonomi seperti premium price, peningkatan posisi tawar serta dampak sosial, dan lingkungan, bagi petani hutan. Dampak yang
saat ini dirasakan oleh petani hutan perlu dijadikan acuan jika di masa mendatang
sertifikasi dilaksanakan secara mandatory dan dengan menggunakan biaya sendiri hal ini tentunya akan membebani petani hutan rakyat mengingat biaya sertifikasi yang
mampu menutupi biaya sertifikasi yang dikeluarkan. Komparasi biaya dan manfaat
ini diteliti melalui identifikasi dampak yang mencakup dampak sosial, ekonomi, dan
lingkungan.
Berdasarkan dari penjabaran di atas, beberapa masalah yang harus diteliti
terkait dengan penerapan sertifikasi PHBML adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keragaan dan peran kelembagaan unit manajemen hutan rakyat di
Kabupaten Wonogiri selama sertifikasi PHBML?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi petani hutan rakyat Kabupaten
Wonogiri melakukan sertifikasi PHBML?
3. Dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan apa saja yang dirasakan oleh petani
hutan dengan penerapan sertifikasi PHBML?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Mengidentifikasi keragaan kelembagaan unit manajemen hutan rakyat
Kabupaten Wonogiri selama proses sertifikasi berlangsung.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi
PHBML pada petani hutan rakyat Kabupaten Wonogiri.
3. Mengidentifikasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pada petani hutan
1.4 Manfaat Penelitian
Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran keragaan
pelaksanaan sertifikasi baik dari aspek kelembagaan maupun dampak bagi petani
hutan sebagai acuan untuk pelaksanaan kebijakan sertifikasi yang lebih tepat. Untuk
stakeholder yang terkait dengan sertifikasi, yakni LEI dan lembaga pendamping petani hutan, LSM Persepsi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi untuk
perbaikan dari sistem sertifikasi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
referensi bagi penelitian ekolabel sektor kehutanan selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian mengenai dampak sertifikasi PHBML dibatasi di tiga unit
manajemen hutan rakyat tersertifikasi Kabupaten Wonogiri. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML dibatasi pada identifikasi alasan
keikutsertaan dalam program sertifikasi PHBML yang didampingi oleh LSM
Persepsi. Dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang diteliti dibatasi berdasarkan
kondisi aktual yang dirasakan oleh masyarakat terhadap indikator-indikator dari studi
pustaka. Dampak ekonomi secara kuantitatif diteliti dengan melakukan analisis biaya
manfaat yang dibatasi beberapa asumsi, diantaranya adalah perhitungan dilakukan
dalam periode 20 tahun dengan mempertimbangkan umur ekonomis jati yang
merupakan tanaman dominan pertama dan dengan mengasumsikan tanaman mahoni
yang merupakan tanaman dominan kedua juga memiliki umur ekonomis yang sama,
tanaman kayu diasumsikan ditebang habis pada tahun ke-20, biaya investasi berupa
dikembangkan merupakan warisan, perhitungan dilakukan dengan menggunakan
tingkat suku bunga deposito sebesar 5,75%, dan dua tipe lahan hutan dan pola
penanaman dipertimbangkan dalam perhitungan. Dua tipe lahan hutan rakyat yang
dipertimbangkan dalam perhitungan adalah lahan hutan rakyat tipe pekarangan dan
ladang. Pola penanaman yang juga menjadi pertimbangan dalam perhitungan adalah
pola kayu dan pola tumpangsari dengan proporsi penerapan pola penanaman 60%
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat, Potensi, dan Peranannya
Berdasarkan Permenhut P. 3/ Menhut-II/ 2011, hutan rakyat adalah hutan
yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya di luar
kawasan hutan dengan ketentuan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman
kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%. Menurut Hinrich et al (2008), dalam arti luas, hutan rakyat meliputi jaminan atas akses dan kontrol terhadap
sumberdaya hutan untuk penghidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
hutan dimana mereka tergantung terhadap hutan rakyat tersebut secara ekonomi,
sosial, kultural, dan spiritual.
Hutan rakyat memiliki potensi yang sangat besar ditinjau dari segi populasi
pohon dan jumlah rumah tangga yang mengusahakannya. Potensi hutan rakyat yang
besar ini mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Potensi hutan secara
nyata telah merangsang timbulnya aktivitas lanjutan seperti usaha-usaha yang
termasuk dalam backward dan forward linkage (Darusman dan Hardjanto, 2006). Masyarakat sendiri sudah mulai sadar akan manfaat hutan sehingga setelah
penebangan selalu dilakukan peremajaan dan luas hutan rakyat tetap dipertahankan
bahwa dapat bertambah (Sukadaryati, 2006).
Ditinjau dari aspek peranannya dalam segi ekonomi, menurut Sukadaryati
(2006), hutan rakyat sudah lama dan terus berkembang di masyarakat mampu
memberikan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Selain sebagai investasi, hutan
rakyat bahkan mampu membuat masyarakat memenuhi kebutuhan untuk bahan
bangunan dan mebel dan juga untuk memenuhi kebutuhan mendesak.
