• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pemberian mi instan yang diperkaya provitamin A dari tepung wortel (Daucus carota L.) dan dari Red Palm Oil (RPO) terhadap pertumbuhan, efisiensi konsumsi ransum, status vitamin A, dan respon imun pada tikus percobaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh pemberian mi instan yang diperkaya provitamin A dari tepung wortel (Daucus carota L.) dan dari Red Palm Oil (RPO) terhadap pertumbuhan, efisiensi konsumsi ransum, status vitamin A, dan respon imun pada tikus percobaan"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

EFISIENSI KONSUMSI RANSUM, STATUS VITAMIN A, DAN

RESPON IMUN PADA TIKUS PERCOBAAN

LIDYA KARLINA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Provitamin A from Carrot Powder (Daucus carota L.) and from Red Palm Oil (RPO) on Growth, Feed Conversion Rate (FCR), Vitamin A Status and Immune Response in Sprague Dawley rats. Under direction of RIMBAWAN and SRI ANNA MARLIYATI

The objective of this study was to analyze the effect of intervention of instant noodle enriched with carotene as provitamin A from carrot and RPO intervention on consumption, body weight, Feed Conversion Rate (FCR), serum retinol concentration, liver retinol concentration and immune response in Sprague Dawley rats. Experimental design was applied in this study using rats (Sprague Dawley). The experimental rats were divided into three groups. These groups were assigned to different treatment categories: (1) a control group fed standard diet without noodles (n=12); (2) a group receiving standard diet and noodles enriched with β-carotene from carrot (n=12); (3) a group receiving standard diet and noodles enriched with β-carotene from Red Palm Oil (n=12). Standard diet and noodles were given daily during eighth weeks. Standard diet were given ad libitum in every group. The noodle were given at the top of standard diet as additional diet. Serum retinol concentration and liver retinol concentration were assessed at baseline and endline. Immune response (Imunoglobulin G serum concentration) were assessed every two weeks by killing the rats (n=3) every groups. Result showed that the RPO group had the highest β-carotene and vitamin A intake. On the other side, noodle made of carrot powder is an effective noodle in improving serum and liver retinol concentration.

(3)

dari Tepung Wortel (Daucus carota L.) dan dari Red Palm Oil (RPO) terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Konsumsi Ransum, Status Vitamin A, dan Respon Imun pada Tikus Percobaan. Dibimbing oleh RIMBAWAN dan SRI ANNA MARLIYATI

Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji pengaruh pemberian karoten sebagai provitamin A dari tepung wortel dan RPO yang ditambahkan pada mi instan terhadap pertumbuhan, efisiensi konsumsi ransum, status vitamin A, dan respon imun tikus percobaan. Tujuan khusus : (1) Mengkaji pengaruh pemberian mi instan wortel dan mi instan RPO terhadap konsumsi ransum tikus percobaan; (2) Mengkaji pengaruh pemberian mi instan wortel dan mi instan RPO terhadap bobot badan tikus percobaan; (3) Mengetahui Feed Conversion Rate (FCR) selama masa perlakuan pada tikus percobaan; (4) Mengkaji pengaruh pemberian mi instan wortel dan mi instan RPO terhadap konsentrasi retinol serum tikus percobaan; (5) Mengkaji pengaruh pemberian mi instan wortel dan mi instan RPO terhadap konsentrasi retinol hati tikus percobaan; (6) Mengkaji pengaruh pemberian mi instan wortel dan mi instan RPO terhadap Imunoglobulin G tikus percobaan.

Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan percobaan di laboratorium. Pada penelitian ini dilakukan pemberian mi instan yang telah diperkaya karoten yang berasal dari tepung wortel dan RPO kepada tikus selama 8 minggu. Formulasi mi wortel dan mi RPO diperoleh dari penelitian Rahayu (2009) dan Rucita (2010). Mi diletakkan di atas ransum standar dan diberikan secara ad libitum. Kemudian diamati bobot badan, retinol serum, retinol hati, dan respon imun tubuh tikus. Tikus dibagi dalam 3 kelompok perlakuan, yaitu sehat, usia sekitar 6-8 minggu (1,5-2 bulan) dengan bobot badan berkisar antara 75-105 gram, jenis kelamin jantan.

Tikus ditempatkan pada kandang per-individu, diadaptasi selama 7 hari. Setelah adaptasi selama 7 hari, hewan coba dipingsankan 6 ekor (masing-masing 2 ekor dari setiap perlakuan) secara acak untuk diambil darahnya untuk pemeriksaan retinol dan IgG serum awal. Pada hari ke delapan (hari pertama perlakuan) semua tikus disuntik dengan Tetanus Toksoid (TT) sebanyak 0,1 ml, untuk membangkitkan respon imun pada tubuh tikus. Selanjutnya setiap dua minggu 3 ekor tikus dari masing-masing kelompok perlakuan diambil secara acak untuk diambil darahnya untuk pemeriksaan IgG serum.

Hasil sidik ragam pada α=0,05 menunjukkan bahwa perlakuan

(4)

menunjukkan bahwa kelompok K paling besar mengonsumsi ransum standar (9,81±0,45 gr) dibandingkan kelompok SW (7,25±0,90 gr) dan SR (6,10±0,89 gr). Hasil uji Duncan juga menunjukkan bahwa kelompok K, kelompok SW dan kelompok SR mengonsumsi ransum standar dalam jumlah yang berbeda nyata.

Hasil uji Duncan konsumsi ransum standar tikus di minggu ke-8, menunjukkan bahwa kelompok K paling banyak mengonsumsi ransum standar (12,00±0,00 gr) dibanding kelompok SR (7,70±2,32 gr) dan kelompok SW (7,66±1,47 gr). Kelompok SR dan kelompok SW mengonsumsi ransum standar dengan jumlah tidak berbeda nyata.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata konsumsi mi baik mi RPO maupun mi wortel (p>0,05) di selang minggu ke-2, ke-4, ke-6, dan ke-8. Hal ini, diduga karena strategi peletakan mi yang berada di atas ransum standar, sehingga memungkinkan tikus untuk mengkonsumsi mi (mi RPO atau mi wortel) dahulu dibanding ransum standar sehingga hasilnya tidak berbeda nyata. Kisaran konsumsi mi selama penelitian pada kelompok SW yaitu 1,73-2,40 gram dan pada kelompok SR yaitu 1,91 – 2,40 gram.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap asupan β-karoten di setiap selang dua minggu pengamatan. Hasil uji lanjut Duncan asupan β-karoten tikus di selang minggu 2, minggu ke-4, minggu ke-6, dan minggu ke-8, menunjukkan bahwa kelompok SR mengkonsumsi paling banyak β-karoten (216,2±9,1 μg sampai 266,6±25,1 μg) dibandingkan kelompok SW (122,1±12,4 μg sampai 140,0±15,8 μg) dan kelompok K (106,0±4,9 μg sampai 129,6±0,0 μg).

Hasil sidik ragam pada α=0,05 menunjukkan bahwa perlakuan

memberikan pengaruh nyata terhadap asupan vitamin A setiap selang dua minggu pengamatan (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan asupan vitamin A tikus di selang minggu ke-2, minggu ke-4, minggu ke-6, dan minggu ke-8, menunjukkan bahwa kelompok SR mengkonsumsi paling banyak vitamin A (283±17 IU sampai 352 ±14 IU) dibandingkan kelompok SW (115±15 IU sampai 142±9 IU) dan kelompok K (59±3 IU sampai 72±0 IU).

Sidik ragam pada α=0,05 menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata kenaikan bobot badan antar perlakuan setiap selang dua minggu pengamatan (p>0,05). Rata-rata bobot badan selama penelitian pada kelompok K berada pada kisaran 38,38-133,97 gram, kelompok SW yaitu 44,76-115,00 gram, dan kelompok SR yaitu 48,25-104,23 gram.

Feed Conversion Rate (FCR) merupakan nilai rasio antara pertumbuhan barat badan tikus dan konsumsi ransumnya pada masing-masing kelompok perlakuan. Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata FCR antar kelompok tikus selama masa perlakuan untuk pengamatan di selang minggu ke-2, minggu ke-4, minggu ke-6, dan minggu ke-8 (p>0,05). Hal ini berhubungan dengan rata-rata berat badan yang tidak berpengaruh nyata.

Data hasil pengamatan retinol serum awal kelompok K, SW, dan SR yaitu

(5)

Kadar retinol hati semua perlakuan meningkat pada akhir penelitian dengan jumlah peningkatan terbesar pada kelompok SW yaitu sebesar (6726,79

μg/dl). Hasil sidik ragam, menunjukkan bahwa retinol hati awal tikus berbeda nyata (p<0,05) (baseline). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kelompok SR mempunyai cadangan retinol dalam hati lebih besar yaitu 2983,97±410,67

μg/dl dan berbeda nyata (P=0,00) dengan kelompok SW (2119,45±271,77 μg/dl). Kelompok SW mempunyai cadangan retinol dalam hati yang lebih besar (2119,45±271,77 μg/dl) dan berbeda nyata (P=0,00) dengan kelompok K

(962,42±61,46 μg/dl).

