• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlakuan Konsentrasi Colchicine pada Kultur In Vitro Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlakuan Konsentrasi Colchicine pada Kultur In Vitro Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.))."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

(2)

lahannya yang berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan mulai dari kurang dari 0,5 meter sampai dengan kedalaman lebih dari 20 meter (Badan Litbang Kehutanan 2010). Akan tetapi, pembibitan jelutung secara massal sering kali terkendala oleh sifat benih yang mudah rusak dan cepat berkecambah (rekalsitran) sehingga tidak dapat disimpan terlalu lama sehingga teknologi penyimpanan benih dan perbanyakan vegetatif baik secara makro (stek) maupun mikro (kultur jaringan) sangat diperlukan guna penyediaan bibit jelutung dalam jumlah banyak (Bathimi 2009).

Melalui kultur in vitro maka dapat diperoleh bibit dalam jumlah yang besar dan sama, dapat diperbanyak secara kontinyu serta lebih efisien tempat dan waktu. Akan tetapi dalam kultur in vitro sendiri juga perlu adanya rekayasa agar mendapatkan hasil kultur yang jauh lebih baik dan dalam waktu yang cepat didapatkan hasil yang jauh lebih besar. Salah satu caranya adalah dengan menambahkan hormon yang berpengaruh pada percepatan pertumbuhan tanaman itu sendiri, yaitu hormon colchicine yang dapat menggandakan jumlah kromosom dari diploid menjadi tetraploid.

Hormon colchicine adalah senyawa alkaloid yang dihasilkan dari ekstrak umbi dan akar tanaman Colchicum autumnale Linn (family Idliaceae). Hormon ini dapat digunakan untuk menginduksi poliploid (Eigsti & Dustin 1957) dengan ciri-ciri inti dan isi sel lebih besar, daun dan bunga bertambah besar, dan dapat terjadi perubahan senyawa kimia termasuk peningkatan atau perubahan pada jenis atau proporsi karbohidrat, protein, vitamin atau alkaloid (Poespodarsono 1988). Briggs dan Knowles (1967) diacu dalam Herawati (1980) menyatakan bahwa larutan colchicine merupakan salah satu zat yang dapat menggandakan jumlah kromosom suatu individu tanaman di dalam inti sel, yang berpengaruh terhadap karakter vegetatif tanaman. Dengan konsentrasi cholchicine yang berbeda, akan memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap petumbuhan tanaman. Hal ini dikarenakan konsentrasi colchicine yang digunakan bersifat sangat kritis (Eigsti & Dustin 1957).

(3)

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi pengaruh pemberian colchicine pada pertumbuhan jelutung secara kultur in vitro.

2. Mengidentifikasi konsentrasi colchicine yang baik dan tepat untuk pertumbuhan jelutung secara kultur in vitro.

1.3 Hipotesis

Berdasarkan tujuan penelitian, maka hipotesis yang diajukan adalah pemberian colchicine secara kultur in vitro memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)).

1.4 Manfaat Penelitian

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.))

Jelutung atau jelutong (D. costulata, syn. D. laxiflora) adalah spesies pohon dari subfamilia Oleander. Berdasarkan taksonominya tumbuhan jelutung tergolong ke dalam:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliopsida (Tumbuhan berbunga) Kelas : Dicotyledonae (Berkeping dua/dikotil) Subkelas : Asteridae

Ordo : Gentianales Family : Apocynaceae Genus : Dyera

Spesies : Dyera costulata (Hook. f.)

Gambar 1 Dyera costulata (Hook. f.). Ket: (1) Pohon; (2) Daun; (3) Buah; (4) Benih. Sumber: Plant Resources of South-East Asia 5:2 diacu dalam BPTH Sulawesi (2004).

(5)

pantung jarenang, pantung gunung, pantung kapur, pantung tembaga, dan pulut (Kalimantan). Jelutung dapat tumbuh dengan baik di tanah organosol dengan curah hujan tipe A dan B. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, kategori A memiliki bulan basah lebih dari 9 kali berturut-turut dan tipe B memiliki bulan basah 7 hingga 9 kali berturut-turut. Daerah penyebaran jelutung antara lain meliputi wilayah Aceh, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur (Handoyo 2011).

Bentuk batang jelutung ini silindris tanpa banir, tinggi mencapai 50 – 80 m, tinggi bebas cabangnya 15 – 30 m, diameter mencapai 300 cm dengan tajuk yang tipis. Kulit batangnya berwarna kelabu kehitaman, permukaan halus dengan sisik agak persegi, kulit bagian dalam tebal, bila ditoreh akan keluar getah berwarna putih seperti susu kental. Pohon ini menggugurkan daunnya 1 kali dalam setahun. Bentuk daun bulat telur tetapi lebar di bagian atas mulai dari bagian tengah sampai berbentuk huruf A yang melebar di bagian tengah. Ukuran daun 12 – 25 x 6 – 11 cm. Bunga seperti karangan bunga berbentuk lingkaran dengan panjang 5 – 18 cm dan tidak berbulu. Mahkota berwarna putih (BPTH Sulawesi 2004) dengan pola cabang yang tidak terlalu rapat. Sebagai tanaman endemik, penanaman jelutung tidak memerlukan manipulasi lahan yang terlalu tinggi karena telah tumbuh dan berkembang secara alami. Pohon ini secara alami tumbuh menyebar dengan jarak antara satu pohon dengan pohon lainnya 50 m (DepHut 2008). Tekstur kayu jelutung relatif halus, berwarna putih, seratnya searah, kulit batangnya berwarna abu-abu gelap atau hitam dan licin (Dishut 2008).

Benih Dyera costulata bersifat rekalsitran sehingga harus disimpan dalam wadah kedap udara, seperti kantong plastik dalam ruang bersuhu 18 – 20 ºC dan kelembaban 60 – 70% (ruang ber-AC). Dengan cara penyimpanan seperti ini maka daya berkecambah benih diharapkan dapat dipertahankan pada nilai 60% selama 3 bulan (BPTH Sulawesi 2004).

2.2 Manfaat Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.))

(6)

Bastoni (2007) dan Handoyo (2011) menyatakan bahwa jelutung dapat mulai disadap pada umur 10 tahun, sedangkan untuk mutu lateks jelutung sendiri tergantung pada jenis pohon jelutung yang disadap serta perlakuan dan teknik penanganannya ketika pasca panen. Penyadapan yang optimal biasanya dilakukan pada pagi hari supaya lateks yang dihasilkan berjumlah banyak dan tidak membeku (DepHut 2008). Getah jelutung ini biasa digunakan sebagai bahan baku permen karet, isolator dan soft compound ban. Untuk kayu jelutungnya sendiri berwarna putih kekuningan dengan tekstur halus, arah serat lurus dengan permukaan kayu yang licin mengkilap ini biasa digunakan sebagai bahan baku industri mebel, polywood, moulding, pulp, patung, dan pencil slate.

Dyera costulata mampu menghasilkan lateks sekitar 2,5 kg lebih banyak dari Dyera laxiflora yang hanya menghasilkan 0,5 kg lateks. Di Kalimantan dari satu pohon jelutung rata-rata menghasilkan lateks sebanyak 50 kg/pohon/tahun (Siaran Pers DepHut 2004). Pemasaran kayu jelutung di dalam negeri bisa dibilang relatif baik, hal ini dikarenakan kebutuhan bahan baku industri pencil slate yang mencapai 180.670 m3 per tahunnya (Bastoni dan Lukman 2004 diacu dalam Bathimi 2009).

Menurut Bathimi (2009), potensi jelutung sangat besar, diantaranya: 1. Kemampuan beradaptasi pada lahan rawa telah teruji. Daya adaptasi yang baik

pada lahan rawa merupakan syarat mutlak bagi suatu jenis pohon yang akan digunakan untuk merehabilitasi lahan rawa terdegradasi. Jelutung mempunyai daya adaptasi yang baik pada lahan rawa yang selalu tergenang atau tergenang berkala.

2. Pertumbuhan yang relatif cepat. Jelutung mempunyai pertumbuhan yang relatif cepat, pada kondisi alami riap diameter pohon berkisar antara 1,5 cm – 2,0 cm per tahun. Pohon jelutung yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi intensif riap diameternya dapat mencapai 2,0 – 2,5 cm per tahun.

(7)

4. Hasil ganda (getah dan kayu).

5. Masukan (input) biaya budidaya relatif rendah. Dalam jangka waktu tiga tahun biaya yang dikeluarkan pada pembangunan hutan tanaman jenis jelutung untuk bibit, penyiapan lahan, penanaman, dan pemeliharaan sekitar Rp 2,88 juta per hektar lahan.

