• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Menduga Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Menduga Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEM

MBANGAN

KEBUTU

FAKU

IN

N SENSOR

UHAN PUP

ILHAM

ULTAS TE

NSTITUT

R WARNA

PUK PADA

SKRIPSI

M EKO NU

F1406055

EKNOLOG

PERTANI

BOGOR

2011

A DAUN U

A TANAM

I

UGROHO

5

GI PERTA

IAN BOGO

R

UNTUK M

MAN PAD

ANIAN

OR

MENDUGA

DI

(2)

PENGEMBANGAN SENSOR WARNA DAUN UNTUK MENDUGA

KEBUTUHAN PUPUK PADA TANAMAN PADI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ILHAM EKO NUGROHO

F14060555

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Skripsi : Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Menduga Kebutuhan Pupuk pada

Tanaman Padi

Nama : Ilham Eko Nugroho

NIM : F14060555

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr.Ir. I Wayan Astika, M.Si) (Ir. Mohamad Solahudin, M.Si)

NIP.19631031 198903 1 002 NIP.19650915 199103 1 002

Mengetahui :

Ketua Departemen,

(Dr.Ir. Desrial, M.Eng) NIP. 19661201 199103 1 004

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Menduga Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi adalah hasil karya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Pebruari 2011 Yang membuat pernyataan

Ilham Eko Nugroho

(5)

BIODATA PENULIS

(6)

DEVELOPMENT OF LEAF COLOUR SENSOR TO PREDICT

THE PADDY NEED FOR FERTILIZER

Ilham Eko Nugroho, I Wayan Astika, and Mohamad Solahudin

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, Darmaga IPB Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia.

ABSTRACT

Leaf colour is an indicator of plant fertility level which can be used for predicting fertilizer need of the paddy plants. The use of leaf colour chart (LCC) is one of instruments to measure greenness level. This research used image processing technology for analysing leaf colour level according to the IRRI-LCC standard. Taking the image of paddy leaves used a cart which is equiped with a proximity sensor and a CCD camera. Proximity sensor functions sending a signal to the camera to capture an image at every certain travelling distance. The captured images were then saved in the hard disk memory. Furthermore, those images were processed with Visual Basic program for analysing leaves area and greenness level. Then, the results were transformed into an area colour map, where each patch of land contains information about fertilizer need. Beside analysing with image processing, the measurement of leaf colour level was also done manually. The result of the manual measurement was also translated into an area colour map. The results of the manual and image processing measurement were then compared for determining the accuracy level. Accuracy at the colour level 2 was 38%, the colour level 3 was 69%, and the colour level 4 was 75%. The correlation between leaf colour level and nutrient content of soil was observed by comparing the result of soil nutrient content test and leaf colour level. It was found that both averages show a strong correlation.

(7)

ILHAM EKO NUGROHO. F14060555. Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Menduga Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi. Di bawah bimbingan I Wayan Astika dan Mohamad Solahudin. 2010

RINGKASAN

Efisiensi pemupukan dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas padi dengan cara memberikan dosis pupuk sesuai kebutuhan tanaman. Penggunaan bagan warna daun (BWD) adalah salah satu cara untuk menganalisis kebutuhan pupuk. Alat ini cocok untuk mengoptimalkan pemberian unsur N pada tanaman padi. Penggunaan teknologi visual berupa pengolahan citra (image processing) dapat mempermudah dalam menganalisa suatu objek tanpa berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Citra tanaman padi melalui pengolahan citra dapat dianalisa dengan tingkat kehijauan daun sehingga dapat menduga kesuburan tanaman padi.

Tujuan penelitian ini adalah membangun perangkat sensor citra untuk menduga kesuburan tanah melalui perbandingan tingkat warna daun dengan memetakan kesuburan tanah yang menunjukan informasi kebutuhan pupuk.

Penelitian ini menggunakan alat penangkap citra berupa gerobak, alat tersebut terdiri atas roda, rangka penjepit roda, rangka alas, rangka dudukan magnet, tuas pendorong, sensor, dan kamera. Saat alat dioperasikan, sensor yang terdapat di rangka penjepit roda mengirimkan tanda (signal) kepada program untuk menghitung jarak dan memberi perintah kamera untuk mengambil gambar. Proses pengambilan gambar dilakukan secara kontinyu. Hasil gambar disimpan pada memori hardisk. Citra kemudian diolah dengan program Visual Basic 6.0 untuk mengklasifikasi warna daun berdasarkan standar warna bagan warna daun (BWD) yang dikeluarkan IRRI. Hasil pengolahan citra kemudian diterjemahkan ke dalam peta. Informasi peta tersebut berupa petak-petak warna lahan, dimana nilai warna tersebut terdiri atas tingkatan warna hijau kekuningan hingga hijau tua yang menunjukan tingkat kesuburan lahan. Sebagai pembanding, pemetaan tidak hanya dilakukan dari hasil pengolahan citra tetapi juga dengan cara manual (membandingkan langsung dengan BWD).

Pengujian alat dilakukan di tiga lahan padi yang berbeda. Lahan pertama dengan perlakuan pemberian pupuk urea, lahan kedua dengan perlakuan pemberian pupuk organik dan urea, dan lahan ketiga dengan perlakuan pemberian pupuk organik. Berdasarkan hasil pemetaan dengan pengolahan citra menunjukan lahan pertama rendah kesuburannya dibandingkan lahan kedua dan ketiga. Hal tersebut disebabkan oleh warna hijau kekuningan (tingkat warna BWD-2) lebih banyak di bandingkan lahan kedua dan ketiga. Akurasi pemetaan pengukuran kandungan tingkat warna daun jika dibandingkan dengan pengolahan citra adalah 38%, untuk tingkat warna 2, 69% untuk tingkat warna 3, dan 75% untuk tingkat warna 4.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala curahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi dengan judul Pengembangan Sensor Warna Daun untuk Menduga Kebutuhan Pupuk pada Tanaman Padi dilaksananakan di Bogor sejak bulan Mei sampai Desember 2010.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besanya kepada :

1. Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si sebagai dosen pembimbing utama.

2. Ir. Mohamad Solahudin, M.Si atas saran dan bantuan moril yang diberikan selaku pembimbing pendamping.

3. Ibu tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis. 4. Dr. Ir. Radite Praeko Agus Setiawan, M.Agr yang telah memberikan saran pada skripsi ini. 5. Romy dan Iqbal sebagai teman seperjuangan yang membantu hingga skripsi ini selesai. 6. Ali dan Zani yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis mengerjakan skripsi

ini.

7. Temen-teman TEP 43.

8. Proyek IMHERE yang telah membantu pembiayaan penelitian.

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa depan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang sistem manajemen mekanasasi pertanian.

Bogor, Pebruari 2011

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A.LATAR BELAKANG ... 2

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A.PADI ... 3

B. UNSUR HARA ... 4

C. SIFAT KIMIA TANAH ... 5

D.PENGOLAHAN CITRA ... 7

E. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ... 9

F. BAGAN WARNA DAUN ... 9

G.PERTANIAN PRESISI ... 11

H.PENELITIAN TERDAHULU ... 12

III.METODE PENELITIAN ... 15

A.WAKTU DAN TEMPAT ... 15

B. ALAT DAN BAHAN ... 15

C. TAHAPAN PENELITIAN ... 15

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

A.PERANCANGAN ALAT ... 20

B. KALIBRASI ALAT ... 25

C. UJI KINERJA ALAT ... 28

D.PENGOLAHAN CITRA ... 29

E. KARAKTERISTIK CITRA DAUN PADI ... 31

F. KELEMAHAN ALAT ... 37

G.ANALISIS KESUBURAN TANAMAN DAN TANAH ... 37

H.PETA KESUBURAN TANAH ... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

A.KESIMPULAN ... 51

B. SARAN ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jenis koloid tanah dengan nilai kapasitas tukar kation (Hardjowigeno, 2007) ... 6

Tabel 2. Takaran urea yang diperlukan bila warna daun di bawah nilai kritis, Skala< 4 BWD (BB Padi, 2006 di dalam Gani, 2006)... ... 10

Tabel 3. Takaran urea yang diberikan sesuai dengan skala warna daun pada penggunaan BWD berdasarkan waktu yang ditetapkan (BB Padi, 2006 di dalam Gani, 2006) ... 11

Tabel 4. Hubungan antara nomor skala dengan kadar nitrogen daun padi var. Cisadane Kampung Muara (Ismunadji et al., 1985) ... 12

Tabel 5. Panjang dan lebar objek hasil tangkapan kamera CCD dengan ketinggian kamera ... 26

Tabel 6. Panjang dan lebar objek hasil tangkapan kamera webcam dengan ketinggian kamera ... 27

Tabel 7. Nilai ketelitian berdasarkan panjang citra dengan pembacaan pencacah magnet ... 27

Tabel 8. Jumlah citra tiap 26 m lintasan pada tiap-tiap lahan ... 29

Tabel 9. Rata-rata luas daun tanaman padi pada lahan pertama ... 32

Tabel 10. Rata-rata luas daun tanaman padi pada lahan kedua ... 33

Tabel 11. Rata-rata luas daun tanaman padi pada lahan ketiga... 34

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Sistem terdepan dari pengolahan citra (Arymurthy dan Suryana, 1992) ... 8

Gambar 2. Perubahan warna daun fase tumbuh pada tanaman padi var. Cisadane. Kampung Muara ... 13