Perlakuan memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap retinol hati akhir tikus percobaan (endline). Hasil uji lanjut Duncan retinol hati akhir menunjukkan bahwa kelompok SW mempunyai cadangan retinol dalam hati akhir lebih besar (8846,2433±318,914 μg/dl) dan berbeda nyata (P=0,00) dengan kelompok SR (6222,55±1075,99 μg/dl). Kelompok SR mempunyai cadangan retinol hati lebih besar (6222,55±1075,99 μg/dl) dan berbeda nyata (P=0,00) dengan kelompok K (2336,77±1017,67 μg/dl).

Perlakuan memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan retinol hati (delta). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kelompok SW mengalami peningkatan retinol hati lebih besar (6726,79±520,57 μg/dl) dan berbeda nyata (P=0,00) dengan kelompok SR (3238,58±1395,45 μg/dl) dan kelompok K (1374,3517±959,43 μg/dl). Menurut uji lanjut Duncan, kelompok SR dan kelompok K mengalami peningkatan retinol hati yang tidak berbeda nyata.

(6)

EFISIENSI KONSUMSI RANSUM, STATUS VITAMIN A, DAN

RESPON IMUN PADA TIKUS PERCOBAAN

LIDYA KARLINA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)

Oil (RPO) terhadap Pertumbuhan, Efisiensi Konsumsi Ransum, Status Vitamin A, dan Respon Imun pada Tikus Percobaan

Nama Mahasiswa : Lidya Karlina NRP : I14051725

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Rimbawan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi NIP. 19620406 198603 1 002 NIP. 19600205 198903 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, kekuatan, hidayah, dan kasih sayang-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Pengaruh pemberian mi instan yang diperkaya provitamin A dari tepung wortel (Daucus carota L.) dan dari Red Palm Oil (RPO) terhadap pertumbuhan, efisiensi konsumsi ransum, status vitamin A, dan respon

imun pada tikus percobaan” dapat diselesaikan. Tidak lupa shalawat dan salam tercurah selalu pada junjungan Nabi Muhammad SAW. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Rimbawan dan Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi selaku pembimbing skripsi yang senantiasa sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam melaksanakan penelitian sampai menyelesaikan penulisan skripsi.

2. drh. Endi Ridwan yang telah membimbing dan membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian di Puslitbang Gizi dan Makanan, Depkes, Bogor. 3. Leily Amalia Furkon, STP, MSi selaku dosen pemandu seminar dan dosen

penguji skripsi, atas saran dan perbaikan untuk penyempurnaan skripsi ini. 4. Mama, papa, adik dan keluarga besar tercinta yang senantiasa memberikan

doa, dukungan dan semangat tiada henti dan penuh kasih sayang.

5. Tim penelitian payung Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi, Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD dan Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, yang telah mengizinkan dan mempercayakan penulis untuk ikut dalam melakukan penelitian.

6. Rekan satu payung penelitian (Mega Pramudita Rahayu, Neysa Rucita, Fitria Dwinanda, Joffa Gusthianza, Guntari Prasetya) yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam persiapan, pelaksanaan, dan berdiskusi tentang penelitian.

7. Yudhy yang selalu memberi semangat, motivasi, saran, dan ketenangan serta selalu ada saat kondisi suka dan duka sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.

8. Pak Mashudi atas bantuan dan saran yang diberikan selama penelitian ini. Tak lupa kepada para laboran Puslitbang Gizi dan Departemen Gizi Masyarakat terimakasih atas segala bantuannya.

(9)

10. Sahabat (Rakhma, Iin, Delina, Yulaika, Desy, dan Wartha) yang setia menemani, memberi semangat dengan penuh perhatian.

11. Teman-teman kos Pondok Annisa (Wulan, Fela, Santi) yang selalu memberi semangat dan perhatian.

12. Para pengajar dan staf tata usaha atas segala bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

13. Teman-teman GM 42, 43, dan 44 serta GM 45 yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

14. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua peminat gizi.

Bogor, Februari 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

2005. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) IPB periode 2007-2008 sebagai anggota divisi klub organoleptik dan Badan konsultasi Gizi (BKG) mulai tahun 2008. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti Masa Perkenalan Departemen Gizi Masyarakat (OXYGEN) (2008),

Seminar “The Power of Diet” (2009), panitia Hari Penglepasan Wisuda (HPS) Program Studi Gizi Masyarakat, dan panitia pada peluncuran Biosketsa Prof. Muhilal dan Seminar Global Nutrition and Health Going Forward oleh Prof. Alfred Sommer (2009).

Penulis juga pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa di bidang Kewirausahaan (PKMK) dan didanai oleh Dinas Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan judul “Peningkatan Mutu Susu Kedelai Dengan Fortifikasi Kalium yang Berasal dari Pisang” pada tahun 2007, peserta pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Industri Makanan dan Jasa Makanan serta Pengenalan ISO 22000-2005 tentang Standar Baru Keamanan Pangan.

Selama perkuliahan, penulis pernah mendapatkan beasiswa SPP++ pada tahun 2007, beasiswa Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM), dan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM).

(11)

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian

(12)

DAFTAR ISI

Klasifikasi Status dan Kekurangan Vitamin A ... 8

Metabolisme, Transport, dan Ekskresi Vitamin A ... 9

Penilaian Status Vitamin A ... 10

Karotenoid ... 11

Definisi dan Karakteristik ... 11

Karotenoid sebagai Provitamin A ... 13

Wortel (Daucus carota, L) ... 14

Definisi dan Klasifikasi... 14

Komponen Kimia dan Kandungan Gizi Wortel ... 14

Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil) ... 16

(13)

Sistem Imunitas ... 20

Pembuatan dan Pemberian Ransum Standar ... 28

Ransum Mi ... 28

Penyiapan Hewan Percobaan ... 28

Pembuatan Ransum Standar ... 29

Pengukuran Bobot Badan Hewan Percobaan ... 29

Bobot Badan Hewan Percobaan ... 29

Pemeriksaan Retinol Serum, Retinol Hati, dan imunoglobulin G ... 29

Pengambilan Darah dan Purifikasi Serum Darah ... 29

Pengambilan Hati Tikus ... 31

Bobot Badan Hewan Percobaan ... 40

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perbandingan interkonversi unit vitamin A dan karotenoid ... 7

2. Angka kecukupan vitamin A anak-anak ... 7

3. Klasifikasi status vitamin A ... 8

4. Kandungan Vitamin A pada pangan ... 12

5. Jenis-jenis karotenoid dan aktivitas provitamin A ... 13

6. Kandungan zat gizi wortel per 100 g berat basah ... 15

7. Komponen kimia CPO dibandingkan dengan minyak nabati lain ... 17

8. Komponen fisiko kimia CPO dan RPO ... 18

9. Kandungan vitamin A pada pangan ... 18

10. Kandungan zat gizi dan serat pangan mi instan wortel ... 19

11. Kandungan gizi mi instan RPO ... 20

12. Komposisi ransum standar tikus percobaan per 1 kg ... 32

13. Kandungan Zat Gizi Ransum Standar per 100 gram ... 32

14. Komposisi ransum mi wortel per 100 gr tepung ... 35

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Struktur kimia vitamin A dalam bentuk retinol ... 5

2. Struktur kimia β-karoten ... 13

3. Wortel tipe Chantenay, Imperator, dan Nantes ... 14

4. Kelapa Sawit ... 16

5. CPO ... 16

6. Gambaran umum sistem imun ... 21

7. Tikus percobaan dan kandang ... 29

8. Skema alur penelitian ... 30

9. Rata-rata konsumsi ransum standar ... 33

10. Rata-rata jumlah konsumsi mi ... 34

11. Rata-rata konsumsi setiap jenis ransum per hari ... 36

12. Jumlah total konsumsi ransum (standar+mi) per hari ... 36

13. Rata-rata asupan β-karoten setiap jenis ransum per hari ... 37

14. Jumlah total asupan β-karoten per hari ... 37

15. Rata-rata asupan vitamin A dari setiap jenis ransum per hari ... 39

16. Total asupan vitamin A per hari ... 39

17. Rata-rata kenaikan bobot badan tikus ... 40

18. FCR semua kelompok perlakuan selama masa perlakuan ... 42

19. Rata-rata retinol serum tikus (awal, akhir, dan delta) ... 43

20. Rata-rata retinol hati tikus (awal, akhir, dan delta) ... 44

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Pembuatan Ransum Standar Tikus ... 57

2. Prosedur Ekstraksi Plasma Tikus ... 58

3. Prosedur Ekstraksi Hati Tikus ... 59

4. Prosedur Analisis Kadar Imunoglobulin G (IgG) Serum ... 60

5. Prosedur Analisis Kadar Retinol Serum ... 61

6. Hasil sidik ragam konsumsi ransum standar sampai minggu ke-2 ... 62

7. a. Hasil sidik ragam konsumsi ransum standar sampai minggu ke-4 . 62 b. Hasil uji lanjut Duncan konsumsi ransum standar sampai minggu ke-4 ... 62

