• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN HABITATNYA DI

DESA MANDOMAI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI

KALIMANTAN TENGAH

M. RASYID RIDHA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

M Rasyid Ridha

(4)
(5)

RINGKASAN

M RASYID RIDHA. Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan ELOK BUDI RETNANI.

Kejadian Filariasis limfatik saat ini masih tinggi diberbagai daerah di Indonesia. Desa Mandomai diketahui merupakan daerah endemik filariasis di Kabupaten Kapuas. Jumlah kasus filariasis di Kabupaten Kapuas tahun 2009 terdapat 5 kasus, 2010 terdapat 2 kasus, 2011 terjadi pengkatan (21 kasus) dan 2012 serta 2013 masing-masing 16 kasus. Sejak tahun 2008 Kabupaten Kapuas telah melakukan pengobatan massal dan berakhir tahun 2012, namun jumlah kasus hingga 5 tahun terakhir tetap tinggi.

Penelitian ini bertujuan mengetahui keragaman jenis nyamuk, kepadatan nyamuk, aktivitas menggigit dan perilaku istirahat (resting), infeksi mikrofilaria pada nyamuk, infeksi mikrofilaria pada penduduk dan mengetahui tipe habitat jentik nyamuk. Penelitian dilakukan selama 4 (empat) bulan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas. Kegiatan yang dilakukan adalah penangkapan nyamuk dengan teknik human landing collection dan resting di dalam dan di luar rumah, pembedahan nyamuk, pengambilan sediaan darah jari dan kapiler, dan identifikasi habitat nyamuk.

Hasil penelitian menunjukkan ragam jenis nyamuk di Desa Mandomai terdiri atas 13 jenis yaitu Culex bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti dan Armigeres subalbatus. Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik, eksofilik dan endofilik. Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus

lebih bersifat eksofagik dan eksofilik. Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies dan dominasi spesies yang tinggi yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus

dan Cx. quinquefasciatus, sedangkan kepadatan nyamuk yang tinggi yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus. Kepadatan nyamuk lebih tinggi terjadi di dalam rumah dibandingkan dengan di luar rumah. Kepadatan nyamuk berbanding lurus dengan indeks curah hujan, suhu dan kelembaban, namun berdasarkan perhitungan statistik tidak ditemukan adanya hubungan.

Cx. bitaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul 18.00 – 19.00 dan di dalam rumah pada pukul 23.00 – 24.00. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul 21.00

– 22.00 dan 19.00 – 20.00, sedangkan di dalam rumah pada pukul 21.00 – 22.00.

(6)

Larva infektif (L3) tidak ditemukan pada nyamuk yang dibedah. Perkiraan umur populasi Cx. bitaeniorhynchus adalah 38.9 hari, Cx. tritaeniorhynchus 23.9 hari dan Cx quinquefasciatus 14.3 hari, sehingga dapat berpotensi menjadi vektor filariasis.

Hasil Pemeriksaan darah jari ditemukan 2 (0.02%) orang positif dari 110 orang yang diperiksa. Umur penderita positif berada pada rentang 46-65. Periodisitas mikrofilaria bersifat non periodik di dalam darah tepi, namun tidak selalu dijumpai pada setiap periode pemeriksaan selama 24 jam (sepanjang hari), khususnya pada jam 12.00, 22.00 dan 24.00. Tipe perindukan yang diamati berjumlah 24 buah dengan proporsi positif jentik yaitu kolam ikan 25%, kolam sekolah 100%, selokan 11%, kubangan 28%, sawah 100% dan penampung karet 50%. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan di Desa Mandomai terdapat 3 jenis nyamuk yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus yang berpotensi sebagai vektor filariasis dan ditemukan habitat yang mendukung keberadaan nyamuk.

(7)

SUMMARY

M. RASYID RIDHA. Potential Vectors of Filariasis and Habitat in Mandomai Villige Kapuas Districk Kalimantan Tengah Province. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and ELOK BUDI RETNANI

Lymphatic filariasis cases in some area in Indonesia currently are still high. Mandomai Village in Kapuas District is a filariasis endemic area with the highest cases. There were 5 cases of filariasis in 2009, 2 cases in 2010, 21 cases in 2011 and both of 2012 and 2013 respectively 16 cases. Since 2008 Kapuas has conducted mass drug assesment and ended in 2012, but the number of cases last up to 5 years are still high.

The aims of this study were to determine the various species of mosquitoes, density, biting activity and resting, infection of microfilariae in mosquito, microfilariae infection in community and habitat characteristics of filariasis vectors. This study was conducted over four months in Mandomai village, Kapuas. The mosquitoes were collected by human landing collection (HLC) indoors and outdoors, and by indoors and outdoors resting collections, dissecting mosquitoes, blood collected by finger prick and capillaries, and and identification of the breeding type.

The result showed that there were 13 species i.e. Culex bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti and Armigeres subalbatus. Cx. bitaeniorhynchus was exophagic, endophilic and exophilic species. Cx. quinquefasciatus and Cx. tritaeniorhynchus were belong to exophagic and exophilic species. There were 3 species which high in densitiy i.e Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus and Cx. quinquefasciatus. Indoor density were higher than outdoor. Mosquito density were directly proportional to the index of rainfall, temperature and humidity, there were no relationship on statistical.

Cx. bitaeniorhynchus have biting activity indoor were highest at 6 pm to 7 pm and outdoor were highest at 11 pm to 12 pm; 9 pm to 10 pm and 7 pm to 8 pm in indoor and 9 pm to 10 pm in outdoor, respectively on Cx. tritaeniorhynchus; 11 pm to 12 pm in outdoor and 8 pm to 9 pm in indoor, respectively on Cx. quinquefasciarus. Cx. bitaeniorhynchus have behaviour resting indoor and outdoor were highest at 11 pm to 12 pm both indoor and outdoor; 3 am to 4 am in outdoor and 12 pm to 1 am in indoor, respectively on Cx. tritaeniorhynchus; 11 pm to 12 pm in outdoor and 8 pm to 9 pm in indoor, respectively on Cx. quinquefasciatus.

Infective larvae (L3) not found in mosquitoes were dissecting.The estimate of age population (longevity) were 38.9 days for Cx. bitaeniorhynchus, 23.9 days for Cx. tritaeniorhynchus and 14.3 days for Cx. quinquefasciatus. Those three species were potentially became filariasis vectors.

(8)

pieces with positive presentation of mosquitoe larva i.e 25 % for ponds, 100% for schhol pounds, 11% for puddles, 28% for ditches, 100% for paddy fields and 50% for latex sap falling container.

Based on these data can conclude In Mandomai Village there were found three species potentially vectors i.e. Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus

and Cx. quinquefasciatus and also their breeding places.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN HABITATNYA

DI

DESA MANDOMAI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI

KALIMANTAN TENGAH

M. RASYID RIDHA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)

Judul Tesis : Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah

Nama : M. Rasyid Ridha

NRP : B252140101

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof drh Upik Kesumawati Hadi MS Ph D

Ketua

Dr drh Elok Budi Retnani MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dekan SekolahPascasarjana

Prof Drh Upik Kesumawati Hadi MS Ph D Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

(15)
(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dengan judul “Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah” dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph. D dan Ibu Dr. drh. Elok Budi Retnani, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada dr Hijaz Nuhung M. Sc sebagai Kepala Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Bapak dr. Paisal M. Biomed beserta Tim Peneliti dari Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, serta Ibu Ninik SKM MM dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas yang telah membantu selama pengumpulan data.

