• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penampilan Produksi Induk Sapi Brahman Cross (BX) yang Diinseminasi Buatan Menggunakan Semen Berbeda di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penampilan Produksi Induk Sapi Brahman Cross (BX) yang Diinseminasi Buatan Menggunakan Semen Berbeda di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten."

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENAMPILAN PRODUKSI INDUK SAPI BRAHMAN CROSS

(BX) YANG

DIINSEMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SEMEN BERBEDA

DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG-BANTEN

SKRIPSI

MELATI LESTARI Z.

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

i

RINGKASAN

Melati Lestari Z. D14070128. 2011. Penampilan Produksi Induk Sapi Brahman

Cross (BX) yang Diinseminasi Buatan Menggunakan Semen Berbeda di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si

Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu teknik perkawinan yang dapat digunakan untuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi potong melalui pejantan unggul dan pencegahan penularan penyakit kelamin yang dapat terjadi melalui kawin alam. Keberhasilan pelaksanaan IB ditentukan oleh tercapainya efisiensi reproduksi, peningkatan populasi sapi potong dan diterimanya IB oleh peternak. Efisiensi reproduksi dalam pelaksanaan IB dipengaruhi oleh peubah-peubah diantaranya jarak beranak (calving interval), jumlah pelayanan per kebuntingan (service per conception), angka kebuntingan (conception rate) dan angka kelahiran (calving rate). PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten merupakan salah satu perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang penggemukan, pembibitan, dan pemasaran sapi potong.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan produksi dan reproduksi induk sapi Brahman Cross (BX) yang diinseminasi buatan dengan menggunakan semen sapi pejantan Brahman dan Simmental di PT LJP. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2010. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah calving interval (CI), service per conception (S/C),

conception rate (CR), calving rate (C/R), bobot lahir, dan bobot sapih. Data calving

interval (CI), service per conception (S/C), conception rate (CR), dan calving rate

(C/R) yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk menggambarkan kondisi PT LJP Serang-Banten. Data bobot lahir dan bobot sapih dianalisa dengan analysis of variance (ANOVA).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk sapi Brahman Cross yang diinseminasi buatan dengan semen sapi Brahman dan Simmental di PT LJP mempunyai produktivitas yang tinggi. Hal ini terlihat dari efisiensi reproduksi yang tinggi dari tahun ke tahun (2008, 2009, dan 2010). Angka service per conception

untuk pejantan Brahman yaitu 1,8, 1,4 dan 1,3 dan pejantan Simmental yaitu 1,4, 1,5 dan 1,5. Sementara itu conception rate induk sapi BX yang diinseminasi dengan pejantan Brahman yaitu 46%, 69%, dan 71% dan pejantan Simmental 64%, 62%, dan 63%. Perbaikan calving interval dari 408 hari (tahun 2009) menjadi 372 hari (tahun 2010) dan calving rate (tahun 2009) dari 23% menjadi 84% (tahun 2010). Bangsa pejantan Simmental menyebabkan rataan bobot lahir pedet lebih tinggi dibandingkan rataan bobot lahir pedet yang disilangkan dengan pejantan Brahman. Penggunaan bangsa sapi pejantan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap rataan bobot sapih pedet.

(3)

ii

ABSTRACT

Productivity of Brahman Cross (BX) Cattle Artificially Inseminated Using Semen of Different Bull Breed in PT Lembu Jantan Perkasa

Serang-Banten

Lestari, M., R. Priyanto, and H. Nuraini.

This experiment was conducted to examine the productivity and reproduction performances of Brahman Cross (BX) cow artificially inseminated with semen of different breeds at PT Lembu Jantan Perkasa (LJP), Serang-Banten. Data calving interval (CI), services per conseption (S/C), conception rate (CR), and calving rate (C/R) were analyzed using descriptive analysis to describe the condition of PT LJP. Birth weight and weaning weight were analysed by analysis of variance (ANOVA). During the period of 2008-2010, the breeding management was carried by insemination of Brahman Cross cows using Simmental dan Brahman bull semens. The cows inseminated by Brahman bull semen showed improvements in service per conception from 1,8 to 1,3 and conception rate from 48% to 71%. Calving interval of the Brahman Cross cows showed improvements from 408 to 372 days and calving rate from 23% to 84%. Differences in birth weight as well as in weaning weight occurred in female calves but not in male calves. The Brahman Cross cows inseminated by Simmental bull semen had significantly heavier birth weight and weaning weight if compared to those inseminated by Brahman bull semen.

(4)

iii

PENAMPILAN PRODUKSI INDUK SAPI BRAHMAN CROSS

(BX) YANG

DIINSEMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SEMEN BERBEDA

DI PT LEMBU JANTAN PERKASA

SERANG-BANTEN

MELATI LESTARI Z.

D14070128

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

iv

Judul : Penampilan Produksi Induk Sapi Brahman Cross (BX) yang Diinseminasi Buatan Menggunakan Semen Berbeda di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten

Nama : Melati Lestari Z.

NIM : D14070128

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Rudy Priyanto) (Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si)

NIP : 19601216 198603 1 003 NIP : 19640202 198903 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP: 19591212 198603 1 004

(6)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juni 1989 di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Zainuddin K. dan Ibu Rosnani B.

Penulis mengawali pendidikan taman kanak-kanak di TK Aisyiah Bustanul Athfal, Makassar pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 1995. Pendidikan dasar dimulai pada tahun 1995 di SD Negeri 15 Kurusumange, Maros dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan menengah pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di SMP Negeri 1 Mandai, Maros. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Maros, Maros pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT

atas karunia dan limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Penampilan Produksi Induk Sapi Brahman Cross (BX) yang Diinseminasi Buatan Menggunakan Semen Berbeda di PT Lembu Jantan

Perkasa Serang-Banten. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya.

Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi bakalan. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Meningkatnya impor tersebut merupakan indikasi kuat adanya peluang pasar bagi pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan produksi dan reproduksi induk sapi Brahman Cross (BX) yang diinseminasi buatan dengan menggunakan semen sapi pejantan Brahman dan Simmental di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam usaha pembibitan ternak untuk meningkatkan produksi sapi potong di Indonesia.

Penulis memahami bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan informasi tambahan bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2011

(8)

viii

Produktivitas Sapi Potong Indonesia ... 5

Produksi Sapi Potong ... 6

Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong ... 9

Sistem Pemeliharaan Sapi Potong ... 9

(9)

ix

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 16

(10)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Nilai calving interval, service per conception, conception rate,

dan calving rate induk sapi Brahman Cross di PT LJP pada tahun

2008-2010...

28

2. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2008...

33

3. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2009...

34

4. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2010...

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bagan Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa………. 18

2. Peralatan Inseminasi Buatan di PT LJP Serang-Banten ………. 20

3. Tempat Pelaksanaan IB di PT LJP Serang-Banten……….. 22

4. Pemeriksaan Kebuntingan di PT LJP Serang-Banten ………. 23

5. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak.. 25

6. Pedet yang Baru Lahir ………. 26 7. (a) Pedet Brahman Cross Hasil Persilangan antara Induk Sapi BX

dengan Pejantan Brahman………

(b) Pedet Simbrah Hasil Persilangan antara Induk Sapi BX dengan Pejantan Simmental………..

