LATAR BELAKANG MUNDURNYA AMERIKA SERIKAT
DARI TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC
MISSILE TREATY) TAHUN 2001
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
MHD. HABIB AKBAR
107083000274
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
iv ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa faktor-faktor yang melatarbelakangi mundurnya Amerika Serikat dari traktat anti rudal balistik (Anti Ballistic Missile Treaty) tahun 2001. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi mundurnya Amerika Serikat dari traktat anti rudal balistik (Anti Ballistic Missile Treaty). Penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah kebijakan luar negeri dan pengendalian senjata/Arms Control. Dari hasil analisis dengan menggunakan teori dan konsep tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada Perang Dingin, produk kebijakan mengenai pengendalian senjata mengalami resistensi seiring kemampuan negara-negara lain di luar Traktat Anti Rudal Balistik dalam menciptakan rudal balistik. Negara-negara di luar Traktat Anti Rudal Balistik ini dikategorikan sebagai sebagai Rogue States dikarenakan mengembangkan rudal balistik secara massive untuk kepentingan ofensif. Keinginan Rogue States tersebut dalam mengembangkan rudal balistik dengan skala besar tentu berdasarkan keberadaan negara-negara tersebut yang tidak terikat dengan Traktat Anti Rudal Balistik. Kemampuan Rogue States dalam mengembangkan rudal balistik dianggap sebagai ancaman baru paska Perang Dingin oleh Amerika Serikat. Adanya ancaman tersebut tentunya direspon oleh Amerika Serikat dengan terus melakukan pembaharuan terhadap kebijakan pertahanan nasional negaranya. Berbagai kebijakan pertahanan nasional yang dirilis oleh Amerika Serikat, secara langsung memunculkan keinginan Amerika Serikat untuk mundur dari Traktat Anti Rudal Balistik guna menerapkan kebijakan pertahanan nasional yang komprehensif. Hal ini tentunya bertujuan untuk mengamankan kepentingan Amerika Serikat secara nasional maupun internasional khususnya kepentingan para sekutunya.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan karunia dan ridha sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Latar Belakang Mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik (Anti Ballistic Missile Treaty) Tahun 2001” sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Strata 1 (S1) Ilmu Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari dorongan serta dukungan
moril dari berbagai pihak dalam upaya meraih gelar S1. Oleh karena itu,
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak M. Adian Firnas, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah meluangkan waktu dan fikiran serta mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si, selaku sekretaris program studi
hubungan internasional FISIP UIN Jakarta.
4. Ibu Dina Afrianty, Ph.D., selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan kontribusi kepada penulis dalam memulai penulisan
vi
5. Ibu Mutiara Pertiwi, MA., selaku dosen teori hubungan internasional
yang menginspirasi penulis dalam penulisan skripsi ini serta
memberikan banyak arahan baik di dalam maupun di luar perkuliahan.
6. Bapak dan Ibu dosen program studi hubungan internasional FISIP UIN
Jakarta di antaranya Bapak Nazaruddin Nasution, SH, MA., Bapak
Armein Daulay, M.Si., Bapak Drs. Aiyub Mohsin, MA, MM., Alm.
Bapak Dr. Abdul Hadi Adnan, Bapak Amiruddin Noer, MA., Bapak
Arisman, M.Si., Bapak Badrus Sholeh, MA., Bapak Kiky Rizky,
M.Si., Ibu Friane Aurora, M.Si, dan juga seluruh staf administrasi
program studi hubungan internasional FISIP UIN Jakarta. Terima
kasih atas ilmu serta bantuannya dalam mengarahkan penulis dalam
bidang keilmuan hubungan internasional.
7. Bapak Dr. Siswanto, M.Si selaku peneliti LIPI yang telah berkenan
meluangkan waktu kepada penulis untuk melakukan wawancara.
8. M. Yakub Amin dan Nurleli selaku orang tua penulis yang selalu
memberikan motivasi, semangat serta doa yang tulus dan ikhlas
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Nidya Saraswati dan Femmi Tsanita selaku rekan kerja penulis ketika
masih memulai pengalaman karir di sebuah lembaga swadaya
masyarakat. Terima kasih atas nasehat, motivasi, arahan serta
pengalaman yang berharga di sela-sela penulisan skripsi ini.
10.Rekan-rekan hubungan internasional angkatan 2007 kelas B selaku
teman dalam berdiskusi dan berdebat yang selalu memberikan inspirasi
vii
11.Seluruh rekan-rekan program studi hubungan internasional khususnya
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2006/2007, 2007/2008,
2008/2009, 2009/2010 yang telah memberikan ilmu serta pengalaman
kepada penulis dalam proses pembelajaran berorganisasi.
12.Terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu, yang telah berjasa dan terlibat dalam proses penyelesaian
skripsi ini baik langsung maupun tidak langsung.
Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan
serta ketulusan seluruh pihak yang telah berjasa dalam penyelesaian skripsi ini
dengan memberikan karunia dan ridhaNya. Semoga karya ilmiah berupa skripsi
ini dapat memberikan manfaat dan menjadi referensi bagi banyak orang bahwa
perangkat militer merupakan bagian penting dalam eksistensi sebuah negara.
Jakarta, Desember 2013
viii
2. Pengendalian Senjata/Arms Control... 10
F. Metode Penelitian ... 13
G. Sistematika Penulisan... 15
BAB II TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC MISSILE TREATY) A. Kompetisi Rudal Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang Dingin ... 18
B. Latar Belakang dan Prinsip Traktat Anti Rudal Balistik ... 33
C. Sejarah Singkat Komitmen Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Traktat Anti Rudal Balistik... 39
BAB III MELEMAHNYA KOMITMEN AMERIKA SERIKAT DALAM TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ABM TREATY) A. Komitmen Awal Amerika Serikat Bergabung dalam Traktat Anti Rudal Balistik ... 43
B. Aktivitas Amerika Serikat di dalam Traktat Anti Rudal Balistik ... 48
ix
BAB IV LATAR BELAKANG MUNDURNYA AMERIKA SERIKAT DARI TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ABM TREATY)
A. Faktor Internal ... 59
1. Penguatan Kebijakan Strategic Defense Initiative (SDI) ... 59
2. Perkembangan Kebijakan Global Protection Against Limited Strikes (GPALS) Paska Berakhirnya Perang Dingin ... 69
3. Dinamika Kebijakan Ballistic Missile Defense (BMD) dan National Missile Defense (NMD) dalam Sistem Pertahanan Nasional Amerika Serikat ... 75
B. Faktor Eksternal ... 88
1. Munculnya Negara-Negara Produsen Rudal Balistik Paska Perang Dingin ... 88
a. India ... 91
b. Syria ... 92
c. Pakistan ... 93
2. Ancaman Rogue States terhadap Amerika Serikat ... 94
a. Iran ... 94
b. Korea Utara ... 97
c. Irak ... 98
BAB V PENUTUP Kesimpulan... 105
DAFTAR PUSTAKA ... xv
x
DAFTAR TABEL
Tabel II.A.1 USSR/Russian ICBM Forces, 1960-1996 ... 24
Tabel III.A.1 US-Soviet Strategic Force Warheads... 45
Tabel III.A.2 US Strategic Offensive Force Loadings 1945-1972 ... 46
Tabel III.A.3 USSR/Russia Strategic Offensive Force Loadings
1956-1972... 47
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.A.1 U.S. NIKE Anti Ballistic Missile Program... 20
Gambar II.A.2 U.S. NIKE-ZEUS Anti Ballistic Missile Program ... 22
Gambar II.A.3 U.S. Strategic Air Command (SAC) & U.S. Nike I-Hercules-Talos ... 25
Gambar II.A.4 Sentinel Program ... 30
Gambar IV.A.1.1 Strategic Defense System (SDS) Phase I Architecture Phase I Architecture ... 66
Gambar IV.A.1.2 Brilliant Pebbles (BP) ... 67
Gambar IV. A.3.1 PATRIOT Advanced Capability/PAC-3 ... 77