Terima kasih pula penulis ucapkan kepada teman – teman seperjuangan PEK 2014 yang banyak memberikan masukan, bantuan, dan semangat serta motivasi ( Bang Umar, Bang Irpan, Bos Simba, Bang Zoel, Pak Anto, Firman, Bang Wiro, Pak Alan, Evi, Lisa, Novi, Milda dan Mba Nindya) Kita adalah teman seperjuangan, semangat kuliah dan praktek bersama takkan pernah terlupakan, sukses teman-teman.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Kedua orang tua (H. Zainuddin S. PdI dan Dra. Hj. Siti Aisyah M. Pd) dan Mertua (Nurjali S. Pd, MM dan Ida Rosanti), Istri tercinta Nur Afrida Rosvita SKM, terimakasih atas do’a dan

pengertiannya, Kedua putra tersayang “Pangeran Kecil” (Muhammad Naufal

Rakha dan Muhammad Fathan Abidzar Al Ghifary), terimakasih atas segala do’a dan motivasi serta dukungannya.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2016

(17)
(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 3

Filariasis 3

Endemisitas Filariasis 4

Peran Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis 7

Pengendalian Filariasis 8

3. METODE PENELITIAN 8

Tempat Penelitian 8

Waktu Penelitian 9

Rancangan Penelitian 9

Cara Kerja 9

Analisis Data 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman jenis nyamuk 14

Kepadatan nyamuk 20

Aktivitas menggigit dan resting 24

Infeksi mikrofilaria pada nyamuk 31

Infeksi filaria pada penduduk 32

Tipe habitat perindukan larva 34

5. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 38

Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 44

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Jumlah dan persentase nyamuk yang tertangkap dengan berbagai

metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas,

Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) 18

2 Komposisi keanekaragaman nyamukyang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten

Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) 19 3 Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies, dominansi spesies dengan

umpan orang dan light trap berdasarkan jenis nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September

– Desember 2015) 20

4 Kepadatan nyamuk yang menggigit per orang per jam (man hour density/MHD) setiap bulan di Desa Mandomai, Kabupaten

Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) 21 5 Kepadatan nyamuk per orang per jam (man hour density/MHD)

dan Kepadatan nyamuk perorang perhari (man bitting rate/MBR) berdasarkan lokasi penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten

Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) 22 6 Paritas, proporsi parus dan perkiraan umur nyamuk di Desa

Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September

– Desember 2015) 32

7 Prevalensi filariasis berdasarkan katagori umur (tahun) di Desa

Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas 32 8 Periodisitas mikrofilaria Brugia malayi pada penderita di Desa

Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas 34

9 Tipe Perindukan jentik nyamuk di Desa Mandomai, Kec.

Kapuas Barat Kabupaten Kapuas 36

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Endemisitas Filariasis di Indonesia 2014 5

2 1) Peta Pulau Kalimantan, 2) Peta Kabupaten Kapuas 9 3 Penangkapan nyamuk dengan penangkapan human landing

collection (HLC)/bare leg collection (BLC)/Umpan orang 10 4 Jenis nyamuk dari genus Culex. a. Culex quinquefasciatus;

b. Culex gellidus; c. Culex tritaeniorhynchus; d. Culex

hutchinsoni; e. Culex bitaeniorhynchus. 16

5 Jenis nyamuk dari genus Mansonia. a. Mn. annulata; b. Mn.

(20)

6 Jenis nyamuk dari genus Anopheles. a. Anopheles

balabacensis; b. Anopheles barbirostris 18

7 Jenis nyamuk dari genus Aedes. a. Aedes albopictus; b. Aedes

aegypti 18

8 Armigeres subalbatus 19

9 Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan indeks curah hujan (ICH) (September – Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas,

Kalimantan Tengah 25

10 Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan suhu rata-rata (September – Desember 2015) di Desa Mandomai,

Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan

Tengah 25

11 Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan kelembaban rata-rata (September – Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan

Tengah 26

12 Perilaku aktivitas menggigit Mansonia spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September –

Desember 2015) 27

13 Perilaku aktivitas menggigit Culex spp. dengan umpan orang luar(UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa

Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

(September - Desember 2015) 28

14 Perilaku aktivitas menggigit Aedes spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa

Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

(September – Desember 2015) 29

15 Perilaku aktivitas menggigit Anopheles spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September –

Desember 2015) 29

16 Perilaku aktivitas menggigit Armigeres subalbatus dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

(September – Desember 2015) 29

17 Perilaku restingMansonia spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan

Tengah (September – Desember 2015) 30

18 Perilaku restingCulex spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

(September – Desember 2015) 31

19 Perilaku restingAedes spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

(21)

20 Perilaku restingAnopheles spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

(September – Desember 2015) 31

21 Fluktuasi Armigeres subalbatus di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan

Tengah (September – Desember 2015) 32

22 Pengambilan darah Jari (1 dan 2), Spesies Brugia malayi

pada pemeriksaan Mikroskopis (3 dan 4) 35

23 Peta distribusi perindukan jentik di Desa mandomai Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kec. Kapuas

Barat Kabupaten Kapuas 37

24 Tipe perindukan nyamuk di di Desa mandomai Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kabupaten Kapuas

(September – Desember 2015). A dan B. Selokan; C. Limbah Buangan Rumah Tangga; D. Sawah; E. Kolam Sekolah; F. Kolam Ikan; G. Perkebunan Karet; H. Kolam

Ikan 39

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Naskah Penjelasan Penelitian 45

2 Persetujuan Setelah Penjelasan/Inform Consent 46

3 Jumlah Rata-Rata Nyamuk yang tertangkap dengan

penangkapan HLC di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas,

Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) 47 4 Jumlah Rata-rata Nyamuk yang tertangkap dengan

penangkapan Resting DesaMandomai, Kabupaten Kapuas,

Kalimantan Tengah (September – Desember 2015). 48

5 Kegiatan Penelitian 49

6 Hasil Pemeriksaan Darah Jari 50

7 Pengukuran kedalaman, pH, Salinitas dan Suhu setap bulan (September – Desember 2015) pada beberapa tipe perindukan yang ditemukan di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat

Kabupaten Kapuas 53

8 Perhitungan Uji Korelasi Indeks curah hujan, Suhu dan

kelembaban dengan Kepadatan Nyamuk 54

9 Perhitungan Periodisitas 56

10 Titik Koordinat Pengambilan Data GPS 57

11 Rekomendasi Ijin Penelitian dari Pemkab. Kapuas 58 12 Persetujuan Etik (Ethical Approval) dari Komisi Etik

Penelitian Kesehatan, Badan Litbangkes 59

13 Jumlah Penderita Filariasis Menurut Provinsi di Indonesia

(22)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Filariasis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan nyamuk sebagai vektor. Filariasis dapat menimbulkan dampak berupa penurunan produktivitas kerja, beban keluarga dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara karena dapat menyebabkan kecacatan menetap. Kecacatan yang disebabkan oleh filariasis merupakan kecacatan terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO 2011).

Data WHO (2011) menunjukkan terdapat 83 negara dengan jumlah 1.3 miliar penduduk yang berisiko tertular filariasis dan lebih dari 60 % negara-negara tersebut berada di Asia Tenggara. Diperkirakan lebih dari 120 juta orang diantaranya sudah terinfeksi, sebanyak 43 juta orang menunjukkan gejala klinis berupa pembengkakan di kaki atau lengan (lymphoedema) atau anggota tubuh lainnya. Penyakit ini tersebar luas terutama di pedesaan dan dapat menyerang semua golongan umur, laki-laki dan perempuan. Kerugian ekonomi akibat ketidakmampuan yang disebabkan oleh filariasis adalah 67 % dari total pengeluaran rumah tangga perbulan (Evans et al. 1993), selain itu Ramaiah et al. (2000) melaporkan perkiraan kerugian ekonomi di India akibat filariasis mencapai US$ 842 juta pada penderita kronis dan akut.

Cacing penyebab filariasis ada 3 spesies yaitu: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor utama filariasis tipe W. bancrofti adalah dari Culex spp. (di daerah urban dan semi urban), Anopheles spp. (di daerah rural) dan Aedes spp. (di Kepulauan Pasifik), sedangkan filariasis tipe Brugia malayi

ditularkan dari berbagai spesies Mansonia spp., namun pada beberapa daerah juga di temukan pada Anopheles spp. (WHO 2015).

Nyamuk Culex quinquefasciatus dan Armigeres subalbatus dengan PCR (polymerase chain reaction), dapat dideteksi keberadaan B. malayi (Yahya et al. 2014). Sementara itu, An. barbirostris merupakan vektor penting B. malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan (Soeyoko 2002). Ughasi et al. (2012) menyatakan bahwa Ma. africana dan Ma. uniformis merupakan vektor W. bancrofti di Ghana. Kley and Rajan (2002) mencatat vektor Brugia spp. terdiri atas An. nigerrimus, An. peditaenitus, An. vagus, An. subpictus, Cx. quinquefasciatus, Cx. annulirostris, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. orchracea, Ma. annulata, Ma. annulifera, Ma. bonneae, Ma. dives, Ma. indiana, Ma. uniformis dan

Ar. subalbatus.

