• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar belakang mundurnya Amerika Serikat dari traktat anti rudal balistik (anti ballistic missile treaty) tahun 2001

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Latar belakang mundurnya Amerika Serikat dari traktat anti rudal balistik (anti ballistic missile treaty) tahun 2001"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

LATAR BELAKANG MUNDURNYA AMERIKA SERIKAT

DARI TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC

MISSILE TREATY) TAHUN 2001

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

MHD. HABIB AKBAR

107083000274

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF

HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

iv ABSTRAK

Skripsi ini menganalisa faktor-faktor yang melatarbelakangi mundurnya Amerika Serikat dari traktat anti rudal balistik (Anti Ballistic Missile Treaty) tahun 2001. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi mundurnya Amerika Serikat dari traktat anti rudal balistik (Anti Ballistic Missile Treaty). Penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah kebijakan luar negeri dan pengendalian senjata/Arms Control. Dari hasil analisis dengan menggunakan teori dan konsep tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada Perang Dingin, produk kebijakan mengenai pengendalian senjata mengalami resistensi seiring kemampuan negara-negara lain di luar Traktat Anti Rudal Balistik dalam menciptakan rudal balistik. Negara-negara di luar Traktat Anti Rudal Balistik ini dikategorikan sebagai sebagai Rogue States dikarenakan mengembangkan rudal balistik secara massive untuk kepentingan ofensif. Keinginan Rogue States tersebut dalam mengembangkan rudal balistik dengan skala besar tentu berdasarkan keberadaan negara-negara tersebut yang tidak terikat dengan Traktat Anti Rudal Balistik. Kemampuan Rogue States dalam mengembangkan rudal balistik dianggap sebagai ancaman baru paska Perang Dingin oleh Amerika Serikat. Adanya ancaman tersebut tentunya direspon oleh Amerika Serikat dengan terus melakukan pembaharuan terhadap kebijakan pertahanan nasional negaranya. Berbagai kebijakan pertahanan nasional yang dirilis oleh Amerika Serikat, secara langsung memunculkan keinginan Amerika Serikat untuk mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik guna menerapkan kebijakan pertahanan nasional yang komprehensif. Hal ini tentunya bertujuan untuk mengamankan kepentingan Amerika Serikat secara nasional maupun internasional khususnya kepentingan para sekutunya.

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan karunia dan ridha sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Latar Belakang Mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik (Anti Ballistic Missile Treaty) Tahun 2001” sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Strata 1 (S1) Ilmu Hubungan

Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari dorongan serta dukungan

moril dari berbagai pihak dalam upaya meraih gelar S1. Oleh karena itu,

perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak M. Adian Firnas, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah meluangkan waktu dan fikiran serta mengarahkan penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si, selaku sekretaris program studi

hubungan internasional FISIP UIN Jakarta.

4. Ibu Dina Afrianty, Ph.D., selaku dosen pembimbing akademik yang

telah memberikan kontribusi kepada penulis dalam memulai penulisan

(7)

vi

5. Ibu Mutiara Pertiwi, MA., selaku dosen teori hubungan internasional

yang menginspirasi penulis dalam penulisan skripsi ini serta

memberikan banyak arahan baik di dalam maupun di luar perkuliahan.

6. Bapak dan Ibu dosen program studi hubungan internasional FISIP UIN

Jakarta di antaranya Bapak Nazaruddin Nasution, SH, MA., Bapak

Armein Daulay, M.Si., Bapak Drs. Aiyub Mohsin, MA, MM., Alm.

Bapak Dr. Abdul Hadi Adnan, Bapak Amiruddin Noer, MA., Bapak

Arisman, M.Si., Bapak Badrus Sholeh, MA., Bapak Kiky Rizky,

M.Si., Ibu Friane Aurora, M.Si, dan juga seluruh staf administrasi

program studi hubungan internasional FISIP UIN Jakarta. Terima

kasih atas ilmu serta bantuannya dalam mengarahkan penulis dalam

bidang keilmuan hubungan internasional.

7. Bapak Dr. Siswanto, M.Si selaku peneliti LIPI yang telah berkenan

meluangkan waktu kepada penulis untuk melakukan wawancara.

8. M. Yakub Amin dan Nurleli selaku orang tua penulis yang selalu

memberikan motivasi, semangat serta doa yang tulus dan ikhlas

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Nidya Saraswati dan Femmi Tsanita selaku rekan kerja penulis ketika

masih memulai pengalaman karir di sebuah lembaga swadaya

masyarakat. Terima kasih atas nasehat, motivasi, arahan serta

pengalaman yang berharga di sela-sela penulisan skripsi ini.

10.Rekan-rekan hubungan internasional angkatan 2007 kelas B selaku

teman dalam berdiskusi dan berdebat yang selalu memberikan inspirasi

(8)

vii

11.Seluruh rekan-rekan program studi hubungan internasional khususnya

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2006/2007, 2007/2008,

2008/2009, 2009/2010 yang telah memberikan ilmu serta pengalaman

kepada penulis dalam proses pembelajaran berorganisasi.

12.Terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan

satu-persatu, yang telah berjasa dan terlibat dalam proses penyelesaian

skripsi ini baik langsung maupun tidak langsung.

Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan

serta ketulusan seluruh pihak yang telah berjasa dalam penyelesaian skripsi ini

dengan memberikan karunia dan ridhaNya. Semoga karya ilmiah berupa skripsi

ini dapat memberikan manfaat dan menjadi referensi bagi banyak orang bahwa

perangkat militer merupakan bagian penting dalam eksistensi sebuah negara.

Jakarta, Desember 2013

(9)

viii

2. Pengendalian Senjata/Arms Control... 10

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan... 15

BAB II TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC MISSILE TREATY) A. Kompetisi Rudal Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang Dingin ... 18

B. Latar Belakang dan Prinsip Traktat Anti Rudal Balistik ... 33

C. Sejarah Singkat Komitmen Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Traktat Anti Rudal Balistik... 39

BAB III MELEMAHNYA KOMITMEN AMERIKA SERIKAT DALAM TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ABM TREATY) A. Komitmen Awal Amerika Serikat Bergabung dalam Traktat Anti Rudal Balistik ... 43

B. Aktivitas Amerika Serikat di dalam Traktat Anti Rudal Balistik ... 48

(10)

ix

BAB IV LATAR BELAKANG MUNDURNYA AMERIKA SERIKAT DARI TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ABM TREATY)

A. Faktor Internal ... 59

1. Penguatan Kebijakan Strategic Defense Initiative (SDI) ... 59

2. Perkembangan Kebijakan Global Protection Against Limited Strikes (GPALS) Paska Berakhirnya Perang Dingin ... 69

3. Dinamika Kebijakan Ballistic Missile Defense (BMD) dan National Missile Defense (NMD) dalam Sistem Pertahanan Nasional Amerika Serikat ... 75

B. Faktor Eksternal ... 88

1. Munculnya Negara-Negara Produsen Rudal Balistik Paska Perang Dingin ... 88

a. India ... 91

b. Syria ... 92

c. Pakistan ... 93

2. Ancaman Rogue States terhadap Amerika Serikat ... 94

a. Iran ... 94

b. Korea Utara ... 97

c. Irak ... 98

BAB V PENUTUP Kesimpulan... 105

DAFTAR PUSTAKA ... xv

(11)

x

DAFTAR TABEL

Tabel II.A.1 USSR/Russian ICBM Forces, 1960-1996 ... 24

Tabel III.A.1 US-Soviet Strategic Force Warheads... 45

Tabel III.A.2 US Strategic Offensive Force Loadings 1945-1972 ... 46

Tabel III.A.3 USSR/Russia Strategic Offensive Force Loadings

1956-1972... 47

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.A.1 U.S. NIKE Anti Ballistic Missile Program... 20

Gambar II.A.2 U.S. NIKE-ZEUS Anti Ballistic Missile Program ... 22

Gambar II.A.3 U.S. Strategic Air Command (SAC) & U.S. Nike I-Hercules-Talos ... 25

Gambar II.A.4 Sentinel Program ... 30

Gambar IV.A.1.1 Strategic Defense System (SDS) Phase I Architecture Phase I Architecture ... 66