Sampai saat ini, menurut Darusman dan Hardjanto (2006), hutan rakyat
diusahakan oleh masyarakat pedesaan sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan
berdampak pada perekonomian desa. Hutan rakyat berkontribusi bagi pendapatan
sampingan dan insidental petani karena pengusahaannya termasuk dalam jenis usaha
sambilan. Selain memberikan kontribusi bagi pemilik lahan, pada subsistem produksi
dan pengolahan hutan rakyat mampu memberikan kontribusi kepada non-pemilik
lahan misalnya buruh atau tenaga kerja lainnya. Disamping itu, hutan rakyat juga
berperan dalam memberikan lapangan kerja bagi tenaga kerja produktif, menstimulir
usaha ekonomi produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan
rakyat, bahkan meminimalisir dampak dari krisis ekonomi.
2.2 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Kaitannya dengan
SustainableForestManagement (SFM)
Menurut Hinrich et al (2008), PHBM adalah suatu pendekatan pengelolaan hutan dimana kontrol dipegang oleh masyarakat setempat. Pengembangan PHBM di
lahan-lahan milik swasta, misalnya di Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara,
merupakan contoh yang bagus dari PHBM. Para petani, sebagai pembuat keputusan
puncak memiliki kontrol sepenuhnya atas sumberdaya hutan-hutan yang mereka
miliki dengan dibina oleh asosiasi-asosiasi di tingkat dusun atau yang lebih tinggi.
Pihak-pihak lain dilibatkan sebagai mitra pendukung. Pengertian lain mengenai
bersinergi dalam upaya mencapai keberlanjutan dalam mencapai fungsi dan manfaat
sumberdaya hutan yang optimal (CIFOR, no date).
Menurut Suharti (no date), konsep PHBM ini mengacu pada tiga prinsip yakni masyarakat lokal harus diikutsertakan dalam aktivitas pengelolaan hutan, masyarakat
lokal mempunyai hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam aktivitas pengelolaan
hugan, dan tidak ada keharusan untuk secara aktif melibatkan masyarakat dalam
pemilihan aktivitas mana yang akan dikembangkan. Sejauh ini program PHBM
berhasil membuat perubahan bahwa masyarakat lokal juga mempunyai hak untuk
terlibat dalam aktivitas pengelolaan hutan. Terlebih lagi partisipasi masyarakat secara
aktif dalam pengelolaan hutan mempunyai peranan penting dalam menentukan
kesuksesan sustainable forest management atau pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pengetahuan dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yang
awalnya diabaikan mulai diperhatikan karena kearifan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat sangat berharga dan berguna dalam pengelolaan hutan.
Kegagalan pengelolaan hutan berkelanjutan dari program-program PHBM
yang telah dilaksanakan terjadi karena tidak tepatnya metode pendekatan yang
dilakukan. Metode yang lebih tepat untuk merangsang keterlibatan masyarakat lokal
dalam program PHBM adalah metode PRA (Participation Rural Appraisal) yang menggabungkan metode top-down dan bottom-up. Penggunaan metode ini akan menstimulasi keaktifan masyarakat dalam pelaksanaan PHBM sehingga masyarakat
bisa lebih berperan aktif dalam menggunakan kearifan lokal yang dimilikinya saat
berpartisipasi dalam program pengelolaan hutan yang diimplementasikan oleh
2.3 Ekolabeling
Menurut Arief (2001), ekolabeling adalah cara untuk memberikan informasi
kepada konsumen atas produk kayu hasil hutan dan olahan yang berasal dari hutan
yang dikelola secara lestari. Label dapat dijadikan sebagai bukti pengesahan (seal of approval) bahwa produk tersebut telah memenuhi kriteria lingkungan yang dipersyaratkan. Pada dasarnya, ekolabel mempunyai komponen yang meliputi
sertifikasi, sehingga diharapkan dapat mempunyai akses pasar yang tinggi atau dapat
bersaing. Meskipun label bukan merupakan standar produk yang berhubungan
dengan harga, tapi merupakan standar untuk mampu memasuki segmen pasar dunia
karena saat ini konsumen (negara) telah mempunyai sifat kritis terhadap
permasalahan lingkungan. Pada Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan
Produksi (1995), ekolabel adalah pemberian atribut lingkungan terhadap produk, baik
kayu maupun non kayu, yang dikehendaki oleh konsumen pengguna produk tersebut.
Pada prinsipnya, ekolabel menghendaki berlangsungnya pengelolaan hutan produksi
secara lestari. Menurut OEDC (1996) dalam Elliot (2000), ekolabel adalah kelengkapan penyediaan informasi mengenai karakteristik produk yang terkait
dengan lingkungan. Ekolabel ini memungkinkan memberi informasi lebih dalam
keputusan pembelian konsumen dan untuk membedakan produk dan menciptakan
pasar untuk produk yang berbeda.
