PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN MENGGUNAKAN
MODEL SWAT: KASUS DAS BARITO HULU
KALIMANTAN TENGAH
MOCH. ANWAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan saya dalam disertasi yang berjudul:
PEWILAYAHAN HIDROKLIMAT UNTUK OPTIMASI PENGGUNAAN
LAHAN PERTANIAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT: KASUS DAS
BARITO HULU – KALIMANTAN TENGAH
Merupakan gagasan atau hasil karya disertasi saya sendiri, dengan arahan dari para komisi pembimbing. Sumber informasi atau kutipan karya ilmiah dari penulis lain baik yang dipublikasi maupun tidak dipublikasi telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka sebagai rujukan yang dapat dipertanggung jawabkan. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk syarat memperoleh gelar akademik pada program studi sejenis di perguruan tinggi manapun.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2012
MOCH. ANWAR. Hydroclimate Zonation for Optimized Agricultural LandUse Using SWAT Model: Case of Barito Hulu watershed in Central Kalimantan. Under supervision of HIDAYAT PAWITAN, KUKUH MURTILAKSONO, I NENGAH SURATI JAYA.
Landcover changes, particularly due to deforestation, may affect the hydrological response of watershed. Deforestation of natural forest represents a major part of forest land degradation that affected the watershed functions, such as loss of land productivity due to increase soil erosion, runoff, evapotranspiration, and decrease of water storage capacity. The main objective of this study was to determine landuse zones for agricultural uses based on water resource aspects. The specific objectives of this study were: (1) to determine water yield and evapotranspiration for landcover conditions of 1990 and 2003; (2) to determine the rate of erosion for 1990 and 2003 conditions; and (3) to optimize land use zonation for agricultural uses for Barito Hulu watershed. The hydrological response for each landcover was computed using SWAT model. The result of the study showed that decreasing 8% of forest area from 1990 condition would increase water yield, evapotranspiration, and erosion ofabout 9%, 6%, and 13 ton/Ha/year, respectively, while water storage decrease of about 15%. The response for 1990 landcover condition with input rainfall of 3.117 mm/year generated water yield of approximately 44%, evapotranspiration 37%, water storage 19%, and erosion rate 20,5 ton/ha/year, while for the 2003 landcover condition with rainfall 2.613 mm/year generated water yield 53%, evapotranspiration 43%, water storage of 4%, and erosion of about 33.2 ton/Ha/year. The study found that the landuse zones composition are as follows: forest cover of 76%, mixed garden 0,5%, community rubber area 1%, settlement area of 10%, dry-land agriculture of 12%, and oil palm garden of 0,4%. Those landuse and landcover compositions provide water yield of approximately 56%, evapotranspiration of 40%, water storage of 4%, and erosion of about 27,5 ton/ha/year, less than the tolerable soil loss.
RINGKASAN
MOCH. ANWAR. Pewilayahan Hidroklimat Untuk Optimasi Penggunaan Lahan Pertanian Menggunakan Model SWAT: Kasus DAS Barito Hulu - Kalimantan Tengah. Dibawah bimbingan HIDAYAT PAWITAN, KUKUH MURTILAKSONO, I NENGAH SURATI JAYA.
Perubahan tutupan lahan khususnya deforestasi dapat mempengaruhi respons hidrologi suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Deforestasi adalah salah satu faktor yang menyebabkan degradasi lahan DAS, di mana secara nyata menurunkan produktivitas lahan akibat adanya peningkatan erosi tanah, limpasan permukaan, dan menurunnya simpanan air. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan zona tutupan dan penggunaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berdasarkan pasokan sumber daya air DAS Barito Hulu. Penelitian ini juga mempunyai beberapa tujuan khusus, yaitu: (1) menentukan hasil air dan evapotranspirasi pada tutupan lahan tahun 1990 dan 2003; (2) menentukan besarnya erosi pada tutupan lahan tahun 1990 dan 2003; (3) optimasi penggunaan lahan pertanian untuk menentukan zonasi penggunaan lahan DAS Barito Hulu.
Analisis respons hidrologi terhadap masing-masing tutupan lahan dilakukan menggunakan model SWAT. Pengembangan model optimasi dilakukan dengan solver (Microsoft office Excel). Optimasi komposisi tutupan dan penggunaan lahan dilakukan dalam rangka menghitung hasil air (water yield) maksimum, aliran permukaan (runoff), evapotranspirasi, dan erosi tanah yang minimum. Validasi dilakukan menggunakan koefisien determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe Index (NSI).
Proses aplikasi SWAT dilakukan dalam empat tahapan, yaitu: (1) membuat batas DAS menggunakan data DEM ( SRTM 90 m x 90 m); (2) membangun HRU (Create Hydrogical Response Unit) dilakukan dengan overley
peta tutupan lahan dengan peta satuan tanah; (3) analisis respons hidrologi untuk memperoleh total hasil air, limpasan permukaan, evapotranspirasi, dan erosi tanah, dilakukan dengan simulasi model SWAT; (4) interpretasi hasil simulasi model SWAT dalam format notepad yang tersimpan dalam file output.
Berdasarkan hasil deliniasi luas DAS Barito Hulu adalah 2.703.806 ha, dari analisis citra landsat TM dan klasifikasi tutupan lahan tahun 1990 menunjukkan bahwa DAS Barito Hulu didominasi oleh tutupan hutan seluas 86%, pertanian tanaman pangan seluas 9%, kebun campuran seluas 2%, semak belukar seluas 1%, badan air seluas 1%, tanah terbuka seluas 0,6%, kebun karet rakyat seluas 0,4%, dan lahan terbangun seluas 0,04%. Hutan paling luas ditemukan di sub DAS 4 seluas 31% dan paling kecil ditemukan di sub DAS 9 seluas 0,1%.
Pertanian tanaman pangan paling luas ditemukan di sub DAS Laung seluas 25% dan paling kecil ditemukan di sub DAS 3 seluas 0,1%. Kebun campuran paling luas ditemukan di sub DAS Lahai sub DAS seluas 17% dan paling kecil ditemukan di sub DAS 1 seluas 0,1%. Semak belukar paling luas ditemukan di sub DAS 1 seluas 16%, dan paling kecil ditemukan di sub DAS 9 seluas 0,1%. Badan air palang luas di sub DAS 4 seluas 28%, terkecil di sub DAS 6 seluas 0,6%.
ditemukan di sub DAS 8 dan sub DAS Lahai masing-masing seluas 15%) dan 14%, sedangkan paling kecil ditemukan di sub DAS Tuhup seluas 0,02%.
Tahun 2003 DAS Barito Hulu juga didominasi oleh tutupan hutan seluas 78%, kebun campuran seluas 10%, pertanian tanaman pangan seluas 8%, tanah terbuka seluas 1%, badan air seluas 1%, semak belukar seluas 1%, kebun karet rakyat seluas 0,3%, dan lahan terbangun seluas 0,1%.
Hutan paling luas ditemukan di sub DAS 4 seluas 33% dan paling kecil ditemukan di sub DAS 9 seluas 0,08%. Kebun campuran paling luas ditemukan di sub DAS Laung seluas 19% dan paling kecil ditemukan di sub DAS 9 seluas 0,3%. Pertanian tanaman pangan paling luas ditemukan di sub DAS Laung seluas 21% dan paling kecil ditemukan di sub DAS 3 seluas 1%. Tanah terbuka paling luas ditemukan di sub DAS Lahai dan sub DAS Laung masing-masing seluas 14% dan 13%, paling kecil ditemukan di sub DAS 3 seluas 0,3%. Badan air paling luas di sub DAS 4 seluas 28%, paling kecil di sub DAS 14 seluas 0,5%. Semak belukar paling luas ditemukan di sub DAS 1 seluas 19%, dan paling kecil ditemukan di sub DAS 9 seluas 0,08%. Kebun karet rakyat paling luas di sub DAS Laung seluas 26%, paling kecil di sub DAS 16 seluas 0,03%. Lahan terbangun paling luas ditemukan di sub DAS 8 seluas 35% dan paling kecil ditemukan di sub DAS 12 seluas 0,03%.
Berdasarkan hasil analisis respons hidrologi dengan aplikasi model SWAT bahwa tutupan lahan tahun 1990 keberadaan hutan 86%, dengan curah hujan tahunan sebesar 3.117 mm menghasilkan hasil air sebesar 44%, evapotranspirasi sebesar 37%, simpanan air sebesar 19%, dan erosi yang terjadi sebesar 20,52 ton/ha/tahun. Tahun 2003 tutupan hutan sebesar 78%, dengan curah hujan tahunan sebesar 2.613 mm menghasilkan hasil air sebesar 53%, evapotranspirasi sebesar 43%, simpanan air sebesar 4%, dan erosi yang terjadi sebesar 3315 ton/ha/tahun. Kondisi aktual tahun 2003 telah terjadi pengurangan luas hutan sebesar 8% dari kondisi semula telah terjadi peningkatan hasil air, evapotranspirasi, dan erosi berturut-turut sebesar 9%, 6%, dan 13 ton/ha/tahun, sedangkan simpanan air menurun sebesar 15%.