Gambar IV.A.3.2 Theater High Altitude Area Defense/THAAD ... 77
Gambar IV.A.3.3 Airborne Laser Project ... 78
Gambar IV.A.3.4 AEGIS/Shipborne Aegis Air Defense System... 78
Gambar IV.B.2.a.1 Iranian Shahab-3 Variant MRBM (1.300-2.000 km) ... 94
Gambar IV.B.2.a.2 Iranian Space Launch Vehicle (SLV) ... 95
Gambar IV.B.2.a.3 Iranian Growing Ballistic Missile Threats... 96
Gambar IV.B.2.a.4 Ranges of Iran’s Missiles ... 96
Gambar IV.B.2.b.1 Potential North Korean Long Range Missile Capabilities ... 98
Gambar IV.B.2.c.1 Iraq’s Ballistic Missile Program ... 101
Gambar IV.B.2.c.2 Iraq’s Biological Warheads ... 102
Gambar IV.B.2.c.3 Iraq’s Nuclear Facilities ... 102
xii
DAFTAR SINGKATAN
ABM Anti Ballistic Missile
ABMIS Airborne Ballistic Missile Intercept System
ANZUS Australia, New Zealand, United States Treaty Organization
ARPA Advance Research Projects Agency
BMD Ballistic Missile Defense
CIA Central Intelligence Agency
COMINFORM Communist Information Bureau
DAB Defense Acquisition Board
DTS Defense Technology Study
GPALS Global Protection Against Limited Strikes
ICBM Intercontinental Ballistic Missile
IRBM Intermediate Range Ballistic Missile
MAD Mutual Assured Destruction
MRBM Medium Range Ballistic Missile
NASA National Aeronautics and Space Administration
NATO North Atlantic Treaty Organization
NAZI National Sozialistische
NIE National Intelligence Estimate
NMD National Missile Defense
SAC Strategic Air Command
SALT Strategic Arms Limitation Talks
SAM Surface to Air Missile
SDI Strategic Defense Initiative
xiii
SDS Strategic Defense System
SEATO South East Asia Treaty Organization
SLBM Submarine Launched Ballistic Missiles
SRBM Short Range Ballistic Missile
START Strategic Arms Reduction Treaty
USSR Union of Soviet Socialist Republics
WMD Weapons of Mass Destruction
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Transkrip Wawancara oleh Peneliti LIPI ... xxii
Lampiran 2 Butir-butir Perjanjian Anti Rudal Balistik antara Amerika Serikat
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai pertahanan dan keamanan sebuah negara, tentunya
tidak lepas dari perangkat senjata yang dimiliki oleh negara tersebut. Perlombaan
senjata telah diperlihatkan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang bersaing
dalam Perang Dingin (Cold War) pada periode 1947-1991 (Bailey 1998: 1).1 Salah satu perangkat senjata bertenaga nuklir yang digunakan Amerika
Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin adalah rudal balistik. Rudal
balistik merupakan perangkat senjata berbentuk peluru kendali yang kekuatannya
disuplai oleh tenaga roket sebagai peluncur yang melintas menuju target utama
(Doll, Wise, dan Masterson 2012). Rudal balistik diklasifikasikan dari jarak
tempuh minimum hingga maksimum, yang fungsinya mengukur seberapa jauh
jangkauan rudal dan seberapa besar kekuatan hulu ledak yang dibawanya.
Klasifikasi rudal balistik berdasarkan jarak tempuh dapat dikategorikan sebagai
berikut; Short-Range Ballistic Missile (70-1.000 km), Medium-Range Ballistic Missile (1.000-3.000 km), Intermediate-Range Ballistic Missile (3.000-5.500 km), Intercontinental Ballistic Missile (5.500 km+) (Feickert 2004: 2).
Pada tahun 1958, Amerika Serikat mulai mengembangkan teknologi rudal
balistik dan berhasil di uji coba pada tahun 1962 yang termasuk dalam kategori
Intercontinental Ballistic Missile (ICBM). Keberhasilan ini secara resmi dijadikan sebagai kebijakan pertahanan dan keamanan nasional Amerika Serikat pada masa
1
2
Perang Dingin. Namun pada tahun 1965, Uni Soviet juga berhasil
mengembangkan teknologi rudal balistik yang juga termasuk kategori
Intercontinental Ballistic Missile (Missile Defense Agency 2013). Kontestasi rudal balistik oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet telah dibuktikan dengan saling
mengungguli dari segi kualitas serta kuantitas. Dalam skala jumlah, Amerika
Serikat telah mampu memproduksi rudal balistik dengan jumlah 1.640 perangkat.
Sementara itu, Uni Soviet memiliki rudal balistik berjumlah 2.380 perangkat
(Norris dan Cochran 1997: 13).
Rivalitas produksi rudal balistik dalam hal ini menimbulkan kekhawatiran
bagi aspek pertahanan dan keamanan Amerika Serikat. Oleh sebab itu, pada tahun
1969, Amerika Serikat berinisiatif mengundang Uni Soviet untuk berdiskusi
tentang pengurangan serta pengendalian senjata nuklir dalam bentuk rudal
balistik. Pertemuan tersebut bertajuk Strategic Arms Limitation Talks (SALT) (Missile Defense Agency, 2013). Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan Anti Ballistic Missile Treaty yang ditandatangani oleh kedua negara pada tahun 1972
(Kimball dan Collina 2010: 1).
Traktat Anti Rudal Balistik merupakan kesepakatan antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet yang mengatur kedua negara agar tidak menyebarkan
sistem anti rudal balistik di luar wilayah negara masing-masing. Traktat ini juga
mengatur secara ketat penggunaan peluncur serta radar yang digunakan untuk
mendeteksi keberadaan sistem anti rudal balistik oleh kedua negara (Ackerman
3
Dalam kesepakatan ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet tetap
diperbolehkan untuk memasang secara terbatas, yaitu tidak lebih dari 100 rudal
penangkal. Hal ini ditolerir untuk kepentingan pertahanan kedua negara tersebut
dari kemungkinan serangan negara lain, serta melindungi instalasi rudal balistik
yang berada di wilayah Amerika Serikat dan Uni Soviet (Kimball dan Boese
2003: 1).
Meskipun diperbolehkan memiliki 100 perangkat rudal penangkal,
Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak diperbolehkan untuk melakukan uji coba
rudal balistik baik rudal balistik yang dioperasikan dari darat, laut, maupun udara
secara massive (Kimball dan Boese 2003: 1-2). Selain itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet juga dilarang untuk menggunakan sistem radar yang bertujuan
mengoperasikan rudal balistik khususnya Intercontinenal Ballistic Missile atau rudal balistik antar benua (Feickert 2004: 2).
Ketentuan lain yang terdapat dalam butir-butir kesepakatan traktat anti
rudal balistik yaitu, Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya dibolehkan melakukan
uji coba rudal balistik dengan jumlah 15 unit. Butir lainnya yang diatur di dalam
traktat yaitu kedua negara dilarang untuk menyebarkan teknologi rudal balistik
kepada negara-negara sekutu baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet.
Kesepakatan ini juga mengatur bahwa Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya
4
Pada paska perang dingin, Amerika Serikat menganggap Traktat Anti
Rudal balistik semakin tidak efektif dalam konteks pertahanan dan keamanan. Hal
ini dikarenakan, ada tiga belas negara yang memproduksi serta mengembangkan
teknologi rudal balistik; China, Korea Utara, Korea Selatan, India, Pakistan,
Taiwan, Mesir, Iran, Irak, Israel, Ukraina, Libya, dan Syiria. Namun ada enam
negara yaitu Iran, Korea Utara, Irak, India, Pakistan, dan Syria yang dianggap
sebagai ancaman potensial bagi keamanan nasional Amerika Serikat serta masuk
ke dalam kategori Rogue States (Feickert 2004: 2).
Munculnya tiga belas negara tersebut memicu Amerika Serikat untuk
merilis kebijakan pertahanan dan keamanan nasional bernama The Strategic Defense Initiative Organization (SDIO) pada tahun 1984. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan program pengembangan rudal balistik yang berbasis luar
angkasa. Selain itu, SDIO juga turut mengoptimalkan program rudal balistik
kepada seluruh elemen pemerintahan yang ada di Amerika Serikat (Dabrowski
2013: 12).