Penerapan ekolabel memiliki beberapa tujuan. Menurut Arief (2001) tujuan
ekolabel adalah meningkatkan kepedulian konsumen terhadap hubungan antara
meningkatkan pangsa pasar, menyediakan segmentasi produk, menyediakan tujuan
audit terhadap pelaksanaan manajemen hutan dan menunjukkan bahwa manajemen
hutan mengandung unsur-unsur pelestarian, ekonomi, ekologi, dan sosial. Menurut
LEI sebagai pengembang standar sertifikasi di Indonesia, ekolabel dalam bentuk
sertifikasi PHBML bertujuan sebagai bentuk pengakuan pasar terhadap usaha
pelestarian pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat.
Ada beberapa landasan dalam pelabelan produk kayu. Menurut Abidin (1995)
landasan pelabelan diidentifikasi dalam lima unsur utama, diantaranya adalah
kepastian ditaatinya jatah tebang hutan lestari, kepastian pulihnya tegakan secara
alami atau dengan bantuan permudaan alam dan buatan, kepastian terpeliharanya
keanekaragaman hayati, kepastian terpeliharanya kualitas air, tanah, dan udara dan
kepastian terpeliharanya peri kehidupan dan budaya masyarakat setempat.
Landasan-landasan ini tidak jauh berbeda dengan Landasan-landasan-Landasan-landasan yang diimplementasikan
dalam proses penilaian sertifikasi.
2.3.1 Jenis-Jenis Ekolabel Sektor Kehutanan
Ada beberapa jenis skema sertifikasi yang berlaku, diantaranya adalah Certfor
(Chile), Cerflor (Brazil), CSA (Kanada), MTCC (Malaysia), AFS (Australia), SFI
(Amerika), ATFS (Amerika), FSC (Eropa), PEFC (Eropa), dan LEI (Indonesia)
sedangkan beberapa skema sertifikasi di Afrika kurang berkembang dan kebanyakan
berada dalam naungan PEFC maupun FSC (Alavi, 2007). Ekolabeling sendiri dapat
implementasinya oleh Kementerian Kehutanan dalam P. 68/ Menhut-II/ 2011 melalui
implementasi Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Voluntary ecolabeling
merupakan ekolabel yang bersifat sukarela dan dikembangkan melalui lembaga
independen. Sertifikasi voluntary ini telah diakui keabsahannya dalam skema sertifikasi mandatory (Zakiya, 2012). Pemegang sertifikasi voluntary (misalnya PHBML) tidak perlu mengikuti sertifikasi mandatory. Dalam penelitian kali ini, skema sertifikasi yang digunakan adalah sertifikasi yang dikembangkan oleh lembaga
independen dari Indonesia yakni LEI.
Menurut LEI (no date), sertifikasi LEI yang berlaku di Indonesia adalah sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL), sertifikasi
Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL), sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat Lestari (PHBML), sertifikasi lacak balak, dan sertifikasi bertahap. Hutan
rakyat yang berekolabel dengan skema sertifikasi LEI akan mendapatkan sertifikasi
PHBML. Standar sertifikasi LEI ini merupakan kerangka penilaian sertifikasi
PHBML dan menjadi acuan bagi unit manajemen dalam melaksanakan PHBML.
PHBML ini diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang
dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara tradisional baik dalam bentuk unit
komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas), maupun
individual berskala kecil sampai sedang, yang dilakukan secara lestari.
Secara umum, prosedur sertifikasi LEI terdiri dari prapenilaian lapangan,
penilaian lapangan, evaluasi kinerja dan pengambilan keputusan sertifikasi,
pengelolaan hutan berbasis masyarakat harus dilakukan dengan menyiapkan Standar
LEI 5000: 3 yakni standar untuk sertifikasi PHBML. Dalam sistem pengajuan
sertifikasi PHBML terdapat tiga skema yakni 1) skema sertifikasi dengan penilaian
lapangan oleh pihak ketiga, 2) skema sertifikasi dengan pengakuan atas klaim, dan 3)
skema sertifikasi khusus untuk hutan adat. Sertifikasi PHBML yang diperoleh
berlaku selama 15 tahun dengan ketentuan minimum tiga kali surveillance atau lima tahun sekali dalam jangka waktu 15 tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut ada
minimum tiga biaya yang harus ditanggung untuk memperoleh sertifikasi PHBML,
yakni biaya persiapan, biaya penilaian sertifikasi, dan biaya surveillance.
Dalam hal jangka waktu berlakunya sertifikasi dan jangka waktu surveillance
terdapat perbedaan antara sertifikasi yang bersifat mandatory (dalam hal ini SVLK) dan sertifikasi yang bersifat voluntary (dalam hal ini sertifikasi PHBML). Skema waktu dan biaya sertifikasi mandatory dan voluntary dijelaskan secara detail pada
Tabel 3.