Berdasarkan hasil analisis spasial Zona penggunaan lahan DAS Barito Hulu yang optimal adalah: hutan 76%), kebun campuran 0,5%, kebun karet rakyat 1%, lahan terbangun 10%, pertanian lahan kering 12%), kebun kelapa sawit 0,4%. Komposisi tutupan dan penggunaan lahan tersebut dengan curuh hujan tahunan sebesar 2.613 mm menghasikan hasil air sebesar 56%, evapotranspirasi sebesar 40%, dan simpanan air sebesar 4%, sedangkan erosi yang terjadi sebesar 27,5 ton/ha/tahun dalam kondisi dapat ditoleransi.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
PEWILAYAHAN HIDROKLIMAT UNTUK OPTIMASI
PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN MENGGUNAKAN
MODEL SWAT: KASUS BARITO HULU
KALIMANTAN TENGAH
Moch. Anwar
G 261040021
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agroklimatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Impron, M.Sc
2. Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr
Penguji pada Ujian terbuka : 1. Prof(Riset). Dr. Ir. Irsal Las, MS
Lahan Pertanian Menggunakan Model SWAT: Kasus DAS Barito Hulu Kalimantan Tengah
Nama Mahasiswa : Moch. Anwar Nomor Pokok : G 261040021 Program Studi : Agroklimatologi
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Agroklimatologi, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB,
Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Alloh SWT, karena hanya berkat rahmat, taufik dan hidayah-Nya semata penulisan Disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Disertasi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agroklimatologi (AGK), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian disertasi ini dilakukan di DAS Barito Hulu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah dengan judul: “Pewilayahan Hidroklimat Untuk Optimasi Penggunaan Lahan Pertanian Menggunakan Model SWAT: Kasus DAS Barito Hulu - Kalimantan Tengah”.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, MSc selaku ketua komisi pembimbing, atas teladan, bimbingan, arahan dan perhatian yang telah dicurahkan mulai menjalankan pendidikan di program studi AGK, mendisain penelitian, melaksanakan penelitian hingga penulisan disertasi selesai.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MSc dan Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr selaku anggota komisi pembimbing, yang telah dengan sabar menyediakan waktu dan mencurahkan pemikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan sejak mendisain penelitian, pelaksanaan penelitian, hingga penulisan disertasi selesai.
3. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto, MAgr dan Dr. Ir. Impron, MSc, selaku penguji luar komosi pada ujian tertutup yang telah menyediakan waktu untuk menguji dan memberikan kontribusi dalam perbaikan penulisan disertasi.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS dan Dr. Ir. Yuli Suharnoto, MEng, selaku penguji luar komosi pada ujian terbuka yang telah menyediakan waktu untuk menguji dan memberikan kontribusi dalam perbaikan penulisan disertasi. 5. Rektor IPB dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah memberikan
kesempatan untuk mengikuti pendidikan doktor di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
memberikan berbagai arahan dan pelayanan administrasi kepada penulis selama mengikuti program pendidikan doktor (S-3) di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
8. Pengelola Beasiswa Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Pendidikan Tinggi, DEPDIKNAS atas bantuan beasiswa yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti program pendidikan doktor (S 3) di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
9. Ayahanda (Pawiro Giso, Alm) dan ibunda (Pu’atin) beserta keluarga besar kami dalam hal ini diwakili oleh kakak Machalli, SAg di mana telah dengan sabar, penuh perhatian dan kasih sayang, memberikan teladan kebersamaan dan kedamaian, serta senantiasa mengajarkan untuk terus belajar dan bekerja keras dalam berbagai kondisi dan keterbatasan. Selalu berdo’a untuk keberhasilan anak-anaknya dan mengingatkan hanya kepada Allah SWT tempat bersandar dalam segala kesulitan dengan prinsip (Man of proposes but God disposes).
10. Isteri tercinta (Dra. Khalimah Anwar), anak-anak dan menantu tersayang (Abdul Lathif Thoyyib MA., ST beserta isteri, Khoirul Rofi’ Ja’far Makarim, S.Kom beserta isteri, Fuad Muhajirin Farid, SPd, Zea Noor Ida Afifahtun Nisa’, Kamal Thoriq Yazid Asshidiqi, Faishal Hafidz Fahri Aziz, dan Hisyam Farouq Maftuh Syifa’) yang senantiasa penuh kesabaran dan kesetiaan untuk selalu memberikan motivasi dan inspirasi, walaupun sangat kurang perhatian yang saya berikan selama mengikuti program pendidikan doktor (S-3) di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
11. Segenap teman sejawat terutama kepada saudara Dr. Ir. Zulkifli, MP, Ir. Giyanto, MP, Dr. Ir. M. Lutful Hakim, MSi, Ir. Basuki, MSi, Dr. Ir. Mofit Saptono, MP, Mariono, SH.I, Dr. Ir. Saputera, MSi, Iqbal, SPT, MSi, M. Fadli Irsyad, SPT, MSi, Edwine Setia Purnama, S.Hut, dan Uus Saeful Mukarom yang banyak memberikan suport moril maupun materiil dan membantu dalam analisa Laboratorium.
12. Kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam rangka penulisan disertasi ini, semoga atas jerih payah semua dibalas yang lebih baik oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, Amien.
oleh karena itu, sangat mengharapkan kritik, saran, dan arahan untuk perbaikan dan penyempurnaan dimasa mendatang.
Bogor, Februari 2012
Penulis
Penulis dilahirkan di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 13 Juni 1962 sebagai anak ke enam dari pasangan ayah bernama Pawiro Giso (Alm) dan ibu bernama Pu’atin. Pendidikan dasar ditempuh di SDN Ngogri, Jombang lulus tahun 1975/1976. SLTP di MTsN Kauman Utara - Jombang, lulus tahun 1978/1979. SLTA di SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng - Jombang, lulus tahun 1982. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Malang, lulus pada tahun 1992/1993. Pada tahun 2000, penulis diterima sebagai mahasiswa S-2 di Program Studi Agroklimatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan memperoleh gelar Magister Sains (MSi) pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Agroklimatologi, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah dan Lingkup Penelitian ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Pengertian Pewilayahan Hidroklimat dan Daerah Aliran Sungai ... 9
2.2 Penerapan Sistem Informasi Geografi (GIS) dan Remote Sensing (RS) dalam Pewilayahan Hidroklimat ... 12
2.3 Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan dan Respons Hidrologi DAS ... 13
2.4 Model Analisis Hidrologi ... 16
2.5 Analisis Kebutuhan Air Tanaman ... 18
III. BAHAN DAN METODE ... 20
3.1 Waktu dan Tempat ... 20
3.2 Data, Alat, Software, dan hardware yang Dipergunakan ... 20
3.3 Metode ... 24
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH ... 40
4.1 Biofisik Kawasan ... 40
4.2 Sosial Ekonomi ... 44
4.3 Arah Pengembangan Kabupaten Murung Raya ... 45
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49
5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 49
5.2 Hasil validasi model SWAT terhadap model SCS ... 56
5.3 Produksi air DAS Barito Hulu berdasarkan tutupan dan penggunaan lahan ... 58
5.4 Pengaruh perubahan tutupan dan penggunaan lahan terhadap produksi air DAS Barito Hulu ... 60
5.5 Zonasi hidroklimat untuk optimasi pengembangan lahan pertanian DAS Barito Hulu ... 67
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
5.1 Kesimpulan ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 80
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Deskripsi file input dan fungsinya dalam analisis hidrologi ... 17
2 Rata-rata curah hujan bulanan DAS Barito Hulu tahun 1990-2003 ... 43
3 Luas masing-masing kelas tutupan lahan menurut Sub DAS tahun
1990 ... 50
4 Luas masing-masing kelas tutupan lahan menurut Sub DAS tahun
2003 ... 53
5 Luas perubahan tutupan lahan dari tahun 1990 hingga tahun 2003 ... 55
6 Hasil perhitungan debit model SWAT dan model SCS ... 57
7 Hasil air dan persentase terhadap curah hujan pada kondisi tutupan
lahan tahun 1990 ... 58
8 Komponen neraca air DAS Barito Hulu tutupan lahan tahun 1990 ... 60
9 Hasil air DAS Barito Hulu dan persentase terhadap curah hujan pada kondisi tutupan lahan tahun 2003 ... 61
10 Komponen neraca air DAS Barito Hulu tutupan lahan tahun 2003 ... 62
11 Nilai CN DAS Barito Hulu dan hasil prediksi erosi tahun 1990 dan
2003 ... 67
12 Produksi air DAS Barito Hulu berdasarkan optimasi tutupan lahan ... 68
13 Komponen neraca air DAS Barito Hulu optimasi tutupan lahan ... 71
14 Luas penggunaan lahan DAS Barito Hulu hasil deliniasi gabungan
peta optimasi dengan peta RTRW ... 74
15 Produksi air DAS Barito Hulu Berdasarkan penggunaan lahan sesuai RTRW ... 75
16 Komponen neraca air DAS Barito Hulu Berdasarkan penggunaan
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 8
2 Skema Siklus Hidrologi DAS (Neitsch et al., 2001) ... 10
3. Data citra Landsat TM+ rekaman tahun 1990... 21
4. Data citra Landsat TM+ rekaman tahun 2003... 22
5. Lokasi Penelitian ... 23
6 Tahapan Kegiatan Penelitian ... 27
7 Peta satuan tanah DAS Barito Hulu ... 42
8 Peta tutupan dan penggunaan lahan DAS Barito Hulu tahun 1990 ... 51
9 Peta tutupan dan penggunaan lahan DAS Barito Hulu tahun 2003 ... 54
10 Grafik regresi antara curah hujan bulanan dengan hasil air DAS Barito Hulu tutupan tahun 1990 ... 59
11 Grafik regresi antara curah hujan bulanan dengan limpasan permukaan DAS Barito Hulu tutupan tahun 1990 ... 60
12 Grafik regresi antara curah hujan bulanan dengan hasil air DAS Barito Hulu tutupan tahun 2003 ... 63
13 Grafik regresi antara curah hujan bulanan dengan limpasan ... 63
14 Grafik hubungan tutupan dan penggunaan lahan terhadap hasil air DAS Barito Hulu ... 64
15 Grafik hubungan tutupan dan penggunaan lahan terhadap limpasan permukaan DAS Barito Hulu ... 64
16 Grafik hubungan tutupan dan penggunaan lahan terhadap erosi DAS Barito Hulu ... 65
17 Grafik regresi antara curah hujan bulanan dengan hasil air DAS Barito Hulu optimasi tutupan lahan ... 69
18 Grafik regresi antara curah hujan bulanan dengan limpasan permukaan DAS Barito Hulu optimasi tutupan lahan ... 69
19 Peta tutupan dan penggunaan lahan DAS Barito Hulu hasil optimasi ... 70
20 Peta penggunaan lahan berdasarkan RTRW DAS Barito Hulu ... 73
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 1990 - 2003 ... 89
2 Prediksi hasil Air (water yield) Masing-Masing Sub DAS pada Tutupan Lahan 1990 ... 90
3 Prediksi hasil Air (water yield) Masing-Masing Sub DAS pada Tutupan Lahan 2003 ... 91
4 Parameter Tanah ... 92
5 Variabel dan rumus yang dipergunakan untuk pembangkitan data
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri
dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota
lainnya. Hutan sebagai salah satu komponen DAS, memiliki fungsi hidrologis
yang berperan mengatur tata air, melindungi tanah dari erosi dan bencana
longsor serta menciptakan iklim mikro yang nyaman dan sesuai bagi manusia
serta bagi biota lain. Hutan juga sebagai tempat berlangsungnya proses-proses
interaksi biofisik secara sinergis.
