• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Ukuran dan Teknik Penyimpanan Benih Pisang Kepok (Musa sp ABB Group) dari Bonggol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan Ukuran dan Teknik Penyimpanan Benih Pisang Kepok (Musa sp ABB Group) dari Bonggol"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN UKURAN DAN TEKNIK PENYIMPANAN

BENIH PISANG KEPOK (

Musa

sp. ABB Group)

DARI BONGGOL

Oleh

IRFAN FIRMANSYAH

A24070084

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

IRFAN FIRMANSYAH. Penentuan Ukuran dan Teknik Penyimpanan Benih

Pisang Kepok (Musa sp. ABB Group) dari Bonggol. (dibimbing oleh M. RAHMAD SUHARTANTO).

Salah satu masalah dalam pengembangan pisang adalah sulitnya perbanyakan dan distribusi benih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ukuran bonggol yang mampu menghasilkan tunas dan untuk mengetahui teknik penyimpanan yang terbaik agar mampu mempertahankan viabilitas dan daya simpan benih pisang dari bonggol. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Pasirkuda, Ciomas, Bogor dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai Februari sampai Mei 2011.

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bonggol pisang kepok Varietas Unti Sayang, media tanah, dan fungisida Dithane M-45. Alat yang digunakan adalah gunting, meteran, ember, timbangan, kertas label, cangkul, termohigrometer, alat vacum Foodsaver tipe Compac II-Vac 550, Impulse Sealer tipe PFS-200P, dan pembungkus bonggol yang terdiri atas plastik PP (p=40 cm, l=25 cm, t=0.8 mm ) dan plastik vacum (p=400 cm, l=26 cm, t=1.2 mm).

(3)

Percobaan II adalah percobaan lanjutan untuk menentukan cara penyimpanan benih yang tepat agar viabilitas benih tetap terjaga dengan baik. Penelitian ini terdiri dari enam kombinasi perlakuan, yaitu antara jenis kemasan dan aplikasi fungisida. Jenis kemasan terdiri dari tanpa kemasan (A1), plastik PP (p=40 cm, l=25 cm, t=0.8 mm) (A2), dan plastik vacum (p=400 cm, l=26 cm, t=1.2 mm) (A3). Aplikasi fungisida terdiri dari tanpa fungisida (B1) dan menggunakan fungisida (B2). Setiap perlakuan terdiri dari 5 waktu simpan yang berbeda sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdapat 5 bonggol maka total bonggol yang akan digunakan sebanyak 150 bonggol. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan tabel pada berbagai periode simpan karena keterbatasan jumlah bahan dan besarnya keragaman benih (bonggol).

Hasil percobaan I menunjukkan ukuran bonggol yang tepat untuk dijadikan calon benih adalah B5 (bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm). Jumlah tunas dan potensi tumbuh maksimum yang dihasilkan bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm paling tinggi daripada bonggol lainnya yaitu masing-masing sebesar 3 tunas per bonggol dan 73.33%. Hasil percobaan II menunjukkan bonggol yang tidak dikemas dan tanpa fungisida mampu mempertahankan viabilitas benih pisang selama 6 minggu dengan potensi tumbuh maksimum sebesar 40%, sedangkan bonggol lainnya tidak tumbuh sama sekali. Selain itu pertumbuhan tinggi tunas bonggol yang tidak dikemas dan tanpa fungsida lebih baik daripada bonggol lainnnya.

Kesimpulan yang didapatkan adalah benih pisang yang diperbanyak menggunakan bonggol dengan bobot 7400 g dan diameter 22.4 cm menghasilkan 3 tunas per bonggol dan potensi tumbuh maksimum 73.33%, terbaik bila dibandingkan dengan ukuran bonggol lainnya.

(4)

Irfan Firmansyah

Abstract

This study aims to find out size of the hump that is able to produce seedlings and to find out the best storage techniques to be able to maintain the viability and power shelf. The research was conducted at the Kebun Percobaan Pasirkuda, Ciomas, Bogor and Seed Science and Technology Laboratory, Departmen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. The study began in February to May 2011. The size of the best hump that have the highest potential growth maximum was 73.33% and the highest number of shoots of 3 shoots per hump is B5 (hump with an average weight of 7400 g and diameter 22.4 cm). The size of the best hump will be a reference for future experiments on storage techniques. The best storage method is without packing and without using fungicides. This method is able to make the hump can be stored for 6 weeks.