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Ragam Bobot Lahir pada Tahun 2008... 44

2. Hasil Analisis Ragam Bobot Sapih pada Tahun 2008... 44

3. Hasil Analisis Ragam Bobot Lahir pada Tahun 2009... 44

4. Hasil Analisis Ragam Bobot Sapih pada Tahun 2009... 44

5. Hasil Analisis Ragam Bobot Lahir pada Tahun 2010... 44

6. Hasil Analisis Ragam Bobot Sapih pada Tahun 2010... 44

7. Rataan Umum Peubah yang Diamati pada Tahun 2008……... 45 8. Rataan Peubah yang Diamati Menurut Bangsa Pejantan pada Tahun

2008………...

12.Rataan Peubah yang Diamati Menurut Bangsa Pejantan pada Tahun

2009………..

16.Rataan Peubah yang Diamati Menurut Bangsa Pejantan pada Tahun

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Pada tahun 2008 Indonesia masih mengimpor 45.579.833 kg daging sapi. Populasi ternak sapi potong di Indonesia yang tercatat pada tahun 2008 mencapai 11.869.200 ekor, sementara ternak yang dipotong pada tahun yang sama sebesar 1.295.789 ekor (Badan Pusat Statistika, 2009). Impor daging dan sapi bakalan merupakan beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia. Jumlah impor sapi bakalan di Indonesia mencapai 448.856 ekor pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistika, 2009). Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan usaha pembibitan sapi adalah dengan mendorong perusahaan pembibitan sapi bakalan untuk juga mengembangkan usaha pembibitan, seperti PT Lembu Jantan Perkasa yang mengusahakan penggemukan dan pembibitan sapi. Menurut Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2006), usaha pembibitan adalah kegiatan budidaya menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjualbelikan. Bibit sapi potong merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan daging.

(14)

2 dipengaruhi oleh peubah-peubah diantaranya jarak beranak (calving interval), jumlah pelayanan per kebuntingan (service per conception), angka kebuntingan (conception rate) dan angka kelahiran (calving rate).

PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten merupakan salah satu perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang penggemukan, pembibitan dan pemasaran sapi potong. Perusahaan ini telah berdiri sejak tahun 1996 hingga sekarang dan telah banyak menyuplai bibit sapi potong. PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten juga merupakan salah satu perusahaan penggemukan sapi terbaik di Indonesia.

Tujuan

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Bangsa Sapi

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, sapi dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.

Menurut Blakely dan Bade, (1991) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

(16)

4 dan Shorthorn. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotip sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya (Turner, 1977).

Sapi Brahman Cross (BX) memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81.2%, (2) rataan bobot lahir 28.4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan bisa mencapai 295 kg, (3) angka mortalitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5.2%, mortalitas sebelum disapih 4.4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1.2% dan mortalitas dewasa sebesar 0.6%, (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif, (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit sangat baik, serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn (Turner, 1977).

Sapi BX di Indonesia diimpor dari Australia sekitar tahun 1973 namun penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil pengamatan di ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan: (1) persentase beranak 40.91%, (2) calf crop 42.54%, (3) mortalitas pedet 5.93%, (4) mortalitas induk 2.92%, (5) bobot sapih umur 8-9 bulan 141.5 kg (jantan) dan 138.3 kg (betina), (6) pertambahan bobot badan sebelum disapih sebesar 0.38 kg/hari (Hardjosubroto, 1994).

Sapi Brahman

(17)

5 terhadap kondisi tatalaksana yang sangat minimal, toleransi terhadap panas, kemampuannya untuk mengasuh anak, daya tahan terhadap kondisi yang jelek seperti penyakit dan parasit. Sapi Brahman banyak digunakan untuk persilangan dengan sapi-sapi lain. Kelemahan yang dimilki oleh bangsa sapi ini adalah toleransi terhadap suhu udara yang rendah, masak lambat serta rendahnya fertilitas (Blakely dan Bade, 1991).

Sapi Simmental

Sapi Simmental berasal dari lembah Simme di Swiss. Sapi Simmental berwarna merah, bervariasi mulai dari yang gelap sampai hampir kuning dengan totol-totol serta mukanya berwarna putih. Sapi ini terkenal karena menyusui anaknya dengan baik serta pertumbuhannya cepat, badannya panjang dan padat. Sapi Simmental berukuran berat, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa (Blakely dan Bade, 1991). Sapi Simmental berukuran besar, lebih besar dari pada bangsa sapi yang terdapat di Inggris. Pertumbuhan ototnya sangat baik dan tidak banyak terdapat penimbunan lemak dibawah kulit. Warna bulu pada umumnya krem kecoklatan hingga sedikit merah dan warna bulu pada muka putih, demikian pula dari lutut ke bawah dan pada ujung ekor warna bulunya putih. Tanduknya tidak begitu besar, meskipun berat lahir anaknya tidak setinggi anak Charolais dan Maineanjou, tetapi berat sapihnya tinggi demikian pula pertambahan berat badannya setelah sapih. Produksi susunya tinggi (rata-rata 3.900 kg/laktasi) dengan persentase lemak susu sebesar 4%. Berat sapi jantan dewasa kira-kira 1.150 kg dan yang betina kira-kira 800 kg. Melihat daya gunanya yang luas (triguna), diperkirakan sapi ini cocok untuk memperbaiki mutu sapi di Indonesia (Pane, 1986).

Produktivitas Sapi Potong di Indonesia

(18)

6

Produksi Sapi Potong

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa usaha peternakan ruminansia besar penghasil daging dapat dikelompokkan ke dalam beberapa program produksi sapi yang masing-masing memiliki kekhususan dalam pengelolaannya. Program tersebut antara lain produksi anak (cow calf), pembesaran anak sapi sapihan (stocker) dan penggemukan (finisher).

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performanya, seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh dan kondisi ternak. Penimbangan bobot badan ternak sapi tidak mungkin dilakukan maka ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat penduga bobot hidup dan dapat menggambarkan penampilan produksi ternak sapi. Beberapa ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba dapat dijadikan indikator bagi bobot hidup ternak sapi potong. Produksi ternak yang menguntungkan membutuhkan ternak-ternak yang sehat, karena penyakit merupakan faktor pembatas keuntungan di kebanyakan daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993).

Reproduksi Sapi Potong

(19)

7 Umur yang dianjurkan pada perkawinan pertama sapi potong adalah 14-22 bulan. Sapi-sapi dara Eropa yang tumbuh baik tidak dikawinkan sebelum mencapai umur 14-18 bulan, karena pubertas berkembang jauh sebelum dapat terjadi konsepsi, kebutingan dan kelahiran normal. Sapi potong yang kurang baik pertumbuhannya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18-24 bulan (Toelihere, 1979).

Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi

Fertilisasi maksimal akan dihasilkan jika mortalitas dan kesehatan sperma yang dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina berjumlah cukup serta pada tempat dan waktu yang terbaik saat ovulasi (Gomes, 1977). Hal ini menurut Toelihere (1993), memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Demikian juga teknik inseminasi dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal (Toelihere, 1993). Puncak keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) tergantung dari penempatan semen berkualitas tinggi yang tepat di dalam alat reproduksi betina (Bearden dan Fuguay, 1997).

(20)

8

Efisiensi Reproduksi

Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi, tetapi tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kawin alam, misalnya jumlah pelayanan per kebuntingan atau service per conception. Balai Inseminasi Buatan Singosari (1997) memberikan suatu gambaran efisiensi reproduksi ternak dengan mengevaluasi nilai conception rate (CR) dan service per conception (S/C). Direktorat Jenderal Peternakan (1991) memberikan pedoman dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan IB dengan memberikan nilai standar dari calving interval

(CI) 12 bulan, service per conception (S/C) 1,6 dan conception rate (CR) 62,5%.