Tabel 3. Skema Waktu dan Biaya pada Sertifikasi Mandatory dan Sertifikasi
Voluntary
Tahapan
Voluntary Hutan Rakyat (PHBML) Mandatory Hutan Rakyat (SVLK)
Kisaran Biaya Masa Berlaku Kisaran Biaya Masa Berlaku
Persiapan Rp 120.000.000 sampai dengan Rp 150.000.000
Sebelum pengajuan sertifikasi
Rp 60.000.000 Sebelum pengajuan sertifikasi
Penilaian Rp 35.000.000 Valid 15 tahun Rp 30.000.000 Valid tiga tahun
Surveillance Rp 20.000.000 sampai dengan Rp 25.000.000
Setiap lima tahun sekali
Rp 15.000.000 sampai dengan Rp 20.000.000
Setiap satu tahun sekali
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa untuk sertifikasi secara voluntary di hutan rakyat total biaya yang harus dikeluarkan berkisar antara Rp 180.000.000
sampai Rp 200.000.000 dan valid untuk jangka waktu 15 tahun. Untuk sertifikasi
secara mandatory, dalam hal ini SVLK, biaya yang dikeluarkan berkisar antara Rp 105.000.000 sampai Rp 110.000.000 dan valid untuk jangka waktu 3 tahun. Implikasi
pembebanan biaya sertifikasi, baik sertifikasi voluntary dan mandatory, akan digambarkan dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis biaya manfaat.
2.3.2 Pokok-Pokok Informasi dalam Produk dengan Ekolabel
Informasi dalam produk dengan ekolabel yang harus diberikan kepada
konsumen meliputi penjelasan mengenai tata cara pengambilan bahan baku,
pengangkutan ke lokasi industri, proses dalam pabrik, pemakaian produk, dan proses
pengolahan limbah secara keseluruhan harus ramah lingkungan atau tidak mencemari
lingkungan. Berbeda dengan pelabelan produk lainnya, umumnya memberi
keterangan tentang bahan yang dipakai (ingridients), petunjuk cara pemakaiannya atau sifat produknya, misalnya sifat mudah melapuk (biodegradable) atau aman bagi kesehatan (Arief, 2001). Jika yang disertifikasi adalah hutan, misalnya suatu hutan
rakyat sudah mendapatkan sertifikasi PHBML maka informasi sertifikasi ditampilkan
dalam bentuk sertifikat.
2.3.3 Ekolabel Sektor Kehutanan sebagai Non-Tariff Barrier
cukup tinggi tetapi tariff barrier tidak menjadi fokus utama lagi. Dilain hal terjadi peningkatan penggunaan non tariff barrier dimana pada produk kayu dan produk berbasis kayu diberlakukan adanya phytosanitary, restriksi kuantitatif, dan sertifikasi. Persyaratan sertifikasi ekolabel berpotensi menjadi hambatan perdagangan terutama
jika masing-masing negara memberlakukan spesifikasi dan standar yang
berbeda-beda. Pada beberapa bukti mengkonfirmasi bahwa skema sertifikasi juga digunakan
sebagai alat proteksi perdagangan pada beberapa negara (Alavi, 2007). Disamping
itu, menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian
(2009), adanya tuntutan sertifikasi ekolabel menjadi hambatan non tarif yang
termasuk dalam permasalahan utama industri furnitur. Industri furnitur (kayu)
Indonesia disinyalir menggunakan bahan baku ilegal dengan harga relatif murah
sehingga beberapa negara tujuan ekspor menuntut adanya sertifikasi ekolabel bagi
produk-produk furnitur Indonesia.
2.4 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Simula et al (2005) mengemukakan bahwa dari adanya sertifikasi dapat memberikan manfaat ekonomi yang termasuk dalam manfaat langsung dan manfaat
sosial dan lingkungan yang termasuk dalam manfaat tidak langsung non-monetary. Adanya sertifikasi dapat memberi dampak pada tambahan manfaat langsung
finansial, yakni adanya premium price dan adanya tambahan volume penjualan. Dampak sertifikasi pada manfaat ekonomi tidak langsung adalah adanya penurunan
biaya akibat dari efisiensi produksi dan menghindarkan dari kerugian pendapatan
diperoleh dari berkembangnya mitigasi dari efek lingkungan dari pemanfaatan hutan
dan adanya peningkatan pengukuran dari konservasi biodiversitas, fungsi ekologis,
seperti tanah dan air. Selain itu, manfaat sosial dari adanya sertifikasi ini salah
satunya adalah adanya klarifikasi dari land right dan resolusi konflik.
2.5 Kelembagaan
Menurut Djogo et al (2003), secara umum kelembagaan adalah pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat
menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi
dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan
pengikat berupa norma, kode etik, aturan formal dan informal untuk pengendalian
perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.
Beberapa unsur penting dari kelembagaan diantaranya adalah institusi, norma tingkah
laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani
tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar
manusia yang terstruktur, peraturan dan penegakan aturan, aturan dalam masyarakat
yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak,
dan kewajiban anggota, kode etik, kontrak, pasar, hak milik (property rights atau
tenureship), organisasi, serta insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan.
Kelembagaan yang dikembangkan oleh petani Wonogiri merupakan
kelembagaan yang menerapkan sistem penanaman agroforestri dimana pola
pangan misalnya tanaman semusim. Menurut Djogo et al (2003), pengembangan kelembagaan ini dapat terjamin jika ada insentif bagi orang atau organisasi untuk
melaksanakannya, sasaran pengembangan: siapakah yang diuntungkan, ada
keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap informasi, kepemilikan dan akses atas
sumberdaya terjamin, ada usaha pengendalian atas tingkah laku opportunistik serta
ada aturan yang ditegakkan dan ditaati.