Proses-proses biofisik hidrologi DAS merupakan proses alami dari suatu
daur hidrologi, sedangkan kegiatan sosial ekonomi merupakan bentuk intervensi
manusia terhadap perilaku sistem DAS tersebut. Perubahan lahan hutan menjadi
permukiman, lahan pertanian, dan sarana kegiatan ekonomi lain merupakan
konsekuensi kebijakan pembangunan akibat dari desakan perekonomian dan
pertambahan penduduk dari waktu ke waktu. Agar terhindar dari bahaya
kerusakan fungsi DAS, maka perlu dicari solusi yang berkaitan dengan
langkah-langkah konservasi sumberdaya alam.
Seiring dengan dinamika pembangunan yang berlangsung, telah terjadi
transformasi struktur ekonomi dan demografi termasuk peningkatan jumlah
penduduk yang memerlukan sarana prasarana serta lahan yang cukup. hal
tersebut dapat memacu terjadinya perubahan penggunaan lahan lebih pesat.
Perubahan hutan dan lahan pertanian juga sering terjadi di daerah hulu DAS
yang seharusnya dijaga sebagai upaya konservasi. Perubahan tutupan di suatu
DAS mejadi areal permukiman, kawasan industri, dan pusat kegiatan
perekonomian dapat berdampak pada penurunan kualitas lahan, seperti terjadi
bencana banjir, kekeringan, erosi yang berlebihan dan pada akhirnya
menurunkan produktivitas lahan yang berujung pada menurunnya kesejahteraan
masyarakat.
Berdasarkan data di lapangan pengurangan hutan yang terjadi di DAS
Barito Hulu khususnya di kabupaten Murung Raya sangat sulit dikendalikan
karena berbagai kepentingan. Umumnya masyarakat petani melakukan kegiatan
usahatani dengan system ladang berpindah, areal perladangan tersebut
dipersiapkan dengan menebang hutan kemudian membakar dan menanami padi
komoditas perkebunan sawit juga menambah lajunya pengurangan areal hutan.
Kebijakan pemerintah untuk program penempatan transmigrasi pada sisi lain
juga menggunakan kawasan hutan yang cukup luas sebagai lahan transmigran.
Kabupaten Murung Raya adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Hulu
dengan luas wilayah 27.700 km2,berpenduduk sekitar 98.834 jiwa, memiliki laju
pertumbuhan ekonomi sangat rendah. Laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan
PDRB atas dasar harga konstan adalah -0,46% dan atas dasar harga berlaku
adalah 4,49%. Angka tersebut lebih rendah dibanding laju pertumbuhan ekonomi
provinsi Kalimantan Tengah yang mencapai 4,86% atas dasar harga konstan
dan14,61% atas dasar harga berlaku (BPS Kalimantan Tengah, 2003).
Rendahnya laju pertumbuhan ekonomi daerah tersebut mengindikasikan
rendahnya kesejahteraan masyarakat (tingginya angka kemiskinan). hal ini dapat
berpotensi terhadap terjadinya kegiatan eksploitasi hasil hutan yang tidak
terkendali, terutama penebangan kayu secara liar (illegal logging). Kegiatan
merambah atau merusak hutan oleh masyarakat akan berdampak pada
perubahan karakteristik DAS yang bersangkutan sehingga mengganggu fungsi
hidrologis hutan.
Semakin pesat peningkatan jumlah penduduk dan bertambah tingginya
angka kemiskinan di suatu daerah, tentu akan diikuti dengan meningkatnya
kebutuhan dan konsumsi masyarakat. Meningkatnya kebutuhan dan konsumsi
masyarakat, maka akan semakin intensif pula kebutuhan dan penggunaan
sumberdaya alam sekitarnya. Kebutuhan dan penggunaan sumberdaya alam
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, namun
sebaliknya jika terjadi kesalahan pengelolaan maka akan berdampak pada
kerusakan lingkungan. Mengingat pentingnya kelestarian dan kualitas
lingkungan, maka untuk mengelola sumberdaya alam, maka pemerintah perlu
melibatkan partisipasi langsung masyarakat, sehingga masyarakat paham akan
pentingnya usaha konservasi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi pada sisi yang
lain juga mendorong meningkatnya kebutuhan dan penggunaan sumberdaya
alam untuk memenuhi konsumsi masyarakat dunia. Meningkatnya kebutuhan
bahan baku industri dan pangan dunia yang semakin meningkat, maka
berdampak terhadap pengurangan luas hutan (deforestasi) secara
tahun 2002 mencapai 926,3 ha, tahun 2003 mencapai 1.906,1 ha, tahun 2004
mencapai 634,7 ha, dan tahun 2005 mencapai 962,5 ha disebabkan oleh
kegiatan illegal logging, hak Penguasaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri
(HTI), perkebunan besar, transmigrasi, dan pertanian skala kecil (ITTO-CITES
PROJECT, 2009). Kondisi tersebut dapat memicu terjadinya kerusakan lahan
dengan sangat cepat. Tahun 1984 kerusakan lahan di Indonesia mencapai 9,69
juta ha meliputi 22 DAS. Kemudian tahun 1994 kerusakan lahan mencapai 12,52
juta ha meliputi 39 DAS. Tahun 2000 kerusakan lahan mencapai 23,71 juta ha
meliputi 42 DAS, sedangkan tahun 2004 kerusakan lahan sudah mencapai 45,43
juta ha tersebar di 65 DAS seluruh Indonesia (DIRJEN RRL, 1999; DIRJEN PLA,
2004).
Pengelolaan DAS merupakan salah satu aspek objek pembangunan yang
harus dilakukan secara terpadu dan mengarah pada azas kelestarian lingkungan
khususnya konservasi terhadap potensi sumberdaya tanah dan air. Perencanaan
pembangunan dan pengembangan wilayah yang meliputi areal permukiman,
pengembangan perkotaan, lahan pertanian, dan sarana usaha lain harus
mengarah pada ketentuan tata ruang yang berlaku, sehingga pembangunan
yang berkelanjutan (Sustainable Development) dapat tercapai bagi
kesejahteraan manusia. Konversi lahan hutan menjadi permukiman, lahan
pertanian, dan sarana kegiatan ekonomi lain merupakan konsekuensi kebijakan
pembangunan akibat dari desakan perekonomian dan pertambahan penduduk
dari waktu ke waktu. Kondisi tersebut bila berlangsung secara terus-menerus
tanpa kendali, maka dapat berakibat pada kerusakan lingkungan dan terjadinya
bencana tanah longsor, banjir pada musim hujan atau sebaliknya kekeringan
pada musim kemarau.