6. Budidaya jelutung tidak sulit. Masyarakat telah mengenal jelutung. Kemiripan budidaya jelutung dengan karet menjadikan masyarakat tidak mengalami kesulitan untuk membudidayakannya.

Melihat potensi jelutung di atas, pengembangan usaha jelutung ini dirasakan mempunyai prospek yang sangat baik karena kedua jenis produk pohon jelutung ini (getah dan kayu) memiliki banyak manfaat.

2.3 Teknik Kultur in Vitro

(8)

yang sempurna (Suryowinoto 1991 diacu dalam Hendaryono dan Wijayani 1994). Noerhadi (1974) diacu dalam Ellyzarti (1986) menyatakan bahwa jaringan tanaman yang diambil dari bagian tertentu jika ditumbuhkan dalam medium yang sesuai dengan kondisi steril akan mengalami pertumbuhan kalus dalam tahap permulaan yang merupakan sel yang tidak teroganisir. Pada keadaan yang menguntungkan kalus selanjutnya dapat membentuk organ-organ baru tanaman seperti tunas, batang, dan akar.

Untuk mendapatkan persentase keberhasilan yang lebih besar, kultur jaringan sebaiknya menggunakan jaringan meristem karena jaringan meristem adalah jaringan muda yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pectin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil (Hendaryono & Wijayani 1994). Menurut Purwaningsih (2003), penggunaan meristem aksilar dapat menghasilkan multiplikasi tunas aksilar secara cepat, sehingga bibit yang dihasilkan dalam jumlah besar dapat ditempuh dalam waktu yang relatif singkat. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan bahwa prinsip kerja dari kultur jaringan terdiri dari:

1. Kegiatan isolasi bagian tanaman yang akan digunakan sebagai bahan tanam (eksplan) dari tanaman induknya,

2. Penanaman bahan tanam (eksplan) pada medium yang tepat sehingga terjadi percepatan induksi totipotensi,

3. Terpenuhinya kondisi aseptik (bebas dari kontaminan atau mikroorganisme). Secara umum teknik kultur jaringan dibagi menjadi lima tahapan, yaitu seleksi eksplan dan persiapan, inisiasi dan pembuatan kondisi yang steril, perkembangbiakkan tunas aksiler (multiplikasi), pengakaran dan aklimatisasi (Acquaah 2004).

1. Seleksi Eksplan dan Persiapan

(9)

2008). Ukuran eksplan yang digunakan disesuaikan dengan tujuan dari pembiakkannya. Ukuran eksplan yang lebih besar cenderung lebih mudah terkontaminasi, namun eksplan yang kecil memiliki persentase kematian jaringan yang lebih tinggi (Conger 1981 diacu dalam Isnaeni 2008).

2. Inisiasi dan Pembuatan Kondisi yang Steril

Proses inisiasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam teknik kultur jaringan untuk menentukan langkah selanjutnya. Oleh karena itu inisiasi kultur yang terbebas dari kontaminan merupakan hal yang harus dilakukan. Inisiasi adalah penanaman bagian tumbuhan sebagai eksplan untuk ditumbuhkan pada media kultur jaringan. Pada tahap ini dilakukan kegiatan sterilisasi eksplan untuk mendapatkan kultur aseptik. Eksplan yang telah disterilisasi kemudian ditanam pada media prekondisi untuk memastikan eksplan telah terbebas dari kontaminan dan jaringan berisiasi untuk tumbuh.

3. Perkembangbiakkan Tunas Aksiler (Multiplikasi)

Multiplikasi merupakan kegiatan memindahkan tunas-tunas dari dalam wadah kultur secara aseptik yang tumbuh dari hasil induksi dan ditanam lagi dalam botol kultur lain yang berisi media dan hormon yang mampu merangsang pertunasan. Tujuan utama dari proses multiplikasi ini adalah perbanyakan pucuk atau tunas atau klon tumbuhan dan meningkatkan terjadinya percabangan aksial dan pembentukan pucuk secara adventif.

4. Pengakaran

Proses pengakaran dapat dilakukan dengna penggunaan media yang ditambahkan ZPT jenis auksin. Wattimena (1988) diacu dalam Isnaeni (2008) menyatakan bahwa pemberian auksin diketahui dapat memicu pertumbuhan tunas dan akar. Proses ini dilakukan untuk mempersiapkan plantlet agar dapat ditanam di lapang.

5. Aklimatisasi

(10)

Proses aklimatisasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi sebaiknya lingkungan tumbuhnya harus mendekati lingkungan asalnya pada saat pembiakan. Selain itu, pemberian hara tumbuhan yang cukup pada media maupun penyemprotan daun akan sangat membantu proses aklimatisasi (Mattjik 2005 diacu dalam Isnaeni 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfologis tanaman dalam kultur jaringan dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu:  Genotipe dari bahan tanaman yang digunakan,

 Media, mencakup tentang komponen penyusun media dan juga zat pengatur pertumbuhan tanaman yang digunakan,

 Lingkungan tumbuh, yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan,  Fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan (Wattimena 1992).

Seperti yang disebutkan di atas, salah satu faktor yang berperan penting dalam menentukan keberhasilan kegiatan kultur jaringan adalah media tanam. Media tanam merupakan tempat tumbuh untuk tumbuhnya eksplan. Menurut Soerianegara (1994) diacu dalam Hidayat (2009), media tanam dalam kultur jaringan tumbuhan dibedakan menjadi dua yaitu media dasar dan media perlakuan. Bentuk media tanam yang digunakan dalam kultur jaringan ada 3 yaitu media tanam bentuk padat, semi padat, dan cair. Pada umumnya, media dasar yang sering digunakan adalah media dasar Murashige dan Skoog. Menurut Acquaah (2004) media kultur jaringan mengandung komponen yang dapat dikategorikan menjadi empat kelompok unsur mineral, senyawa organik, zat pengatur tumbuh, dan sistem penyokong.

2.4 Colchicine

(11)

Colchicine dapat digunakan untuk menginduksi poliploid (Eigsti dan Dustin 1957). Poliploid adalah organisme yang mempunyai lebih dari dua set kromosom atau genom dalam sel somatisnya. Beberapa ciri tumbuhan poliploid antara lain inti dan isi sel lebih besar, daun dan bunga bertambah besar, dan dapat terjadi perubahan senyawa kimia termasuk peningkatan atau perubahan pada jenis atau proporsi karbohidrat, protein, vitamin atau alkaloid (Poespodarsono 1988). Menurut Briggs dan Knowles (1967) diacu dalam Herawati (1980) menyatakan bahwa larutan colchicine merupakan salah satu zat yang dapat menggandakan jumlah kromosom suatu individu tanaman di dalam inti sel, yang berpengaruh terhadap karakter vegetatif tanaman. Karakter vegetatif yang diperlihatkan diantaranya pelebaran dan penebalan daun, serta pelebaran dan penebalan daun mahkota bunga (Allard 1960 diacu dalam Herawati 1980), sehingga dengan pelebaran daun mahkota bunga tersebut diharapkan diameter bunga menjadi lebih besar, sedangkan untuk penebalan daun mahkota bunga diharapkan dapat mempertinggi ketahanan bunga terhadap kelayuan (Herawati 1980).

Poliploid pada tumbuhan dapat terjadi secara alami atau buatan. Poliploid yang sengaja dibuat menggunakan zat-zat kimia tertentu, salah satunya adalah colchicine. Zat kimia ini paling banyak digunakan dan lebih efektif karena mudah larut dalam air (Suryo 1995). Jauhariana (1995) diacu dalam Sulistianingsih et al. (2004) menyatakan bahwa konsentrasi colchicine yang digunakan bervariasi dari 0,0006% sampai 1,0% dengan lama perendaman 1-6 hari, tergantung jenis benihnya. Benih yang lambat berkecambah umumnya memerlukan waktu yang lama. Pada umumnya colchicine efektif pada kadar 0,01% - 1,0% (Jauhariana 1995 diacu dalam Sulistianingsih et al. 2004).

(12)

lebih besar. Menurut Gao et al. (1966) diacu dalam Nilahayati (2006), poliploidi dapat menghasilkan daun dan batang yang lebih tebal, warna bunga yang lebih variatif, dapat meningkatkan ratio panjang lebar daun, tekstur bunga yang lebih lembut dan ukuran bunga yang lebih besar.

Efektifitas kerja colchicine dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi colchicine yang diberikan, lama kontak sel dengan colchicine, tahap mitosis tertentu saat colchicine kontak dengan sel, tipe sel (sel embrio atau dewasa), dan lingkungan yang mendukung mitosis (Eigsti & Dustin 1957).

