• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng Pada Teknologi Tradisional Dan Semi-Intensif Di Kabupaten Karawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng Pada Teknologi Tradisional Dan Semi-Intensif Di Kabupaten Karawang"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS USAHA BUDIDAYA TAMBAK BANDENG PADA

TEKNOLOGI TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF

DI KABUPATEN KARAWANG

MAHFUDLOTUL ‘ULA

DEPA

RTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng pada Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif di Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

MAHFUDLOTUL ‘ULA. Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng pada Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif di Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI

Rendahnya produktivitas bandeng yang dihasilkan teknologi tradisional mendorong perkembangan teknologi budidaya baru untuk meningkatkan produktivitas. Teknologi semi-intensif telah berkembang sejak tahun 2000an. Namun teknologi ini meningkatkan biaya produksi karena adanya tambahan input berupa pakan buatan. Salah satu kabupaten penghasil ikan bandeng dan menerapkan kedua teknologi budidaya ialah Kabupeten Karawang. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat keuntungan dan efisiensi biaya pada masing-masing teknologi baik teknologi trdisional dan semi-intensif. Metode pengambilan data dilakukan secara purposive sebanyak 30 petani bandeng teknologi tradisional dan 33 petani bandeng teknologi semi-intensif. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa teknologi semi-intensif memberikan tingkat produktvitas yang lebih tinggi dan lebih menguntungkan. Namun, teknologi tradisional lebih efisien. Kondisi ini yang menjadikan budidaya bandeng dengan teknologi tradisional masih tetap bertahan karena memberikan return to capital lebih tinggi meskipun memiliki risiko yang lebih tinggi.

Kata kunci : bandeng, teknologi tradisional dan semi-intensif, struktur biaya

ABSTRACT

MAHFUDLOTUL ‘ULA. Income Analysis Milkfish Cultivation of Traditional and Semi-intensive in Karawang Regency. Supervised by NUNUNG KUSNADI

The low productivity of milkfish produced by traditional technology encourage the development of new farming technologies to increase productivity. Semi-intensive technology has evolved since the 2000s. However, this technology increases the cost of production because of the additional input of artificial feed. One of the regencies which produce milkfish using both traditional and semi-intensive technology is Karawang Regency. The objective of this research were to analyze profit and cost efficiency in traditional and semi-intensive techonology. The method of data collection conducted purposive as many as 30 milkfish farmers with traditional technology and 33 milkfish farmers with semi-intensive technology. The results show that semi-intensive technology provides a higher level of productivity and higher profitability. However, traditional technology was more efficient than semi-intensive technology. This condition causes the milkfish cultivation with traditional technology are still exist because it provides a higher return to capital.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS USAHA BUDIDAYA TAMBAK BANDENG PADA

TEKNOLOGI TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF

DI KABUPATEN KARAWANG

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini ialah usahatani, dengan judul Analisis Usaha Budidaya Tambak Bandeng pada Teknologi Tradisional dan Semi-Intensif di Kabupaten Karawang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku pembimbing skripsi, serta Bapak Dr Ir Lukman M. Baga, MA.Ec selaku Dosen Pembimbing Akademik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada petani bandeng Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan informasi terkait pertanyaan penelitian, Pihak Kecamatan Tirtajaya dan Dinas Perikanan Kabupaten Karawang atas bantuannya untuk mendapatkan data sekunder. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ayah Ikrom, Ibu Sri Wilujeng, Adik Ahmad Nur Khafidz, Adik Ahmad A’izzal Barid Ikrom, dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan moril dan doa yang tak pernah henti. Terima kasih kepada Ahmad Royhan yang selalu memberikan motivasi, semangat dan doanya. Terima kasih kepada sahabat Dina Azhara dan Nisa Nurbaiti yang selalu memberikan semangat, menemani selama penelitian dalam susah dan senang. Terima kasih kepada teman-teman agribisnis 48 yang telah memberikan dukungan. Terima kasih kepada teman-teman se-pembimbing yang telah memberikan semangat. Terima kasih teman-teman MSA 5 yang telah memberikan dukungan dan semangatnya untuk menyelesaikan skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Padat Tebar Benih pada Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional,

Semi-intensif, dan Intensif 5

Produktivits Output Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional,

Semi-intensif, dan Intensif 6

Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional,

Semi-intensif, dan Intensif 6

R/C Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan

Intensif 8

Pendapatan Usahatani dan R/C rasio 11

Kerangka Pemikiran Operasional 12

METODE PENELITIAN 14

Lokasi dan Waktu Penelitian 14

Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel 15

Metode Pengolahan dan Analisis Data 15

Analisis Penerimaan, Biaya, dan Keuntungan Usahatani 15

(14)

Penguasaan Lahan Tambak 25

Padat Tebar 26

Lama Budidaya 26

Pekerjaan di Luar Usahatani 27

USAHA BUDIDAYA TAMBAK BANDENG TEKNOLOGI

TRADISIONAL DAN SEMI-INTENSIF 27

Keragaan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan

Semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya 27

Penggunaan Input Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan

Semi-Intensif 28

Biaya Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan Semi-intensif

di Kecamatan Tirtajaya 31

Produktivitas Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan

Semi-intensif Kecamatan Tirtajaya 36

Penerimaan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi Tradisional dan

Semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya 37

Keuntungan dan Pendapatan Usaha Budidaya Bandeng Teknologi

Tradisional dan Semi-intensif di Kecamatan Tirtajaya 38

Analisis Efisiensi R/C 39

SIMPULAN DAN SARAN 40

Simpulan 40

Saran 41

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 44

(15)

DAFTAR TABEL

1 Luas penggunaan tanah dan presentasenya di Kecamatan Tirtajaya

tahun 2013 19

2 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin Kecamatan Tirtajaya

tahun 2013 19

3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Tirtajaya

tahun 2013 20

4 Jumlah dan presentase penduduk menurut tingkat pendidikan di

Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 20

5 Produksi perikanan dan pertanian di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013 21 6 Jenis kelamin petani responden di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 22 7 Jumlah petani responden berdasarkan kriteria usia di Kecamatan

Tirtajaya tahun 2015 22

8 Jumlah petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal di

Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 23

9 Jumlah petani responden berdasarkan pengalaman berbudidaya di

Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 24

10 Jumlah petani responden berdasarkan jumlah tanggungan di

Kecamatan Tirtajaya tahun 2105 24

11 Jumlah petani responden berdasarkan luas penguasaan tambak di

Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 25

12 Jumlah petani responden berdasarkan status lahan yang dimiliki

Kecamatan Tirtajaya 2015 25

13 Jumlah petani responden berdasarkan padat tebar benih bandeng di

Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 26

14 Jumlah petani responden berdasarkan jenis pekerjaan di luar usahatani

Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 27

15 Rata-rata kebutuhan input per hektar per musim budidaya pada usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif di

Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 28

16 Rata-rata penggunaan tenaga kerja per hektar per musim budidaya pada usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan semi-intensif

di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 30

17 Perbandingan biaya usaha budidaya bandeng teknologi tradisional dan

semi-intensif Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 33

18 Perbandingan produktivitas bandeng per hektar per musim budidaya berdasarkan teknologi budidaya di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 36 19 Perbandingan penerimaan usaha budidaya bandeng per hektar per

musim budidaya berdasarkan teknologi tradisional dan semi-intensif

di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 37

20 Perbandingan keuntungan dan pendapatan usaha budidaya bandeng berdasarkan teknologi tradisional dan semi-intensif di Kecamatan

Tirtajaya tahun 2015 38

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Volume produksi perikanan tahun 2003-2013 (dalam ton) 1 2 Produksi ikan bandeng di Indonesia tahun 2010-2013 3 3 Pengaruh ekstensifikasi dan intensifikasi lahan terhadap produksi 9 4 Kerangka pemikiran analisis usaha budidaya tambak bandeng pada

teknologi tradisional, dan semi-intensif di Kabupaten Karawang 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Konsumsi ikan di Indonesia 44

2 Sentra produksi bandeng di Indonesia tahun 2010-2012 (dalam ton) 44 3 Produksi bandeng Kabupaten Karawang tahun 2008-2013 (dalam

ton) 45

4 Luas areal tambak yang dimanfaatkan di Kabupaten Karawang

(dalam Ha) 45

5 Luas tambak, jumlah RTP, dan produksi bandeng masing-masing

kecamatan di Kabupaten Karawang tahun 2013 45

6 Biaya penyusutan 46

7 R/C rasio per responden berdasarkan teknologi budidaya 47

8 Perhitungan mortalitas per hektar 48

9 Hasil output SPSS uji t independent terhadap penggunaan nener pupuk urea HOK produktivitas biaya total penerimaan dan R/C 50

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor perikanan berkontribusi cukup besar dalam pembangunan ekonomi nasional melalui penyerapan tenaga kerja, pendapatan nasional, sumbangan devisa ekspor, dan ketahanan pangan dalam memenuhi konsumsi protein dalam negeri. Penyerapan tenaga kerja disektor perikanan dari tahun 2005-2009 mengalami kenaikan 6.43 persen yaitu dari 5.4 juta orang menjadi 6.21 juta orang. Peningkatan penyerapan tenaga kerja disektor ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari nilai produk domestik bruto (PDB) yang terus mengalami kenaikan rata-rata sebesar 27.06 persen dari tahun 2004 sampai tahun 2008 (Badan Pusat Statatistik 2009).