Pada sisi lain perubahan tutupan lahan yang tidak terkendali dapat
mengakibatkan perubahan fungsi hidrologis DAS dan seringkali mengarah pada
kondisi peningkatan aliran permukaan, erosi dan sedimentasi. Kartiwa et al.
(1997), menyatakan di sub DAS Cisadane Hulu yang mengalami pengurangan
hutan sebesar 20% dari keadaan semula meningkatkan aliran sungai tahunan
dari 2.586 mm.th-1 menjadi 2.678 mm.th-1, sedangkan perluasan hutan sebesar
20% dari luasan semula dapat menurunkan aliran sungai tahunan dari 2.586
mm.th-1 menjadi 2.426 mm.th-1. Gerold et al. (2005), menyatakan terjadi variasi
aliran permukaan (run off) dan erosi tanah dari tutupan lahan yang berbeda di
7 – 8 tahun aliran permukaan (run off) 424,2 m3.ha-1 (8,5%), tanaman coklat
berumur lebih 15 tahun 201,2 m3.ha-1 (4%), kemudian di hutan alam 7,4%, di
tanah bera 77%, dan di rumput alang-alang 4,2% dari besarnya hujan.
Sebagai salah satu upaya untuk mengetahui resiko kegiatan perubahan
lahan hutan menjadi areal penggunaan lain. Perlu dilakukan analisis dengan
pendekatan holistik bersifat spasio-temporal dengan mempertimbangkan kondisi
biofisik, praktik budidaya, sosial-ekonomi, dan aksesibilitas. hal ini dimaksudkan
untuk memperoleh informasi sekaligus mengenali sejauh mana perubahan
karakteristik DAS dan penurunan respons hidrologis yang terjadi akibat dari
perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama ini. Setelah dapat dikenali
karakteristik dan respons hidrologis DAS Barito Hulu kemudian perlu dilakukan
simulasi antara pasokan (supply) dan kebutuhan (demand) air bagi
masing-masing jenis tanaman dan vegetasi hutan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk
efisiensi sumber daya air bagi kelangsungan kehidupan dan sekaligus upaya
konservasi air dan tanah di DAS yang bersangkutan.
Strategi konservasi yang dapat diterapkan di DAS bagian hulu meliputi
beberapa aspek yaitu; keterlibatan/partisipasi masyarakat, regulasi dan kebijakan
pemerintah, penegakan hukum, membangun zonasi tutupan dan penggunaan
lahan yang proporsional. Penelitian ini difokuskan pada aspek teknis yaitu
membangun zonasi tutupan dan penggunaan lahan, dengan demikian
diharapkan menjadikan solusi dan alternatif konservasi sumberdaya air dan
tanah.
Kombinasi teknologi RS-GIS dan model analisis hidrologi yang
dikembangkan oleh USDA yaitu Soil Water Assesment Tool (SWAT) merupakan
pilihan metode yang tepat untuk diterapkan pada penelitian ini. Menurut Fohrer
dan Frede (2002; Girolamo et al. 2003), integrasi GIS dan SWAT dapat
memberikan gambaran respons hidrologi DAS akibat perubahan tutupan lahan
dan sangat sesuai untuk mengevaluasi karakteristik hidrologi sebagai dasar
perencanaan pengelolaan suatu DAS. Penelitian ini lebih khusus difokuskan
mengkaji respons hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan kemudian
disimulasikan terhadap kebutuhan air tanaman sebagai dasar penetapan zonasi
1.2 Rumusan Masalah dan Lingkup Penelitian
Hutan merupakan salah satu komponen DAS yang berfungsi untuk
menjaga tata air di wilayah tersebut. Kawasan hutan memiliki laju infiltrasi lebih
tinggi dibandingkan dengan areal penggunaan lain. Keberadaan serasah organik
dapat melindungi pori-pori tanah dari penyumbatan, oleh karena itu tanah hutan
memiliki kemampuan menyimpan air yang tinggi. Menurut Purwanto dan Ruijter
(2004), bahwa hutan memiliki daya tampung dan daya infiltrasi air yang tinggi,
oleh karena itu aliran permukaan yang terjadi pada lahan berhutan sangat kecil.
Tingginya kemampuan infiltrasi tanah hutan dan rendahnya aliran permukaan
akan menyebabkan air mudah mencapai sistem air tanah (akuifer) sehingga
jumlah air yang tertampung di dalam reservoir air tanah menjadi tinggi. Air
tersebut kemudian dilepaskan kembali secara bertahap sebagai aliran dasar
(baseflow) ke sungai-sungai. Konservasi sumberdaya air dapat dilakukan dengan
menyimpan air di dalam tanah melalui peningkatan kapasitas infiltrasi tanah.
Peningkatan kapasitas infiltrasi tersebut dapat diupayakan melalui konservasi
hutan secara proporsional. Upaya konservasi tersebut diharapkan dapat
mengembalikan fungsi hutan sebagai pengatur tata air.
Sebagai konsekuensi meningkatnya jumlah penduduk dan kebijakan
pembangunan daerah kabupaten Murung Raya, maka akan terjadi pemanfaatan
dan alih fungsi lahan hutan menjadi areal penggunaan lain. Jika pembangunan
berlansung hanya berorientasi kepada pertambahan nilai ekonomis dan tidak
mempertimbangkan dampak perubahan penggunaan lahan serta mengabaikan
aspek konservasi, maka dapat berakibat menurunkan produktivitas lahan dan
ketersediaan sumber daya air. Kerusakan tanah akibat perubahan penggunaan
lahan dapat menyebakan terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi dan
peningkatan aliran permukaan, sehingga berdampak pada meningkatnya debit
pada musim hujan (banjir) dan sebaliknya menurunkan debit pada musim
kemarau (kekeringan).
Kebijakan dan langkah pembangunan Kabupaten Murung Raya
seharusnya mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Untuk menentukan
sejauh mana konversi lahan hutan menjadi areal penggunaan lain boleh
dilakukan memerlukan kajian yang cermat. Pengembangan penggunaan lahan
pertanian harus sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi sumber daya tanah dan
air. Pengelolaan lahan pertanian yang dilakukan secara proporsional menurut
menjawab permasalahan dan sekaligus sebagai usaha konservasi tanah dan air
di DAS Barito Hulu.
Mengingat permasalahan dalam pengelolaan DAS adalah sangat
kompleks, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada aspek perubahan
respons hidrologi DAS Barito Hulu akibat terjadinya perubahan tutupan lahan.
Selanjutnya dilakukan simulasi terhadap optimasi tutupan lahan untuk
memperoleh zonasi model pengelolaan yang optimal.
Prediksi respons hidrologi DAS Barito Hulu dan analisis kebutuhan air
tanaman pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model SWAT.
Simulasi antara pasokan dan kebutuhan air bagi masing-masing jenis tanaman
juga dilakukan sebagai upaya meningkatkan efisiensi penggunaan air secara
spasial dan temporal. hasil simulasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar
penetapan zonasi penggunaan lahan berdasarkan pasokan sumber daya air.
Untuk menyederhanakan dan memudahkan pemahaman, kerangka pemikiran
pada penelitian ini disajikan pada diagram alir Gambar 1.
Berdasarkan uraian di tersebut dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
1. Berapa besar perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Barito Hulu
selama kurun waktu 14 tahun terakhir.
2. Seberapa efektif perubahan penggunaan lahan sebagai faktor pengendali
respons hidrologi DAS Barito Hulu.
3. Bagaimana produktivitas DAS Barito Hulu akibat dari perubahan
penggunaan lahan.
4. Solusi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan potensi
dan pola distribusi sumber daya air antar musim sebagai dampak dari
perubahan penggunaan lahan, sehingga sumber daya air dan tanah yang
tersedia dapat optimal.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan Zona
penggunaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian berdasarkan
pasokan sumber daya air DAS Barito Hulu. Penelitian ini juga mempunyai
beberapa tujuan khusus.
1. Menentukan hasil air dan evapotranspirasi pada tutupan lahan tahun 1990
dan 2003.
2. Menentukan besarnya erosi pada tutupan lahan tahun 1990 dan 2003.
3. Optimasi penggunaan lahan pertanian dalam rangka untuk menentukan
zonasi penggunaan lahan DAS Barito Hulu.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi bagi pihak yang berkepentingan mengenai zonasi
penggunaan lahan optimal DAS Barito Hulu dalam rangka konservasi lahan
dan air secara alami, melalui teknologi budidaya.
2. Sebagai informasi dan data dasar penelitian yang berkenaan dengan
konservasi lahan dan air serta dasar kebijakan bagi pemerintah kabupaten
Murung Raya untuk pengelolaan DAS Barito Hulu berbasis pertanian
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Simulasi model
SWAT
Optimasi tutupan dan penggunaan lahan
Fungsi DAS Sehat (Respons hidrologi terjadi
lebih baik) Penegakan
hukum Partisipasi
masyarakat Kebijakan Alokasi
Penggunaan Lahan: (Zonasi penggunaan lahan berdasarkan ketersediaan sumberdaya air)
Regulasi dan kebijakan pemerintah DAS
Aktivitas Manusia Tutupan dan Penggunaan
Lahan
Deforestasi
Kegiatan konservasi Degradasi lahan DAS (berdampak pada limpasan
II. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian Pewilayahan Hidroklimat dan Daerah Aliran Sungai
Wilayah adalah bagian daerah tertentu di permukaan bumi yang
mempunyai sifat khas sebagai akibat dari adanya hubungan khusus antara
kompleks lahan, air udara, flora,fauna, dan manusia.