Kepekaan terhadap perlakuan colchicine berbeda diantara spesies tanaman, oleh karena itu baik konsentrasi maupun waktu perlakuan akan berbeda untuk setiap jenis, bahkan untuk bagian tanaman yang berbeda, konsentrasi dan waktu perlakuan akan berbeda pula. Untuk tunas, pemberian colchicine dapat berupa larutan yang ditetes atau agar yang dioleskan setiap 2 atau 3 kali seminggu dengan konsentrasi 0,5% sampai 1,0% (Poespodarsono 1988). Konsentrasi colchicine yang digunakan bersifat sangat kritis, sehingga konsentrasi yang beragam ini menyebabkan pengaruh yang beragam juga (Eigsti & Dustin 1957).

Pemakaian colchicine secara umum ada dua cara, yaitu: 1) Mengoleskan atau meneteskan larutan colchicine pada bagian tanaman yang sedang

meristematis atau sering juga disebut dengan “drop method”, 2) Diberikan dalam bentuk campuran agar yang dibalutkan pada bagian tanaman yang meristematis

disebut juga “agar kapsul method” (Soetarso 1978 diacu dalam Jenimar 1988). Herawati (1980) telah berhasil menimbulkan individu poliploid pada banyak tanaman pertanian dengan menggunakan colchicine. semua sel yang sedang membelah dan bersinggungan dengan zat kimia colchicine dapat mengalami pengaruh dari zat tersebut (Srickberger 1968 diacu dalam Herawati 1980).

(13)

terbentuklah sebuah nukleus. Menurut Herawati (1980) pengaruh colchicine pada proses mitosis ialah membuat sitoplasma menjadi encer, sehingga pembelahan sel menyimpang dari pembelahan sel secara normal. Pada pembelahan sel secara normal, seharusnya benang-benang gelendong (spindle fiber) dalam plasma sel membentuk penebalan-penebalan di bidang katulistiwa yang nantinya menjadi dinding penyekat. Sedangkan pada pembelahan sel yang dipengaruhi oleh colchicine, benang-benang gelendong (spindle fiber) tidak terbentuk, sehingga proses normal dari mitosis berubah menjadi serangkaian peristiwa yang disebut C-mitosis. Tidak adanya fungsi dari benang-benang gelendong, kromosom gagal atau tidak dapat bergerak menuju bidang katulistiwa tetapi tetap tinggal berhamburan dalam sitoplasma (disebut C-metafase). Kemudian kromosom terpisah pada sentromer dan C-anafase dimulai. Setelah itu kromosom menyebar dan berlipat dua melalui transformasi telofase, akhirnya dinding sel mengelilingi nukleus yang telah mempunyai jumlah kromosom dua kali lipat dan ukuran sel menjadi lebih besar sehingga terjadilah tetraploid (Srb & Owen 1952 diacu dalam Herawati 1980). Dapat juga dikatakan bahwa colchicine telah menghambat pembentukan benang-benang spindel pada tahap profase, menghambat pembelahan inti, pemisahan kromosom, pembentukan anak sel dan secara efektif menghentikan proses pembelahan, karena itu keberadaan colchicine menyebabkan kromosom tidak dapat terbagi menjadi dua anak sel yang baru sehingga mengakibatkan jumlah kromosom dalam sel tersebut menjadi dua kali lipat. Dengan konsentrasi yang cukup, benang-benang spindel yang telah terbentuk pada tahap anafase dapat dihancurkan (Eigsti & Dustin 1957).

Tanaman yang telah mengalami pengaruh colchicine mula-mula menunjukkan pertumbuhan memanjang yang sangat lambat. Akan tetapi pertumbuhan melebar lebih besar, kemudian pertumbuhan normal pulih kembali dan selanjutnya dapat terjadi tiga kemungkinan (Soepomo 1968 diacu dalam Herawati 1980), yaitu:

(14)

2. Tanaman atau bagian tanaman itu keseluruhannya mengalami perubahan, sehingga semua sel mempunyai jumlah kromosom dua kali lipat dan sel-sel tersebut akan mempunyai ukuran yang besar. Terutama pada ukuran stomata dan tepung sari akibat pengaruh colchicine yang mudah terlihat walaupun tanaman poliploid itu wujudnya lebih besar namun pertumbuhannya lambat. 3. Tanaman atau bagian tanaman itu mempunyai dua macam genotipe dan

disebut chimaer. Disamping jaringan asli yang poliploid ada jaringan yang tetraploid akibat pengaruh colchicine. Menurut bentuknya dibedakan atas: a. Chimaer sectoral, yaitu bila hanya satu sektor saja yang mengalami

perubahan,

b. Chimaer periclinal, yaitu bila jaringan hasil perubahan mengelilingi jaringan asli, ataupun sebaliknya,

c. Mixochimaer, bila kedua jaringan tersebut tidak teratur letaknya.

2.5 BAP (6-Bensilaminopurin)

(15)

terhadap pembelahan sel, perbesaran sel, perkembangan kloroplas, diferensiasi sel, dan morfogenesis. Menurut Salisbury dan Ross (1992), diacu dalam Purwaningsih (2003), induksi pertumbuhan tunas aksilar didasarkan atas nisbah sitokinin dan auksin. Apabila nisbah sitokinin tinggi, akan mendorong perkembangan tunas aksilar, sedangkan apabila nisbah sitokinini rendah akan mendorong ke arah dominansi apikal.

Wattimena (1992), diacu dalam Purwaningsih (2003) menyatakan bahwa jenis sitokinin yang secara in vitro berpotensi tinggi untuk menginduksi multiplikasi tunas aksilar antara lain adalah 6-Bensilaminopurin (BAP) atau Bensiladenin (BA). BAP merupakan jenis sitokinin dari senyawa golongan purin substitusi. Jenis sitokinin ini paling sering digunakan. Hal ini dikarenakan BAP dinilai lebih stabil, tidak mahal dan lebih efektif dibandingkan kinetin (Lisdiantini 2009). Raha dan Roy (2001) diacu dalam Purwaningsih (2003) melaporkan bahwa konsentrasi BAP 3mg/l sangat efektif untuk multiplikasi tunas aksilar Holarrhena antidysenterica Wall. Namun konsentrasi BAP 6mg/l juga dapat menginduksi tunas aksilar pada Dendrocalamus giganiues Wall (Ramanayake et al. 2001 diacu dalam Purwaningsih 2003). Rout dan Das (2002) diacu dalam Purwaningsih (2003) juga melaporkan bahwa konsentrasi BAP antara 0,5 – 1,0 mg/l dapat menginduksi multiplikasi tunas aksilar pada Plumbago zeylanica. Menurut Gunawan (1995), penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan masa yang panjang sering kali menyebabkan regenerasi sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk abnormal. Secara umum, konsentrasi sitokinin yang digunakan berkisar dari 0,1 – 1,0 mg/l.

(16)
(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari bulan Oktober sampai bulan Desember 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan media yaitu gelas piala, gelas ukur biasa, pipet volumetrik, neraca analitik, pH meter, panci, pengaduk, autoklaf, karet gelang, timbangan analitik, labu Erlenmeyer, labu takar, botol kultur, dan plastik, sedangkan untuk kegiatan sterilisasi dan penanaman alat-alat yang digunakan yaitu sendok spatula, petridish, scalpel, tissue, cawan petri, pisau, pinset, lampu Bunsen, laminar air flow cabinet, timer, aluminium foil, plastik wrap, dan handsprayer serta alat tulis dan kamera digital untuk kegiatan pengamatan.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan media yaitu larutan stok, media MS (Murashige dan Skoog), agar-agar, gula pasir, air steril, BAP (6-benzyl amino purine), sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan sterilisasi dan penanaman yaitu alkohol 70%, deterjen, air steril, HgCl2, clorox, antiseptik (betadine), eksplan jelutung (Dyera costulata) berupa biji, dan larutan colchicine. Biji jelutung berasal dari PT Xylo Indah Pratama yang didatangkan dari pulau Sumatera yang sudah disimpan selama 6 bulan.

3.3 Metode Pengumpulan Data

(18)

3.4. Batasan Penelitian

Pengambilan data primer hanya dilakukan pada tinggi eksplan, jumlah dan panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan.