(5)

PENENTUAN UKURAN DAN TEKNIK PENYIMPANAN

BENIH PISANG KEPOK (

Musa

sp. ABB Group)

DARI BONGGOL

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

IRFAN FIRMANSYAH

A24070084

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul

:

PENENTUAN UKURAN DAN TEKNIK

PENYIMPANAN BENIH PISANG KEPOK

(

Musa

sp. ABB Group) DARI BONGGOL

Nama

: IRFAN FIRMANSYAH

NIM

: A24070084

Menyetujui, Dosen pembimbing

Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi NIP. 19630923 198811 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc. Agr. NIP. 19611101 198703 1 003

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, pada tanggal 11 Februari 1989. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Asep Somantri dan Ayi Zamilah.

Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan studi di SDN Cibogo 1, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Karang Tengah dan lulus pada tahun 2004. Setelah itu penulis melanjutkan ke SMAN 1 Cianjur dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama yaitu 2007 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Penentuan ukuran dan teknik penyimpanan benih pisang kepok (Musa sp.

ABB Group) dari bonggol” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. M. Rahmad

Suhartanto, MSi.

Penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan masukan, dukungan, doa, dan semangat baik selama penelitian maupun dalam penyusunan skripsi ini. Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi selaku dosen Pembimbing Skripsi yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Sobir, MSi. dan Ir. Diny Dinarti, MSi. selaku dosen penguji. 3. Dr. Ir. Hariyadi, MS selaku dosen Pembimbing Akademik.

4. Bapak Asep Somantri, S.Pd.Ek. dan Ibu Ayi Zamilah yang senantiasa memberi doa, dukungan, dan semangat.

5. Keluarga Besar Ojo Djakaria dan Keluarga Besar Bunyamin atas doa dan dukungannya yang tiada henti.

6. Teman-teman “Happy House” Prama Nurgama, Dede Rosyana, Kharisma Cipta Arifin, Yoga Suryaperdana, dan Kornel. Teman-teman Agronomi dan Hortikultura 44 atas persahabatan yang luar biasa

7. Bapak Baesyuni dan pekerja di Kebun Percobaan Pasirkuda atas bantuannya dalam penelitian di lapangan.

Akhirnya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat kepada civitas akademika, masyarakat, bangsa, dan agama.

(9)

DAFTAR ISI

Percobaan 1 : Penentuan ukuran bonggol yang tepat ... 16

Percobaan 2 : Penentuan teknik penyimpanan…….. ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN... 30

Kesimpulan ………... 30

Saran ………. ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Persentase terkena cendawan sebelum tanam (%)…………..…. 22 2. Persentase terkena cendawan setelah tanam (%)………. 24 3. Potensi Tumbuh Maksimum (%) pada empat minggu setelah

tanam……….……... 25 4. Rata-rata waktu munculnya tunas (hari) pada empat minggu

setelah tanam……….………... 26 5. Rata-rata jumlah daun per tunas pada empat minggu setelah

tanam………..….. 27 6. Rata-rata tinggi tunas yang muncul pada empat minggu setelah

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Rata-rata Potensi Tumbuh Maksimum (%) pada delapan minggu

setelah tanam………... 17 2. Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan per bonggol pada delapan

minggu setelah tanam………..…………..………….... 18 3. Rata-rata waktu munculnya tunas (hari) pada delapan minggu

setelah tanam………..……… 19 4. Rata-rata jumlah daun per tunas pada delapan minggu setelah

tanam………..…… 20 5. Rata-rata tinggi tunas (cm) pada delapan minggu setelah

tanam………..……… 21 6. Contoh bonggol (a) dan contoh mata tunas pada bonggol (b) .... 22 7. Contoh bonggol terserang cendawan (a) dan contoh bonggol yang tidak terserang cendawan (b)………. 23 8. Contoh Contoh cendawan saprofit yang tumbuh pada bonggol

yang membusuk di persemaian ……….…. 24 9. Contoh akar yang muncul pada bonggol yang berumur dua

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Suhu dan RH penyimpanan………. 35