Gambar IV.A.1.2 Brilliant Pebbles (BP) ... 67

Gambar IV. A.3.1 PATRIOT Advanced Capability/PAC-3 ... 77

Gambar IV.A.3.2 Theater High Altitude Area Defense/THAAD ... 77

Gambar IV.A.3.3 Airborne Laser Project ... 78

Gambar IV.A.3.4 AEGIS/Shipborne Aegis Air Defense System... 78

Gambar IV.B.2.a.1 Iranian Shahab-3 Variant MRBM (1.300-2.000 km) ... 94

Gambar IV.B.2.a.2 Iranian Space Launch Vehicle (SLV) ... 95

Gambar IV.B.2.a.3 Iranian Growing Ballistic Missile Threats... 96

Gambar IV.B.2.a.4 Ranges of Iran’s Missiles ... 96

Gambar IV.B.2.b.1 Potential North Korean Long Range Missile Capabilities ... 98

Gambar IV.B.2.c.1 Iraq’s Ballistic Missile Program ... 101

Gambar IV.B.2.c.2 Iraq’s Biological Warheads ... 102

Gambar IV.B.2.c.3 Iraq’s Nuclear Facilities ... 102

(13)

xii

DAFTAR SINGKATAN

ABM Anti Ballistic Missile

ABMIS Airborne Ballistic Missile Intercept System

ANZUS Australia, New Zealand, United States Treaty Organization

ARPA Advance Research Projects Agency

BMD Ballistic Missile Defense

CIA Central Intelligence Agency

COMINFORM Communist Information Bureau

DAB Defense Acquisition Board

DTS Defense Technology Study

GPALS Global Protection Against Limited Strikes

ICBM Intercontinental Ballistic Missile

IRBM Intermediate Range Ballistic Missile

MAD Mutual Assured Destruction

MRBM Medium Range Ballistic Missile

NASA National Aeronautics and Space Administration

NATO North Atlantic Treaty Organization

NAZI National Sozialistische

NIE National Intelligence Estimate

NMD National Missile Defense

SAC Strategic Air Command

SALT Strategic Arms Limitation Talks

SAM Surface to Air Missile

SDI Strategic Defense Initiative

(14)

xiii

SDS Strategic Defense System

SEATO South East Asia Treaty Organization

SLBM Submarine Launched Ballistic Missiles

SRBM Short Range Ballistic Missile

START Strategic Arms Reduction Treaty

USSR Union of Soviet Socialist Republics

WMD Weapons of Mass Destruction

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Transkrip Wawancara oleh Peneliti LIPI ... xxii

Lampiran 2 Butir-butir Perjanjian Anti Rudal Balistik antara Amerika Serikat

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara mengenai pertahanan dan keamanan sebuah negara, tentunya

tidak lepas dari perangkat senjata yang dimiliki oleh negara tersebut. Perlombaan

senjata telah diperlihatkan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang bersaing

dalam Perang Dingin (Cold War) pada periode 1947-1991 (Bailey 1998: 1).1 Salah satu perangkat senjata bertenaga nuklir yang digunakan Amerika

Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin adalah rudal balistik. Rudal

balistik merupakan perangkat senjata berbentuk peluru kendali yang kekuatannya

disuplai oleh tenaga roket sebagai peluncur yang melintas menuju target utama

(Doll, Wise, dan Masterson 2012). Rudal balistik diklasifikasikan dari jarak

tempuh minimum hingga maksimum, yang fungsinya mengukur seberapa jauh

jangkauan rudal dan seberapa besar kekuatan hulu ledak yang dibawanya.

Klasifikasi rudal balistik berdasarkan jarak tempuh dapat dikategorikan sebagai

berikut; Short-Range Ballistic Missile (70-1.000 km), Medium-Range Ballistic Missile (1.000-3.000 km), Intermediate-Range Ballistic Missile (3.000-5.500 km), Intercontinental Ballistic Missile (5.500 km+) (Feickert 2004: 2).

Pada tahun 1958, Amerika Serikat mulai mengembangkan teknologi rudal

balistik dan berhasil di uji coba pada tahun 1962 yang termasuk dalam kategori

Intercontinental Ballistic Missile (ICBM). Keberhasilan ini secara resmi dijadikan sebagai kebijakan pertahanan dan keamanan nasional Amerika Serikat pada masa

1

(17)

2

Perang Dingin. Namun pada tahun 1965, Uni Soviet juga berhasil

mengembangkan teknologi rudal balistik yang juga termasuk kategori

Intercontinental Ballistic Missile (Missile Defense Agency 2013). Kontestasi rudal balistik oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet telah dibuktikan dengan saling

mengungguli dari segi kualitas serta kuantitas. Dalam skala jumlah, Amerika

Serikat telah mampu memproduksi rudal balistik dengan jumlah 1.640 perangkat.

Sementara itu, Uni Soviet memiliki rudal balistik berjumlah 2.380 perangkat

(Norris dan Cochran 1997: 13).

Rivalitas produksi rudal balistik dalam hal ini menimbulkan kekhawatiran

bagi aspek pertahanan dan keamanan Amerika Serikat. Oleh sebab itu, pada tahun

1969, Amerika Serikat berinisiatif mengundang Uni Soviet untuk berdiskusi

tentang pengurangan serta pengendalian senjata nuklir dalam bentuk rudal

balistik. Pertemuan tersebut bertajuk Strategic Arms Limitation Talks (SALT) (Missile Defense Agency, 2013). Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan Anti Ballistic Missile Treaty yang ditandatangani oleh kedua negara pada tahun 1972

(Kimball dan Collina 2010: 1).

Traktat Anti Rudal Balistik merupakan kesepakatan antara Amerika

Serikat dan Uni Soviet yang mengatur kedua negara agar tidak menyebarkan

sistem anti rudal balistik di luar wilayah negara masing-masing. Traktat ini juga

mengatur secara ketat penggunaan peluncur serta radar yang digunakan untuk

mendeteksi keberadaan sistem anti rudal balistik oleh kedua negara (Ackerman

(18)

3

Dalam kesepakatan ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet tetap

diperbolehkan untuk memasang secara terbatas, yaitu tidak lebih dari 100 rudal

penangkal. Hal ini ditolerir untuk kepentingan pertahanan kedua negara tersebut

dari kemungkinan serangan negara lain, serta melindungi instalasi rudal balistik

yang berada di wilayah Amerika Serikat dan Uni Soviet (Kimball dan Boese

2003: 1).

Meskipun diperbolehkan memiliki 100 perangkat rudal penangkal,

Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak diperbolehkan untuk melakukan uji coba

rudal balistik baik rudal balistik yang dioperasikan dari darat, laut, maupun udara

secara massive (Kimball dan Boese 2003: 1-2). Selain itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet juga dilarang untuk menggunakan sistem radar yang bertujuan

mengoperasikan rudal balistik khususnya Intercontinenal Ballistic Missile atau rudal balistik antar benua (Feickert 2004: 2).

Ketentuan lain yang terdapat dalam butir-butir kesepakatan traktat anti

rudal balistik yaitu, Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya dibolehkan melakukan

uji coba rudal balistik dengan jumlah 15 unit. Butir lainnya yang diatur di dalam

traktat yaitu kedua negara dilarang untuk menyebarkan teknologi rudal balistik

kepada negara-negara sekutu baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet.

Kesepakatan ini juga mengatur bahwa Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya

(19)

4

Pada paska perang dingin, Amerika Serikat menganggap Traktat Anti

Rudal balistik semakin tidak efektif dalam konteks pertahanan dan keamanan. Hal

ini dikarenakan, ada tiga belas negara yang memproduksi serta mengembangkan

teknologi rudal balistik; China, Korea Utara, Korea Selatan, India, Pakistan,

Taiwan, Mesir, Iran, Irak, Israel, Ukraina, Libya, dan Syiria. Namun ada enam

negara yaitu Iran, Korea Utara, Irak, India, Pakistan, dan Syria yang dianggap

sebagai ancaman potensial bagi keamanan nasional Amerika Serikat serta masuk

ke dalam kategori Rogue States (Feickert 2004: 2).

Munculnya tiga belas negara tersebut memicu Amerika Serikat untuk

merilis kebijakan pertahanan dan keamanan nasional bernama The Strategic Defense Initiative Organization (SDIO) pada tahun 1984. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan program pengembangan rudal balistik yang berbasis luar

angkasa. Selain itu, SDIO juga turut mengoptimalkan program rudal balistik

kepada seluruh elemen pemerintahan yang ada di Amerika Serikat (Dabrowski

2013: 12).

Pada tahun 1991, yang merupakan akhir dari Perang Dingin, kebijakan

pertahanan dan keamanan Amerika Serikat diperkuat dengan menerbitkan

program Global Protection Against Limited Strikes (GPALS) (Dabrowski 2013: 14). Program ini difokuskan pada perlindungan wilayah Amerika Serikat dan

sekutunya dari serangan rudal balistik kategori Short-Range Ballistic Missile (70-1.000 km) (Feickert, 2004: 2). Dalam kebijakan ini, fokus Amerika Serikat hanya

terbatas pada ancaman negara-negara yang telah mampu memproduksi rudal

balistik, bukan lagi kepada Uni Soviet/Rusia (Strategic Defense Initiative

(20)

5

Kebijakan tersebut merupakan awal langkah Amerika Serikat untuk

menarik diri dari Traktat Anti Rudal Balistik yang dibentuk tahun 1972. Hal ini

dikarenakan Amerika Serikat menganggap bahwa Traktat Anti Rudal Balistik

semakin tidak relevan paska Perang Dingin. Selain itu, Amerika Serikat juga

memerlukan sebuah konsep baru terkait pertahanan dan keamanan yang sesuai

dengan tantangan-tantangan baru yang berkembang. Oleh karena itu pada tahun

2001 Amerika Serikat menyatakan mundur dari traktat anti rudal balistik sebagai

bentuk kebijakan strategis terkait pertahanan dan keamanan (Rusten 2010:1-2).