Pada tahun 1991, yang merupakan akhir dari Perang Dingin, kebijakan
pertahanan dan keamanan Amerika Serikat diperkuat dengan menerbitkan
program Global Protection Against Limited Strikes (GPALS) (Dabrowski 2013: 14). Program ini difokuskan pada perlindungan wilayah Amerika Serikat dan
sekutunya dari serangan rudal balistik kategori Short-Range Ballistic Missile (70-1.000 km) (Feickert, 2004: 2). Dalam kebijakan ini, fokus Amerika Serikat hanya
terbatas pada ancaman negara-negara yang telah mampu memproduksi rudal
balistik, bukan lagi kepada Uni Soviet/Rusia (Strategic Defense Initiative
5
Kebijakan tersebut merupakan awal langkah Amerika Serikat untuk
menarik diri dari Traktat Anti Rudal Balistik yang dibentuk tahun 1972. Hal ini
dikarenakan Amerika Serikat menganggap bahwa Traktat Anti Rudal Balistik
semakin tidak relevan paska Perang Dingin. Selain itu, Amerika Serikat juga
memerlukan sebuah konsep baru terkait pertahanan dan keamanan yang sesuai
dengan tantangan-tantangan baru yang berkembang. Oleh karena itu pada tahun
2001 Amerika Serikat menyatakan mundur dari traktat anti rudal balistik sebagai
bentuk kebijakan strategis terkait pertahanan dan keamanan (Rusten 2010:1-2).
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini akan mengajukan
pertanyaan sebagai berikut;
Apa latar belakang mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal
Balistik ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan serta menganalisis faktor-faktor
yang melatarbelakangi mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal
Balistik. Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk melatih analisis dalam
aplikasi konsep kebijakan luar negeri dan pengendalian senjata/Arms Control yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan hubungan internasional seperti James
N. Rosenau, K.J. Holsti, Richard Dean Burns, dan Jeffrey A. Larsen. Penelitian
ini juga mengungkap kondisi persenjataan strategis dalam bentuk rudal balistik,
baik yang tergolong ofensif maupun yang defensive yang dimiliki Amerika
6 D. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian telah dilakukan seputar masalah mundurnya Amerika
Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik, salah satunya penelitian yang dilakukan
oleh Lynn F. Rusten yang berjudul “U.S. Withdrawal from Anti Ballistic Missile Treaty” (Rusten 2010: 10). Rusten mengangkat masalah mengenai motivasi mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik yang selama ini
terjalin dengan Uni Soviet/Rusia sejak tahun 1972. Dalam penelitiannya,
disebutkan bahwa mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik
dikarenakan beberapa faktor terkait perubahan strategi serta konsep baru dalam
sistem keamanan nasional yang ingin dibangun oleh Amerika Serikat.
Rusten menjelaskan bahwa bentuk keamanan nasional yang diinginkan
oleh Amerika Serikat adalah dengan mengaktifkan kembali rudal-rudal yang
selama Traktat Anti Rudal Balistik berlangsung justru dibatasi dari segi kuantitas
maupun kualitas. Rusten juga menempatkan prioritas keamanan nasional Amerika
Serikat yang ditekankan pada pengaturan tentang pembangunan, percobaan dan
penyebaran rudal-rudal balistik Amerika Serikat secara luas.
Penelitian lain dalam bentuk skripsi mengenai mundurnya Amerika
Serikat dari traktat anti rudal balistik juga telah dilakukan oleh Seira Wallentina
dengan judul “Penarikan Diri Amerika Serikat dari Traktat Anti Ballistic Missile (ABM) tahun 2001” (Wallentina 2003). Skripsi ini menjelaskan bahwa mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik merupakan salah
satu strategi keamanan nasional Amerika Serikat untuk menangkal segala potensi
ancaman yang tidak hanya datang dari aktor negara tetapi juga dari aktor non
7
Karya ilmiah lainnya dalam bentuk skripsi yang berhubungan dengan
mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik serta kebijakan
pertahanan nasionalnya juga ditulis oleh Satrio Adhi Nugroho dengan judul
“Pertimbangan Strategis Amerika Serikat dalam Merencanakan Pengadopsian Kebijakan National Missile Defense pada tahun 2001” (Nugroho 2002). Penelitian ini secara umum menjelaskan bahwa kebijakan National Missile Defense yang dirilis Amerika Serikat merupakan alasan utama untuk mundur dari ABM Treaty.
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka isu yang membedakan skripsi
ini dengan penelitian sebelumnya yang dijelaskan di atas adalah, skripsi ini
berusaha menjelaskan kronologis sejarah perkembangan rudal balistik yang
dimiliki oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selain itu, skripsi ini juga akan
berusaha menjelaskan mengenai berbagai produk kebijakan pertahanan nasional
yang dirilis oleh Amerika Serikat pada masa Perang Dingin berlangsung yang
dianggap belum memberikan penjelasan secara lengkap. Oleh karena itu skripsi
ini berusaha melengkapi berbagai isu menyangkut Traktat Anti Rudal Balistik
khususnya yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan pertahanan nasional
yang diterapkan oleh Amerika Serikat secara komprehensif.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas, skripsi ini akan
menggunakan teori Kebijakan Luar Negeri serta konsep Pengendalian
8 1. Kebijakan Luar Negeri
Menurut James N. Rosenau (1976: 27-32), kebijakan luar negeri
merupakan keseluruhan sikap dan aktivitas suatu negara dalam upayanya
mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya yang
bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Definisi ini
juga dikembangkan oleh Ikrar Nusa Bhakti (2001: 22) yang menjelaskan bahwa
tujuan tersebut meliputi baik tujuan politik, ekonomi, dan keamanan, sesuai
dengan kepentingan nasionalnya yang telah ditentukan oleh penentu kebijakan
luar negeri sebagai hasil dari proses politik.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Malhotra (2004: 185-186),
kebijakan luar negeri memiliki beberapa unsur yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi yaitu, ekonomi, pertahanan, dan diplomasi. Ia juga menjelaskan
bahwa, kebijakan luar negeri dibuat atas nama negara. Kebijakan luar negeri
dirumuskan serta dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah tersebut merupakan
perpaduan dari berbagai organisasi dan individu yang memiliki berbagai
kepentingan yang berbeda-beda. Kebijakan luar negeri juga selalu dikondisikan
dengan lingkungannya baik domestik maupun eksternal/internasional.
Menurut K.J. Holsti (1992: 269), kebijakan luar negeri merupakan semua
tindakan atau aktifitas suatu negara yang memiliki tujuan untuk mempertahankan
atau mengubah suatu tujuan, kondisi, atau praktek-praktek dalam lingkungan
eksternal suatu negara. Selain itu, kebijakan luar negeri juga dibentuk untuk
mempromosikan atau mencapai tujuan yang bersifat domestik seperti keamanan,
9
Pokok permasalahan dalam penentuan kebijakan luar negeri pada
umumnya dititikberatkan pada usaha untuk memecahkan berbagai permasalahan,
baik yang berkaitan dengan masalah domestik maupun masalah
eksternal/internasional suatu negara serta mempromosikan sebuah perubahan.
Lebih lanjut lagi, Holsti (1992: 272) menambahkan bahwa terdapat dua faktor
yang mempengaruhi kebijakan luar negeri yang dibuat suatu negara, yaitu faktor
internal (domestik) dan eksternal (internasional).
Faktor internal dalam hal ini meliputi kondisi sosio ekonomi, karakteristik
geografis dan demografi, struktrur pemerintahan, birokrasi, serta atribut nasional.
Sementara itu faktor eksternal terdiri dari struktur sistem, karakteristik ekonomi
dunia, tujuan dan tindakan aktor-aktor lain, masalah regional dan global, hukum
internasional serta opini dunia.
Holsti juga menekankan bahwa di antara berbagai faktor tersebut,
kepentingan nasional merupakan bagian faktor internal yang paling berpengaruh
dalam kebijakan luar negeri. Sebab, kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh
suatu negara didasari atas pertimbangan kepentingan nasional. Joseph Frankel
(1988: 93) juga berpendapat lewat bukunya yang berjudul International Relations in a Changing World, mengatakan bahwa kepentingan nasional merupakan kunci utama dari perumusan kebijakan luar negeri yang menjadi pokok utama dari total
keseluruhan nilai-nilai nasionalitas suatu bangsa. Frankel juga menambahkan
bahwa kepentingan nasional dapat dideskripsikan sebagai suatu gambaran aspirasi
rakyat yang dapat diwujudkan dalam suatu gerakan operasional yang
menghasilkan suatu aplikasi yang berbentuk kebijakan dan program yang
10
Salah satu program pemerintah yang merupakan sebuah rumusan
kebijakan luar negeri suatu negara adalah dengan peningkatan kekuatan militer.
Peningkatan kekuatan militer tentunya tidak terlepas dari kebijakan suatu negara
dalam menyikapi isu keamanan internasional yang mengancam negaranya.
