• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

AMINUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

(4)

Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh AMIRUDDIN SALEH dan ANNA FATCHIYA.

Petani tanaman pangan adalah salah satu profesi yang melekat pada seorang yang melakukan usahatani pangan (padi dan palawija). Memandirikan petani adalah salah satu langkah penting dalam upaya revitalisasi pertanian dengan berbasiskan sumber daya petani sebagai pelaku utamanya. Permasalahan pertanian di Kabupaten Bogor seperti penguasaan lahan yang sempit, pendapatan petani yang kecil, peralatan produksi yang sederhana, teknologi budidaya yang belum banyak dipahami, adopsi inovasi yang masih minim, modal usahatani yang rendah, pengolahan pascapanen dan pengetahuan pemasaran yang masih rendah menjadi salah satu latar belakang pentingnya kemandirian petani tersebut. Berdasarkan permasalahan di Kabupaten Bogor, tujuan penelitian adalah: (1) mendeskripsikan tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor; (2) mendeskripsikan karakteristik petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor; (3) mendeskripsikan kegiatan penyuluhan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor; dan (4) menganalisis faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor.

Pendekatan penelitian adalah kuantitatif, sebagai survei deskriptif eksplanatori. Populasi penelitian berjumlah 12.838 orang yang berasal dari empat kelompok tani di Kecamatan, Pamijahan, Cigudeg, Cariu dan Tanjung Sari. Sampel penelitian ditetapkan menurut rumus Slovin sebanyak 154 orang dan pengambilan sampel menggunakan metode proportionate simple random sampling. Data penelitian meliputi data primer dan data sekunder dengan menggunakan instrumen dan definisi operasional setiap peubah penelitian. Teknik pengumpulan data secara primer dengan cara penyebaran kuisioner, wawancara, observasi, dokumentasi dan catatan harian. Data sekunder diperoleh dari arsip Pemerintah Kabupaten Bogor yaitu buku Kabupaten Bogor dalam angka dan kecamatan dalam angka serta buku literatur lainnya. Analisis data mencakup analisis statistik deskriptif berupa frekuensi, presentase, rataan, total rataan skor, tabulasi silang, dan statistik inferensial berupa analisis koefisien korelasi rank Spearman (rs). Pengolahan data menggunakan program SPSS for windows versi

19.00. Uji coba kuisioner dilakukan dengan 30 orang responden di luar sampel penelitian namun memiliki karakteristik yang sama, uji validitas digunakan product moment correlational Pearson dengan hasil 117 buah pertanyaan yang valid (rhitung: 0.361> rtabel 0.3) dan uji reliabilitas dengan menggunakan metode

Cronbach Alpha dengan hasil reliabel (rhitung:0.643;0.887;0.916;0.865 > rtabel 0.60).

(5)

relatif sempit (4.352.87 m²), berpendapatan rendah (Rp 1.294.737.78/ bulan), tingkat kekosmopolitan yang diukur dari total jarak tempuh dalam satu tahun terakhir tergolong dekat (104.13 km) dan motivasi berusahatani yang cukup tinggi. Adapun secara eksternal, karakteristik petani dicirikan oleh dukungan kelompok tani, ketersediaan sarana dan prasarana produksi, dukungan lembaga penyuluhan, dukungan kebijakan pemerintah, dan peran tokoh masyarakat yang sudah baik, namun dukungan lembaga keuangan dan dukungan sumber informasi masih rendah; (3) kegiatan penyuluhan petani di Kabupaten Bogor telah dilaksanakan dengan baik, dicirikan oleh materi penyuluhan, metode penyuluhan, kompetensi penyuluh, dan interaksi petani dengan penyuluh namun media penyuluhan masih tergolong kurang baik; dan (4) faktor-faktor yang berhubungan nyata dengan kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor adalah: (a) faktor internal petani, yaitu: pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman berusahatani, tingkat kekosmopolitan, pendapatan petani dan motivasi berusahatani, (b) faktor eksternal petani, yaitu: dukungan kelompok tani, ketersediaan sarana dan prasarana produksi, dukungan lembaga keuangan, dukungan lembaga penyuluhan, dukungan sumber informasi, dukungan kebijakan pemerintah dan peran tokoh masyarakat, dan (c) faktor kegiatan penyuluhan, yaitu: materi, metode dan media penyuluhan, kompetensi penyuluh dan interaksi petani dengan penyuluh.

Disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) terkait dengan tingkat kemandirian petani dalam pemasaran produk pertanian yang hasilnya tergolong rendah, maka penting bagi Pemerintah Kabupaten Bogor untuk membentuk sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pertanian guna menyerap, menampung dan memasarkan hasil pertanian; (2) dukungan lembaga keuangan dan dukungan sumber informasi pertanian masih rendah, untuk itu Pemerintah Kabupaten Bogor perlu menginisiasi pembentukan lembaga simpan pinjam di tingkat desa. Demikian juga diperlukan peningkatan intensitas penyebaran informasi pertanian misalnya melalui siaran perdesaan di radio dan majalah inovasi pertanian perdesaan; dan (3) media penyuluhan yang sudah ada, masih belum bervariasi, perlu bagi penyuluh untuk meningkatkan penggunaan media penyuluhan yang lebih variatif, misalnya dengan film, video, dan alat peraga lainnya. Terkait dengan pengadaan alat tersebut, diperlukan anggaran baik melalui dana Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD) ataupun dari swasta.

(6)

AMINUDIN. The Level of Farmer’s Self Reliance in Making Decision for Business of Food Crops in Bogor District. Supervised by AMIRUDDIN SALEH and ANNA FATCHYA.

Food crop farmers is a profession that is known to a person whom doing food crops (rice and cash crops). Therefore, strengthening the farmer’s self-reliance is one of the important efforts in farmer-resource-based agricultural revitalization. Problems of agribusiness that have been existed in Bogor District, such as: small land owned farmers, low farmer income, utilization of simple tools for crop cultivation, low ability of farmers in applying new agro-technology and adopting innovation, farmers having low capital for carrying out agribusiness, and very few knowledge of farmers about postharvest processing and marketing are the reasons why farmer’s self-reliance in business of food crops is becoming very important to be increased. Based on the problems in Bogor District, research objectives are: (1) describing the level of farmers self-relience in making decision for business of food crops in Bogor District, (2) describing the characteristics of farmers in making decision for business of food crops in Bogor District, (3) describing the agricultural extension activities food crops in Bogor District, and (4) analyzing the factors that related to self-reliance of farmers in making decision for business of food crops in Bogor District.

Research was carried out based on quantitative approach through descriptive explanatory survey. Total population of the farmers in studied areas was 12.838 people which have been existed in four farmer groups settled in Sub-districts of Pamijahan, Cigudeg, Cariu, and Tanjung Sari. Of 12.838 farmers, 154 people were determined as a number of research samples (respondent) that chose by using Slovin formula. Method of proportionate simple random sampling was used for getting the samples. Primary and secondary data were collected by using the instruments based on an operational definition of each research variable. Primary data were collected through a survey technique using questionnaires, interviews, observations and documentations, and some were directly recorded as daily notes. Secondary data were mainly taken from Local Government of Bogor District, i.e.: Statistics of Bogor District and of Pamijahan, Cigudeg, Cariu and Tanjung Sari Sub-districts, and some were cited from several reports. Data analyses were focused on descriptive statistical analysis consisting of frequency, percentage, mean value, sum of mean score and cross tabulations and inferential statistical analysis for determining the coefficient of Spearman rank correlation (rs). SPSS

program for Windows of 19.00 versions was used for data tabulations. Questionnaire trial was conducted on 30 respondents excluding the determined samples, but they have the same characteristics; whereas test of validity was carried out by using the Pearson product moment correlation, from which 117 valid questions (rcalculation: 0.361 > rtable 0.3) were resulted, and test of reliability was

done by using the method of Cronbach Alpha with the reliable results of (rcalculation:

0.643; 0.887; 0.916; 0.865 > rtable 0.60).