Service per Conception (S/C)

Service per conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor

ternak menjadi bunting (Salisbury dan Van Demark, 1985). Service per conception

merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi melakukan perkawinan hingga ternak tersebut bunting. Nilai S/C yang normal menurut Toelihere (1979) berkisar antara 1,6-2,0. Penelitian Depison et al. (2003) pada persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai S/C sebesar 1,45. Semakin rendah nilai tersebut, makin tinggi nilai kesuburan hewan-hewan betina kelompok-kelompok tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi berahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Menurut Vandeplassche (1982), nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis.

Conception Rate (CR)

Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai

conception rate atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosis

(21)

9 maju dapat berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Menurut Toelihere (1993), angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pengaruh ketiga kombinasi tersebut dapat menghasilkan angka konsepsi sebesar 64%. Teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut. Penelitian Depison et al. (2003) menunjukkan hasil persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai CR sebesar 61,29%.

Calving Interval (CI)

Jarak beranak (calving interval) adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan (Toelihere, 1979). Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang. Umur sapih pedet cenderung memperpanjang jarak beranak. Sapi menyusui pedet lebih lama akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak. Menurut Bowker et al. (1978), faktor -faktor yang mempengaruhi jarak beranak, yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak

Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong

Sistem Pemeliharaan Sapi Potong

(22)

10 fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda dan sapi dewasa (finishing).

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga yaitu intensif, ekstensif dan mixed farming system. Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua yaitu (a) sapi dikandangkan terus-menerus dan (b) sapi dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif, sedangkan kelemahannya modal yang digunakan lebih tinggi, masalah penyakit dan limbah peternakannya (Parakkasi, 1999).

Pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan ternak di padang penggembalaan, pola pertanian menetap atau di hutan. Sistem ekstensif biasanya aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama (Parakkasi, 1999). Daerah yang luas padang rumputnya, tandus dan iklimnya tidak memungkinkan untuk pertanian, maka dapat dilakukan usaha peternakan secara ekstensif. Beberapa daerah melepaskan ternaknya di lapangan tanpa memperhatikan kecukupan pakannya dan keadaan padang rumput (Tafal, 1981). Sistem pemeliharaan mix farming system atau Sistem Pertanian Terpadu adalah petani biasanya memelihara beberapa ekor ternak sapi dengan maksud digemukkan dengan pakan yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertanian (Parakkasi, 1999).

Perkandangan

(23)

11 Persyaratan teknis kandang menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006) adalah sebagai berikut:

1. Konstruksi kandang harus kuat

2. Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh 3. Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup

4. Drainase dan saluran pembuangan limbah baik serta mudah dibersihkan 5. Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering dan tahan injak 6. Luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung

7. Kandang isolasi dibuat terpisah

Manajemen Pemberian Pakan

Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar lebih dari 18%, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993).

Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak. Namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi, karena kandung nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Tingkat konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologinya, sebagai contoh sapi dewasa, finish sedang dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4% bobot badan/hari, sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik dapat mengkonsumsi 3% dari bobot badan (Parakkasi, 1999). Office

International des Epizooties (OIE) (2006) menjelaskan bahwa pakan komersial juga

(24)

12 diterima juga sangat penting dan isinya harus sesuai dengan label, serta tidak mengandung hasil ikutan ternak yang tidak diperbolehkan. Pakan yang dicampur atau diproduksi sendiri mengandung resiko terdapat bahaya residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna.

Adaptasi terhadap Iklim dan Topografi

Iklim merupakan perpaduan dari berbagai unsur seperti suhu, curah hujan, kelembaban, gerakan udara, tekanan udara, kondisi cahaya dan pengionan. Suhu dan curah hujan merupakan faktor lingkungan yang paling penting (Tafal, 1981). Indonesia termasuk daerah tropis, sehingga tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan iklim yang berbeda-beda. Negara yang cukup luas ini (± 52.000.000 km2) disertai banyaknya pegunungan dan bukit yang dipisahkan lembah dan laut mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu udara di daerah-daerah tertentu. Keadaan tersebut menyebabkan Indonesia memiliki kondisi tanah dan vegetasi yang berbeda-beda dan memiliki daerah-daerah yang beriklim sangat basah, setengah basah dan kering. Banyak daerah yang memiliki iklim yang cocok untuk peternakan, baik untuk bangsa-bangsa sapi lokal (tropis) maupun sapi impor dari luar negeri. Salah satu faktor iklim yakni suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan feed intake dan sebaliknya akan menaikkan konsumsi air minum, bila hal ini terus terjadi akan mempengaruhi produktivitas yang diukur dari pertumbuhan dan produksi ususnya serta dapat langsung mempengaruhi reproduksi sapi (Williamson dan Payne, 1993).

(25)

13

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian dilakukan di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten. Pengamatan dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2010. Pengambilan data di perusahaan dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2011.

Materi

Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu induk sapi Brahman Cross

(BX) yang diinseminasi buatan dengan bangsa sapi pejantan berbeda dan pedet hasil persilangannya yang terdapat di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Induk sapi Brahman Cross (BX) dibedakan berdasarkan bangsa pejantan yang digunakan pada saat IB (BX x Brahman dan BX x Simmental). Alat-alat yang digunakan adalah alat tulis dan termohygrometer.

Prosedur

Teknik Pengumpulan Data

(26)

14

Rancangan Percobaan

Perlakuan

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Rancangan Acak Lengkap faktorial 2 x 2 dimana faktor A adalah dua semen sapi pejantan yang berbeda bangsa yaitu bangsa Brahman dan Simmental, sedangkan faktor B adalah jenis kelamin pedet yang berbeda, yaitu jantan dan betina. Penelitian ini terdapat kombinasi 4 perlakuan dan masing-masing perlakuan dengan jumlah ulangan yang tidak sama.

Model matematik yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) adalah: Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ εijk

Keterangan :

Yijk = nilai harapan dari perlakuan ke-I pada ulangan ke-j

µ = nilai rataan umum dari harapan yang diinginkan AI = pengaruh faktor A ke-i ( i= Brahman, Simmental)

Bj = pengaruh faktor B ke-j ( j= jantan, betina)

(AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A pada taraf ke-I dan faktor B

pada taraf ke-j.

εijk = galat percobaan dari kombinasi perlakuan (ij) pada ulangan ke-k

(1,2,3,4)

Analisis Data

1. Analisis deskriptif. Data calving interval, service per conception, conception

rate, dan calving rate yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis

deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan sapi di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten terutama dalam penanganan sapi bibit.

2. Data bobot lahir dan bobot sapih yang diperoleh kemudian dianalisa dengan

analysis of variance (ANOVA), apabila ada perbedaan nyata (P<0,05) dan

(27)

15

Peubah yang Diamati

1. Calving Interval (CI)

Calving interval (CI) adalah selang waktu dari beranak sampai beranak

berikutnya (jarak beranak).

CI (bulan) = kelahiran bulan ke-i – kelahiran ke (i-1)

2. Service per conception (S/C)

Service per conception (S/C)adalah jumlah pelayanan IB (jumlah straw)

yang diperlukan untuk menghasilkan kebuntingan seekor sapi.