8. a. Hasil sidik ragam konsumsi ransum standar sampai minggu ke-6 . 63 b. Hasil uji lanjut Duncan konsumsi ransum standar sampai minggu ke-6 ... 63

9. a. Hasil sidik ragam konsumsi ransum standar sampai minggu ke-8 . 63 b. Hasil uji lanjut Duncan konsumsi ransum standar sampai minggu ke-8 ... 64

10. Hasil sidik ragam konsumsi ransum mi sampai minggu ke-2 ... 64

11. Hasil sidik ragam konsumsi ransum mi sampai minggu ke-4 ... 64

12. Hasil sidik ragam konsumsi ransum mi sampai minggu ke-6 ... 65

13. a. Hasil sidik ragam asupan β-karoten sampai minggu ke-2 ... 65

b. Hasil uji lanjut Duncan asupan β-karoten sampai minggu ke-2 ... 65

14. a. Hasil sidik ragam asupan β-karoten sampai minggu ke-4 ... 66

b. Hasil uji lanjut Duncan asupan β-karoten sampai minggu ke-4 ... 66

15. a. Hasil sidik ragam asupan β-karoten sampai minggu ke-6 ... 66

b. Hasil uji lanjut Duncan asupan β-karoten sampai minggu ke-6 ... 67

16. a. Hasil sidik ragam asupan β-karoten sampai minggu ke-8 ... 67

b. Hasil uji lanjut Duncan asupan β-karoten sampai minggu ke-8 ... 67

17. a. Hasil sidik ragam asupan vitamin A sampai minggu ke-2 ... 67

b. Hasil uji lanjut Duncan asupan vitamin A sampai minggu ke-2 ... 68

18. a. Hasil sidik ragam asupan vitamin A sampai minggu ke-4 ... 68

b. Hasil uji lanjut Duncan asupan vitamin A sampai minggu ke-4 ... 68

19. a. Hasil sidik ragam asupan vitamin A sampai minggu ke-6 ... 69

(18)

20. a. Hasil sidik ragam asupan vitamin A sampai minggu ke-8 ... 69

b. Hasil uji lanjut Duncan asupan vitamin A sampai minggu ke-8 ... 70

21. Hasil sidik ragam pertambahan bobot badan ... 70

a. Selisih antara minggu ke-2 dengan minggu ke-0 ... 70

b. Selisih antara minggu ke-4 dengan minggu ke-0 ... 70

c. Selisih antara minggu ke-6 dengan minggu ke-0 ... 71

d. Selisih antara minggu ke-8 dengan minggu ke-0 ... 71

22. Hasil sidik ragam FCR sampai minggu ke-2 ... 71

23. Hasil sidik ragam FCR sampai minggu ke-4 ... 72

24. Hasil sidik ragam FCR sampai minggu ke-6 ... 72

25. Hasil sidik ragam FCR sampai minggu ke-8 ... 73

26. Hasil sidik ragam konsentrasi retinol serum awal ... 73

27. Hasil sidik ragam konsentrasi retinol serum akhir ... 73

28. Hasil sidik ragam peningkatan (delta) konsentrasi retinol serum ... 74

29. a. Hasil sidik ragam konsentrasi retinol hati awal ... 74

b. Hasil uji lanjut Duncan konsentrasi retinol hati awal ... 75

30. a. Hasil sidik ragam konsentrasi retinol hati akhir ... 75

b. Hasil uji lanjut Duncan konsentrasi retinol hati akhir ... 75

31. a. Hasil sidik ragam peningkatan (delta) konsentrasi retinol hati ... 75

b. Hasil uji lanjut Duncan peningkatan (delta) konsentrasi retinol hati 76 32. Hasil sidik ragam Imunoglobulin G (IgG) serum minggu ke-0 ... 76

33. Hasil sidik ragam Imunoglobulin G (IgG) serum minggu ke-2 ... 76

34. Hasil sidik ragam Imunoglobulin G (IgG) serum minggu ke-4 ... 77

35. Hasil sidik ragam Imunoglobulin G (IgG) serum minggu ke-6 ... 77

36. Hasil sidik ragam Imunoglobulin G (IgG) serum minggu ke-8 ... 78

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah kurang gizi masih menjadi bagian dari kompleksitas permasalahan yang terdapat di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Masalah gizi merupakan masalah yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia yang dapat mempengaruhi produktivitas dan keberlangsungan pembangunan suatu negara. Salah satu masalah kurang gizi adalah kekurangan vitamin A (KVA).

Vitamin A merupakan salah satu zat gizi mikro yang penting, walaupun diperlukan tubuh dalam jumlah terbatas. Vitamin A sangat diperlukan untuk proses penglihatan, diferensiasi sel-sel epitel, pertumbuhan dan reproduksi (Linder 2006). Kekurangan Vitamin A (KVA) menyebabkan kegagalan dalam fungsi sistemik, yang dicirikan dengan kelainan perkembangan janin, anemia, dan lemahnya fungsi imun. KVA juga dapat menyebabkan keratinisasi pada mukosa membran yang melapisi saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran urinari, kulit dan epitelium pada mata (Mahan & Stump 2004).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization

(WHO) dinyatakan bahwa KVA diderita oleh sekitar 40% populasi dunia, terutama wanita hamil atau menyusui dan anak dibawah lima tahun. Lebih dari 127 juta anak di dunia mengalami ketidakcukupan asupan Vitamin A (West 2002). Salah satu indikator KVA sebagai masalah kesehatan masyarakat menurut WHO adalah jika prevalensi xeroftalmia (X1B) lebih dari sama dengan

0,5% (≥0,5%) atau lebih dari 0,5% (>0,5%)populasi memiliki kadar serum retinol dibawah 20 µg/dl. Indikator lain untuk mengetahui KVA adalah xerofthalmia buta senja. Menurut WHO jika prevalensi xerofthalmia buta senja lebih dari sama dengan 1,0% dari populasi, maka populasi tersebut dikatakan memiliki masalah kesehatan. Hasil studi masalah gizi mikro di Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kadar serum vitamin A balita rata-rata hanya 11 μg/dl dengan prevalensi Xeroftalmia Buta Senja (XN) sebesar 1,18% (Herman 2006). Hal ini menunjukkan bahwa KVA masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

(20)

prasekolah di negara berkembang selama tiga dekade terakhir (Maqsood 2004). Hal yang sama diungkapkan oleh Semba (2002) bahwa KVA merupakan penyebab utama meningkatnya tingkat kesakitan dan kematian di seluruh dunia terutama di negara berkembang. WHO melaporkan bahwa terdapat 254 juta anak memiliki risiko defisiensi vitamin A dan 50%-nya dari Asia Tenggara (Paracha et al 2000).

Menurut Ahmed dan Hill (2005), lebih kurang 150 juta anak menghadapi peningkatan risiko kematian akibat penyakit infeksi yang disebabkan oleh status vitamin A yang tidak memadai karena vitamin A berperan pula dalam fungsi imunitas dan penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat peran vitamin A yang beranekaragam dalam banyak aspek dari imunitas. Kondisi KVA dapat mempengaruhi sistem imunitas salah satunya berkurangnya respon antibodi IgG terhadap toksin tetanus.

Mengingat pentingnya vitamin A, maka kecukupan konsumsi vitamin A dan prekursornya harus dipenuhi. Salah satu upayanya yaitu dengan penambahan karoten sebagai prekursor vitamin A ke dalam makanan yang

Wortel merupakan salah satu komoditas hortikultura dari kelompok sayur-sayuran yang potensial bagi kesehatan masyarakat. Produksi wortel di Indonesia cukup melimpah. Menurut data Badan Pusat Statistik (2007) produksi wortel di Indonesia mencapai 409.465 ton dengan 192.964 ton wortel merupakan hasil produksi dari Provinsi Jawa Barat. Wortel terkenal sebagai sumber provitamin A karena kandungan β-karoten yang tinggi. Kandungan karoten wortel mencapai 2000 µg RE/100 g BDD (Ball 1988).

(21)

(Ketaren 2008). Pemurnian tersebut menghasilkan Red Palm Oil (RPO) atau Minyak Sawit Merah (MSM) yang diproses secara minimal sehingga nilai karotennya masih tinggi. RPO memiliki kandungan vitamin A (dari β-karoten) 15 kali lebih tinggi dibandingkan wortel dan 300 kali dari tomat (Ball 1988).

Di Indonesia, salah satu pangan yang potensial untuk ditingkatkan kandungan karotennya adalah mi instan. Mi instan dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan utama. Selain harganya yang terjangkau dan mudah didapat, mi instan sangat populer dan banyak dikonsumsi baik sebagai makanan utama maupun sebagai makanan selingan yang disukai oleh masyarakat dari semua kalangan. Data SUSENAS tahun 1999-2002 (SUSENAS 2002) menunjukkan bahwa konsumsi mi di Indonesia mengalami peningkatan dari 3,1 Kg/Kap/thn menjadi 4,3 Kg/Kap/thn. Oleh karena itu, melalui studi ini mi instan diperkaya mutu gizinya dengan penambahan tepung wortel dan RPO sebagai sumber provitamin A alami sehingga dapat dijadikan sebagai pangan pembawa alternatif untuk menanggulangi masalah KVA. Suatu studi menyebutkan bahwa RPO yang diberikan dalam jumlah kecil dengan frekuesi sering selama satu tahun, sangat efektif dalam menurunkan KVA (Zeba et al 2006).