Hidroklimat adalah salah satu cabang ilmu lintas disiplin yang mempelajari
tentang proses-proses hidrologi di atmosfer, kemudian dikembangkan dengan
penerapan teknologi sebagai pemanfatan sumberdaya air di hidrosfer maupun di
litosfer.
Pewilayahan hidroklimat adalah usaha/pendekatan untuk pemetaan
pembagian secara proporsional proses-proses siklus hidrologi secara spasial dan
bereferensi permukaan bumi.
Siklus hidrologi dapat digambarkan sebagai proses sirkulasi air dari lahan,
tanaman, sungai, danau, laut serta badan air lainnya yang ada di permukaan
bumi menuju atmosfer akibat penguapan serta turunnya kembali air tersebut baik
dalam bentuk hujan, salju dan lainnya yang terus berulang (Waston dan Burnett,
1995). Sebagai ilustrasi untuk memahami siklus hidrologi di alam disajikan pada
Gambar 2.
Infiltrasi adalah peristiwa masuknya air hujan ke dalam tanah secara
vertikal (Baver et al., 1972; Arsyad, 2006). Menurut Crawford dan Linsley (1966)
infiltrasi dibedakan menjadi infiltrasi langsung dan infiltrasi tertunda. Infiltrasi
langsung adalah bagian curah hujan yang diasumsikan akan masuk dan mengisi
daerah simpanan bawah permukaan dan simpanan air bawah tanah, sedangkan
infiltrasi tertunda adalah bagian lain curah hujan yang akan mengisi simpanan
permukaan dan terdistribusi sebagai aliran permukaan, setelah air memenuhi
kapasitas infiltrasi, maka penambahan air berikutnya dipergunakan untuk mengisi
depresi di permukaan tanah (depression storage), sebelum air tersebut mengalir
di atas permukaan tanah.
Limpasan permukaan (overland flow) adalah bagian dari curah hujan yang
mengalir di atas permukaan tanah sebelum mencapai saluran atau sungai
(Linsley et al., 1982; Chow et al., 1988). Limpasan permukaan tersebut
memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi air dibandingkan dengan
aliran bawah permukaan (sub surface flow) dan aliran dasar (ground water flow)
Gambar 2 Skema Siklus Hidrologi DAS (Neitsch et al., 2001)
Aliran bawah permukaan adalah air yang masuk ke dalam tanah tetapi
tidak dapat masuk cukup dalam karena adanya lapisan kedap air. Air tersebut
mengalir di bawah tanah kemudian keluar pada suatu tempat di bagian yang
lebih rendah atau masuk ke sungai dan umumnya air tersebut jernih (Arsyad,
2006).
Aliran bawah permukaan tersebut disuplai melalui infiltrasi yang tertunda di
daerah aliran bawah permukaan karena pengaruh sifat-sifat tanah. Bagian air
yang masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi langsung dan infiltrasi tertunda akan
mengisi simpanan daerah bawah permukaan atau simpanan air bawah tanah
melalui perkolasi.
Aliran air bawah tanah adalah air yang masuk dan terperkolasi jauh ke
dalam tanah menjadi air bawah tanah (Arsyad, 2006). Air tersebut mengalir di
dalam tanah dengan sangat lambat masuk ke sungai. Umumnya air tersebut
dapat mencapai saluran setelah beberapa hari, bahkan sampai beberapa bulan
(Ward, 1975).
Aliran sungai adalah total volume air yang tertampung dan mengalir dalam
saluran atau sungai-sungai. hasil akhir dari respons DAS terhadap masukan
curah hujan dan unsur cuaca untuk suatu jangka waktu tertentu dapat
ditunjukkan oleh hidrograf aliran sungainya, dalam kajian hidrologi dinilai sangat
A liran B aw ah Pe rm uk aan
B a s e f lo w
Ali ra n Pe r m uk aan
In fil tra si
P er m uk aa n Air Tana h e v a p o tr a n s p ir a s i
SIK L U S H ID R O L O G I PA D A S U A T U D A ER A H A L IR A N S U N G A I
P e r k o la s i
H uja n
e v a p o ra s i
In f iltra s i
penting sebagai penyedia informasi mengenai berbagai proses aliran (Wilson,
1970; Boughton dan Freebairn, 1985). Komponen hidrograf meliputi; 1). Aliran
langsung, 2). Aliran bawah permukaan, 3). Aliran air bawah tanah, dan 4). Curah
hujan yang langsung jatuh di atas sungai (Chow, 1964). Komponen curah hujan
yang jatuh di atas sungai, pada umumnya relatif kecil sehingga dapat diabaikan.
Evapotranspirasi merupakan gabungan dari dua istilah yaitu evaporasi dan
transpirasi. Evaporasi diartikan sebagai peristiwa berubahnya air menjadi uap
dan bergerak dari permukaan tanah dan permukaan badan air ke udara,
sedangkan transpirasi diartikan sebagai peristiwa penguapan yang berasal dari
tanaman (Schwab et al., 1981). Thornthwaite (1948), membedakan
evapotranspirasi menjadi evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi potensial.
Evapotranspirasi aktual yang terjadi dalam keadaan kandungan air tanah
terbatas, sedangkan evapotranspirasi potensial adalah jumlah air yang diuapkan
dalam jangka waktu tertentu oleh tumbuhan yang tumbuh aktif dan menutup
secara sempurna permukaan tanah dalam keadaan persediaan air cukup,
ditambah dengan air yang menguap langsung dari permukaan tanah di
bawahnya. Ketika kandungan air tanah cukup dan pertumbuhan tanaman tidak
tertekan, evaporasi akan mencapai maksimum, keadaan tersebut merupakan
tingkat potensial dari penguapan untuk nilai unsur-unsur iklim pada waktu
tersebut.
Daerah aliran sungai (DAS) diartikan sebagai hamparan lahan yang
dibatasi oleh pemisah topografi dan yang menampung serta mengalirkan curah
hujan yang jatuh di atasnya ke sungai-sungai utama (Tim IPB, 1978). Menurut
Soerjono (1978) daerah aliran sungai merupakan suatu sistem yang terdiri dari
berbagai komponen unsur, di mana unsur-unsur utamanya adalah vegetasi,
tanah, air, dan manusia dengan segala upaya yang dilakukannya. Menurut
Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1977 tentang DAS, bahwa daerah aliran
sungai adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian
rupa sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya
yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang
berasal dari curah hujan dan sumber lainnya.
Pengertian tersebut dapat disederhanakan bahwa DAS adalah suatu
hamparan lahan yang dibatasi oleh topografi secara alami yang berfungsi untuk
menerima dan menampung air hujan, serta mengalirkannya yang disertai oleh
Lahan adalah suatu wilayah permukaan bumi mencakup semua komponen
biosfir yang dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah
wilayah tersebut, termasuk atmosfir, tanah, batuan induk, relief, hidrologi,
tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas
manusia di masa yang lalu dan sekarang, yang kesemuanya itu berpengaruh
terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan masa yang
akan datang. Kegiatan atau usaha manusia memanfaatkan lahan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya baik material dan spiritual atau keduanya secara
tetap dan berkala disebut penggunaan lahan (FAO, 1976).
Lahan merupakan ekosistem karena mencerminkan adanya hubungan
interaksi antara unsur-unsur pembentuknya yang menghasilkan suatu
keseimbangan ekologis tertentu. Sumberdaya lahan mencakup komponen biosfir
seperti; tanah, air, udara, vegetasi, satwa dan mungkin bangunan yang terdapat
di atasnya akibat dari campur tangan manusia.
2.2 Penerapan Sistem Informasi Geografi (GIS) dan Remote Sensing (RS) dalam Pewilayahan Hidroklimat
Chakraborty et al. (2003) telah menggunakan teknologi remote sensing dan
GIS untuk karakterisasi dan evaluasi perubahan penggunaan/tutupan lahan,
serta mempelajari prilaku respon hidrologi DAS Birantiya Kalan, India antara
tahun 1988 hingga 1996. Pengurangan vegetasi penutup tanah yang dominan
sebesar 43% menjadi 34% dari keseluruhan areal DAS. Meningkatnya luas tanah
terbuka tanpa vegetasi (bera) dari 9% menjadi 20%. Vegetasi (tumbuhan perdu)
meningkat dari 34% menjadi 68% dan Semak belukar menurun dari 62% menjadi
27%. Kondisi tersebut dapat meningkatkan limpasan permukaan langsung yang
terjadi antara 15% hingga 20% (50 mm hingga 70 mm) dari curah hujan yang
lebih dari 100 mm.