Menurut Hindra (2006), untuk menjamin kelestarian hutan rakyat, diperlukan
penguatan kelembagaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga terbentuk adanya aturan
internal yang mengatur sistem penebangan yang disepakati oleh setiap anggotanya.
Dalam rangka penguatan kelembagaan hutan rakyat, tahapan yang harus dilalui
adalah identifikasi kelembagaan, aturan dan kesepakatan, pengembangan rencana
aksi, dan monitoring dan evaluasi partisipatif.
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian yang dijadikan sebagai referensi dalam mengidentifikasi
dampak penerapan ekolabel hutan rakyat ini yaitu penelitian mengenai ekolabel;
sertifikasi PHBML; kelembagaan; dan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan.
2.6.1 Penelitian Mengenai Ekolabel
Penelitian mengenai ekolabel yang dijadikan referensi dalam tinjauan pustaka
adalah penelitian yang dilakukan oleh Hussain (2000) dan Swallow dan Sedjo (2002).
Tabel 4. Penelitian Mengenai Ekolabel
No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Swallow dan Sedjo.
Voluntary Eco-labeling and the Price Premium
Untuk voluntary system, jika permintaan untuk kayu bersertifikat relatif kecil dibandingkan permintaan secara keseluruhan, jika biaya sertifikasi yang signifikan, dan jika jumlah permintaan baru diciptakan oleh sertifikasi adalah sederhana, maka pasar cenderung kurang menghasilkan harga premium untuk produk bersertifikat meskipun ada sejumlah besar dari konsumen yang bersedia untuk membayar dengan
premium price. Selain itu, keberhasilan eko-label tergantung pada motivasi dari pemilik lahan hutan untuk mendukung atau menentang eko-labeling.
2 Hussain. Green Consumerism and Ecolabelling: A Strategic Behavioural Model
Penelitian ini merepresentasikan sebuah model perilaku strategis dari interaksi antara dua agen, sebuah firma (perusahaan), dan konsumen di bawah kondisi informasi tidak lengkap. Skema ekolabel dapat digunakan sebagai alat untuk ameliorasi inefisiensi dalam transfer informasi.
2.6.2 Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi LEI Penelitian mengenai sertifikasi PHBML LEI dapat ditemukan dalam Daniyati
(2009) dan Rohman (2010). Hasil penelitian mengenai sertifikasi PHBML ini
ditunjukkan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Penelitian Mengenai Sertifikasi PHBML dengan Skema Sertifikasi LEI
No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Daniyati. Efektivitas Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan di Hutan Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
2 Rohman. Kajian Dampak Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) terhadap Pengelolaan Hutan Rakyat (Studi Kasus Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Koperasi Wana Manunggal Lestari, Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
Pemberian sertifikasi PHBML memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat sebesar 1,94%, peningkatan kapasitas masyarakat sebesar 52,76%, dan peningkatan tutupan hutan sebesar 3,38%. Pemberian sertifikasi ini belum menguntungkan secara ekonomi, akan tetapi pemberian sertifikasi menguntungkan secara sosial dan lingkungan.
2.6.3 Penelitian Mengenai Kelembagaan
Penelitian terdahulu mengenai kelembagaan dikemukakan oleh Hindra (2006)
dan oleh Rubiyanto (2011). Hasil penelitian mengenai keragaan kelembagaan ini
ditunjukkan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Penelitian Mengenai Kelembagaan
No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Hindra. Potensi dan Kelembagaan Hutan Rakyat
Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara perorangan pada lahan miliknya sehingga tidak mengelompok, tapi menyebar. Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh kelompok tani ini juga masih sangat sederhana. Untuk menjamin kelestarian hasil hutan rakyat, perlu penguatan kelembagaan pengelolaan hutan rakyat. Sampai saat ini pemerintah masih memberikan peranan yang cukup tinggi terhadap hutan rakyat.Agar petani hutan rakyat tetap berkomitmen tinggi terhadap lingkungan dan hutan rakyat, petani harus didorong untuk mengikuti program sertifikasi.
2 Rubiyanto. Kelembagaan Kelompok Tani Hutan Rakyat di Desa Buniwangi, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Sukabumi
2.6.4 Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Penelitian terdahulu yang membahas dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan
dari penerapan sertifikasi di hutan rakyat dilakukan oleh Daniyati (2009) dan analisis
biaya manfaat dari penerapan sertifikasi secara umum oleh Simula et al (2005). Hasil penelitian ini ditunjukkan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Penelitian Mengenai Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Daniyati. Efektivitas Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan di Hutan Rakyat (Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
Sertifikasi hutan memberikan manfaat ekonomi yang kurang signifikan. Posisi tawar petani hutan rakyat saat ini masih lemah dibandingkan dengan pihak lain karena kurangnya keahlian petani hutan dalam pengelolaan dan pemasaran kayu. Petani hutan rakyat masih berada pada ujung akhir rantai informasi pasar sehingga belum meningkatkan posisi tawarnya. Harga kayu setelah sertifikasi meningkat sekitar 7,99%-22,38% sehingga menyebabkan pendapatan petani rakyat meningkat meskipun relatif kecil. Sertifikasi juga memberikan manfaat sosial dan ekologi yang cukup signifikan. Salah satu dari kendala yang dihadapi dalam sertifikasi adalah biaya sertifikasi yang tinggi.