Penambahan RPO dan tepung wortel sebagai sumber provitamin A alami ke dalam pangan harus dapat dimanfaatkan secara biologis. Evaluasi biologis penting dilakukan terhadap produk untuk mengetahui retensi dan efek dari zat-zat gizi yang ditambahkan, seperti kadar retinol serum, retinol hati, dan respon imun. Penelitian tentang peranan vitamin A terhadap fungsi imunitas menunjukkan bahwa vitamin A mempunyai peranan penting dalam pengaturan fungsi imun dan respon antibodi humoral (Wintergerst et al 2007). Selain itu, evaluasi biologis juga dapat memperkuat klaim terhadap produk tentang manfaat dari zat gizi yang ditambahkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan evaluasi biologis mengenai vitamin A dalam tubuh tikus percobaan.

Tujuan

Tujuan Umum

(22)

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji pengaruh pemberian mi instan wortel dan mi instan RPO terhadap konsumsi ransum tikus percobaan.

2. Mengkaji pengaruh pemberian mi instan wortel dan mi instan RPO terhadap bobot badan tikus percobaan.

3. Mengetahui Feed Conversion Rate (FCR) selama masa perlakuan pada tikus percobaan.

4. Mengkaji pengaruh pemberian mi instan wortel dan mi instan RPO terhadap konsentrasi retinol serum tikus percobaan.

5. Mengkaji pengaruh pemberian mi instan wortel dan mi instan RPO terhadap konsentrasi retinol hati tikus percobaan.

6. Mengkaji pengaruh pemberian mi instan wortel dan mi instan RPO terhadap Imunoglobulin G tikus percobaan.

Kegunaan Penelitian

1. Memberi informasi kepada masyarakat tentang kemungkinan penggunaan

mi wortel dan mi RPO sebagai salah satu pangan alternatif sumber β -karoten.

2. Memberi masukan kepada instansi terkait mengenai pemanfaatan tepung wortel dan minyak sawit merah (Red Palm Oil/RPO) dalam program pencegahan dan penanggulangan Kekurangan Vitamin A (KVA).

3. Sebagai upaya untuk mengurangi prevalensi Kekurangan Vitamin A (KVA). 4. Memberikan bukti ilmiah pengaruh penambahan karoten pada mi terhadap

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Vitamin A

Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Secara luas, vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan prekursor atau provitamin A atau karotenoid yang mempunyai aktivitas biologis sebagai retinol (Almatsier 2005). Vitamin A adalah sekelompok senyawa organik kompleks yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil tetapi sangat penting untuk pertumbuhan dan kesehatan. Pada umumnya keberadaan vitamin tidak dapat disintesis dari dalam tubuh, sehingga untuk mendapatkan jumlah vitamin yang cukup harus diperoleh dari asupan makanan (Almatsier 2005).

Pada makanan, vitamin A biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu: retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk asam) (Almatsier 2005).

Vitamin A sendiri tidak terdapat di dalam tumbuhan tetapi banyak tanaman yang mengandung senyawa isoprenoid, dikenal sebagai karotenoid yang dapat diubah secara enzimatik menjadi vitamin A atau dikenal sebagai provitamin A (Lehninger 1992). Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat dalam pangan hewani. Bentuk aktif vitamin A yang utama secara fisiologis adalah retinaldehida dan asam retinoat, keduanya merupakan turunan dari retinol (Bender 2003).

Bentuk vitamin A yang paling umum dan paling aktif adalah all-trans-retinol. All-trans-retinol terdiri dari cincin β-ionon yang menempel pada atom C-6 pada sisi rantai yang disusun dua unit isoprena tidak jenuh (Ball 1988). Struktur kimia vitamin A dalam bentuk retinol disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kimia vitamin A dalam bentuk retinol

(24)

2005). Ball (1988) menyatakan bahwa vitamin A dalam bentuk tidak teresterifikasi mudah teroksidasi oleh oksigen membentuk 5,6 – epoxide bersamaan dengan produk oksidasi. Asetat dan ester palmitat dari vitamin A lebih stabil terhadap oksidasi dibandingkan dengan alkohol bebas. Sebagian besar vitamin A disimpan di dalam hati dengan kisaran antara 100 – 1000 µg per gram jaringan (Olson 1991).

Fungsi Vitamin A

Fungsi vitamin A adalah untuk penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi sel, reproduksi dan integritas dari sistem kekebalan tubuh (Calder et al. 2002). Vitamin A berperan dalam diferensiasi sel termasuk sel kornea dan membran konjungtiva, sehingga mencegah terjadinya xerophalmia, dan untuk

photoreseptor sel rod (batang) dan cone (kerucut) dari retina (Wintergrest et al. 2002). Vitamin A dapat mendorong diferensiasi sel epitel, mendorong kelangsungan hidup sistem reproduktif, utilisasi siklus penglihatan. Sel epitel yang melapisi permukaan mukosa merupakan benteng pertahanan mekanis yang penting terhadap antigen (Brody 1999).

Menurut Ball (2004), vitamin A dibutuhkan untuk beberapa proses esensial di dalam tubuh seperti metabolisme, hematopoiesis, pengaturan diferensiasi sel epitel, dan berperan dalam sistem imun. Proses tersebut dapat didukung dengan semua bentuk vitamin A, termasuk karotenoid provitamin A. Proses lainnya yang terkait dengan fungsi vitamin A adalah reproduksi dan penglihatan yang membutuhkan retinol dan retinaldehid (Ball 2004). Retinol memiliki peranan yang sangat penting dalam penglihatan normal karena daya penglihatan mata sangat tergantung oleh adanya rodopsin, suatu pigmen yang mengandung retinol (Winarno 1997).

(25)

Satuan dan Kecukupan Vitamin A

Penentuan kadar vitamin A dalam pangan perlu memperhatikan jumlah vitamin A yang aktif. Aktivitas vitamin A bahan makanan biasanya dinyatakan sebagai retinol ekuivalen (Winarno 1997). Pada hewan, vitamin A terdapat secara berlimpah dalam hati, dan pada umumnya disimpan dalam bentuk alkohol bebas atau teresterifikasi. Pada tanaman dan fungi, aktivitas vitamin A terdapat di dalam sejumlah karotenoid yang selama metabolisme dikonversi menjadi vitamin A setelah penyerapan (Muchtadi et al 1993).

Institute of Medicine (2001) memperkenalkan suatu konsep baru tentang

retinol activity equivalents (RAE). Pada konsep RAE, aktifitas vitamin A yang berasal dari karotenoid provitamin A adalah setengahnya dari aktifitas vitamin A dalam satuan RE (Tabel 1). Perubahan nilai ekuivalen ini didasarkan pada hasil

penelitian bahwa aktivitas vitamin A dari β-karoten pada minyak hanyalah setengahnya. Perbandingan interkonversi unit vitamin A dan karotenoid dalam satuan E dan RAE disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan interkonversi unit vitamin A dan karotenoid

NRC (1989) * IOM (2001) **

1 Retinol Equivalent (μg RE) = 1 μg all-trans-retinol

= 2 μg supplemen all-trans- β -karoten = 6 μg all-trans-β-karoten dari makanan =12 μg karotenoid provitamin A lainnya dari makanan

Pada setiap golongan umur dan jenis kelamin memiliki kecukupan vitamin A berbeda-beda. Banyaknya vitamin A yang dibutuhkan oleh orang dewasa lebih tinggi daripada yang dibutuhkan oleh anak-anak. Pada anak-anak, yaitu golongan usia 1-8 tahun kebutuhan vitamin A berkisar antara 400-450 RAE seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Angka kecukupan vitamin A anak-anak

Golongan Umur µg REa µg RAEb

1-3 thn 400 300

4-8 thn 450 400

(26)

Kebutuhan gizi seseorang akan vitamin A bergantung pada sejumlah faktor yang saling berhubungan, termasuk umur, kecepatan pertumbuhan, jenis kelamin, efisiensi penyerapan dan penyimpanan, efisiensi pengangkutan oleh plasma dan status kesehatan secara keseluruhan. Seperti misalnya kecepatan pertumbuhan yang rendah untuk suatu umur tertentu secara nyata akan menurunkan kebutuhan, sedangkan parasit pencernaan, kekurangan gizi dan penyakit saluran pencernaan, hati serta ginjal akan meningkatkan kebutuhan akan vitamin A. Dengan demikian, untuk mengetahui besarnya kebutuhan secara nyata sulit diduga, namun para ahli berupaya untuk mencari jalan keluarnya, yang dikenal dengan RDA (Recommended Dietary allowance).