(7)

productive age with the mean value of 47.29 years, they have low level in formal education with the mean value of 6.61 years, but they are eager to join with nonformal education in food crop cultivation through agricultural extension, in which they had three-times of participation during the last three years, small family member with the mean value of 4 persons, has little experience in business of food crops (mean value of 17.1 years), small land tenures (mean value of 4.352.87 m2); low farmer income (mean value of Rp. 1.294.737.78 month-1),

cosmopolitan levels measured from total distance where formerly the farmers have closely traveled (mean value of 104.13 km), and high motivation in business of food crops. Externally, characteristics of farmers were showed by the presence of the support of farmer groups, the availability of infrastructures and production inputs, the supports of government policies and of institution of agricultural extensions, and a good role of society leaders but financial institutions and information resources seems to have still low supports; (3) the activities of agricultural extension as nonformal education for the farmers have been implemented well, which are characterized by the presence of educational materials and methods, educators with good competences, and interaction between educators and farmers but extension media is relatively poor and it needs to be improved; and (4) the factors that significantly related to the farmer’s self-reliance in making decisions for business of food crops are as follow: (a) internal factors of farmers, namely: formal and nonformal educations, experiences in business of food crops, cosmopolitan level, farmer’s income, and farmer’s motivation in business of food crops, (b) external factors of farmers, that are: supports of farmer groups, availabilities of infrastructure and production inputs, supports of institutions of agricultural extensions and of information resources, and supports of government policies and of the role of society leaders, (c) factors of agricultural extension activities, such as: materials, methods, educational media, educator’s competences, and interaction of educators and farmers.

It is suggested that: (1) related to the level of farmer’self-reliance in the marketing of agricultural products with low result, it is important for Local Government of Bogor District should establish agricultural enterprises owned local government (BUMD) which has the function to absorb, market, and accommodate agricultural products; (2) financial institutions and agricultural resources support are low, so Bogor District Government needs to initiate of savings and loan formation at the village level. Likewise, improvement needed in the intensity of agricultural information dissemination in the rural areas, for example through radio broadcasts and magazines rural agricultural innovation; and (3) counseling of existing media, still varies, it is necessary for the conselour to increase the use of media education more varied, for example film, video, and other props. Related to the equipment procurement, either through the budget funds needed Expenditure Budget and Expenditure (APBD) or from the private sector.

(8)
(9)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)
(12)

Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor Nama : Aminudin

NIM : I351100101

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr

Ir H Amiruddin Saleh, MS Ketua

Dr

Ir Anna Fatchiya , MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr Ir Siti Amanah, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah kemandirian, dengan judul Tingkat Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir H Amiruddin Saleh, MS dan Ibu Dr Ir Anna Fatchiya, MSi selaku pembimbing, serta Prof Dr Aida Vitayala S. Hubeis, MSc sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ahmad Bastari, Haji Atu, Madjid, Edih, A. Murji, Embay, Haji Qomeri dan anggota dari kelompok tani Hurip, Cinta Tani, Saluyu, Suka Asih, Darma Bakti, Pringgondani, Raharja, Subur Tani dan Jati Nunggal yang sudah bersedia menjadi responden dan banyak memberikan informasi mengenai kehidupan bertaninya. Bapak Rachmat Yasin (Bupati Kabupaten Bogor), Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kabupaten Bogor, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor, Kepala Badan Ketahanan Pangan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BKP5K) Kabupaten Bogor beserta jajarannya yang sudah banyak membantu dalam menyediakan data-data penting Kabupaten Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Istri dan anak-anak tercinta (Fielda Aisyah, Alif Raihan, Salim Mawla Abi, dan Abrisam Khairul Umam) yang selalu mendampingi tiap harinya serta seluruh keluarga besar Bapak Memed dan Ibunda Euis Aminah di Tasikmalaya dan Bapak Supiandi Sabiham dan Ibunda Lies Kholidah di Bogor yang turut membantu serta mendoa’kan untuk kesuksesan dan kebahagiaan hidup.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 4

Petani dan Kemandirian Petani 4

Usahatani 7

Faktor Internal Petani 7

Umur 8

Pendidikan Formal 8

Pendidikan Nonformal 9

Jumlah Anggota Keluarga 9

Pengalaman Berusahatani 9

Penguasaan Lahan 9

Motivasi Berusahatani 10

Tingkat Kekosmopolitan 10

Pendapatan Petani 11

Faktor Eksternal Petani 11

Dukungan Kelompok Tani 11

Ketersediaan Sarana dan Prasarana Produksi 12 Dukungan Lembaga Keuangan dan Lembaga Penyuluhan 12

Dukungan Sumber Informasi 12

Dukungan Kebijakan Pemerintah 13

Peran Tokoh Masyarakat 13

Kegiatan Penyuluhan 14

Materi dan Media Penyuluhan 15

Metode dan Strategi Penyuluhan 15

Interaksi Petani dengan Penyuluh 16

Kompetensi Penyuluh 16

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 17

Kerangka Pemikiran 17

Hipotesis 19

METODE 20

Disain Penelitian 20

Populasi dan Sampel 20

Populasi 20

Sampel 21

Waktu dan Lokasi Penelitian 22

Waktu 22

Lokasi Penelitian 22

(15)

Data 23

Instrumentasi 23

Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah 24 Validitas dan Reliabilitas Instrumen 28

Validitas Instrumen 28

Reliabilitas Instrumen 30

Pengumpulan Data 31

Pengolahan dan Analisis Data 32

HASIL DAN PEMBAHASAN 33

Gambaran Umum dan Potensi Pengembangan Wilayah

Penelitian 33

Gambaran Khusus Wilayah Kecamatan 38

Kecamatan Pamijahan 38

Kecamatan Cigudeg 39

Kecamatan Cariu 39

Kecamatan Tanjungsari 40

Karakteristik Petani di Kabupaten Bogor 40

Faktor Internal Petani 40

Umur 40

Pendidikan Formal 41

Pendidikan Nonformal 42

Jumlah Anggota Keluarga 44

Pengalaman Berusahatani 44

Penguasaan Lahan 45

Tingkat Kekosmopolitan 45

Pendapatan Petani 46

Motivasi Berusahatani 47

Faktor Eksternal Petani 47

Dukungan Kelompok Tani 47

Ketersediaan Sarana dan Prasarana Produksi 48

Dukungan Lembaga Keuangan 49

Dukungan Lembaga Penyuluhan 49

Dukungan Sumber Informasi 50

Dukungan Kebijakan Pemerintah 50

Peran Tokoh Masyarakat 51

Kegiatan Penyuluhan 52

Materi Penyuluhan 52

Metode Penyuluhan 53

Media Penyuluhan 54

Kompetensi Penyuluh 54

Interaksi Petani dengan Penyuluh 55 Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan

Usahatani 55

Pemenuhan Sarana dan Prasarana Produksi 56

Budidaya 57

Pasca panen 57

(16)

Pengujian Hipotesis Penelitian 58 Hubungan Faktor Internal dengan Kemandirian

Petani dalam Pengambilan Keputusan Usahatani

Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor 58 Hubungan Faktor Eksternal dengan

Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan

Usahatani Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor 61 Hubungan Kegiatan Penyuluhan dengan Kemandirian