2. Rata-rata Potensi Tumbuh Maksimum (%) pada delapan minggu

setelah tanam……….... 35 3. Rata-rata jumlah tunas pada delapan minggu setelah tanam ….. 35 4. Rata-rata waktu munculnya tunas (hari) pada delapan minggu

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pisang (Musa spp.) merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia. Produksi pisang pada tahun 2008 mencapai 5 741 351 ton. Produksi pisang jauh di atas komoditas buah lainnya seperti mangga (2 243 440 ton), jeruk (2 131 768 ton), dan pepaya (772 844 ton) (BPS, 2008). Namun bila dibagi luas lahan yang berproduksi, produktivitas pisang pada tahun 2008 hanya mencapai 557,1 kuintal/ha. Lebih rendah daripada jeruk besar (163,4 ton/ha), jambu air (88,1 ton/ha), dan melon (18,3 ton/ha) (Deptan, 2009).

Salah satu cara untuk dapat meningkatkan produktivitas pisang adalah melalui penggunaan benih yang bermutu. Pada pengembangan pisang selama ini, ada kendala dalam ketersediaan benih, khususnya benih pisang yang sehat. Biasanya petani memperoleh benih pisang dari anakan yang dipisahkan dari rumpun induknya, sehingga agak sulit untuk mendapatkan benih pisang dalam jumlah banyak dengan cepat. Selain itu, cara ini juga dapat merusak tanaman induknya dan mempermudah timbulnya serangan hama dan penyakit. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya teknologi perbanyakan benih sehat dalam jumlah banyak dengan cepat dan berkualitas yaitu perbanyakan benih dengan menggunakan bonggol pisang (Deptan, 2006).

Ciri-ciri anakan yang baik untuk diambil bonggolnya adalah tinggi anakan yang dijadikan benih 1-1,5 m. Anakan diambil dari pohon yang berbuah baik dan sehat. Bibit anakan terdiri dari dua jenis yaitu anakan muda (tingginya 41-100 cm) dan anakan dewasa (tingginya >100cm). Anakan dewasa lebih baik digunakan karena persediaan makanan di dalam bonggol sudah banyak. Penggunaan bibit yang berbentuk tombak (daun masih berbentuk seperti pedang, helai daun sempit) lebih diutamakan daripada bibit dengan daun yang lebar karena pertumbuhannya lebih baik (Menegristek, 2000).

(14)

Bonggol pisang dapat dikatakan memiliki sifat yang mirip benih rekalsitran. Benih rekalsitran adalah benih yang berkadar air tinggi dan tidak dapat dikeringkan, karena pengeringan akan mematikan benih. Berbeda dengan benih ortodoks yang penanganannya mudah, benih rekalsitran memerlukan penanganan khusus karena kadar airnya tinggi dan umumnya tidak memiliki sifat dormansi dan mudah menurun viabilitasnya. Hal ini menjadi kendala dalam pengadaan bahan tanaman yang diperlukan dalam pengembangan atau peremajaan tanaman tersebut. Upaya untuk meningkatkan daya simpan benih rekalsitran antara lain mengatur kadar air benih, kelembaban nisbi, suhu dan media simpan serta menggunakan fungisida (Budiarti et al., 1993).

Benih pisang cukup mudah terserang penyakit. Cendawan menjadi masalah yang sering merugikan. Masalah yang ditimbulkan seperti terjadi pembusukan sehingga benih rusak dan tidak dapat digunakan. Aplikasi fungisida sebelum penyimpanan diharapkan mampu untuk mengatasi masalah ini. Mekanisme fungisida yang digunakan untuk penanggulangan penyakit pada umumnya adalah menghambat perkecambahan, pertumbuhan, dan perkembangbiakan atau sekaligus membunuh patogen.

(15)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ukuran (bobot dan diameter) bonggol yang mampu menghasilkan tunas dan untuk mengetahui teknik penyimpanan yang terbaik agar mampu mempertahankan viabilitas dan daya simpan benih pisang dari bonggol.

Hipotesis

1. Terdapat ukuran bonggol terbaik yang dapat menghasilkan jumlah tunas terbaik.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Pisang

Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara. Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyebaran tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni meliputi daerah tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke Timur melalui Lautan Teduh sampai ke Hawai. Selain itu, tanaman pisang menyebar ke barat melalui Samudera Atlantik, Kepulauan Kanari, sampai Benua Amerika (Suyanti dan Supriyadi, 2010).