Klasifikasi Status dan Kekurangan Vitamin A

Status vitamin A seseorang dapat diklasifikasikan berdasarkan kandungan vitamin A dalam serum darah. Behman dan Victor (1988) menyatakan kadar normal retinol pada bayi adalah 20-50 µg/dl sedangkan bagi anak-anak dan orang dewasa 30-225 µg/dl. Seseorang dikatakan kekurangan vitamin A jika kadar vitamin A dalam serumnya < 20 µg/dl (Sommer & West 1996). WHO mengajukan bahwa jumlah prevalensi suatu populasi yang memiliki konsentrasi retinol serum sebesar < 0,07 µmol/L atau < 20 µg/dl digunakan untuk mengindikasikan adanya masalah kesehatan pada suatu masyarakat. Status vitamin A dikategorikan menjadi empat yaitu defisiensi vitamin A, rendah (marginal), normal (cukup), dan berlebih. Klasifikasi status vitamin A disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi status vitamin A

Status vitamin A Kadar Serum

µg/dl µmol/liter

Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kesakitan dan kematian bagi setiap orang di dunia, terutama pada balita, anak-anak, dan wanita di negara berkembang. KVA dapat disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin A ataupun kurangnya ketersediaan provitamin A (Miller et al 2002).

(27)

gangguan penyerapan dan penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat, ataupun karena gangguan konversi karoten menjadi vitamin A (Almatsier 2005).

Kekurangan vitamin A pada tahap awal, terjadi gangguan pada integritas sel epitel dan kemudian mengganggu sistem imun, selanjutnya diikuti gangguan pada sistem penglihatan. Dalam keadaan kekurangan vitamin A, integritas mukosa epitel terganggu, hal ini sebagian besar disebabkan oleh hilangnya sel goblet penghasil mukus. Konsekuensinya adalah meningkatkan kerentanan terhadap kuman patogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian bahwa anak-anak dengan KVA, menderita penyakit saluran nafas (Karyadi et al. 2002; Long et al 2006).

Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati, lipoproteinemia, atau gangguan absorpsi karena kekurangan asam empedu (Almatsier 2005). Asupan lemak yang rendah mengakibatkan penyerapan vitamin A yang rendah (Wiseman (2002), asupan protein yang rendah mengakibatkan kekurangan protein pengangkut serta penurunan konsentrasi vitamin A dalam plasma (Behrman dan Victor 1988).

Kekurangan vitamin A dapat mempengaruhi aspek imunitas diantaranya adalah ekspresi keratin dalam saluran pernapasan, saluran genitourinari dan permukaan okular yang abnormal, berkurangnya jumlah silia dari sel epitel dalam saluran pernapasan, kehilangan mikrovili usus kecil, penurunan sel goblet dan produksi musin pada epitel mukosa, fungsi neutrofil yang abnormal; kegagalan proses haematopoiesis, penurunan jumlah dan fungsi sel limfosit B, kegagalan respon antibodi (Semba 2002).

Metabolisme, Transport, dan Ekskresi Vitamin A

Proses metabolisme vitamin A secara keseluruhan dapat digambarkan oleh dua fungsi biologis utama yaitu menyediakan jumlah retinoid yang cukup untuk jaringan di tubuh yang digunakan dalam produksi asam retinoat untuk proses diferensiasi jaringan dan ekspresi gen, dan menyediakan retinol untuk produksi 11-cis-retinal yang berada dalam retina (Ross & Harison 2007).

(28)

usus halus dipecah menjadi retinol (Almatsier 2005). Dalam mukosa intestinal, β

-karoten dikonversi menjadi retinal dengan bantuan enzim beta -karotenoid 15,15’

dioksigenase, kemudian direduksi menjadi retinol dan diesterifikasikan dan diikat ke dalam kilomikron dan dibawa ke saluran darah melalui sirkulasi limfa (getah bening). Ester dan karotenoid yang tidak berubah membentuk kilomikron, ditransportasikan melalui sistem limfa ke hati sebagai cadangan/simpanan. Dalam keadaan normal, sebagian besar (90%) vitamin A disimpan di dalam hati dalam bentuk retinil ester, sedangkan sisanya ditemukan dalam hampir seluruh jaringan, seperti lemak badan, adrenal korteks, dan kulit (Semba 2002).

Hati mempunyai kemampuan menyimpan vitamin A yang cukup untuk beberapa bulan. Kapasitas penyimpanan pada anak-anak lebih kecil dibanding dengan orang dewasa. Bersama-sama dengan Retinol Binding Protein (RBP) dan transtiretin, retinol keluar dari hati (Semba 2002).

Pengambilan retinol oleh berbagai sel tubuh bergantung pada reseptor pada permukaan membran yang spesifik untuk RBP. Retinol kemudian diangkut melalui membran sel untuk kemudian diikatkan pada Cellular Retinol Binding Protein (CRBP) dan RBP kemudian dilepaskan (Almatsier 2005). Menurut Almatsier (2005), bila tubuh mengalami kekurangan konsumsi vitamin A, asam retinoat diabsorpsi tanpa perubahan. Asam retinoat merupakan sebagian kecil dari vitamin A dalam darah yang aktif dalam diferensiasi sel dan pertumbuhan.

Retinol dimetabolisme dalam hati menjadi beberapa produk, diantaranya yaitu glucoronic acid atau taurine untuk diekskresikan dalam empedu (Sporn et al

1984 dalam IOM 2001). Jumlah metabolit Vitamin A yang diekskresikan dalam empedu akan meningkat bila konsentrasi vitamin A dalam hati sudah berlebihan. Ini merupakan mekanisme perlindungan untuk mengurangi resiko bahaya dari cadangan vitamin A yang berlebihan di hati (Hicks et al 1984 dalam IOM 2001). Penilaian Status Vitamin A

Penentuan status vitamin A dilakukan untuk melihat kadar vitamin A dalam tubuh seseorang. Tubuh menyimpan vitamin A di hati dalam bentuk retinil ester. Pengukuran cadangan vitamin A dalam hati merupakan indeks terbaik untuk mengetahui status vitamin A, disamping konsentrasi retinol serum (Gibson 2005).

(29)

asupan lemak yang rendah dalam makanan, misalnya asupan kurang dari 5-10 g/hari akan mengganggu absorpsi provitamin A (karoten) dan pada jangka panjang menurunkan konsentrasi retinol. Kurang energi protein dapat menurunkan apo-RBP, kekurangan zink dapat menurunkan kadar retinol karena peranannya dalam sintesa hepatik atau sekresi RBP (Gibson 2005). Retinol serum dapat ditentukan dengan spektrofotometri atau menggunakan HPLC (High Perfomance Liquid Chromatography). HPLC dapat membedakan retinol dari retinil ester sedangkan metode lain hanya mengukur total serum vitamin A (Dee Pee dan Diary 2002).

Konsentrasi vitamin A dalam hati bervariasi tergantung dari asupan makanan. Ketika asupan vitamin A cukup, lebih dari 90% total vitamin A tubuh berada di hati (Raica et al 1972 dalam IOM 2001) dalam bentuk retinil ester (Schindler et al 1988 dalam IOM 2001) yang terkonsentrasi dalam droplet

perisinusoidal stellate cells (Hendriks et al 1985 dalam IOM 2001). Di negara berkembang dengan prevalensi KVA yang tinggi, konsentrasi biopsi hati contoh

berkisar 17 sampai 141 μg/g hati (Flores and the de Araujo 1984; Haskell et al

1997 dalam IOM 2001). Konsentrasi sedikitnya 20 μg retinol/g hati pada dewasa

merupakan level yang minimal (Olson 1982 dalam IOM 2001). Rata-rata simpanan vitamin A hati pada anak-anak (1 sampai 10 tahun) dilaporkan sebesar

171 sampai 723 μg/g hati (Flores and the de Araujo 1984 dalam IOM 2001),

sedangkan rata-rata simpanan vitamin A hati pada bayi lebih rendah yaitu dari 0

sampai 320 μg/g hati (Flores and the de Araujo 1984 dalam IOM 2001).

Efisiensi simpanan vitamin A di hati akan rendah bersamaan dengan semakin rendahnya status vitamin A. Persentasi simpanan vitamin A tubuh total akan berkurang rata-rata 0,5% setiap hari pada dewasa yang tidak mengkonsumsi vitamin A dalam makanannya (Sauberlich et al 1974 dalam IOM 2001).

Karotenoid

Definisi dan Karakteristik

(30)

dan likopen); (2) Monohydroxycarotenoid (β-kriptoxantin); (3)Dihydroxycarotenoid

(lutein, zeaxanthin) (Bender 2003). Karotenoid dibagi menjadi dua kelompok, yaitu karoten atau hydrocarotenoids, yang mengandung karbon dan hidrogen dan xanthophylls atau oxycarotenoids, merupakan turunan dari karoten (Kjellenberg 2007).