Pembangunan perikanan budidaya perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan hasil perikanan tangkap yang cenderung stagnan produksinya. Pembangunan ini ditunjukan pada Gambar 1 bahwa produksi perikanan budidaya menunjukkan trend yang positif dan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21.93 persen. Peningkatan produksi ini sejalan dengan peningkatan konsumsi perikanan Indonesia. Rata-rata kenaikan konsumsi per kapita dari tahun 2004 sampai tahun 2008 sebesar 7.35 persen atau dari 22.58 kg/kapita/tahun di tahun 2004 meningkat menjadi 29.98 kg/kapita/tahun ditahun 2008. Namun, indeks konsumsi ikan Indonesia masih dibawah standar FAO yaitu 30 kg/kapita/tahun. Perubahan yang signifikan terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Tingkat konsumsi ikan mengalami peningkatan dari 33.89 kg/kapita/tahun menjadi 35.14 kg/kapita/tahun (Lampiran 1). Angka ini sudah memenuhi standar FAO. Kenaikan konsumsi ikan ini lebih besar berasal dari perikanan budidaya yang diprediksi terus mengalami peningkatan produksi.

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014)

Gambar 1 Volume produksi perikanan tahun 2003-2013 (dalam ton)

0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000

tangkap

budidaya

Tahun

Produk

si

(t

(18)

2

Usaha budidaya tambak merupakan kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya pesisir pantai. Kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani maupun nelayan daerah pesisir pantai, meningkatkan devisa negara dan mengurangi ketergantungan dari produksi perikanan tangkap yang cenderung stagnan. Potensi budidaya tambak dapat dilihat dari luas lahan tambak Indonesia yang terus mengalami peningkatan. Luas tambak di Indonesia tahun 2010 mencapai 2.9 juta hektar dan baru dimanfaatkan sekitar 0.7 juta ha. Artinya masih terdapat peluang sekitar 2.2 juta ha untuk mengembangkan pesisir pantai Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012).

Selain faktor lahan tambak yang dimanfaatkan, peran teknologi yang diterapkan juga mempengaruhi peningkatan produksi budidaya tambak. Secara umum tingkatan teknologi budidaya tambak dibedakan menjadi tiga yaitu ekstensif/tradisional, semi-intensif, dan intensif. Perbedaan dari ketiga teknologi budidaya ini dilihat dari dari padat tebar benih yang diusahakan, jenis pakan yang diberikan, serta kincir air untuk menambahkan supply oksigen dalam air. Teknologi tradisional dicirikan dengan padat tebar benih 2-3 ekor per m2 dan menggunakan pakan alami (Afaf 2004). Perubahan teknologi tradisional ke semi-intensif dan semi-intensif berarti meningkatnya padat penebaran benih dan peningkatan pemberian pakan serta input lainnya seperti pestisida dan obat-obatan kimia.

Perubahan teknologi yang digunakan membutuhkan perencanaan modal yang tepat, karena perubahan teknologi ini menyebabkan biaya produksi budidaya tambak semakin meningkat. Dengan adanya perubahan teknologi ini pembudidaya dapat mengefisienkan faktor-faktor produksi yang dimiliki, sehingga tujuan dari pembangunan pesisir pantai yaitu peningkatan kesejahteraan petani tambak dapat meningkat melalui peningkatan produktivitas usaha tambak yang dijalankan.

Perkembangan teknologi ini juga diterapkan pada budidaya tambak ikan bandeng. Petani budidaya bandeng mengarahkan dari teknologi tradisional ke semi-intensif. Tujuan dari perkembangan teknologi ini untuk meningkatkan produksi ikan bandeng dan meningkatkan pendapatan petani.

Ikan bandeng merupakan salah satu ikan unggulan yang dibudidayakan di tambak air payau. Keunggulan dari ikan ini dapat tumbuh dalam teknik budidaya tradisional, bersifat herbivora, mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan tahan terhadap serangan penyakit. Selain itu, ikan bandeng juga memiliki nilai ekonomis, jika dilihat dari permintaannya, selama sepuluh tahun terakhir permintaan ikan bandeng rata-rata meningkat 6.33 persen tiap tahunnya sedangkan produksi bandeng rata-rata meningkat 3.82 persen tiap tahunnya1. Keunggulan lainnya yang dimiliki oleh ikan bandeng ialah dapat dibudidayakan dengan ikan lainnya seperti udang dan rumput laut.

Produksi bandeng di Indonesia menunjukan trend yang positif pada dari tahun 2010 sampai tahun 2013 kenaikan rata-rata bandeng mecapai 16.80 persen dengan pencapaian target 107.6 persen (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013). Dan Indonesia berhasil menepati posisi pertama sebagai negera penghasil bandeng terbesar di dunia pada tahun 2011 dengan share sebesar 52.4 persen dari

1

Bank Indonesia. 2012. Pola pembiayaan usaha kecil (PPUK). [Internet]. [diunduh 2015 Juni 16].

Tersedia pada

(19)

3 produksi bandeng dunia dan posisi kedua berada pada negera Philipina dengan share 41.8 persen ( Fishstat FAO 2013)2. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa komoditas ikan bandeng memiliki potensi yang cukup besar dan berpeluang menjadi komoditas ekspor untuk meningkatkan devisa negara.

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013).

Gambar 2 Produksi ikan bandeng di Indonesia tahun 2010-2013

Secara teknis penggunaan teknologi mampu melipatgandakan hasil produksi dan mengefisienkan faktor-faktor produksi. Namun, petani masih menggunakan teknologi tradisional untuk membudidayakan ikan bandeng. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana penggunaan teknologi terhadap tingkat pendapatan petani.

Rumusan Masalah

Budidaya bandeng di Indonesia di mulai sejak awal abad ke-12 terutama di pulau Jawa3. Produksi bandeng di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia dari red meat menjadi white meat4. Namun, peningkatan produksi belum mampu memenuhi permintaan bandeng di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan produksi bandeng, salah satunya melalui pendekatan teknologi.

2

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2014. Menjadikan bandeng sebagai penggerak ekonomi masyarakat. [Internet]. [diunduh pada 2015 Juni 16]. Tersedia pada

(20)

aktual/104-kementerian-kelautan-dan-perikanan-kkp-usulkan-hari-ikan-nasional-untuk-4

Teknologi budidaya bandeng di Indonesia terbagi menjadi 3 teknologi produksi, namun ada juga yang menyebutkan empat teknologi, yaitu teknologi tradisional, tradisional plus, semi-intensif dan intensif. Perbedaan ke empat teknologi ini berdasarkan intensitas padat tebar nener5, pakan, pupuk, obat-obatan dan pemberian kincir angin untuk menambah supply oksigen di dalam air. Namun yang berkembang di Indonesia adalah teknologi tradisional dan semi-intensif. Tidak berkembangnya teknologi intensif pada budidaya bandeng karena budidaya ini memerlukan investasi yang cukup tinggi dan tidak sebanding dengan harga ikan bandeng yang cenderung rendah dibanding harga udang. Teknologi intensif biasanya dikembangkan pada budidaya udang yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibanding bandeng.

Meskipun hanya dua teknologi yang berkembang, yaitu teknologi tradisional dan semi-intensif. Namun, proporsi penggunaan teknologi tradisional cenderung lebih tinggi. Padahal dengan perubahan teknologi tradisional ke semi-intensif mampu meningkatkan produksi bandeng sehingga meningkatkan kesejahteraan petani bandeng. Berdasarkan uraian diatas, maka timbul pertanyaan teknologi manakah yang memberikan keuntungan lebih tinggi? Teknologi manakah yang memberikan tingkat efisiensi lebih tinggi?