3. Conception rate (CR)

Conception rate (CR) adalah jumlah positif bunting pada IB pertama dibagi

akseptor yang di IB dkali 100%.

4. Calving rate (C/R)

Calving rate adalah jumlah kelahiran dibagi jumlah akseptor yang di IB di

kali 100%.

5. Bobot lahir

Bobot lahir adalah berat awal pedet pertama kali ditimbang sesaat setelah lahir.

6. Bobot sapih

(28)

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Lokasi dan Tata Letak

PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten merupakan salah satu peternakan sapi potong yang bergerak di bidang breeding, fattening dan trading. Perusahaan ini terletak di Jalan Raya Serang-Pandeglang km 9.6 Desa Sindangsari, Kecamatan Pabuaran, Serang-Banten. PT LJP Serang-Banten berada sekitar 200 m dari jalan raya, memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 200 m di atas permukaan air laut. Rataan suhu di sekitar lokasi perusahaan adalah 28 ºC dengan kisaran 24,5-31 ºC dan rataan kelembaban udara 72% dengan kisaran 54-90%. Curah hujan di daerah ini sebesar 1.500-3.000 mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 141 hari per tahun. PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ranca Lutung dan Desa Baruan, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tanjung dan persawahan, sebelah Barat berbatasan dengan kebun masyarakat Desa Sindangsari dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tonggoh.

Sejarah dan Perkembangan

PT Lembu Jantan Perkasa didirikan pada tahun 1990 oleh Bapak Djaya Gunawan. Perusahaan ini memiliki kantor pusat yang terletak di Jalan Tarum Barat E11-12 No. 8, Jakarta Timur. Visi perusahaan adalah meningkatkan kualitas dan modernisasi tataniaga sapi potong, yang bertujuan untuk menunjang usaha peningkatan gizi masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan ternak sapi potong dalam lingkup regional dan nasional. Perusahaan terdaftar sebagai anggota Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) dengan nomor registrasi 015/APFINDO/1995 tanggal 29 Agustus 1995 dan fokus pada usaha di bidang perdagangan, impor dan penggemukan sapi potong.

(29)

17 penggemukan sapi potong secara intensif. PT Lembu Jantan Perkasa menjadi salah satu perusahaan penggemukan sapi terbaik di Indonesia karena didukung tenaga kerja berpengalaman sejak tahun 1973, walaupun perusahaan ini bukan yang terbesar. PT Lembu Jantan Perkasa memiliki beberapa cabang perusahaan yaitu di Serang-Banten, Cikalong-Bandung, Langkat-Medan dan Sawah Lunto-Padang.

Fasilitas dan Bangunan

Fasilitas dan bangunan yang terdapat di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten adalah kantor, kandang pemeliharaan, kandang isolasi, laboratorium, loading

chute, cattle yard, gang way, crush (kandang jepit), mess manajer dan karyawan, pos

satpam, gudang alat, mushola, gudang pakan dan unit penanganan limbah. Loading

chute digunakan untuk menurunkan dan menaikkan sapi dari atau ke truk, tinggi

loading chute ini sekitar 1,15 m. Cattle yard merupakan tempat penanganan ternak

sementara seperti bongkar muat sapi, penimbangan, pemasangan ear tag, pengobatan, pemeriksaan kebuntingan (PKB), pemeriksaan alat reproduksi (PAR), seleksi sapi dan Inseminasi Buatan (IB). Gang way merupakan lorong tempat sapi berjalan dari cattle yard menuju ke kandang ataupun sebaliknya. Kandang di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten terdiri dari 2 jenis yaitu kandang tertutup dan kandang terbuka.

Struktur Organisasi

Struktur organisasi sangat dibutuhkan dalam menunjang operasional suatu usaha. PT LJP merupakan perusahaan keluarga yang sekarang dipimpin oleh Ibu Joyce Aryani Gunawan. Struktur organisasi di PT LJP dapat dilihat pada Gambar 1.

Bangsa Sapi yang Dipelihara

(30)

18 Gambar 1. Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : Arsip PT Lembu Jantan Perkasa)

Bagian Umum

Administrasi Head Office General Marketing

Direksi

Kandang Fattening

Kandang Breeding

Kesehatan Hewan Supervisor Kesehatan Hewan Supervisor

Manager Fattening

Hijauan Staf

Keamanan

Manager

Staf Limbah

Unit Feedmill

Manager Breeding

Administrasi Farm Farm Manager

General Manager

(31)

19 setiap jenis pakan. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Setiap usaha pembibitan sapi potong harus menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan maupun pakan konsentrat. PT LJP memiliki kebun rumput dan dua unit gudang pengolahan pakan. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak yaitu lebih dari 18% daripada berat keringnya, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit yaitu kurang dari 18% daripada hijauan dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993).

Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, sisa hasil pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar serat yang relatif tinggi dan kadar energi rendah. Pakan hijauan yang digunakan di PT LJP yaitu rumput Taiwan dan jerami. Rumput Taiwan digunakan karena produksinya yang tinggi, mampu menyimpan air saat musim kemarau dan batang tidak terlalu cepat tua. Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak. Namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandungan nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Produksi hijauan yang ada telah mampu mencukupi kebutuhan ternak di perusahaan ini. Produksi rumput di PT LJP pada tahun 2009 sebesar 1.500 ton dan mencapai 1.220 ton pada pertengahan tahun 2010.

Pakan konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar energi tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon, bahan kimia, obat-obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh negara pengimpor. Pakan konsentrat diproduksi sendiri oleh perusahaan dan setiap status ternak berbeda-beda jenis pakan konsentratnya. Kode konsentrat diantaranya

yaitu “weaner” untuk pedet, “R-Brd New” untuk calon bibit dan induk bunting, “R1

G048” untuk laktasi. Bahan pakan yang digunakan pada pembuatan konsentrat

(32)

20 yaitu polard, kopra, bungkil sawit, molases, onggok, gaplek, kulit kopi, dan premix. Perusahaan membuat label pada setiap pakan komersial yang dibuatnya meliputi kode pakan dan tanggal pembuatan. Pakan yang dicampur atau diproduksi perusahaan mengandung resiko terdapat bahaya residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Air minum disediakan ad libitum.

Proses Inseminasi Buatan

Inseminasi Buatan dilakukan pada induk sapi yang berahi. Deteksi berahi dilakukan dengan mengamati sapi yang berada di kandang. Sapi yang dianggap berahi adalah sapi yang diam jika dinaiki oleh sapi yang lain. Menurut Blakely dan Bade (1991),tanda-tanda visual sapi betina menjelang berahi adalah pembengkakan dan vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh temannya dan sapi betina akan tetap tinggal diam saja apabila dinaiki. Salisbury dan Vandemark (1985) menambahkan bahwa sapi berahi biasanya tidak tenang, vulvanya agak membengkak dan berwarna merah. Peralatan yang digunakan pada saat inseminsai buatan di PT LJP Serang-Banten ditunjukkan pada Gambar 2.