Melesse and Graham (2003) mengembangkan model distribusi spasial
berbasis GIS untuk mempelajari respons hujan-limpasan permukaan di sub DAS
Etonia Creeks, sungai St Johns, Florida. Meningkatnya pengembangan wilayah
perkotaan pada tahun 1995, menunjukkan aliran puncak naik sebesar 6,5% dan
waktu untuk mencapai puncak menurun sebesar 10%. Pada tahun 2000
perluasan pembangunan wilayah perkotaan meningkatkan aliran puncak sebesar
16% dan menurunkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai aliran puncak
Pada tahun 2000 telah dikembangkan model SWAT yang diintegrasikan ke
dalam format GIS untuk mempelajari respons hidrologi DAS dalam skala yang
luas (Luzio et al., 2003). Santhy et al. (2005) menerapkan model SWAT untuk
optimasi pengelolaan irigasi pertanian. hasil simulasi model menunjukkan bahwa
rata-rata evapotranspirasi tanaman dan kebutuhan air irigasi masing-masing
adalah 1280 mm dan 780 mm (tanaman tebu), 530 mm dan 390 mm (tanaman
jagung). Dalam hal ini tanaman tebu dan jagung berpotensi menyimpan air
masing-masing 6% dan 7% dari total kebutuhan air. Secara umum bahwa
simulasi model SWAT dari berbagai tanaman mampu menghasilkan simpanan
air (menghemat air) sebesar 15% hingga 20% dari total kebutuhan air.
Nyarko (2000) mengembangkan model rasional dalam format GIS untuk
memprediksi resiko banjir di Greater Accra, Ghana yang luasnya kurang lebih
786,59 Km2. hasil prediksi debit aliran rata-rata di sub DAS Sakumo pada tiga
tempat yang berbeda berturut-turut adalah; 155 m3.dt-1 bagian hulu, 1.825 m3.dt-1
bagian tengah, dan 1.271 m3.dt-1 bagian hilir. Secara umum bahwa pada
intensitas hujan yang sama yaitu 140 mm.jam-1 belum menyebabkan banjir untuk
seluruh areal yang berbeda. Areal yang memiliki resiko banjir tinggi adalah
berkisar 35,66% dari luas areal penelitian, sedangkan yang beresiko banjir
rendah berkisar 26,85%. Areal yang memiliki kesamaan banjir secara periodik
pada musim hujan adalah pada ketinggian (elevasi)di bawah 350 m dpl.
2.3 Perubahan Penggunaan/Tutupan Lahan dan Respons Hidrologi DAS Sumberdaya lahan saat ini kondisinya berada dalam keadaan kritis akibat
dari pertambahan jumlah penduduk yang tinggi dan kegiatan sosial ekonomi.
Saat ini paling tidak ada sekitar 16% lahan yang sesuai untuk pertanian telah
terdegradasi dan angka tersebut menunjukkan kecenderungan yang meningkat
terus (UNEP and FAO, 1999).
Menurut Martin (1997) bahwa perubahan penggunaan lahan merupakan
pertambahan suatu penggunaan lahan yang diikuti oleh berkurangnya
penggunaan lahan lain dari waktu ke waktu. Perubahan penggunaan lahan di
daerah pedesaan (rural) terjadi dari lahan hutan menjadi lahan pertanian dan
permukiman. Sedangkan di daerah pinggiran kota (sub urban) dan perkotaan
(urban) terjadi dari lahan pertanian menjadi lahan permukiman dan industri.
Perubahan penggunaan lahan tersebut dapat berdampak kepada keseimbangan
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan secara intensif di beberapa negara,
menunjukkan bahwa pengurangan jumlah dan komposisi vegetasi berpengaruh
terhadap perilaku aliran air. Aliran air tahunan meningkat apabila vegetasi
dihilangkan atau dikurangi dalam jumlah cukup besar. Secara umum kenaikan
aliran air tersebut disebabkan oleh penurunan penguapan air oleh vegetasi
(transpirasi), sehingga aliran permukaan maupun air tanah menjadi lebih besar
(Bosch dan Hewlett, 1982; hamilton dan King, 1992; Bruijnzeel, 1990; Malmer,
1992). Perbedaan respons antara beberapa sub DAS di dalam suatu DAS,
ditentukan oleh sifat tangkapan air seperti geologi, topografi, tanah dan
karakteristik vegetasi dari pada input meteorologi. Pada tangkapan air besar
terdapat variasi ruang (spatial) dan waktu (temporal) yang lebih nyata dalam hal
keadaan meteorologi (curah hujan, penyinaran matahari dan angin). Oleh karena
itu sifat hidrologi seperti debit air akan berbeda antara DAS besar dan DAS kecil
(Agus et al., 2004).
Sebagai akibat dari penggundulan hutan, maka tanggap lahan terhadap
hujan akan berubah, tergantung pada sistem penebangan hutan, iklim wilayah,
kondisi geologi dan curah hujan. Satu faktor paling penting yang akan berubah
ketika terjadi penggundulan hutan dan gangguan terhadap tanah adalah
menurunnya kemampuan tanah menyerap air karena penurunan kapasitas
infiltrasi tanah. Alihguna hutan tropis menjadi lahan pertanian menyebabkan
penurunan kapasitas infiltrasi tanah pengambilan air oleh pepohonan karena
faktor-faktor berikut (Purwanto dan Ruijter, 2004) : (1) tersingkapnya permukaan
tanah yang gundul terhadap pukulan butir-butir air hujan secara langsung; (2)
menurunnya transpirasi karena tanaman pertanian tidak mempunyai tajuk secara
terus-menerus; (3) pemadatan tanah lapisan atas; dan (4) lenyapnya aktivitas
fauna tanah secara perlahan-lahan.
Salah satu akibat dari perubahan penggunaan lahan hutan ke penggunaan
pertanian adalah meningkatnya jumlah aliran tahunan yang keluar dari DAS
tersebut. Kejadian ini merupakan konsekuensi sederhana dari keseimbangan
air; jika evaporasi dari air yag diintersepsi dan transpirasi oleh tanaman
berkurang, maka air yang mengalir sebagai aliran sungai menjadi lebih banyak,
apalagi setelah kapasitas penyimpanan air oleh tanah tidak mampu menampung
lagi. Total hasil air di suatu DAS meningkat secara nyata pada pertanian lahan
kering (sekitar 150 – 450 mm.th-1, tergantung curah hujan) dibandingkan dengan
peningkatan debit puncak dibanding dengan peningkatan aliran dasar. hal ini
menunjukkan adanya potensi peningkatan frekuensi dan intensitas banjir pada
daerah hilir (Purwanto dan Ruijter, 2004). Pada hutan alami yang belum
terganggu, umumnya aliran sungai di musim kemarau (baseflow) dapat
dipertahankan pada tingkat tertentu. Aliran ini diperoleh pada musim hujan ketika
tersedia cukup air yang mampu menginfiltrasi melalui tanah hutan yang
mempunyai permeabilitas tinggi dan menembus tanah lapisan bawah.
Penurunan kapasitas infiltrasi menyebabkan tanah menjadi cepat jenuh oleh air
hujan sehingga memaksa air untuk mengalir di permukaan tanah.
Tutupan lahan oleh pohon dengan segala bentuknya dapat mempengaruhi
aliran air. Tutupan pohon tersebut dapat berupa hutan alami, pohon sebagai
tanaman pagar atau pohon monokultur (misalnya hutan tanaman industri). Van
Noordwijk et al. (2004) tutupan pohon ini mempengaruhi aliran air dalam
berbagai tahapan yakni : (1) Intersepsi ; selama kejadian hujan, tajuk pohon
dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan
tipis air pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami
evaporasi sebelum jatuh ke tanah; (2) Perlindunganagregattanah ; vegetasi dan
lapisan serasah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung butir-butir
hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah sehingga terjadi pemadatan
tanah (clogging) ; (3) Infiltrasi; Proses infiltrasi tergantung dari struktur tanah
pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah; dan (4)
Drainase lansekap; Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan)
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief
permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama
sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran
permukaan yang dapat memicu terjadinya aliran cepat. Perubahan lahan hutan
alam menjadi perkebunan coklat di daerah batas hutan Taman Nasional Lore
Lindu menurunkankan intersepsi hujan dari 30,5% menjadi 9,8% dari hujan total
637,2 mm dengan 42 kejadian hujan (Anwar, 2003). Gintings (1981), melaporkan
hasil penelitiannya bahwa perubahan hutan alam menjadi perkebunan kopi di
Lampung Utara meningkatkan limpasan permukaan dari 104,75 m3.Ha-1 menjadi
633,37 m3.Ha-1 atau sebesar enam kali lipat dari kondisi semula.
Luas hutan di sub DAS Cilalawi hanya menempati luasan 93 ha atau
1,55% dari wilayah sub DAS. Persentase penggunaan lahan yang tertinggi
yaitu 21% dan 18%. Berdasarkan hasil analisis lahan sawah menurun sekitar
489,76 ha atau 8%. Peningkatan luas areal pemukiman 360 ha menjadi 1.112 ha
atau meningkat 12%. Perubahan tersebut berdampak pada aliran puncak yaitu
163 m3.dt-1 dari curah hujan 148 mm. Sedangkan curah hujan 83 mm
menghasilkan aliran puncak 115 m3.dt-1 (Salwati, 2004).