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini akan mengajukan

pertanyaan sebagai berikut;

Apa latar belakang mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal

Balistik ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan serta menganalisis faktor-faktor

yang melatarbelakangi mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal

Balistik. Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk melatih analisis dalam

aplikasi konsep kebijakan luar negeri dan pengendalian senjata/Arms Control yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan hubungan internasional seperti James

N. Rosenau, K.J. Holsti, Richard Dean Burns, dan Jeffrey A. Larsen. Penelitian

ini juga mengungkap kondisi persenjataan strategis dalam bentuk rudal balistik,

baik yang tergolong ofensif maupun yang defensive yang dimiliki Amerika

(21)

6 D. Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian telah dilakukan seputar masalah mundurnya Amerika

Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik, salah satunya penelitian yang dilakukan

oleh Lynn F. Rusten yang berjudul “U.S. Withdrawal from Anti Ballistic Missile Treaty” (Rusten 2010: 10). Rusten mengangkat masalah mengenai motivasi mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik yang selama ini

terjalin dengan Uni Soviet/Rusia sejak tahun 1972. Dalam penelitiannya,

disebutkan bahwa mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik

dikarenakan beberapa faktor terkait perubahan strategi serta konsep baru dalam

sistem keamanan nasional yang ingin dibangun oleh Amerika Serikat.

Rusten menjelaskan bahwa bentuk keamanan nasional yang diinginkan

oleh Amerika Serikat adalah dengan mengaktifkan kembali rudal-rudal yang

selama Traktat Anti Rudal Balistik berlangsung justru dibatasi dari segi kuantitas

maupun kualitas. Rusten juga menempatkan prioritas keamanan nasional Amerika

Serikat yang ditekankan pada pengaturan tentang pembangunan, percobaan dan

penyebaran rudal-rudal balistik Amerika Serikat secara luas.

Penelitian lain dalam bentuk skripsi mengenai mundurnya Amerika

Serikat dari traktat anti rudal balistik juga telah dilakukan oleh Seira Wallentina

dengan judul “Penarikan Diri Amerika Serikat dari Traktat Anti Ballistic Missile (ABM) tahun 2001” (Wallentina 2003). Skripsi ini menjelaskan bahwa mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik merupakan salah

satu strategi keamanan nasional Amerika Serikat untuk menangkal segala potensi

ancaman yang tidak hanya datang dari aktor negara tetapi juga dari aktor non

(22)

7

Karya ilmiah lainnya dalam bentuk skripsi yang berhubungan dengan

mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik serta kebijakan

pertahanan nasionalnya juga ditulis oleh Satrio Adhi Nugroho dengan judul

“Pertimbangan Strategis Amerika Serikat dalam Merencanakan Pengadopsian Kebijakan National Missile Defense pada tahun 2001” (Nugroho 2002). Penelitian ini secara umum menjelaskan bahwa kebijakan National Missile Defense yang dirilis Amerika Serikat merupakan alasan utama untuk mundur dari ABM Treaty.

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka isu yang membedakan skripsi

ini dengan penelitian sebelumnya yang dijelaskan di atas adalah, skripsi ini

berusaha menjelaskan kronologis sejarah perkembangan rudal balistik yang

dimiliki oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selain itu, skripsi ini juga akan

berusaha menjelaskan mengenai berbagai produk kebijakan pertahanan nasional

yang dirilis oleh Amerika Serikat pada masa Perang Dingin berlangsung yang

dianggap belum memberikan penjelasan secara lengkap. Oleh karena itu skripsi

ini berusaha melengkapi berbagai isu menyangkut Traktat Anti Rudal Balistik

khususnya yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan pertahanan nasional

yang diterapkan oleh Amerika Serikat secara komprehensif.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas, skripsi ini akan

menggunakan teori Kebijakan Luar Negeri serta konsep Pengendalian

(23)

8 1. Kebijakan Luar Negeri

Menurut James N. Rosenau (1976: 27-32), kebijakan luar negeri

merupakan keseluruhan sikap dan aktivitas suatu negara dalam upayanya

mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya yang

bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Definisi ini

juga dikembangkan oleh Ikrar Nusa Bhakti (2001: 22) yang menjelaskan bahwa

tujuan tersebut meliputi baik tujuan politik, ekonomi, dan keamanan, sesuai

dengan kepentingan nasionalnya yang telah ditentukan oleh penentu kebijakan

luar negeri sebagai hasil dari proses politik.

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Malhotra (2004: 185-186),

kebijakan luar negeri memiliki beberapa unsur yang saling berkaitan dan saling

mempengaruhi yaitu, ekonomi, pertahanan, dan diplomasi. Ia juga menjelaskan

bahwa, kebijakan luar negeri dibuat atas nama negara. Kebijakan luar negeri

dirumuskan serta dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah tersebut merupakan

perpaduan dari berbagai organisasi dan individu yang memiliki berbagai

kepentingan yang berbeda-beda. Kebijakan luar negeri juga selalu dikondisikan

dengan lingkungannya baik domestik maupun eksternal/internasional.

Menurut K.J. Holsti (1992: 269), kebijakan luar negeri merupakan semua

tindakan atau aktifitas suatu negara yang memiliki tujuan untuk mempertahankan

atau mengubah suatu tujuan, kondisi, atau praktek-praktek dalam lingkungan

eksternal suatu negara. Selain itu, kebijakan luar negeri juga dibentuk untuk

mempromosikan atau mencapai tujuan yang bersifat domestik seperti keamanan,

(24)

9

Pokok permasalahan dalam penentuan kebijakan luar negeri pada

umumnya dititikberatkan pada usaha untuk memecahkan berbagai permasalahan,

baik yang berkaitan dengan masalah domestik maupun masalah

eksternal/internasional suatu negara serta mempromosikan sebuah perubahan.

Lebih lanjut lagi, Holsti (1992: 272) menambahkan bahwa terdapat dua faktor

yang mempengaruhi kebijakan luar negeri yang dibuat suatu negara, yaitu faktor

internal (domestik) dan eksternal (internasional).

Faktor internal dalam hal ini meliputi kondisi sosio ekonomi, karakteristik

geografis dan demografi, struktrur pemerintahan, birokrasi, serta atribut nasional.

Sementara itu faktor eksternal terdiri dari struktur sistem, karakteristik ekonomi

dunia, tujuan dan tindakan aktor-aktor lain, masalah regional dan global, hukum

internasional serta opini dunia.

Holsti juga menekankan bahwa di antara berbagai faktor tersebut,

kepentingan nasional merupakan bagian faktor internal yang paling berpengaruh

dalam kebijakan luar negeri. Sebab, kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh

suatu negara didasari atas pertimbangan kepentingan nasional. Joseph Frankel

(1988: 93) juga berpendapat lewat bukunya yang berjudul International Relations in a Changing World, mengatakan bahwa kepentingan nasional merupakan kunci utama dari perumusan kebijakan luar negeri yang menjadi pokok utama dari total

keseluruhan nilai-nilai nasionalitas suatu bangsa. Frankel juga menambahkan

bahwa kepentingan nasional dapat dideskripsikan sebagai suatu gambaran aspirasi

rakyat yang dapat diwujudkan dalam suatu gerakan operasional yang

menghasilkan suatu aplikasi yang berbentuk kebijakan dan program yang

(25)

10

Salah satu program pemerintah yang merupakan sebuah rumusan

kebijakan luar negeri suatu negara adalah dengan peningkatan kekuatan militer.

Peningkatan kekuatan militer tentunya tidak terlepas dari kebijakan suatu negara

dalam menyikapi isu keamanan internasional yang mengancam negaranya.

Tentunya negara yang mengambil kebijakan untuk meningkatkan kalkulasi

kekuatan militernya telah siap untuk menghadapi musuh nyata maupun musuh

potensial yang mengancam keamanan nasional suatu negara maupun keamanan

sekutunya.

Secara substansi, ada tiga prioritas utama dan merupakan

komponen-komponen yang diperlukan oleh AS dan sekutunya dalam perumusan kebijakan

luar negeri paska perang dingin berakhir; (1) kepentingan nasional AS difokuskan

untuk mempertahankan AS, warga AS di dalam maupun luar negeri, serta

sekutunya dari segala bentuk serangan langsung, (2) mencegah agresi yang dapat

mengganggu perdamaian internasional, dan (3) mencegah timbulnya proliferasi

nuklir (Notosusanto dalam Sudharsono 1996: 117).