Petani dalam Pengambilan Keputusan Usahatani

Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor 67

SIMPULAN DAN SARAN 70

Simpulan 70

Saran 71

DAFTAR PUSTAKA 71

LAMPIRAN 76

(17)

DAFTAR TABEL

1 Populasi penelitian dan jumlah responden 21 2 Nama desa, Poktan, luas lahan dan tingkat

kemampuan kelompok 22

3 Lokasi penelitian 23

4 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran

faktor internal petani 25

5 Indikator, definisi operasional dan parameter pengukuran

faktor eksternal petani 26

6 Indikator, definisi operasional dan paramater pengukuran

kegiatan penyuluhan 27

7 Indikator, definisi operasional dan parameter pengukuran tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan

usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor 28 8 Nilai koefisien Cronbach Alpha hasil uji reliabilitas 31

9 Profil wilayah penelitian 38

10 Sebaran petani berdasarkan faktor internal 42 11 Rataan skor penilaian terhadap faktor eksternal petani 48 12 Rataan skor persepsi petani terhadap kegiatan penyuluhan 52 13 Rataan skor tingkat kemandirian petani dalam

pengambilan keputusan usahatani 56

14 Hubungan antara faktor internal petani dengan kemandirian petani dalam pengambilan

keputusan usahatani 59

15 Hubungan antara faktor eksternal petani dengan kemandirian petani dalam pengambilan

keputusan usahatani 62

16 Hubungan antara kegiatan penyuluhan dengan kemandirian petani dalam pengambilan

keputusan usahatani 68

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Kabupaten Bogor dan wilayah penelitian 77 2 Hasil uji validitas dan reliabilitas 78

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara agraris, sebagian besar penduduknya hidup di sektor pertanian dan di perdesaan (46%). Menurut Badan Pusat Statistika (BPS), Tahun 2013 ini Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 115 juta orang. Kondisi geografis perdesaan yang terdiri dari hamparan lahan-lahan pertanian menjadi salah satu pendorong bagi warganya untuk hidup menjadi petani. Petani tanaman pangan adalah salah satu profesi yang melekat pada seorang yang melakukan usahatani pangan (padi dan palawija). Mereka adalah sekelompok manusia yang menghabiskan banyak masa hidupnya dalam aktivitas bercocok tanam dan terkadang menjadi mata pencaharian utama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Para petani di perdesaan sangat rajin melakukan aktivitas usahatani karena dengan cara inilah mereka bisa memertahankan hidupnya. Hasil usahatani bisa dikonsumsi sendiri ataupun dijual untuk memenuhi kebutuhan di luar pangan. Usaha yang sungguh-sungguh dari pelaku utama pertanian serta adanya elemen penunjangnya dalam melakukan kegiatan usahatani, berimplikasi kepada keberhasilan pada sektor pertanian di Indonesia dalam menyediakan lumbung beras nasional. Terbukti pada tahun 1984 (orde baru), Indonesia dapat mencapai swasembada beras, bahkan bisa mengekspornya ke luar negeri.

Keberhasilan tersebut bukan diperoleh dengan upaya yang biasa saja dan tanpa risiko, akan tetapi harus mengorbankan unsur lainnya yaitu kebebasan dalam menentukan dan berkehendak sendiri (mandiri). Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi beras, antara lain melalui pembuatan dan perbaikan sarana irigasi di berbagai daerah persawahan, pemberian modal bagi masyarakat petani, penelitian dan penggunaan bibit unggul, serta modernisasi pertanian melalui teknologi. Inti dari cara ini adalah instruksi presiden yang disalurkan secara top down ke petani. Sebagai penyalur informasinya dibentuk organisasi Bimbingan Massal (Bimas) yang melibatkan semua level pemerintahan dari pusat sampai desa. Di tingkat petani, dibentuk kelompok-kelompok tani yang berfungsi untuk menjalankan instruksi di lapangan. Peranannya, petani tidak boleh mengambil keputusan soal produksi. Pemerintah akan memutuskan jenis benih apa yang akan digunakan, berapa lama waktu tanam, jenis pupuk, pestisida, dan lain-lain. Kemudian, petani tinggal melaksanakan apa yang diinstruksikan, setelah diberikan penyuluhan oleh lembaga-lembaga penyuluhan yang dibentuk oleh Departemen Pertanian.

Lembaga-lembaga penyuluhan bertugas untuk memastikan apakah petani sudah menjalankan sesuai dengan yang diinstruksikan. Setiap penyuluh harus memastikan semua petani bimbingannya menjalankan instruksi. Kalau ada petani yang menentang instruksi pemerintah, misalnya menanam padi jenis lain, maka aparat keamanan akan “mengamankan”nya. Instruksi ini kemudian tidak hanya berhenti soal benih dan pupuk, melainkan juga berkenaan dengan pemasaran hasil pertanian. Untuk mendekatkan petani ke pasar sarana dan hasil produksi pemerintah mendirikan Koperasi Unit Desa (KUD). Koperasi Unit Desa nantinya yang akan menyalurkan sarana produksi ke petani sekaligus membeli gabah dari petani. Tidak hanya itu, ketersediaan sarana produksi serta akses bantuan modal juga dijamin oleh pemerintah.

(19)

agroindustri hulu (sarana produksi), usahatani (on farm), agroindustri/bisnis hilir (pengolahan/pemasaran), dan penunjang (penelitian, penyuluhan, pembiayaan) diintegrasikan secara ketat dalam program Bimas. Secara tidak langsung ini merupakan suatu konsep yang tidak memberdayakan petani, karena petani tidak memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan usahataninya. Semuanya serba diatur dan sangat tergantung kepada apa yang diinginkan oleh pemerintah sehingga masa kejayaan tersebut tidak bisa dipertahankan sampai sekarang. Ketika pemerintahan orde baru selesai, petani seperti kebingungan dalam pengambilan keputusan usahataninya tersebut. Berbagai masalah pun muncul. petani tidak terbiasa mandiri, akhirnya konsep asal tanam, asal benih, asal mupuk, kemampuan dalam memasarkan yang kurang, kebingungan mencari tempat pemasaran yang sesuai, nilai jual pertanian yang rendah dan sebagainya.

Permasalahan di nasional tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten Bogor. Menurut informasi yang disampaikan oleh beberapa narasumber Badan Ketahanan Pangan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BKP5K) dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, masalah petani saat ini di antaranya: (1) Banyaknya petani yang tidak memiliki lahan sendiri karena sudah dijual dan kalaupun punya kepemilikan lahan di bawah 0.3 ha; (2) Kesulitan dalam mengakses modal, teknologi, dan informasi; (3) Pemanfaatan pupuk organik yang belum optimal; (4) Kelompok tani belum memahami sepenuhnya mengenai teknologi budidaya, dan pemeliharaan tanaman; (5) Pengolahan hasil-hasil pertanian yang kurang maksimal (on farm); (6) Petani banyak yang menjual hasil panen ke tengkulak; (7) Sifat fatalistik yang kuat terhadap profesi petani; (8) Belum optimalnya fasilitasi sarana produksi, finansial dan kemitraan, serta jejaring pemasaran produk bagi pelaku utama dan pelaku usaha; (9) Modal usaha tani masih rendah, sehingga ketergantungan terhadap bantuan pemerintah masih tinggi; (10) belum optimalnya pemenuhan persyaratan legalitas formal kelas kemampuan kelompok petani/peternak/ pembudidaya/petani hutan; (11) belum optimalnya hubungan kerjasama dalam transfer inovasi teknologi dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi, serta koordinasi pembinaan kelembagaan bersama dengan pemerintahan tingkat kecamatan dan desa; (12) Belum optimalnya tingkat pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan, khususnya dalam aplikasi metode penyuluhan bagi pelaku utama dan pelaku usaha; dan (13) Tidak tercapainya beberapa target yang telah ditetapkan, yaitu ketersediaan pangan utama, produksi ubi jalar, produksi talas, produksi ubi kayu, produktivitas padi sawah, produktivitas padi gogo, dan produksi pisang.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan ini, Pemerintah Kabupaten Bogor melakukan gerakan revitalisasi pertanian yang bertujuan untuk penyediaan bahan pangan. Tujuan ini dicanangkan dalam program Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Berbasis Perdesaan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013 khususnya pada misi ke-2 sebagai upaya meningkatkan perekonomian daerah.