Karotenoid memiliki melting point yang tinggi, biasanya berkisar dari 130-220°C. Karotenoid dapat larut dalam lemak atau minyak dan tidak larut dalam air (Hendry dan Houghton 1996). Hal ini disebabkan karena karotenoid memiliki struktur yang nonpolar (Fennema 1996). Penyinaran langsung cahaya ultraviolet dan cahaya matahari akan menyebabkan isomerisasi cis dan trans atau kerusakan pada karoten. Kepekaan karoten terhadap cahaya serta panas biasanya menjadi katalis dalam proses oksidasi. Selain itu, faktor yang mempengaruhi biosintesis dan degradasi karotenoid adalah air. Karotenoid akan cepat dioksidasi pada produk yang kering atau mengalami dehidrasi, karena air yang terikat di dalam permukaan produk membentuk lapisan pelindung. Bahan makanan yang dikeringkan sangat mudah mengalami kehilangan aktivitas provitamin A karena pengeringan memberi kesempatan terjadinya oksidasi melalui mekanisme oksidasi radikal bebas (Andarwulan dan Koswara 1992). Menurut Wiseman (2002) kandungan karotenoid juga dipengaruhi oleh tingkat kemasakan.

Efisiensi penyerapan karotenoid dari makanan sekitar 50-60%, tergantung bioavailabilitasnya (Olson 1996). Banyaknya karotenoid yang dapat diserap tubuh dipengaruhi oleh faktor diet lain seperti pencernaan kompleks protein dengan karotenoid dan kadar serta jenis lemak dalam diet (vitamin larut lemak memerlukan lemak untuk penyerapan optimum) (Mahan & Stump 2004). Kandungan vitamin A beberapa jenis pangan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan Vitamin A pada pangan Jenis Pangan Kandungan vitamin A (µg REa /100 g BDD)

Red Palm Oil 30.000

Wortel 2000

Sayuran Daun 685

a

Jumlah Retinol Equivalen (RE) diperoleh dengan membagi kandungan β-karoten (µg) dengan faktor konversi = 6

Sumber : Passmore R dan Eastwood M.A (1986); Ball (1988)

(31)

Tabel 5 Jenis-jenis karotenoid dan aktivitas provitamin A Jenis karotenoid Aktifitas provitamin A (%)

α-karoten 50-54

β-karoten 100

-karoten 42-50

β-zeakaroten 20-40

β-karoten -5,6-mono epoksida 21

3,4 dehidrobetakaroten 75

Sumber : (Linder 1991)

Karotenoid sebagai Provitamin A

Karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A adalah karotenoid yang

mengandung cincin β-ionon yang dapat diubah menjadi vitamin A, diantaranya

α-, β- dan -karoten. Pigmen α-, β- dan -karoten disebut provitamin A, dimana dalam tubuh hewan dipecah atau diubah menjadi vitamin A (Hendry dan Houghton 1996).

Karoten sebagian besar merupakan sumber dari vitamin A yang banyak terdapat dalam bahan-bahan nabati. Karoten bersifat larut dalam lemak dan stabil bersama antioksidan dan juga dapat melindungi lemak itu sendiri. Peroksida atau asam lemak yang terbentuk pada proses oksidasi lemak akan mempercepat oksidasi karoten (Setiana 1993). Tubuh manusia mampu mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A (Winarno 2002).

Gross (1991) mengatakan bahwa β-karoten dengan dua cincin β merupakan provitamin A dengan aktivitas yang paling tinggi. Ball (1988) menyatakan bahwa β-karoten memiliki aktivitas vitamin A 100% karena adanya dua molekul retinol yang terdapat pada ujung-ujung struktur β-karoten. Sedangkan karotenoid provitamin A lainnya yang mempunyai satu cincin β seperti α-karoten dan -karoten, memiliki aktivitas yang lebih rendah. Struktur kimia β-karoten disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia β-karoten

(32)

1989). Menurut Ball (1988), nilai biologis dari β-karoten makanan bervariasi tergantung dari efisiensi penyerapan. Menurut Fennema (1996), sekitar 25 persen dari β-karoten yang diabsorbsi pada mukosa usus tetap dalam bentuk utuh, sedang 75 persen sisanya diubah menjadi vitamin A (retinol) dengan

bantuan enzim 15,15’ β-karoten dioksigenase. β-karoten memiliki Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 2,5 mg/kg berat badan (Hui 1996). β-karoten diserap secara sebagian oleh sistem limfatik usus serta sebagian lainnya dibelah menjadi dua buah molekul retinol. Ester retinil yang terdapat dalam susunan makanan dihidrolisis menjadi retinol dalam usus. Retinol diesterifiksi dengan asam palmitat, di dalam sel-sel mukosa serta disimpan di dalam hati sebagai retinil-palmitat, pada gilirannya dihidrolisis menjadi retinol bebas untuk diangkut ke tempat ia melakukan kegiatannya. Untuk mobilisasi ini diperlukan seng. Kadar normal retinol dalam plasma bayi adalah 20-50 μg/dl sedangkan bagi anak-anak dan orang dewasa 30-225 μg/dl (Behrman dan Victor 1988).

Wortel (Daucus carota, L)

Definisi dan Klasifikasi

Wortel (Daucus carota L.) adalah tumbuhan jenis sayuran umbi yang biasanya berwarna kuning kemerahan atau jingga kekuningan dengan tekstur serupa kayu (Malasari 2005). Berdasarkan bentuk umbinya terdapat tiga tipe wortel. Pertama, tipe chantenay, yaitu berbentuk bulat panjang dengan ujung tumpul, kedua, tipe imperator, yaitu berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing dan ketiga, tipe nantes, merupakan gabungan tipe imperator dan

chantenay. Pada Gambar 3 dapat dilihat bentuk ketiga tipe wortel tersebut.

Gambar 3 Wortel tipe Chantenay (a); Imperator (b); dan Nantes (c)

Komponen Kimia dan Kandungan Gizi Wortel

(33)

karotenoid. Kandungan zat gizi wortel per 100 gram berat basah dapat diihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kandungan zat gizi wortel per 100 g berat basah Komposisi Zat Gizi Satuan Jumlah

Air g 88,29

Sumber: USDA National Nutrient Database for Standard Reference (2007)

Umbi wortel mempunyai kantong minyak dalam ruang antarsel perisikel yang mengandung minyak esensial yang menyebabkan bau dan aroma yang khas wortel (Dalimartha 2006). Karoten tidak tersebar merata dalam umbi. Pembentukan karoten optimum pada suhu 16-250C. Karoten terakumulasi dan mencapai konsentrasi maksimum setelah tanaman berumur sekitar 90-120 hari, dan selanjutnya berhenti atau secara perlahan berkurang (Rubatzky & Yamaguchi 1997). Karoten pada wortel tersebar di seluruh sitoplasma sel dan terdapat dalam tiga bentuk, yaitu: (1) membentuk ikatan dengan protein; (2) membentuk kompleks dengan butir-butir pati; dan (3) sebagai caroten bodies.

(34)

Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil)

Definisi dan Karakteristik

Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil-CPO) merupakan minyak yang diperoleh dari mesokarp atau sabut buah sawit (Elaeis guineensis, Jacq) (Ketaren 2008). Saat ini Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia menggantikan Malaysia. Kapasitas produksi CPO Indonesia telah mencapai 19 juta ton dengan lahan perkebunan kelapa sawit tersebar di 16 propinsi dan 52 kabupaten dengan luas sekitar 5,5 juta Ha (Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia-GAPKI 2008). Bentuk buah kelapa sawit dan CPO disajikan pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 4 Kelapa sawit Gambar 5 CPO

CPO memiliki dua komponen asam lemak yang utama yaitu asam palmitat dan asam oleat. Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang tinggi, yaitu 64oC, sehingga pada suhu ruang minyak sawit kasar berbentuk semi padat. Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat CPO lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan rantai C18 dan memiliki titik cair lebih rendah dibanding asam palmitat, yaitu 14oC (Ketaren 2008).

Ketaren (2008) menyatakan bahwa CPO mempunyai karakter yang belum layak makan, karena mengandung air, serat mesokarp, asam lemak bebas, fosfolipid dan fosfatida lain, logam serta berbagai produk hasil oksidasi. Bau dari senyawa volatil, warna yang pekat dan banyaknya komponen padatan serta senyawa lain yang terlarut menyebabkan perlunya langkah pemurnian. Pemurnian tersebut menghasilkan Red Palm Oil (RPO). RPO merupakan hasil pemurnian minyak sawit kasar (Crude Palm Oil – CPO) yang diproses secara minimal sehingga nilai karotennya masih tinggi.

Komponen Kimia dan Kandungan Gizi CPO

(35)

bervariasi dari 400-3500 µg/g tergantung dari varietas kelapa sawit (Ping & Lian 2005). Minyak sawit kasar memiliki komponen kimia CPO dibandingkan dengan minyak nabati lain seperti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Komponen kimia CPO dibandingkan dengan minyak nabati lain Komponen dalam minyak. Bau dan flavour terdapat secara alami, bau khas CPO ditimbulkan oleh

gugus β-ionon dari karotenoid, sedangkan bau yang menyimpang terjadi akibat kerusakan asam-asam lemak rantai pendek yang membentuk asam lemak bebas

RPO (Red Palm Oil)

CPO dalam industri pangan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng. Warna merah pada CPO dihilangkan agar minyak yang dihasilkan menjadi jernih dan bening dan membuat sebagian besar β-karoten

hilang. Oleh karena itu, dilakukan upaya untuk mempertahankan kandungan β -karoten pada CPO, yaitu minimal processing yang menghasilkan minyak yang

sudah bersih dengan kandungan β-karoten yang tinggi. Minyak ini disebut minyak sawit merah atau Red Palm Oil (RPO).