2. Arms Control/Pengendalian Senjata

Aktivitas Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet

berdampak pada perlombaan senjata dalam skala besar, bahkan konflik kedua

negara dikarenakan saling curiga juga diperkuat oleh ketiadaan sistem

pengendalian senjata/Arms Control dan perlucutan senjata/Disarmament yang

berlaku secara internasional (McNamara dalam Salamah 2008: 225). Akan tetapi,

terminologi pengendalian senjata dan perlucutan senjata justru mulai

diperkenalkan pada awal tahun 1950, yang dijelaskan oleh Richard Dean Burns

(26)

11

Dalam bukunya, Burns mengutip pernyataan mantan Presiden Uni Soviet

Mikhail Gorbachev mengenai Arms Control dan Disarmament. Gorbachev menekankan bahwa aturan mengenai Arms Control dan Disarmament merupakan hal yang mendesak untuk dilaksanakan, seiring menguatnya krisis keamanan oleh

Amerika Serikat dan Uni Soviet ketika Perang Dingin berlangsung. Pengaturan

tentang pengendalian serta perlucutan senjata dapat direalisasikan dalam bentuk

kerjasama bilateral dan multilateral. Kerjasama ini dimaksudkan agar terciptanya

netralitas dari ketidakamanan yang disebabkan oleh sistem persenjataan yang

dibangun oleh kedua negara (2002: 79).

Pengaturan pengendalian senjata dan perlucutan senjata pada dasarnya

difokuskan kepada 2 (dua) tujuan utama yaitu, untuk menstabilkan iklim militer

serta mengurangi aktivitas militer suatu negara jika terindikasi terjadinya

peperangan. Lebih lanjut lagi, Burns menegaskan bahwa, mekanisme tentang

pengendalian dan perlucutan senjata seperti mengurangi, membatasi serta

mengatur jenis persenjataan secara normatif tentu dapat menciptakan lingkungan

internasional yang stabil. Namun aturan-aturan tersebut tidak dapat menyelesaikan

perdebatan mengenai ancaman-ancaman yang berpotensi datang. Burns berasumsi

bahwa mekanisme pengaturan senjata harus diperkuat dengan jalur diplomasi

antar masing-masing negara, sehingga untuk sementara kekhawatiran yang

disebabkan oleh tidak adanya aturan mengenai persenjataan dapat dihilangkan

(2002: 80).

Asumsi yang dikemukakan Burns selanjutnya adalah mengenai adanya

kebingungan dalam memahami penggunaan istilah pengendalian senjata dan

(27)

12

(sembilan belas) untuk menggambarkan semua upaya-upaya yang berhubungan

dengan membatasi, mengurangi serta mengendalikan peperangan. Sementara itu,

sebagian masyarakat internasional mengartikan istilah perlucutan senjata sebagai

penghapusan senjata secara keseluruhan (2002: 81).

Namun tidak demikian halnya dengan pandangan yang dimiliki oleh

sebagian besar diplomat dan kalangan masyarakat internasional lainnya. Para

diplomat serta para pemimpin badan-badan internasional di bawah Perserikatan

Bangsa-Bangsa menggunakan perlucutan senjata hanya sebagai istilah umum. Hal

ini meliputi langkah-langkah yang bertujuan untuk meredakan ketegangan atau

membangun kepercayaan diri melalui pengaturan persenjataan, pengendalian

senjata hingga nantinya berujung pada perlucutan senjata secara umum dan

menyeluruh (Burns 2002: 81).

Seiring perdebatan mengenai penggunaan istilah pengendalian dan

perlucutan senjata semakin kompleks, maka pada awal tahun 1950 para akademisi

yang fokus mengenai teknologi nuklir dan senjata ofensif mulai menggunakan

istilah Pengendalian Senjata. Bagi para akademisi, istilah perlucutan senjata tidak

hanya memiliki kelemahan dari segi arti, tetapi juga terkesan berharap dengan

kondisi yang tidak mungkin terjadi. Namun berbeda halnya dengan Pengendalian

Senjata yang justru mengutamakan kerjasama internasional yang berstatus sebagai

musuh potensial. Kerjasama ini dirancang untuk mengurangi kemungkinan

konflik atau bahkan konflik yang akan terjadi (Burns 2002: 81-82).

Asumsi lain mengenai konsep Pengendalian Senjata juga dikemukakan

oleh Jeffrey A. Larsen. Larsen (2002: 1) menjelaskan bahwa pengendalian senjata

(28)

13

beberapa aspek terkait potensi serta kemampuan militer masing-masing negara.

Perjanjian tersebut tentunya berlaku untuk lokasi, jumlah, kesiapan serta jenis

kekuatan militer yang meliputi senjata dan fasilitas pendukung lainnya. Apapun

tujuan serta cakupannya, setiap perencanaan terkait pengendalian senjata memiliki

satu faktor penting yang harus disepakati bersama oleh masing-masing negara;

setiap negara mensyaratkan format kerjasama yang disesuaikan dengan program

militer mereka (2002: 1-2).

Larsen juga menyatakan bahwa pengendalian senjata merupakan sarana

untuk meningkatkan keamanan nasional suatu negara. Adanya pengendalian

senjata memicu setiap negara untuk meningkatkan kemampuan persenjataannya,

yang secara tidak langsung akan menciptakan stabilitas keamanan serta

mengurangi kemungkinan terjadinya perang. Konsep pengendalian senjata dalam

penelitian ini difokuskan untuk menjelaskan traktat anti rudal balistik terkait latar

belakang, prinsip, tujuan serta fungsinya bagi kerjasama AS dan Uni Soviet

(2002: 2).

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Metode

penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati. (Moleong 2007: 4). Metode penelitian kualitatif yang

digunakan dalam penelitian ini tentunya bersifat deskriptif analitis. Artinya

penelitian ini melihat permasalahan yang ada dan akan dikaitkan dengan teori,

konsep serta pendekatan yang ada di dalam ilmu hubungan internasional

(29)

14

Penelitian kualitatif cenderung memberikan ruang analisis yang cukup luas

dalam berbagai format berupa wawancara, riset sumber dokumen dan riset media.

Metode kualitatif juga terfokus pada usaha mengeksplorasi secara detail peristiwa

yang dipandang menarik untuk diteliti. Tujuannya adalah mendapatkan

pemahaman yang mendalam, bukan meluas. (Harrison 2007: 86). Definisi

penelitian kualitatif sendiri adalah jenis penelitian yang menghasilkan

penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur statistik atau

cara-cara lain berupa pengukuran. Pengumpulan data dalam metode kualitatif

terdiri dari empat tipe, yaitu observasi, dokumen, interview serta gambar visual

yang masing-masing memiliki fungsi dan keterbatasan (Creswell dalam Nasution

2003: 23).

Secara umum, langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini

dapat dijabarkan sebagai berikut: pertama, melakukan pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library research) berupa buku, artikel, jurnal, dokumen resmi serta informasi melalui media internet. Studi kepustakaan juga dapat diartikan

sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data

pustaka, membaca, mencatat, serta mengolah bahan penelitian (Hasyim, 1995:

147).

Kedua, setelah data diperoleh maka dilakukan analisis terhadap data tersebut. Instrumen lain yang bertujuan memperkuat hasil penelitian ini adalah

proses wawancara dengan melibatkan ahli terkait pengkajian strategis khususnya

(30)

15 G. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

B. Pertanyaan Penelitian

C. Tujuan Penelitian

D. Tinjauan Pustaka

E. Kerangka Pemikiran

F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penulisan

BAB II Traktat Anti Rudal Balistik (Anti Ballistic Missile Treaty) A. Kompetisi Rudal Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang

Dingin

B. Latar Belakang dan Prinsip Traktat Anti Rudal Balistik

C. Sejarah Singkat Komitmen Amerika Serikat dan Uni Soviet

dalam Traktat Anti Rudal Balistik

BAB III Melemahnya Komitmen Amerika Serikat dalam Traktat Anti Rudal Balistik (ABM Treaty)

A. Komitmen Awal Amerika Serikat Bergabung dalam Traktat

Anti Rudal Balistik

B. Aktivitas Amerika Serikat di dalam Traktat Anti Rudal Balistik

(31)

16

BAB IV Latar Belakang Mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik (ABM Treaty)

A. Faktor Internal:

1. Penguatan Kebijakan Strategic Defense Initiative (SDI) 2. Perkembangan Kebijakan Global Protection Against

Limited Strikes (GPALS) Paska Berakhirnya Perang Dingin 3. Dinamika Kebijakan Ballistic Missile Defense dan National Missile Defense dalam Sistem Pertahanan Nasional Amerika Serikat

B. Faktor Eksternal:

1. Munculnya Negara-Negara Produsen Rudal Balisitk Paska

Perang Dingin

a. India

b. Syria

c. Pakistan

2. Eksistensi Rogue States sebagai Prioritas Utama Kebijakan Pertahanan Amerika Serikat

a. Iran

b. Korea Utara

c. Irak

(32)

17 BAB II

TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC MISSILE TREATY)

Kesepakatan Traktat Anti Rudal Balistik yang melibatkan Amerika Serikat

dan Uni Soviet merupakan langkah strategis dalam upaya pengendalian rudal

ofensif oleh kedua negara. Salah satu tujuan dari dibentuknya kesepakatan

tersebut secara teoretis memiliki 2 (dua) poin utama yaitu, untuk menstabilkan

iklim militer serta mengurangi aktivitas militer jika terindikasi akan terjadinya

peperangan antar kedua negara (Burns 2002: 80).