(20)

media massa, berhubungan dengan sumber informasi dan skala usaha. Pada aspek produksi dipengaruhi oleh keterdedahan dengan media massa, interaksi dengan sumber informasi dan hubungan kemitraan, dan pada aspek pemasaran dipengaruhi oleh sumber informasi.

Memandirikan petani adalah salah satu langkah penting dalam upaya merevitalisasi petani sebagai pelaku utamanya. Sastraatmadja (2006) menyatakan bahwa makna penting dari revitalisasi petani adalah pemberdayaan dan pemartabatan, sikap masa lalu yang seolah-olah menyerah kepada nasib sudah waktunya harus ditinggalkan, dan wawasan petani yang kurang berorientasi ke masa datang harus pula beralih ke arah cara pandang yang futuristik dan lebih egaliter. Salah satunya dengan melakukan gerakan-gerakan penyuluhan terhadap para petani supaya mereka tersadar dan tercerahkan hingga mau berupaya mandiri dalam segala hal. Hal ini bertujuan agar petani mampu menghasilkan produk berkualitas yang mampu bersaing dengan produk yang sejenis yang datang dari berbagai mancanegara. Agar dapat menghasilkan produk yang berkualitas, petani harus mampu melaksanakan usahataninya secara efektif dan efisien.

Kemandirian petani adalah suatu hal yang penting untuk diteliti, karena memandirikan petani adalah salah satu bentuk revitalisasi pertanian berbasis sumber daya manusia (SDM) untuk mempersiapkan dirinya dalam usaha memajukan sektor pertanian. Kemandirian merupakan sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangannya, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungannya, sehingga individu tersebut pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri (Mu’tadin 2002).

Tingkat kemandirian petani tanaman pangan pada level wilayah Kabupaten Bogor terutama dalam hal kemandirian dalam pemenuhan sarana produksi, kemandirian tentang budidaya tanaman yang diusahakan, kemandirian dalam pengambilan keputusan pasca panen dan pengambilan keputusan pemasaran hasil usahataninya belum banyak dilakukan bahkan mungkin belum ada. Atas dasar itu, untuk mengetahui tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahataninya perlu dilakukan penelitian.

Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan beberapa permasalahan di atas, maka rumusan masalah di rumuskan dalam pertanyaan berikut:

1. Bagaimana tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana karakteristik internal dan eksternal petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor?

3. Sejauhmana kegiatan penyuluhan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor?

4. Sejauhmana faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor?

(21)

Tujuan umum penelitian ini ialah untuk mengetahui kemandirian petani tanaman pangan dalam pengambilan keputusan usahatani di Kabupaten Bogor. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan tingkat kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor.

2. Mendeskripsikan karakteristik petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor.

3. Mendeskripsikan kegiatan penyuluhan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor.

4. Menganalisis faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani tanaman pangan di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pihak, antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat bagi pembuat kebijakan atau pemerintah Kabupaten Bogor, sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijakan pertanian ke depan dengan berbasiskan sumber daya petani yang mandiri.

2. Manfaat bagi petani, sebagai bahan informasi dan penyadaran terhadap mereka bahwa kemandirian petani sangatlah penting dan lebih baik dibandingkan dengan bertani yang serba ketergantungan dalam segala hal. 3. Manfaat bagi pengembangan keilmuan, sebagai salah satu sumbangan

pengayaan konsep-konsep teoritis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani. 4. Manfaat bagi masyarakat, dapat memberikan informasi ilmiah bagi para

pihak yang berkepentingan terhadap konsep kemandirian dalam pengambilan keputusan usahataninya.

TINJAUAN PUSTAKA

Petani dan Kemandirian Petani

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pasal 1 ayat 10 dinyatakan bahwa:

“Petani adalah perorangan warga negara Indonesia beserta keluarganya atau korporasi yang mengelola usaha di bidang pertanian, wanatani, minatani, agropasture, penangkaran satwa dan tumbuhan, di dalam dan di sekitar hutan, yang meliputi usaha hulu, usahatani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang.”

(22)

Kemandirian masyarakat hanya akan terwujud bila kualitas perilaku masyarakat cukup tinggi untuk mendukung pembangunan. Kualitas perilaku yang dimaksud di sini adalah kemampuan mengambil keputusan secara tepat dan dapat melaksanakan keputusan secara konsisten (Sumardjo1999).

Berdasarkan hasil penelitian Sumardjo (1999), tingkat kemandirian petani di Jawa Barat cenderung relatif masih rendah pada petani lapisan atas cenderung menunjukkan tingkat kemandirian yang lebih tinggi dibanding dengan petani lapisan bawah. Secara lebih lanjut dikemukakan bahwa kemandirian petani berkaitan erat dan positif dengan kualitas sumber daya pribadi petani yang bersangkutan. Petani yang mandiri adalah petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kegiatan usahataninya sesuai dengan kehendaknya sendiri, yang diyakini paling tinggi manfaatnya tetapi bukan berarti sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya.

Kemandirian petani merupakan suatu kondisi yang dapat ditumbuhkan melalui kegiatan pemberdayaan (empowerment), yaitu memberikan kekuatan atau daya. Pemberdayaan petani ke arah kemandirian dalam berusahatani dapat dilakukan melalui pendidikan, penyuluhan dalam bentuk perubahan perilaku (Soebiyanto 1998).

Menurut Radi (1997), petani yang mampu mewujudkan pertanian mandiri adalah petani yang memiliki karakter: (a) mampu memanfaatkan keanekaragaman sumber daya pertanian secara optimal melalui kekuatan/ kemampuan sendiri; (b) mampu memanfaatkan teknologi pertanian yang dirujuk lingkungan serta tidak menutup diri terhadap berlangsungnya transformasi teknologi yang lebih menguntungkan (integrasi teknologi lokal dengan teknologi dari luar secara selektif); (c) mampu mengembangkan keunggulan kompetitif; (d) memiliki kemampuan manajerial dan keterampilan mengelola usaha secara bisnis.

Slamet (2000) berpendapat, bahwa untuk menumbuhkan kemandiriannya, petani perlu diarahkan agar dengan kekuatan dan kemampuannya berupaya untuk bekerja sama dalam mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan. Kemandirian tidak berarti anti terhadap kerjasama atau menolak saling keterkaitan dan saling ketergantungan.

Ngongu (1997) berpendapat bahwa ciri petani tangguh adalah: 1) memiliki keterampilan dalam menerapkan inovasi, baik inovasi teknik maupun inovasi sosial yang sesuai dengan perkembangan zaman; 2) memiliki kemampuan memperoleh tingkat pendapatan yang layak; 3) memiliki kemampuan menghadapi risiko usahatani, dan 5) memiliki kekutan mandiri baik secara perorangan maupun kelompok dalam menghadapi pihak-pihak lain dalam dunia usaha.