Pisang yang dikenal sampai saat ini merupakan keturunan dari spesies pisang liar yaitu Musa acuminata dan Musa balbisiana. Pisang mempunyai jumlah kromosom 22, 33, atau 44 dengan jumlah kromosom dasar adalah 11. Jadi kultivar-kultivar ini adalah diploid (2n), triploid (3n), atau tetraploid (4n). Perkawinan Musa acuminata yang mempunyai kromosom A dan Musa balbisiana yang mempunyai kromosom B menghasilkan keturunan diploid AA, triploid AAA atau AAB, bahkan tetraploid AAAA (Simmonds, 1966).

Berdasarkan taksonominya, tanaman pisang diklasifikasikan sebagai berikut (Suyanti dan Supriyadi, 2010) :

Divisi : Spermatophyta

Menurut Simmonds (1966), tanaman pisang termasuk famili Musaceae, genus Musa. Terdiri atas empat golongan berdasarkan daerah penyebarannya yaitu:

1. Australiamusa, tersebar dari Queensland sampai Philipina. Pada umumnya golongan ini ditanam untuk diambil serat dan buahnya.

(17)

3. Eumusa, tersebar dari India Selatan hingga Jepang dan Samoa. Pada umumnya golongan ini ditanam untuk diambil buahnya, seratnya dan bagian tertentu dari tanaman dapat dijadikan sayuran.

4. Rhodochlamya, tersebar dari India sampai Indocina. Pada umumnya golongan ini ditanam sebagai tanaman hias.

Morfologi Pisang Kepok

Pisang Kepok Varietas Unti Sayang memiliki tinggi 370 cm dengan umur berbunga 13 bulan. Batangnya berdiameter 31 cm dengan panjang daun 258 cm dan lebar daun 90 cm, sedangkan warna daun serta tulang daun hijau tua. Bentuk jantung spherical atau lanset. Bentuk buah lurus dengan panjang buah 14 cm dan diameter buah 3.46 cm. Warna kulit dan daging buah matang kuning tua. Produksi Pisang Kepok Varietas Unti Sayang dapat mencapai 40 ton/ha. Erionata thrax, Thrips, dan Sigatoka dapat menyebabkan serangan yang rendah tetapi Cosmopolites sordidus, Odiophorus sp., Fusarium oxysporum fsp cubense, Moko,

Virus, Heart rot tidak ada serangan sama sekali (Buddenhagen et al., 2008).

Perbanyakan Tanaman Pisang

Santoso (2008) menyatakan dalam satu rumpun tanaman pisang yang lengkap terdapat anggota rumpun yang biasa kita temui yaitu :

1. Pohon induk, tanaman tertua dalam rumpun yang sedang berbuah. 2. Tunggul/bonggol, bekas pohon pisang yang ditebang.

3. Anakan rebung, tunas anakan yang panjangnya 20-40 cm, belum berdaun. 4. Anakan muda/anakan pedang, tunas anakan berukuran 41-100 cm dan

daunnya berbentuk seperti pedang dengan ujung runcing.

5. Anakan dewasa, tunas anakan dengan tinggi >100cm, telah memiliki beberapa daun sempurna.

6. Tunas air, berbatang kurus dan panjang, diameter batang sama dengan bonggol.

(18)

benih bit atau benih yang berasal dari bonggol) dan teknik kultur jaringan. Bibit pisang yang berasal dari pemisahan anakan untuk langsung ditanam di kebun merupakan cara umum digunakan oleh petani karena murah dan mudah dilakukan. Cara ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanaman induk dalam memproduksi anakan. Kekurangannya adalah membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan anakan dan dapat merusak tanaman induk.

Bahan yang paling baik untuk perbanyakan pemisahan anakan langsung adalah anakan pedang. Anakan rebung kurang baik jika ditanam langsung karena bonggolnya masih lunak dan terlalu kecil sehingga mudah kekeringan. Anakan dewasa terlalu berat dalam pengangkutan dan kurang tahan terhadap cekaman lingkungan karena telah memiliki daun sempurna. Bibit anakan setelah dipisahkan dari induknya harus segera ditanam, jika penanaman terlambat maka akan meningkatkan serangan hama penggerek bonggol dan meningkatkan kematian bibit di kebun. Teknik perbanyakan pisang yang lain adalah menggunakan anakan semai. Anakan semai adalah bibit yang berasal dari anakan rebung atau anakan yang memiliki bonggol sangat kecil. Anakan disemai terlebih dahulu dalam kantong plastik atau polibag sebelum ditanam di kebun (Santoso, 2008).