Pada dasarnya langkah yang diambil Amerika Serikat melalui Presiden

Nixon dan Uni Soviet oleh Presiden Leonid Brezhnev terkait pembatasan senjata

ofensif telah dimulai pada tahun 1969 di Helsinki, Finlandia yang dinamakan

Strategic Arms Limitation Talks (SALT) (Smith 2000: 6). Pertemuan serta perundingan ini pertama kali diinisiasi oleh Amerika Serikat sebagai bentuk

implementasi dari 2 (dua) poin penting yang ditetapkan Senat ketika menyetujui

program Safeguard oleh pemerintah. Salah satu poin tersebut adalah

mengharuskan pemerintah Amerika Serikat untuk segera mengadakan pertemuan

dengan Uni Soviet dan membicarakan perihal pembatasan senjata ofensif (Smith

2000: 6).

Perundingan tersebut pada akhirnya berjalan dengan lancar yang secara

resmi ditandatangani pada bulan November tahun 1969 dan kedua negara

khususnya Uni Soviet berkomitmen untuk melanjutkan perundingan ke tahapan

berikutnya (Kaplan, 2008: 11). Salah satu alasan Uni Soviet untuk berkomitmen

(33)

18

menciptakan “Bargaining Chip” dengan Uni Soviet melalui teknologi Safeguard (Kaplan 2008: 12). Hal ini sebelumnya pernah ditekankan oleh Presiden Lyndon

B. Johnson ketika mengajukan Safeguard sebagai bentuk posisi tawar kepada Uni

Soviet untuk berunding terkait pembatasan senjata ofensif. Tidak hanya itu,

Presiden Johnson dianggap oleh Uni Soviet sebagai tokoh yang mampu

meyakinkan Soviet tentang bahaya senjata yang dilengkapi dengan hulu ledak

nuklir (Salamah, 2008: 229).

A. Kompetisi Rudal Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang Dingin Argumentasi yang dikemukakan oleh Rosenau (1976: 27-32) tentang

konsep kebijakan luar negeri suatu negara khususnya Amerika Serikat

menjelaskan bahwa, negara akan mampu berperang dalam segi finansial untuk

memenuhi kebutuhan negaranya terkait pertahanan nasionalnya. Hal ini secara

langsung dibuktikan oleh Amerika Serikat dengan mengeluarkan dana sekitar 70

juta dolar dalam kurun waktu 3 (tiga) dekade, yakni dimulai pada awal tahun 1960

sampai 1990 untuk pemenuhan kebutuhan keamanan nasionalnya (Payne 2000:

171).

Urgensi yang ditekankan Amerika Serikat dengan dana jutaan dolar

tersebut adalah untuk penelitian serta pengembangan program pertahanan nasional

Amerika Serikat bernama Ballistic Missile Defense (BMD) System (Payne 2000: 171). Payne (2000: 171) dalam tulisannya juga menjelaskan bahwa BMD

merupakan sistem pertahanan negara yang terdiri dari perangkat rudal pencegat

yang dilengkapi dengan sensor yang mampu menjangkau serta melindungi 50

(34)

19

Sistem rudal pencegat ini juga turut serta melindungi wilayah perairan dan

salju Amerika Serikat yakni Hawai dan Alaska (Neuneck dan Schaaf 2000: 3).

Rudal pencegat yang dimiliki oleh Amerika Serikat tersebut difokuskan untuk

menangkal setiap serangan rudal dengan kategori Intermediate Range Ballistic Missile (IRBM) yang berjarak 3.000-5.500km (Feickert 2004: 2-3).

Dalam perkembangannya, teknologi yang terafiliasi dalam sistem BMD

meliputi kemampuan dalam mengidentifikasi setiap serangan yang datang,

kemampuan dalam manajemen peperangan serta sistem utama yakni sistem

navigasi rudal pencegat (Neuneck dan Schaaf 2000: 3-4). Secara historis,

penerapan sistem pertahanan strategis Amerika Serikat yang dikenal dengan NMD

telah dimulai pada tahun 1952, bersamaan dengan berlangsungnya babak baru

perang dingin (Cold War). Pada saat itu, Amerika Serikat berhasil membangun pangkalan rudal di Fort Meade negara bagian Maryland untuk melindungi

kota-kota utama Amerika Serikat serta wilayah industri dari serangan udara Uni Soviet

(Baucom 2001: 15).

Proyek NMD Amerika Serikat selanjutnya dikembangkan pada tahun 1955

oleh The Army Commisioned Bell Telephone Laboratories yang merupakan lembaga penelitian yang membidangi keamanan udara Amerika Serikat (Baucom

1995: 33). Lembaga ini bekerjasama dengan The Western Electric Company untuk mempertimbangkan pembangunan Anti Ballistic Missile System (ABM). Perusahaan ini berhasil meneliti serta mengembangkan generasi pertama rudal

(35)

20

Pada tahun yang sama perusahaan ini juga berhasil mengembangkan rudal

anti balistik generasi kedua yang kali ini terafiliasi dengan tenaga nuklir bernama

NIKE I-Hercules dan difungsikan sebagai pencegat atas serangan rudal oleh Uni Soviet. Secara umum, generasi rudal pencegat yang dikembangkan oleh Amerika

Serikat merupakan sistem pertahanan nasional terpadu. Sistem ini telah memiliki

teknologi radar untuk melacak dan mengelola pertempuran yang disertai

perangkat komunikasi yang bertujuan melindungi seluruh negara bagian dan

kota-kota utama di Amerika Serikat (Kaplan 2009: 4).

Proyek rudal Amerika Serikat ini bukan satu-satunya yang berkembang

pada Perang Dingin. Pada September 1955, Uni Soviet juga telah berhasil

meluncurkan rudal balistik dengan kode SS-1B Scud A yang dioperasikan melalui

perangkat kapal selam (Submarine) (Polmar 1994: 1). Rudal ini merupakan teknologi rudal balistik pertama yang dikembangkan oleh Uni Soviet dengan

menggunakan perangkat nuklir sebagai zona pertahanan dan keamanan Uni Soviet

sejak memulai konfrontasi dengan Amerika Serikat (Gansler 2010: 37).

Gambar II.A.1. U.S. NIKE Anti Ballistic Missile Program

(36)

21

Secara praktis, rudal ini mampu mencegat rudal yang dikirim oleh Uni

Soviet ke wilayah Amerika Serikat. Namun muncul perdebatan mengenai kinerja

rudal tersebut dari para ilmuwan yang membidangi persenjataan strategis.

Beberapa ilmuwan yang fokus terhadap perkembangan rudal Amerika Serikat

menyatakan bahwa rudal berjenis NIKE (Ajax & Hercules) tidak mampu mencegat rudal lainnya yang menyerang teritorial Amerika Serikat. Hal ini

dikarenakan kecepatan rudal pencegat diprediksi tidak akan mampu menjangkau

rudal balistik yang menyerang wilayah Amerika Serikat. Akan tetapi, Bell Telephone Laboratories telah melakukan percobaan pada tahun 1956 dengan menempatkan sebanyak 50.000 rudal pencegat melalui percobaan komputer

analog dengan rudal balistik sebagai targetnya (Boucom 1995: 33). Hasilnya,

rudal ini mampu mencegat rudal yang menyerang wilayah Amerika Serikat

dengan target ketinggian dan kecepatan rata-rata di udara 24.000 kaki per detik

(Kaplan 2009: 4).