Kasus filariasis terdapat di seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Tengah, hingga tahun 2011 terdapat 44 kasus filariasis di antaranya Kabupaten Sukamara 13 kasus, Kotawaringin Timur 3 kasus, Seruyan 2 kasus, Kapuas 16 kasus, Pulang Pisau 5 kasus dan Barito Selatan 5 kasus (Dinkes Provinsi Kalteng 2012). Kasus filariasis di Kabupaten Kapuas tahun 2009 terdapat 5 kasus, 2010 terdapat 2 kasus, 2011 terjadi pengkatan (21 kasus) dan 2012 serta 2013 masing-masing 16 kasus. Sejak tahun 2008 Kabupaten Kapuas telah melakukan pengobatan massal dan berakhir tahun 2012, namun jumlah kasus hingga 5 tahun terakhir masih tinggi.

(23)

2

Kasus tertinggi di Kabupaten Kapuas terdapat pada Kecamatan Kapuas Barat khususnya di Desa Mandomai yang merupakan daerah endemis filariasis, hal tersebut kemungkinan karena terdapat nyamuk yang berpotensi sebagai vektor dan topografi yang mendukung terjadinya penyebaran serta terdapatnya reservoir. Kasus filariasis di Desa Mandomai mengindikasikan masih terjadi transmisi, selain itu belum pernah dilakukan penelitian tentang vektor filariasis sehingga data mengenai vektor dan habitanya di Kabupaten Kapuas belum diketahui. Data keanekaragaman jenis dan karakteristik habitat perkembangbiakan vektor sangat diperlukan dalam upaya perencanaan pengendalian filariasis. Berdasarkan latar belakang tersebut diperlukan observasi data dasar mengenai ragam jenis nyamuk dan kaitannya sebagai vektor filariasis, mendeteksi kasus baru filariasis disekitar penderita serta periodisitasnya pada daerah endemis filariasis di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi keragaman nyamuk, cara penangkapan, kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominasi spesies, menganalisis hubungan kepadatan nyamuk dengan indeks curah hujan, suhu dan kelembaban, mengetahui waktu aktivitas menggigit dan perilaku istirahat (resting). Pada manusia dilakukan kegiatan untuk mengetahui prevalensi filariasis dan melakukan analisis periodisitas filariasis. Tempat perindukan nyamuk di indentifikasi dengan mengetahui tipe habitat jentik nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.

Manfaat

(24)

3

2 TINJAUAN PUSTAKA Filariasis

Filariasis limfatik merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh cacing filaria melalui berbagai jenis nyamuk sebagai vektor. Tiga spesies cacing penyebab filariasis yaitu W. bancrofti, B. malayi dan B. timori. Brugia malayi

mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. B. timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan W. bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua

Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi enam tipe yaitu

Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) memiliki periodisitas nokturna dan ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang baik di air limbah rumah tangga. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) memiliki periodisitas nokturnal dan ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk Anopheles.

Brugia malayi subperiodik nokturnal, nyamuk penularnya adalah Mansonia spp.

yang banyak ditemukan di daerah rawa. B.malayi periodik nokturna, nyamuk penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan. Brugia malayi nonperiodik, nyamuk penularnya adalah Ma. bonneae dan Ma. uniformis

yang ditemukan di hutan rimba. Brugia timori tipe periodik nokturna, nyamuk penularnya An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara (Soeyoko 2004).

Daur hidup cacing filaria ada 2 yaitu di dalam tubuh penderita (manusia) dan di dalam tubuh nyamuk. Penderita filariasis mengandung cacing dewasa jantan dan betina dalam tubuhnya. Tempat yang disukai adalah kelenjar getah bening dalam rongga sekitar pinggul dan pangkal paha. Telur-telur dieram dalam uterus cacing dewasa betina hingga mencapai stadium embrio aktif yang kemudian dilepaskannya ke dalam saluran getah bening menuju saluran darah dan tumbuh menjadi embrio yang berbentuk lurus, bergerak aktif, melepaskan selaput membran pembungkus atau mikrofilaria (panjang 250 – 300 µm serta diameter sama dengan diameter butir darah merah). Mikrofilaria dapat berada dalam peredaran darah perifer menurut waktu sesuai dengan jenis mikrofilaria itu. Di Indonesia periodisitas ini terdapat di malam hari antara pukul 21.00 malam hari sampai dengan 2.00 dini hari (Ziebeg 2013).

Mikrofilaria yang berada di dalam darah perifer akan terhisap oleh nyamuk pada waktu nyamuk menggigit. Di dalam tubuh vektor larva-larva ini tidak memperbanyak diri. Pertumbuhan larva sejak dihisap oleh nyamuk hingga menjadi infektif memerlukan waktu 10 – 14 hari, tergantung dari spesiesnya. Migrasi ke mulut (probosis) nyamuk terjadi apabila telah menjadi larva infektif. Larva infektif (L3) keluar dari kelenjar ludah nyamuk pada saat nyamuk betina menggigit manusia dan jatuh di kulit serta masuk ke tubuh melewati luka yang telah dibuat oleh probosis nyamuk (Kazura 2002).

(25)

4

bergerak menuju sistim limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis limfatik dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis limfatik, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali (Kazura 2002).

Gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh cacing dewasa atau perkembangannya sangat bervariasi dan mempunyai spektrum yang luas serta tergantung masing-masing individu dan spesiesnya.. Penduduk yang berasal dari daerah nonendemik filariasis apabila terkena infeksi pada umumnya akan menunjukkan gejala-gejala lebih berat dan munculnya lebih cepat dari penduduk setempat. Gejala klinis filariasis malayi muncul lebih cepat dari pada filariasis

bancrofti (WHO 1987). Gejala klinis pada infeksi dengan B. malayi dan B. timori

lebih nyata. Pada stadium akut limfadenitis sering terjadi di daerah inguinal pada kelenjar limfe superfisial, dapat terjadi berulang-ulang terutama setelah bekerja berat. Gejala klinis filariasis bancrofti pada stadium akut dapat terjadi peradangan terutama pada saluran limfe genital seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis yang sifatnya periodik dan setiap kali serangan hanya berlangsung beberapa hari. limfedema dan elefantiasis pada penderita filaria bancrofti lebih jarang dijumpai jika dibandingkan dengan filaria malayi dan filaria timori. Kelainan fisik dapat terjadi pada tungkai, lengan, skrotum, vulva dan payudara. Berbeda dengan filaria

malayi dan timori, pada filaria bancrofti dapat terjadi pembengkakan seluruh tungkai atau lengan dengan ukuran sampai tiga kali dari keadaan normal (Partono 1987).

Endemisitas Filariasis

(26)

5

Gambar 1. Endemisitas Filariasis di Indonesia 2014

Data Kementerian Kesehatan (2014) berdasarkan kabupaten, pada tahun 2013 terdapat tiga kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara (1 353 kasus), Manokwari (667 kasus) dan Mappi (652 kasus). Berdasarkan data kabupaten tahun 2013, 87% kabupaten/kota mempunyai kasus klinis filariasis pada range 1-100 kasus, 5.9 % kab / kota tidak memiliki kasus klinis filariasis, 5.2% pada range 101-200 kasus, 1.2 % pada range 201 – 700 kasus dan 0.2 % pada range > 700 kasus.

Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0 % - 40 %. Dengan endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil survei tersebut, hingga tahun 2014, kabupaten/kota yang endemis filariasis adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada di Indonesia (67%), 3 kabupaten/kota yang tidak endemis filariasis (0.6 %), dan 176 kabupaten/kota yang belum melakukan survei endemisitas filariasais. Pada tahun 2014 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan survei tahun 2013, jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi 356 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di Indonesia atau sebesar 71.9 % sedangkan 139 kabupaten/kota (28.1 %) tidak endemis filariasis, seperti tampak pada Gambar 1.