Mini bit adalah bibit pisang yang berasal dari anakan yang terlebih dahulu diinduksi untuk menumbuhkan tunas aksilar(samping). Bahan yang digunakan adalah anakan pedang sampai anakan dewasa (Santoso, 2008). Keuntungan dari cara ini yaitu tanaman yang digunakan satu tapi menghasilkan banyak benih (tergantung jumlah tunas yang ada pada bonggol). Kekurangannya yaitu panen yang tertunda karena alih fungsi dari anakan menjadi sumber benih. Waktu yang tertunda diperkirakan 3-5 bulan (Nasir et al., 2006).

Benih bit merupakan benih pisang yang berasal dari bonggol tanaman pisang. Bibit pisang berasal dari mata tunas yang terdapat pada tunggul pisang yang bekas ditebang (Santoso, 2008). Bonggol yang digunakan harus dari tanaman pisang yang telah berumur 7 bulan. Kekurangan dari cara ini yaitu menggunakan tanaman dewasa yang seharusnya digunakan untuk panen.

(19)

secara vegetatif adalah dapat menghasilkan bibit-bibit yang sehat dan seragam dalam jumlah yang banyak. Kekurangannya adalah biaya yang dibutuhkan cukup tinggi dan membutuhkan perawatan ekstra ketika penanaman di lapangan.

Penyimpanan

Benih merupakan suatu kehidupan dan akan mengalami proses deteriorasi yang mengakibatkan turunnya kualitas benih, maka pada saat penyimpanan harus diusahakan agar laju deteriorasinya serendah mungkin (Kuswanto, 2003). Penyediaan benih salah satunya ditunjang oleh cara penyimpanan benih yang tepat. Tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk mempertahankan viabilitas benih selama periode simpan yang lama, sehingga benih ketika akan dikecambahkan masih mempunyai viabilitas yang tidak jauh berbeda dengan viabilitas awal sebelum benih disimpan.

Berapa lama benih dapat disimpan sangat tergantung pada kondisi benih dan lingkungannya sendiri. Beberapa tipe benih tidak mempunyai ketahanan untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama atau sering disebut benih rekalsitran. Pada umumnya semakin lama benih disimpan maka viabilitasnya akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Masano dan Mawazin (1997) yang menyatakan lamanya penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap penyimpanan benih Shorea selanica. Benih yang disimpan dalam wadah plastik terbuka selama 3 minggu daya kecambahnya mulai menurun dan setelah 5 minggu daya kecambahnya 53.3 %.

Penanganan benih pisang mirip dengan penanganan benih rekalsitran. Penanganan benih rekalsitran lebih sulit dibanding benih ortodoks. Mulawarman et al. (2002) menyatakan benih rekalsitran tidak dapat dikeringkan sampai kadar

(20)

Metode Penyimpanan Benih Rekalsitran

Penyimpanan benih rekalsitran yang baik adalah dalam kondisi cahaya berintensitas rendah. Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa benih Dipterocarpaceae mampu bertahan hidup dan mempunyai pertumbuhan yang lambat selama berbulan-bulan di bawah intensitas cahaya yang rendah. Metode penyimpanan benih rekalsitran yang lain adalah penyimpanan benih pada suhu yang sangat rendah atau cryopreservation. Cryopreservation adalah sebuah metode penyimpanan material yang menggunakan suhu rendah dari liquid nitrogen (LN) yaitu pada suhu -196ºC. Pada suhu tersebut semua metabolisme yang berkaitan dengan kemunduran benih dikurangi atau bahkan terhenti. Suhu yang rendah akan memperlambat proses metabolisme dan akan mempertahankan viabilitas benih. Oleh karena itu, metode ini sangat mendukung penyimpanan benih dalam jangka panjang (Puspita, 2009).