Pembuatan RPO

Proses pemurnian CPO menghasilkan RPO. Salah satu metode yang digunakan dalam pembuatan RPO adalah dengan metode fraksinasi. Menurut Winarno (1997), fraksinasi minyak sawit kasar akan menghasilkan fraksi olein dan fraksi stearin. RPO merupakan fraksi olein dari hasil fraksinasi CPO.

(36)

sehingga fraksi olein yang masih bersifat cair dapat diperoleh dengan penyaringan vakum (Weiss 1983).

Choo et al (1989) menyatakan bahwa fraksinasi CPO dapat menghasilkan olein sebesar 70-80% dan stearin 20-30%, sedangkan kandungan karotenoid dalam fraksi olein menjadi lebih tinggi (10-20%). Data komponen fisiko kimia CPO dan RPO yang telah diolah disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Komponen fisiko kimia CPO dan RPO

Parameter

Nilai parameter sifat fisiko kimia minyak

CPO RPO

Bilangan asam (mgKOH/g minyak) 2-15 0,64

Asam lemak bebas (%) 4,5 0,04

Bilangan Iod (g I2/100 g minyak) 48-56 56,4-57,84

Kandungan karoten (ppm) 500-700 650-700

Beta karoten (ppm) 329-347 337-375

Sumber: Sirajuddin (2003)

RPO memiliki kandungan vitamin A yang tinggi jika dibandingkan dengan kandungan vitamin A beberapa pangan, seperti tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 Kandungan vitamin A pada pangan Jenis Pangan Kandungan vitamin A

(µg RE*/100 g BDD)

Ubi jalar (merah dan kuning) 670

Jus jeruk 8

* Jumlah Retinol Equivalen (RE) diperoleh dengan membagi kandungan β-karoten (µg) dengan faktor konversi = 6.

Sumber : Passmore R & Eastwood M.A (1986) dalam Ball (1988).

(37)

Mi Instan

Definisi

Definisi mi instan menurut SNI 01-3551-1994 adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan dengan air mendidih paling lama empat menit.

Peningkatan Kandungan Karoten pada Mi

Lee et al (2002) telah melakukan penelitian pengaruh tepung labu merah matang terhadap karakteristik dan kualitas mi yang dihasilkan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin tinggi tepung labu yang

ditambahkan, semakin tinggi kandungan β-karoten pada mi. Demikian pula warnanya semakin kuning dengan semakin banyaknya tepung labu yang ditambahkan.

Prananto (2003) telah melakukan penelitian pembuatan mi instan dengan menambahkan wortel pada adonan mi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa mi yang dihasilkan dapat diterima oleh konsumen, meskipun warnanya lebih orange.

Berikut adalah kandungan zat gizi mi instan wortel yang dianalisis meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan serat pangan. Kandungan zat gizi mi wortel dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Kandungan zat gizi dan serat pangan mi instan wortel

Zat gizi Kandungan

Karbohidrat total 76,63 83,06

Serat pangan 4,11 4,46

β-Karoten 2.390 µg/100 g

Sumber : Rahayu (2009)

(38)

Tabel 11 Kandungan gizi mi instan RPO

Imunitas atau kekebalan adalah kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, meniadakan kerja toksin dan faktor virulen lainnya yang bersifat antigenik dan imunogenik. Antigen adalah suatu bahan atau senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi. Antigen dapat berupa protein, lemak, polisakarida, asam nukleat, lipopolisakarida, lipoprotein, dan lain-lain. Antigenik adalah sifat suatu senyawa yang mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap senyawa tersebut. Sedangkan imunogen adalah senyawa yang dapat merangsang pembentukan kekebalan/imunitas, dan imunogenik adalah sifat senyawa yang dapat merangsang pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif dan peningkatan kekebalan seluler. Jika sistem imun melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang, sehingga membuat patogen, termasuk virus dapat tumbuh dan berkembang dalam tubuh. Sanitasi yang buruk, kesehatan personal, kepadatan penduduk, makanan dan air yang terkontaminasi serta pengetahuan gizi yang kurang memberikan kontribusi terhadap menurunnya kekebalan (Roitt 2003).

Imunitas juga diartikan sebagai resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imunitas. Reaksi yang dikoordinasi oleh sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respon imunitas (Baratawidjaja 2006).

(39)

homeostatis, dan pengawasan. Mekanisme pertahanan meliputi pemusnahan mikroorganisme yang berhasil memasuki tubuh, sedangkan mekanisme homeostatis meliputi pemusnahan sel-sel yang aus. Mekanisme pengawasan berfungsi dalam mendeteksi dan menghancurkan sel yang termutasi atau menunjukkan tanda-tanda tidak normal karena terinfeksi oleh virus atau mikroorganisme lain (Zakaria 1996). Menurut Surono (2004) kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Berikut adalah gambaran umum sistem imun disajikan pada Gambar 6.

Sumber : Baratawidjaja (2006)

Gambar 6 Gambaran umum sistem imun

Sistem imun terdiri dari berbagai mekanisme yang secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu kekebalan adaptif dan non adaptif (Baratawidjaja 2006). Kekebalan non adaptif diperantarai oleh sel yang merespon terhadap molekul asing secara tidak spesifik dan termasuk di dalamnya sistem fagositosis oleh makrofag, sekresi lisozim, dan sel lisis oleh

natural killer (NK). Kekebalan non spesifik tidak berkembang atau bertambah kuat dengan meningkatnya paparan terhadap molekul asing secara berulang kali. Sementara itu pada kekebalan spesifik atau adaptif ditujukan untuk melawan molekul asing yang spesifik dan akan bertambah kuat dengan terjadinya paparan yang berulang kali. Kekebalan spesifik atau adaptif diperantarai oleh sel-sel limfosit yang dapat mensintesis reseptor permukaan sel atau mensekresikan protein yang dapat berikatan secara spesifik dengan molekul asing. Protein yang

(40)

disekresikan dikenal dengan nama antibodi. Molekul asing yang dapat berikatan dengan antibodi disebut antigen.

Sistem kekebalan spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh akan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun. Bila sel imun yang sudah tersensitasi terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan. Sistem imun spesifik secara umum bekerjasama antara antibodi-komplemen-fagosit dan antara sel T-makrofag (Baratawijaya 2006). Pada sistem kekebalan spesifik terdapat dua populasi sel limfosit yang berperan yaitu limfosit B yang menghasilkan kekebalan humoral dan sel limfosit T yang menghasilkan kekebalan seluler (Roitt 2001). Kedua populasi limfosit merupakan anggota sel darah putih yang mulai berkembang dari sel awal pada kehidupan janin haematopoietik yang diproduksi di sumsum tulang.

Limfosit B atau sel B memainkan peranannya di dalam sistem imun spesifik humoral, Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel akan berpoliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus, dan bakteri serta menetralisir toksin (Baratawidjaya 2006). Sel limfosit B menjadi dewasa dalam sumsum tulang dan dalam kelenjar limfa setelah bermigrasi dari sumsum. Sel ini bertanggung jawab terhadap serangan sel dan senyawa asing dengan mensintesis antibodi dimulai dengan aktivitas seluler ketika sel B bertemu dengan antigen. Setelah pertemuan dengan antigen, sel B mengalami aktivitas seluler, berubah menjadi limfoblast lalu berproliferasi dan mensintesis antibodi antigen yang ditemuinya. Sel B dapat mensintesis lima jenis antibodi yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD serta melepaskannya ke dalam darah untuk memusnahkan antigen dengan membentuk kompleks antibodi (Kresno 2001). Pembentukan Respon Imun

(41)

tersebut imunogen masih dikenal sebagai benda asing, selanjutnya diproses, dan isyarat dikirimkan ke sel-sel yang ditugaskan untuk membentuk antibodi.

Bila antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, akan terjadi satu respons imun primer yang ditandai dengan munculnya imunoglobulin M (IgM) beberapa hari setelah pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya setelah 7 hari. Tujuh hari setelah pemaparan muncul IgG dalam serum (dapat dideteksi), kemudian kadar IgM mulai menurun sebelum IgG mencapai puncaknya. Kadar IgG mencapai puncaknya antara 10-14 hari setelah pemaparan antigen (Tizard 1988). Kadar antibodi kemudian berkurang tetapi biasanya IgG masih dapat dideteksi 4-5 minggu setelah pemaparan.