(33)

21 Sapi betina hanya mau menerima pejantan dalam periode berahi saja, yang berlangsung sekitar 16 jam, dan hal ini akan terulang lagi tiap 21 hari, apabila tidak terjadi kebuntingan (Blakely dan Bade, 1991). Sapi yang terdeteksi berahi dicatat nomornya dan waktu berahinya. Pengawinan dengan Inseminasi Buatan di PT LJP dilaksanakan ±10 jam setelah tanda berahi terlihat. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar dapat terjadi pembuahan, sehingga perkawinan harus berlangsung pada bagian akhir dari berahi. Blakely dan Bade (1991) menjelaskan bahwa masa hidup sel telur adalah 6 sampai 12 jam, sedangkan masa hidup sperma adalah 30 jam. Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus sampai 6 jam sesudah puncak birahi. Pelaksanaan IB dilakukan di kandang jepit yang terdapat di unit kesehatan PT LJP Serang-Banten.

Menurut Blakely dan Bade (1991), dalam waktu inseminasi, semen yang berasal dari straw plastik dimasukkan ke dalam saluran reproduksi sapi betina. Apabila semen tersebut berada di dalam straw plastik, maka alat yang digunakan yaitu straw gun. Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan straw plastik adalah bahwa semen tersebut dapat secara langsung ditempatkan di dalam saluran reproduksi, tanpa harus memindahkan semen dari ampul ke kateter. Hal ini menyebabkan penggunaan straw menjadi lebih sederhana serta lebih menjamin jumlah sperma hidup yang maksimum bisa diinseminasikan. Semen yang digunakan di PT LJP berasal dari tiga bangsa yaitu Brahman, Simmental dan Limousin. Penggunaan bangsa pejantan berdasarkan performa dari induk yang akan diinseminasi. Sapi yang telah di IB selanjutnya dipindahkan ke kandang IB. Gambar 3 menunjukkan tempat pelaksanaan IB di PT LJP Serang-Banten.

Pemeriksaan Kebuntingan (PKB)

(34)

22 dan lengan ke dalam rektum seekor sapi betina dan dari dinding rektum dirasakan adanya tanda-tanda kebuntingan (Blakely dan Bade, 1991).

Gambar 3. Tempat Pelaksanaan IB di PT LJP Serang-Banten

Proses pemeriksaan kebuntingan dilakukan oleh tenaga ahli breeding PT LJP. Pemeriksaan kebuntingan di PT LJP dilakukan di cattle yard dengan menempatkan sapi yang akan diperiksa ke dalam kandang jepit berukuran 160cm x 70cm x 170cm dengan posisi pemeriksa berdiri miring menghadap ternak. Bagian belakang kandang jepit dilengkapi dengan palang untuk menghindari tendangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (2006) yang menyatakan bahwa sapi yang akan diperiksa harus ditempatkan di dalam kandang jepit untuk mencegah bahaya bagi pemeriksa terhadap tendangan, pergerakan ke depan dan ke samping oleh ternak yang diperiksa. Toelihere (2006) menambahkan bahwa sapi jarang menendang bila sedang diperiksa secara rektal, tetapi sapi yang terkejut dapat menendang ke belakang dan biasanya tendangan terjadi menjelang atau pada saat tangan dimasukkan ke dalam rektum. Keamanan ternak juga harus diperhatikan dalam proses PKB. Petugas harus berkuku pendek dan tidak tajam, tidak memakai perhiasan dan disarankan menggunakan pelicin sewaktu palpasi.

(35)

23 kebuntingan paling aman apabila dilakukan mulai hari ke 60 setelah inseminasi. Blakely dan Bade (1991) menambahkan bahwa palpasi rektal dapat dilakukan sekitar umur kebuntingan 60 hari bagi kebanyakan peternak. Pemeriksaan kebuntingan di PT LJP dilakukan 60 hari setelah dilakukan IB. Sapi yang dinyatakan bunting setelah PKB selanjutnya dipindahkan ke kandang bunting, sedangkan sapi yang tidak dinyatakan bunting akan dipindahkan ke kandang ex-PKB untuk dilakukan PKB ulang 1 bulan kemudian. Gambar 4 menunjukkan saat pemeriksaan kebuntingan (PKB) di PT LJP.

Gambar 4. Pemeriksaan Kebuntingan di PT LJP Serang-Banten

Pemeliharaan Induk Bunting

Sapi yang dinyatakan bunting selanjutnya ditempatkan di kandang bunting. Sapi bunting dikelompokkan berdasarkan umur kebuntingan. Sapi yang umur kebuntingannya 1-7 bulan ditempatkan di kandang bunting muda, sedangkan sapi yang umur kebuntingannya 8-9 bulan ditempatkan di kandang bunting tua. Kandang khusus sapi bunting dilengkapi dengan halaman untuk melakukan exercise. Exercise

(36)

24 pergerakannya sesuai dengan pertambahan umur kebuntingan, terutama pada minggu-minggu terakhir dan terdapat kecenderungan pertambahan berat badan.

Kelahiran

Tanda-tanda menjelang kelahiran dimulai dengan berkembangnya ambing. Hal ini dapat terjadi sewaktu masih 6 minggu sebelum kelahiran. Tanda yang terlihat dalam waktu seminggu sebelum kelahiran adalah pembengkakan vulva dan warnanya yang menjadi merah, serta terjadinya relaksasi pelvis. Tanda-tanda yang semakin jelas sesaat menjelang kelahiran adalah pembesaran puting dan keluarnya cairan mucous dari vulva. Sapi betina pada tahapan ini dapat menunjukkan tetesan air susu dari puting (Blakely dan Bade, 1991). Salisbury dan Vandemark (1985) menambahkan bahwa tanda-tanda akan terjadinya kelahiran yaitu vulva membengkak dan sering terlihat lendir menggantung. Sapi-sapi yang menunjukkan gejala-gejala tersebut lebih ditingkatkan pengawasannya. Induk sapi yang dapat melahirkan normal hanya diamati agar proses melahirkan tidak terganggu.

Salisbury dan Vandemark (1985) menjelaskan bahwa posisi fetus normal yaitu kedua kaki depan terentang, kepala beserta leher lurus sejalan dengan kaki tersebut. Melalui posisi yang normal ini, kepala dan kaki depan akan terkulai ke bawah waktu keluar dari vulva dan pelvis, pedet terangkat ke atas sedangkan kaki depan merentang ke belakang. Blakely dan Bade (1991) menambahkan bahwa presentasi fetus yang normal adalah kaki depan terlebih dahulu, dengan kepala berada di antaranya. Kontraksi uterus menyebabkan kaki mendorong plasenta lalu terlepaslah cairan amnion yang berperan sebagai pelumas untuk lewatnya fetus. Waktu kelahiran yang normal rata-rata sekitar 30 menit tanpa pertolongan. Penanganan kesehatan induk yang melahirkan normal di PT LJP yaitu dengan pemberian antibiotik (Limoxin LA) sebanyak 15 ml, hormon oxytocin sebanyak 5 ml dan vitamin A, D dan E (Vitol) sebanyak 7 ml. Vitamin dan antibiotik diberikan dengan tujuan untuk memulihkan kondisi sapi setelah beranak, sedangkan hormon oxytocin untuk merangsang pengeluaran air susu.

(37)

25 induk saat beranak. Menurut Blakely dan Bade (1991), apabila kelahiran tidak juga terjadi dalam waktu sekitar 2 jam sejak permulaan munculnya „labor pain‟, seorang dokter hewan hendaknya mulai mengamati apakah ada masalah persentasi yang tidak normal. Toelihere (2006) menambahkan bahwa distokia atau kesulitan beranak merupakan salah satu kondisi kebidanan yang harus ditangani oleh dokter hewan atau bidan ternak. Distokia lebih sering terjadi pada hewan atau bangsa hewan yang selalu dikurung atau dikandangkan dibandingkan dengan hewan yang dilepas di alam bebas (Toelihere, 2006). Induk setelah beranak dan saat menjilati anaknya ditunjukkan pada Gambar 5.