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Sterilisasi alat dan media kultur

Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan kultur jaringan seperti botol kultur, pinset, scalpel, cawan petri, pengaduk, pipet, gelas piala, labu takar dicuci bersih menggunakan detergen. Kemudian alat-alat yang digunakan dalam penanaman disterilisasi dengan membungkus alat-alat tersebut menggunakan kertas koran dan selanjutnya semua alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121ºC - 126ºC dengan tekanan 1,5 atm selama 60 menit. Sedangkan untuk media yang telah dimasukkan ke dalam botol kultur lalu dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121ºC - 125ºC dengan tekanan 1,5 atm selama 20 menit. Untuk sterilisasi air yang digunakan dalam proses sterilisasi eksplan dan penanaman disterilisasi seperti cara mensterilisasi media.

3.5.2 Sterilisasi lingkungan kerja

(19)

3.5.3 Sterilisasi bahan eksplan

Biji jelutung yang dikultur diberi perlakuan sterilisasi yang meliputi sterilisasi eksplan di luar laminar air flow cabinet dan sterilisasi di dalam laminar air flow cabinet. Adapun tahapan sterilisasi eksplan di luar laminar air flow cabinet meliputi:

1. Pembersihan permukaan biji jelutung dengan cara dikerok menggunakan pisau 2. Pembersihan biji jelutung dengan alkohol 70% dengan cara digosok

menggunakan kapas yang telah dibasahi alkohol 3. Pencucian dengan detergen (10 menit)

4. Pembilasan dengan menggunakan air bersih

Sedangkan untuk tahapan sterilisasi eksplan di dalam laminar air flow cabinet meliputi:

1. Pencucian dengan menggunakan HgCl2 10% selama 7 menit 2. Pencucian dengan menggunakan clorox 20% selama 7 menit 3. Pencucian dengan menggunakan clorox 10% selama 7 menit

4. Pembilasan dengan menggunakan air steril sebanyak 2 kali selama 10 menit

3.5.4 Pembuatan media

3.5.4.1 Pembuatan larutan stok

(20)

3.5.4.2 Pembuatan media Murashige Skoog (MS) dengan larutan BAP

Pembuatan media dimulai dengan pembuatan larutan stok MS dan hormon BAP yang telah dipersiapkan sebelumnya. Untuk pelaksanaan pembuatan media yaitu sebagai berikut:

1. Menyiapkan 500 ml air aquadest dalam panci 2. Memasukkan gula pasir sebanyak 30 gram

3. Memipet dan memasukkan larutan A, B, C, D, E, F, dan myo inositol masing-masing 5 ml, vitamin sebanyak 4 ml, dan hormon (BAP) sebanyak 0,5 ml. 4. Menambahkan air aquadest hingga volume menjadi tepat 1000 ml.

5. Mengukur pH larutan yaitu 4, jika terlalu asam tambahkan NaOH dan jika terlalu basah tambahkan HCl.

6. Memasukkan 6 gram agar-agar ke dalam larutan tersebut. 7. Memasak larutan media dalam panci hingga mendidih.

8. Menuangkan media ke dalam botol kultur yang telah diisi kapas. 9. Menutup botol dengan plastik dan karet.

10.Mensterilkan media di dalam autoklaf pada suhu 121ºC-126ºC dan pada tekanan 1,5 atm selama 20 menit.

11.Memasukkan media-media yang sudah steril ke dalam plastik dan simpan di lemari penyimpan media.

3.5.4.3 Pembuatan media perlakuan

Pembuatan media perlakuan diawali dengan proses yang sama ketika membuat media kontrol (MS0+BAP0,5). Akan tetapi untuk media perlakuan pada larutan MS0+BAP0,5 ditambahkan colchicine sesuai dengan perlakuan yakni sebesar 0 ml/l (kontrol), 0,5 ml/l, 1,0 ml/l, 1,5 ml/l, dan 2,0 ml/l. Penambahan colchicine ini dilakukan setelah larutan MS0+BAP0,5 diencerkan dengan air aquadest hingga 1 liter dan dibagi ke dalam 5 bagian masing-masing sebanyak 200 ml.

(21)

dengan menambahkan HCl hingga pH tepat menunjukkan 4. Selanjutnya larutan media ditambahkan dengan agar-agar sebanyak 1,5 gr/ 200 ml (untuk tiap perlakuan) dan dimasak hingga mendidih. Setelah itu larutan dituang ke dalam botol-botol kultur yang sudah berisi kapas sebanyak ±10 ml. Lalu botol ditutup dengan rapat menggunakan plastik dan karet serta diberi label. Langkah selanjutnya yaitu melakukan sterilisasi media tersebut dalam autoclave pada suhu 121ºC-126 ºC pada tekanan 1,5 atm selama 20 menit.

3.5.5 Penanaman

Penanaman eksplan biji jelutung dilakukan di dalam laminar air flow cabinet. Setelah dilakukan sterilisasi eksplan kemudian eksplan dimasukkan ke dalam petridish dan lapisan tipis yang menutupi biji jelutung dilepaskan menggunakan pisau yang sudah disterilkan. Lalu biji jelutung ditanam ke dalam media kultur. Setelah selesai penanaman botol kultur ditutup kembali dengan plastik dan karet ditambah dengan alumunium foil dan dibungkus lalu disimpan di dalam ruang kultur yang suhu dan cahayanya telah diatur. Cahaya yang digunakan pada pagi hingga sore hari yaitu dari pantulan cahaya matahari, sedangkan pada sore hingga malam hari menggunakan cahaya lampu.

3.5.6 Pengamatan rancangan percobaan

Pengamatan dilakukan kurang lebih 11 minggu setelah tanam dan pengambilan data dilakukan setiap satu minggu sekali. Selama 11 minggu ini pengamatan dibagi ke dalam dua kategori. Pengamatan kategori pertama dilakukan pada awal penanaman hingga eksplan sudah tumbuh dan masih berada di media yang mengandung colchicine (untuk yang perlakuan). Pengamatan ini dilakukan selama 5 minggu. Lalu pengamatan kategori kedua dilakukan ketika eksplan (untuk yang perlakuan) yang semula tumbuh di media dengan campuran colchicine dipindahkan ke media pemulih (tanpa colchicine). Pengamatan ini dilakukan selama 6 minggu.

(22)

Penghitungan dilakukan dengan cara megnhitung jumlah eksplan yang masih bertahan hidup yang ditandai dengan eksplan yang masih berwarna seperti awal penanaman.

2. Jumlah eksplan yang mati

Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung jumlah eksplan yang mati yang ditandai dengan eksplan yang mulai menghitam.

3. Tinggi eksplan

Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur dari pangkal eksplan sampai titik tumbuh tertinggi.

4. Jumlah akar yang tumbuh

Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung jumlah akar yang tumbuh pada eksplan.

5. Panjang akar yang tumbuh

Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur dari pangkal akar eksplan sampai ujung akar.

6. Jumlah daun yang tumbuh

Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung jumlah daun yang tumbuh. 7. Jumlah ruas baru eksplan

Penghitungan dilakukan dengan cara mengamati jumlah ruas baru pada eksplan yang sudah tumbuh.

3.6 Metode Analisis Data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu konsentrasi colchicine. Konsentrasi yang digunakan adalah 0 mg/l (kontrol), 0,5 mg/l, 1 mg/l, 1,5 mg/l, dan 2 mg/l. Penelitian dilakukan dengan 5 perlakuan dengan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 25 kali.

Model umum rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij = µ + τi + εij : i = 1, 2, 3, 4, 5

j = 1, 2, 3, …. , 25

(23)

µ = nilai tengah umum (rata-rata populasi)

Τi = pengaruh konsentrasi colchicine ke-i.

ij = pengaruh galat percobaan pada eksplan jelutung ke-j yang memperoleh perlakuan konsentrasi colchicine ke-i.

Hipotesis dalam uji F:

Ho = Perlakuan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, jumlah akar, panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan.

Hi = Perlakuan berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, jumlah daun, dan ruas baru eksplan.

Pengambilan keputusan uji F: F hitung > F tabel maka tolak Ho. F hitung = F tabel.

F hitung < F tabel maka terima Ho.

(24)

BAB IV dari 125 eksplan yang ditanam, sedangkan 98 eksplan mengalami kematian permanen yang ditandai dengan menghitamnya benih secara perlahan-lahan. Banyaknya jumlah eksplan yang mati ini kemungkinan besar dikarenakan oleh benih yang digunakan bisa dikatakan kurang baik mengingat kondisinya yang sudah 3 bulan dalam masa penyimpanan sehingga kondisinya kurang baik untuk dijadikan eksplan. Hal ini menjadi salah satu kendala yang ada ketika hendak melakukan budidaya jelutung, karena pada umumnya daya tumbuh benih akan berkurang dengan bertambahnya waktu (Tjitrosoepomo 2007).