Apabila pemaparan antigen yang sama tersebut di atas terjadi lagi untuk kedua kalinya, maka akan terjadi pembentukan respons imun sekunder (booster), IgM dan IgG cepat meningkat. Puncak kadar IgM pada respons sekunder umumnya tidak melebihi puncaknya pada respons primer. Sebaliknya, kadar IgG akan meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama (Wibawan et al. 2003).

Imunoglobulin G

Integritas respons imun sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai jenis kelas imunoglobulin di dalam serum seseorang atau dengan mengukur titer antibodi setelah diberi stimulus antigenis yang cukup.

Imunoglobulin G merupakan komponen utama imunoglobulin dalam serum dan IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena mempunyai reseptor untuk fraksi Fc (fragmen crystallizable) dari IgG sehingga mempererat hubungan fagosit dengan sel-sel sasaran. IgG banyak ditemukan dalam serum dan kadar IgG meninggi dalam infeksi kronis dan penyakit autoimun. Imunoglobulin G dalam keadaan normal menempati 80% dari semua imunoglobulin dalam serum manusia (Roitt 1991) dalam Widayani (2007). IgG pada manusia disintesis kira-kira 35 ml/kg/hari dengan waktu paruh (half life) sekitar 23 hari. IgG berukuran relatif kecil, oleh karena itu lebih mudah keluar dari pembuluh darah dibandingkan dengan molekul imunoglobulin yang lain. Oleh karena itu, IgG cepat mengambil bagian utama dalam mekanisme pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan tubuh (Tizard 1988).

Kaitan Vitamin A dengan Imunitas

(42)

2002). Diantara zat gizi mikro lainnya, vitamin A mempunyai peran yang terbesar dalam fungsi imun. Sistem imunitas memerlukan zat gizi antioksidan antara lain untuk memproduksi dan menjaga keseimbangan sel imun (hematopoiesis), melindungi membran sel dari SOR (senyawa oksigen reaktif) untuk melawan mikroorganisme penyebab penyakit (imunitas bawaan/innate/native dan dapatan/adaptive) (Wintergerst et al 2007).

Peranan vitamin A pada sistem imunitas terkait dengan pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (Wintergerst et al 2002). Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein, dengan demikian berpengaruh terhadap pertumbuhan sel (Almatsier 2005). Oleh karena itu, vitamin A esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan dan pemeliharaan fungsi sel epitel. Sel epitel pada permukaan mukosa berperan dalam menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba patogen baik yang invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau yang berdekatan dengan mukosa.

Stipanuk (2000) menyebutkan vitamin A dan metabolismenya dalam spektrum yang luas mempunyai fungsi biologis, antara lain : (1) esensial untuk penglihatan, (2) reproduksi, (3) fungsi imun, (4) berperan penting dalam diferensiasi seluler, proliferasi, dan pemberian isyarat (signaling). Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosit. Diduga retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral). Pada penderita KVA terjadi penurunan respon antibodi yang bergantung pada sel-T (limfosit yang berperan pada kekebalan selular) (Almatsier 2005).

Sebagai salah satu zat gizi mikro, vitamin A dalam fungsi imun sangat berperan penting dan banyak studi telah menunjukkan peran vitamin A dalam berbagai segi aspek imunitas. Pada studi metaanalisis ditemukan konsep : sindrom vitamin A berhubungan dengan penurunan imunitas dan peningkatan infeksi (Semba et al 2002).

(43)

Hewan Percobaan

Hewan percobaan adalah setiap hewan yang digunakan dalam penelitian-penelitian biologis maupun biomedis. Untuk memperoleh hasil-hasil yang relevan dengan tujuan penelitian dan mempunyai nilai ulang yang tinggi, hewan-hewan yang dipergunakan harus memenuhi persyaratan atau standar dasar yang diperlukan sebagai hewan percobaan (Smith 1988). Penggunaan hewan percobaan diantaranya dilakukan untuk uji efikasi ataupun menguji keamanan atau efek samping dari suatu bahan kimia atau alami sebelum diujikan pada manusia (Malole MBM dan Pramono CSU 1989).

Hewan percobaan harus memiliki kriteria jika dijadikan penelitian, antara lain kemiripan fungsi fisiologis dengan manusia, perkembangbiakan yang cepat, mudah didapat dan dipelihara serta murah secara ekonomi (Subahagio et al. 1997). Pada umumnya, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan biofisik serta fisiologis antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan. Penggunaan tikus sebagai hewan percobaan dalam suatu penelitian karena memiliki saluran pencernaan yang menyerupai manusia, sehingga yang dimakan oleh manusia dapat dimakan oleh tikus. Perbedaan antara tikus dan manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus, pertumbuhan tikus lebih cepat, tikus tidak mempunyai kandung empedu dan tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung.

Terdapat lima basic stock tikus albino yang biasa digunakan, yaitu Long evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague-Dawley, dan Wistar. Di dunia, tikus yang paling banyak digunakan adalah jenis Long Evans. Di Indonesia sendiri, tikus putih yang banyak dikembangbiakkan dan digunakan dalam berbagai penelitian berasal dari strain Sprague-Dawley dan Wistar (Muchtadi 2010). Umumnya penelitian yang terkait vitamin A menggunakan tikus Sprague dawley

jantan karena tikus jantan hormonnya lebih stabil dibandingkan dengan tikus betina. Tikus Sprague dawley merupakan tikus albino yang digunakan pada penelitian medis mempunyai ciri berkepala kecil, leher sedang, dan panjang tubuh bisa sama panjang atau lebih pendek daripada ekor. Jenis tikus ini mudah ditangani dan lebih tenang (Kesenja 2005).

(44)
(45)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian proyek Hibah Penelitian Strategis Nasional di bidang gizi dan kesehatan yang diketuai oleh Marliyati (2009) dan dibiayai oleh DIKTI. Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai bulan November 2009. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan di Jalan Dr. Semeru No. 63 Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah mi instan wortel dan mi instan RPO. Mi wortel diperoleh dari hasil penelitian Rahayu (2009) dan mi RPO diperoleh dari hasil penelitian Rucita (2010). Selanjutnya, bahan yang diperlukan yaitu hewan percobaan tikus putih Sprague dawley, jenis kelamin jantan, umur 1,5-2 bulan, bobot badan awal berkisar antara 75-105 gram. Bahan makanan yang diberikan kepada tikus adalah makanan standar berdasarkan Pusat Penelitian Pengembangan Gizi dan Makanan Depkes. Komposisi dan cara pembuatan ransum standar dapat dilihat pada Lampiran 1. Selain itu, digunakan juga bahan untuk analisis IgG metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) yaitu larutan pereaksi antara lain Coating Buffer, larutan Stock PBS (Phosphatase Buffer Saline pH = 7,0), larutan Blocking, larutan pencuci, larutan substrat-pewarna, dan Stopping Solution. Metode ELISA cukup sensitif dan reagennya mempunyai half life yang lebih panjang dibandingkan dengan metode lainnya. Selain itu, tidak mengandung bahaya radioaktif.

Bahan yang digunakan untuk mengekstrak retinol dari hati dan plasma tikus antara lain KCl 1,15%, heksan dan 2-propanol (3:2), Natrium sulfat 0,9%, KOH 5% dalam metanol, dan mobile phase yang digunakan yaitu campuran metanol dan asetonitril (1:1). Retinol standar yang digunakan adalah retinil palmitat. Prosedur ekstraksi plasma dan hati tikus disajikan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

Alat-alat yang diperlukan yaitu alat untuk analisis IgG metode ELISA, alat untuk analisis kadar retinol serum dan kadar retinol hati yaitu HPLC system

Gambar

Tabel 6 Kandungan zat gizi wortel per 100 g berat basah
Gambar 6 Gambaran umum sistem imun
Gambar 8 Skema alur penelitian
Gambar 10 Rata-rata jumlah konsumsi mi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Agar dapat memperoleh karyawan yang mampu menciptakan produktivitas karyawan di bagian sistem informasi akuntansi ini haruslah diawali dari perekrutan karyawan yang

Pengaruh Kepuasan Kerja dan Loyalitas Kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior pada Karyawan PT.. Surya Timur

Gambar 6 Implementasi Antarmuka Permission Pada Gambar 7 dijelaskan tentang Implementasi halaman rekomendasi musik, akan menampilkan header cuaca untuk memberikan informasi

karet di Kecamatan Sambung Makmur, penulis merasa perlu menjadikan bahan penelitian dalam hal pendapatan maupun dalam kesejahteraannya, karena tingkat pengdapatan seseorang

Pertimbangan yang dilakukan dalam penelitian ini untuk pemilihan sampel kelas eksperimen yang akan digunakan adalah dengan melihat bagaimana motivasi awal setiap

dicerminkan pada harga saham, maka pasar modal yang bersangkutan semakin

Tanda bacaan, berupa Aksara merupakan syarat pertama. Tulisan atau tulisan terdiri dari tanda bacaan dalam bentuk Aksara. Tidak dipersoalkan Aksaranya, boleh Aksara

fungsi yang diterapkan pada KPP dengan sistem administrasi yang modern untuk dapat merealisasikan debirokratisasi pelayanan sekaligus melaksanakan pengawasan terhadap Wajib