( a ) ( b )

(38)

seakan-26 akan terjepit atau terkunci pada tulang-tulang induknya, sehingga mempersulit keluarnya fetus atau sama sekali tidak dapat keluar. Penanganan kesehatan induk yang mengalami distokia di PT LJP yaitu dengan pemberian antibiotik (Limoxin 200 LA) sebanyak 15 ml, hormon oxytocin 5 ml dan multivitamin (vitol) 5 ml. Vitamin dan antibiotik berfungsi untuk memulihkan kondisi sapi setelah beranak.

Pemeliharaan Pedet

Pedet yang baru lahir akan diperiksa apakah kondisi tubuhnya normal atau cacat. Menurut Blakely dan Bade (1991), pedet yang baru lahir umumnya akan dijilati oleh induknya. Apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh induk guna membantu pernafasan pedet, peternak haruslah yakin bahwa tidak ada selaput-selaput yang menutupi mulut dan lubang hidung pedet. Perlakuan yang diberikan pada pedet yang baru lahir adalah memotong tali pusar dengan jarak ±5 cm dari abdomen, kemudian diberi desinfektan dan anti lalat. Pemberian yodium pada pusar pedet yang baru lahir sangat dianjurkan untuk mencegah timbulnya tetanus atau penyakit lain (Blakely dan Bade, 1991). Pedet yang baru lahir ditunjukkan pada Gambar 6.

(39)

27 Bersamaan dengan kelahiran adalah inisiasi sekresi air susu pada induk sapi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Pedet yang baru lahir dipelihara bersama induk di kandang laktasi sampai pedet disapih sehingga pedet mendapatkan kolostrum. Kolostrum merupakan susu khusus yang dihasilkan selama 3 hari pertama sesudah kelahiran, diperlukan oleh pedet yang baru lahir untuk kehidupannya. Kolostrum tidak saja mengandung banyak energi, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memulai kehidupan bagi pedet yang bersangkutan, tetapi juga mengandung antibodi yang merupakan pelindung terhadap kemungkinan adanya infeksi dan penyakit (Blakely dan Bade, 1991). Pedet dibiarkan menyusu pada induk secara bebas selama 2-3 bulan. Penimbangan bobot lahir dilakukan paling lambat 24 jam setelah kelahiran. Pedet yang baru lahir dicatat jenis kelaminnya, tanggal lahir dan ear tag

induknya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah recording. Pedet tersebut akan dipasang ear tag pada umur 3-4 hari. Pedet diberi vitamin A, D dan E sebanyak 2 ml/ekor saat pemberian ear tag. Menurut Blakely dan Bade (1991), selain untuk memudahkan dalam mengenalinya, ear tag disarankan untuk dipasang agar tidak perlu melakukan cek ulang. Pedet yang induknya mati atau produksi susu induknya rendah dipelihara di dalam calves box berukuran 100 cm x 126 cm x 135 cm dan diberikan susu yang dimasukkan ke dalam dot. Susu yang diberikan tersebut berasal dari foster mother. Induk yang memiliki mother ability rendah namun produksi susunya tinggi, ditempatkan di dalam kandang jepit agar pedet tidak ditendang saat menyusu pada induknya.

Efisiensi Reproduksi

(40)

28 reproduksi pada sapi antara lain service per conception (S/C), conception rate (CR),

calving interval (CI), dan calving rate (C/R). Nilai calving interval, service per

conception, conception rate, dan calving rate induk sapi Brahman Cross di PT LJP

pada tahun 2008-2010 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai calving interval, service per conception, conception rate, dan calving rate induk Sapi Brahman Cross di PTLJP pada tahun 2008-2010

Peubah Pejantan

Simmental Brahman

Tahun 2008

Populasi (n) 28 42

Service per Conception 1,4 1,8

Conception Rate (%) 64 46

Tahun 2009

Populasi (n) 148 242

Service per Conception 1,5 1,4

Conception Rate (%) 62 69

Calving Interval (hari) 408

Calving Rate (%) 23

Tahun 2010

Populasi (n) 64 104

Service per Conception 1,5 1,3

Conception Rate (%) 63 71

Calving Interval (hari) 372

Calving Rate (%) 84

Calving Interval (CI)

Calving interval (jarak beranak) adalah periode waktu antara dua kelahiran

(41)

29 perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Nilai calving interval di PT LJP pada tahun 2009 sebesar 408 hari dan pada tahun 2010 menurun menjadi 372 hari (Tabel 1). Penurunan nilai CI sebesar 36 hari ini menunjukkan bahwa PT LJP dapat meningkatkan produktivitas dari induk sapi Brahman Cross. Penurunan nilai calving

interval tersebut dikarenakan manajemen reproduksi yang lebih baik seperti deteksi

birahi yang lebih tepat.

Nilai CI PT LJP masih lebih tinggi dibandingkan nilai CI yang ditetapkan oleh Dirjen Peternakan sebesar 365 hari. Sementara itu, menurut Toelihere (1979) interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya adalah 12-13 bulan. Nilai CI yang terdapat di PT LJP masih lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Iswoyo dan Priyantini (2008) yang menunjukkan bahwa nilai CI peranakan Simmental sebesar 392,28±77,27 hari. Menurut Toelihere (1979), sapi betina yang memiliki CI yang panjang dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti kesalahan manajemen, faktor keturunan yang kurang menguntungkan, penyakit yang menyebabkan infertilitas seperti abortus, distokia dan penyakit-penyakit postpartus, serta kelalaian peternak yang menghambat kelangsungan reproduksi ternak yang bersangkutan.

Toelihere (2006) menjelaskan bahwa fetus jantan biasanya menyebabkan kebuntingan berlangsung lebih lama satu sampai dua hari daripada fetus betina. Bowker et al. (1978) menambahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jarak beranak yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak. Service per conception (S/C) mempunyai korelasi dengan calving interval, hal ini berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menjadi bunting. Hal ini berarti semakin banyak pelayanan IB (S/C), maka semakin panjang calving interval dan jumlah kelahiran akan rendah (Udin, 2003).

(42)

30 anaknya. Pengawinan dilakukan pada induk yang mengalami berahi kembali dengan persyaratan induk tersebut telah mengalami involusi saluran reproduksi yaitu minimal 40 hari atau pada siklus berahi ke-2 setelah beranak. Menurut Toelihere (2006), involusi atau regresi uterus ke ukuran dan statusnya semula membutuhkan waktu yang relatif lama. Selama involusi, lapisan urat daging uterus berkurang karena penurunan ukuran sel dan kehilangan sel. Secara klinis involusi sudah selesai pada hari ke 30-40, tetapi secara histologik, involusi baru benar-benar selesai 50-60 hari postpartus.