Tentunya negara yang mengambil kebijakan untuk meningkatkan kalkulasi
kekuatan militernya telah siap untuk menghadapi musuh nyata maupun musuh
potensial yang mengancam keamanan nasional suatu negara maupun keamanan
sekutunya.
Secara substansi, ada tiga prioritas utama dan merupakan
komponen-komponen yang diperlukan oleh AS dan sekutunya dalam perumusan kebijakan
luar negeri paska perang dingin berakhir; (1) kepentingan nasional AS difokuskan
untuk mempertahankan AS, warga AS di dalam maupun luar negeri, serta
sekutunya dari segala bentuk serangan langsung, (2) mencegah agresi yang dapat
mengganggu perdamaian internasional, dan (3) mencegah timbulnya proliferasi
nuklir (Notosusanto dalam Sudharsono 1996: 117).
2. Arms Control/Pengendalian Senjata
Aktivitas Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet
berdampak pada perlombaan senjata dalam skala besar, bahkan konflik kedua
negara dikarenakan saling curiga juga diperkuat oleh ketiadaan sistem
pengendalian senjata/Arms Control dan perlucutan senjata/Disarmament yang
berlaku secara internasional (McNamara dalam Salamah 2008: 225). Akan tetapi,
terminologi pengendalian senjata dan perlucutan senjata justru mulai
diperkenalkan pada awal tahun 1950, yang dijelaskan oleh Richard Dean Burns
11
Dalam bukunya, Burns mengutip pernyataan mantan Presiden Uni Soviet
Mikhail Gorbachev mengenai Arms Control dan Disarmament. Gorbachev menekankan bahwa aturan mengenai Arms Control dan Disarmament merupakan hal yang mendesak untuk dilaksanakan, seiring menguatnya krisis keamanan oleh
Amerika Serikat dan Uni Soviet ketika Perang Dingin berlangsung. Pengaturan
tentang pengendalian serta perlucutan senjata dapat direalisasikan dalam bentuk
kerjasama bilateral dan multilateral. Kerjasama ini dimaksudkan agar terciptanya
netralitas dari ketidakamanan yang disebabkan oleh sistem persenjataan yang
dibangun oleh kedua negara (2002: 79).
Pengaturan pengendalian senjata dan perlucutan senjata pada dasarnya
difokuskan kepada 2 (dua) tujuan utama yaitu, untuk menstabilkan iklim militer
serta mengurangi aktivitas militer suatu negara jika terindikasi terjadinya
peperangan. Lebih lanjut lagi, Burns menegaskan bahwa, mekanisme tentang
pengendalian dan perlucutan senjata seperti mengurangi, membatasi serta
mengatur jenis persenjataan secara normatif tentu dapat menciptakan lingkungan
internasional yang stabil. Namun aturan-aturan tersebut tidak dapat menyelesaikan
perdebatan mengenai ancaman-ancaman yang berpotensi datang. Burns berasumsi
bahwa mekanisme pengaturan senjata harus diperkuat dengan jalur diplomasi
antar masing-masing negara, sehingga untuk sementara kekhawatiran yang
disebabkan oleh tidak adanya aturan mengenai persenjataan dapat dihilangkan
(2002: 80).
Asumsi yang dikemukakan Burns selanjutnya adalah mengenai adanya
kebingungan dalam memahami penggunaan istilah pengendalian senjata dan
12
(sembilan belas) untuk menggambarkan semua upaya-upaya yang berhubungan
dengan membatasi, mengurangi serta mengendalikan peperangan. Sementara itu,
sebagian masyarakat internasional mengartikan istilah perlucutan senjata sebagai
penghapusan senjata secara keseluruhan (2002: 81).
Namun tidak demikian halnya dengan pandangan yang dimiliki oleh
sebagian besar diplomat dan kalangan masyarakat internasional lainnya. Para
diplomat serta para pemimpin badan-badan internasional di bawah Perserikatan
Bangsa-Bangsa menggunakan perlucutan senjata hanya sebagai istilah umum. Hal
ini meliputi langkah-langkah yang bertujuan untuk meredakan ketegangan atau
membangun kepercayaan diri melalui pengaturan persenjataan, pengendalian
senjata hingga nantinya berujung pada perlucutan senjata secara umum dan
menyeluruh (Burns 2002: 81).
Seiring perdebatan mengenai penggunaan istilah pengendalian dan
perlucutan senjata semakin kompleks, maka pada awal tahun 1950 para akademisi
yang fokus mengenai teknologi nuklir dan senjata ofensif mulai menggunakan
istilah Pengendalian Senjata. Bagi para akademisi, istilah perlucutan senjata tidak
hanya memiliki kelemahan dari segi arti, tetapi juga terkesan berharap dengan
kondisi yang tidak mungkin terjadi. Namun berbeda halnya dengan Pengendalian
Senjata yang justru mengutamakan kerjasama internasional yang berstatus sebagai
musuh potensial. Kerjasama ini dirancang untuk mengurangi kemungkinan
konflik atau bahkan konflik yang akan terjadi (Burns 2002: 81-82).
Asumsi lain mengenai konsep Pengendalian Senjata juga dikemukakan
oleh Jeffrey A. Larsen. Larsen (2002: 1) menjelaskan bahwa pengendalian senjata
13
beberapa aspek terkait potensi serta kemampuan militer masing-masing negara.
Perjanjian tersebut tentunya berlaku untuk lokasi, jumlah, kesiapan serta jenis
kekuatan militer yang meliputi senjata dan fasilitas pendukung lainnya. Apapun
tujuan serta cakupannya, setiap perencanaan terkait pengendalian senjata memiliki
satu faktor penting yang harus disepakati bersama oleh masing-masing negara;
setiap negara mensyaratkan format kerjasama yang disesuaikan dengan program
militer mereka (2002: 1-2).
Larsen juga menyatakan bahwa pengendalian senjata merupakan sarana
untuk meningkatkan keamanan nasional suatu negara. Adanya pengendalian
senjata memicu setiap negara untuk meningkatkan kemampuan persenjataannya,
yang secara tidak langsung akan menciptakan stabilitas keamanan serta
mengurangi kemungkinan terjadinya perang. Konsep pengendalian senjata dalam
penelitian ini difokuskan untuk menjelaskan traktat anti rudal balistik terkait latar
belakang, prinsip, tujuan serta fungsinya bagi kerjasama AS dan Uni Soviet
(2002: 2).
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Metode
penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. (Moleong 2007: 4). Metode penelitian kualitatif yang
digunakan dalam penelitian ini tentunya bersifat deskriptif analitis. Artinya
penelitian ini melihat permasalahan yang ada dan akan dikaitkan dengan teori,
konsep serta pendekatan yang ada di dalam ilmu hubungan internasional
14
Penelitian kualitatif cenderung memberikan ruang analisis yang cukup luas
dalam berbagai format berupa wawancara, riset sumber dokumen dan riset media.
Metode kualitatif juga terfokus pada usaha mengeksplorasi secara detail peristiwa
yang dipandang menarik untuk diteliti. Tujuannya adalah mendapatkan
pemahaman yang mendalam, bukan meluas. (Harrison 2007: 86). Definisi
penelitian kualitatif sendiri adalah jenis penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur statistik atau
cara-cara lain berupa pengukuran. Pengumpulan data dalam metode kualitatif
terdiri dari empat tipe, yaitu observasi, dokumen, interview serta gambar visual
yang masing-masing memiliki fungsi dan keterbatasan (Creswell dalam Nasution
2003: 23).
Secara umum, langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini
dapat dijabarkan sebagai berikut: pertama, melakukan pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library research) berupa buku, artikel, jurnal, dokumen resmi serta informasi melalui media internet. Studi kepustakaan juga dapat diartikan
sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca, mencatat, serta mengolah bahan penelitian (Hasyim, 1995:
147).