Tujuan Penelitian

Untuk menjawab masalah penelitian maka perlu melihat keuntungan usahatani tambak dan perlu melakukan analisis pendapatan serta analisis biaya untuk menyimpulkan sistem mana yang memberikan manfaat lebih besar kepada petani tambak, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengalisis struktur biaya usahatani tambak bandeng pada masing-masing teknologi yang diterapkan.

2. Menganalisis tingkat pendapatan petani tambak bandeng pada masing-masing teknologi yang diterapkan.

3. Menganalisis efisiensi usahatani tambak bandeng pada masing-masing teknologi yang diterapkan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan bidang ilmu yang telah dipelajari serta melatih dalam kemampuan berpikir secara analitis untuk menghadapi persoalan di lapang yang berkaitan dengan agribisnis.

2. Bagi petani tambak diharapkan dapat memberikan informasi mengenai struktur biaya, pendapatan, dan efisiensi usaha tambak yang dijalankan, sehingga mampu membantu petani mampu dalam mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki.

3. Bagi pemerintah dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan terkait potensi perikanan yang ada di Kabupaten Karawang secara khusus.

5

(21)

5

Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis keragaan usaha budidaya tambak bandeng pada masing-masing teknologi yang diterapkan di Kabupaten Karawang, dilihat dari aspek penggunaan input, struktur biaya, pendapatan, serta efisiensi usaha budidaya tambak. Analisis efisiensi usaha budidaya tambak dilihat berdasarkan analisis R/C rasio. Analisis usahatani yang digunakan merupakan analisis finansial, data yang digunakan ialah data riil dari lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan pada satu kali musim panen dengan menggunakan beberapa asumsi agar memudahkan dalam proses analisis. Dan diharapkan dengan adanya batasan ini tidak mengurangi esensi yang akan disampaikan.

TINJAUAN PUSTAKA

Padat Tebar Benih pada Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif

Budidaya tradisional berbeda dengan budidaya semi-intensif dan intensif dalam hal penggunaan input. Perbedaan ini dilihat dari padat tebar benih, jenis pakan yang digunakan, dan alat penunjang seperti kincir angin untuk menambah supply oksigen dalam air. Teknologi intensif umumnya memiliki padat tebar benih dan penggunaan input lebih tinggi dibanding semi-intensif dan tradisional.

Beberapa negara sebagai penghasil bandeng terbesar didunia memiliki perbedaan mengenai padat tebar benih dimasing-masing teknologi. Di Indonesia sendiri padat tebar benih untuk teknologi tradisional/ekstensif memiliki padat tebar 6 000 ekor/ha, sedangkan Taiwan 6 000-7 000 ekor/ha dan Philipina antara 1500 sampai 6 000 ekor/ha (fitzGerald 2004). Untuk teknologi semi-intensif di Indonesia memiliki padat tebar antara 8 000 sampai 12 000 ekor/ha sedangkan Taiwan lebih dari 25 000 ekor/ha (Mayunar et al 2000) dan Philipina sendiri memiliki padat tebar 12 000 ekor/ha.

Pada penelitian terdahulu, Afaf (2004) budidaya bandeng tradisional memiliki padat tebar benih rata-rata 6 155 ekor/ha. Sedangkan Kaunang (2006) padat tebarnya lebih rendah 33 persen dari penelitian Afaf (2004).

Penelitian lain pada budidaya udang oleh Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) di Thailand budidaya udang hanya mengunakan teknologi ekstensif dan intensif, pada teknologi ekstensif tidak diketahui padat tebar benihnya karena mengandalkan dari alam, sedangkan teknologi intensif padat tebar benih di negara ini sangat tinggi, yaitu 1 151 000 benur/ha. Di Vietnam presentase kenaikan padat tebar benih dari ekstensif ke semi-intensif paling tinggi yakni kenaikannya 3 733 persen dari 3 000 benur/ha, Indonesia kenaikan padat tebarnya 567 persen dari 3 000 benur/ha, sedangkan Philipina kenaikannya relatif rendah dibanding negara lain yakni 43 persen dari 108 000 benur/Ha. Dari ketiga negara tersebut hanya Indonesia dan Vietnam yang membudidayakan secara intensif dengan kenaikan padat tebar benih 226 persen dari jumlah padat tebar teknologi semi-intensif.

(22)

6

lebih tinggi pada saat teknologi tradisional ke semi-intensif. Kenaikan tersebut menyebabkan perlunya tambahan pakan dan kincir angin sehingga tidak menurunkan produktivitas budidaya tambak. Pada budidaya tradisional lebih mengandalkan pakan alami seperti ganggang dan klekap6. Namun, pada kondisi tertentu diperlukan pakan tambahan dalam proporsi lebih kecil untuk mempercepat pertumbuhan. Sedangkan teknologi semi-intensif dan intensif jumlah pakan yang diberikan berkisar antara 3%-5% dari bobot ikan.

Produktivits Output Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif

Penelitian Afaf (2004) menunjukkan bahwa perubahan teknologi tradisional ke semi-intensif mampu meningkatkan produksi bandeng 498.5 persen. Penelitian serupa juga dari data FitzGerald (2004) di negara Taiwan perubahan tradisional ke semi-intensif mampu meningkatkan produksi bandeng 380 persen. Di Indonesia dengan menggunakan teknologi tradisional produktivitasnya mencapai 1 000 kg/ha/tahun sedangkan di Philipina 400 persen lebih tinggi dari Indonesia. Penelitian Zulkarnaenm (2004) menunjukkan budidaya bandeng secara semi-intensif produktivitasnya mencapai 7 011 kg/Musim dan penelitian Kaunang (2006) menyimpulkan bahwa budidaya bandeng dengan teknologi tradisional di Kecamatan Pontang produktivitasnya mencapai 400 kg/ha/Musim.

Penelitian lain di tambak udang yang dilakukan oleh Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) menunjukkan penggunaan teknologi mampu meningkatkan produktivitas, di Thailand perubahan teknologi tradisional menjadi intensif meningkatkan produktivitas 2 622 persen. Philipina mengalami kenaikan produktivitas dari tradisional ke semi-intensif tertinggi yakni 939 persen sedangkan di Indonesia mengalami kenaikan 812 persen. Namun kenaikan semi-intensif ke semi-intensif relatif rendah jika dibandingkan tradisional ke semi-semi-intensif. Di Indonesia perubahan semi-intensif ke intensif produktivitasnya meningkat 196 persen sementara Philipina meningkat 13 persen.

Dari penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa perubahan teknologi ke arah yang lebih modern mampu meningkatkan produktivitas lahan tambak, namun perubahan terbesar berada pada teknologi semi-intensif. Hal ini menyebabkan banyak pembudidaya tambak lebih memilih teknologi semi-intensif dibandingkan intensif.

Biaya dan Penerimaan Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif

Perbedaan teknologi budidaya tambak berimplikasi terhadap perbedaan biaya yang dikeluarkan dan produksi yang dihasilkan sehingga berpengaruh terhadap penerimaan petani.

6

Klekap merupakan pakan alami bandeng terdiri dari ganggang kersik (Bacillariopyceae), bakteri,

protozoa, cacing dan udang renik yang sering juga disebut “Microbenthic Biological Complex”.

(23)

7 Penelitian pada tambak udang yang dilakukan oleh Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) di beberapa negara seperti Thailand, Indonesia, Philipina, Malaysia, India, Sri Lanka, Taiwan dan China. Penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa biaya produksi pada teknologi tradisional lebih rendah dibanding semi-intensif dan intensif. Dan biaya produksi teknologi semi-intensif lebih rendah dibandingkan dengan intensif. Rata-rata biaya yang dikeluarkan digunakan untuk biaya variabel seperti biaya untuk benih, pakan, tenaga kerja, dan lain-lain. Pada teknologi tradisional di Thailand, Sri Lanka dan Vietnam biaya terbesar yang dikeluarkan berasal dari biaya tetap, yaitu biaya overhead. Biaya overhead di Thailand sebesar 39.2 persen, 38.6 persen di Sri Lanka dan 35.1 persen di Vietnam, sedangkan negara lain rata-rata biaya terbesar digunakan untuk pembelian benur (benih udang). Di Indonesia sendiri biaya untuk benur sebesar 32.7 persen total biaya, kemudian biaya penyusutan sebesar 20.7 persen total biaya dan ketiga digunakan biaya tenaga kerja sebesar 16.7 persen total biaya. Hal serupa terjadi di Bangladesh biaya terbesar digunakan untuk benur yaitu 43.5 persen dari total biaya yang dikeluarkan, kedua digunakan untuk biaya overhead sebesar 24.3 persen dari total biaya dan ketiga ialah biaya tenaga kerja sebesar 13.8 persen dari total biaya.