Gambar 3. Hubungan antara skala warna dan kadar klorofil daun kedelai varietas Wilis. Kampung Muara ... 13

Gambar 4. Pengukuran Bagan Warna Daun (BWD) untuk mengukur warna daun dalam penetapan pemupukan pada tanaman padi ... 18

Gambar 5. Rancangan alat penangkap citra otomatis ... 20

Gambar 6. Pembuatan prototipe alat untuk pengambilan citra ... 21

Gambar 7. Kamera yang digunakan untuk menangkap citra ... 22

Gambar 8. Rangka dudukan kamera ... 23

Gambar 9. Rangka penjepit roda ... 23

Gambar 10. Roda yang dirancang untuk lahan basah ... 24

Gambar 11. Dudukan magnet dan sensor ... 24

Gambar 12. Tampilan program pengambilan citra ... 26

Gambar 13. Uji kinerja alat di lahan sawah ... 28

Gambar 14. Hasil citra yang diambil di sawah menggunakan kamera CCD... 28

Gambar 15. Tampilan program pengolahan citra ... 30

Gambar 16. Citra padi sebelum dan sesudah tresholding ... 31

Gambar 17. Pemetaan lahan pertama dengan pengolahan citra ... 36

Gambar 18. Grafik sebaran nilai kandungan N pada daun terhadap tingkat warna ... 38

Gambar 19. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan N pada daun terhadap tingkat warna BWD ... 38

Gambar 20. Grafik sebaran kandungan P pada daun terhadap tingkat warna ... 39

Gambar 21. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan P pada daun terhadap tingkat warna BWD ... 39

Gambar 22. Grafik sebaran kandungan K terhadap tingkat warna ... 40

Gambar 23. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan K pada daun terhadap tingkat warna BWD ... 40

Gambar 24. Grafik sebaran kandungan pH H2O terhadap tingkat warna ... 41

Gambar 25. Grafik hubungan nilai rata-rata pH H2O terhadap tingkat warna BWD ... 42

Gambar 26. Grafik sebaran kandungan pH KCl terhadap tingkat warna ... 42

Gambar 27. Grafik hubungan nilai rata-rata pH KCl terhadap tingkat warna BWD ... 43

Gambar 28. Grafik sebaran nilai kandungan N terhadap tingkat warna ... 43

Gambar 29. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan N terhadap tingkat warna BWD ... 44

Gambar 30. Grafik sebaran kandungan C-Organik terhadap tingkat warna ... 44

Gambar 31. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan C-Organik terhadap tingkat warna BWD ... 45

Gambar 32. Grafik sebaran kandungan K terhadap tingkat warna ... 45

Gambar 33. Grafik hubungan nilai rata-rata kandungan K terhadap tingkat warna BWD ... 46

Gambar 34. Grafik sebaran kandungan P terhadap tingkat warna ... 46

(12)

Gambar 36. Grafik sebaran kandungan KTK terhadap tingkat warna ... 47 Gambar 37. Grafik hubungan nilai rata-rata KTK terhadap tingkat warna BWD ... 48 Gambar 38. Peta kandungan unsur N (%) pada lahan satu ... 49 Gambar 39. Peta takaran kebutuhan pupuk untuk target hasil panen 6 ton/ha GKG pada

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Spesifikasi kamera ... 56

Lampiran 2. Intensitas cahaya pada beberapa kondisi penyinaran ... 57

Lampiran 3. Jumlah foto yang dihasilkan berdasarkan panjang image dan nilai ketelitian ... 58

Lampiran 4. Hasil citra tangkapan kamera pada berbagai macam kondisi ... 59

Lampiran 5. Pemetaan secara manual dengan BWD pada lahan satu ... 60

Lampiran 6. Pemetaan lahan kedua dengan pengolahan citra ... 61

Lampiran 7. Pemetaan lahan ketiga dengan pengolahan citra ... 62

Lampiran 8. Pemetaan baris 1, 2, dan 3 hasil tangkapan kamera dengan hasil pengolahan citra pada lahan pertama ... 63

Lampiran 9. Pemetaan baris 4, 5, dan 6 hasil tangkapan kamera dengan hasil pengolahan citra pada lahan pertama ... 64

Lampiran 10. Cara-cara pengambilan contoh tanaman (daun) (Donahue et al.,1971)... 65

Lampiran 11. Nilai unsur N, P, dan K pada tanaman padi terhadap level BWD ... 66

Lampiran 12. Nilai kandungan beberapa unsur pada tanah ... 66

Lampiran 13. Batas antara kecukupan dan defiensi unsur hara berdasarkan analisa tanaman (Sanchez, 1976) ... 67

Lampiran 14. Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983) ... 68

Lampiran 15. Nilai dan sifat pH tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983) ... 68

Lampiran 16. Gambar piktorial alat ... 69

Lampiran 17. Gambar teknik alat tampak atas ... 70

Lampiran 18. Gambar teknik alat tampak depan ... 71

Lampiran 19. Gambar teknik alat tampak samping ... 72

Lampiran 20. Gambar teknik rangka dudukan kamera ... 73

(14)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Padi merupakan tanaman yang penting bagi masyarakat Indonesia, sehingga mutu beras yang diproduksi harus baik dan hasilnya pun tinggi. Untuk meningkatkan hasil dan mutu beras, tanaman padi memerlukan unsur hara dalam jumlah banyak (makro) diantaranya nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K) dan belerang (S). Selain itu, diperlukan unsur mikro yang jumlahnya sangat sedikit seperti seng (Zn), tembaga (Cu), besi (Fe), molibdenum (Mo), boron (B), dan mangan (Mn).

Tanaman yang kekurangan N tumbuhnya kerdil, anakan sedikit dan daunnya berwarna kuning pucat, terutama daun tua. Sebaliknya, tanaman yang dipupuk urea (unsur N) berlebihan tumbuhnya subur, daun hijau tua anakan banyak, jumlah malai banyak tetapi tanaman mudah rebah dan pemasakan gabah lambat. Tanaman yang kekurangan unsur hara fosfor (P) tumbuhnya kerdil, daun sempit berwarna hijau tua, anakan sedikit, pemasakan lambat dan kehampaan gabah tinggi. Sedangkan tanaman yang kekurangan kalium (K), batangnya lemah, daun terkulai dan cepat menua, mudah terserang hama dan penyakit, mudah rebah, persentase gabah hamanya tinggi, butir hijau banyak dan mutu beras rendah.

Bagi tanaman, hara sama seperti gizi manusia. Oleh tanaman, hara digunakan untuk hidup, penyusunan tubuh atau organnya, tumbuh, dan berkembang. Jika dalam makanan manusia dikenal istilah gizi maka dalam pupuk dikenal sebagai unsur hara yang kurang atau bahkan tidak tersedia di tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman.

Agar tanaman tumbuh sehat dengan hasil dan mutu beras tinggi, maka unsur-unsur hara tersebut jumlahnya dalam tanah harus cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Apabila salah satu unsur hara tersebut jumlahnya dalam tanah tidak cukup, maka hasil dan mutu beras akan menurun. Oleh karena itu, pemupukan harus berimbang, dimana jenis dan dosis pupuk (sebagai sumber hara) harus sesuai dengan kebutuhan tanaman dan jumlah unsur hara yang tersedia dalam tanah (tingkat kesuburan tanah).

Budidaya padi sawah merupakan pemakai pupuk terbesar di Indonesia. Efisiensi pemupukan tidak hanya berperan penting dalam meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga terkait dengan berkelanjutan sistem produksi (sustianable production system), kelestarian lingkungan, dan penghematan sumberdaya energi. Kebutuhan dan efisiensi pemupukan ditentukan tiga faktor yang saling berkaitan yaitu : (a) ketersediaan hara dalam tanah, termasuk pasokan melalui air irigasi dan sumber lainnya, (b) kebutuhan tanaman, dan (c) target hasil yang dicapai. Oleh sebab itu, rekomendasi pemupukan harus bersifat spesifik lokasi dan spesifik varietas (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2007). Penggunaan pupuk yang tidak tepat dapat menimbulkan kerugian, baik kerugian pada pupuk, pada tanaman, maupun pada tanah dan lingkungan di sekitar pemupukan. Kerugian pada tanaman misalnya pertumbuhan tanaman tidak sehat dan mudah terserang hama penyakit, tidak diperolehnya hasil tanaman seperti yang diharapkan atau rendah. Kerugian pada tanah berupa berubahnya struktur tanah menjadi padat, menimbulkan efek racun bagi tanaman, dan mematikan kehidupan mikro organisme tanah. Di sekitar lingkungan tempat pemupukan juga terjadi pencemaran atau polusi nitrat dan nitrit, terutama di sungai atau air tanah.

(15)

Alat ini terdiri atas empat warna hijau, mulai dari hijau kekuningan hingga hijau tua. Selain itu, penggunaan teknologi visual berupa pengolahan citra (image processing) dapat mempermudah dalam menganalisa suatu objek tanpa berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Proses pengolahan dan analisanya melibatkan persepsi visual dengan data masukan maupun keluaran yang diperoleh berupa citra atau image dari objek yang diamati. Informasi berupa keluaran kemudian dibuat peta spasial yang menunjukan kekurangan dan kelebihan pupuk serta dosis aplikasi pupuk yang dibutuhkan.

B. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum penelitian ini bertujuan :

1) Membangun perangkat sensor citra tampak untuk menduga kesuburan tanah melalui pengukuran tingkat warna daun.