Tambunan dan Mariska (2003) menyatakan penyimpanan dengan cara teknik kriopreservasi tidak memerlukan tindakan subkultur yang berulang-ulang sehingga lebih efisien dari segi biaya, waktu, ruang penyimpanan, dan tenaga. Keberhasilan teknik kriopreservasi tidak hanya ditunjukkan dengan kemampuan hidup regenerasi bahan tanaman pasca kriopreservasi, tetapi juga ditentukan oleh tingkat stabilitas genetiknya.

(21)

Hal sama juga dilaporkan dalam penelitian mengenai benih kakao. Hasil penelitian Budiarti et al. (1993) menyatakan bahwa penyimpanan benih kakao dengan kadar air awal sekitar 37% menyebabkan benih tumbuh akarnya selama periode simpan. Paclobutrazol 10 hingga 250 ppm dapat digunakan untuk menekan jumlah benih berakar hingga periode simpan 6 minggu. Penghambatan tumbuh oleh paclobutrazol masih berlangsung saat pembibitan.

Metode penyimpanan benih rekalsitran yang baru-baru ini ditemukan adalah penggunaan bangun piramida. Pemilihan metode bangun piramida sangat menguntungkan, selain karena piramida bisa dibuat dalam skala rumah tangga, metode ini cukup efektif karena dapat mempertahankan viabilitas benih lebih lama dari penyimpanan biasa. Piramida yang digunakan untuk pengawetan tumbuhan obat mahkota dewa adalah piramida kayu yang memiliki alas berupa persegi dengan sisi berukuran 0.5 cm dan sisi miring berukuran 0.5 cm. Penyimpanan benih dilakukan di dalam ruangan (indoor) dengan menempatkan benih di dalam piramida dan piramida dikondisikan sisi-sisinya menghadap arah mata angin. Pengkondisian piramida tersebut mampu mempertahankan viabilitas benih mahkota dewa selama lebih dari 2 bulan (Hidayat et al., 2011).

Pengemasan

Sistem pengemasan diperlukan dalam penyimpanan benih. Saat ini dikenal berbagai sistem kemasan yang sering digunakan dalam penyimpanan benih rekalsitran. Bahan dari jenis kain blacu yang di dalamnya di beri media serbuk sabut kelapa dan dimasukkan ke dalam besek dapat digunakan sebagai bahan kemasan benih jenis rekalsitran. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yuniarti et al. (2008a) yang menyatakan untuk memperlambat laju penurunan viabilitas benih

(22)

berkecambah sebesar 77.67%, kecepatan berkecambah 7.8%/hari, dan kadar air benih 43.40%.

Bahan dari jenis styrofoam yang didalamnya di beri media serbuk sabut kelapa bisa digunakan sebagai bahan kemasan benih rekalsitran. Hasil penelitian Yuniarti et al. (2008b) menyatakan untuk memperlambat laju penurunan viabilitas benih dengan karakteristik benih rekalsitran jenis tengkawang (Shorea stenoptera) diperlukan penanganan benih yang tepat dan salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah wadah pengemasan benih selama transportasi yang akan mendukung pengadaan benih dari jenis rekalsitran. Teknik pengemasan untuk transportasi benih yang terbaik untuk jenis tengkawang adalah perlakuan benih yang dimasukkan ke dalam kotak styrofoam yang didalamnya diberi media serbuk sabut kelapa. Perlakuan ini dapat menghasilkan nilai daya berkecambah sebesar 53,33% dan nilai kadar air benih sebesar 45,09%.

Bahan dari jenis plastik berlubang yang didalamnya diberi media serbuk sabut kelapa dan dimasukkan ke dalam besek ternyata juga dapat digunakan sebagai bahan kemasan benih jenis rekalsitran. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yuniarti et al. (2009) yang menyatakan untuk menekan laju penurunan viabilitas benih bagi benih yang bersifat rekalsitran seperti jenis gaharu diperlukan penanganan benih yang tepat. Benih yang dalam pengangkutannya memerlukan waktu ±30 jam dan dengan mobil bak terbuka sebaiknya dimasukkan ke dalam besek dengan media serbuk sabut kelapa yang dimasukkan ke dalam kantong plastik berlubang, agar persen kecambah dapat dipertahankan sampai 63.33% dengan kadar air benih 63.04%.