Pada teknologi semi-intensif dan intensif biaya terbesar ialah biaya variabel. Lebih dari 55 persen dari total biaya digunakan untuk biaya variabel. Biaya ini rata-rata digunakan untuk membiayai pakan dan benur. Di Indonesia biaya pakan pada tradisional sebesar 5.8 persen dari total biaya meningkat menjadi 39.3 persen dari total biaya pada teknologi semi-intensif, tetapi pada teknologi intensif biaya pakan menurun 0.5 persen dari biaya semi-intensif. Hal serupa terjadi di Philipina dan India biaya untuk pakan justru mengalami penurunan dari semi-intensif ke intensif sebesar 16.8 persen di Philipina dan 14.1 persen di India. Namun di Malaysia perubahan teknologi ini justru mengalami kenaikan sebesar 3.1 persen.

Penelitian lain oleh Afaf (2004) menunjukkan bahwa biaya tetap seperti sewa lahan mengalami penurunan 28.88 persen dari penggunaan teknologi tradisional ke semi-intensif, sedangkan biaya tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja tetap mengalami kenaikan 2.12 persen untuk tenaga kerja dalam keluarga dan 27.29 persen untuk tenaga kerja tetap. Biaya variabel rata-rata mengalami penurunan dengan adanya perubahan teknologi tradsional ke semi-intensif, namun untuk biaya pakan mengalami kenaikan 58.38 persen dan biaya tenaga kerja luar keluarga mengalami kenaikan 0.84 persen.

(24)

8

dibudidayakan mengalami kematian. Selain penyakit dapat juga disebabkan harga sehingga penerimaan petani mengalami penurunan.

R/C Usaha Budidaya Tambak Teknologi Tradisional, Semi-intensif, dan Intensif

R/C merupakan ukuran efiensi dengan membandingkan penerimaan dengan biaya berbagai jenis usahatani. Petani sebagai seorang produsen akan memilih nilai R/C yang tinggi untuk memanfaatkan faktor produksi yang dimiliki. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan R/C atas biaya total semi-intensif lebih tinggi dibanding tradisional.

Afaf (2004) menunjukkan budidaya tambak bandeng dengan teknologi semi-intensif memiliki nilai R/C lebih tinggi dibandingkan teknologi tradisional. Nilai R/C untuk budidaya bandeng teknologi semi-intensif sebesar 1.21, sedangkan teknologi tradisional sebesar 1.03. Namun penelitian yang dilakukan oleh Ling, BH et al (2001) dengan data ADB/NACA (1996) menghasilkan nilai R/C yang berbeda-beda dimasing-masing negara. Di Philipina, India, Bangladesh, Sri Lanka dan China perubahan teknologi dari tradisional ke semi-intensif nilai R/C justru mengalami penurunan. Di Philipina nilai R/C tradisional sebesar 2.78 sedangkan semi-intensif sebesar 1.63 dan menurun lagi dengan teknologi intensif sebesar 1.04, di India nilai R/C tradisional sebesar 1.63 sedangkan semi-intensif sebesar 1.22 dan meningkat dengan teknologi intensif menjadi 1.32. Di Bangladesh terjadi penurunan yang cukup signifikan nilai R/C dari 1.7 menjadi 0.42, di Sri Lanka nilai R/C tradisional sebesar 2.03 sedangkan semi-intensif sebesar 1.66 dan meningkat dengan teknologi intensif menjadi 1.9. Di China nilai R/C dari tradisional ke semi-intensif juga terjadi penurunan dari 1.88 menjadi 1.41. Namun di Indonesia dan Vietnam terjadi kenaikan nilai R/C, di Indonesia dari 1.77 menjadi 1.81 dan Vietnam dari 0.89 menjadi 1.69. Hal ini menyebabkan teknologi tradisional masih tetap bertahan karena manfaat yang diberikan cukup signifikan bagi petani.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis Ektensifikasi dan Intensifikasi

Tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pesisir pantai untuk mengusahakan ikan, udang dan jenis hewan lainya yang dapat dibudidayakan di air payau (Martosudamo dan Ranoemihardjo 1992). Dalam membudidayakan tambak terdapat tiga teknologi, yaitu tradisional/ekstensif, semi-intensif, dan intensif. Perbedaan ketiganya dilihat dari padat tebar benih, jenis pakan dan peralatan yang digunakan. Untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi.

(25)

9 cara meningkatkan luasan lahannya. Ekstensifikasi ini ditunjukkan pada pergerakan kurva produksi yang pertama (y=f(x)1), yaitu penambahan lahan dari x1 ke x2 akan meningkatkan produksi atau output dari y1 ke y2.

Intensifikasi yaitu peningkatan produksi tanpa menambah faktor produksi alam (lahan) tetapi berdasarkan kemampuan faktor produksi yang ada, seperti: menggunakan bibit unggul, menggunakan pupuk tepat waktu, perairan/irigasi yang teratur, teknologi, dan tenaga kerja yang terampil. Dengan adanya intensifikasi lahan mampu menggeser kurva produksi dari titik A ke C, sehingga penggunaan lahan yang sama yaitu x1 mampu meningkatkan produksi dari y1 ke y3.

Peningkatan produksi yang lebih tinggi dapat dilakukan dengan cara menggabungkan ekstensifikasi dan intensifikasi. Penggabungan ekstensifikasi dan intensifikasi akan menggeser kurva produksi dari titik B ke D, yaitu penambahan lahan dari x1 ke x2 mampu meningkatkan produksi dari y1 ke y4. Proses ekstensifikasi dan intensifikasi lahan dapat digambarkan pada Gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3 Pengaruh ekstensifikasi dan intensifikasi lahan terhadap produksi Pada usaha budidaya bandeng untuk meningkatkan produksi bandeng dapat dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Melalui ekstensifikasi dapat dilakukan dengan menambah luas tambak bandeng, sementara melalui intensifikasi dengan penggunaan luas tambak yang sama produksi bandeng dapat meningkat dengan cara peningkatan padat tebar benih bandeng, penggunaan benih bandeng yang unggul, pemberian pakan tambahan, dan pupuk serta obat-obatan sesuai dengan dosis yang tepat.

Keragaan Usahatani

Usahatani merupakan kegiatan produksi yang dilakukan oleh seseorang, badan, atau organisasi untuk menghasilkan suatu output tertentu dengan penggunaan input tetentu. Tujuan dai usahatani ini selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga (subsistence farm) juga memiliki tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan (commercial farm). Menurut Soekartawi (1986), usahatani ialah organisasi yang didirikan secara sengaja oleh sesorang maupun

(26)

10

kelompok yang terikat geneologis, politis, maupun teritorial sebagai pengelolaannya. Tujuan dari usahatani yaitu ingin memaksimumkan laba dan meminimumkan biaya. Cara memaksimumkan keuntungan dilakukan dengan cara mengalokasikan sumberdaya seoptimal mungkin agar memperoleh keuntungan semaksimal mungkin, sedangkan konsep minimisasi biaya dilakukan dengan cara menekan biaya sekecil-kecilnya sehingga tercapai produksi tertentu.

Keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari internal maupun eksternal. Faktor internal terdiri dari petani itu sendiri sebagai pengelola, lahan yang diusahakan petani, tenaga kerja yang digunakan, modal serta tingkat teknologi yang dimiliki. Sedangkan faktor eksternal meliputi sarana dan prasarana, komunikasi, fasilitas kredit, peraturan pemerintah, peran penyuluh, dan aspek-aspek yang berkaitan dengan pemasaran. Selain itu, Hernanto (1996) menyatakan terdapat empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam kegiatan usahatani, yaitu:

1. Lahan

Lahan merupakan unsur terpenting dalam melakukan kegiatan usahatani, karena lahan ini memiliki sifat yang terbatas atau langka, dan tidak dapat dipindah-pindahkan, namun dapat diperjual-belikan. Menurut jenisnya lahan dibedakan menjadi kolam, tambak, sawah, perkarangan, perkebunan, tegalan dan lain sebagainya.

2. Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan sumberdaya manusia yang melakukan kegiatan usahatani. Berdasarkan jenisnya tenaga kerja dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia itu sendiri dibagi atas tenaga kerja pria, tenaga kerja wanita, dan tenaga kerja anak. Sumbernya dapat dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga.