Peran Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis

(27)

6

Pichon 2002). Prod’hon et al. (1980) dalam Pichon (2002) melaporkan Ae. aegypti

dan Cx. quinquefasciatus yang merupakan vektor filariasis di Tahiti hanya mampu menampung masing-masing 10 dan 68 larva W. bancrofti di dalam tubuhnya, sedangkan Southgate dan Bryan (1992) dalam Pichon (2002) melaporkan An. gambiae dan An. arabiensis yang merupakan vektor filariasis di Gambia mampu menampung W. bancrofti masing-masing sebanyak 128 dan 42 mikrofilaria.

Migrasi mikrofilaria ke dalam saluran pencernaan nyamuk dapat terhalang oleh adanya gigi-gigi tajam dan keras (sclerotinized teeth) yang terdapat pada cibarial armature dan pharyngeal armature pada nyamuk dan simuliidae (Bain et al. 1974 dalam McGreevy et al. 1978). Dengan demikian mikrofilaria yang melewati kedua armature tersebut mati karena terluka. McGreevy et al. (1978) berhasil mengukur proporsi mikrofilaria yang terbunuh oleh kedua armature

tersebut pada nyamuk vektor secara alami dan laboratorium.

Mikrofilria Brugia yang terhisap Anopheles spp. dan Aedes spp. dipengaruhi oleh keberadaan cibarial armature. Kerusakan maksimal pada mikrofilaria Brugia

terjadi pada Anopheles spp. yang mempunyai kedua armature tersebut. Disini, 92

– 96 % mikrofilaria terluka dan 61 83 % mati (amotile) setelah terhisap. Sebaliknya kerusakan minimal terjadi pada mikrofilaria Brugia di Aedes spp., yang hanya memiliki pharyngeal armature, tanpa cibarial armature. Disini, 9 – 12 % mikrofilaria terluka dan 6 – 12 % mati (amotile) (McGreevy et al. 1978).

Aktivitas terbang merupakan aspek perilaku vektor yang dirubah oleh parasit. Parasit bersaing secara langsung dengan inang vektor secara metabolik dan mengurangi kemampuan aktivitas terbang vektor. Misalnya pada lalat tsetse yang terinfeksi parasit, aktifitas terbangnya berkurang sebesar 15% (Bursell 1981 dalam Rowland and Lindsay 1986).

Rowland and Lindsay (1986) mencatat aktivitas terbang sirkadian Aedes aegypti L. yang terinfeksi Brugia pahangi selama 16 hari berurutan menggunakan

acoustic actoghraph. Aktivitas terbang terbang dari nyamuk kontrol yang tidak terinfeksi meningkat sampai maksimum 3 hari setelah menghisap darah, kemudian menurun sedikit dan tetap stabil selama durasi eksperimen. Aktivitas terbang pada nyamuk yang terinfeksi parasit sementara berkurang selama 2 hari setelah mengisap mikrofilaria pada kucing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh migrasi parasit dari usus tengah ke otot terbang. Karena larva parasit berkembang pada otot terbang selama 3 – 6 hari maka aktivitas harian dari semua nyamuk kembali pada level kontrol. Aktivitas pada hari ke 7 – 8 nyamuk yang terinfeksi mikrofilaria dengan jumlah tiga belas atau lebih turun drastis menjadi sekitar 10% dibandingkan dengan kontrol. Perubahan ini bertepatan dengan munculnya larva stadium infektif dari otot terbang. Keberadaan larva yang sedikit, tidak mengganggu aktivitas terbang. Karena berkurangnya kemampuan terbang, nyamuk yang terinfeksi berat kemungkinan sedikit berperan dalam transmisi filariasis.

Eleminasi Filariasis

(28)

7

psikososial, hidupnya terisolasi dari pergaulan masyarakat karena merasa malu menderita cacat fisik, angka perceraian akan meningkat bagi yang sudah berkeluarga dan kesulitan mendapatkan pasangan bagi yang belum berkeluarga (WHO 1994). Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat filariasis tersebut, maka penyakit tersebut perlu dilakukan pemberantasan.

Eleminasi filariasis perlu dilakukan secara global. WHO sebagai organisasi kesehatan dunia dengan program global programme to eliminate lymphatic filariasis (GPELF) bertujuan untuk menghilangkan penyakit sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2020 dengan 2 pilar utama. Pengobatan massal diberikan kepada semua orang disemua daerah endemik dengan dosis tunggal dosis (dua macam obat) sekali setahun selama minimal 5 tahun. Target untuk eliminasi filariasis limfatik didasarkan pada upaya pengendalian yang telah dilakukan dibeberapa negara endemis dan dilaporkan dalam kurun waktu 2000 – 2009 dan rencana strategis 2010 – 2020 (WHO 2011).

Program eliminasi filariasis di Indonesia merupakan salah satu program prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Tujuan khusus program adalah : a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1 % di setiap kabupaten/kota; b) mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Program akselerasi eliminasi filariasis diupayakan sampai dengan tahun 2020, dilakukan dengan bertahap lima tahunan yang dimulai tahun 2010. Pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis selama 5 tahun dimaksudkan untuk mengurangi dan membunuh mikrofilaria yang berada di dalam darah agar tidak terjadi transmisi. Anak usia < 2 tahun, ibu hamil, ibu menyusui, sakit berat, kasus kronis filariasis, balita marasmus, kwasiorkor, gizi buruk sebaiknya pengobatannya ditunda untuk menghidari efek samping berlebih yang ditimbulkan (Kemenkes 2014).

Strategi pengendalian filariasis limfatik secara umum yang telah dilakukan WHO (1997) dan telah diaplikasikan di berbagai negara adalah sebagai berikut: 1) Menurunkan angka penularan dengan cara mengobati inangnya agar terjadi penurunan jumlah mikrofilaria di dalam darah dan mencegah kontak antara inang dengan vektor dan menurunkan jumlah populasi vektor. Upaya menurunkan jumlah populasi vektor dianjurkan untuk memanfaatkan toksin yang dapat menutup permukaan air sehingga dapat membunuh stadium larva nyamuk, dan penyemprotan insektisida, insecticide impregnated bed nets yang keduanya dapat membunuh stadium dewasanya. 2) Melakukan perawatan penderita yang menunjukkan gejala akut atau kronik dan mencegah terjadinya infeksi samping. Obat yang dianjurkan adalah topikal antibiotika dan anti jamur. 3) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan program pengendalian filariasis.

(29)

8

3

METODE PENELITIAN

Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Gambar 2).

Gambar 2 1) Peta Pulau Kalimantan (sumber : http://mapsof.net/uploads/static-maps/kalimantan.png); 2) Peta Kabupaten Kapuas; (sumber : http://shindoka.org/Peta+Kab+Kapuas.JPEG)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September – Desember 2015 di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah

1

(30)

9

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan

cross sectional. Kegiatan yang dilakukan adalah 1). Penangkapan Nyamuk, 2) Identifikasi Nyamuk, 3) Pembedahan Nyamuk untuk Identifikasi vektor, 4) Pengamatan kepadatan Nyamuk, 5) Pengambilan sediaan darah jari pada penduduk, 6) Pengamatan Periodisitas dan, 7) Survei Karakteristik habitat 8) Pengambilan titik koordinat dengan GPS.

Cara Kerja

Penangkapan nyamuk dengan human landing collection (HLC) dan resting

Koleksi nyamuk menggunakan umpan orang atau human landing collection

(HLC) untuk mengetahui kepadatan (densitas) nyamuk yang kontak dengan manusia dan resting untuk mengetahui perilaku nyamuk istirahat (Gambar 3) (WHO 2015). Penangkapan nyamuk dilakukan pada 3 rumah dengan jumlah kolektor masing-masing rumah berjumlah 2 orang yaitu 1 orang di dalam dan 1 orang di luar rumah. Penangkapan nyamuk dilakukan selama semalam dimulai pukul 18.00 - 06.00. Setiap jam terdiri atas 45 menit penangkapan dengan umpan orang dan 10 menit dilakukan dengan penangkapan resting dengan menggunakan aspirator. Penangkapan dengan penangkapan HLC dan resting dilakukan di dalam rumah (umpan orang dalam / UOD) (dinding dalam / DD) dan di luar rumah (umpan orang luar / UOL) (dnding luar / DL). Nyamuk yang tertangkap melalui HLC dan resting di identifikasi di bawah mikroskop stereo menggunakan kunci identifikasi morfologi bergambar nyamuk Anopheles (O’Connor dan Soepanto 2013a), nyamuk Aedes (O’Connor dan Soepanto 2013b), nyamuk Culex (O’Connor dan Soepanto 2000a) dan nyamuk Mansonia (O’Connor dan Soepanto 2000b).