2 Simula et al. Report on Financial Cost Benefit, Analysis of Forest Certification and
Implementation of Phased Approaches.
2.7 Kebaruan (Novelty) dari Penelitian
Kebaruan dari penelitian ini adalah identifikasi kelembagaan yang berperan
selama sertifikasi; faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi;
perhitungan dampak ekonomi kuantitatif melalui analisis biaya manfaat; dan
identifikasi dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan berdasarkan kondisi saat ini.
Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk menambah informasi dari penelitian
yang dilakukan sebelumnya. Penelitian sebelumnya juga dilakukan di Kabupaten
Wonogiri tetapi pengambilan data hanya dilakukan di dua unit manajemen sementara
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Sektor kehutanan di Indonesia memiliki potensi yang tinggi, terutama sektor
hutan rakyat. Hutan rakyat menjadi salah satu pemasok kayu yang dibutuhkan dalam
industri hulu dan hilir pengolahan kayu disamping hutan tanaman industri. Namun,
sektor kehutanan sangat rentan terhadap isu lingkungan karena eksploitasinya
memiliki dampak langsung terhadap lingkungan hidup (Riyatno, 2004). Salah satu isu
lingkungan yang berkembang di sektor kehutanan adalah isu kelestarian pengelolaan
hutan. Adanya isu ini melatarbelakangi timbulnya ekolabel dimana salah satu bentuk
ekolabel adalah sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari
(PHBML). Sertifikasi PHBML ini merupakan jenis sertifikasi voluntary yang diberlakukan di hutan rakyat.
Pada tahun 2004 dan 2007 hutan yang dikelola oleh masyarakat atau yang
disebut hutan rakyat justru mampu memperoleh sertifikasi PHBML sebagai bentuk
penghargaan dalam mengelola hutan secara lestari. Hutan rakyat yang selama ini
dianggap sebagai small scale forest management ternyata mampu menjadi pionir dalam memperoleh sertifikasi. Keberhasilan diperolehnya sertifikasi PHBML
tentunya melibatkan peranan multistakeholder karena persyaratan sertifikasi dan proses yang rumit serta adanya beban biaya. Beban biaya yang seharusnya dikenakan
saat pengajuan sertifikasi PHBML di Kabupaten Wonogiri ditanggung sepenuhnya
oleh lembaga donor. Disamping itu ditemukan juga adanya bantuan pendampingan
sertifikasi PHBML dan bagaimana keragaan proses sertifikasi akan diidentifikasi
dengan menggunakan analisis kelembagaan.
Program pengajuan FKPS Selopuro dan FKPS Sumberejo merupakan bagian
dari pilot project yang bertujuan untuk dijadikan contoh bagi hutan rakyat di daerah lain yang memiliki potensi untuk dikembangkan secara lestari, sedangkan untuk
PPHR Catur Giri Manunggal merupakan unit manajemen hutan rakyat Kabupaten
Wonogiri yang juga layak untuk mendapatkan bantuan dalam memperoleh sertifikasi
PHBML. Meskipun dalam penerapan sertifikasi PHBML masyarakat tidak terbebani
dengan adanya biaya sertifikasi yang harus ditanggung, tetapi motivasi dan alasan
masyarakat untuk mau mengikuti program sertifikasi tetap penting untuk diteliti.
Pada penelitian ini faktor-faktor yang mendasari petani hutan rakyat untuk mengikuti
program sertifikasi diteliti dengan membatasi pada alasan dan motivasi keikutsertaan
petani hutan yang dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Terdapat beberapa jenis biaya yang harus ditanggung dalam skema sertifikasi,
diantaranya adanya biaya sertifikasi yang berlaku untuk 15 tahun dan biaya
surveillance yang dibayarkan tiap lima tahun sekali selama 15 tahun. Baik biaya sertifikasi maupun biaya surveillance tidak dibayarkan oleh petani hutan dalam kondisi sertifikasi saat ini, tetapi perlu diteliti implikasi dari biaya ini apabila di masa
mendatang petani harus dibebani dengan biaya-biaya ini dengan melihat komparasi
biaya dan manfaatnya melalui dampak yang telah dirasakan oleh petani hutan.