3. Modal

Modal merupakan barang atau uang bersama-sama dengan faktor produksi lain untuk menghasilkan produk pertanian. Modal menurut jenisnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu modal tetap dan modal tidak tetap. Modal tetap terdiri dari bangunan, tanah. Sedangkan modal tidak tetap meliputi alat-alat pertanian, piutang, uang tunai, tanaman, ternak, ikan dikolam. Pada dasarnya modal ini digunakan untuk meningkatkan produktivitas usahatani. Modal ini dapat bersumber dari modal sendiri, pinjaman, hasil sewa, maupun warisan.

4. Manajemen

Manajemen usahatani suatu kegiatan yang dilakukan oleh petani dalam hal perencanaan, mengorganisir dan mengkoorganisasikan faktor-faktor produksi, sehingga mendapatkan hasil yang diharapkan.

(27)

11

Biaya Usahatani

Biaya merupakan nilai semua yang dikorbankan atau yang dikeluarkan atas penggunaan faktor produksi untuk menghasilkan output tertentu pada waktu tertentu. Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi biaya variabel (variable cost) dan biaya tetap (fixed cost). Biaya variabel adalah biaya yang sifatnya dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan, semakin besar produksi maka semakin besar pula biaya variabel. Biaya variabel meliputi biaya untuk benih, pakan, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja. Biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan. Contoh biaya tetap adalah sewa tanah, biaya pajak, biaya penyusutan alat, biaya pemeliharaan, dan iuran irigrasi (Soekartawi 2011).

Sedangkan Hernanto (1991) mengembangkan konsep biaya usahatani yang dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan (non tunai). Biaya tunai usahatani adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani untuk pembelian barang dan jasa, contoh dari biaya tunai adalah biaya pembelian benih, pupuk, obat-obatan, pakan, dan upah tenaga luar keluarga. Sementara biaya non tunai merupakan nilai atas pemakaian barang dan jasa yang berasal dari kegiatan usahatani itu sendiri. Biaya non tunai dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja keluarga, penggunaan benih dari hasil produksi dan penyusutan dari sarana produksi.

Penerimaan Usahatani

Penerimaan merupakan hasil perkalian antara output total yang hasilkan pada kegiatan usahatani dengan harga output tertentu (Soekartawi 1995). Output total atau total produksi terbagi menjadi output yang dijual dan output yang tidak dijual. Output yang tidak dijual biasanya digunakan untuk konsumsi rumah tangga petani, dibagikan, digunakan untuk pembayaran usahatani, digunakan kembali dalam kegiatan usahatani, dan disimpan (Soekartawi 2011). Dengan demikian penerimaan usahatani dibagi menjadi dua, yaitu: penerimaan tunai dan penerimaan total. Penerimaan tunai merupakan nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani. Sedangkan penerimaan total merupakan nilai output total baik yang dijual maupun nilai output yang tidak dijual pada waktu tertentu.

Secara matematis penerimaan usahatani dirumuskan sebagai berikut: TR = P x Qtot

Dimana

TR = penerimaan total usahatani P = harga ouput

Q = output total yang dihasilkan pada kegiatan usahatani (baik output yang dijual maupun output yang tidak dijual)

Pendapatan Usahatani dan R/C rasio

(28)

12

total usahatani merupakan total biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani, tetapi tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga. Pendapatan bersih usahatani (net farm income) mengukur imbalan atas penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal sendiri atau modal pinjaman yang digunakan untuk usahatani (Soekartawi 1985).

Penghasilan bersih usahatani (net farm earnings) merupakan selisih antara pendapatan bersih usahatani dengan bunga modal pinjaman. Jika petani tidak menggunakan modal pinjaman maka nilai penghasilan bersih usahatani sama dengan pendapatan bersih usahatani. Nilai dari perhitungan ini mengukur imbalan atas semua sumberdaya milik petani yang digunakan dalam kegiatan usahatani (Soekartawi 1985).

Soekartawi (1985) menyatakan bahwa dalam usahatani semi komersil ukuran yang baik untuk penampilan usahatani adalah imbalan atas modal dan imbalan atas tenaga kerja. Imbalan atas seluruh modal (return to total capital) dihitung dengan mengurangkan nilai kerja keluarga dari pendapatan bersih usahatani dan dinyatakan dalam persen terhadap nilai modal usahatani. Imbalan atas modal petani (return to farm equaty capital) diperoleh dengan cara mengurangkan nilai kerja keluarga dari penghasilan bersih usahatani (net farm earnings) dan dinyatakan dalam persen terhadap nilai modal usahtani.

Imbalan kepada tenaga kerja keluarga (return to family labour) dihitung dari penghasilan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga modal petani yang diperhitungkan. Ukuran imbalan ini dapat dibagi dengan jumlah tenaga kerja keluarga untuk mendapatkan imbalan tenaga kerja tiap orang (return per man). Nilai dari ini kemudian dibandingkan dengan upah kerja diluar usahatani.

Analisis R/C rasio yang menunjukan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan. Sedangkan jika nilai rasio R/C sama dengan satu, maka kegiatan usahatani memperoleh keuntungan normal.

Kerangka Pemikiran Operasional

Perkembangan teknologi semi-intensif dan intensif merupakan implikasi dari pertumbuhan ikan bandeng yang lambat pada teknologi tradisional serta menurunnya kualitas air sehingga bandeng tumbuh dengan bobot tidak seragam. Lambatnya pertumbuhan ikan bandeng pada budidaya tradisional karena bergantung pada pakan alami. Penerapan teknologi semi-intensif dan intensif (intensifikasi lahan) ini digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan bandeng dan meningkatkan produktivitas lahan tambak.

(29)

13 Salah satu daerah penyumbang ikan bandeng di Indonesia adalah Propinsi Jawa Barat. Daerah di Jawa Barat yang menyumbang cukup besar terhadap produksi ikan bandeng adalah Kabupaten Karawang. Perkembangan tambak ikan bandeng mendapat dukungan dari pemerintah melalui program revitalisasi tambak untuk memperkenalkan teknologi budidaya semi-intensif dan intensif sehingga produktivitasnya dapat meningkat. Namun, program ini hanya memiliki dampak yang kurang nyata bagi petani, hal ini ditandai dengan petani tambak bandeng di Kabupaten Karawang menggunakan kedua teknologi secara berdampingan. Dan proporsi penggunaannya lebih besar pada teknologi tradisional dibanding teknologi semi-intensif. Hal ini disebabkan untuk mengusahakan budidaya secara semi-intensif diperlukan uang tunai lebih besar dibanding teknologi tradisional. Sehingga petani yang tidak memiliki akses terhadap modal akan tetap membudidayakan secara tradisional. Berjalannya kedua teknologi secara berdampingan menimbulkan pertanyaan, sebaiknya teknologi mana yang digunakan petani yang mampu memberikan keuntungan dan efisiensi lebih tinggi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melihat permasalahan ini dari sisi finansial dengan menggunakan pendekatan struktur biaya dan pendapatan. Langkah awal yang dilakukan dengan menganalisis penggunaan faktor produksi seperti jumlah benih yang ditebar, jumlah pakan yang digunakan, obat-obatan, dan tenaga kerja pada budidaya tradisional dan semi-intensif. Perbedaan penggunaan faktor produksi pada masing-masing teknologi menyebabkan perbedaan biaya yang dikeluarkan. Setelah menganalisis struktur biaya pada masing-masing teknologi langkah selanjutnya ialah membandingkan penerimaan yang diperoleh. Nilai penerimaan dihasilkan dari perkalian output dengan harga output.

Langkah selanjutnya yaitu menentukan keuntungan usaha budidaya tambak. Keuntungan dihasilkan dari pengurangan biaya total dengan penerimaan total. Namun keuntungan ini bukan imbalan petani atas penggunaan faktor produksi yang dimiliki. Untuk mengetahui imbalan petani atas penggunaan faktor produksi dilakukan analasis return to labour untuk mengetahui balas jasa atas tenaga kerja yang digunakan. Return to capital untuk mengetahui balas jasa atas penggunaan modal.