Calving Rate (C/R)

Calving rate (C/R) merupakan persentase jumlah anak yang lahir dari hasil satu

kali inseminasi (apakah pada inseminasi pertama atau kedua dan seterusnya). Angka

calving rate (C/R) di PT LJP pada tahun 2009 yaitu 23% dan meningkat pada tahun

2010 menjadi 84% (Tabel 1). Nilai optimum calving rate biasanya 64% untuk IB pertama dan meningkat menjadi 75-82% untuk IB kedua dan seterusnya (Prasetiawan 2007). Adanya selisih yang jauh mengenai angka C/R pada tahun 2009 dan 2010 dikarenakan jumlah populasi induk bunting yang terdapat di PT LJP berbeda-beda setiap tahunnya sehingga mempengaruhi jumlah kelahiran. Populasi induk bunting pada tahun 2009 sebesar 1.635 ekor dan pada tahun 2010 menurun menjadi 882 ekor. Jumlah kelahiran pada tahun 2009 sebanyak 379 ekor dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 738 ekor. Selain itu, penjualan induk bunting juga mempengaruhi angka C/R di PT LJP. Menurut Prasetiawan (2007) calving rate

dipengaruhi oleh efisiensi kerja inseminator, kualitas semen, kesuburan induk, waktu IB, penanganan induk saat bunting dan beranak, serta kesanggupan betina memelihara fetus dalam kandungannya hingga lahir. Cara terbaik untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai calving rate pada kelompok sapi fertil adalah dengan mempertahankan kualitas semen atau meningkatkannya serta melakukan prosedur inseminasi yang baik (Salisbury dan Vandemark, 1985).

Service per Conception (S/C)

Service per conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor

(43)

31 merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi dikawinkan hingga ternak tersebut bunting. Tabel 1 memperlihatkan angka S/C induk sapi Brahman Cross yang (2003) menunjukkan bahwa angka S/C persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) sebesar 1,45. Angka S/C yang rendah menunjukkan bahwa tingkat efisiensi reproduksi induk sapi Brahman Cross baik karena sapi hanya memerlukan sedikit pelayanan IB untuk dapat bunting.

Angka S/C induk sapi Brahman Cross yang terdapat di PT LJP untuk kedua pejantan yang digunakan termasuk normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Toelihere (1979) yang menyebutkan bahwa nilai S/C yang normal yaitu berkisar antara 1,6-2,0. Semakin tinggi tingkat kesuburan ternak, maka semakin rendah nilai S/C. Menurut Vandeplassche (1982), nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukkan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis. Menurut Kutsiyah et al. (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi berahi, tingkat kemampuan inseminator dan bobot hidup.

(44)

32 Bade (1991) menambahkan bahwa agar dapat terjadi pembuahan, maka dikawinkan pada saat akhir berahi.

Conception Rate (CR)

Angka dari persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama disebut dengan nilai conception rate (CR) atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu 45-60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo, 1987). Tabel 1 menunjukkan angka CR di PT LJP induk sapi Brahman Cross yang diinseminasi buatan menggunakan semen berbeda di PT LJP yaitu semen Brahman dan Simmental. Pejantan Simmental memiliki angka CR yang lebih tinggi dibandingkan angka CR pejantan Brahman pada tahun 2008, berturut-turut yaitu 64% dan 46%. Angka CR pejantan Brahman mengalami peningkatan pada tahun 2009 dan 2010 yaitu 69% dan 71% dan lebih tinggi dibandingkan angka CR pejantan Simmental yaitu 62% dan 63%. Angka CR tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Depison et al. (2003) yang menunjukkan angka CR pada persilangan Simmental dan Brahman sebesar 61,29%. Menurut Toelihere (1993), nilai CR di negara maju dapat berkisar antara 60-70%. Nilai CR di Indonesia sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Hal ini menunjukkan bahwa pejantan yang digunakan di PT LJP memiliki kesuburan yang tinggi. Toelihere (1979) menjelaskan bahwa angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pengaruh ketiga kombinasi tersebut menyebabkan angka konsepsi dapat mencapai 64%. Teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut.

(45)

33 Induk yang digunakan di PT LJP telah melewati seleksi berdasarkan kelayakan dan kesehatan saluran reproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa induk yang digunakan memiliki kualitas ovarium dan kondisi fisik yang baik sehingga mampu menjaga kebuntingan hingga akhir masa kebuntingan. Faktor lain yang mempengaruhi angka CR adalah teknik inseminasi. Bearden dan Fuguay (1997) menjelaskan bahwa teknik inseminasi dapat mempengaruhi tingkat CR dikarenakan puncak keberhasilan IB tergantung dari penempatan yang tepat dari semen berkualitas tinggi di dalam alat reproduksi betina. Toelihere (1993) menambahkan bahwa teknik inseminasi dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal. Selain itu, angka kebuntingan juga terkait dengan ketepatan waktu IB.

Bobot Lahir

Hasil perhitungan rataan bobot lahir pedet pada tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sangat nyata (P<0,01) dalam penggunaan bangsa sapi pejantan yang berbeda. Rataan bobot lahir pedet hasil persilangan dengan pejantan berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2008

Peubah Bangsa Bobot Lahir Brahman 25,08±2,69 23,50±3,42A 24,12±3,23a

Simmental 25,10±2,15 25,02±1,60B 25,06±1,89b

Rataan 25,09±2,37 24,30±2,72

Bobot Sapih Brahman 72,04±13,31 64,83±14,24a 67,65±14,27 Simmental 70,61±16,13 70,40±13,31b 70,50±14,65

Rataan 71,17±15,04 67,77±13,99

Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05), huruf kapital menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

Pengaruh penggunaan bangsa pejantan yang berbeda terjadi pada keturunan pedet betina, tetapi tidak pada keturunan pedet jantan. Induk sapi Brahman Cross

(46)

34 bobot lahirnya lebih tinggi dibandingkan pedet hasil persilangan dengan pejantan Brahman. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Gesita (2009), yang menunjukkan bahwa bobot lahir pedet yang dihasilkan dari perkawinan induk sapi Brahman Cross dengan pejantan Simmental lebih tinggi dibandingkan dengan bobot lahir pedet dari perkawinan induk sapi Brahman Cross dengan pejantan Brahman. Menurut Blakely dan Bade (1991), sapi Simmental termasuk sapi berukuran berat, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa. Sedangkan sapi Brahman menurut Blakely dan Bade (1991), merupakan bangsa sapi berukuran medium dan pedetnya juga berukuran berat medium. Muzani (2004) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi bobot lahir antara lain bangsa, jenis kelamin pedet, lama kebuntingan, umur induk dan berat induk.

Tabel 3 memperlihatkan bahwa penggunaan bangsa sapi pejantan yang berbeda dan jenis kelamin pedet tidak berpengaruh nyata terhadap bobot lahir pedet pada tahun 2009. Rataan bobot lahir pedet yang disilangkan dengan bangsa sapi pejantan berbeda disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2009

Peubah Bangsa Bobot Lahir Brahman 24,50±1,78 23,44±2,45 23,78±2,47

Simmental 24,75±1,71 24,76±1,78 24,75±1,75

Rataan 24,61±2,11 24,09±2,23

Bobot Sapih Brahman 66,25±6,75 66,18±8,41 66,20±7,85 Simmental 61,83±9,45 68,00±7,87 66,35±8,66

Rataan 64,35±8,16 67,07±8,14

(47)

35 Hasil perhitungan rataan bobot lahir pedet hasil persilangan dengan bangsa sapi pejantan berbeda pada tahun 2010 (Tabel 4) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada bobot lahir pedet. Rataan bobot lahir pedet pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pedet hasil persilangan antara induk Brahman Cross dengan bangsa sapi pejantan yang berbeda pada tahun 2010