(25)

jelutung yang digunakan sebagai eksplan mempunyai sifat genetik yang bervariasi dan tidak dapat dipastikan berasal dari induk pohon yang sama atau tidak.

Sifat benih yang mudah rusak dan cepat berkecambah (rekalsitran) ini sering kali menjadi kendala dalam pembibitan jelutung secara massal sehingga tidak dapat disimpan terlalu lama (Bathimi 2009). Baki dan Anderson (1970), diacu dalam Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa waktu penyimpanan dan kondisi yang tidak cocok mungkin akan menyebabkan hilangnya sifat selektif dan metabolit membran biji selama perkecambahan. Oleh karena itu, benih rekalsitran harus dipertahankan pada suhu yang tidak terlalu rendah, karena dapat menyebabkan chilling injury (kerusakan karena suhu rendah). Selain itu, tempat penyimpanan benih juga mempengaruhi kualitas benih yang akan ditanam. Menurut Barton (1966) diacu dalam Justice dan Bass (2002), benih yang cukup kering pada wadah tertutup biasanya dapat hidup lebih lama dibanding dengan benih serupa yang disimpan pada wadah terbuka pada suhu yang sama. Hal ini dikarenakan kadar air benih berubah-ubah sesuai dengan berubahnya kelembaban nisbi udara di penyimpanan. Benih hanya akan berkecambah jika mendapat syarat-syarat yang diperlukan, yaitu air, udara, cahaya, dan panas (selain kondisi genetik dan penyimpanan dari benih itu sendiri). Jika syarat itu tidak terpenuhi, maka benih tinggal benih, tumbuhan baru yang ada di dalamnya (lembaga) berada dalam keadaan tidur (latent) (Tjitrosoepomo 2007).

Kemampuan atau daya tahan suatu eksplan tumbuhan ditunjukkan oleh adanya persentase hidup eksplan tersebut. Apabila persentase hidup eksplan tumbuhan tinggi, maka eksplan tersebut mempunyai peluang hidup yang baik. Persentase hidup eksplan jelutung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Persentase hidup eksplan jelutung

No. Perlakuan

Jumlah ulangan Hidup dengan

P=0 Hidup dengan P>0 Mati Persentase Hidup (%)

1 A 0 6 19 24

(26)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah ulangan yang hidup pada setiap perlakuan menunjukkan pertumbuhan tinggi, akar, panjang akar, dan daun

yang lebih besar dari nol ( P>0). Persentase hidup eksplan jelutung yang diamati memiliki persen hidup yang tidak terlalu tinggi, yaitu 20,8%. Persentase hidup dari setiap perlakuan berbeda-beda karena proses kehidupan individu benihnya tidak berlangsung dalam laju yang sama antara satu dengan yang lainnya walaupun dalam satu kelompok individu sekalipun (Justice & Bass 2002).

(a)

(b)

Gambar 2 Kondisi eksplan; (a) eksplan tumbuh, (b) eksplan mati. 4.2 Tinggi Eksplan

Tinggi tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang paling mudah untuk diukur (Lakitan 1996). Pada penelitian ini, pengukuran data tinggi pada eksplan tumbuhan jelutung dilakukan seminggu sekali selama 11 minggu. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan colchicine dengan konsentrasi yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan tinggi, maka dilakukan analisis sidik ragam. Pengambilan data tinggi eksplan diambil dari pertumbuhan tinggi tunas dari pangkal hingga titik tumbuh tertinggi. Hasil analisis sidik ragam pertumbuhan tinggi eksplan dapat dilihat pada Tabel 2.

(27)

Hasil analisis sidik ragam untuk tinggi eksplan menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih besar dari nilai F (0,05), sehingga keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol, yang berarti pemberian konsentrasi colchicine terhadap pertumbuhan tinggi eksplan jelutung berpengaruh nyata. Menurut Gasperz (1991) apabila hasil sidik ragam memberikan hasil berpengaruh nyata, selanjutnya dilakukan uji Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Tabel 3 di bawah ini menunjukkan uji lanjut (uji Duncan) terhadap pertumbuhan tinggi eksplan jelutung.

Tabel 3 Uji lanjut hasil analisis sidik ragam tinggi jelutung

Perlakuan Jumlah Ulangan (N) Rata-rata Pertumbuhan Tinggi (cm)

A 25 1,43a

B 25 4,02b

C 25 1,80a

D 25 3,35ab

E 25 4,18b

Keterangan: Huruf yang sama di belakang rataan menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perlakuan B dan E memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol, sedangkan perlakuan C dan D tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Histogram rata-rata tinggi eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

(28)

dibandingkan tanpa perlakuan colchicine/kontrol. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada pemberian konsentrasi colchicine 2 mg/l (perlakuan E) memberikan hasil yang lebih tinggi dengan nilai rata-rata tinggi eksplan sebesar 4,18 cm, sedangkan hasil terendah diperlihatkan oleh eksplan yang tidak diberikan perlakuan/kontrol (A), yaitu sebesar 1,43 cm. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Griffiths, et al. (1999) diacu dalam Anggraito (2004) bahwa tanaman yang memiliki set kromosom lebih banyak dari biasanya menyebabkan meningkatnya ukuran sel, buah, bunga, stomata, dan sebagainya, sehingga secara otomatis berpengaruh terhadap fase pertumbuhan vegetatif eksplan, yaitu fase ketika eksplan membentuk organ-organ vegetatif (akar, batang, dan daun) (Lakitan 1996). Rata-rata tinggi tunas antar perlakuan atau terhadap kontrol cukup bervariasi, hal ini dikarenakan oleh kepekaan eksplan terhadap perlakuan colchicine berbeda-beda.

(29)

Gambar 4 Grafik pertumbuhan tinggi eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

(30)

4.3 Jumlah Akar Eksplan

Organ yang pertama terbentuk pada kebanyakan tumbuhan adalah akar (Lakitan 1996). Pada penelitian ini, penghitungan jumlah akar yang tumbuh pada eksplan jelutung dilakukan setiap seminggu sekali selama 11 minggu. Penghitungan jumlah akar yang dihitung adalah jumlah akar yang tumbuh selama waktu pengamatan. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan colchicine dengan konsentrasi yang berbeda-beda terhadap jumlah akar, maka dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam jumlah akar dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis sidik ragam jumlah akar eksplan

Sumber

Hasil analisis sidik ragam untuk jumlah akar eksplan menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih besar dari nilai F (0,05) sehingga keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol, yang berarti pemberian konsentrasi colchicine terhadap jumlah akar jelutung berpengaruh nyata. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji lanjut atau uji Duncan. Tabel 5 di bawah ini menunjukkan uji lanjut (uji Duncan) terhadap pertumbuhan jumlah akar eksplan jelutung.

Tabel 5 Uji lanjut hasil analisis sidik ragam jumlah akar eksplan

Perlakuan Jumlah Ulangan (N) Rata-rata Jumlah Akar

A 6 0,667a

B 5 4,400ab

C 3 2,000a

D 8 2,750ab

E 5 6,200b

Keterangan: Huruf yang sama di belakang rataan menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata

(31)

akan berbeda pula (Poespodarsono 1988). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Histogram rata-rata jumlah akar eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa perlakuan yang diberikan konsentrasi colchicine memiliki rata-rata jumlah akar yang lebih banyak dibandingkan perlakuan tanpa pemberian colchicine/kontrol. Jumlah akar rata-rata terbesar terdapat pada perlakuan E (colchicine 0,5 mg/l) sebesar 6,2 dan terkecil terdapat pada perlakuan A (kontrol) yaitu sebesar 0,67. Adanya perbedaan jumlah akar eksplan antar perlakuan disebabkan oleh kepekaan eksplan yang berbeda terhadap perlakuan colchicine.

Untuk mendapatkan hasil tanaman yang baik maka pertumbuhan akar pun harus baik. Hal ini sesuai dengan konsep keseimbangan morfologi atau keseimbangan morfogenetik yang dikemukakan oleh Hellriegel pada tahun 1883 yang menekankan bahwa potensi pertumbuhan akar perlu dicapai sepenuhnya untuk mendapatkan potensi pertumbuhan bagian atas tanaman (Sitompul & Guritno 1995). Jika diartikan dalam pengertian sederhananya, konsep ini berarti bahwa semakin baik akar maka akan semakin tinggi hasil tanamannya. Dapat juga dikatakan bahwa pertumbuhan suatu bagian tanaman akan diikuti dengan pertumbuhan bagian lainnya (Sitompul & Guritno 1995).

(32)

pada minggu ke-4 mulai terlihat pertumbuhan akar eksplan. Pada perlakuan E (colchicine konsentrasi 2 mg/l) pertumbuhan akarnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan kontrol.