Gambar 3 Penangkapan nyamuk dengan penangkapan human landing collection (HLC)/bare leg collection (BLC). A. Kader Penangkap nyamuk; B. Bagian kaki yang digunakan sebagai umpan

A

(31)

10

Penangkapan Nyamuk Menggunakan Light Trap.

Penangkapan dilakukan dengan menggunakan “light trap” model CDC

pada kandang hewan. light trap diletakkan sebanyak 1 buah di kandang sapi dengan ketinggian 1½ m dari permukaan tanah dan diletakkan pada tempat gelap (jauh dari sumber cahaya lainnya). Pemasangan light trap dilakukan pada pukul 18.00 – 06.00. Setelah light trap dipadamkan pada pagi hari, nyamuk yang terperangkap diambil dengan sebuah alat penghisap (aspirator) dan dipindahkan ke paper cup.

Nyamuk yang masih hidup dibius/dibunuh dengan menggunakan kloroform selanjutnya di identifikasi hingga tingkat spesies dengan menggunakan kunci identifikasi bergambar nyamuk Anopheles (O’Connor dan Soepanto 2013a), nyamuk Aedes (O’Connor dan Soepanto 2013b), nyamuk Culex (O’Connor dan Soepanto 2000a) dan nyamuk Mansonia (O’Connor dan Soepanto 2000b)..

Pembedahan Nyamuk

Pembedahan nyamuk dilakukan dengan menggunakan jarum seksi di bawah mikroskop. Sebelumnya kaki dan sayapnya dilepaskan terlebih dahulu agar tidak mengganggu saat pembedahan, kemudian ditambahkan larutan garam fisiologis (GF) dan diteteskan di ataskaca objek/slide. Setelah itu, nyamuk diletakkan di atas kaca objek yang telah diteteskan larutan GF. Abdomen segmen ketujuh ditarik dengan jarum seksi sampai ovariumnya kelihatan dan terendam larutan GF. Setelah itu, ovarium dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 x. Nyamuk parus (pernah bertelur) diteruskan dengan pembedahan seluruh bagian tubuh, sedangkan jika nulliparus (tidak pernah bertelur) tidak diteruskan. Nyamuk parus kemudian dihancurkan dengan jarum bedah, sehingga bagian tubuhnya terpisah menjadi kecil-kecil dan semua bagian tubuh tersebut terendam larutan GF. Nyamuk diamati dengan menggunakan mikroskop, apabila ditemukan cacing maka akan tampak bergerak. Pergerakan cacing tergantung stadiumnya, instar larva 1 - 2 pendek, gemuk, gerakannya lambat. Larva 3 (infektif), panjang dan gerakannya cepat. Apabila terdapat mikrofiaria diambil dengan menggunakan jarum bedah di bawah mikroskop. Hasil identifikasi dicatat berapa mikrofilaria yang ditemukan per individu nyamuk untuk menghitung infection rate dan infective rate (WHO 2011).

Pemeriksaan Mikrofilarimia dengan Survei Darah Jari.

(32)

di-11

hemolisis dengan air selama beberapa menit sampai warna merah hilang, kemudian dibilas dengan air dan dikeringkan. Sediaan darah kemudian difiksasi dengan

methanol selama 1-2 menit dan dikeringkan, kemudian diwarnai dengan giemsa

yang telah dilarutkan di dalam cairan buffer pH 7.2 (1 tablet buffer dilarutkan dalam 100 cc aquadest) dengan perbandingan 1 : 14 selama 15 menit. Sedian sarah kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Sediaan darah diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran rendah (10 x 10) untuk menentukan jumlah mikrofilaria. Pembesaran tinggi (10 x 40) untuk menentukan jenis/spesiesnya (WHO 2013).

Survei Periodisitas Mikrofilaremia

Kasus mikrofilaremia yang diperiksa ulang periodisitas mikrofilarianya dipilih berdasarkan kesukarelaan. Penderita yang bersedia melakukan suvei periodisitas yaitu 1 orang dari 2 penderita. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 12 kali yaitu pukul 08.00, 10.00, 12.00, 14.00, 16.00, 18.00, 20.00, 22.00, 24.00, 02.00, 04.00 dan 06.00. Pada tiap pemeriksaan periodisitas, diambil darah dari ujung jari sebanyak 20 µl menggunakan lancet dan mikropipet. Pewarnaan sediaan darah sama seperti prosedur pada survei darah jari. Hasil pewrnaan kemudian periksa dan dihitung jumlah mikrofilaria dari setiap jam pemeriksaan.

Pengamatan Karakteristik Habitat Larva

Pengamatan karakteristik habitat dilakukan pada bulan berupa: tumbuhan air, predator alami, jentik yang ditemukan, serangga lain, jarak terhadap permukiman, ekosistem sekitar, kondisi air, dasar perairan, kedalaman, pH, salinitas dan suhu. Pengamatan habitat jentik dilakukan di semua jenis perairan baik alamiah maupun buatan yang diduga sebagai tempat perkembangbiakan. Pencidukan dilakukan merata mewakili luas perairan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan cidukan atau pipet. Jentik yang didapat dari setiap jenis perairan di masukkan kedalam gelas plastik dan diberi label berdasarkan tanggal penelitian. Jentik yang ditemukan kemudian diidentifikasi dengan melihat ciri morfologi jentik sampai pada tahap genus.

Pemetaan dengan Software Arc GIS

Pemetaan dilakukan pada tempat yang di identifikasi terdapat jentik. Pemetaan ini dilakukan dengan cara merekam koordinat lokasi sampel yang disimpan dalam bentuk WPT (waypoint) dengan GPS Garmin, kemudian melakukan database managementsystem antara data keruangan dengan data atribut menggunakan softwareMS Excell dan disimpan dalam format yang sama dengan format software GIS, kemudian dibuat peta tematik dalam bentuk distribusi dengan

Arc GIS 10.1. Hasil pengolahan dalam bentuk peta distribusi tempat perindukan.

Analisis Data

(33)

12

dengan kepadatan nyamuk dianalisis secara statistik menggunakan uji korelasi pearson dengan tingkat keprcayaan95 % (

α

= 5 %) menggunakan SPSS 16.00.

Indeks Curah Hujan (ICH)

Indeks curah hujan :

Jumlah curah hujan x hari hujan

jumlah hari pada bulan yang bersangkutan � %

Kelimpahan Nisbi, Frekuensi Spesies dan Dominansi Spesies

Kepadatan nyamuk spesies tertentu dengan beberapa penangkapan penangkapan yang dinyatakan dalam kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap dan angka dominansi nyamuk (Sigit 1968).

Kelimpahan nisbi :

J a ya a a

J a a ya ya a a x 100%

Frek. Spesies :

Jumlah bulan tertangkapnya nyamuk spesies tertentu Jumlah bulan penangkapan

Dominansi spesies : Kelimpahan nisbi x Frekuensi spesies.

Kepadatan Nyamuk Pada Orang

Kepadatan populasi nyamuk dapat diketahui dari hasil penangkapan di daerah penelitian, maka data yang diperoleh dihitung menurut rumus yaitu (WHO 2013):

Man hour density (MHD) :

Jumlah nyamuk yang ditangkap dengan umpan orang Lama penangkapan/ jam x Jlh penangkap xJlh wkt penangkapan

Man bitting rate (MBR) :

(34)

13

Proporsi parus (parity rate), peluang hidup dan umur relatif

Proporsi parus adalah persentase nyamuk yang pernah bertelur berdasarkan hasil pembedahan kelenjar ovari dalam suatu periode penangkapan.