Kedua, setelah data diperoleh maka dilakukan analisis terhadap data tersebut. Instrumen lain yang bertujuan memperkuat hasil penelitian ini adalah
proses wawancara dengan melibatkan ahli terkait pengkajian strategis khususnya
15 G. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Pemikiran
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II Traktat Anti Rudal Balistik (Anti Ballistic Missile Treaty) A. Kompetisi Rudal Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang
Dingin
B. Latar Belakang dan Prinsip Traktat Anti Rudal Balistik
C. Sejarah Singkat Komitmen Amerika Serikat dan Uni Soviet
dalam Traktat Anti Rudal Balistik
BAB III Melemahnya Komitmen Amerika Serikat dalam Traktat Anti Rudal Balistik (ABM Treaty)
A. Komitmen Awal Amerika Serikat Bergabung dalam Traktat
Anti Rudal Balistik
B. Aktivitas Amerika Serikat di dalam Traktat Anti Rudal Balistik
16
BAB IV Latar Belakang Mundurnya Amerika Serikat dari Traktat Anti Rudal Balistik (ABM Treaty)
A. Faktor Internal:
1. Penguatan Kebijakan Strategic Defense Initiative (SDI) 2. Perkembangan Kebijakan Global Protection Against
Limited Strikes (GPALS) Paska Berakhirnya Perang Dingin 3. Dinamika Kebijakan Ballistic Missile Defense dan National Missile Defense dalam Sistem Pertahanan Nasional Amerika Serikat
B. Faktor Eksternal:
1. Munculnya Negara-Negara Produsen Rudal Balisitk Paska
Perang Dingin
a. India
b. Syria
c. Pakistan
2. Eksistensi Rogue States sebagai Prioritas Utama Kebijakan Pertahanan Amerika Serikat
a. Iran
b. Korea Utara
c. Irak
17 BAB II
TRAKTAT ANTI RUDAL BALISTIK (ANTI BALLISTIC MISSILE TREATY)
Kesepakatan Traktat Anti Rudal Balistik yang melibatkan Amerika Serikat
dan Uni Soviet merupakan langkah strategis dalam upaya pengendalian rudal
ofensif oleh kedua negara. Salah satu tujuan dari dibentuknya kesepakatan
tersebut secara teoretis memiliki 2 (dua) poin utama yaitu, untuk menstabilkan
iklim militer serta mengurangi aktivitas militer jika terindikasi akan terjadinya
peperangan antar kedua negara (Burns 2002: 80).
Pada dasarnya langkah yang diambil Amerika Serikat melalui Presiden
Nixon dan Uni Soviet oleh Presiden Leonid Brezhnev terkait pembatasan senjata
ofensif telah dimulai pada tahun 1969 di Helsinki, Finlandia yang dinamakan
Strategic Arms Limitation Talks (SALT) (Smith 2000: 6). Pertemuan serta perundingan ini pertama kali diinisiasi oleh Amerika Serikat sebagai bentuk
implementasi dari 2 (dua) poin penting yang ditetapkan Senat ketika menyetujui
program Safeguard oleh pemerintah. Salah satu poin tersebut adalah
mengharuskan pemerintah Amerika Serikat untuk segera mengadakan pertemuan
dengan Uni Soviet dan membicarakan perihal pembatasan senjata ofensif (Smith
2000: 6).
Perundingan tersebut pada akhirnya berjalan dengan lancar yang secara
resmi ditandatangani pada bulan November tahun 1969 dan kedua negara
khususnya Uni Soviet berkomitmen untuk melanjutkan perundingan ke tahapan
berikutnya (Kaplan, 2008: 11). Salah satu alasan Uni Soviet untuk berkomitmen
18
menciptakan “Bargaining Chip” dengan Uni Soviet melalui teknologi Safeguard (Kaplan 2008: 12). Hal ini sebelumnya pernah ditekankan oleh Presiden Lyndon
B. Johnson ketika mengajukan Safeguard sebagai bentuk posisi tawar kepada Uni
Soviet untuk berunding terkait pembatasan senjata ofensif. Tidak hanya itu,
Presiden Johnson dianggap oleh Uni Soviet sebagai tokoh yang mampu
meyakinkan Soviet tentang bahaya senjata yang dilengkapi dengan hulu ledak
nuklir (Salamah, 2008: 229).
A. Kompetisi Rudal Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang Dingin Argumentasi yang dikemukakan oleh Rosenau (1976: 27-32) tentang
konsep kebijakan luar negeri suatu negara khususnya Amerika Serikat
menjelaskan bahwa, negara akan mampu berperang dalam segi finansial untuk
memenuhi kebutuhan negaranya terkait pertahanan nasionalnya. Hal ini secara
langsung dibuktikan oleh Amerika Serikat dengan mengeluarkan dana sekitar 70
juta dolar dalam kurun waktu 3 (tiga) dekade, yakni dimulai pada awal tahun 1960
sampai 1990 untuk pemenuhan kebutuhan keamanan nasionalnya (Payne 2000:
171).
Urgensi yang ditekankan Amerika Serikat dengan dana jutaan dolar
tersebut adalah untuk penelitian serta pengembangan program pertahanan nasional
Amerika Serikat bernama Ballistic Missile Defense (BMD) System (Payne 2000: 171). Payne (2000: 171) dalam tulisannya juga menjelaskan bahwa BMD
merupakan sistem pertahanan negara yang terdiri dari perangkat rudal pencegat
yang dilengkapi dengan sensor yang mampu menjangkau serta melindungi 50
19
Sistem rudal pencegat ini juga turut serta melindungi wilayah perairan dan
salju Amerika Serikat yakni Hawai dan Alaska (Neuneck dan Schaaf 2000: 3).
Rudal pencegat yang dimiliki oleh Amerika Serikat tersebut difokuskan untuk
menangkal setiap serangan rudal dengan kategori Intermediate Range Ballistic Missile (IRBM) yang berjarak 3.000-5.500km (Feickert 2004: 2-3).
Dalam perkembangannya, teknologi yang terafiliasi dalam sistem BMD
meliputi kemampuan dalam mengidentifikasi setiap serangan yang datang,
kemampuan dalam manajemen peperangan serta sistem utama yakni sistem
navigasi rudal pencegat (Neuneck dan Schaaf 2000: 3-4). Secara historis,
penerapan sistem pertahanan strategis Amerika Serikat yang dikenal dengan NMD
telah dimulai pada tahun 1952, bersamaan dengan berlangsungnya babak baru
perang dingin (Cold War). Pada saat itu, Amerika Serikat berhasil membangun pangkalan rudal di Fort Meade negara bagian Maryland untuk melindungi
kota-kota utama Amerika Serikat serta wilayah industri dari serangan udara Uni Soviet
(Baucom 2001: 15).
Proyek NMD Amerika Serikat selanjutnya dikembangkan pada tahun 1955
oleh The Army Commisioned Bell Telephone Laboratories yang merupakan lembaga penelitian yang membidangi keamanan udara Amerika Serikat (Baucom
1995: 33). Lembaga ini bekerjasama dengan The Western Electric Company untuk mempertimbangkan pembangunan Anti Ballistic Missile System (ABM). Perusahaan ini berhasil meneliti serta mengembangkan generasi pertama rudal
20
Pada tahun yang sama perusahaan ini juga berhasil mengembangkan rudal
anti balistik generasi kedua yang kali ini terafiliasi dengan tenaga nuklir bernama
NIKE I-Hercules dan difungsikan sebagai pencegat atas serangan rudal oleh Uni Soviet. Secara umum, generasi rudal pencegat yang dikembangkan oleh Amerika
Serikat merupakan sistem pertahanan nasional terpadu. Sistem ini telah memiliki
teknologi radar untuk melacak dan mengelola pertempuran yang disertai
perangkat komunikasi yang bertujuan melindungi seluruh negara bagian dan
kota-kota utama di Amerika Serikat (Kaplan 2009: 4).
Proyek rudal Amerika Serikat ini bukan satu-satunya yang berkembang
pada Perang Dingin. Pada September 1955, Uni Soviet juga telah berhasil
meluncurkan rudal balistik dengan kode SS-1B Scud A yang dioperasikan melalui
perangkat kapal selam (Submarine) (Polmar 1994: 1). Rudal ini merupakan teknologi rudal balistik pertama yang dikembangkan oleh Uni Soviet dengan
menggunakan perangkat nuklir sebagai zona pertahanan dan keamanan Uni Soviet
sejak memulai konfrontasi dengan Amerika Serikat (Gansler 2010: 37).
Gambar II.A.1. U.S. NIKE Anti Ballistic Missile Program
21
Secara praktis, rudal ini mampu mencegat rudal yang dikirim oleh Uni
Soviet ke wilayah Amerika Serikat. Namun muncul perdebatan mengenai kinerja
rudal tersebut dari para ilmuwan yang membidangi persenjataan strategis.