Gambar 6 Grafik pertumbuhan jumlah akar eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Dapat dilihat bahwa pemberian perlakuan colchicine memberikan pengaruh yang besar dan beragam terhadap pertumbuhan jumlah akar eksplan jelutung. Hal ini dikarenakan konsentrasi colchicine yang digunakan bersifat sangat kritis, sehingga konsentrasi yang beragam ini menyebabkan pengaruh yang beragam juga (Eigsti & Dustin 1957).

4.4 Panjang Rata-rata Akar Eksplan

(33)

Tabel 6 Hasil analisis sidik ragam panjang rata-rata akar eksplan

Hasil analisis sidik ragam untuk panjang akar jelutung menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih kecil dari nilai F (0,05), sehingga keputusan yang diambil adalah menerima hipotesis nol. Ini berarti bahwa pemberian konsentrasi colchicine terhadap panjang akar jelutung tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, tidak perlu dilakukan uji lanjut atau uji Duncan. Menurut Gasperz (1991), konsekuensi dari keputusan tersebut adalah pengujian lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Untuk mengetahui hasil rata-rata pertumbuhan panjang akar jelutung dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Histogram rata-rata panjang akar eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa perlakuan dengan pemberian colchicine memiliki hasil rata-rata panjang akar jelutung yang beragam. Hasil rata-rata panjang akar jelutung terpanjang adalah pada perlakuan E (colchicine 2 mg/l) yaitu 5,48 cm sedangkan hasil rata-rata panjang akar terkecil adalah pada kontrol yaitu 0,68 cm.

(34)

jelutung. Pertumbuhan hasil terbaik pada panjang akar eksplan terdapat pada perlakuan E dengan laju pertumbuhan panjang akar yang meningkat drastis pada minggu pengamatan ke-9 (Gambar 8). Hal ini diperkirakan dikarenakan adanya perbedaan pengaruh akibat perlakuan konsentrasi colchicine.

Gambar 8 Grafik pertumbuhan panjang akar eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

4.5 Jumlah Daun Eksplan

Pertumbuhan vegetatif dicirikan dengan berbagai aktivitas pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berhubungan dengan pembentukan dan pembesaran daun, pembentukan meristem apikal atau lateral dan pertumbuhannya menjadi cabang-cabang, dan ekspansi sistem perakaran tanaman (Lakitan 1996). Daun merupakan suatu bagian tumbuhan yang penting dan pada umumnya tiap tumbuhan mempunyai sejumlah besar daun (Tjitrosoepomo 2007). Daun termasuk salah satu alat hara (organum nutrivum) pada tubuh tumbuhan selain batang dan akar. Pengolahan zat anorganik menjadi zat organik dilakukan di daun dengan bantuan sinar matahari tidak terkecuali juga pada jelutung dalam penelitian ini yang menggunakan sinar lampu sebagai pengganti sinar matahari.

(35)

dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam pertumbuhan jumlah daun dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil analisis sidik ragam jumlah daun eksplan Sumber

Hasil analisis sidik ragam untuk pertumbuhan jumlah daun menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih kecil dari nilai F (0,05), sehingga keputusan yang diambil adalah menerima hipotesis nol. Ini berarti bahwa pemberian konsentrasi colchicine terhadap pertumbuhan jumlah daun eksplan jelutung tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, tidak perlu dilakukan uji lanjut atau uji Duncan sesuai dengan pernyataan Gasperz (1991). Untuk mengetahui hasil rata-rata pertumbuhan jumlah daun eksplan jelutung dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Histogram rata-rata pertumbuhan jumlah daun eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

(36)

Daun yang tumbuh paling cepat terdapat pada eksplan perlakuan D (colchicine konsentrasi 1,5 mg/l). Pada perlakuan ini, selama masa pengamatan (11 minggu), daun eksplan sudah muncul 4 helai, sedangkan pada kontrol belum muncul sama sekali.

Gambar 10 Grafik pertumbuhan jumlah daun eksplan. (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

(37)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumaryadi (2011), pemberian konsentrasi colchicine memberikan perbedaan yang nyata terhadap ukuran daun tanaman jelutung. Hal ini memiliki nilai positif bagi pertumbuhan tanaman dikarenakan daun yang lebih besar mengakibatkan reaksi fotosintesis berlangsung lebih maksimum. Pada daun yang lebih besar penyerapan sinar matahari berlangsung lebih maksimal dibandingkan daun yang ukurannya lebih kecil pada lingkungan intensitas cahaya matahari maksimal (Wiendra et al. 2011).

Pemberian colchicine secara statistik tidak berbeda nyata, namun perlakuan dengan pemberian colchicine memiliki hasil rata-rata lebih besar dibandingkan perlakuan tanpa colchicine di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arisumi (1973), yang menyatakan bahwa tanaman tetraploid mempunyai batang, bunga, dan daun yang lebih besar dan tebal dibandingkan dengan tanaman diploid.

4.6 Ruas Baru Eksplan

Perhitungan ruas baru pada eksplan jelutung dilakukan setiap seminggu sekali sama halnya dengan pengamatan pada akar, tinggi, dan daun eksplan jelutung selama 11 minggu. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan colchicine dengan konsentrasi yang berbeda-beda terhadap ruas baru maka dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam pertumbuhantubas dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Hasil analisis sidik ragam ruas baru eksplan Sumber

(38)

Gambar 11 Histogram rata-rata ruas baru eksplan (A: kontrol, B: colchicine konsentrasi 0,5mg/l, C: colchicine konsentrasi 1mg/l, D: colchicine konsentrasi 1,5mg/l, E: colchicine konsentrasi 2mg/l).

Berdasarkan Gambar 11 dapat dilihat bahwa perlakuan dengan pemberian konsetrasi colchicine menunjukkan hasil yang beragam. Hasil rata-rata ruas baru eksplan terbesar adalah pada perlakuan D (konsentrasi colchicine 1,5 mg/l) sedangkan ruas baru eksplan terkecil terdapat pada perlakuan A (kontrol), B (konsentrasi colchicine 0,5mg/l) dan C (konsentrasi colchicine 1mg/l). Ruas baru eksplan serentak mulai tumbuh pada minggu ke-9 pengamatan (Gambar 12).

(39)

4.7 Pengaruh Konsentrasi Colchicine pada Pertumbuhan Eksplan

Pengamatan tinggi, jumlah akar, panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan biji jelutung dilakukan sebanyak 11 kali selama 11 minggu dengan intensitas pengamatan yang dilakukan seminggu sekali. Dari hasil pengamatan menunjukkan persentase hidup eksplan yang rendah, baik pada eksplan kontrol maupun yang diberikan perlakuan. Hal ini diduga disebabkan oleh pH media yang rendah, yaitu 4. tujuan awal dari penggunaan pH 4 ini adalah untuk menyesuaikan kondisi media dengan habitat alaminya. Akan tetapi setelah dicermati, penggunaan pH 4 ini menyebabkan ketersediaan N, P, K, dan S menjadi rendah serta bisa meningkatkan kegiatan Al sehingga berdaya meracun tanaman (Notohardiprawiro et al. 2006). Hal ini dikarenakan Fe dan Mn terlarutkan meningkat secara berlebihan, terbentuk asam butirat dari dekomposisi bahan organik yang tidak sempurna, dan terbentuk H2S yang bisa menghambat pernafasan akar dan mengganggu penyebaran hara (Notohardiprawiro et al. 2006). Selain itu, rendahnya persentase hidup eksplan juga diduga dikarenakan colchicine memberikan dampak negatif pada eksplan yang secara efektif menghentikan proses pembelahan sel sehingga eksplan mengalami kematian.

(40)

perubahan sifat yang dikarenakan adanya mutasi kromosom sehingga mengakibatkan perubahan sifat pada tanaman (Poespodarsono 1988). Dapat dikatakan juga bahwa sifat-sifat fisiologi tanaman poliploid akan mengalami perubahan seiring dengan meningkatnya ukuran sel tanaman. Perubahan itu akan tampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara keseluruhan (Kuckuck et al. 1991 diacu dalam Wiendra et al. 2011).

Secara keseluruhan perlakuan konsentrasi colchicine memberikan pengaruh yang bervariasi terhadap pertumbuhan eksplan jelutung. Menurut Avery et al. (1947) diacu dalam Wiendra et al. (2011), adanya pengaruh yang bervariasi ini dikarenakan colchicine yang diberikan pada setiap individu tanaman tidak mempengaruhi semua sel tanaman, tetapi hanya sebagian sel-sel saja. Pengaruh yang berbeda pada sel-sel tanaman disebabkan colchicine hanya efektif pada sel yang sedang aktif membelah. Selain itu, metode pemberian colchicine pada tanaman juga berpengaruh pada besar kecilnya mutasi yang terjadi.