2) Memetakan kesuburan tanah berdasarkan pengolahan citra yang menunjukan informasi kebutuhan pupuk.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PADI

Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Tanaman pertanian kuno berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat Tropis dan Subtropis. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang, China sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar, Pradesh, India sekitar 100-800 SM. (BPPT, 2010). Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serelia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidarat utama bagi mayoritas penduduk dunia.

Klasifikasi botani tanaman padi adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monotyledonae Keluarga : Gramineae (Poaceae) Genus : Oryza

Spesies : Oryza spp.

Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah O. sativa dengan dua subspesies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan (BPPT, 2010).

Varietas unggul nasional berasal dari Bogor : Pelita I/1, Pelita II/2, Adil dan Makmur (dataran tinggi), Gemar, Gati, GH 19, GH 34, dan GH 120 (dataran rendah). Varietas unggul introduksi dari Internasional Rice Research Institute (IRRI) Filipina adalah jenis IR atau PB yaitu IR 22, IR 14, IR 46, dan IR 54 (dataran rendah); PB 32, PB 34, PB 36,dan PB 48 (datarn rendah) (BPPT, 2010).

Pusat penanaman padi di Indonesia adalah pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali, Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padi mencapai 10.869.000 ha dengan rata-rata 4.35 ton/ha/tahun. Produksi padi nasional adalah 47.293.000 ton. Pada tahun itu hampir 22.5% produksi padi nasional dipasok dari Jawa Barat.

Padi tumbuh di daerah tropis dan subtropis pada 45 derajat LU sampai 45 derajat LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Padi memerlukan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperatur 22-27°C di dataran rendah sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperatur 19-23°C.

(17)

B. UNSUR HARA

Manfaat pupuk yang paling banyak dirasakan adalah menyediakan unsur hara yang diperlukan bagi tanaman. Selain menyediakan unsur hara, pemupukan juga membantu mencegah kehilangan unsur hara yang cepat hilang seperti N, P, dan K yang mudah hilang oleh penguapan atau oleh air perkolasi. Pemberian pupuk juga membantu penyerapan unsur hara. Hal ini sangat penting, karena unsur hara berperan dalam pertumbuhan tanaman. Tiga unsur hara yang diperlukan dalam jumlah besar adalah Nitrogen (N), Fosfor, dan Kalium (K).

1.

Nitrogen (N)

Pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil yang tinggi membutuhkan suplai nitrogen yang cukup, bila suplai N tidak cukup, tanaman akan menunjukan pertumbuhan organ dan keseluruhan tanaman yang tidak normal. Gejala kekurangan N yang paling jelas dan biasa terlihat adalah berkurangnya warna hijau dari dedaunan karena hilangnya chlorofil, pigmen hijau yang berperan dalam proses fotosintesis.

Kekurangan nitrogen dicirikan oleh kecepatan pertumbuhan yang rendah dan tanaman kerdil (Hardjowigeno, 2007). Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud (1991) tanaman akan tumbuh lambat bilamana terjadi kekurangan N, juga akan tampak kurus, kerdil, dan berwarna pucat dibandingkan tanaman sehat. Pada tanaman serealia, kekurangan N ditandai oleh berkurangnya anakan, jumlah malai per satuan luas, dan juga jumlah gabah per malai berkurang. Karena itu pertumbuhan dan hasil tanaman, khususnya padi berhubungan erat dengan warna hijau dari daun.

Kelebihan N pun akan berakibat negatif pada tanaman. Kelebihan N biasanya memberikan warna gelap, sukulen, pertumbuhan vegetatif yang hebat, dan membuat tanaman mudah rusak karena dingin (frost) dan membeku (Direkterot Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, 1991).

2.

Fosfor (P)

Fosfor (P) berperan untuk pembelahan sel, pembentukan albumin, pembentukan bunga, buah dan biji, mempercepat pematangan, memperkuat batang tidak mudah roboh, perkembangan akar, memperbaiki kualitas tanaman terutama sayur-mayur dan pakan ternak, tahan terhadap penyakit, membentuk nucleoprotein (sebagai penyusunan RNA dan DNA), menyimpan dan memindahkan energy (transfer energy), misalnya ATP (Adenosin

triposhphate), ADP (Adenosin diposphate) (Hardjowigeno, 2007).

(18)

3.

Kalium (K)

Kalium (K) berperan dalam pembentukan pati, mengaktifkan enzim, pembentukan stomata, proses fisiologi dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, perkembangan akar, dan mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan (Hardjowigeno, 2007). Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud (1991), kalium di dalam tananam dapat berfungsi untuk menguatkan batang sehingga tanaman tidak mudah rebah. Hasil tanaman dan kualitas gabah meningkat bila tanaman cukup K, serta meningkatkan resistensi tanaman terhadap serangan penyakit, terutama terhadap penyakit yang disebabkan oleh cendawan.

Gejala yang nampak pertama kali dari kekurangan K dapat dilihat pada bagian daun. Selanjutnya, dalam jumlah yang terbatas biasanya diikuti oleh melemahnya bagian batang tanaman yang mengakibatkan terjadinya kerebahan pada tanaman biji-bijian. Kekurangan K betul-betul dapat mengurangi hasil dan menurunkan resistensi tanaman terhadap penyakit-penyakit tertentu, seperti Powldry-midew (kerusakan pada bagian batang) pada tanaman gandum, busuk akar dan Winter killed pada tanaman Alfalfa. Kekurangan K juga dapat mengakibatkan menurunnya kualitas tanaman buah-buahan dan sayuran (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, 1991).

C. SIFAT KIMIA TANAH

1.

Koloid Tanah

Koloid tanah adalah bahan mineral dan bahan organik tanah yang sangat halus sehingga mempunyai luas permukaan yang sangat tinggi per satuan berat (massa) (Hardjowigeno, 2007). Koloid bersal dari kata Yunani yang berarti seperti lem (glue), termasuk koloid tanah adalah liat (koloid anorganik) dan humus (koloid organik). Menurut Brady (1974) dalam Hardjowigeno (2007) koloid berukuran kurang dari 1μm (mikrometer), sehingga tidak semua fraksi liat (kurang dari 2 μm) termasuk koloid. Koloid tanah merupakan bagian tanah yang sangat aktif dalam reaksi-reaksi fisikiomia di dalam tanah.

a. Mineral liat

Mineral liat adalah mineral yang berukuran kurang dari 2 μm. mineral liat dalam tanah terbentuk karena (a) rekristalisasi (sintesis) dari senyawa-senyawa hasil pelapukan mineral primer atau (b) alterisasi (perubahan) langsung dari mineral primer yang telah ada (misalnya mika menjadi ilit). Mineral liat dalam tanah dibedakan menjadi :

a. Mineral liat Al-silikat b. Oksida-oksida Fe dan Al c. Mineral-mineral primer

Mineral liat Al-silikat dapat dibedakan menjadi (a) Mineral liat Al-silikat yang mempunyai bentuk kristal yang baik (kristalin) misalnya kaolinit, haloisit, montmorilit, dan (b) mineral liat Al-silikat amorf, misalnya alofan.

(19)

mengandung mika dan belum mengalami pelapukan lanjut. Alofan banyak ditemukan pada tanah berasal dari abu gunung api seperti tanah Andisol (Andosol). Pada tanah-tanah tua seperti Oxisol banyak mineral liat silikat yang telah hancur dan membentuk mineral liat baru yaitu oksida-oksida Fe atau Al (seskuioksida).

Pada mineral liat kaolinit (1:1) masing-masing unit melekat dengan unit lain dengan kuat (oleh ikatan H) sehingga mineral ini tidak mudah mengembang dan mengerut bila basah dan kering dan bergantian. Substitusi isomorfik sedikit atau tidak ada sehingga kandungan muatan negatif atau kapasitas tukar kation rendah (Hardjowigeno, 2007). Muatan negatif hanya pada patahan-patahan kristal atau akibat disosiasi H bila pH naik. Oleh karena itu, muatan negatif mineral ini meningkat bila pH naik (muatan tergantung pH).

2.

Kapasitas Tukar Kation

Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca++, Mg+, K+, Na+, NH4+, H+, Al3+, dan sebagainya. Menurut Hardjowigeno (2007) di dalam tanah kation-kation tersebut terlarut di dalam air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan kapasitas tukar kation (KTK). Kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh air gravitasi, tetapi dapat diganti oleh kation lain yang terdapat pada larutan tanah. Hal tersebut dinamakan pertukaran kation.

Kapasitas tukar kation dinyatakan dalam satuan kimia yaitu miliekivalen per 100 g (me/100 g). Satu ekivalen adalah suatu jumlah yang secara kimia setara dengan 1 g hidrogen. Jumlah atom dalam setiap satu ekivalen adalah 6.02 102 (=bilangan Avogardo). Dengan demikian, 1 miliekivalen setara dengan 1 mg hidrogen dan terdiri dari 6.02 1020 atom hidrogen. Bila tanah mempunyai kapasitas tukar kation 1 me/100 g berarti setiap 100 g tanah mengandung 6.02 1020 muatan negatif. Dalam taksonomi tanah, semenjak 1987, satuan me/100 g diganti menjadi cmol(+)/kg, dimana 1 me/100 g tanah = 1 cmol(+)/kg.