Dampak yang diteliti akan ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dampak ekonomi akan diteliti dengan menggunakan analisis biaya manfaat dan
literatur. Dampak sosial dan lingkungan juga akan diteliti dengan menggunakan
analisis deskriptif kualitatif berdasarkan penelitian terhadap indikator-indikator dari
studi literatur. Hasil penelitian dari aspek kelembagaan, aspek faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML, dan aspek dampak sosial, ekonomi,
dan lingkungan akan dianalisis sebagai bahan pertimbangan perlu atau tidaknya
sertifikasi di hutan rakyat. Bagan alur kerangka pemikiran yang menjelaskan
penelitian sertifikasi PHBML di hutan rakyat Kabupaten Wonogiri ini dijelaskan
Gambar 1. Kerangka Alur Pemikiran Dampak-Dampak
Penerapan Sertifikasi PHBML
Dampak Ekonomi
Dampak Sosial
Dampak Lingkungan Potensi Hutan Rakyat
Indonesia
Potensi Hutan Rakyat Kabupaten Wonogiri
Isu Kelestarian Pengelolaan Hutan
Sertifikasi PHBML
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan
Sertifikasi PHBML Kelembagaan dan Stakeholder
yang Terlibat dalam Sertifikasi PHBML
Analisis Kelembagaan
Analisis Biaya dan Manfaat
Analisis Deskriptif Kualitatif
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wonogiri, yakni di Forum
Komunikasi Petani Sertifikasi (FKPS) Selopuro, FKPS Sumberejo, dan Perkumpulan
Petani Hutan Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal. Pemilihan lokasi penelitian ini
dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Wonogiri memiliki tiga unit manajemen hutan rakyat tersertifikasi dalam satu
wilayah kabupaten (LEI, no date). Pertimbangan pemilihan lokasi juga didasarkan atas tahun sertifikasi yang diperoleh unit manajemen hutan rakyat, dimana FKPS
Selopuro dan FKPS Sumberejo telah memperoleh sertifikasi PHBML pada tahun
2004, sedangkan PPHR Catur Giri Manunggal memperoleh sertifikasi PHBML pada
tahun 2007. Sementara unit manajemen hutan rakyat yang ada di daerah lain baru
memperoleh sertifikasi PHBML dengan skema LEI dari tahun 2005 sampai dengan
tahun 2011 (LEI, no date). Pengambilan data primer pada penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April 2012.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yang digunakan meliputi: bentuk keragaan proses sertifikasi di
hutan rakyat; faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML pada
petani hutan rakyat; dan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi. Data
pada petani hutan rakyat. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
data kondisi umum dan historis lokasi penelitian; data biaya pengelolaan hutan dan
pendapatan; aturan-aturan tertulis mengenai pengelolaan hutan; dan struktur
kelembagaan unit manajemen hutan rakyat. Data-data tersebut diperoleh dari
dokumen pengajuan sertifikasi, LSM Persepsi, Tempat Pemasaran Kayu Sertifikasi
(TPKS) yang berfungsi sebagai pasar dari kayu sertifikasi, dan studi literatur.
4.3 Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan data dilakukan di tiga unit manajemen tersertifikasi.
Pengambilan sampel pada tingkat petani hutan rakyat dilakukan secara purposive
dengan jumlah sampel 30 subjek per unit manajemen tersertifikasi, dimana 30 subjek
sampel ini merupakan ukuran minimum sampel yang umumnya digunakan pada
penelitian sosial ekonomi. Jadi total responden petani sertifikasi adalah 90 orang.
Seluruh responden yang diambil sudah merepresentasikan populasi petani hutan
rakyat yang ada karena responden diambil secara proporsional berdasarkan klasifikasi
luas lahan, yakni dari responden dengan lahan sempit (<1 hektar), sedang (1-3
hektar), dan luas (>3 hektar).
Identifikasi kelembagaan dilakukan melalui wawancara mendalam dengan
key person. Sementara identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi dan identifikasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan pada masyarakat
dilakukan dengan penyebaran kuesioner pada 90 orang petani hutan sertifikasi yang
tergabung dalam tiga unit manajemen sertifikasi dan analisis biaya manfaat pada unit
sertifikasi. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan teknik purposive sampling
dengan total sampel 90 responden.
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh pada penelitian ini diolah menggunakan
analisis kelembagaan, analisis deskriptif kualitatif, dan analisis biaya dan manfaat.
Pengolahan dan analisis data dimulai dengan pengelompokkan data dan pembuatan
tabel sesuai keperluan. Matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab
tujuan-tujuan dalam penelitian evaluasi penerapan ekolabel ini dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Matriks Metode Analisis Data
No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data
1 Identifikasi keragaan kelembagaan.
Wawancara mendalam (depth interview) dengan key person dari masing-masing unit manajemen hutan rakyat.
Analisis kelembagaan.
2 Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML.
Hasil kuesioner pada petani hutan yang menjadi sampel dalam penelitian.
Analisis deskriptif kualitatif.
3 Identifikasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan sertifikasi PHBML.
Hasil kuesioner pada petani hutan yang menjadi sampel dalam penelitian dan wawancara mendalam dengan key person.
Analisis deskriptif kualitatif dan analisis biaya manfaat.
4.4.1 Keragaan Kelembagaan
Data yang diperlukan untuk mengidentifikasi keragaan kelembagaan
analisis kelembagaan berdasarkan beberapa indikator keragaan kelembagaan yang
diperoleh dari studi literatur. Indikator-indikator yang digunakan adalah institusi;
norma tingkah laku; peraturan dan penegakan aturan/ hukum; aturan dalam
masyarakat; kode etik; hak milik (property rights atau tenureship); organisasi; dan insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan.