(30)

14

Gambar 4 Kerangka pemikiran analisis usaha budidaya tambak bandeng pada teknologi tradisional, dan semi-intensif di Kabupaten Karawang

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan Kacamatan Tirtajaya yang merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Karawang. Kecamatan Tirtajaya dipilih secara sengaja (purposive) karena kecamatan ini merupakan sentra produksi di Kabupaten Karawang. Produksi bandeng di Kecamatan Tirtajaya sebesar 30 persen dari produksi bandeng di Kabupaten Karawang pada tahun 2013 (Lampiran 5). Selain sentra produksi Kabupaten Karawang juga menerapkan

Budidaya ikan bandeng tradisional

Budidaya ikan bandeng

semi-intensif

Teknologi mana yang sebaiknya digunakan Keragaan usahatani:

-Penggunaan input -Hasil dan harga

output

Struktur biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani

Efisiensi biaya: R/C rasio Teknologi semi-intensif berkembang karena rendahnya produktivitas pada teknologi tradisional yang sangat bergantung pada alam

(31)

15 kedua teknologi budidaya bandeng, sehingga mampu menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian dilakukan selama bulan Februari 2015.

Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel

Jenis data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan dan wawancara langsung dengan responden petambak ikan bandeng dengan menggunakan susunan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dalam bentuk kuesioner. Data primer pada penelitian, mencakup karakteristik responden, keragaan usaha budidaya tambak ikan bandeng, seperti teknis budidaya, jumlah yang produksi, harga output, penggunaan input untuk menghitung biaya yang dikeluarkan serta informasi lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian ini.

Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer yang bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Data sekunder diperoleh dari catatan-catatan serta dokumentasi dari pihak atau instansi yang terkait, seperti: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistik, Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat dan Badan Pusat Statistik setempat. Selain itu, dilakukan juga penelusuran melalui internet, buku serta penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan

Jumlah responden yang digunakan sebanyak 63 petani ikan bandeng, dengan 30 petani teknologi tradisional dan 33 petani teknologi semi-intensif yang dipilih dengan metode purposive sampling. Hal ini dilakukan berdasarkan kriteria penelitian.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk mempermudah dalam memahani akan dilakukan tabulasi data primer dari kuesioner. Pada penelitian ini menggunakan alat bantu seperti kalkulator, aplikasi SPSS dan Software Microsoft Excel 2007. Analisis kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan karakterisktik patani responden, keadaan umum lokasi penelitian, dan keragaan usaha budidaya tambak ikan bandeng.

Sedangkan analisis kuantitatif disajikan dalam bentuk tabulasi untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca. Analisis ini digunakan untuk menganalisis struktur biaya, pendapatan, dan efisiensi pada usaha budidaya tambak ikan bandeng dengan berbagai tingkat teknologi, yaitu teknologi tradisional dan semi-intensif.

Analisis Penerimaan, Biaya, dan Keuntungan Usahatani

(32)

16

penerimaan berbeda. Oleh karena itu, sebelum menganalisis keuntungan maka dilakukan analisis penerimaan dan biaya.

a. Penerimaan atau revenue merupakan nilai output yang diperoleh pada jangka waktu tertentu. Secara umum penerimaan dibagi menjadi dua, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Penerimaan tunai usahatani adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, yaitu jumlah produk yang dijual dikalikan dengan harga jual produk, sedangkan penerimaan non tunai ialah nilai output yang tidak jual, digunakan untuk konsumsi, pembayaran maupun keperluan lainnya. Jadi, penerimaan total usahatani merupakan keseluruhan nilai produksi usahatani baik dijual, dikonsumsi keluarga dan dijadikan persediaan. Yang secara sistematis di tuliskan dengan:

Total Penerimaan = P x Q Dimana, P = harga output (Rp/unit)

Q = jumlah output yang dihasilkan (unit)

b. Biaya merupakan nilai atas pengorbanan faktor produksi yang digunakan dalam usahatani untuk menghasilkan sejumlah output pada waktu tertentu. Secara umum biaya dibagi menjadi dua yaitu biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel dalam penelitian ini merupakan biaya yang dikeluarkan dalam satu periode musim budidaya, biaya ini meliputi biaya benih, pakan, obat-obatan, solar dan biaya tenaga kerja. Sedangkan biaya tetap meliputi biaya penyusutan, sewa tambak, TKDK dan pajak tambak. Jenis pembayaran biaya ini dibagi menjadi dua yaitu biaya tunai dan tidak tunai. Biaya tidak tunai atau biaya yang diperhitungkan merupakan biaya atas penggunaan faktor produksi yang dibayar secara tidak tunai atau dalam bentuk natura.

Analisis Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani merupakan balas jasa atas penggunaan faktor produksi, seperti lahan, modal dan tenaga kerja. Untuk menghitung pengembalian atas penggunaan faktor produksi, maka harus menghitung pendapatan bersih terlebih dahulu. Pendapatan bersih usahatani (net farm income) merupakan selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan biaya total usahatani, tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga. Hasil dari net farm income akan dikurangi dengan beban bunga pinjaman, maka diperoleh penghasilan bersih usahatani. Apabila petani menggunakan modal sendiri maka penghasilan bersih petani sama dengan pendapatan bersih usahatani.

Imbalan atas modal (return to total capital) yang digunakan dapat dketahui dengan cara mengurangkan pendapatan bersih usahatani dengan nilai kerja keluarga, dan dinyatakan dalam bentuk persen terhadap nilai seluruh modal. Sedangkan imbalan atas modal petani (return to farm equity capital) dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan bersih usahatani dengan nilai kerja keluarga, dan dinyatakan dalam bentuk persen terhadap modal milik petani. Namun apabila petani menggunakan modal sendiri secara keseluruhan, maka imbalan modal milik petani sama dengan imabalan seluruh modal.

(33)

17 usaha budidaya tambak ikan bandeng lebih menguntungkan dibandingkan menginvestasikan ke bank. Secara sistematis dituliskan sebagai berikut:

tu to total a tal t fa o total modal nilai tenaga kerja keluarga x

Imbalan atas tenaga kerja dibedakan menjadi dua, yaitu imbalan tenaga dalam keluarga (return to family labour) dan imbalan tenaga tenaga kerja total (return to labour). Imbalan tenaga kerja keluarga dihitung dengan cara membagi total tenaga kerja dalam keluarga dari penerimaan total yang telah dikurangi modal petani, tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam keluarga. Sedangkan imbalan total tenaga kerja dihitung dengan cara membagi total tenaga kerja dari penerimaan total yang dikurangi modal petani. Hasil perhitungan ini berupa nilai menunjukkan tingkat upah per HOK dan dibandingkan dengan tingkat upah rata-rata yang diberikan kepada petani. Secara sistematis dituliskan sebagai berikut:

tu to fa l la ou penerimaan total modal petani biaya T D total tenaga kerja dalam keluarga

tu to la ou penerimaan total modal petanitotal tenaga kerja

Analisis Efisiensi Biaya Usahatani

Return cost rasio atau imbangan penerimaan biaya adalah perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan dalam suatu proses produksi usahatani. Analisis R/C rasio digunakan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang dihasilkan dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan pada suatu kegiatan usahatani. Semakin tinggi nilainya maka usahatani yang dilakukan semakin efisien. Secara matematis perhitungan rasio R/C sebagai berikut:

Rasio R/C atas biaya tunai = penerimaaan Biaya tunai

Rasio R/C atas biaya total = Biaya tunai biaya diperhitungkanpenerimaaan

Analisis Uji Beda t-Test

Analisis uji beda t-test digunakan membandingkan rata-rata pengunaan input, produktivitas, biaya total, penerimaan total, dan R/C rasio pada masing-masing teknologi, apakah berbeda signifikan secara statistik atau tidak. Dalam menguji t-test ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi, yaitu: sampel data berdistribusi normal, memiliki varians sama atau dianggap sama, datanya berupa interval atau rasio.

(34)

18

sama atau berbeda secara statistik. Uji beda ini menggunakan taraf nyata 5 persen. Langkah-langkah untuk melakukan uji beda, sebagai berikut:

1. Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H0: Median Y di kedua populasi (petani bandeng teknologi tradisional dan teknologi semi-intensif) tidak berbeda nyata

H1: Median Y di kedua populasi (petani bandeng teknologi tradisional dan teknologi semi-intensif) berbeda nyata

2. Statistik Uji

thit

n s n s

n n n n

Dimana:

X1 = Rata-rata penggunaan input, produktivitas, penerimaan, biaya total, R/C pada petani bandeng teknologi tradisional

X2 = Rata-rata penggunaan input, produktivitas, penerimaan, biaya total, R/C pada petani bandeng teknologi semi-intensif

n1 = Jumlah sampel petani bandeng teknologi tradisional n2 = Jumlah sampel petani bandeng teknologi semi-intensif s = Simpangan baku petani bandeng teknologi tradisional s

= Simpangan baku petani bandeng teknologi semi-intensif 3. Kriteria Uji

Kriteria uji ini membandingkan antara t hitung dengan t sebaran pada tabel t, apabila:

 t-hitung > t-Tabel, maka tolak H0, artinya kedua populasi berbeda secara signifikan.

 t-hitung < t-Tabel, maka terima H0, artinya kedua populasi tidak berbeda secara signifikan.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Penelitian berlokasi di Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Gambaran umum lokasi penelitian menjelaskan mengenai karakteristik wilayah yang meliputi kondisi geografi, kependudukan dan pertanian. Sedangkan gambaran petani responden meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan formal, pengalaman budidaya ikan bandeng, jumlah tanggungan keluarga, penguasaan atas lahan tambak, padat tebar benih bandeng, lama budidaya, dan pekerjaan di luar usahatani.