Kapasitas tukar kation tiap kolid berbeda. Humus mempunyai KTK yang jauh lebih tinggi dibanding mineral, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis kolid tanah dengan nilai kapasitas tukar kation (Hardjowigeno, 2007) Jenis koloid tanah Nilai kapasitas tukar kation (cmol(+)/kg)

Humus 100-300 Chlorit 10-40 Montmorilonit 90-150

Illit 10-40 Kolinit 3-15

Haloisit 2H2O 5-10

Haloisit 4H2O 40-5

(20)

tetapi bila didominasi oleh kation asam, Al, H (kejenuhan basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah. Karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan koloid maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air.

3.

pH Tanah

Reaksi tanah menunjukan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut (Hardjowigeno, 2007). Di dalam tanah selain H+ dan ion-ion lain ditemukan pula ion OH-, yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. Pada tanah-tanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-, sedangkan pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH- maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7.

Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah masam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena diikat (difikasi) oleh Al, sedang pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap karena difikasi oleh Ca. Pada tanah-tanah rawa pH yang terlalu rendah (sangat masam) menunjukan kandungan sulfat tinggi, yang juga merupakan racun bagi tanaman. Selain itu, pada reaksi tanah yang masam, unsur-unsur mikro juga menjadi mudah larut, sehingga ditemukan unsur-unsur mikro yang terlalu banyak. Unsur mikro adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga menjadi racun jika terdapat dalam jumlah yang terlalu besar. Termasuk unsur mikro dalam jenis ini adalah Fe, Mn, Zn, Cu, dan Co. Unsur mikro yang lain yaitu Mo dapat menjadi racun kalau pH terlalu alkalis. Di samping itu, tanah yang terlalu alkalis juga sering mengandung garam yang terlalu tinggi yang dapat menjadi racun bagi tanaman.

D. PENGOLAHAN CITRA

Analis citra (image analysis) dapat dilakukan melalui dua metode, image processing dan

pattern recognition. Image processing adalah sekelompok teknik komputasi untuk menganalisa,

peningkatan mutu citra (enhacing), kompresi dan rekonstruksi citra.

Sistem visual adalah sebuah proses untuk memperoleh pengukuran atau abstraksi dari sifat-sifat geometri dari citra. Komponen yang membentuk sistem visual adalah komponen geometri, pengukuran, dan interpretasi. Pembentukan citra terdiri atas geometri citra yang menentukan suatu titik dalam suatu image, diproyeksikan pada bidang citra sebagai fungsi pencahayaan image dan sifat-sifat permukaan (Arymurthy dan Suryana, 1992). Citra digital dapat diperoleh secara otomatis dari sistem perangkat citra digital yang melakukan penjelajahan citra membentuk suatu matrik dimana elemen-elemennya menyatakan tingkat intensitas cahaya pada suatu lingkungan diskrit dari titik. Sistem tersebut merupakan bagian terdepan dari suatu sistem pengolahan citra seperti terlihat pada Gambar 1.

Pixel (picture element) adalah sebuah titik yang merupakan elemen paling kecil pada citra.

(21)

energi dituliskan dalam satuan byte. Kumpulan byte ini dengan struktur tertentu bisa dibaca oleh software dan disebut citra digital 8-bit.

Citra merupakan sekumpulan titik-titik dari gambar yang berisi informasi warna dan tidak bergantung pada waktu. Umumnya citra dibentuk dari kotak-kotak persegi empat yang teratur sehingga jarak horizontal dan vertikal antar piksel sama pada seluruh bagian citra. Titik-titik tersebut menggambarkan posisi koordinat dan menunjukan warna citra. Warna citra didapat melalui penjumlahan nilai Red, Green, Blue (RGB).

Gambar 1. Sistem terdepan dari pengolahan citra (Arymurthy dan Suryana, 1992)

Citra (x,y) disimpan dalam memori komputer atau penyimpanan bingkai citra dalam bentuk array N x M dari contoh diskrit dengan jarak sama, sebagai berikut :

f(x,y) =

, , … , M

, , … , M

… . . … . … … … … . N, N, … N, M

Citra dengan format 8 bit memiliki 256 tingkat keabuan atau intensitas warna. Nilai tersebut berkisar antara 0-255, dimana nilai 0 menunjukan tingkat paling gelap (hitam), sedangkan nilai 255 menunjukan tingkat paling terang dan tingkat abu-abu berada diantaranya. Citra dengan 24 bit mempunyai 16.777.216 kombinasi warna. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita magnetik.

Sebuah warna didefinisikan sebagai jumlah relatif dari intensitas ketiga warna pokok (merah, hijau, biru) yang diperlukan untuk membentuk sebuah warna. Intensitas dapat berkisar dari 0% sampai 100%. Jumlah bit yang digunakan untuk mempresentasikan resolusi dari intensitas menunjukan jumlah warna yang dapat ditampilkan. Intensitas nol untuk ketiga warna pokok berarti warna putih.

Model warna telah banyak dikembangkan oleh para ahli, seperti model RGB (Red, Green, Blue), model CMYK (Cyan, Magenta, Yellow,Chromatic),YcbCr (luminese serta dua komponen krominasi Cb dan Cr), dan HSI (Hue, Saturation, Intensity). Model warna RGB merupakan model warna pokok aditif, yaitu warna dibentuk dengan mengkombinasikan energi cahaya dari ketiga warna pokok dalam berbagai perbandingan.

Citra masukan   Sensor  Pengubah analog ke           Citra digital digital

Komputer digital Penyimpanan Bingkai Citra

(22)

Model warna RGB dapat juga dinyatakan dalam bentuk indeks warna RGB dengan rumus sebagai berikut :

Indeks warna merah (Ired) = (1)

Indeks warna hijau (Igreen) = (2)

Indeks warna biru (Iblue) = (3)

E. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Sistem informasi geografis adalah suatu sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografis. Sistem informasi geografis adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial (Barus dan Wiradisastra, 1996 dalam Maharjanti , 2009).

Sistem informasi geografis adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. Sistem informasi geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalsis. Dengan demikian, sistem informasi geografis merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis : (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran (Prahasta, 2005 dalam Maharjanti, 2009).

Alasan yang menyebabkan mengapa konsep SIG beserta aplikasinya dipergunakan di berbagai disiplin ilmu adalah karena SIG memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atribut-atributnya. Modifiksi warna, bentuk, dan ukuran simbol yang diperlukan untuk mempresentasikan unsur-unsur permukaan bumi dapat dilakukan dengan mudah. Perangkat lunak SIG hampir semua memiliki galeri atau pustaka yang menyediakan simbol-simbol standar yang diperlukan untuk kepentingan kartografis atau produksi peta. Selain itu, transformasi koordinat, refelktifitas, dan registrasi data spasial sangat didukung. Dengan demikian, manipulasi bentuk dan tampilan visual data spasial dalam berbagai skala yang berbeda dapat digunakan dengan fleksibel (Prahasta, 2005 dalam Maharjanti, 2009).

SIG berdasarkan operasinya, dapat terbagi dalam (1) cara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas atau transparasi), bersifat data analog, dan (2) cara terkomputer atau lebih sering disebut secara otomatis, yang prinsip kerjanya sudah dengan menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital (Barus dan Wiradisastra, 1996 dalam Maharjanti , 2009).

F. BAGAN WARNA DAUN

(23)

untuk menganalisis fotosintesa tanpa merusak tanaman. Karena itu, perubahan fluoresen adalah salah satu indeks yang berguna untuk menunjukan efisiensi fotosintesis, juga kondisi khlorofil dan dan kehijauan daun. Salah satu fluorometer ini disebut MINIPAM, namun penggunaannya terbatas (Kim et al., 2006 dalam Gani, 2006).

Suatu alat sederhana, walaupun mahal, dapat menentukan jumlah khlorofil dalam daun tanaman, disebut SPAD-502 (KONICA MINOLTA 1989) secara digital mencatat jumlah relatif dari molekul khlorofil. Pencatatannya disebut nilai SPAD, diperhitungkan berdasarkan jumlah cahaya yang ditransmisikan oleh daun dalam dua berkas panjang gelombang dimana absorbansi khlorofil berbeda. Nilai SPAD yang ditentukan menggunakan SPAD-502 memberikan indikasi tentang jumlah relatif khlorofil yang ada di dalam daun. Dobermann and Fairhurst (2000) dalam Gani (2006) melaporkan nilai SPAD sebesar 35 bagi daun paling atas yang telah mengembang sempurna digunakan sebagai suatu nilai batas kekurangan N (perlu diberi N) pada padi indica unggul yang pindah tanam. Batas bagi tanam langsung adalah nilai SPAD 32-33.

Bagan warna daun (BWD) pertama kali dikembangkan di Jepang, dan kemudian peneliti-peneliti dari Universitas Pertanian Zhejiang, Cina mengembangkan suatu BWD yang lebih baik dan mengkalibrasi dengan padi indica, japonica, dan hibrida. Alat ini kemudian menjadi model bagi BWD yang didistribusikan oleh Crop Resources and Management Network (CREMNET)-IRRI untuk tanaman padi; suatu alat yang sederhana, mudah digunakan, dan tidak mahal untuk menentukan waktu pemupukan N pada tanaman padi. BWD ini merupakan alat yang cocok untuk mengoptimalkan penggunaan N, dengan berbagai sumber pupuk N; pupuk organik, pupuk bio, ataupun pupuk kimia.

BWD terdiri atas empat warna hijau, dari hijau kekuningan sampai hijau tua. BWD tidak dapat dapat menunjukan perbedaan warna hijau daun yang terlalu kecil sebagaimana pada khlorofil meter (SPAD). Namun, BWD bisa dibandingkan dengan SPAD untuk menentukan ketepatan relatifnya dalam menentukan status N tanaman padi (Gani, 2006).

Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Sukamandi, didapatkan korelasi dan regresi yang sangat nyata secara statistik antara nilai-nilai BWD dan SPAD, karena itu nilai BWD dapat digunakan untuk meregresikan nilai SPAD, pada berbagai musim, tipe tanah dan varietas padi. Nampak bahwa pembacaan BWD dapat digunakan dengan ketepatan dan validitas yang tinggi untuk mengukur warna daun (Gani, 2006).

Penggunaan BWD dapat digunakan melalui dua cara. Cara pertama berdasarkan kebutuhan riil tanaman (real time), dengan membandingkan warna daun padi dengan skala BWD secara berkala, setiap 7-10 hari sejak 21-28 hari setelah tanam (HST) sampai fase primordia (pada padi hibrida dan padi tipe baru atau PTB dilanjutkan sampai fase 10% berbunga). Tanaman segera diberi pupuk N ketika warna daun berada dibawah skala 4 BWD. Metode ini, petani perlu sering ke sawah untuk membandingkan warna daun padi dengan BWD.

Berikut ini akan disajikan kriteria pemberian pupuk untuk mendapatkan hasil yang diharapkan bila warna daun dibawah nilai kritis (skala <4 BWD) pada Tabel 2.

Tabel 2. Takaran urea yang diperlukan bila warna daun dibawah nilai kritis , skala < 4 BWD (BB Padi, 2006 di dalam Gani, 2006)

Pembacaan BWD

Respon terhadap pupuk N

Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Target hasil (ton/ha GKG)

≈ 5.0 ≈ 6.0 ≈ 7.0 ≈ 8.0 BWD < 4 Takaran urea yang digunakan (kg/ha)

(24)

Metode kedua berdasarkan waktu yang telah ditetapkan (fixed time), biasanya berdasarkan pertumbuhan tanaman, yaitu pertumbuhan awal (0-14 HST), pembentukan anakan aktif (21-28 HST), dan primordia. Dengan cara ini hanya melakukan 2-3 kali pengukuran warna daun padi dengan BWD. Sebelum berumur 14 hari setelah tanam pindah (HST), tanaman padi diberi pupuk dasar N dengan takaran 50-70 kg per hektar. Pada saat itu BWD belum diperlukan. BWD digunakan pada pemupukan kedua atau stadia anakan aktif (21-28 HST) dan pemupukan ketiga atau primordia (35-40 HST) dengan membandingkan warna daun dengan skala BWD. Prosedur pemberian pupuk yang diberikan sesuai skala warna pada BWD dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Takaran urea yang diberikan sesuai dengan skala warna daun pada penggunaan BWD berdasarkan waktu yang ditetapkan (BB Padi, 2006 di dalam Gani, 2006)

Pembacaan BWD

Respon terhadap pupuk N

Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Target hasil (ton/ha GKG)

≈ 5.0 ≈ 6.0 ≈ 7.0 ≈ 8.0 Takaran urea yang digunakan (kg/ha)

BWD  3 75 100 125 150

BWD = 3.5 50 75 100 125

BWD ≥ 4 0 0-50 50 50

G. PERTANIAN PRESISI

Pertanian presisi merupakan informasi dan teknologi pada sistem pengelolaan pertanian untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan mengelola informasi keragaman spasial dan temporal di dalam lahan untuk mendapatkan keuntungan optimum, berkelanjutan dan menjaga lingkungan (Prabawa et al., 2009). Tujuan dari pertanian presisi adalah mencocokkan aplikasi sumber daya dan kegiatan budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan tanaman berdasarkan karakteristik spesifik lokasi di dalam lahan. Pertanian presisi merupakan revolusi dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis teknologi informasi. Manajemen Informasi Geografis

(Management Information System) dalam presisi pertanian meliputi Sistem Informasi Geografis

(Geographical Information System), Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System), dan

data (crop models and field history).

Pertanian presisi sebagai teknologi baru yang sudah demikian berkembang di luar Indonesia perlu segera dimulai penelitiannya di Indonesia untuk memungkinkan perlakuan yang lebih teliti terhadap setiap bagian lahan. Maksud tersebut dapat dicapai dengan pertanian presisi melalui kegiatan pembuatan peta hasil (yield map), peta tanah (soil map), peta pertumbuhan tanaman (growth map), peta informasi lahan (field information map), penentuan laju aplikasi

(variable rate application), pembuatan yield sensor, pembuatan variable rate applicator, dan

(25)

H. PENELITIAN TERDAHULU

Aplikasi pengolahan citra berbasis sensor untuk menganalisa kebutuhan pupuk terhadap tanaman padi masih belum ditemukan sebelumnya. Penelitian mengenai pengolahan citra lebih banyak ditemukan penggunaan foto udara untuk menganalisa topografi suatu lahan. Dalam penelitian Tangwongkit et al. (2006) menerapkan alat penyemprot otomatis dengan pengolahan citra berbasis sensor. Penelitian tersebut menggunakan traktor yang terdapat webcam pada bagian depan. Webcam berfungsi untuk mengambil gambar yang kemudian digunakan sebagai data masukan untuk menentukan kebutuhan insekstisida.

Penelitian mengenai prediksi kandungan nitrogen pada daun adalah dengan menganalisis posisi tepi kanal merah atau REP (Red Edge Position) sebagai predictor (Lamb et al., 2002). Menurut Baranoski dan Rokne. (2002), REP adalah titik kemiringan (slope) maksimum spectrum

reflektans tanaman di antara panjang gelombang-panjang gelombang merah (red) dan dekat infra

merah (near-infra red atau NIR). Peningkatan kandungan khlorofil menyebabkan pergeseran REP di sekitar 680 ηm (Cho MA, 2007). Pergeseran REP berkaitan erat dengan perubahan khlorofil, nitrogen, status fenologi, dan tingkat stress tanaman (Baranoski dan Rokne, 2002). Pergeseran REP yang berkisar antara panjang gelombang 670-780 nanometer (ηm) disebabkan oleh efek gabungan dari absorbsi khlorofil yang kuat di panjang gelombang merah dan reflektans yang tinggi di panjang gelombang NIR karena adanya penyebaran di internal daun (Gates et al., 1965; Horler et al., 1983).

Penelitian Ismunadji et al. (1985) menggunakan skala warna dengan sistem Munsell yang telah diperbaiki untuk menduga status hara tanaman. Skala warna daun tersebut berupa 9 kepingan warna dari hue GY (Green Yellow). Skala warna kepingan warna dimulai dari 0 sampai dengan 8. Kisaran 4-5.5 menunjukkan kadar nitrogen yang cukup. Angka kurang dari 4 dan lebih dari 5.5 berturut-turut menunjukkan kekurangan dan kelebihan nitrogen.

Keping warna ini digunakan saat sebelum pembentukan primordia bunga pada tanaman yang tumbuh di lapangan. Pada Gambar 2 dapat dilihat warna daun tanaman padi berubah dengan fase tumbuh. Hue sampai pertengahan fase masak berfluktasi antara 5 sampai 7 GY dan pada fase selanjutnya warna menjadi hijau kekuningan muda dan akhirnya tanaman mengering. Perubahan warna yang khas dari warna daun pada saat pembentukan primordia bunga, yaitu turunnya hue dan meningkatnya nilai kroma. Hubungan antara skala warna dengan kadar nirogen daun padi disajikan pada Tabel 4. Kadar nitrogen meningkat dengan nomor skala warna yang semakin besar.

Tabel 4. Hubungan antara nomor skala dengan kadar nirogen daun padi var. Cisadane. Kampung Muara, 1984. (Ismunadji et al., 1985)

No. skala warna Kadar nitrogen daun (%)

0.8 0.55 2.9 1.09

3.8 1.59 4.0 1.92 4.2 2.07 5.3 2.68

(26)

Gambar 2. Perubahan warna daun dengan fase tumbuh pada tanaman padi var. Cisadane. Kampung Muara, 1984. (Ismunadji et al., 1985)

Penelitian yang dilakukan Ismunadji et al. (1985) tidak hanya dilakukan pada tanaman padi tetapi juga tanaman kedelai. Pada Gambar 3 menunjukan grafik hubungan kadar klorofil dengan skala warna.

Gambar 3. Hubungan antara skala warna dan kadar klorofil daun kedelai varietas Wilis. Kampung muara. (Ismunadji et al., 1985)

(27)
(28)

III. METODE PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2010 sampai dengan Oktober 2010. Perancangan alat dilaksanakan pada bulan Mei 2010 sampai Agustus 2010 di Bengkel Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, pengujian lapangan dilaksanakan pada 13, 14 dan 15 Oktober 2010 di Lab Lapangan Leuwikopo, IPB, pengujian tanah dan jaringan tanaman dilaksanakan pada 22 dan 28 Oktober 2010 di Lab Tanah, Balai Penelitian Tanah sedangkan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Manajemen dan Mekanisasi Petanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. ALAT DAN BAHAN

Alat dan bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

1. Laptop Toshiba Satellite A75. Spesifikasi yang digunakan yaitu Intel Pentium® 4 dengan kecepatan 3.2 Ghz (dual processor), Graphic Card 64 MB, Hard Disc 80 GB, dan RAM sebesar 512 MB.