4.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Sertifikasi PHBML Data yang diperlukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan sertifikasi PHBML adalah data primer yang diperoleh
melalui pengisian kuesioner pada petani hutan mengenai alasan keikutsertaan dalam
program sertifikasi PHBML. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan dan
dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Analisis data hanya dilakukan
dengan analisis kualitatif dan tidak menggunakan analisis ekonometrika seperti
halnya analisis faktor-faktor pada umumnya karena identifikasi faktor dibatasi
berdasarkan motivasi keikutsertaan petani dalam PHBML.
4.4.3 Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dari Penerapan Sertifikasi PHBML
Data yang diperlukan untuk mengidentifikasi dampak sosial, ekonomi, dan
lingkungan diperoleh melalui kuesioner dan wawancara mengenai dampak-dampak
yang dirasakan oleh petani setelah penerapan sertifikasi dari segi sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Data primer mengenai persepsi petani hutan mengenai kondisi aktual
dalam aspek dampak ekonomi kualitatif, sosial, dan lingkungan yang diperoleh
yang diperoleh dari penelitian terdahulu. Indikator dampak sosial, ekonomi, dan
lingkungan yang digunakan dalam kuesioner dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Indikator Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Dampak Sosial Dampak Ekonomi Dampak Lingkungan
1. Klarifikasi hak milik lahan dan solusi konflik.
2. Partisipasi dan kesadaran komunitas akan manfaat pengelolaan hutan.
3. Peningkatan kapasitas petani. 4. Peningkatan peran serta
dalam pengelolaan hutan lestari karena adanya peningkatan pengetahuan. 5. Penguatan kelembagaan:
Pengembangan kelembagaan hutan rakyat dan ekonomi.
1. Premium price.
2. Penambahan volume penjualan. 3. Penetrasi ke pasar baru. 4. Eksistensi di pasar lama. 5. Posisi tawar petani hutan
rakyat.
6. Peningkatan pendapatan petani. 7. Memperpendek rantai
distribusi.
1. Konservasi biodiversitas. 2. Fungsi ekologis hutan. 3. Sumber mata air/DAS
(fungsi hidrologis).
Sumber: Simula et al (2005) dan Daniyati (2009)
Gambaran mengenai dampak ekonomi sertifikasi terhadap petani hutan
dilakukan melalui analisis dengan menggunakan alat analisis biaya dan manfaat pada
salah satu unit manajemen hutan rakyat, yakni FKPS Selopuro. Analisis ini dilakukan
untuk melihat seberapa besar biaya sertifikasi berdampak terhadap manfaat dan biaya
petani hutan rakyat dalam pengusahaan hutan rakyat. Analisis biaya dan manfaat ini
dilakukan dengan menggunakan dua skenario, yakni tanpa biaya sertifikasi PHBML
dan dengan biaya sertifikasi. Skenario pertama adalah skenario yang terjadi pada
kondisi saat ini dimana sertifikasi PHBML yang diperoleh unit manajemen hutan
rakyat tersertifikasi dilakukan atas bantuan dana dari lembaga donor sehingga tidak
ada pembebanan biaya terkait sertifikasi. Skenario kedua adalah skenario yang
membayar sertifikasi dengan biaya sendiri. Aspek premium price tidak dimasukkan ke dalam skenario karena pada kenyataannya premium price ini sulit untuk diperoleh.
Kedua skenario dihitung dalam periode 20 tahun dengan mempertimbangkan
umur ekonomis berdasarkan Annual Allowable Cut (AAC) dari tanaman jati dan mahoni yang merupakan tanaman dominan. Tanaman jati dan mahoni ini akan
ditebang habis pada akhir tahun ke-20. Pada saat penebangan akhir, harga kayu yang
digunakan adalah harga kayu jenis UD panjang dengan diameter 25-28, dimana harga
jati Rp 800.000/ pohon dan harga mahoni Rp 400.000/ pohon. Harga pembelian kayu
oleh bakul di tingkat petani menggunakan harga per pohon (borongan) bukan
menggunakan sistem kubikasi. Kubikasi memang dilakukan oleh bakul tetapi hal ini
digunakan sebagai taksiran bakul untuk memperkirakan harga jual kembali kepada
pengepul.
Analisis biaya dan manfaat ini menggunakan tingkat suku bunga 5,75% yakni
merupakan tingkat suku bunga deposito karena biaya pengelolaan hutan rakyat
diperoleh dari modal pribadi dan tidak meminjam kepada Bank. Biaya investasi yakni
berupa lahan hutan rakyat tidak diperhitungkan dalam analisis dengan
mempertimbangkan lahan yang dikelola merupakan lahan warisan sehingga petani
tidak melakukan pembelian lahan. Analisis ini juga dipertimbangkan dua jenis lahan
hutan rakyat, yakni lahan pekarangan dan ladang, dan dua pola penanaman yang
dilakukan oleh petani hutan di lahan ladang, yakni pola kayu dan pola tumpangsari
antara tanaman pertanian dengan tanaman kayu sebagai tanaman tepi. Perbandingan
penerapan pola kayu dengan pola tumpangsari diasumsikan sebesar 60% banding