Fokus utama dalam memfungsikan rudal tersebut telah ditekankan oleh

Menteri Pertahanan Amerika Serikat saat itu yakni Charles E. Wilson kepada

angkatan darat dan angkatan udara. Wilson menegaskan pada bulan November

1956, bahwa angkatan darat fokus terhadap pengamanan wilayah geografis,

kota-kota utama serta instalasi vital yang berhubungan dengan keamanan dan

pertahanan Amerika Serikat. Sementara itu, angkatan udara fokus terhadap

pengamanan wilayah kompleks industri dan pusat-pusat konsentrasi populasi

(37)

22

Konsentrasi Amerika Serikat terhadap aspek pertahanan dan keamanan

nasionalnya dilanjutkan pada tahun 1957 dengan mengembangkan rudal pencegat

generasi ketiga. Proyek rudal generasi ketiga ini dikenal dengan model NIKE-II

atau NIKE-ZEUS/A-B Model, setelah sebelumnya Amerika Serikat merilis

NIKE-I/Ajax dan Hercules. Ditinjau dari segi teknologi, sistem rudal ini

menggunakan hulu ledak nuklir sebagai pencegat yang kemampuannya melebihi

teknologi rudal sebelumnya (Kaplan 2009: 5). Hal ini dikarenakan teknologi yang

digunakan dalam rangkaian rudal ini mampu menjangkau atmosfir bumi (Zeus Exoatmospheric) untuk mencegat serangan rudal ke Amerika Serikat (Kaplan, 2009: 5).

Gambar II.A.2. U.S. NIKE-ZEUS Anti Ballistic Missile Program

Sumber: Kaplan, Missile Defense: The First Sixty Years, Missile Defense Agency, 2008

Namun tidak lama setelah Amerika Serikat merilis rangkaian rudal

pencegat, Uni Soviet meluncurkan satelit Sputnik yang merupakan satelit ruang

angkasa pertama di dunia (Kaplan 2009: 6). Peluncuran satelit Sputnik oleh Uni

(38)

23

Intercontinental Ballistic Missile (ICBM) (Boucom 2001: 14). Penerapan satelit Sputnik oleh Uni Soviet dibuktikan secara langsung dengan melakukan uji coba

rudal balistik pertama yang menggunakan kategori ICBM yang memiliki

jangkauan 5.500km+. Paska uji coba tersebut, Amerika Serikat memprediksi

bahwa Uni Soviet akan memiliki lebih dari 500 perangkat rudal balistik dengan

kategori ICBM dalam beberapa tahun kemudian (Gansler 2010: 37).

Paska uji coba rudal balistik dengan kode SS-1B Scud A yang berbasis

kapal selam, serta peluncuran satelit Sputnik, Uni Soviet terus mengembangkan

rudal balistik dengan kapasitas ICBM. Hal ini dibuktikan kembali oleh Uni Soviet

dengan meluncurkan dua rudal ICBM dengan kode SS-9 dan SS-10 (Steury 1996:

191).

Adanya persaingan senjata nuklir dalam bentuk rudal balistik yang

dihadapi kedua negara dipicu oleh konsep Nuclear Detterence yang diterapkan oleh Amerika Serikat, namun hal ini tidak berlaku bagi politik luar negeri Uni

Soviet secara umum. Konsep Nuclear Detterence merupakan konsep yang

digunakan Amerika Serikat dengan argumentasi bahwa musuh dapat dicegah

untuk menggunakan senjata nuklir dengan cara mengembangkan senjata nuklir

lainnya (Salamah 2008: 229).

Peniadaan konsep Nuclear Detterence dalam rencana kebijakan luar negeri Uni Soviet berdampak pada kelanjutan pengembangan rudal balistik yang tidak

hanya terbatas pada segi kualitas, namun juga menyangkut kuantitas. Berikut ini

tabel yang merilis jumlah rudal balistik kategori ICBM yang dimiliki Uni Soviet

(39)

24

Tabel II.A.1. USSR/Russian ICBM Forces, 1960-1996

Sumber: Norris dan Cochran, US-USSR/Russian Strategic Offensive Nuclear Forces 1945-1996, Natural Resources Defense Council, Inc, 1997 Perkembangan senjata ofensif Uni Soviet dengan melakukan uji coba rudal

balistik berjenis ICBM tentunya menjadi ancaman serius bagi keamanan wilayah

Amerika Serikat. Hal ini diperkuat dengan laporan yang dirilis oleh The Ford

Foundation selaku badan konsultan keamanan nasional Amerika Serikat. Dalam

laporan tersebut dinyatakan bahwa prioritas utama yang diperlukan Amerika

Serikat saat ini adalah perlindungan terhadap keamanan nasional khususnya warga

(40)

25

Oleh karena itu, badan ini merekomendasikan penangkal utama atas

serangan Uni Soviet adalah penggunaan pesawat pembom atau Strategic Air Command (SAC) yang terafiliasi dengan rudal balistik berjenis Nike I-Hercules dan Nike I-Talos. Pesawat ini tentunya juga telah dilengkapi dengan sistem peringatan dini atas serangan rudal yang ditujukan ke Amerika Serikat (Kaplan

2009: 7).

Gambar II.A.3. U.S. Strategic Air Command (SAC) & U.S. Nike I-Hercules-Talos

Sumber: Kaplan, The U.S. Army’s First Anti Ballistic Missile, Missile Defense Agency, 2009

Perangkat pertahanan udara ini akan ditempatkan di wilayah-wilayah strategis

yang menjadi pusat populasi penduduk dan pemerintahan di Amerika Serikat.

Respon Amerika Serikat terhadap peluncuran satelit Sputnik serta uji coba

rangkaian rudal berjenis ICBM oleh Uni Soviet dilanjutkan dengan membentuk

The Advance Research Projects Agency (ARPA) pada tahun 1958 (Gansler 2010:

37-38). Badan ini merupakan bagian dari misi strategis program pertahanan rudal

yang diinisiasi pembentukannya oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat saat itu

Neil H. McElroy serta menjadi tanggung jawab Angkatan Darat Amerika Serikat

(41)

26

ARPA secara umum bertugas meneliti serta mengembangkan sistem

pertahanan rudal untuk menangkal ancaman rudal balistik yang dimiliki Uni

Soviet. Secara spesifik ARPA bernaung pada Project Defender Program yang secara langsung mengeksplorasi serta mengujicoba teknologi rudal terbaru

berjenis ICBM yang menghabiskan dana sebesar 200 juta dolar (Gansler 2010:

38).

ARPA berhasil mengembangkan teknologi rudal yang lebih maju

dibandingkan produk-produk rudal sebelumnya yang dimiliki Amerika Serikat.

Teknologi rudal balistik berjenis ICBM yang dimiliki Amerika Serikat mulai

dilengkapi dengan sinar laser untuk mendeteksi serangan rudal musuh. Selain itu

teknologi rudal terbaru yang dikembangkan ARPA adalah dengan merilis Ballistic Missile Boost Intercept (BAMBI). Teknologi ini merupakan perangkat rudal pencegat yang diluncurkan melalui satelit ruang angkasa atau dikenal dengan

Space-Based Boost Intercept System. Tidak hanya itu, ARPA juga berhasil menguji serta mengembangkan sistem deteksi dan pelacakan melalui satelit yang

ditempatkan pada rudal pencegat yang berbasis di darat/Ground-Based Interceptors (Gansler 2010: 38-39).

Ekspansi teknologi yang dilakukan Amerika Serikat melalui ARPA

terkait inovasi rudal balistik tentunya telah berbasis hulu ledak nuklir. Selain itu,

peningkatan sistem partikel cahaya dan sinar laser sebagai pendeteksi serangan

musuh menjadi inovasi penting dalam teknologi rudal balistik Amerika Serikat

untuk mengimbangi teknologi yang dimiliki Uni Soviet (Gansler 2010: 39).

ARPA berhasil merampungkan seluruh rangkaian teknologi yang terdapat

(42)

27

uji coba untuk mengetahui kemampuan sistem elektronik melalui navigasi

komputer yang berfungsi pada radar. Paska uji coba sistem komputer yang telah

terafiliasi pada rudal balistik, maka pada tahun 1962 Amerika Serikat mulai

mengujicoba secara keseluruhan kemampuan mencegat dari serangan rudal

balistik berjenis ICBM yang bernama Minuteman I kepada publik (Gansler 2010: 39).

Percobaan ini dilakukan dengan menempatkan rudal pencegat Nike-Zeus

yang diluncurkan dari wilayah Kwajalein, daerah di dekat Kepulauan Marshall

(Marshall Island) yang merupakan wilayah Pasifik Selatan. Sementara itu, Minuteman I diluncurkan dari lokasi penempatan rudal di perairan Pasifik untuk selanjutnya dicegat oleh rudal Nike-Zeus, dan percobaan ini berhasil dicapai

(Boucom 1995: 34).

Namun rangkaian uji coba tersebut tidak diiringi dengan proses

penyebaran perangkat rudal pencegat berjenis ICBM di wilayah Amerika Serikat

dan sekutunya. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat mempertimbangkan atas 2

(dua) hal, yaitu menyangkut kekhawatiran mengenai efek dari ledakan yang

disebabkan oleh hulu ledak nuklir, dan persoalan mengenai biaya produksi rudal

yang cukup tinggi dalam neraca anggaran pemerintah Amerika Serikat (Gansler

2010: 40).