(41)

Produksi panen yang dihasilkan dari tanaman tetraploid juga lebih unggul dibandingkan dengan jenis tetua diploidnya dan tanaman kontrol (pembanding). Menurut Zainudin (2010) dalam penelitiannya terhadap jarak pagar, secara ekonomis hasil tanaman tetraploid mempunyai potensi produksi minyak 62,5% lebih tinggi dibanding tetua diploidnya dan 39,2% lebih tinggi dibanding kontrol. Hal ini dikarenakan banyaknya kromosom sudah menjadi dua kali lipatnya, maka sel mempunyai kromosom dua kali lebih banyak dari sebelumnya (Sastrosumarjo dkk 2006).

Pada parameter jumlah daun dan ruas baru eksplan jelutung antara kontrol dengan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh konsentrasi colchicine yang diberikan maupun cara perlakuan kurang optimal sehingga tidak berpengaruh pada pertumbuhan daun dan ruas baru eksplan. Hal ini juga dapat dikarenakan oleh respon setiap tanaman terhadap pemberian colchicine yang berbeda-beda. Selain itu, bisa juga dikarenakan perlakuan colchicine yang diberikan belum secara efektif mengganggu pembentukan benang pembelahan karena konsentrasi colchicine yang terlarut di dalam sel masih terlalu sedikit, sehingga proses polimerisasi protofilamen pada miktotubula masih tetap berlangsung (Anggraito 2004). Menurut Mansyurdin et al. (2002) diacu dalam Ritonga dan Wulansari (2010). Menyatakan bahwa pemberian colchicine pada konsentrasi rendah belum bisa menghambat pembentukan benang-benang gelendong, sehingga proses pemisahan kromosom pada stadium anafase tetap berlangsung dan pada akhirnya sel tersebut akan tetap diploid. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suryo (2007) diacu dalam Sejati (2008) yang menyatakan bahwa bila konsentrasi larutan masih terlalu rendah atau lamanya waktu perlakuan belum cukup, maka sifat tetraploid tanaman belum akan tercapai. Akan tetapi tidak dapat dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi colchicine maka makin tinggi persentase sel yang tetraploid, karena tingginya konsentrasi colchicine akan mempertinggi persentase kematian kecambah pada tanaman (Mansyurdin et al. 2002, diacu dalam Ritonga & Wulansari).

(42)
(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, pemberian konsentrasi colchicine memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan eksplan jelutung (Dyera costulata) pada pertumbuhan tinggi dan jumlah akar eksplan jelutung. Sedangkan pada pertumbuhan panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan, pemberian konsentrasi colchicine secara statistik tidak memberikan pengaruh yang nyata. Akan tetapi tidak dapat diabaikan adanya kecenderungan pengaruh konsentrasi colchicine di dalamnya. Hal ini terlihat pada pertumbuhan eksplan jelutung yang diberikan perlakuan memberikan hasil rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan eksplan jelutung tanpa perlakuan (kontrol).

Perlakuan yang memberikan hasil rata-rata tertinggi pada pertumbuhan eksplan jelutung adalah perlakuan E (2,0 mg/liter).

5.2 Saran

1. Perlu adanya penelitian lanjutan dengan konsentrasi colchicine di atas 2,0 mg/liter.

(44)

PERLAKUAN KONSENTRASI

COLCHICINE

PADA KULTUR

IN VITRO

BIJI JELUTUNG (

Dyera costulata

(Hook. f.))

RAFINA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Acquaah G. 2004. Understanding Biotechnology. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Anggraito YU. 2004. Identifikasi Berat, Diameter, dan Tebal Daging Buah Melon (Cucumis melo, L.) Kultivar Action 434 Tetraploid Akibat Perlakuan Kolkisin. Penelitian Hayati 10:37-42.

Arisumi T. 1973. Morphology And Breeding Behavior of Cochicines Induced Polyploidy Impatiens spp. L. Amer. Soc. Hort. Sci. 98(6):599-601.

Bathimi Y. 2009. Jelutung (Dyera, spp) dan Strategi Pengembangannya di Lahan Rawa Kalimantan Selatan Sebagai Penunjang Peningkatan Ekonomi Masyarakat Lokal [Laporan]. Kalimantan Selatan: Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat.

Badan Litbang Kehutanan. 2010. Rencana Penelitian Integratif 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kehutanan. http://www.forda-mof.org/files/RPI_5_Pengelolaan_Hutan_Rawa_Gambut.pdf. [25 Nov 2011].

BPTH Sulawesi. 2004. Informasi Singkat Benh Dyera costulata. Sulawesi:

Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

http://bpthsulawesi.net/files/Dyera%20costulata.pdf. [25 Des 2011].

[DepHut] Departemen Kehutanan. 2008. Jelutung (Dyera spp). Jambi: Balai Pelayanan Informasi Kehutanan. http://125.162.119.102/?V=Pr&Id=85. [22 Des 2011].

[Dishut] Dinas Kehutanan. 2008. Jelutung (Dyera costulata). Jawa Barat: Dinas Kehutanan.

http://Dishut.Jabarprov.Go.Id/Index.PHp?Mod=Managemenu&Idmenukiri =557&Idmenu=566. [22 Des 2011].

Eigsti OJ, Dustin P. 1957. Colchicine In Agriculture, Medicine, Biology and Chemistry. United State Of America: The Iowa State College Press.

Ellyzarti. 1986. Pengaruh Sukrose dan Air Kelapa pada Kultur Jaringan Anggrek (Dendrobium pompadour dan Deperabium jacquelynconiert) [Laporan]. Bandar Lampung: Balai Penelitian Universitas Lampung.

Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (IU- Press).

(46)

Gunawan LW. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Hortikultura. Jakarta: Penebar Swadaya.

Handoyo D. 2011. Mengembalikan Kejayaan Jelutung di Hutan Gambut. Dinas

Kehutanan Tanjung Jabung Barat.

http://Www.Worldagroforestry.Org/Sea/Publications/Files/Magazine/MA0 064-11.PDF [22 Desember 2011].

Hendaryono DPS, Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan: Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern. Yogyakarta: Kanisius.

Herawati T. 1980. Pengaruh Colchicine terhadap Pertumbuhan Mata Tunas Tempelan dan Kualitas Bunga Mawar Varietas Lincoln [Laporan Penelitian]. Bandung: Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Terjemahan) Jilid III. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Hidayat O. 2009. Kajian Penggunaan Hormon IBA, BAP, dan Kinetin Terhadap Multiplikasi Tunas Tumbuhan Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Secara In Vitro [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Isnaeni N. 2008. Pengaruh Tdz terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Kultur In Vitro Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L. AAB Group) [Skripsi]. Bogor: Program Studi Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Jenimar. 1988. Pengaruh Konsentrasi dan Waktu Pemberian Colchicine terhadap Mata Okulasi Dini Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) [Tesis]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Program Pengumpulan Kredit (KPK) Universitas Sumatera Utara.

Justice OL, Bass LN. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Lakitan B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Lakitan B. 2007. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

(47)

Mayasari I. 2007. Perbanyakan Iles-Iles (Amorphophallus mulleri Blume) Secara Kultur In Vitro dengan Pemberian Zat Pengatur Tumbuh NAA (Napthalene Acetic Acid) dan BAP (6-Benzylaminopurin) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Nilahayati. 2006. Induksi Keragaman Somaklonal Krisan (Dendranthema grandiflora Txvelev) dengan Menggunakan Kolkisin [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor.

Notohadiprawiro T, Soekodrmodho S, Sukana E. 2006. Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Peningkatan Efisiensi Pemupukan [Laporan]. Yogyakarta: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada.

Nugroho A, Sugito H. 2002. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Poespodarsono S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor: Pusat Antar Universitas bekerjasama dengan Lembaga Sumber Informasi Institut Pertanian Bogor.

Purwaningsih T. 2003. Pengaruh BAP terhadap Penggandaan Tunas dan Kestabilan Genetik Tunas In Vitro Tanaman Kina [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rahayu S, Suyanto ZA, Noer AE. 2004. Peningkatan Kualitas Anggrek Dendrobhium Hibrida dengan Pemberian Kolkhisin. Ilmu Pertanian 11(1):13-21.

Rahmat M. 2008. Tinjauan Aspek Ekonomi Pengembangan Jelutung Rawa di Sumatera Selatan. Palembang: Balai Penelitian Kehutanan Palembang.