Karakteristik Wilayah Kondisi Geografi

(35)

19 Kecamtan Tirtajaya adalah 37.8 Km. Kecamatan ini memiliki luas 15 666.98 ha yang terdiri dari 11 desa. Secara adminitratif berbatasan dengan:

1. Sebelah timur : Kecamatan Cibuaya 2. Sebelah Selatan : Kecamatan Jayakerta 3. Sebelah Barat : Kecamatan Cibuaya

4. Sebelah Utara : Batas alam yaitu Laut Jawa

Ketinggian wilayah Kecamatan Tirtajaya dari permukaan laut adalah 3 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan berkisar antara 1 100-3 200 mm/tahun.

Tabel 1 Luas penggunaan tanah dan presentasenya di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013

Penggunaan Lahan Luas lahan (ha) Presentase (%)

Lahan Sawah 4 959.71 31.66

Ladang 1.82 0.01

Tambak 4 700.00 30.00

Kolam 194.00 1.24

Lahan kering 5 789.95 36.96

Tanah fasilitas umum 21.50 0.14

Total 15 666.98 100.00

Sumber: Data Monografi Kecamatan Tirtajaya (2014).

Lahan kering memiliki presentase paling besar yaitu 36.96 persen. Lahan ini digunakan untuk pemukiman, pekarangan, dan kebun. Potensi pertanian di kecamatan ini adalah padi dan perikanan, dapat dilihat penggunana lahan untuk sawah dan tambak hampir sama. Meskipun lahan sawah lebih besar 1.66 persen. Namun, potensi tambak di kecamatan ini juga cukup besar karena lokasi Kecamatan Tirtajaya berbatasan langsung dengan Luat Jawa yang setiap tahunnya akan meningkatkan luas tambak. Luas tambak paling besar di kecamatan ini berada di Desa Tambaksari dan Tambaksumur. Kecamatan ini memiliki luasan tambak paling besar dibandingkan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Karawang.

Kependudukan

Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2013 perempuan lebih mendominasi yaitu 0.76 persen lebih tinggi dibanding laki-laki. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 3 5161 jiwa sedangkan perempuan sebanyak 36 250 jiwa. Secara rinci terdapat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin Kecamatan Tirtajaya tahun 2013

Jenis Kelamin Jumlah Presentase (%)

Laki-laki 35 161 49.24

Perempuan 36 250 50.76

Total 71 411 100.00

(36)

20

Banyaknya jumlah penduduk di Kecamatan Tirtajaya memiliki potensi besar sebagai penyedia tenaga kerja untuk mengembangkan potensi pertanian di Kecamatan Tirtajaya. Hal ini ditunjukkan dengan jenis pekerjaan di Kecamatan Tirtajaya secara garis besar bermatapencaharian sebagai seorang petani, yakni sebesar 93 persen atau sebanyak 46 735 jiwa. Namun, kebanyakan dari mereka sebagai petani penggarap yakni sebesar 43 790 jiwa sebagai buruh tani. Petani tambak sendiri sebanyak 1 547 sebagai petani milik. Banyaknya buruh tani disana karena pemilik tambak membutuhkan penjaga tambak mereka dengan sistem pembayaran bagi hasil. Sehingga banyak yang tertarik untuk menjadi bujang (penjaga tambak).

Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013

Jenis Pekerjaan Jumlah Presentase (%)

Petani 46 735 93.53

Sumber: Data Monografi Kecamatan Tirtajaya (2014).

Jika dilihat dari tingkat pendidikan, dari 71 411 jiwa hanya 1 918 jiwa yang terdaftar pada tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan di Kecamatan Tirtajaya tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 bahwa sebagian besar penduduknya bertamatan SD dan SMP, yaitu tamat SD sebanyak 24 persen sedangkan tamat SMP 23.04 persen.

Tabel 4 Jumlah dan presentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013

Tingkat Pendidikan Jumlah Presentase (%)

Buta huruf 275 14.34

Tamat Akademi/sederajat 58 3.02

Tamat Perguruan Tinggi/sederajat 16 0.83

Total 1 918 100.00

(37)

21 Penduduk yang lulus perguruan tinggi tidak mencapai satu persen, yaitu 0.83 persen. Sedangkan buta huruf dan belum sekolah secara berturut sebesar 14.34 persen dan 14.34 persen dari total penduduk. Rendahnya tingkat pendidikan berpengaruh terhadap sikap penduduknya dalam mengadopsi teknologi terutama dalam bidang pertanian. Mereka lebih mempercayai teknik turun-temurun.

Pertanian

Pertanian di Kecamatan Tirtajaya secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu pertanian padi dan perikanan tambak. Pertanian padi memang menjadi andalan setiap kecamatan yang ada di Karawang sehingga Karawang terkenal sebagai lumbung padi dan perikanan tambak. Produksi dan luas lahan tambak setiap tahunnya mengalami peningkatan. Perikanan tambak yang menjadi unggulan di Kecamatan Tirtajaya adalah ikan bandeng. Hampir semua petani tambak membudidayakan ikan bandeng baik secara monokultur maupun polikultur dengan udang dan atau rumput laut. Budidaya tambak di kecamatan ini menggunakan teknologi tradisional dan semi-intensif. Namun, petani di Kecamatan Tirtajaya melakukan budidaya tidak sesuai dengan SOP yang ada, hal ini mungkin disebabkan rendahnya tingkat pengetahuan serta budaya dalam membudidayakan. Secara rinci potensi pertanian di Kecamatan Tirtajaya disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 5 Produksi perikanan dan pertanian di Kecamatan Tirtajaya tahun 2013

Uraian Produksi (Kg)

Padi sawah 88 763

Sapi potong 3 120

Domba 3 443

Kambing 738

Bandeng 5 024 390

Blanak 201 790

Udang 589 100

Mas 2 000

Nila 15 000

Lele 15 000

Lainnya 260

Sumber: Data Monografi Kecamtan Tirtajaya (2014).

Selain komoditas padi dan ikan bandeng, Kecamatan Tirtajaya juga memiliki komoditas perikanan lainnya seperti blanak, udang, nila, mas, dan lele. Sektor peternakan juga dikembangkan di kecamatan ini, komoditas peternakan yang diusahakan meliputi sapi potong, domba dan kambing. Produksi ketiganya secara berurutan yaitu 3 120, 3 443, dan 738 kg.

Karakteristik Petani Responden

(38)

22

lama budidaya, dan pekerjaan di luar usahatani. Karakteristik petani ini yang nantinya akan berpengaruh terhadap usaha budidaya bandeng serta pemilihan teknologi yang akan digunakan.

Jenis Kelamin

Jenis kelamin dapat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan terhadap jenis teknologi yang digunakan. Pada usaha budidaya tambak di lokasi penelitian 100 persen dikerjakan oleh pria baik yang berteknologi tradisional maupun yang semi-intensif. Hal ini disebabkan jenis pekerjaan dalam mengusahakan budidaya tambak diperlukan kekuatan fisik yang lebih. Mulai dari pemberantasan hama sampai pemanenan kegiatan ini dikerjakan oleh laki-laki.