Parity rate :

Jumlah nyamuk pernah bertelur parus Jumlah nyamuk yang diperiksa ovariumnya

Peluang hidup nyamuk setiap hari yang dinyatakan dalam % yang diperoleh dari suatu perhitungan matematis dengan mengetahui proporsi parus dan siklus gonotropik (Davidson 1954).

Rumus  Peluang hidup (P) = b d

P : peluang hidup nyamuk setiap hari

b : siklus gonotropik (hari)

d : Parus rate (porporsi nyamuk parus = %)

Hasil pengukuran : Peluang hidup nyamuk setiap hari ( % )

Umur relatif nyamuk di populasi adalah perkiraan umur nyamuk di populasi yang dinyatakan dalam hari, yang diperoleh melalui suatu perhitungan matematis dengan melakukan perhitungan setelah diketahuinya peluang hidup nyamuk setiap hari (Davidson 1954; Drapper and Davidon 1952).

Keterangan :

1

Umur relatif di populasi : log e : bilangan matematis tertentu - log e p p : Peluang hidup nyamuk

Periodisitas Mikrofilaremia

(35)

14

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Keanekaragaman Jenis Nyamuk

4.1.1 Ragam Jenis Secara Morfologi

Jenis nyamuk yang ditemukan di Desa Mandomai terdiri atas Culex quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti dan Armigeres subalbatus.

Cx. quinquefasciatus mempunyai ciri khas pada probosis tidak ada gelang putih, tergit pada abdomen dengan gelang basal yang sempit dan integumen pada pleuron berwarna pucat merata (Gambar 4a).

Cx. gellidus mempunyai ciri khas pada probosis terdapat gelang pucat. Skutum tertutup sisik-sisik keperakan yang lebat dan setidaknya di bagian anterior serta berakhir dipangkal sayap. Gelang basal abdomen mencapai tepi tergit dengan bentuk V kearah posterior (Gambar 4b).

Gambar 4 Jenis nyamuk dari genus Culex spp. di Desa Mandomai 2015. a. Culex quinquefasciatus; b. Culex gellidus; c. Culex tritaeniorhynchus; d. Culex hutchinsoni; e. Culex bitaeniorhynchus. ciri khas setiap jenis nyamuk

a

e

d

(36)

15

Cx. tritaeniorhynchus mempunyai ciri khas pada probosis terdapat gelang pucat, bagian ventral probosis ke pangkal dengan bercak pucat dan pada sayap tanpa noda sisik sisik yang jelas (Gambar 4c).

Cx. hutchinsoni mempunyai ciri khas pada probosis tidak ada gelang putih, integumen pada pleuron berwarna coklat kehitam-hitaman (Gambar 4d).

Cx. bitaeniorhynchus mempunyai ciri khas pada probosis terdapat gelang pucat dan pada sayap dengan sisik-sisik pucat yang menyebar di antara sisik-sisik gelap, terutama pada kosta dan sub kosta. Abdomen dengan gelang pucat apikal yang bagian atasnya mirip segitiga dan gelang basal atau pada bagian abdomen tertutup oleh sisik-sisik pucat (Gambar 4e).

Mn. annulata mempunyai ciri khas pada femur kaki depan terdapat 5 bercak pucat, pada bagian mesonotum terdapat sisik putih tidak beraturan dan pada ruas tarsal bergelang pucat lebar (Gambar 5a).

Mn. uniformis mempunyai ciri khas ciri khas pada femur kaki depan terdapat 3 bercak pucat, bagian mesonotum toraks terdapat sepasang garis longitudinal pucat (Gambar 5b).

Mn. dives mempunyai ciri khas ciri khas pada femur kaki depan terdapat 5 bercak pucat, bagian mesonotum terdapat kumpulan sisik-sisik putih berbentuk bulat sebanyak 6 buah. Bagian atas pangkal sayap di mesonotum ada kumpulan sisik putih (Gambar 5c).

An. balabacensis mempunyai ciri khas pada probosis seluruhnya gelap, pada pangkal sayap vena terdapat 4 atau lebih noda pucat, kaki-kaki dengan bintik pucat dan persambungan tibia dan tarsus kaki belakang dengan gelang pucat lebar (Gambar 6a).

Gambar 5 Jenis nyamuk dari genus Mansonia spp. di Desa Mandomai 2015.a. Mn. annulata; b. Mn. uniformis; c. Mn. dives. ciri khas setiap jenis nyamuk

(37)

16

Gambar 6 Jenis nyamuk dari genus Anopheles spp. di Desa Mandomai 2015. a. Anopheles balabacensis; b.

Anopheles barbirostris. ciri khas setiap jenis nyamuk

An. barbirostris mempunyai ciri khas pada palpus seluruhnya gelap, pada ruas abdomen VII terdapat sisik/sikat gelap, pada kosta dan urat I dari sayap terdapat tiga atau kurang noda-noda pucat (Gambar 6b).

Gambar 7 Jenis nyamuk dari genus Aedes spp. di Desa Mandomai 2015. a dan c Aedes albopictus; b dan d. Aedes aegypti. ciri khas setiap jenis nyamuk

c

d

a

b

(38)

17

Gambar 8 Armigeres subalbatus di Desa Mandomai 2015. ciri khas nyamuk

Ae. albopictus mempunyai ciri khas pada kepala, toraks dan abdomen berwarna belang-belang hitam putih, skutelum 3 lobus dan satu garis putih pada mesonotum berbentuk lurus (Gambar 7a).

Ae. aegypti mempunyai ciri khas berwarna belang-belang hitam putih baik pada kepala toraks dan abdomen serta terdapar garis/corak pada mesonotum yang berbentuk seperti siku lire/curve berhadapan (Gambar 7b).

Ar. subalbatus mempunyai ciri khas pada probosis yang melengkung ke bawah dan pada abdomen bagian bawah memiliki noda putih yang merata (Gambar 8).

Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. fuscocephalus, Cx. gellidus, Cx bitaeniorhnchus merupakan vektor JE di Indonesia. Cx. quinquefasciatus merupakan vektor W. bancrofti di DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Papua (Irian Jaya). Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. annulirostris merupakan vektor

W. bancrofti di Irian jaya (Hadi dan Soviana 2010). Cx. quinquefasciatus, Ma.annulata, Mn. bonneae, Mn. uniformis dan Mn. dives juga dilaporkan vektor

B.malayi di Bengkulu (Suzuki et al. 1981). An. barbirostris, An. vagus dan An. subpictus merupakan vektor B. timori tipe periodik nokturna di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara, Timor Timur (Fischer 2002).

Menurut Shriram et al. (2015), Cx. quinquefasciatus merupakan vektor W. bancrofti tipe sub periodik diurnal di Nicobarase, Pulau Nicobar India. Mn. uniformis diketahui merupakan vektor dari B. malayi tipe hutan di Batanghari, Jambi (Yahya et al. 2012). Muslim et al. (2013) melaporkan Ar. subalbatus merupakan vektor B. pahangi di daerah sub urban di Penisular Malaysia dan Bonne-Wepster (1956) melaporkan bahwa Cx. bitaeniorhynchus merupakan vektor W. bancrofti di Papua Nugini. Mn. uniformis dan Mn. africana dilaporkan di Ghana adalah vektor W. bancrofti (Ughasi et al. 2012).

4.1.2 Ragam Jenis Berdasarkan Cara Penangkapan

Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus

dan Ae. aegypti merupakan nyamuk yang ditemukan pada semua metode penangkapan (Tabel 1). Persentase nyamuk yang menggigit di luar rumah untuk

Cx. bitaeniorhynchus (47.55%), Cx. tritaeniorhynchus (24.03%) dan Cx.

(39)

18

Tabel 1 Jumlah dan persentase nyamuk yang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015).

Ket : UOL : umpan orang luar; UOD : umpan orang dalam; RD : Istirahat di dalam rumah; RL : Istirahat di luar rumah.

quinquefasciatus (21,84 %), sedangkan di dalam rumah yaitu Cx. bitaeniorhynchus

45.92 %, Cx. quinquefasciatus 24.22 % dan Cx. tritaeniorhynchus 19.67 %. Jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus selain didapatkan pada umpan orang juga diperoleh dengan penangkapan menggunakan light trap di kandang sapi (41.77%). Perilaku

resting Cx. bitaeniorhynchus di dalam rumah sebesar 55.62% dan di luar rumah sebesar 41.57 %.