2.4 Model Analisis Hidrologi
Analisis hidrologi dapat digunakan untuk berbagai kepentingan seperti
kepentingan perencanaan fasilitas drainase dan irigasi, perencanaan pertanian,
pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan sebagainya. Untuk keperluan
analisis tersebut, maka digunakan data aliran sungai dan data iklim. Dalam
kaitan ini diperlukan pemahaman yang baik tentang DAS sebagai suatu sistem
(Harto, 1993).
Linsley et al. (1982) mengemukakan bahwa model hidrologi dipakai untuk
memberikan gambaran matematis yang relatif kompleks bagi siklus hidrologi.
harto (1993) mengemukakan bahwa dalam pengertian umum model hidrologi
adalah suatu sajian sederhana (simple representation) dari sebuah sistem
hidrologi yang kompleks. Pemilihan model untuk diterapkan pada suatu DAS
harus disesuaikan dengan kondisi DAS dan ketersediaan data. Struktur model
yang sederhana dan tidak terlalu banyak membutuhkan parameter, merupakan
bahan pertimbangan dalam pemilihan model. Pertimbangan lainnya adalah
model yang siap dipakai dan mudah diterapkan adalah suatu faktor penting
dalam menetapkan model yang akan digunakan dalam suatu DAS (Suprayogi,
2003). haan et al. (1982) mengemukakan bahwa pemilihan suatu model
didasarkan pada ketepatan pendugaan (accuracy of prediction), kesederhanaan
model (simplicity of the model), konsistensi pendugaan parameter (consistency of
parameter estimates) dan sensitivitas model terhadap perubahan.
Soil and Water Assessment Tools (SWAT) merupakan model hidrologi
yang berbasis proses fisika (physically based model) yang memerlukan informasi
spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi, vegetasi, dan praktek
pengelolaan lahan yang terjadi di suatu DAS. Proses-prose fisika yang
berhubungan dengan pergerakan air, sedimentasi, pertumbuhan tanaman, siklus
hara dan sebagainya secara langsung dapat dimodelkan oleh SWAT. Proses dan
fenomena yang terjadi di suatu DAS yang dimodelkan oleh SWAT didasarkan
berskala DAS yang dikembangkan oleh Jeff Arnold dari Agricultural Research
Service (ARS) USDA pada awal tahun 1990. SWAT dikembangkan untuk
memprediksi pengaruh pengelolaan lahan terhadap hasil air, sedimentasi,
pestisida, dan kimia hasil pertanian. SWAT dibangun dari gabungan beberapa
model yang dikembangkan oleh ARS, seperti; Simulator for Water Resources in
Rural Basins (SWRRB) (Williams et al., 1985; Arnold et al., 1990), Chemicals,
Limpasan permukaan, and Erosion from Agricultural Management Systems
(CREAMS) (Knisel, 1980), Groundwater Loading Effacts on Agricultural
Management Systems (GLEAMS) (Leonard et al., 1987), dan
Erosion-Productivity Impact Calculator (EPIC) (Williams et al., 1984). Deskripsi file input
SWAT disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Deskripsi file input dan fungsinya dalam analisis hidrologi
Nama file Fungsi
FIG
CIO
COD
BSN
PCP
TMP
SLR
HMD
CROP
URBAN
SUB
WGN
RTE
HRU
MGT
SOL
GW
Mendefinisikan jaringan hidrologi DAS
Mengontrol file input dan output
Menentukan waktu simulasi
Mengontrol parameter tingkat DAS
File data curah hujan harian
File data temperature maksimum dan minimum harian
File data radiasi matahari harian
Filedata kelembaban udara harian
File parameter tumbuh tanaman
File data lahan terbangun
Mengontrol parameter di tingkat sub DAS
File data statistik generatot iklim
File parameter gerakan air dan sediment
Mengontrol parameter tingkan HRU
File skenario pengelolaan dan penutupan lahan
File karakteristik tanah
File air bawah tanah
[image:35.595.111.482.213.795.2]2.5 Analisis Kebutuhan Air Tanaman
Air merupakan sumberdaya utama selama siklus hidup tanaman, mulai dari
fase perkecambahan hingga fase panen. Tanpa air tanaman tidak akan mampu
tumbuh, dan defisit air akan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan
normal (Fitter dan hay, 1998). Menurut Gardner et al. (1991) pentingnya peranan
air dan tingginya kebutuhan air bagi kelangsungan hidup tanaman, maka
tanaman memerlukan air bervariasi menurut masing-masing fase
pertumbuhannya. Ketika air menjadi faktor pembatas, maka laju pertumbuhan
tanaman akan menurun dan pada akhirnya dapat berakibat menurunkan hasil
panen. Besar atau kecilnya penggunaan/pengambilan air oleh tanaman antara
lain dipengaruhi oleh; berat massa tanaman (biomassa), diameter batang,
diameter pembuluh, panjang elemen pembuluh dan tinggi tanaman (February et
al., 1995).
Untuk tanaman muda kebutuhan air relatif rendah kemudian meningkat
secara bertahap hingga kanopi telah menutupi permukaan tanah secara
sempurna, dan selanjutnya menurun menjelang pemasakan (Clements, 1980).
Air merupakan senyawa utama penyusun protoplasma, sebagai pelarut, dan
media pengangkut hara mineral yang diserap oleh akar dari tanah. Air juga
berperan sebagai media bagi berlangsungnya reaksi-reaksi metabolisme, bahan
baku proses fotosintesis dan mengatur turgiditas sel tumbuhan (Prawiranata et
al., 1992).
Kebutuhan air bagi tanaman (crop water requirement) dapat dihitung dari
konsumsi air oleh tanaman (water use) yang didefinisikan sebagai jumlah air
yang hilang dari areal yang bevegetasi per satuan waktu yang digunakan untuk
proses evapotranspirasi (Murdiyarso, 1991). Selain itu karakteristik tanaman
seperti jenis, pertumbuhan dan fase perkembangan tanaman juga berpengaruh
terhadap jumlah air yang dibutuhkan tanaman (Baharsyah, 1991; Allen et al.,
1998). Air tersedia adalah air yang dapat diserap oleh akar tanaman dari dalam
tanah. Jumlah air yang tersedia bagi tanaman berkisar antara titik layu permanen
dan kapasitas lapang. Titik layu permanen adalah batas minimal nilai tersebut
akar tanaman tidak mampu menyerap air dari dalam tanah. Kapasitas lapang
adalah jumlah air maksimum yang tetap tersimpan dalam tanah yang tidak
mengalir ke bawah karena gaya gravitasi (Gardner et al., 1991; Soepardi, 1983).
Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas yang menentukan jenis
sistem usahatani membutuhkan air yang bervariasi menurut sifat genetis dan
faktor lingkungan. Ketersediaan air tanah akan menentukan status air tanaman
dan penting dalam proses absorbsi CO2 (Chang, 1968; Sumayao et al., 1977;
Jansen, 1991; Grant et al., 1993; Koesmaryono, 1999).
Model kebutuhan air dikembangkan dari persamaan matematis dalam
menghitung kebutuhan air tanaman (KAT). Doorenbos and Pruitt (1977),
mengemukakan bakwa kebutuhan air tanaman setara dengan evapotranspirasi
tanaman (ETc) yang dipengaruhi oleh evapotranspirasi aktual (ETo) dan
koefisien tanaman yang dipengaruhi oleh jenis tanaman dan tahap pertumbuhan.
Kebutuhan air bagi tanaman yang besarnya sebanding dengan proses
penyerapan air oleh akar tanaman dari dalam tanah untuk kebutuhan
metabolisme, kemudian diuapkan kembali dari dalam tanaman disebut sebagai
evapotranspirasi (Kodoatie et al. 2008).
Hatmoko et al. (1993) melakukan studi kebutuhan air di Daerah Pengaliran
Sungai (DPS) Bengawan Solo bahwa proporsi kebutuhan air irigasi pertanian
mencapai 97% dan kebutuhan domestik mencapai 3%. Sugiarto (1995)
melaporkan hasil penelitiannya di DAS Citarum Hulu bahwa kebutuhan air irigasi
pertanian mencapai 724 juta m3.th-1 (67%), kebutuhan air rumah tangga dengan
jumlah penduduk 3.821 juta jiwa mencapai 321 juta m3.th-1 setara dengan 7
m3.dt-1 (21%), dan kebutuhan air industri mencapai 131 juta m3.th-1 (12% dari
III.
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Hulu
Kabupaten Murung Raya, secara geografis terletak antara 113o20’ – 115o55’ BT
dan antara 0o53’48’’ – 0o46’06’’ LU. Kabupaten Murung Raya memiliki luas
wilayah 23.700 km2 dan didominasi oleh pegunungan dan perbukitan serta hulu
sungai Barito. Sungai Barito diperkirakan memiliki panjang 900 km, dan terdiri
dari beberapa anak sungai antara lain; sungai Laung sepanjang 35,75 km,
sungai Babuat sepanjang 29,25 km, sungai Joloi sepanjang 40,75 km, dan
sungai Busang sepanjang 75,25 km. Masing-masing anak sungai memiliki
kedalaman dasar antara 3 – 8 m dan lebar badan sungai 25 m. Peta administrasi
dan jaringan hirologi DAS Barito Hulu yang merupakan lokasi penelitian disajikan
pada Gambar 5. Pelaksanaan direncanakan mulai bulan Februari 2009 – Juli
2009.