2. Sistem operasi Microsoft Windows XP Home Edition 3. Software Microsoft Visual Basic 6.0

4. Kamera webcam dan CCD untuk mengambil citra di lapangan 5. Corel Draw yang digunakan untuk pemetaan

6. Bagan warna daun IRRI 4 level

7. Bahan pembuat rangka alat sensor citra warna daun : (ban, triplek, besi pipa, plat siku, besi

hollow, aki, sensor magnet)

C. TAHAPAN PENELITIAN

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu :

1.

Pembuatan Alat

Alat yang digunakan berupa gerobak yang terdapat kamera pada bagian depannya. Terdiri atas beberapa komponen seperti roda, rangka penjepit roda, meja alas, gagang, dan rangka dudukan kamera.

Prinsip kerja alat ini adalah mengambil dan menyimpan citra padi di lahan basah. Oleh karena itu, roda dirancang khusus untuk dapat beroperasi pada lahan basah. Jumlah roda yang digunakan satu buah untuk memudahkan pengoperasian alat dan tidak merusak tanaman saat uji kinerja di lapangan.

(29)

2.

Pembuatan Program Visual Basic 6.0

Pembuatan program Visual Basic yang dibuat oleh tim peneliti terdiri atas dua tahapan, tahapan pertama, pembuatan program untuk mengambil gambar. Prinsip kerja program ini adalah mengambil suatu gambar yang telah diatur sesuai jarak yang diinginkan melalui penghitungan jumlah magnet oleh sensor. Citra yang telah diambil kemudian disimpan pada hardisk laptop. Tahapan kedua, pembuatan program untuk mengolah citra untuk mengukur parameter kehijauan daun dan luas daun.

3.

Persiapan Lahan

Lahan yang digunakan pada penelitian adalah lahan laboratorium lapangan Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Leuwikopo yang sudah ditanami padi. Lahan yang digunakan adalah lahan basah yang tidak terlalu dalam lumpurnya. Ketinggian genangan air berkisar 1-3 cm. Ukuran lahan memiliki panjang 26 meter dan lebar 7 meter. Jarak antar baris tanaman 25 cm sedangkan jarak tanaman dalam satu baris 20 cm. Umur tanaman padi pada lahan tersebut berkisar 2-4 minggu.

4.

Uji Kinerja

Pengambilan data berupa gambar tanaman padi menggunakan kamera CCD yang terhubung dengan laptop (notebook). Kamera CCD dan laptop dipasangkan pada gerobak yang dapat dioperasikan pada lahan basah. Pengambilan gambar dilakukan dengan cara posisi kamera harus tegak lurus terhadap bidang, lensa kamera harus sejajar dengan permukaan tanah untuk mendapatkan gambar yang benar. Pengambilan gambar tanaman padi disertai dengan bagan warna daun sebagai pembanding keadaan intensitas cahaya. Tanaman padi yang diambil citranya terdiri atas berbagai kelas berdasarkan tingkat warna daun 2, 3, 4 dan 5. Selain untuk mengukur parameter kehijauan daun, pengambilan citra digunakan untuk mengukur parameter luas daun. Hasil pengambilan gambar kemudian direkam dan disimpan dalam bentuk file image berekstensi JPEG. Data yang telah diambil kemudian diolah menggunakan program image processing menggunakan bahasa Visual Basic 6.0. Program tersebut dirancang untuk mendapatkan data-data dari gambar tanaman padi yang diambil selama pertumbuhan.

5.

Pengolahan Gambar

(30)

a. Perhitungan luas daun

Perhitungan luas daun padi dilakukan dengan perbandingan luas pixels dengan pengukuran luas sebenarnya. Jumlah luas pixel citra dari hasil pengambilan gambar tergantung pada ketinggian kamera. Maka dari itu perlu dilakukan kalibrasi percobaan dengan mencatat panjang dan lebar tangkapan kamera pada suatu ketinggian tertentu. Rumus perhitungan jumlah luas daun adalah :

(4)

Luas daun (cm2 /rumpun ) =

(5)

b. Pengukuran hijau daun

Pengukuran kehijauan daun dilakukan untuk mengetahui kelas (level) warna daun berdasarkan bagan warna daun yang terdiri atas tingkat warna 2, 3, 4 dan 5. Hasil dari pengelompokan kelas tersebut akan dianalisis untuk menentukan jumlah kebutuhan unsur hara (N, P, K) yang cukup. Untuk menentukan nilai kehijauan digunakan metode jarak

euclidian. Jarak terpendek dari nilai jarak keempat level bagan warna daun tersebut

merupakan nilai kelas kehijauan daun. Rumus untuk menentukan jarak untuk satu level BWD adalah :

Jarak BWD = (6)

Keterangan :

Rr2 : jumlah intensitas citra warna merah (R) Rg2 : jumlah intensitas citra warna hijau (G) Rb2 : jumlah intensitas citra warna biru (B)

Rr : jumlah intensitas level BWD warna merah (R) Rg : jumlah intensitas level BWD warna hijau (G) Rb : jumlah intensitas level BWD warna biru (B)

6.

Pengujian Tanah dan Jaringan Tanaman

Selain penggunaan bagan warna daun (BWD), dilakukan pengujian tanah dan jaringan tanaman bertujuan untuk mengetahui status unsur hara makro dan mikro tanaman. Uji tanah dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah. Sebelum pengambilan contoh tanah dan jaringan tanaman perlu diperhatikan keseragaman areal atau hamparan. Beberapa titik pengambilan contoh tanah ditentukan secara acak. Pada saat pengambilan kondisi tanah dalam keadaan lembab, tidak terlalu basah atau kering. Pengambilan tanah diambil dengan cangkul pada kedalaman 0-20 cm. Contoh tanah kemudian diaduk merata didalam ember plastik, untuk satu contoh tanah yang diuji diperlukan bobot minimal 500 gram.

(31)

dibandingkan dengan kebutuhan unsur hara bagi tanaman, maka akan diketahui apakah kadar unsur-unsur hara dalam tanah tersebut sangat rendah (kurang), rendah, sedang atau tinggi. Kriteria penilaian hasil analisis tanah disajikan pada Lampiran 13.

Kekurangan unsur hara di dalam tanah dapat juga diketahui dari analisa jaringan tanaman. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa konsentrasi suatu unsur hara di dalam tanaman merupakan hasil interaksi dari semua faktor yang mempengaruhi penyerapan unsur tersebut dari dalam tanah. Pada pengujian jaringan tanaman diambil 16 contoh tanaman yang berbeda dan merata pada masing-masing level bagan warna daun. Pengambilan satu contoh jaringan tanaman diperlukkan bobot minimal 25 gram kering. Jaringan tanaman yang akan dianalisis adalah N-Kjeldahl, P, dan K.

7.

Penggunaan Bagan Warna Daun

Hasil dari pengamatan dengan pengambilan gambar kemudian dibandingkan dengan penggunaan bagan warna daun. Pengukuran tingkat kehijauan daun padi dengan BWD dimulai pada saat tanaman berumur 25-28 HST atau selang 7-10 hari setelah pemupukan pertama. Pengukuran daun dilakukan dengan mengambil satu sample daun untuk satu tanaman. Warna dari tiap daun yang terpilih diukur dengan menempatkan bagian tengah daun di atas standar warna untuk dibandingkan (Gambar 4).

Gambar 4. Pengukuran bagan warna daun (BWD) untuk mengukur warna daun dalam penetapan pemupukan N pada tanaman padi

Selama pengukuran, daun yang sedang diukur terlindungi oleh badan karena pembacaan warna daun dipengaruhi oleh sudut matahari dan intensitas matahari. Pengukuran dilakukan oleh orang yang sama pada waktu yang sama, supaya nilai pengukuran lebih akurat.

8.

Pemetaan

(32)
(33)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keterangan :

1. Rangka dudukan kamera 2. Laptop

3. Aki

4. Tuas penarik 5. Rangka alas

6. Rangka penjepit roda 7. Kabel pararel port 8. Sensor jarak 9. Roda pelat datar 10. Bagan warna daun 11. Kamera CCD 12. Kabel kamera

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PERANCANGAN ALAT

[image:33.612.108.515.283.698.2]

Perancangan alat terdiri atas beberapa tahap. Tahap pertama membuat rancangan alat pengambilan citra, yakni, rangka penjepit roda, rangka alas, rangka dudukan magnet, tuas pendorong, dan dudukan sensor. Dalam perancangan ini rangka alas dibuat kuat dan kecil untuk mengurangi beban. Tahap selanjutnya, dalam perancangan alat penangkap citra untuk di lahan basah (sawah) pada roda perlu dirancang khusus agar saat pengoperasian tidak slip. Oleh karena itu, permukaan roda dibuat lebih agak lebar 4 cm dari roda karet untuk menambah luas permukaan roda. Pada tahap perancangan ini hanya mengganti karet ban dengan pelat datar. Rancangan alat dapat dilihat pada Gambar 5 sedangkan gambar pembuatan prototipe alat penangkap citra ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 5. Rancangan alat penangkap citra otomatis

6 1 

8 2

7  3

9  12 

(34)
[image:34.612.252.401.78.245.2]

Gambar 6. Pembuatan prototipe alat untuk pengambilan citra

1.