Berdasarkan komposisi keanekaragaman nyamuk diketahui Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus merupakan spesies yang paling banyak tertangkap masing-masing sebanyak 3416 dan 1695 nyamuk. Jenis Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus paling banyak ditemukan di luar rumah dengan persentase berturut-turut 37.47 % dan 34.69 % (Tabel 2).

Cx. bitaeniorhynchus menunjukkan aktivitas menggigit lebih menyukai di luar (eksofagik) dan di dalam rumah (endofagik) serta beristirahat di dalam rumah (endofilik). Jenis Nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus lebih bersifat endofilik dan eksofilik.

(40)

19

Tabel 2 Komposisi keanekaragaman nyamuk yang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015).

Jenis Nyamuk Jumlah Umpan orang (HLC) Resting Light

Trap UOL : umpan orang luar, UOD : umpan orang dalam, RD : Istirahat di dalam rumah, RL : Istirahat di luar rumah.

(41)

20

4.1.3 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi dan Dominansi Spesies

Tabel 3 Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies, dominansi spesies dengan umpan orang dan light trap berdasarkan jenis nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

No Jenis nyamuk Jlh

Umpan Orang Light trap

KN

KN : Kelimpahan Nisbi, FS : Frekuensi Spesies, DS : Dominansi Spesies

Kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominansi spesies tertinggi dengan penangkapan umpan orang terdapat pada jenis nyamuk Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus dan Cx. bitaeniorhynchus, sedangkan dengan light trap terdapat pada jenis nyamuk Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus (Tabel 3). Hal tersebut diduga disebabkan di sekitar pemukiman banyak terdapat pembuangan air limbah rumah tangga dan selokan yang merupakan habitat potensial bagi ketiga spesies nyamuk tersebut. Ramadhani dan Yuniarto (2009) di daerah Pekalongan Jawa Tengah menyatakan bahwa pengelolaan limbah rumah tangga yang tidak baik dapat menyebabkan air menjadi tergenang dan dapat menjadi habitat Cx. quinquefasciatus.

Dominansi spesies tinggi pada penangkapan dengan menggunakan light trap yaitu dari jenis nyamuk Cx. tritaeniorhynchus (0.21) dan Cx. quinquefasciatus

(0.18) dengan frekuensi spesies masing-masing 1.00 seperti yang tersaji pada Tabel 3. Sitorus et al. (2015) di Desa Karang Anyar, Kabupaten Banyuasin melaporkan jenis nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan light trap sebanyak 38 nyamuk dengan jenis nyamuk tertangkap yaitu Cx. quinquefasciatus, An. vagus dan An. sinensis/crawfordi.

4.2Kepadatan Nyamuk 4.2.1 Kepadatan Perbulan

(42)

21

Tabel 4 Kepadatan nyamuk yang menggigit per orang per jam (man hour density/MHD) setiap bulan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

Jenis Nyamuk September Oktober November Desember

UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL

Ket : * )hanya ditemukan pada penangkapan resting/istirahat. UOD : umpan orang dalam, UOL : umpan orang luar

quinquefasciatus dan bulan Desember kepadatan menggigit tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus (Tabel 4).

Kepadatan nyamuk di antaranya dipengaruhi oleh iklim seperti yang dilaporkan oleh Dixit et al. (2009) di Chattisgarh, India yang menyatakan bahwa

Cx. quinquefasciatus meningkat pada bulan Februari ketika musim hujan. Hal ini didukung oleh Pipitgool et al (1998) yang melaporkan kepadatan nyamuk (MHD)

Cx. quinquefasciatus di Kota Khon Kaen, Thailand berkisar antara 1,6 nyamuk/orang/jam di bulan Desember menjadi 9.2 nyamuk/ orang / jam di bulan Maret ketika musin hujan.

Nilai MHD tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus

sebesar 39.96 nyamuk/jam/orang. Kepadatan tinggi lainnya terdapat pada jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus dengan nilai MHD masing-masing 19.46 nyamuk/jam/orang dan 18.94 nyamuk/jam/orang (Tabel 5).

Nilai MBR tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus

(29.97 nyamuk/hari/orang). Kepadatan tinggi lainnya terdapat pada jenis nyamuk

Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus dengan nilai MBR masing-masing 14.6 nyamuk/jam/orang dan 14.21 nyamuk/jam/orang (Tabel 5).

(43)

22

Tabel 5 Kepadatan nyamuk per orang per jam (man hour density/MHD) dan Kepadatan nyamuk perorang perhari (man bitting rate/MBR) berdasarkan lokasi penangkapan di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

NO Jenis nyamuk MHD Total

Ket : MHD = kepadatan nyamuk menggigit/orang/jam; MBR : kepadatan nyamuk menggigit/orang/hari

Setiawan et al. (2012) di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah juga melaporkan nilai MBR dan MHD pada jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus tertinggi di luar rumah, hal ini karena tenpat perindukan dekat dekat pemukiman. Hal ini diperkuat oleh Sukowati dan Shinta (2009) yang menyatakan bahwa kepadatan nyamuk yang tinggi sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jarak tempat habitat larva dengan rumah penduduk, demikian pula halnya dengan kondisi di Desa Mandomai yang banyak ditemukan tempat habitat larva yang dekat dengan rumah penduduk.

4.2.2 Hubungan Kepadatan Nyamuk (MBR) dengan Indeks Curah Hujan (ICH), Suhu dan Kelembaban

Indeks curah hujan (ICH) terendah di Kecamatan Kapuas Barat berada pada bulan September (28.27 mm/bulan), sedangkan ICH tertinggi pada bulan Desember (239 mm/bulan). Bulan Desember jumlah nyamuk yang tertangkap mengalami kenaikan yang signifikan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Cx. bitaeniorhynchus tidak ditemukan pada bulan September – Oktober, namun meningkat tajam pada bulan Desember. Hal ini diduga karena ICH yang tinggi pada bulan Desember (Gambar 9).

(44)

23

Gambar 9 Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan indeks curah hujan (ICH) (September – Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

Gambar 10 Hubungan jumlah nyamuk tertangkap dan suhu rata-rata (September

– Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat,

(45)

24

Gambar 11 Hubungan jumlah nyamuk tertangkap dan kelembaban rata-rata (September – Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

Hasil perhitungan statistik tidak ditemukan adanya hubungan antara indeks curah hujan, suhu dan kelembaban dengan kepadatan nyamuk (nilai P > 0.05) (Lampiran 8), hal ini kemungkinan karena data curah hujan yang didapatkan pada bulan penangkapan tidak terlalu jauh perbedaanya, namun menurut Bai et al. (2013) bahwa suhu, curah hujan, angin, dan cuaca ekstrim berpengaruh terhadap penularan penyakit bersumber nyamuk di China dalam 100 Tahun terakhir.

Russel et al. (1963) menyatakan bahwa suhu udara 25°C – 27°C dan kelembaban antara 80 – 90 % sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan nyamuk, selain itu Paaijmans and Thomas (2013) melaporkan bahwa perubahan iklim 3 – 4 0C dari suhu sebelumnya memberikan dampak terhadap daya optimal

nyamuk. Menurut Santoso et al. (2014), suhu optimum perkembangbiakan nyamuk penular filariasis (Mn. uniformis dan Mn. dives) di Muaro Jambi berkisar antara 28 -32 0C. Pemetaan risiko kejadian filariasis yang dilakukan di Tamil Nadu, India

berdasarkan geo environmental risk map (GERM) menyatakan bahwa curah hujan, suhu, kelembaban relatif, ketinggian dan tipe tanah berpengaruh terhadap risiko kejadian filariasis (Sabesan et al. 2006).

4.3Aktivitas Menggigit dan Istirahat (Resting)

4.3.1 Aktivitas Menggigit

Mn. uniformis mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah meningkat pada pukul 19.00 – 20.00 dan 21.00 – 22.00, kemudian meningkat kembali pada pukul 05.00 – 06.00. Jenis nyamuk Mn. annulata peningkatan aktivitas terjadi menjelang senja yaitu pukul 18.00 – 20.00, sebaliknya puncak aktivitas Mn. dives

terjadi menjelang pagi yaitu pukul 04.00 – 05.00. Aktivitas menggigit Mn. uniformis di dalam rumah meningkat pada pukul 22.00 – 23.00, Mn. annulata pukul 19.00 – 20.00, sedangkan pada Mn. dives tidak ditemukan puncak aktivitas menggigit di dalam rumah (Gambar 12).