3.2 Data, Alat, Software, dan hardware yang Dipergunakan Perlengkapan yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Peralatan pengukur cuaca dan hujan meliputi; tipping bucked dan penakar
hujan tipekolektor
2. GPS, untuk keperluan presisi koordinat tutupan lahan pada saat ground
check
3. Perangkat lunak;
a. software ERDAS v. 8.7
b. software ArcView v. 3.2
c. software model SWAT (2000)
4. Perangkat keras;
a. komputer (P4, Memori 4 GB)
b. printer
c. digitizer
Data utama yang dipergunakan terdiri dari:
1. Data citra Landsat TM+ rekaman tahun 1990 (p118,r60; p118,r61; p119,r59;
p119,r60 tanggal 28 Desember, disajikan pada Gambar 3)
2. Data citra Landsat TM+ rekaman tahun 2003 (p118,r60; p118,r61; p119,r59;
p119,r60 tanggal 2 Maret, disajikan pada Gambar 4)
4. Peta DEM/SRTM (90 m x 90 m) diperoleh dari LAPAN.
Gambar 5. Lokasi Penelitian
3.3 Metode
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan, yaitu: 1) tahap
persiapan dan pengumpulan data, 2) tahap analisis data dan out put, 4) tahap
running model SWAT, 5) tahap simulasi antara ketersediaan dan kebutuhan air
bagi tanaman, 6) dan tahap penetapan zonasi (rekomendasi).
3.3.1 Persiapan Penelitian dan Pengumpulan Data
Tahap persiapan meliputi beberapa kegiatan antara lain; penentuan lokasi
penelitian dan sub DAS conto sebagai lokasi terpilih. Kegiatan persiapan tersebut
juga melakukan identifikasi dan inventarisasi data-data sekunder yang diperlukan
meliputi sifat-sifat fisik tanah, disamping penggunaan lahan meliputi pengelolaan
tanaman dan teknik konservasi yang dipergunakan, karakteristik sungai, iklim,
dan hidrologi. Penelitian dilakukan di tiga sub DAS terpilih yang dianggap
mewakili masing-masing penggunaan lahan seperti; hutan, lahan gundul, dan
areal budidaya pertanian. Penentuan lokasi didasarkan pada kesamaan
karakteristik biofisik DAS yang bersangkutan. Penentuan lokasi dilakukan secara
tepat dan representative, agar diperoleh hasil yang dapat mewakili karakteristik
wilayah, sehingga diharapkan hasil prediksinya lebih akurat. Penentuan sampel
dilakukan secara purposif dengan mempertimbangkan kesamaan dan variasi
karakteristik biofisik DAS yang bersangkutan. Diagram alir tahapan penelitian
disajikan pada Gambar 6.
Tahap pengumpulan data; penelitian ini berbasis data sekunder, sehingga
data sifat fisisk tanah bersumber dari hasil penelitian Basuki et al. (2003).
Sifat-sifat fisik tanah tersebut sebagai input data spasial dan merupakan karakteristik
pedon pewakil dari masing-masing satuan peta tanah (SPT). Untuk mengetahui
sebaran pedon pewakil pada masing-masing SPT, maka pedon-pedon pewakil
hasil pemetaan tanah kemudian diplotkan pada peta tanah DAS Barito Hulu.
Pengamatan dilakukan secara toposekuen dan sekaligus mengambil conto tanah
untuk dianalisis, sehingga dapat diperoleh informasi karakteristik tanah maupun
penyebarannya secara maksimal. hasil deskripsi pedon tanah tersebut
selanjutnya diplotkan pada peta land system untuk memperoleh peta satuan
tanah.
Data penggunaan lahan meliputi pengelolaan tanaman dan teknik
konservasi yang dipergunakan. Data pengelolaan tanaman meliputi jenis
kedalaman, kekasaran dasar dan dinding sungai diperoleh dari pengamatan
lapang.
Data iklim meliputi curah hujan harian, data temperatur, kelembaban udara
dan radiasi matahari selama 14 tahun diperoleh dari Stasiun Klimatologi Kelas III
Beringin Muara Teweh. Curah hujan yang terjadi di DAS Barito Hulu diasumsikan
menyebar secara merata.
3.3.2 Pengelolaan Data dan Input Model SWAT
a. Proses pengolahan citra
Pra pengolahan citra
Data citra memiliki beberapa keterbatasan akibat dari gangguan pada saat
proses perekaman, sehingga mempengaruhi kualitas citra itu sendiri. Gangguan
yang mempengaruhi kualitas citra diantaranya adalah gangguan geometrik dan
gangguan radiometrik. Gangguan geometrik adalah gangguan yang disebabkan
rotasi dan bentuk bumi, efek panoramik, perubahan kecepatan satelit, perilaku
dan variasi ketinggian satelit. Gangguan radiometrik adalah gangguan pada citra
yang disebabkan oleh semua tahap akuisisi citra, seperti; efek lapisan atmosfer
terhadap radiasi, optik, deteksi, amplifikasi elektronik, dan penyesuaian sensor
rekaman. Untuk meningkatkan kualitas citra akibat gangguan tersebut, maka
perlu dilakukan koreksi secara geometrik dan radiometrik.
Koreksi geometrik koreksi geometrik merupakan kegiatan transformasi citra
yang bertujuan memperbaiki topologi. Selain mengurangi distorsi yang terjadi
secara geometrik, juga merupakan suatu transformasi citra agar memiliki skala
dan sistem koordinat bumi sehingga dapat dipadukan dengan peta hasil
pengukuran secara teristorial. Koreksi geometrik dilakukan dengan menentukan
titik kontrol atau Ground Control Points (GPC). GPC adalah suatu titik di
permukaan bumi yang sudah diketahui koordinatnya baik pada citra (piksel kolom
HRU
Data iklim
Aplikasi Model SWAT
Model valid
ya
Validasi model
Parameter model Optimasi
Respons hidrologidan HRU DAS Barito Hulu (water yield, ET, dan erosi)
Respons hidrologi dan HRU DAS Barito Hulu (water yield, ET, dan erosi)
Optimasi Tabular
Optimasi Spasial
Deliniasi
Zonasi
penggunaan lahan
Selesai tida
k
Membangun HRU Peta DEM
Mulai
Persiapan
Reklasifikasi sistem lahan Rektifikasi dan registrasi
citra Landsat TM 1990 dan 2003
Klasifikasi tutupan lahan
Peta tutupan lahan tahun 1990 dan 2003
Parameterisasi satuan tanah
Gambar 6 Tahapan Kegiatan Penelitian
GPC dapat diturunkan dari peta digital rupa bumi dan atau citra yang telah
terkoreksi. Syarat yang digunakan untuk menentukan GPC adalah harus tersebar
secara merata di seluruh citra dan merupakan objek yang relatif permanen atau
tidak berubah dalam waktu yang relatif pendek (misalnya jalan dan sudut
bangunan) yang dapat diidentifikasi baik pada citra maupun pada peta dan
memiliki nilai RMS error < 1 piksel. Setelah citra terkoreksi kemudian dilakukan
proses resampling dengan menggunakan metode tetangga terdekat (nearest
neighbour). Proses tersebut dilakukan untuk menenrukan nilai digital terhadap
piksel-piksel citra setelah mengalami perubahan posisi hasil koreksi serta
menyesuaikan resolusi spasial tiap piksel.
Jaya (2005), GCP atau titik kontrol lapangan adalah suatu titik yang
letaknya pada suatu posisi piksel citra yang koordinat peta (referensinya)
diketahui. GCP terdiri atas sepanjang koordinat x dan y yang merupakan
koordinat sumber dan koordinat referensi. Secara teoritis jumlah minimum GCP
yang harus dibuat adalah:
(t + 1)(t = 2)/2
Ada dua operasi dasar yang umum dipergunakan pada rektifikasi yaitu:
1. Interpolasi spasial (spatial interpolation), yaitu proses relokasi setiap
piksel dalam citra input untuk koordinat (x’, y’) ke lokasi yang sebenarnya
pada citra output dengan menggunakan persamaan transformasi
koordinat geometris, sebagai berikut:
• Orde I diperlukan minimal 3 GCP
p' = ao + a1X + a2Y
l' = bo + b1X + b2Y
• Orde II diperlukan minimal 6 GCP
p' = ao + a1X + a2Y + a3XY + a4X2 + a5Y2
l' = bo + b1X + b2Y + b3XY + b4X2 + b5Y2 • Orde III diperlukan minimal 10 GCP
p' = ao+a1X+a2Y+a3XY+a4X2+a5Y2+a6X2Y+a7XY2+a8X3+a9Y3
l' = bo+b1X+b2Y+b3XY+b4X2+b5Y2+b6X2Y+b7XY2+b8X3+b9Y3
Pada penelitian ini menggunakan orde I.
2. Interpolasi intensitas (intensity interpolation), interpolasi ini memerlukan 1
interpolation (4 piksel), dan cubic convolution (16 piksel). Pada penelitian
ini menggunakan nearest neighbor (1 piksel).
Koreksi radiometrik koreksi radiometik dilakukan bertujuan agar diperoleh
kualitas visual citra