Peubah Bangsa Bobot Lahir Brahman 21,26±2,89 20,37±3,41 20,77±3,20A Simmental 24,16±2,13 24,18±1,88 24,17±1,99B

Rataan 22,58±2,93 21,99±3,42

Bobot Sapih Brahman 62,26±17,62 63,93±18,89 63,18±15,61 Simmental 68,50±20,42 67,53±14,18 68,00±17,35

Rataan 65,11±19,07 65,46±14,03

Keterangan : Superskrip huruf kapital pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

Sama halnya dengan hasil perhitungan pada tahun-tahun sebelumnya yaitu tahun 2008 dan 2009, diketahui bahwa rataan bobot lahir pedet hasil persilangan dengan pejantan Simmental lebih tinggi (24,17±1,99 kg)dibandingkan rataan bobot lahir pedet hasil persilangan dengan pejantan Brahman (20,77±3,20 kg). Blakely dan Bade (1991) menjelaskan bahwa sapi Simmental termasuk sapi berukuran berat, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa dan sapi Brahman merupakan bangsa sapi berukuran medium, pedetnya juga berukuran berat medium.

Bobot Sapih

(48)

36 yang diinseminasi buatan dengan pejantan Simmental menghasilkan pedet betina yang bobot sapihnya nyata lebih tinggi (70,40±13,31 kg) jika dibandingkan pedet betina hasil persilangan dengan pejantan Brahman (64,83±14,24 kg). Depison (2003) menjelaskan bahwa bobot lahir yang lebih baik akan menghasilkan bobot sapih yang lebih baik atau dengan kata lain bobot lahir mempunyai korelasi yang positif dengan bobot sapih. Bobot lahir yang tinggi akan menyebabkan bobot sapih yang tinggi juga pada lingkungan pemeliharaan yang sama. Depison (2003) menambahkan bahwa bobot lahir secara tidak langsung dapat menggambarkan potensi genetik ternak dan berkorelasi positif dengan bobot badan selanjutnya.

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2009 faktor bangsa pejantan yang berbeda, jenis kelamin dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap rataan bobot sapih pedet. Hal ini disebabkan karena bobot sapih pedet lebih dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan. Hasil perhitungan rataan bobot sapih pedet pada tahun 2010 menunjukkan hasil yang sama dengan perhitungan pada tahun 2009, bahwa faktor bangsa pejantan yang berbeda, jenis kelamin dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap rataan bobot sapih pedet. Muzani (2004) menyatakan bahwa produksi air susu induk, makan dan kesehatan merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi bobot sapih.

(49)

37 Pedet sudah mulai dikenalkan konsentrat dan hijauan ± 2 minggu setelah lahir. Pedet hasil persilangan induk sapi BX dengan bangsa sapi pejantan berbeda ditunjukkan pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7 : (a) Pedet Brahman Cross Hasil Persilangan antara Induk Sapi BX dengan Pejantan Brahman

(50)

38

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Induk sapi Brahman Cross yang diinseminasi buatan dengan menggunakan semen sapi pejantan Brahman dan Simmental di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten mempunyai produktivitas yang tinggi. Hal ini terlihat dari efisiensi reproduksi yang tinggi pada tahun 2008, 2009, dan 2010 untuk angka service per

conception pejantan Brahman yaitu 1,8, 1,4, 1,3 dan pejantan Simmental yaitu 1,4,

1,5, 1,5, conception rate pejantan Brahman yaitu 46%, 69%, 71% dan pejantan Simmental yaitu 64%, 62%, 63%. Perbaikan calving interval dari 408 hari (tahun 2009) menjadi 372 hari (tahun 2010) dan calving rate (tahun 2009) dari 23% menjadi 84% (tahun 2010). Bangsa pejantan Simmental menyebabkan rataan bobot lahir pedet lebih tinggi dibandingkan rataan bobot lahir pedet yang disilangkan dengan pejantan Brahman. Namun, penggunaan bangsa pejantan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap rataan bobot sapih pedet.

Saran

(51)

39

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Alhamdulillah, penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan nikmat-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan studi ini. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabat-Nya.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto selaku dosen pembimbing utama dan Ibu Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si selaku dosen pembimbing anggota atas bimbingan, motivasi, ilmu, saran serta dukungan yang diberikan kepada penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir. Komariah, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc selaku dosen penguji serta Bapak M.Baihaqi S.Pt, M.Sc selaku panitia ujian sidang atas saran dan masukan yang diberikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si selaku pembimbing akademik atas motivasi dan ilmu yang diberikan kepada penulis. Terima kasih kepada Pimpinan PT LJP serta staf khususnya unit breeding

atas ilmu, motivasi dan izinnya untuk melakukan penelitian.

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda Zainuddin K. dan Ibunda Rosnani B. atas segala doa, kasih sayang, nasihat, dukungan moril dan materil yang tiada hentinya kepada penulis. Terima kasih kepada kakak Yudhistira Zainuddin dan istri Gladys R., adik Andi Permadi serta keluarga besar atas doa, kasih sayang dan dukungannya kepada penulis.

Terima kasih kepada Tantia Safitri dan Nailla Rachmawati selaku rekan penelitian atas bantuan serta kebersamaannya selama melakukan penelitian. Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat: The Phoenix, M. Wahyu Wahdini, Desi A, Riri S, Rahmadani S, Revy P, Mayang M, Ade F, T. Santi, Handa, Fuad H, Gina C, Diny S, Dewi A, BEM DRAGON, BEM KM GI, dan IKAMI SUL SEL. Terima kasih kepada rekan-rekan IPTP 44 atas bantuan dan kerjasamanya selama ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia peternakan.

Bogor, Agustus 2011

Gambar

Gambar 1.  Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : Arsip PT Lembu Jantan Perkasa)
Gambar 2. Peralatan Inseminasi Buatan di PT LJP Serang-Banten
Gambar 3. Tempat Pelaksanaan IB di PT LJP Serang-Banten
Gambar 4. Pemeriksaan Kebuntingan di PT LJP Serang-Banten
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bangunan kontruksi habitus Andi serta masyarakat dalam struktur sosial di pinrang saling terkait dan dibangkitkan kembali dalam proses kontestasi di arena pilkada.Adanya

Kompetensi profesional guru kewirausahaan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar yang indikatornyal antara lain meliputi : (1) Menguasai materi, struktur, konsep dan pola

Rendahnya tingkat indeks demokrasi di Sumatera barat dipengaruhi oleh tiga aspek yang diukur dengan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), yakni kebebasan Sipil

Akan tetapi, pada penelitian ini hanya sampai pada tahap develop (pengembangan) dikarenakan keterbatasan waktu peneliti. Sedangkan desain penelitian ini menggunakan

Abdul Momen, dalam wawancaranya dengan Benar News (2019) menyatakan bahwa setiap bulan Pemerintah Bangladesh harus mengeluarkan sekitar 300 juta dolar AS atau 3,6

Beberapa uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa stroke hemoragik adalah salah satu jenis stroke yang disebabkan karena pecahnya pembuluh darah otak yang menyebabkan

Strategi layanan BK yang dapat dilakukan untuk mengembangkan self- control siswa sekolah dasar adalah layanan dasar dengan strategi bimbingan kelompok, karena menurut

9 Hasan, Aplikasi Imkan al Ru’yah di Indonesia Perspektif Fiqh dan Astronom, ( at-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam vol 13 No