(46)

25

Gambar 12 Aktivitas menggigit Mansonia spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

Aktivitas menggigit nyamuk di dalam dan diluar rumah juga dilaporkan oleh Ambarita dan Sitorus (2004) di Desa Sebubus, Sumatera Selatan, bahwa aktivitas

Mn. dives tertinggi di luar rumah pada pukul 19.00 – 18.00 dan di dalam rumah pukul 20.00 – 21.00 dan pada Mn. uniformis di luar rumah tertinggi pada pukul 20.00 – 21.00 dan 21.00 – 22.00 sedangkan di dalam rumah tertinggi pukul 20.00

– 21.00.

Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus aktivitas menggigitnya ditemukan pada setiap jam penangkapan dan meningkat menjelang senja di luar dan di dalam rumah. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah meningkat pada pukul 19.00 – 20.00 sedangkan di dalam rumah peningkatan aktivitas meningkat pada pukul 23.00 – 24.00. Aktivitas menggigit Cx. gellidus

menigkat pada pukul 21.00 – 22.00 dan 23.00 – 24.00, sedangkan di dalam rumah tidak ditemukan aktivitas menggigit. Jenis nyamuk Cx. hutchinsoni tidak ditemukan aktivitas menggigit baik di dalam maupun di luar rumah (Gambar 13).

Aktivitas menggigit Culex spp. di dalam dan diluar rumah juga dilaporkan oleh Syahrial et al. (2005) di daerah endemis filariasis di Desa Empat, Kalimantan Selatan bahwa waktu puncak aktivitas mengigit Cx. vishnui, Cx. sitiens, Cx. quinquefasciatus, Cx. fuslephalus, Mn. uniformis, Mn. dives, dan An. nigerrimus

(47)

26

Gambar 13 Aktivitas menggigit Culex spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

Ae. aegypti mempunyai aktivitas menggigit yang meningkat pada pukul 18.00 – 19.00 di dalam rumah, sedangkan di luar rumah pada pukul 19.00 – 20.00. Jenis nyamuk Ae. albopictus, aktivitas menggigit meningkat beberapa kali yaitu pada pukul 18.00 – 19.00, 24.00 – 01.00 dan 05.00 – 06.00 di dalam rumah, sedangkan di luar rumah pada pukul 19.00 – 20.00 dan 21.00 – 24.00 (Gambar 14). Aktivitas Aedes biasanya aktif pada siang hari, namun di Desa Mandomai juga ditemukan aktif pada malam hari.

Aktivitas menggigit Aedesaegypti malam hari juga dilaporkan oleh Hadi et al. (2012) di berbagai daerah di Indonesia yaitu Cikarawang, Babakan, dan Cibanteng Kabupaten Bogor, Cangkurawuk Darmaga Bogor, Pulau Pramuka, Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Gunung Bugis, Gunung Karang, Gunung Utara Balikpapan dan Kayangan, Lombok Utara.

(48)

27

Gambar 14 Aktivitas menggigit Aedes spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

An. balabacensis mempunyai aktivitas menggigit menjelang senja (19.00 – 20.00) di luar rumah, sedangkan pada An. barbirostris, aktivitas menggigit merata sepanjang malam baik di dalam dan di luar rumah (Gambar 15). An. barbirostris

dilaporkan sebagai vektor filariasis (B. timori) di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dengan aktivitas menggigit 21.00 dan 03.00 (Atmosoedjono et al. 1977).

Gambar 15 Aktivitas menggigit Anopheles spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

Gambar 16 Aktivitas menggigit Armigeres subalbatus dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

(49)

28

Jenis nyamuk Ar. subalbatus mempunyai aktivitas menggigit hanya menjelang pagi dan di luar rumah yaitu pukul 04.00 – 05.00 (Gambar 16). Prastowo & Anggraini (2012) melaporkan bahwa aktivitas menggigit Ar. subalbatus di Kebumen, Jawa Tengah pada pukul 24.00 dan 02.00. Ar. subalbatus dilaporkan sebagai vektor filariasis (B. pahangi) pada kucing dan anjing di suburban Kuala Lumpur, Peninsular Malaysia (Muslim et al. 2013).

4.3.2 Perilaku Istirahat (resting)

Mn. dives mempunyai perilaku istirahat pada pukul 23.00 – 24.00 di dalam rumah, sedangkan di luar rumah ditemukan pukul 18.00 – 19.00, 24.00 – 01.00 dan 02.00 – 03.00. Perilaku istirahat Mn. uniformis tertinggi di dalam rumah pada pukul 22.00 – 23.00, sedangkan di luar rumah pukul 20.00 – 21.00. Pada Mn. annulata,

perilaku istirahat tertinggi pada pukul 19.00 – 20.00 baik di dalam dan di luar rumah (Gambar 17).

Genus culex sp. merupakan jenis nyamuk yang lebih suka isirahat di dalam dan di luar rumah, kecuali Cx. gellidus dan Cx. hutchinsoni tidak ditemukan istirahat di dalam rumah. Perilaku istirahat Cx. gellidus tertinggi pada pukul 20.00

– 23.00, sedangkan pada Cx. hutchinsoni pada senja hari yaitu pukul 18.00 – 19.00 (Gambar 18).

Gambar 17 Perilaku resting Mansonia spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

(50)

29

Gambar 18 Perilaku resting Culex spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

(51)

30

Gambar 19 Perilaku resting Aedes spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

Anopheles sp. Mempunyai perilaku istirahat hanya di luar rumah. Jenis nyamuk An. balabacesis hanya ditemukan istirahat pada pukul 21.00 – 22.00 sedangkan An. barbirostris perilaku istirahat tertinggi terdapat pada pukul 20.00 – 21.00 (Gambar 20).

Gambar 20 Perilaku resting Anopheles spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

Ar. subalbatus memiliki perilaku istirahat hanya di dalam rumah yaitu pukul 21.00 – 22.00 (Gambar 21).

Gambar 21 Perilaku resting Armigeres subalbatus di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)

Gambar

Gambar 3   Penangkapan nyamuk dengan penangkapan human landing collection (HLC)/bare leg collection (BLC)
Gambar 4  Jenis nyamuk dari genus Culex spp. di Desa Mandomai 2015. a. Culex quinquefasciatus; b
Gambar 5  Jenis nyamuk dari genus Mansonia spp. di Desa Mandomai 2015. a. Mn. annulata; b
Gambar 7 Jenis nyamuk dari genus Aedes spp. di Desa Mandomai 2015. a dan c Aedes albopictus; b dan d
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa desa Gondanglegi Kulon dapat dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis klinis, karena telah diketahui adanya penduduk yang mengalami

ADAT DALAM MENANGANI DELIK ADAT PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK PANGKODAN DI DESA LAPE KECAMATAN SANGGAU KAPUAS KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT ”.. Pada kesempatan

“ Eksistensi Hukum Pidana Adat Dalam Menangani Delik Adat Pada Masyarakat Hukum Adat Dayak Pangkodan Di Desa Lape Kecamatan Sanggau Kapuas Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan

Penderita positif mikrofilaria di Desa Binawara yang merupakan kasus lama pada penelitian tahun 2011 menyatakan selalu meminum obat pencegah filariasis yang

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status dan Konservasi Biodiversitas di Kebun Tembawang Desa Sungai Mawang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat

penelitian ini digunakan untuk mengetahui besarnya pendapatan petani responden pada usahatani padi sawah di Desa Cemara Labat kecamatan Kapuas Kuala kabupaten

Penderita positif mikrofilaria di Desa Binawara yang merupakan kasus lama pada penelitian tahun 2011 menyatakan selalu meminum obat pencegah filariasis yang

Penderita positif mikrofilaria di Desa Binawara yang merupakan kasus lama pada penelitian tahun 2011 menyatakan selalu meminum obat pencegah filariasis yang