Kedua faktor yang dikemukakan di atas tidak menjadi halangan bagi

Amerika Serikat untuk terus mengembangkan serta meningkatkan kualitas

teknologi rudal balistik. Setahun berikutnya yakni pada 1963 di era pemerintahan

Presiden John F. Kennedy, Amerika Serikat mulai mengembangkan rangkaian

(43)

28

antisipasi serangan rudal balistik milik Uni Soviet (Smith, 2000: 3). Rangkaian

rudal balistik ini memiliki 2 (dua) perangkat utama berhulu ledak nuklir yang

bernama Spartan dan Sprint, Spartan merupakan rudal balistik ditujukan untuk mencegat serangan rudal balistik lain melalui jalur luar angkasa. Sementara Sprint

ditujukan untuk mencegat serangan rudal yang diluncurkan melalui jalur udara

(Gansler 2010: 40-41).

Setahun kemudian yakni pada tahun 1964, Uni Soviet secara langsung

merespon pembangunan instalasi rudal balistik NIKE-X milik Amerika Serikat

dengan menciptakan sistem anti rudal balistik bernama Galosh (Gansler 2010: 41). Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Menteri Pertahanan saat itu Robert S.

McNamara, bahwasanya Uni Soviet telah menempatkan perangkat anti rudal

balistik tersebut di seluruh wilayah Moskow dan pernyataan ini juga secara

langsung disampaikan dihadapan publik Amerika Serikat (Boucom 1995: 35).

Kondisi tersebut menginisiasi Amerika Serikat untuk menempatkan

instalasi NIKE-X di 12 (dua belas) lokasi strategis pada tahun 1965. Hal ini

tentunya bertujuan untuk mengantisipasi setiap ancaman serangan rudal dari Uni

Soviet. Akan tetapi pada tahun yang sama, McNamara menghentikan program

penyebaran instalasi rudal balistik tersebut dikarenakan hanya akan membuat Uni

Soviet menciptakan lebih banyak rudal untuk disebarluaskan (Gansler 2010: 42).

Prediksi yang dikemukakan oleh McNamara tidak lantas membuat Uni

Soviet mengurangi intensitas penyebaran sistem anti rudal balistik di negaranya.

Pada tahun 1966 berdasarkan informasi yang dirilis dari pihak intelijen Amerika

Serikat bahwa Uni Soviet telah menempatkan sistem anti rudal balistik Galosh ke

(44)

29

diterapkan oleh Uni Soviet tersebut tentunya memicu ketegangan yang

berkelanjutan antar kedua negara. Amerika Serikat melalui Menteri Pertahanan

McNamara (Gansler 2010: 43) menyatakan bahwa;

The U.S. reaction to the Soviet deployment of a ballistic missile defense system would not be the deployment of more U.S. defensive systems; instead, it would be the deployment of more and better offensive systems” Pernyataan McNamara tersebut menekankan bahwa Amerika Serikat tidak akan menyebarkan sistem anti rudal balistik yang bersifat defensif, melainkan sebagai sistem terpadu yang bersifat ofensif, yang kapan saja dapat menyerang Uni Soviet (Gansler 2010: 43).

Dalam hal ini, Amerika Serikat secara realistis menyadari bahwa semakin

sulit untuk menghentikan intensitas penyebaran rudal balistik yang dimiliki Uni

Soviet. Kesulitan ini tentunya dapat dilihat dari gagalnya Presiden Amerika

Serikat saat itu Lyndon Baines Johnson dalam membentuk sebuah kesepakatan

berupa perjanjian internasional yang berhubungan dengan pengendalian senjata

ofensif dengan Uni Soviet (Kaplan 2008: 10). Oleh karena itu pada tahun 1967

Amerika Serikat melanjutkan program pengembangan sistem anti rudal balistik

terbaru bernama Sentinel yang bertujuan untuk mengantisipasi serangan rudal

ICBM yang dimiliki Uni Soviet (Smith 2000: 3-4).

Secara resmi, pembangunan instalasi serta penyebaran sistem anti rudal

balistik Sentinel diumumkan oleh McNamara dengan menekankan pada 2 (dua)

poin utama. Pertama, upaya pembangunan sistem anti rudal balistik jenis terbaru yakni Sentinel hanya akan meningkatkan rivalitas serta volume kepemilikan rudal

ofensif antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua, pada dasarnya yang diperlukan dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional cukup bertumpu pada

teknologi rudal yang telah ada tanpa harus membangun sebuah sistem anti rudal

(45)

30

Sentinel merupakan perangkat anti rudal balistik yang masih

mengandalkan teknologi Sprint dan Spartan yang terdapat di dalam rudal

NIKE-X. Teknologi ini terafiliasi dengan model baru dalam sistem kapal selam yang

bernama Sea-Based Anti Ballistic Missile Intercept System (SABMIS) yang disebar di wilayah perairan pasifik barat dan atlantik utara (Kaplan 2008: 11).

Perangkat Sentinel juga diterapkan pada pesawat tempur bernama Airborne Ballistic Missile Intercept System (ABMIS) yang bertujuan untuk menghadang lintasan rudal balistik Uni Soviet yang diluncurkan melalui kapal selam (Kaplan

2008: 11-12).

Gambar II.A.4. Sentinel Progam

Sumber: Kaplan, Kaplan, Missile Defense: The First Sixty Years, Missile Defense Agency, 2008

Namun pada awal tahun 1968 muncul perdebatan yang dikemukakan oleh

Presiden Johnson tentang rencana pembangunan instalasi ICBM dari yang

sebelumnya berbasis kapal selam juga akan dikembangkan ke basis darat/ Land-Based ICBM (Kaplan 2008: 12). Hal ini dikarenakan Presiden Lyndon B. Johnson memprediksi bahwa Uni Soviet akan mendominasi serta meningkatkan teknologi

(46)

31

Presiden Johnson juga menegaskan bahwa pembangunan instalasi ICBM

dengan skala besar bertujuan untuk melindungi wilayah Amerika Serikat serta

menjadi “Bargaining Chip” atau posisi tawar untuk menjalin kerjasama pengendalian senjata dengan Uni Soviet (Kaplan 2008: 13). Akan tetapi isu

perdebatan mengenai rencana peningkatan teknologi pada rudal balistik pada

akhirnya diselesaikan pada tahun 1969 ketika Presiden Lyndon B. Johnson

digantikan oleh Presiden Richard M. Nixon. Hal ini berdasarkan keputusan

Menteri Pertahanan Melvin Laird yang menghentikan penyebaran Sentinel secara

luas untuk ditinjau oleh pemerintahan baru Amerika Serikat yang dipegang oleh

Presiden Nixon (Boucom 1995: 35-36).

Hasil tinjauan atas kebijakan strategis Amerika Serikat terkait pertahanan

dan keamanan secara langsung diumumkan oleh Presiden Nixon pada pertengahan

tahun 1969. Presiden Nixon memutuskan untuk membentuk program pertahanan

dan keamanan baru bagi Amerika Serikat bernama “Safeguard Program” (Kaplan 2008: 14). Safeguard merupakan bentuk reorientasi dari kebijakan pertahanan

Amerika Serikat yang lebih memfokuskan perlindungan terhadap instalasi rudal

ICBM Minuteman ketimbang perlindungan terhadap kota-kota strategis di Amerika Serikat (Gansler 2010: 43-44).

Apabila ditinjau dari segi teknologi, Safeguard masih mengandalkan

kemampuan rudal Sentinel yang dibangun pada era Presiden Lyndon B. Johnson.

Letak perbedaannya telah dijelaskan hanya pada wilayah perlindungan yang lebih

cenderung fokus pada pengamanan instalasi rudal ICBM Minuteman (Boucom

1995: 36). Selain itu, Safeguard bertujuan untuk melindungi Pusat Komando

(47)

32

menyeluruh terhadap Otoritas Komando Nasional (National Command Authority) yang berbasis di Washington, DC (Smith 2000: 4).

Dirilisnya Safeguard sebagai program pertahanan dan keamanan Amerika

Serikat tentunya tidak lepas dari perdebatan-perdebatan yang mengemuka di

publik Amerika Serikat. Beragam reaksi terjadi dalam menanggapi isu penyebaran

Safeguard, diantaranya para ilmuwan melakukan aksi mogok, mengadakan

pertemuan dengan berbagai elemen masyakarat serta aksi demonstrasi di pusat

kota Washington sebagai bentuk protes atas keputusan pemerintah yang ingin

membangun serta menyebarkan Safeguard (Gansler 2010: 44)

Bentuk protes juga berlangsung di Kongres Amerika Serikat pada saat

melakukan voting untuk menyetujui kebijakan pemerintah dalam menyebarkan

Safeguard. Kondisi ini mengakibatkan Kongres terpecah dikarenakan masalah

tersebut. Hal ini terbukti dari hasil voting yang menunjukkan persentase 50/50.