Beberapa ilmuwan yang fokus terhadap perkembangan rudal Amerika Serikat
menyatakan bahwa rudal berjenis NIKE (Ajax & Hercules) tidak mampu mencegat rudal lainnya yang menyerang teritorial Amerika Serikat. Hal ini
dikarenakan kecepatan rudal pencegat diprediksi tidak akan mampu menjangkau
rudal balistik yang menyerang wilayah Amerika Serikat. Akan tetapi, Bell Telephone Laboratories telah melakukan percobaan pada tahun 1956 dengan menempatkan sebanyak 50.000 rudal pencegat melalui percobaan komputer
analog dengan rudal balistik sebagai targetnya (Boucom 1995: 33). Hasilnya,
rudal ini mampu mencegat rudal yang menyerang wilayah Amerika Serikat
dengan target ketinggian dan kecepatan rata-rata di udara 24.000 kaki per detik
(Kaplan 2009: 4).
Fokus utama dalam memfungsikan rudal tersebut telah ditekankan oleh
Menteri Pertahanan Amerika Serikat saat itu yakni Charles E. Wilson kepada
angkatan darat dan angkatan udara. Wilson menegaskan pada bulan November
1956, bahwa angkatan darat fokus terhadap pengamanan wilayah geografis,
kota-kota utama serta instalasi vital yang berhubungan dengan keamanan dan
pertahanan Amerika Serikat. Sementara itu, angkatan udara fokus terhadap
pengamanan wilayah kompleks industri dan pusat-pusat konsentrasi populasi
22
Konsentrasi Amerika Serikat terhadap aspek pertahanan dan keamanan
nasionalnya dilanjutkan pada tahun 1957 dengan mengembangkan rudal pencegat
generasi ketiga. Proyek rudal generasi ketiga ini dikenal dengan model NIKE-II
atau NIKE-ZEUS/A-B Model, setelah sebelumnya Amerika Serikat merilis
NIKE-I/Ajax dan Hercules. Ditinjau dari segi teknologi, sistem rudal ini
menggunakan hulu ledak nuklir sebagai pencegat yang kemampuannya melebihi
teknologi rudal sebelumnya (Kaplan 2009: 5). Hal ini dikarenakan teknologi yang
digunakan dalam rangkaian rudal ini mampu menjangkau atmosfir bumi (Zeus Exoatmospheric) untuk mencegat serangan rudal ke Amerika Serikat (Kaplan, 2009: 5).
Gambar II.A.2. U.S. NIKE-ZEUS Anti Ballistic Missile Program
Sumber: Kaplan, Missile Defense: The First Sixty Years, Missile Defense Agency, 2008
Namun tidak lama setelah Amerika Serikat merilis rangkaian rudal
pencegat, Uni Soviet meluncurkan satelit Sputnik yang merupakan satelit ruang
angkasa pertama di dunia (Kaplan 2009: 6). Peluncuran satelit Sputnik oleh Uni
23
Intercontinental Ballistic Missile (ICBM) (Boucom 2001: 14). Penerapan satelit Sputnik oleh Uni Soviet dibuktikan secara langsung dengan melakukan uji coba
rudal balistik pertama yang menggunakan kategori ICBM yang memiliki
jangkauan 5.500km+. Paska uji coba tersebut, Amerika Serikat memprediksi
bahwa Uni Soviet akan memiliki lebih dari 500 perangkat rudal balistik dengan
kategori ICBM dalam beberapa tahun kemudian (Gansler 2010: 37).
Paska uji coba rudal balistik dengan kode SS-1B Scud A yang berbasis
kapal selam, serta peluncuran satelit Sputnik, Uni Soviet terus mengembangkan
rudal balistik dengan kapasitas ICBM. Hal ini dibuktikan kembali oleh Uni Soviet
dengan meluncurkan dua rudal ICBM dengan kode SS-9 dan SS-10 (Steury 1996:
191).
Adanya persaingan senjata nuklir dalam bentuk rudal balistik yang
dihadapi kedua negara dipicu oleh konsep Nuclear Detterence yang diterapkan oleh Amerika Serikat, namun hal ini tidak berlaku bagi politik luar negeri Uni
Soviet secara umum. Konsep Nuclear Detterence merupakan konsep yang
digunakan Amerika Serikat dengan argumentasi bahwa musuh dapat dicegah
untuk menggunakan senjata nuklir dengan cara mengembangkan senjata nuklir
lainnya (Salamah 2008: 229).
Peniadaan konsep Nuclear Detterence dalam rencana kebijakan luar negeri Uni Soviet berdampak pada kelanjutan pengembangan rudal balistik yang tidak
hanya terbatas pada segi kualitas, namun juga menyangkut kuantitas. Berikut ini
tabel yang merilis jumlah rudal balistik kategori ICBM yang dimiliki Uni Soviet
24
Tabel II.A.1. USSR/Russian ICBM Forces, 1960-1996
Sumber: Norris dan Cochran, US-USSR/Russian Strategic Offensive Nuclear Forces 1945-1996, Natural Resources Defense Council, Inc, 1997 Perkembangan senjata ofensif Uni Soviet dengan melakukan uji coba rudal
balistik berjenis ICBM tentunya menjadi ancaman serius bagi keamanan wilayah
Amerika Serikat. Hal ini diperkuat dengan laporan yang dirilis oleh The Ford
Foundation selaku badan konsultan keamanan nasional Amerika Serikat. Dalam
laporan tersebut dinyatakan bahwa prioritas utama yang diperlukan Amerika
Serikat saat ini adalah perlindungan terhadap keamanan nasional khususnya warga
25
Oleh karena itu, badan ini merekomendasikan penangkal utama atas
serangan Uni Soviet adalah penggunaan pesawat pembom atau Strategic Air Command (SAC) yang terafiliasi dengan rudal balistik berjenis Nike I-Hercules dan Nike I-Talos. Pesawat ini tentunya juga telah dilengkapi dengan sistem peringatan dini atas serangan rudal yang ditujukan ke Amerika Serikat (Kaplan
2009: 7).
Gambar II.A.3. U.S. Strategic Air Command (SAC) & U.S. Nike I-Hercules-Talos
Sumber: Kaplan, The U.S. Army’s First Anti Ballistic Missile, Missile Defense Agency, 2009
Perangkat pertahanan udara ini akan ditempatkan di wilayah-wilayah strategis
yang menjadi pusat populasi penduduk dan pemerintahan di Amerika Serikat.
Respon Amerika Serikat terhadap peluncuran satelit Sputnik serta uji coba
rangkaian rudal berjenis ICBM oleh Uni Soviet dilanjutkan dengan membentuk
The Advance Research Projects Agency (ARPA) pada tahun 1958 (Gansler 2010:
37-38). Badan ini merupakan bagian dari misi strategis program pertahanan rudal
yang diinisiasi pembentukannya oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat saat itu
Neil H. McElroy serta menjadi tanggung jawab Angkatan Darat Amerika Serikat
26
ARPA secara umum bertugas meneliti serta mengembangkan sistem
pertahanan rudal untuk menangkal ancaman rudal balistik yang dimiliki Uni
Soviet. Secara spesifik ARPA bernaung pada Project Defender Program yang secara langsung mengeksplorasi serta mengujicoba teknologi rudal terbaru
berjenis ICBM yang menghabiskan dana sebesar 200 juta dolar (Gansler 2010:
38).
ARPA berhasil mengembangkan teknologi rudal yang lebih maju
dibandingkan produk-produk rudal sebelumnya yang dimiliki Amerika Serikat.
Teknologi rudal balistik berjenis ICBM yang dimiliki Amerika Serikat mulai
dilengkapi dengan sinar laser untuk mendeteksi serangan rudal musuh. Selain itu
teknologi rudal terbaru yang dikembangkan ARPA adalah dengan merilis Ballistic Missile Boost Intercept (BAMBI). Teknologi ini merupakan perangkat rudal pencegat yang diluncurkan melalui satelit ruang angkasa atau dikenal dengan
Space-Based Boost Intercept System. Tidak hanya itu, ARPA juga berhasil menguji serta mengembangkan sistem deteksi dan pelacakan melalui satelit yang
ditempatkan pada rudal pencegat yang berbasis di darat/Ground-Based Interceptors (Gansler 2010: 38-39).
Ekspansi teknologi yang dilakukan Amerika Serikat melalui ARPA
terkait inovasi rudal balistik tentunya telah berbasis hulu ledak nuklir. Selain itu,
peningkatan sistem partikel cahaya dan sinar laser sebagai pendeteksi serangan
musuh menjadi inovasi penting dalam teknologi rudal balistik Amerika Serikat
untuk mengimbangi teknologi yang dimiliki Uni Soviet (Gansler 2010: 39).