Rancangan Fungsional

Rancangan ini terdiri atas beberapa komponen seperti :

a. Rangka Meja Alas

Rangka alas berfungsi sebagai dudukan laptop dan aki. Bagian ini terhubung dengan dudukan kamera dan penjepit roda. Pada bagian rangka ini terdapat triplek kayu yang mampu menahan beban laptop dan aki.

b. Dudukan Kamera

Bagian ini berfungsi sebagai pengikat kamera CCD yang akan dihubungkan kabel dengan laptop. Dudukan kamera ini dapat diatur ketinggiannya dengan mengatur putaran sekrup. Oleh karena itu, ukuran citra (lebar dan panjang) hasil tangkapan kamera dapat disesuaikan ketinggiannya oleh rangka dudukan kamera.

c. Penjepit Roda

Penjepit roda berfungsi sebagai penyangga dan penghubung meja alas. Selain penghubung meja alas, rangka penjepit roda juga penghubung roda yang dapat diatur ketinggiannya.

d. Roda

Roda dirancang agar dapat berjalan pada lahan basah sehingga pada saat pengujian roda tidak banyak slip dan perhitungan sensor tepat sesuai dengan jarak yang diinginkan.

e. Tuas (Gagang)

Fungsi utama tuas adalah untuk mengatur dan mengendalikan alat. Pada saat pengoperasian, pengoperasian alat ini digerakan dengan cara ditarik.

f. Sensor

(35)

Basic 6.0. Sensor tersebut mengirimkan tanda (signal) kepada program untuk menghitung jarak tempuh yang telah dilalui alat. Perhitungan jarak ditentukan dengan keliling dudukan magnet yang sudah ditempelkan magnet sehingga perhitungan jarak disesuaikan oleh jumlah magnet. Selain itu, sensor yang terbaca oleh program juga digunakan untuk perintah mengambil gambar.

g. Kamera

Kamera pada alat ini berfungsi untuk mengambil gambar yang terdapat pada lahan. Pada awalnya, kamera yang digunakan adalah kamera webcam. Namun, saat digunakan di luar lapangan, gambar yang dihasilkan kurang baik. Hal ini disebabkan oleh intensitas cahaya yang tinggi yakni 800 lux. Sehingga penggunaan webcam diganti dengan kamera CCD. Rincian spesifikasi kamera CCD dapat dilihat pada Lampiran 1. Kualitas gambar dipengaruhi oleh resolusi dan frame per second (fps) pada kamera. Kamera CCD memiliki resolusi gambar lebih rendah dibandingkan kamera webcam. Namun, kamera ini memiliki

frame per second yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Jenis kamera

CCD dan webcam dapat dilihat pada Gambar 7.

(a) CCD kamera (b) webcam

Gambar 7. Kamera yang digunakan untuk menangkap citra

2.

Rancangan Struktural

Rancangan sturuktural terdiri atas beberapa komponen :

a. Rangka Dudukan Kamera

(36)
[image:36.612.275.379.78.225.2]

Gambar 8. Rangka dudukan kamera

b. Rangka Penjepit Roda

Bagian ini terbuat dari stainless steel berbentuk balok berlubang dengan ukuran panjang 70 cm, lebar 6 cm dan tinggi 3 cm. Terdapat lima buah lubang pemasukan as roda sebagai pengatur ketinggian. Jarak antara satu lubang dengan lubang lainnya sebesar 5 cm. Diameter lubang bagian kanan berukuran 5 cm dan bagian kiri 3 cm. Tampilan rangka dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Rangka penjepit roda

c. Roda

[image:36.612.272.382.374.539.2]
(37)

Gambar 10. Roda yang dirancang untuk lahan basah

d. Tuas (Gagang)

Tuas terbuat dari besi pipa dengan diameter 4 cm dan panjang 70 cm. Pada tuas dan meja terhubung dengan besi siku. Jarak antara meja dan tuas sebesar 20 cm.

e. Dudukan Magnet

[image:37.612.284.410.80.228.2]

Dudukan magnet (Gambar 11) berbentuk lingkaran dengan diameter 30 cm. Dudukan magnet terbuat dari bahan triplek kayu. Dudukan dipasangkan 8 buah magnet dengan pembagian jarak yang sama antara magnet satu dengan magnet lainnya.

Gambar 11. Dudukan magnet dan sensor

f. Rangka Meja Alas

(38)

B. KALIBRASI ALAT

Sebelum pengujian di lapangan, dilakukan kalibrasi untuk menentukan jumlah pencacahan magnet dengan ketinggian kamera sehingga saat pengujian tinggi kamera sudah bisa ditentukan. Proses penghitungan jumlah magnet dan pengambilan gambar menggunakan bahasa pemograman

Visual Basic 6.0 yang telah dibuat oleh tim peneliti. Tampilan program dapat dilihat pada Gambar

12. Pada menu file terdapat 1 textbox untuk mengetahui jumlah magnet yang telah terhitung dan 5

commandbox yaitu Capture, Quit, Start Count, Stop dan Reset.

1.

Cara Kerja Program

Sebelum program Visual Basic dijalankan perlu diperiksa keberadaan inpout32.dll terdapat pada sistem komputer. Tanpa keberadaan inpout 32.dll pada sistem komputer, kabel pararel port yang tersambung pada sensor tidak akan terbaca. Oleh karena itu, file inpout

32.dll perlu dimasukan ke dalam folder c:windows\system. Proses otomatisasi pencacahan

menggunakan pemrograman microkontroler yang terdapat pada file inpout32.dll dengan penggalan program API (Application Program Interface) sebagai berikut:

Private Declare Function SendMessage Lib "USER32" Alias "SendMessageA" (ByVal hwnd As Long, ByVal wMsg As Long, ByVal wParam As Long, lParam As Any) As Long

Private Declare Function capCreateCaptureWindow Lib "avicap32.dll" Alias "capCreateCaptureWindowA" (ByVal lpszWindowName As String, ByVal dwStyle As Long, ByVal X As Long, ByVal Y As Long, ByVal nWidth As Long, ByVal nHeight As Long, ByVal hwndParent As Long, ByVal nID As Long) As Long

Private mCapHwnd As Long

Private Const CONNECT As Long = 1034

Private Const DISCONNECT As Long = 1035

Private Const GET_FRAME As Long = 1084

Private Const COPY As Long = 1054 Dim counter As Integer

Dim t0 As Integer Dim t1 As Integer Dim nonmagnet As Integer Dim jumlah As Integer Dim continue As Boolean

(39)

mengambil gambar pada lahan lainnya tekan tombol Stop dan mengganti nama penyimpanan

folder supaya hasil foto tidak tertimpa. Tombol Quit digunakan untuk keluar dari program.

Gambar 12. Tampilan program pengambilan citra

2.

Hasil Kalibrasi

Pengujian kalibrasi pertama dilakukan di lorong ruangan menggunakan kamera

webcam. Objek yang diambil gambarnya adalah lantai yang sudah ditandai dengan nomor.

Dari hasil pengujian tersebut akan dapat diketahui jumlah luas ukuran objek yang ditangkap pada ketinggian kamera tertentu. Pada awal percobaan kamera webcam memiliki kendala ketika pengujian di lapangan (outdoor). Pada percobaan selanjutnya kamera webcam diganti dengan kamera CCD yang tidak dipengaruhi dengan intensitas cahaya yang tinggi. Hasil penghitungan ukuran luas objek pada ketinggian tertentu dengan kamera CCD dan webcam dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.

Kamera webcam dipengaruhi intensitas cahaya sehingga ketika intensitas cahaya terlalu besar hasil kualitas gambar tidak bagus. Selain kalibrasi ketinggian kamera dilakukan pengujian intensitas cahaya dengan lux meter pada kondisi waktu yang berbeda yakni pagi, siang dan sore. Hal ini dilakukan untuk mengatur brightness dan saturation pada program sehingga kualitas gambar yang dihasilkan lebih baik. Hasil uji coba intensitas cahaya dengan lux meter dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 5. Panjang dan lebar objek hasil tangkapan kamera CCD dengan ketinggian kamera Tinggi kamera dari tanah

(cm) Lebar image (cm) Panjang image (cm)

98 96 66 108 100 70 131.5 123 88

(40)

Tabel 6. Panjang dan lebar objek hasil tangkapan kamera webcam dengan ketinggian kamera Tinggi kamera dari tanah

(cm) Lebar image (cm) Panjang image (cm)

30 30 23 40 37.5 29 50 50 38

60 56 43

70 65 52 80 76 58

90 86 64

100 93 75 120 120 85

130 123 96

140 133 103 150 140 110

Untuk memotret objek dapat diatur oleh pencacahan magnet berdasarkan lebar tangkapan gambar. Jika penggunaan diameter roda 60 cm maka jarak untuk satu putaran sebesar keliling lingkaran. Jumlah keliling lingkaran 2 x π x 30 = 188.4 cm. Dengan jumlah magnet yang digunakan 8 buah maka jarak untuk pembacaan satu magnet sebesar 23.55 cm. Pada lahan sawah menggunakan roda dengan diameter 57 cm maka keliling roda 178.98 cm. Jarak tiap penghitungan satu magnet 22.37 cm dengan jumlah magnet yang digunakan 8 buah magnet. Nilai ketelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai ketelitian berdasarkan panjang citra dengan pembacaan pencacah magnet

Panjang image (cm)

Jumlah kali trigger

per image

Selisih jarak tempuh dengan

panjang image

(cm/image)