(23)

Keempat, kemandirian sosial (kemampuan berinteraksi sosial dan menjalin kerjasama saling menguntungkan sesama petani, antar kelompok tani dan dengan kelembagaan usahatani lainnya). Kelima, kemandirian material (kemampuan berinvestasi untuk pengembangan usaha dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar melalui pendapatan usahataninya). Keenam, kemandirian pengembangan diri (kemampuan memanfaatkan informasi, media, tenaga penyuluh dan pelatihan serta kemampuan berbagi ilmu dengan orang lain).

Konsep kemandirian tidak hanya mencakup pengertian-pengertian kecukupan diri (self sufficiency) di bidang ekonomi saja, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur-unsur penemuan diri (self discovery) berdasarkan kepercayaan diri (self confidence). Oleh karena itu, kemandirian merupakan sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri dengan pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Artinya, bahwa dalam pengertian sosial, kemandirian juga bermakna sebagai organisasi diri (self organization) atau manajemen diri (self management) yang saling terkait dan saling melengkapi sehingga muncul suatu keseimbangan yang akan menjadi landasan bagi perkembangan berikutnya (Ismawan 2003).

Agussabti (2002) mengatakan bahwa ada tiga faktor penting yang mempengaruhi tingkat kemandirian petani yaitu: tingkat kesadaran kebutuhannya, karakteristik individu (motivasi berprestasi, persepsi terhadap inovasi, keberanian mengambil risiko, kreativitas), dan akses petani terhadap informasi. Menurut Soebiyanto (1998), faktor internal petani yaitu: pendidikan formal, motivasi kelompok, dan pengalaman berusahatani, berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap ketangguhan berusahatani.

Hasil penelitian Mulyandari (2001) menunjukkan tingkat kemandirian petani secara nyata dipengaruhi oleh kinerja penyuluhan, tingkat pendidikan formal, status sosial, tingkat kekosmopolitan, penguasaan sumber daya pertanian tetap, dukungan lembaga kelembagaan, dan keterikatan terhadap norma sosial yang berlaku. Penelitian Fatchiya (2002) menyimpulkan bahwa tingkat kemandirian petani pada usaha ikan hias dipengaruhi oleh umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, keterdedahan media massa, berhubungan dengan sumber informasi dan skala usaha. Pada aspek produksi dipengaruhi oleh keterdedahan dengan media massa, interaksi dengan sumber informasi dan hubungan kemitraan, dan pada aspek pemasaran dipengaruhi oleh sumber informasi. Kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan, dipengaruhi oleh etos kerja, akses informasi, kapasitas diri petani dan kapasitas sumber daya pertanian (Farid 2008).

Usahatani

(24)

keterampilannya), sumber daya alam, kelembagaan dan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.

Menurut Ibrahim et al. (2003), pengelolaan usahatani membahas cara-cara meningkatkan efisiensi usahatani, sebab dalam rumah tangga petani sulit dipisahkan antara kegiatan produksi dengan konsumsi yang dilakukan. Manajemen usahatani ini meliputi kegiatan inventarisasi sumber daya, penetapan tujuan termasuk skala prioritas, membuat alternatif-alternatif usahatani dan menentukan usahatani yang paling menguntungkan, perencanaan anggaran dan evaluasi keberhasilan usaha tani.

Abbas (Soebiyanto 1998) menyebutkan beberapa ciri petani yang mempunyai ketangguhan dalam berusahatani, yaitu : 1) mampu memanfaatkan sumber daya secara optimal dan efisien, 2) mampu mengatasi segala hambatan dan tantangan, 3) mampu menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksinya terhadap perubahan musim, permintaan pasar maupun perkembangan teknologi, 4) berperan aktif dalam peningkatan produksi serta mampu menciptakan pasar yang menguntungkan produksinya.

Keputusan yang diambil oleh setiap petani selaku pengelola antara lain mencakup menentukan pilihan di antara berbagai tanaman yang sebaiknya dipelihara dan menentukan cara membagi waktu kerja di antara berbagai tugas teristimewa pada saat-saat berbagai pekerjaan ini dilakukan serentak. Termasuk pula di dalamnya menentukan pilihan tentang jenis dan jumlah tenaga kerja yang harus dipelihara untuk pekerjaan lapangan (Mosher 1983).

Proses pengambilan keputusan berusahatani oleh petani sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kekosmopolitannya. Tingkat pengetahuan secara umum dapat dilihat dari jenjang tingkat pendidikan formal yang telah atau sedang dicapai. Tingkat kekosmopolitan adalah kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan lingkungan yang sangat luas. Berkaitan dengan kegiatan pengembangan kemandirian petani oleh penyuluh, kekosmopolitan petani adalah kemampuan petani untuk membuka diri terhadap suatu pembaharuan dan atau informasi yang berkaitan dengan unsur pembaharuan. Hal ini juga berkaitan dengan perkembangan proses belajar mandiri, yang menuntut petani mampu membuka wawasannya terhadap berbagai sumber informasi yang mendukung kemandiriannya dalam berusahatani (Mulyandari 2001).

Faktor Internal Petani

Faktor internal petani adalah faktor dalam diri petani yang merupakan karakteristik atau ciri yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Faktor internal individu yang patut diperhatikan untuk menerangkan komunikasi seseorang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama dan lain-lain (Newcomb et al. 1985).

Lionberger (1968), menyatakan bahwa faktor individu atau faktor internal yang perlu diperhatikan ialah: umur, pendidikan, karakteristik psikologis. Termasuk dalam psikologis ini ialah rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatis, orientasi pada usahatani sebagai bisnis, dan kemudahan menerima inovasi.

(25)

Hanafiah dan Saefudin (1983) menulis bahwa umur seseorang merupakan salah satu karakteristik individu yang semakin lama semakin meningkat sehingga berpengaruh terhadap fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Secara kronologis, umur dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu karena relatif lebih mudah dan akurat untuk ditentukan.

Menurut Mardikanto (1993), umur akan berpengaruh kepada tingkat kematangan seseorang baik fisik maupun emosional yang sangat menentukan kesiapan untuk belajar. Dalam penelitian ini, umur yang di pelajari adalah usia seorang petani tersebut sampai saat ini sejak ia lahir sampai dengan sekarang ketika ia masih melakukan kegiatan usahatani.

Pendidikan Formal

Pendidikan merupakan faktor penting pembentuk kualitas sumber daya manusia. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Pada hakikatnya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia baik individu maupun sosial (Prijono dan Pranaka 1996).

Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa:

“Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.

Winkel (1996) mengemukakan sekolah merupakan lingkungan pendidikan formal karena di sekolah terlaksana serangkaian kegiatan yang terencana dan terorganisir, termasuk kegiatan belajar mengajar yang bertujuan menghasilkan perubahan positif dalam diri seseorang di samping itu pula dengan sekolah maka akan tercapai kedewasaan. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pendidikan ada dua, yaitu: (1) pendidikan dalam keluarga (pendidikan informal), dan (2) pendidikan sekolah (pendidikan formal). Pendidikan formal menunjukkan tingkat intelegensia yang berhubungan dengan daya pikir seseorang.

Mosher (1983) menambahkan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor pelancar dalam pembangunan pertanian, faktor pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempercepat perubahan sikap manusia tradisional menjadi manusia modern, atau dari sikap tradisional ke mentalis komersil. Istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Soedjianto 1994).

Pendidikan Nonformal

(26)

dimasyarakat. Sasaran pendidikan nonformal mencakup semua kelompok umur dan semua sektor masyarakat (Prijono dan Pranarka 1996). Pendidikan nonformal ini bisa berupa penyuluhan, penataran, kursus-kursus, maupun bentuk keterampilan teknis lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan kaum petani (Supriatna 1997).

Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga dimaksudkan sebagai banyaknya anggota keluarga yang ditanggung kehidupannya. Besar kecilnya tanggungan keluarga sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang. Jumlah keluarga yang sekian besar menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai kehidupannya.

Hafsah (2003) mengatakan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga berakibat pada rendahnya tingkat konsumsi, produktivitas kerja, kecerdasan dan menurunnya kemampuan berinvestasi.

Soekartawi (1986), berpendapat bahwa banyaknya tanggungan keluarga akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan keluarga. Jumlah keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang tinggi untuk membiayai kehidupannya. Dengan demikian, besarnya jumlah tanggungan keluarga akan meningkatkan motivasi seseorang dalam mencari nafkah sebagai bagian dari tanggungjawab moral dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.

Pengalaman Berusahatani

Secara harfiah, pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung dan sebagainya). Adapun usaha adalah kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud. Jadi pengalaman usaha dalam kaitannya dengan petani adalah sesuatu yang pernah dialami, dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh petani dalam menjalankan kegiatan usahataninya dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan, untuk mencapai tujuan usahataninya yaitu memperoleh produksi yang tinggi.

Mardikanto (1993), mengemukakan bahwa proses belajar dipengaruhi oleh pengalaman. Artinya, pengalaman yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi semangat seseorang untuk belajar, hal ini dikarenakan pengalaman masa lalu akan mempengaruhi kecenderungannya untuk merasa memerlukan dan siap menerima pengetahuan baru.

Penguasaan Lahan

Lahan merupakan area yang menjadi tempat dimana petani dapat bercocok tanam serta hidup menetap untuk bermasyarakat. Dengan adanya lahan ini pula, petani dapat menggantungkan hidupnya dari menjual hasil panennya tersebut di samping untuk keperluan konsumsi sehari-hari.

(27)

Sumber daya pertanian yang dimiliki oleh petani yang sangat berpengaruh terhadap kemandiriannya dalam berusahatani adalah yang berkaitan dengan kepemilikan sumber daya pertanian tetap. Penguasaan tanah perorangan di pedesaan sangat berarti bagi petani yang memberikan konsekuensi terhadap dirinya sebagai seorang petani. Apakah ia sebagai petani pemilik penggarap, penyewa, penyakap (bagi hasil) atau hanya sekedar sebagai buruh tani.

Motivasi Berusahatani

Soedjianto (1994) mengemukakan bahwa, motif ada dalam tubuh manusia yang hanya terlihat dengan tindakan, motif mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Memotivasi dan membangkitkan kesadaran merupakan bagian dari upaya pemberdayaan, upaya tersebut terkait dengan peran penyuluh pembangunan sebagai encourager dan stimulator.

Rohwer (Mangkunegara 2000), mengemukakan dua jenis motivasi, yaitu: Motivasi instrinsik, adalah motivasi yang tercakup dalam situasi belajar yang bersumber dari kebutuhan dan tujuan-tujuan warga belajarnya sendiri. Motivasi ini sering disebut "motivasi mumi" atau motivasi yang sebenarnya, yang timbul dari dalam diri peserta didik . Misalnya, keinginan untuk mendapat keterampilan tertentu, memperoleh informasi dan pema -haman, mengembangkan sikap untuk berhasil, menikmati kehidupan, secara sadar memberikan sumbangan kepada kelompok, keinginan untuk diterima oleh orang lain, dan sebagainya. Motivasi ekstrinsik, adalah motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar situasi belajar, seperti; angka, kredit, ijazah, tingkatan, hadiah, medali, pertentangan dan persaingan; yang bersifat negatif ialah sarkasme, ejekan (ridicule), dan hukuman.

Motivasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang menjadi dorongan dari dalam diri petani sehingga mau melakukan kegiatan usahatani sampai sekarang.

Tingkat Kekosmopolitan

Menurut KBBI (Depdiknas 2001), kosmopolitan diartikan sebagai orang yang mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas, terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari pelbagai dunia. Kekosmpolitan adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri yang dapat dicirikan oleh jarak perjalanan yang sudah ditempuhnya. Bagi warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat, tetapi bagi yang lebih localite (tertutup, terkungkung) dalam sistem sosialnya sendiri, proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih baik seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya (Mardikanto 2009). Pendapatan Petani

Secara harfiah, pendapatan adalah suatu penghasilan baik uang ataupun barang yang memiliki nilai tersendiri hasil dari usaha yang dilakukan sebagai kompensasi yang sangat diharapkan.

(28)

menyatakan bahwa pendapatan seseorang merupakan keseluruhan dari apa yang ia peroleh dari cara pemanfaatan tenaga kerja, tanah dan modal lainnya.

Faktor Eksternal Petani

Faktor eksternal adalah faktor faktor yang mendukung kemandirian petani yang berasal dari lingkungan sekitar petani tersebut. Lingkungan di sini bisa bermakna fisik atau sosial masyarakat. Beberapa faktor eksternal yang diduga memiliki hubungan yang nyata di antaranya adalah dukungan kelompok tani, ketersediaan sarana dan prasarana produksi, dukungan lembaga keuangan, dukungan lembaga penyuluhan, dukungan sumber informasi, dukungan kebijakan pemerintah dan pengaruh tokoh masyarakat.

Dukungan Kelompok Tani

Kelompok tani adalah salah satu kelembagaan usahatani yang ada saat ini di masyarakat. Kelembagaan usahatani merupakan iklim yang diciptakan oleh masyarakat sendiri maupun dibentuk oleh pemerintah dalam mendukung kegiatan usahatani. Secara empiris kelembagaan pertanian dapat dibedakan, antara lain: (1) kelembagaan sosial nonbisnis yang merupakan lembaga pertanian yang mendukung penciptaan teknologi, penyampaian teknologi, penggunaan teknologi dan pengerahan partisipasi masyarakat, seperti lembaga penelitian, penyuluhan, kelompok tani dan sebagainya, dan (2) lembaga bisnis penunjang yang merupakan lembaga yang bertujuan mencari keuntungan, seperti koperasi, usaha perorangan, usaha jasa keuangan dan sebagainya (Hermanto dan Subowo 2006).

Secara konsepsional, kelompok tani diartikan sebagai kumpulan petani yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok, atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak tani (Soebiyanto 1998).

Ekstensia (1996) mengemukakan bahwa dalam perkembangannya, sebagian kelompok tani tidak lagi sekedar kelompok informal, melainkan sudah dapat dikatakan sebagai kelompok formal, hal ini karena pembentukkannya sudah didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang diterbitkan oleh Departemen Pertanian. Selain itu dilihat dari struktur organisasi, kelompok tani secara fisik telah distrukturisasi dalam bentuk wadah formal terlihat dengan adanya susunan kepengurusan (ketua, sekretaris, bendahara, dan lain-lain).

Pengelompokkan kelompok tani pada awalnya dilakukan melalui pendekatan domisili (tempat tinggal) yang kemudian dimodifikasi mengikuti hamparan lahan pertanian. Pengelompokkan menurut hamparan lahan pertanian ini memudahkan mekanisme penyaluran saprodi, kelemahannya adalah pada kedinamisasian kelompok tani. Keadaan ini mungkin terjadi karena petani yang dikelompokkan menurut hamparan lahan pertanian tidak selalu saling kenal secara personal dan terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang digabung menjadi kelompok hamparan tersebut. Idealnya, dua cara ini yaitu berdasarkan domisili serta sehamparan dapat terkumpul supaya bisa memperkuat keeratan dan kedinamikaan kelompok tani tersebut (Ekstensia 1996).