ARPA berhasil merampungkan seluruh rangkaian teknologi yang terdapat
27
uji coba untuk mengetahui kemampuan sistem elektronik melalui navigasi
komputer yang berfungsi pada radar. Paska uji coba sistem komputer yang telah
terafiliasi pada rudal balistik, maka pada tahun 1962 Amerika Serikat mulai
mengujicoba secara keseluruhan kemampuan mencegat dari serangan rudal
balistik berjenis ICBM yang bernama Minuteman I kepada publik (Gansler 2010: 39).
Percobaan ini dilakukan dengan menempatkan rudal pencegat Nike-Zeus
yang diluncurkan dari wilayah Kwajalein, daerah di dekat Kepulauan Marshall
(Marshall Island) yang merupakan wilayah Pasifik Selatan. Sementara itu, Minuteman I diluncurkan dari lokasi penempatan rudal di perairan Pasifik untuk selanjutnya dicegat oleh rudal Nike-Zeus, dan percobaan ini berhasil dicapai
(Boucom 1995: 34).
Namun rangkaian uji coba tersebut tidak diiringi dengan proses
penyebaran perangkat rudal pencegat berjenis ICBM di wilayah Amerika Serikat
dan sekutunya. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat mempertimbangkan atas 2
(dua) hal, yaitu menyangkut kekhawatiran mengenai efek dari ledakan yang
disebabkan oleh hulu ledak nuklir, dan persoalan mengenai biaya produksi rudal
yang cukup tinggi dalam neraca anggaran pemerintah Amerika Serikat (Gansler
2010: 40).
Kedua faktor yang dikemukakan di atas tidak menjadi halangan bagi
Amerika Serikat untuk terus mengembangkan serta meningkatkan kualitas
teknologi rudal balistik. Setahun berikutnya yakni pada 1963 di era pemerintahan
Presiden John F. Kennedy, Amerika Serikat mulai mengembangkan rangkaian
28
antisipasi serangan rudal balistik milik Uni Soviet (Smith, 2000: 3). Rangkaian
rudal balistik ini memiliki 2 (dua) perangkat utama berhulu ledak nuklir yang
bernama Spartan dan Sprint, Spartan merupakan rudal balistik ditujukan untuk mencegat serangan rudal balistik lain melalui jalur luar angkasa. Sementara Sprint
ditujukan untuk mencegat serangan rudal yang diluncurkan melalui jalur udara
(Gansler 2010: 40-41).
Setahun kemudian yakni pada tahun 1964, Uni Soviet secara langsung
merespon pembangunan instalasi rudal balistik NIKE-X milik Amerika Serikat
dengan menciptakan sistem anti rudal balistik bernama Galosh (Gansler 2010: 41). Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Menteri Pertahanan saat itu Robert S.
McNamara, bahwasanya Uni Soviet telah menempatkan perangkat anti rudal
balistik tersebut di seluruh wilayah Moskow dan pernyataan ini juga secara
langsung disampaikan dihadapan publik Amerika Serikat (Boucom 1995: 35).
Kondisi tersebut menginisiasi Amerika Serikat untuk menempatkan
instalasi NIKE-X di 12 (dua belas) lokasi strategis pada tahun 1965. Hal ini
tentunya bertujuan untuk mengantisipasi setiap ancaman serangan rudal dari Uni
Soviet. Akan tetapi pada tahun yang sama, McNamara menghentikan program
penyebaran instalasi rudal balistik tersebut dikarenakan hanya akan membuat Uni
Soviet menciptakan lebih banyak rudal untuk disebarluaskan (Gansler 2010: 42).
Prediksi yang dikemukakan oleh McNamara tidak lantas membuat Uni
Soviet mengurangi intensitas penyebaran sistem anti rudal balistik di negaranya.
Pada tahun 1966 berdasarkan informasi yang dirilis dari pihak intelijen Amerika
Serikat bahwa Uni Soviet telah menempatkan sistem anti rudal balistik Galosh ke
29
diterapkan oleh Uni Soviet tersebut tentunya memicu ketegangan yang
berkelanjutan antar kedua negara. Amerika Serikat melalui Menteri Pertahanan
McNamara (Gansler 2010: 43) menyatakan bahwa;
“The U.S. reaction to the Soviet deployment of a ballistic missile defense system would not be the deployment of more U.S. defensive systems; instead, it would be the deployment of more and better offensive systems” Pernyataan McNamara tersebut menekankan bahwa Amerika Serikat tidak akan menyebarkan sistem anti rudal balistik yang bersifat defensif, melainkan sebagai sistem terpadu yang bersifat ofensif, yang kapan saja dapat menyerang Uni Soviet (Gansler 2010: 43).
Dalam hal ini, Amerika Serikat secara realistis menyadari bahwa semakin
sulit untuk menghentikan intensitas penyebaran rudal balistik yang dimiliki Uni
Soviet. Kesulitan ini tentunya dapat dilihat dari gagalnya Presiden Amerika
Serikat saat itu Lyndon Baines Johnson dalam membentuk sebuah kesepakatan
berupa perjanjian internasional yang berhubungan dengan pengendalian senjata
ofensif dengan Uni Soviet (Kaplan 2008: 10). Oleh karena itu pada tahun 1967
Amerika Serikat melanjutkan program pengembangan sistem anti rudal balistik
terbaru bernama Sentinel yang bertujuan untuk mengantisipasi serangan rudal
ICBM yang dimiliki Uni Soviet (Smith 2000: 3-4).
Secara resmi, pembangunan instalasi serta penyebaran sistem anti rudal
balistik Sentinel diumumkan oleh McNamara dengan menekankan pada 2 (dua)
poin utama. Pertama, upaya pembangunan sistem anti rudal balistik jenis terbaru yakni Sentinel hanya akan meningkatkan rivalitas serta volume kepemilikan rudal
ofensif antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua, pada dasarnya yang diperlukan dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional cukup bertumpu pada
teknologi rudal yang telah ada tanpa harus membangun sebuah sistem anti rudal
30
Sentinel merupakan perangkat anti rudal balistik yang masih
mengandalkan teknologi Sprint dan Spartan yang terdapat di dalam rudal
NIKE-X. Teknologi ini terafiliasi dengan model baru dalam sistem kapal selam yang
bernama Sea-Based Anti Ballistic Missile Intercept System (SABMIS) yang disebar di wilayah perairan pasifik barat dan atlantik utara (Kaplan 2008: 11).
Perangkat Sentinel juga diterapkan pada pesawat tempur bernama Airborne Ballistic Missile Intercept System (ABMIS) yang bertujuan untuk menghadang lintasan rudal balistik Uni Soviet yang diluncurkan melalui kapal selam (Kaplan
2008: 11-12).
Gambar II.A.4. Sentinel Progam
Sumber: Kaplan, Kaplan, Missile Defense: The First Sixty Years, Missile Defense Agency, 2008
Namun pada awal tahun 1968 muncul perdebatan yang dikemukakan oleh
Presiden Johnson tentang rencana pembangunan instalasi ICBM dari yang
sebelumnya berbasis kapal selam juga akan dikembangkan ke basis darat/ Land-Based ICBM (Kaplan 2008: 12). Hal ini dikarenakan Presiden Lyndon B. Johnson memprediksi bahwa Uni Soviet akan mendominasi serta meningkatkan teknologi
31
Presiden Johnson juga menegaskan bahwa pembangunan instalasi ICBM
dengan skala besar bertujuan untuk melindungi wilayah Amerika Serikat serta
menjadi “Bargaining Chip” atau posisi tawar untuk menjalin kerjasama pengendalian senjata dengan Uni Soviet (Kaplan 2008: 13). Akan tetapi isu
perdebatan mengenai rencana peningkatan teknologi pada rudal balistik pada
akhirnya diselesaikan pada tahun 1969 ketika Presiden Lyndon B. Johnson
digantikan oleh Presiden Richard M. Nixon. Hal ini berdasarkan keputusan
Menteri Pertahanan Melvin Laird yang menghentikan penyebaran Sentinel secara
luas untuk ditinjau oleh pemerintahan baru Amerika Serikat yang dipegang oleh
Presiden Nixon (Boucom 1995: 35-36).
Hasil tinjauan atas kebijakan strategis Amerika Serikat terkait pertahanan
dan keamanan secara langsung diumumkan oleh Presiden Nixon pada pertengahan
tahun 1969. Presiden Nixon memutuskan untuk membentuk program pertahanan
dan keamanan baru bagi Amerika Serikat bernama “Safeguard Program” (Kaplan 2008: 14). Safeguard merupakan bentuk reorientasi dari kebijakan pertahanan
Amerika Serikat yang lebih memfokuskan perlindungan terhadap instalasi rudal
ICBM Minuteman ketimbang perlindungan terhadap kota-kota strategis di Amerika Serikat (Gansler 2010: 43-44).