Ritonga AW, Wulansari A. 2010. Pengaruh Kolkisin terhadap Kromosom Ujung Akar Bawang Merah [Laporan]. Bogor: Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman.

Santoso U, Nursandi F. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Sastrosumarjo S, Yudiwanti, Aisyah SI, Sujiprihati S, Syukur M, Yunianti R. 2006. Sitogenetika Tanaman. Bogor: Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(48)

Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sumaryadi E. 2011. Pengaruh Konsentrasi Colchicine terhadap Pertumbuhan Bibit Tumbuhan Jelutung (Dyera costulata Hook. f.) [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Suryo H. 1995. Sitogenetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tjitrosoepomo G. 2007. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wattimena GA. 1992. Perluasan Pemanfaatan Bioteknologi dalam Agribisnis. Bogor: PAU Bioteknologi IPB.

Wiendra NMS, Pharmawati M, Astiti NPA. 2011. Pemberian Kolkhisin dengan Lama Perendaman Berbeda pada Induksi Poliploidi Tanaman Pacar Air (Impatiens balsamina L.). Jurnal Biologi. 15(1):9-14.

Yuwono T. 2008. Bioteknologi Pertanian. Cetakan kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.

(49)

PERLAKUAN KONSENTRASI

COLCHICINE

PADA KULTUR

IN VITRO

BIJI JELUTUNG (

Dyera costulata

(Hook. f.))

RAFINA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(50)

PERLAKUAN KONSENTRASI

COLCHICINE

PADA KULTUR

IN VITRO

BIJI JELUTUNG (

Dyera costulata

(Hook. f.))

RAFINA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(51)

RINGKASAN

RAFINA. Perlakuan Konsentrasi Colchicine pada Kultur In Vitro Biji Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)). Di bawah bimbingan EDHI SANDRA dan SISWOYO.

Di Indonesia terdapat dua jenis jelutung, yaitu Dyera costulata (Hook. f.) dan Dyera lowii (Hook. f). Getah dari jelutung ini biasa dimanfaatkan untuk industri-industri vital dunia seperti industri pesawat, otomotif, elektronik, pembungkus kabel, dan perabot rumah tangga, sedangkan untuk hasil kayunya pohon jelutung yang sudah tidak menghasilkan getah lagi ditebang untuk dijadikan bahan cetakan bangunan, meja gambar, kelom, ukiran, kayu lapis, dan pensil (Dephut 2008). Akan tetapi, pembibitan jelutung secara massal sering kali terkendala oleh sifat benih yang mudah rusak dan cepat berkecambah (rekalsitran) sehingga tidak dapat disimpan terlalu lama. Maka diperlukanlah teknologi penyimpanan benih dan perbanyakan vegetatif baik secara makro (stek) maupun mikro (kultur jaringan) guna penyediaan bibit jelutung dalam jumlah banyak (Bathimi 2009).

Melalui kultur in vitro maka dapat diperoleh bibit dalam jumlah yang besar dan sama, dapat diperbanyak secara kontinyu serta lebih efisien tempat dan waktu. Akan tetapi dalam kultur in vitro sendiri juga perlu adanya rekayasa agar mendapatkan hasil kultur yang jauh lebih baik dan dalam waktu yang cepat didapatkan hasil yang jauh lebih besar. Salah satu caranya adalah dengan menambahkan hormon yang berpengaruh pada percepatan pertumbuhan tanaman itu sendiri, yaitu hormon colchicine yang dapat menggandakan jumlah kromosom dari diploid menjadi tetraploid.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh pemberian colchicine dan konsentrasi colchicine yang baik dan tepat untuk pertumbuhan yang terbaik pada jelutung secara kultur in vitro. Konsentrasi colchicine yang digunakan adalah 0,5 mg/l, 1,0 mg/l, 1,5 mg/l, dan 2,0 mg/l. Pengambilan data kuantitatif berupa jumlah eksplan yang hidup, eksplan yang mati, tinggi eksplan, jumlah akar yang tumbuh, panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi colchicine yang diberikan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap tinggi eksplan dan jumlah akar yang tumbuh. Tinggi eksplan tertinggi ditunjukkan pada perlakuan E (2,0 mg/l) dengan tinggi 4,18 cm dan jumlah akar rata-rata terbanyak ditunjukkan pada perlakuan E (2,0 mg/l) sebanyak 6,20 akar. Sedangkan pemberian konsentrasi colchicine tidak berpengaruh nyata pada panjang akar, jumlah daun, dan ruas baru eksplan.

(52)

SUMMARY

RAFINA. Concentration of Colchicine Treatment on In Vitro Culture of Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)) Seed. Under Supervision of EDHI SANDRA and SISWOYO.

In Indonesia there are two types of Jelutung, those are Dyera costulata (Hook. f.) and Dyera lowii (Hook. f). The sap of this jelutung commonly used for vital industries such as the world's aircraft industry, automotive, electronics, cable wrapping, and home furnishings. As for the results timber jelutung trees that did not produce sap anymore, cut down to create printed materials of the building, drawing table, clogs, engraving, plywood, and pencils (Ministry of Forestry 2008). However, mass-breeding jelutung often constrained by the nature of perishable seed and germinate quickly (recalcitrant) so it can not be kept too long and needed storage technology both seed and vegetative propagation in macro (cuttings) and micro (tissue culture) is needed to provision of seeds in large quantities jelutung (Bathimi 2009).

Through the in vitro culture of seeds can be obtained in large numbers and the same, can be reproduced continuously and more efficient place and time. However, in vitro culture itself is also the need for engineering to get the culture results are much better in a fast and obtained results that were far greater. One way is to add a hormone that affects the accelerating growth of the plant itself, the hormone colchicine to double the chromosome number from diploid to tetraploid.

The study was conducted in October to December 2011 at the Tissue Culture Laboratory of Environmental Research Center, Bogor Agricultural University (PPLH IPB). The purpose of this study was to identify the effect of giving the concentration of colchicine and colchicine is good and right for the best growth in jelutung in vitro culture. Colchicine concentration used was 0.5 mg / l, 1.0 mg / l, 1.5 mg / l, and 2.0 mg / l. Quantitative data retrieval in the form of the living explants, explants die, high explants, a growing number of roots, root length, leaf number, and a new segment explants.

The results of this study indicate that a given concentration of colchicine significantly different influence on the high number of root explants and growing. High highest explant shown in treatment E (2.0 mg / l) with a height of 4.18 cm and the average number of roots of most treatments is shown in E (2.0 mg / l) of 6.20 roots. While the administration did not significantly affect the concentration of colchicine on root length, leaf number, and a new segment explants.

The conclusion of this study is the gift of colchicine concentration that gives the highest average was in treatment E (2.0 mg / l).

(53)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Perlakuan Konsentrasi Colchicine pada Kultur In Vitro Biji Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

(54)

Judul Skripsi : Perlakuan Konsentrasi Colchicine pada Kultur In Vitro Jelutung (Dyera costulata (Hook. f.)).

Nama : Rafina NIM : E34070093

Menyetujui,

Pembimbing I,

Ir. Edhi Sandra, M. Si NIP. 19661019 199303 1 002

Pembimbing II,

Ir. Siswoyo, M. Si NIP. 19650208 199203 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003

Gambar

Gambar 1   Dyera costulata (Hook. f.). Ket: (1) Pohon; (2) Daun; (3) Buah; (4)
Gambar 2  Kondisi eksplan; (a) eksplan tumbuh, (b) eksplan mati.
Gambar 6  Grafik pertumbuhan jumlah akar eksplan (A: kontrol, B: colchicine
Tabel 6  Hasil analisis sidik ragam panjang rata-rata akar eksplan
+7

Referensi

Dokumen terkait

menyelesaikan skripsi dengan judul ‘ Pengaruh Konsentrasi Pikloram dan 2,4 D Terhadap Proliferasi Kalus dan Regenerasi Tunas pada Kultur In Vitro Tanaman Tebu (Saccharum

aktif yang terkandung didalam daun stevia (Stevia rebaudiana Bertoni) juga dapat. melindungi tanaman ini dari infeksi mikroba dan kerusakan (Bharat et al.,

Berdasarkan Gambar 2 dan Tabel 2 diatas nampak bahwa akibat adanya paparan profilin pada kultur sel lemak menyebabkan terjadinya perbedaan yang signifikan antara

Respon Pertumbuhan Tanaman Kentang ( Solanum tuberosum L.) Varietas Granola Secara Kultur Tunas Dengan Kombinasi Nutrisi AB Mix dan Pupuk Organik Cair.. Program