Akan tetapi jajak pendapat yang dilaksanakan oleh pemerintah menunjukkan hasil

positif dengan mendapatkan dukungan masyarakat sebesar 84% yang sebelumnya

hanya mendapat dukungan 47%, meskipun banyak di antara publik Amerika

Serikat yang tidak peduli dengan persoalan ini (Gansler 2010: 45).

Sikap protes yang ditunjukkan oleh para pemangku kepentingan dalam

kebijakan pertahanan Amerika Serikat cenderung dikarenakan kekhawatiran yang

disebabkan kemajuan senjata nuklir yang dimiliki Amerika Serikat dan Uni

Soviet. Kemajuan ini tentunya berdampak pada ancaman perang nuklir antar

kedua negara yang pada akhirnya disimpulkan tidak ada satu pun yang akan

menang selain kemungkinan untuk saling menghancurkan satu sama lain (Gansler

(48)

33

Kontroversi serta berbagai perdebatan yang terjadi di Amerika Serikat

pada akhirnya terselesaikan pada Agustus 1969 ketika Senat menyetujui program

pemerintah untuk menyebarkan instalasi Safeguard (Smith 2004: 4-5). Keputusan

Senat yang menyetujui program pemerintah tersebut tentunya tidak lepas dari

kritik yang menekankan pada 2 (dua) poin utama; pertama, Amerika Serikat harus menyetujui untuk memulai pembicaraan dengan Uni Soviet terkait pengendalian

serta pembatasan senjata ofensif. Kedua, Amerika Serikat harus tetap konsisten dengan sistem pertahanannya meskipun Uni Soviet telah mengurangi intensitas

pembangunan senjata ofensif di negaranya (Smith 2000: 5-6).

Secara resmi pada tahun 1970, Amerika Serikat mulai menempatkan

Safeguard di wilayah instalasi rudal ICBM Minuteman yang berlokasi di Grand

Forks, North Dakota. Penyebaran ini tentunya sebagai “Bargaining Chip” Amerika Serikat terhadap Uni Soviet agar bersedia berunding mengenai rencana

pengurangan senjata ofensif (Smith 2000: 6). Hal ini secara langsung direspon

positif oleh kedua negara dengan mengadakan pertemuan bertajuk Strategic Arms

Limitation Talks yang menghasilkan perjanjian Anti Ballistic Missile Treaty pada tahun 1972 sebagai langkah strategis dalam upaya pengendalian rudal ofensif

(Gansler 2010: 46-47). Traktat ini mengatur secara ketat bagi kedua negara untuk

menyebarkan perangkat anti rudal balistik yang terbatas pada 2 (dua) lokasi yaitu

wilayah ibukota negara dan di area instalasi ICBM Amerika Serikat dan Uni

Soviet (Hildreth 2007: 2-3).

B. Latar Belakang dan Prinsip Traktat Anti Rudal Balistik

Pada tahun 1969, Amerika Serikat secara formal mengundang Uni Soviet

(49)

34

tersebut dinamakan dengan Strategic Arms Limitation Talks (SALT) (Missile Defense Agency, 2013). Dalam pertemuan tersebut, kedua negara sepakat untuk

menandatangani kerjasama dalam bidang pertahanan dan keamanan yang

dinamakan Anti Ballistic Missile Treaty pada bulan Mei tahun 1972 (Kimball dan Collina 2010: 1).

Traktat Anti Rudal Balistik secara formal ditandatangani di Moskow yang

kemudian pada bulan agustus Senat Amerika Serikat memberi masukan dan

menyetujui traktat tersebut. Sebulan berikutnya Presiden Amerika Serikat Richard

Nixon meratifikasi traktat tersebut dan mulai diberlakukan pada bulan Oktober

1972 (Ackerman 2002: 1).

Traktat Anti Rudal Balistik merupakan kerjasama bilateral antara Amerika

Serikat dan Uni Soviet yang secara umum difokuskan pada pembatasan dan

penyebaran jumlah serta kualitas dari sistem anti rudal balistik yang dimiliki oleh

kedua negara (Hildreth 2007: 1-2). Traktat Anti Rudal Balistik juga

menitikberatkan pada pembatasan produksi serta kepemilikan sistem anti rudal

balistik oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam kesepakatan tersebut, kedua

pihak menegaskan bahwa pembatasan perangkat anti rudal balistik akan menjadi

faktor substansial dan utama dalam mengendalikan perlombaan senjata ofensif

yang dimiliki oleh kedua negara (Kimball dan Boese 2003: 1). Selain itu Traktat

Anti Rudal Balistik difokuskan untuk menjaga keseimbangan senjata nuklir

dengan mengurangi risiko perlombaan senjata dalam bentuk sistem anti rudal

balistik (The Parliamentary Office of Science and Technology 2000).

Kesepakatan tersebut mengatur tiap-tiap negara hanya boleh menyebarkan

(50)

35

negara tidak dapat menempatkan sistem pertahanan anti rudal untuk melindungi

seluruh wilayah negaranya, apalagi membangun instalasi tersebut secara

berkelanjutan (U.S. Department of State 2013). Pada awal berlangsungnya

kesepakatan, Amerika Serikat mengusulkan agar traktat tersebut membatasi

penyebaran instalasi anti rudal balistik Rusia berjumlah satu lokasi di sekitar

Moskow. Selain itu, Amerika Serikat menginginkan agar dapat menyebarkan

perangkat anti rudal balistik sebanyak empat lokasi di sekitar instalasi ICBM

(Hildreth 2007: 2).

Namun, usulan ini ditolak oleh Rusia dan mendesak agar Amerika Serikat

membentuk kesepakatan yang seimbang dan proporsional untuk diterapkan

kepada kedua negara. Rusia juga memberikan reaksi yang sama ketika Amerika

Serikat mengusulkan agar traktat tersebut mengizinkan salah satu negara untuk

menyebarkan satu instalasi untuk melindungi ibukota negara dan dua instalasi

sebagai pelindung perangkat ICBM (Hildreth 2007: 2).

Adanya perdebatan tersebut, pada akhirnya memutuskan pemerintahan

Amerika Serikat melalui Presiden Richard Nixon untuk menyetujui kesepakatan

yang proporsional dalam penyebaran anti rudal balistik. Kesepakatan yang dibuat

pada tahun 1972 tersebut membolehkan kedua negara untuk menyebarkan sistem

anti rudal di dua lokasi yakni; pertama di lokasi untuk melindungi ibukota negara, dan kedua di wilayah tempat pengoperasion rudal antar benua (ICBM) (Woolf, 2006: 11).

Format yang diatur dalam kesepakatan yang ditetapkan pada tahun 1972

menetapkan masing-masing negara menyebarkan dua instalasi dengan komposisi

Gambar

Tabel II.A.1
Gambar II.A.1. U.S. NIKE Anti Ballistic Missile Program
Gambar II.A.2. U.S. NIKE-ZEUS Anti Ballistic Missile Program
tabel yang merilis jumlah rudal balistik kategori ICBM yang dimiliki Uni Soviet
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dan seberapa besar pengaruh dari motivasi berprestasi dan strategi belajar efektif terhadap

Berikut adalah rekap data mengenai parameter keselamatan, keamanan dan kenyamanan pada sepeda motor roda dua yang ada di Medan berdasarkan tipenya... 77 Kinerja Motor Penumpang

Jurnal Teknik Informatika dan Sistem Informasi (JuTISI) adalah Jurnal Ilmiah yang dibangun oleh Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Maranatha untuk

Dokumen Rencana Strategis Kecamatan Ciater Tahun 2018-2023 merupakan dokumen resmi perencanaan satuan kerja perangkat daerah untuk 5 (lima) tahun kedepan, yang

Publikasi yang diusulkan pada Bidang B (Penelitian) harus memperhatikan linearitas juga (point nomor 4), yaitu harus sesuai dengan bidang ilmu pendidikan terakhir

Sebagai sastra lisan seloko adat Jambi mempunyai fungsi informasional karena muncul dan berkaitan dengan pemanfaatan seloko adat Jambi itu sendiri yang digunakan untuk penyampaian

Sebagai dampak selanjutnya adalah setidaknya ada empat masalah utama yang sedang dihadapi oleh madrasah pada umumnya, yaitu, masalah identitas diri madrasah, sehingga program

Skala Massal (3000 L) Ch Chlorella ChBO Chlorella+Bahan Organik BF Bioflok BFBO Bioflok+Bahan Organik Semi terbuka 5 hari pemeliharaan RANCANGAN PENELITIAN.  Bahan