Tabel 6 Jenis kelamin petani responden di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015 Karakteristik

Usia secara psikologis maupun biologis berpengaruh terhadap pekerjaan yag dijalankan. Berdasarkan usia petani responden terbagi menjadi enam kelompok angkatan kerja. Pembagian kelompok ini dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini. Tabel 7 Jumlah petani responden berdasarkan kriteria usia di Kecamatan

(39)

23 Usia produktif atau pemuda di Kecamatan Tirtajaya lebih memilih bekerja disektor lain, hal ini terlihat bahwa rentang usia 20-29 tahun pada teknologi tradisional tidak ada yang melakukan usaha budidaya bandeng, sedangkan pada semi-intensif pada rentang usia tersebut hanya ada satu petani yang bersedia melakukan usaha budidaya bandeng. Kondisi ini akan berdampak pada keberlanjutan usaha budidaya tambak di Kecamatan Tirtajaya.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan ini berpengaruh terhadap cara berpikir dan sikap dalam berbudidaya. Tingkat pendidikan petani responden dapat dikatakan rendah, karena sebagian besar baik teknologi tradisional maupun semi-intensif tingkat pendidikan formalnya hanya bertamatan SD, tidak tamat SD dan tamat SMP. Responden petani tradisional bertamatan SD sebanyak 33.33 persen, sedangkan semi-intensif sebanyak 45.45 persen.

Petani responden yang tamat sarjana/sederajat hanya ada satu orang dan mengadopsi teknologi semi-intensif. Rendahnya pendidikan mempengaruhi terhadap pengambilan keputusan untuk mengadopsi teknologi yang digunakan. Selain itu, tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat keterbukaan informasi baru. Secara rinci sebaran tingkat pendidikan petani responden disajikan pada tabel 8 dibawah ini.

Tabel 8 Jumlah petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015

Pengalaman petani dalam melakukan usaha budidaya akan mempengaruhi keterampilan dalam mengelola usahataninya. Pada umumnya semakin banyak pengalaman maka usaha budidaya akan semakin terampil. Karena petani akan mudah dalam memanajemen masalah usahataninya. Pengalaman ini juga berpengaruh terhadap jenis teknologi budidaya. Hal ini ditunjukkan bahwa pengalaman budidaya bandeng petani responden rata-rata diatas 10 tahun.

Baik petani responden tradisional dan semi-intensif rata-rata memiliki pengalaman antara 16-20 tahun, yaitu sebanyak 23.33 persen untuk petani responden tradisional dan 18.18 persen untuk petani semi-intensif. Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata petani responden pengalaman budidaya tambak merupakan hasil turun-temurun dari orang tua mereka.

(40)

24

rendahnya produktivitas yang dihasilkan oleh teknologi tradisional, sehingga petani yang tadinya membudidayakan secara tradisional beralih ke semi-intensif. Secara rinci sebaran pengalaman budidaya dijabarkan pada Tabel 9 dibawah ini. Tabel 9 Jumlah petani responden berdasarkan pengalaman berbudidaya di

Kecamatan Tirtajaya tahun 2015

Jumlah tanggungan keluarga secara tidak langsung berpengaruh terhadap usaha budiaya yang dijalankan petani. Karena semakin banyak jumlah tanggungan maka semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dampak dari banyak tanggungan keluarga petani berusaha meningkatkan pendapatannya dengan memperbaiki sistem budidaya yang dijalankan.

Tabel 10 Jumlah petani responden berdasarkan jumlah tanggungan di Kecamatan Tirtajaya tahun 2105

(41)

25 tanggungan 3-4 orang sebesar 60.61 persen, sisanya 1-2 orang sebesar 33.33 persen, dan sebesar 6.06 persen memiliki tanggungan 5-6 orang.

Penguasaan Lahan Tambak

Baik petani responden tradisional dan semi-intensif sebagian besar menguasai lahan lambak seluas 3-<6 ha, yaitu sebesar 43.33 persen petani responden tradisional dan sebesar 54.55 persen petani semi-intensif. Jika dilihat sebaran luas tambak yang dikuasai petani responden, petani responden cenderung memiliki luasan tambak lebih kecil dibandingkan petani semi-intensif.

Petani responden tradisional menguasai luas tambak 1-<3 ha sebesar 36.67 persen, 6-<9 ha sebesar 16.67 persen sedangkan lebih dari 9 ha hanya 3.33 persen. Berbeda halnya dengan petani semi-intensif menguasai lahan tambak seluas 1-<3 ha sebesar 12.12 persen, 3-<6 ha sebesar 21.21 persen, dan sisanya diatas 9 ha sebesar 12.12 persen. Secara rinci sebaran penguasaan lahan tambak disajikan pada Tabel 11 dibawah ini.

Tabel 11 Jumlah petani responden berdasarkan luas penguasaan tambak di Kecamatan Tirtajaya tahun 2015

Lahan tambak sebagian besar petani reponden tradisional maupun semi-intensif mengusahakan tambak milik perhutani. Meskipun tambak tersebut milik perhutani, tetapi seperti milik sendiri karena lahan ini sejak lama diusahakan petani dan hanya mengganti uang pajak setiap tahunnya sama halnya lahan milik secara pribadi. Sebanyak 90.00 persen petani responden tradisional lahan tambaknya milik perhutani, dan sisanya 10.00 persen milik sendiri. Sedangkan petani responden sebesar 81.82 Persen milik perhutani dan sisanya sebesar 18.18 milik pribadi. Secara rinci ditunjukkan pada Tabel 12 dibawah ini.

(42)

26

Padat Tebar

Padat tebar disesuaikan dengan luas lahan dan jenis teknologi yang diadopsi. Dan masing-masing negara memiliki ketentuan masing-masing. Menurut Wilfredo G. Yap et all (2007) teknologi tradisional memiliki pada tebar 1 000- 3 000 ekor/ha, namun padat tebar ini bisa mencapai 6 000 ekor/ha tergantung banyak tidaknya pakan alaminya (klekap). Sedangkan teknologi semi-intensif padat tebarnya mencapai 8 000-12 000 ekor/ha. Peningkatkan padat tebar ini memerlukan tambahan pakan buatan. Sehingga masa tumbuhnya dan produksinya lebih cepat.

Di lokasi penelitian, petani responden teknologi tradisional memiliki padat tebar rata-rata 3 165.56 ekor/ha, sedangkan petani semi-intensif memiliki padat tebar rata-rata 4 528.27 ekor/ha. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan teknologi yang digunakan berpengaruh terhadap padat tebar benih. Karena petani semi-intensif padat tebar benihnya masih dibawah standar yang dianjurkan. Sehingga akan mempengaruhi produksi yang dihasilkan.

Tabel 13 menunjukkan petani responden tradisional yang memiliki pada tebar 1 000-<2 000 ekor/ha sebesar 20.00 persen, 2 000-<4 000 ekor/ha sebesar 50.00 persen, 4 000-<6 000 ekor/ha 26.67 persen dan diatas 6 000 ekor/ha hanya satu oramg atau sebesar 3.33 persen. Sedangkan petani responden semi-intensif pada tebarnya diatas 2 000 ekor/ha, sebesar 27.27 persen memiliki padat tebar 2 000-<4 000 ekor/ha, padat tebar 4 000-<6 000 ekor/ha memiliki presentase paling tinggi yaitu 60.61 persen, dan padat tebar yang sesuai anjuran yaitu 6 000-<8 000 ekor/ha hanya 12.12 persen. Ada beberapa alasan petani tidak meningkatkan padat tebarnya, yaitu menghindari risiko tingkat pertumbuhan yang tidak rata, pakan yang diberikan tidak merata dan risiko kematian.

Lama Budidaya

Gambar

Gambar 1  Volume produksi perikanan tahun 2003-2013 (dalam ton)
Gambar 2 Produksi ikan bandeng di Indonesia tahun 2010-2013
Gambar 3  Pengaruh ekstensifikasi dan intensifikasi lahan terhadap produksi
Gambar 4  Kerangka pemikiran analisis usaha budidaya tambak bandeng pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

142 Lampiran 21 Hasil Peramalan Metode Exponential Smoothing dengan alpha=0.1...143 Lampiran 22 Hasil Peramalan Metode Exponential Smoothing dengan alpha=0.2...144 Lampiran

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang memenuhi. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,

Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi status berat bayi baru lahir serta melakukan analisis klasifikasi bayi baru lahir guna mengurangi

Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon supaya hidup rukun lagi sebagai suami istri yang baik dengan mediasi, akan tetapi

Bagian dari fungsi yang didapat dengan jalan menganggap salah satu variabel bebas adalah konstan dinamakan dengan trace .... REPRESENTASI GRAFIS

Ketiga unsur ini; petunjuk khusus tentang apa yang harus dilakukan, monitoring mereka secara berkala untuk memastikan bahwa yang sedang dilakukan, dan membuat

Gambaran ini mengindikasikan bahwa pada siswa yang meiliki motivasi belajar rendah, ditemukan bahwa secara signifikan hasil belajar matematika yang diajar melalui