Ketelitian

50 2 5.25 0.89

52 2 7.25 0.86

54 2 9.25 0.82

56 2 11.25 0.79

58 2 13.25 0.77

60 2 15.25 0.74

62 2 17.25 0.72

64 2 19.25 0.69

66 2 21.25 0.67

68 2 23.25 0.65

70 2 25.25 0.63

72 3 4.88 0.93

74 3 6.88 0.90

76 3 8.88 0.88

78 3 10.88 0.86

80 3 12.88 0.83

82 3 14.88 0.81

84 3 16.88 0.79

86 3 18.88 0.78

88 3 20.88 0.76

90 3 22.88 0.74

92 3 24.88 0.73

96 4 6.51 0.93

[image:40.612.174.502.388.692.2]
(41)

C. UJI KINERJA ALAT

Pengambilan gambar dilakukan tiga petak yang berbeda yaitu lahan pertama padi dengan pemberian pupuk murni urea, lahan kedua padi dengan pemberian pupuk organik dan urea, lahan ketiga dengan pemberian pupuk organik. Ukuran ketiga lahan tersebut sama yakni 26 x 7 m. Waktu pengujian dilakukan pada pagi dan siang hari. Pengoperasian alat ini dilakukan dengan cara ditarik. Gambar pengoperasian alat dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Uji kinerja alat di lahan sawah

Pada saat pengambilan gambar, alat dioperasikan di antara dua baris tanaman yang berjarak 30 cm untuk mengindari kerusakan tanaman. Bagan Warna Daun (BWD) dipasangkan pada alat dengan besi penyangga, dimana posisi BWD berada di antara tanaman sehingga tanaman tidak tertutup oleh BWD. Posisi kamera berada pada ketinggian 140 cm dari permukaan tanah dan pemasangan roda diatur pada posisi paling tinggi. Hal ini dilakukan supaya tanaman yang berada kedua baris tersebut dapat terambil gambar. Pada pengambilan gambar, sensor diatur setiap pembacaan yang keempat akan diproses pengambilan gambar. Perhitungan ini berdasarkan jumlah keliling roda yakni 178.98 cm sehingga jarak untuk pembacaan satu magnet 22.37 cm dan pada saat pembacaan magnet yang keempat akan menempuh jarak 89.4 cm. Pengaturan jarak ini disesuaikan dengan hasil pengambilan gambar. Hasil pengambilan gambar untuk satu foto/frame berukuran 629 x 477 pixel. Tampilan hasil pengambilan citra dapat dilihat pada Gambar 14.

(42)

Rata-rata waktu tempuh pengambilan gambar untuk satu baris diperlukan waktu 3 menit. Sedangkan rata-rata waktu untuk belok yang diperlukan 2 menit. Dalam pengukuran di lapangan satu tangkapan foto berukuran lahan 115 x 98 cm. Saat pengoperasian terkadang BWD menghalangi tanaman padi. Hasil citra yang didapatkan beragam dengan berbagai macam konidisi. Hasil pengambilan citra pada berbagai macam kondisi dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada saat pengambilan satu gambar terdapat selisih antara lebar lahan dengan jarak penghitungan magnet sebesar 8.51 cm gambarnya. Jumlah gambar yang terambil bila tanpa hambatan berhentinya program saat pengoperasian 23 gambar/baris. Hasil dari keseluruhan jumlah citra tiap satu lahan dapat dilihat pada Tabel 8. Jumlah foto yang lebih disebabkan oleh pengulangan program pengambilan foto sehingga dalam satu baris terdapat dua gambar yang sama. Pengulangan ini diakibatkan program tidak berjalan saat pengoperasian alat berlangsung. Sedangkan bila terdapat jumlah foto yang kurang disebabkan oleh roda yang tidak berputar melainkan bergeser mundur yang menyebabkan sensor tidak menghitung.

Tabel 8. Jumlah citra tiap 26 m lintasan pada tiap-tiap lahan

Lahan ke- Jumlah image per 26 m lintasan

Baris 1 Baris 2 Baris 3 Baris 4 Baris 5 Baris 6 1 24 23 23 23 21 22 2 21 19 22 24 21 26 3 24 22 24 21 26 24

D. PENGOLAHAN CITRA

Hasil citra padi yang telah diambil dengan kamera CCD kemudian disimpan dalam memori hardisk dalam bentuk JPEG berukuran 629 x 477 pixel. Selanjutnya citra tersebut diolah dengan menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0. Tampilan program dapat dilihat pada Gambar 15. Program ini dirancang untuk menghitung dua parameter utama yaitu jumlah luas daun dan penentuan tingkat warna kehijauan berdasarkan bagan warna daun.

Program pengolahan citra yang dibuat terdiri atas empat bagian utama, yakni proses membuka file gambar daun padi yang telah disimpan (open file), proses tresholding, proses pengukuran parameter, proses penghapusan gambar (delete), dan keluar (quit).

Tahapan-tahapan untuk menjalankan program adalah sebagai berikut.

1.

Pengambilan Citra Daun Padi

(43)
[image:43.612.160.492.82.340.2]

Gambar 15. Tampilan program pengolahan citra

2.

Proses Pemasukan Nilai Koordinat

Citra yang telah ditampilkan kemudian dimasukan nilai batasan tresholding berupa batas koordinat citra x1 dan x2. Hal ini dilakukan supaya bagan warna pada citra tidak diproses

tresholding. Proses pemasukan nilai selanjutnya adalah nilai koordinat x dan y setiap level

bagan warna daun yang terdapat pada gambar. Koordinat x dan y dapat diketahui pada textbox koordinat. Prinsip kerjanya adalah dengan menggerakan mouse di ujung kiri atas pada salah satu level bagan warna daun. Nilai koordinat tersebut kemudian dimasukan pada textboxlevel tersebut (x1 dan y1). Selanjutnya, masih pada level bagan warna daun yang sama mouse digerakan pada ujung kanan bawah maka akan diketahui nilai koordinat x2 dan y2. Pemasukan nilai koordinat sama dilakukan pada level lainnya.

3.

Proses Pemisahan Citra dengan Latar Belakang (

Tresholding

)

(44)

warna merah (R) > 90 dan warna hijau (G) > 200 diubah menjadi sesuai objeknya sedangkan sisa piksel lainnya diubah menjdai warna hitam. Nilai-nilai batasan tresholding ini didapatkan dengan cara coba-coba (trial and error). Tampilan citra sebelum dan sesudah tresholding dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Citra padi sebelum dan sesudah tresholding

4.

Perhitungan Paramater-Parameter Warna dan Ukuran

Setelah mengklik tombol perintah tresholding, maka program akan memproses data-data yang telah dimasukkan. Program akan menelusuri piksel demi piksel kemudian menghitung parameter nilai RGB keseluruhan citra dan nilai RGB setiap level. Selanjutnya nilai-nilai RGB tersebut akan menghitung jumlah luas daun melalui rumus persamaan (5) dan menentukan tingkat kehijauan daun dengan persamaan eucliand (6).

E. KARAKTERISTIK CITRA DAUN PADI

1.

Karakteristik Luas Daun

(45)
[image:45.612.98.523.96.705.2]

Tabel 9. Rata-rata luas daun tanaman padi pada lahan pertama

Image ke-

Rata-rata Luas Daun (cm2/rumpun)

Baris 1 Baris 2 Baris 3 Baris 4 Baris 5 Baris 6

1 74 83 72 84 64 75

2 82 65 66 50 78 79

3 90 68 71 51 68 77

4 85 67 77 51 76 72

5 95 75 76 59 67 62

6 79 82 72 61 65 62

7 88 79 77 68 71 53

8 85 83 70 51 62 78

9 80 86 65 52 68 64

10 81 64  69 49 68 74

11 83 63 61 53 69 57

12 87 80 67 59 65 63

13 78 75 63 44 49 59

14 88 84 68 55 74 52

15 67 73 59 63 80 75

16 85 71 55 60 60 41

17 70 80 58 55 65 43

18 71 77 58 62 70 41

Gambar

Gambar 5. Rancangan alat penangkap citra otomatis
Gambar 6. Pembuatan prototipe alat untuk pengambilan citra
Gambar 9. Rangka penjepit roda
Gambar 11. Dudukan magnet dan sensor
+7

Referensi

Dokumen terkait

usahatani padi, dapat dilihat dari nilai R/C nya, yaitu total penerimaan dibagi dengan total biayanya. Hasil analisis usahatani menunjukan bahwa rata-rata total penerimaan

Tujuan penelitian ialah (1) mendapatkan model regresi yang sesuai untuk menentukan status hara fosfor, (2) menginterpretasikan status hara fosfor berdasarkan model regresi

Dengan menggunakan algoritma regresi linear dapat memberikan nilai prediksi produksi padi dengan 2 variabel jumlah pertumbuhan penduduk dan jumlah produksi padi

Koefisien regresi ini menunjukan bahwa tanpa adanya pengaruh variabel bebas terhadap variabel Y (regenerasi petani padi), maka nilai variabel Y meningkat

Dengan menggunakan algoritma regresi linear dapat memberikan nilai prediksi produksi padi dengan 2 variabel jumlah pertumbuhan penduduk dan jumlah produksi padi pertahun,

Nilai koefisien korelasi (r) positif menunjukan bahwa hubungan antara konsentrasi etanol dengan yield sirup gula stevia sebagai kolerasi sempurna atau hubungan

Dari Tabel 4 terlihat bahwa jumlah malai/rumpun tertinggi terdapat pada perlakuan dengan dosis rekomendasi, sehingga dapat dikatakan bahwa kandungan hara nitrogen

Kandungan hara daun dan batang paitan lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pupuk organik lainnya, seperti kotoran ayam atau jerami padi (Tabel 1).. Kandungan hara paitan juga