(29)

usahatani, ketersediaan sarana dan prasarana produksi, sumber informasi, dan kebijakan pemerintah.

Ketersediaan Sarana dan Prasarana Produksi

Sarana produksi adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan produksi. Prasarana produksi adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya proses produksi.

van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan sarana usahatani meliputi tanah atau lahan, pupuk, benih bersertifikat, alat penyemprot, bahan bangunan, mesin pertanian, dan subsidi produksi. Kemudian Mosher (1983) menguatkan bahwa untuk meningkatkan produksi pertanian memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi khusus oleh petani di antaranya adalah bibit, pupuk, pestisida, makanan dan obat ternak serta perkakas.

Dukungan Lembaga Keuangan dan Lembaga Penyuluhan

Kelembagaan usahatani merupakan iklim yang diciptakan oleh masyarakat sendiri maupun dibentuk oleh pemerintah dalam mendukung kegiatan usahatani. Seperti dinyatakan oleh Sumardjo (1999). Kelembagaan usahatani yang nyata mempengaruhi tingkat kemandirian petani dalam berusahatani adalah kelembagaan yang berkaitan dengan penyediaan sarana produksi, permodalan, penyediaan sarana fisik, informasi, maupun dalam pemasaran hasil.

Kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah misalnya lembaga perkreditan melalui Bank pemerintah atau Koperasi Unit Desa dan adanya operasi pasar untuk komoditi padi, khususnya. Adapun kelembagaan yang telah berdiri sendiri dalam kehidupan usahatani adalah sistem pemasaran dan penyediaan modal oleh pedagang perantara (tengkulak) maupun melalui kelompok tani.

Menurut Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Pasal 1 ayat 25, menyatakan bahwa:

“Kelembagaan penyuluhan adalah lembaga pemerintah dan/atau masyarakat yang mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan penyuluhan.”

Kemudian pada ayat selanjutnya (ayat 26), dinyatakan bahwa:

“Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang selanjutnya disebut Komisi Penyuluhan adalah kelembagaan independen yang dibentuk pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang terdiri atas para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan perdesaan.

Dukungan Sumber Informasi

(30)

opinion leader, maupun dan petani lain. Untuk mengelola usahataninya dengan baik, petani memerlukan pengetahuan dan informasi mengenai berbagai topik, seperti: hasil penemuan dari penelitian berbagai disiplin pengelolaan usaha tani dan teknologi produksi, pengalaman petani lain, situasi mutakhir dan perkembangan yang mungkin terjadi di pasaran input dan hasil-hasil, dan kebijakan pemerintah.

Soekartawi (1986) dalam hal ini mengemukakan bahwa petani akan membuat keputusan untuk menolak atau menerima inovasi, salah satunya dipengaruhi oleh informasi yang dimilikinya. Baik informasi tersebut diperoleh dari petani lain, pemimpin lokal, penyuluh, maupun media massa.

Dukungan Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah berkaitan dengan regulasi yang sudah dibuat dan di sosialisasikan oleh pemerintah terkait perlindungan atau segala upaya perhatian pemerintah yang telah dicurahkan baik dalam segi peraturan, kebijakan ataupun langkah-langkah kongkrit pemerintah untuk melindungi para petani.

Lahirnya Undang Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan adalah salah satu bentuk perhatian pemerintah terhadap para petani.

Salah satu bunyi pasal 3 ayat 4 dan 5, dinyatakan bahwa:

“Pemerintah memberikan perlindungan, keadilan, dan kepastian hukum bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mendapatkan pelayanan penyuluhan serta bagi penyuluh dalam melaksanakan penyuluhan; dan mengembangkan sumber daya manusia, yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan.”

Peran Tokoh Masyarakat

Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya) sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Pemimpin informal adalah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan secara formal, namun karena ia memiliki kualitas unggul, maka dapat mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat (Soekanto 1996).

Pemimpin informal tidak menduduki suatu tempat tertentu dalam struktur kemasyarakatan. Menurut Mangunhardjana (Ginting 1999), mereka tidak mempunyai jabatan serta tidak dibebani tugas dan tanggung jawab yang jelas. Kalaupun mereka dibebani tugas hanya karena ia memiliki kualifikasi tertentu seperti bidang agama, adat dan sebagainya.

(31)

tahunan, dan tamatan sekolah pendidikan sekolah dasar (SD) dan berpenghasilan sedang serta sedikit pengalaman memimpin. Bila melihat seperti ini, mungkin karena faktor pendidikan yang kurang tersebut, maka pilihan menjadi petani adalah alternatif dari pekerjaannya dan karena punya keahlian tertentu, mereka tetap dipilih.

Kegiatan Penyuluhan

Menurut UU Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pasal 1 ayat 2, dinyatakan bahwa:

“Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Konsep penyuluhan yang diarahkan terhadap upaya pemberdayaan adalah seperti yang dikemukakan oleh van den Ban dan Hawkins (1999) bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga dapat membuat keputusan yang benar. Menurut Suhardiyono (1992), penyuluhan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani anggota kelompok tani melalui peningkatan produktivitas usahataninya, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan mereka dan dengan pendapatan yang meningkat ini maka kehidupan petani akan menjadi lebih sejahtera Penyuluhan pembangunan pertanian merupakan sistem pendidikan nonformal untuk mengubah perilaku petani dan keluarganya agar mereka tahu, mau dan mampu memecahkan masalahnya sendiri dalam meningkatkan usahataninya dan tingkat kehidupannya.

Penyuluhan diartikan kegiatan yang dilakukan supaya terjadi perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan dan sikap) agar mereka tahu, mau dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam usahataninya demi tercapainya peningkatan produksi, keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarganya.

Lippitt (1969) dalam tulisannya mengenai perubahan yang terencana (planned change) mengatakan bahwa kegiatan penyuluhan meliputi tujuh kegiatan pokok yaitu penyadaran, menunjukkan adanya masalah, membantu pemecahan masalah, menunjukkan pentingnya perubahan, melakukan pengujian dan demonstrasi, memproduksi dan publikasi informasi, melaksanakan pemberdayaan atau penguatan kapasitas.

Materi dan Media Penyuluhan

(32)

terjadinya pembaharuan dalam segala aspek kehidupan masyarakat penerima manfaat demi selalu terwujudnya perbaikan- perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.

Menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, pasal 1 ayat 22 dan pasal 27, 28 dinyatakan bahwa:

“Materi penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang akan disampaikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum, dan kelestarian lingkungan. Materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumber daya pertanian, perikanan, dan kehutanan. Materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi unsur pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan. Materi penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha harus mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah, kecuali teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional.”

Alat peraga adalah alat atau benda yang dapat diamati, didengar, diraba dan atau dirasakan oleh indra manusia yang berfungsi sebagai alat untuk meragakan dan atau menjelaskan uraian yang disampaikan secara lisan (oleh penyuluh) guna membantu proses belajar penerima manfaat penyuluhan agar materi penyuluhan lebih mudah diterima dan dipahami oleh penerima manfaat penyuluhan yang bersangkutan. Sebagai suatu sistem pendidikan nonformal, yaitu sistem pendidikan terprogram di luar sekolah, kegiatan penyuluhan memerlukan media sebagai alat bantu yang tepat guna menyampaikan materi penyuluhan secara baik dan sesuai dengan kondisi penyuluhan berlangsung.

Media penyuluhan diperlukan karena beberapa alasan yaitu: pertama, media penyuluhan dapat menyampaikan pesan-pesan yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan menggunakan kata-kata, kedua, media penyuluhan diperlukan untuk memperkuat penjelasan-penjelasan yang tidak dapat ditirukan oleh penyuluh, dan ketiga, pesan-pesan yang disampaikan dengan menggunakan media pada umumnya tidak mudah hilang dari ingatan penerima dalam proses penyuluhan (Ibrahim et al. 2003).