Apabila ditinjau dari segi teknologi, Safeguard masih mengandalkan
kemampuan rudal Sentinel yang dibangun pada era Presiden Lyndon B. Johnson.
Letak perbedaannya telah dijelaskan hanya pada wilayah perlindungan yang lebih
cenderung fokus pada pengamanan instalasi rudal ICBM Minuteman (Boucom
1995: 36). Selain itu, Safeguard bertujuan untuk melindungi Pusat Komando
32
menyeluruh terhadap Otoritas Komando Nasional (National Command Authority) yang berbasis di Washington, DC (Smith 2000: 4).
Dirilisnya Safeguard sebagai program pertahanan dan keamanan Amerika
Serikat tentunya tidak lepas dari perdebatan-perdebatan yang mengemuka di
publik Amerika Serikat. Beragam reaksi terjadi dalam menanggapi isu penyebaran
Safeguard, diantaranya para ilmuwan melakukan aksi mogok, mengadakan
pertemuan dengan berbagai elemen masyakarat serta aksi demonstrasi di pusat
kota Washington sebagai bentuk protes atas keputusan pemerintah yang ingin
membangun serta menyebarkan Safeguard (Gansler 2010: 44)
Bentuk protes juga berlangsung di Kongres Amerika Serikat pada saat
melakukan voting untuk menyetujui kebijakan pemerintah dalam menyebarkan
Safeguard. Kondisi ini mengakibatkan Kongres terpecah dikarenakan masalah
tersebut. Hal ini terbukti dari hasil voting yang menunjukkan persentase 50/50.
Akan tetapi jajak pendapat yang dilaksanakan oleh pemerintah menunjukkan hasil
positif dengan mendapatkan dukungan masyarakat sebesar 84% yang sebelumnya
hanya mendapat dukungan 47%, meskipun banyak di antara publik Amerika
Serikat yang tidak peduli dengan persoalan ini (Gansler 2010: 45).
Sikap protes yang ditunjukkan oleh para pemangku kepentingan dalam
kebijakan pertahanan Amerika Serikat cenderung dikarenakan kekhawatiran yang
disebabkan kemajuan senjata nuklir yang dimiliki Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Kemajuan ini tentunya berdampak pada ancaman perang nuklir antar
kedua negara yang pada akhirnya disimpulkan tidak ada satu pun yang akan
menang selain kemungkinan untuk saling menghancurkan satu sama lain (Gansler
33
Kontroversi serta berbagai perdebatan yang terjadi di Amerika Serikat
pada akhirnya terselesaikan pada Agustus 1969 ketika Senat menyetujui program
pemerintah untuk menyebarkan instalasi Safeguard (Smith 2004: 4-5). Keputusan
Senat yang menyetujui program pemerintah tersebut tentunya tidak lepas dari
kritik yang menekankan pada 2 (dua) poin utama; pertama, Amerika Serikat harus menyetujui untuk memulai pembicaraan dengan Uni Soviet terkait pengendalian
serta pembatasan senjata ofensif. Kedua, Amerika Serikat harus tetap konsisten dengan sistem pertahanannya meskipun Uni Soviet telah mengurangi intensitas
pembangunan senjata ofensif di negaranya (Smith 2000: 5-6).
Secara resmi pada tahun 1970, Amerika Serikat mulai menempatkan
Safeguard di wilayah instalasi rudal ICBM Minuteman yang berlokasi di Grand
Forks, North Dakota. Penyebaran ini tentunya sebagai “Bargaining Chip” Amerika Serikat terhadap Uni Soviet agar bersedia berunding mengenai rencana
pengurangan senjata ofensif (Smith 2000: 6). Hal ini secara langsung direspon
positif oleh kedua negara dengan mengadakan pertemuan bertajuk Strategic Arms
Limitation Talks yang menghasilkan perjanjian Anti Ballistic Missile Treaty pada tahun 1972 sebagai langkah strategis dalam upaya pengendalian rudal ofensif
(Gansler 2010: 46-47). Traktat ini mengatur secara ketat bagi kedua negara untuk
menyebarkan perangkat anti rudal balistik yang terbatas pada 2 (dua) lokasi yaitu
wilayah ibukota negara dan di area instalasi ICBM Amerika Serikat dan Uni
Soviet (Hildreth 2007: 2-3).
B. Latar Belakang dan Prinsip Traktat Anti Rudal Balistik
Pada tahun 1969, Amerika Serikat secara formal mengundang Uni Soviet
34
tersebut dinamakan dengan Strategic Arms Limitation Talks (SALT) (Missile Defense Agency, 2013). Dalam pertemuan tersebut, kedua negara sepakat untuk
menandatangani kerjasama dalam bidang pertahanan dan keamanan yang
dinamakan Anti Ballistic Missile Treaty pada bulan Mei tahun 1972 (Kimball dan Collina 2010: 1).
Traktat Anti Rudal Balistik secara formal ditandatangani di Moskow yang
kemudian pada bulan agustus Senat Amerika Serikat memberi masukan dan
menyetujui traktat tersebut. Sebulan berikutnya Presiden Amerika Serikat Richard
Nixon meratifikasi traktat tersebut dan mulai diberlakukan pada bulan Oktober
1972 (Ackerman 2002: 1).
Traktat Anti Rudal Balistik merupakan kerjasama bilateral antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet yang secara umum difokuskan pada pembatasan dan
penyebaran jumlah serta kualitas dari sistem anti rudal balistik yang dimiliki oleh
kedua negara (Hildreth 2007: 1-2). Traktat Anti Rudal Balistik juga
menitikberatkan pada pembatasan produksi serta kepemilikan sistem anti rudal
balistik oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam kesepakatan tersebut, kedua
pihak menegaskan bahwa pembatasan perangkat anti rudal balistik akan menjadi
faktor substansial dan utama dalam mengendalikan perlombaan senjata ofensif
yang dimiliki oleh kedua negara (Kimball dan Boese 2003: 1). Selain itu Traktat
Anti Rudal Balistik difokuskan untuk menjaga keseimbangan senjata nuklir
dengan mengurangi risiko perlombaan senjata dalam bentuk sistem anti rudal
balistik (The Parliamentary Office of Science and Technology 2000).
Kesepakatan tersebut mengatur tiap-tiap negara hanya boleh menyebarkan
35
negara tidak dapat menempatkan sistem pertahanan anti rudal untuk melindungi
seluruh wilayah negaranya, apalagi membangun instalasi tersebut secara
berkelanjutan (U.S. Department of State 2013). Pada awal berlangsungnya
kesepakatan, Amerika Serikat mengusulkan agar traktat tersebut membatasi
penyebaran instalasi anti rudal balistik Rusia berjumlah satu lokasi di sekitar
Moskow. Selain itu, Amerika Serikat menginginkan agar dapat menyebarkan
perangkat anti rudal balistik sebanyak empat lokasi di sekitar instalasi ICBM
(Hildreth 2007: 2).
Namun, usulan ini ditolak oleh Rusia dan mendesak agar Amerika Serikat
membentuk kesepakatan yang seimbang dan proporsional untuk diterapkan
kepada kedua negara. Rusia juga memberikan reaksi yang sama ketika Amerika
Serikat mengusulkan agar traktat tersebut mengizinkan salah satu negara untuk
menyebarkan satu instalasi untuk melindungi ibukota negara dan dua instalasi
sebagai pelindung perangkat ICBM (Hildreth 2007: 2).
Adanya perdebatan tersebut, pada akhirnya memutuskan pemerintahan
Amerika Serikat melalui Presiden Richard Nixon untuk menyetujui kesepakatan
yang proporsional dalam penyebaran anti rudal balistik. Kesepakatan yang dibuat
pada tahun 1972 tersebut membolehkan kedua negara untuk menyebarkan sistem
anti rudal di dua lokasi yakni; pertama di lokasi untuk melindungi ibukota negara, dan kedua di wilayah tempat pengoperasion rudal antar benua (ICBM) (Woolf, 2006: 11).
Format yang diatur dalam kesepakatan yang ditetapkan pada tahun 1972
menetapkan masing-masing negara menyebarkan dua instalasi dengan komposisi