Metode dan Strategi Penyuluhan

Setiap penyuluh harus memperhatikan prinsip-prinsip metode penyuluhan yang dapat dijadikan landasan untuk memilih metode yang tepat. Memang dalam setiap pelaksanaan penyuluhan tidak ada satu metode yang selalu lebih efektif untuk diterapkan, semuanya terkadang memerlukan kombinasi dari satu metode dengan metode yang lainnya. Kang dan Song (Mardikanto 2009), menyatakan bahwa dalam banyak kasus, kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan dengan menerapkan beragam metode sekaligus yang saling menunjang dan melengkapi.

(33)

metode penyuluhan yang paling baik sebagai suatu cara yang terpilih untuk tercapainya tujuan penyuluhan yang dilaksanakannya. Metode penyuluhan dapat dilaksanakan secara langsung seperti ceramah, diskusi kelompok, individu, ataupun dengan menggunakan media massa dan elektronik.

Strategi adalah langkah-langkah atau tindakan-tindakan tertentu yang dilaksanakan demi tercapainya suatu tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Karena kegiatan penyuluhan pertanian memiliki tujuan yang sangat jelas, maka setiap pelaksanaan penyuluhan pertanian perlu dilandasi oleh strategi kerja tertentu demi keberhasilannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Strategi penyuluhan pertanian yang efektif, perlu dirancang sesuai dengan kebutuhannya, khususnya yang berkaitan dengan tingkatan adopsi yang sudah ditunjukkan oleh masyarakat (petani) sasarannya. Berkaitan dengan ini, strategi penyuluhan pertanian menurut van den Ban dan Hawkins (1999), menawarkan ada tiga strategi yang dapat dipilih yaitu rekayasa sosial, pemasaran sosial dan partisipasi sosial.

Interaksi Petani dengan Penyuluh

Di dalam Kegiatan penyuluhan pertanian, proses komunikasi antara penyuluh dan sasarannya juga tidak hanya terhenti jika penyuluh telah menyampaikan inovasi atau jika sasaran telah menerima pesan tentang inovasi yang disampaikan penyuluhnya, tetapi seringkali komunikasi baru berhenti jika sasaran sudah menunjukkan perubahan perilakunya yang dicerminkan dari implementasi inovasi tersebut.

Menurut Gerungan (1996), interaksi adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Penelitian Mulyandari (2001) menyatakan bahwa kinerja penyuluhan yang didukung oleh interaksi petani dengan penyuluh adalah langkah yang sangat efektif dan strategis dalam mengembangkan kemandirian petani.

Kompetensi Penyuluh

Mardikanto (2009), menekankan penyuluh sangat dituntut untuk selalu berusaha a) meningkatkan keterampilannya berkomunikasi, b) menyampaikan pesan dengan cara/ bahasa yang mudah di fahami, c) bersikap baik (meskipun sadar tidak disukai), d) memahami, mengikuti, atau setidak-tidaknya tidak menyinggung nilai-nilai sosial budaya sasaran (meskipun ia sendiri benar-benar tidak menyukainya).

Hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Farid (2008), menunjukkan bahwa kapasitas diri petani yaitu keahlian, kecakapan dan kemampuannya dalam memberikan penyuluhan merupakan faktor yang sangat berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani di daerah Pasuruan. Karakteristik ini mungkin sama dengan yang terjadi di wilayah lainnya seperti di Jawa Barat.

(34)

penyuluhan, atau memahami pengetahuan seputar penyuluhan dan penyuluh memiliki karakteristik sosial budaya yang mirip dengan karakteristik sosial budaya yang disuluhnya pula.

Robbins dan Stephen (2001), mendefinisikan kemampuan (abilty) adalah kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan individu tersusun atas dua faktor, yaitu: (1) kemampuan intelektual, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Dimensi dari kemampuan intelektual tersebut adalah kecerdasan numerik, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang dan ingatan, dan (2) kemampuan fisik, yaitu kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan secara fisik yang berhubungan dengan daya tahan secara lahiriah.

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Kerangka Pemikiran

Petani merupakan kelompok mayoritas masyarakat Kabupaten Bogor dan penghasil komoditas pertanian paling besar serta menjadi penghidupan terbesar. Sebagai makhluk sosial, petani pun tetap memiliki hak dan keinginan. Secara empiris, mereka yang sejatinya berdaya juang tinggi senantiasa ingin bangkit dari keterpurukan, penindasan dan jeratan lingkar kemiskinan yang menyelimutinya. Kemandirian petani adalah salah satu harapan yang harus diraih melalui upaya-upaya terencana, terukur dan sistematis dalam rangka memberdayakan pribadi petani supaya lebih tangguh, lebih siap dan lebih berani dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya.

Petani memerlukan proses belajar berinteraksi dengan alat, bahan, lingkungan dan usahataninya sehingga mau dan mampu (1) memilih dan menentukan sendiri sumber daya secara tepat untuk perbaikan usahatani dan penggunaan hasil usahatani dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya; (2) memanfaatkan peluang untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani dengan menerapkan inovasi dalam komoditas yang berorientasi pada kebutuhan pasar; dan (3) kerjasama dengan pihak-pihak yang dapat memperlancar terwujudnya kondisi tersebut.

Setiap individu petani memiliki kemampuan yang berbeda dalam menjalankan aktivitas usahataninya. Kemampuan yang berbeda ini pula yang merupakan penyebab antara satu petani dengan petani lainnya memiliki ketangguhan dan kemandirian yang berbeda pula. Ketangguhan dan kemandirian petani sangat penting demi menjaga keberlangsungan aktivitas berusahatani. Hal ini sering menjadi penyebab banyak petani yang beralih profesi ke sektor lain di luar pertanian karena ketidakberdayaan dalam menghadapi masalah yang muncul pada dirinya. Salah satunya adalah anggapan profesi di luar pertanian lebih menjanjikan dibandingkan dengan menjalani sebagai petani. Padahal belum tentu juga itu benar.

Gambar

Gambaran Umum dan Potensi Pengembangan Wilayah
Tabel 2  Nama desa, Poktan, luas lahan dan tingkat kemampuan kelompok
Tabel 4 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran faktor               internal petani
Tabel 10 Sebaran petani berdasarkan faktor internal
+4

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimanapun, tidak seperti wang kredit yang tercipta ekoran pembiayaan hutang konvensional berasaskan kadar bunga, wang kredit perbankan Islam adalah sepadan dengan

Dari Hasil perhitungan saluran yang tidak dapat menampung debit rencana maka ditentukan dimensi untuk sumur resapan adalah diameter 1,2 m dan tinggi 2,4 m. Memperdalam

Setelah dilakukan Evaluasi Dokumen Penawaran terhadap rekanan yang memenuhi syarat serta menunjuk pada Surat Penetapan Pemenang dari Kelompok Kerja Pekerjaan Konstruksi Nomor

Oleh karena itu penulis ingin memanfaatkan perkembangan mobile learning di Indonesia untuk membuat aplikasi Augmented Reality (AR) Edugame Ayo Cintai Lingkungan sebagai

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi nilai kebisingan yang dihasilkan oleh mesin serbaguna saat dioperasikan dan menentukan kelayakan mesin serbaguna sebagai

Hal ini bisa terjadi ka- rena pada lokasi penelitian pejantan yang digunakan untuk perkawinan ala- mi maupun pada perkawinan buatan menggunakan pejantan purebreed yang