Usaha penyimpanan benih secara konvensional sudah banyak dilakukan tetapi hasil yang diperoleh merupakan penyimpanan jangka pendek. Umumnya benih rekalsitran dapat disimpan dalam jangka waktu beberapa minggu dengan cara menurunkan kadar airnya hingga batas kritiknya kemudian disemprot dengan fungisida dan disimpan dalam kemasan yang masih memungkinkan terjadinya pertukaran udara tetapi impermeabel terhadap uap air (Hidayat et al., 2011).

(23)
(24)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Pasirkuda, Ciomas, Bogor dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian dimulai pada Februari sampai Mei 2011.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah benih berupa bonggol pisang kepok Varietas Unti Sayang, media tanah, dan fungisida Dithane M-45. Alat yang digunakan adalah gunting, meteran, ember, timbangan, kertas label, cangkul, termohigrometer, alat vacum Foodsaver tipe Compac II-Vac 550, Impulse Sealer tipe PFS-200P, dan pembungkus bonggol yang terdiri atas plastik PP (p=40 cm, l=25 cm, t=0.8 mm ) dan plastik vacum (p=400 cm, l=26 cm, t=1.2 mm).

Metode Penelitian

(25)

bonggol, sehingga bonggol yang digunakan sebanyak 75 bonggol. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan grafik dan standar deviasi karena keterbatasan jumlah dan besarnya keragaman benih. Perlakuan dengan rata-rata terbaik dipilih sebagai bahan untuk percobaan kedua.

Percobaan II adalah percobaan lanjutan untuk menentukan cara penyimpanan benih yang tepat agar viabilitas benih tetap terjaga dengan baik. Penelitian ini terdiri dari enam kombinasi perlakuan, yaitu antara jenis kemasan dan aplikasi fungisida. Jenis kemasan terdiri dari tanpa kemasan (A1), plastik PP (p=40 cm, l=25 cm, t=0.8 mm) (A2), dan plastik vacum (p=400 cm, l=26 cm, t=1.2 mm) (A3). Aplikasi fungisida terdiri dari tanpa fungisida (B1) dan menggunakan fungisida (B2). Setiap perlakuan terdiri dari 5 waktu simpan yang berbeda sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdapat 5 bonggol maka total bonggol yang akan digunakan sebanyak 150 bonggol. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan tabel pada berbagai periode simpan karena keterbatasan jumlah bahan dan besarnya keragaman benih (bonggol).

Pelaksanaan Penelitian

Percobaan 1

Persiapan bonggol dilakukan dengan memilih bonggol yang berasal dari anakan pisang dengan rata-rata tinggi anakan 1.10 m, selanjutnya bonggol dipotong 10 cm diatas pangkal bonggol. Bonggol dicuci bersih dan direndam dalam larutan fungisida Dithane M-45 selama 15 menit dengan konsentrasi 2 g/L, kemudian dikering anginkan selama 10 menit, ditimbang dan diukur bobotnya. Bonggol diklasifikasikan menjadi 5 bagian. Bonggol kemudian dicacah menjadi 4 bagian dengan ukuran yang sama lalu di tanam pada lahan yang telah tersedia. Pengamatan dilakukan dalam interval 2 minggu yaitu minggu ke-2, ke-4, ke-6 dan ke-8.

Percobaan 2

(26)

dipotong 10 cm diatas pangkal bonggol, kemudian dicacah sesuai jumlah tunas yang ada dengan ukuran 10x10x10 cm (Nasir et al., 2006). Bonggol yang telah dicacah selanjutnya dicuci bersih. Sebagian bonggol direndam dalam larutan fungisida Dithane M-45 selama 15 menit dengan konsentrasi 2 g/L, kemudian dikering anginkan selama 10 menit sedangkan sebagian lagi tidak direndam fungisida. Masing-masingperlakuan siap untuk dikemas.

Bonggol yang telah siap kemudian dikemas menggunakan kemasan plastik PP dan plastik vacum, sementara sisanya tidak dikemas. Pengamatan dilakukan dalam interval 2 minggu yaitu minggu ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-10, dan ke-12 dengan cara menanam tiap perlakuan di persemaian.

Pengamatan

Tolok ukur yang diamati pada percobaan 1 adalah :

1. Viabilitas benih (Potensi Tumbuh Maksimum)

2. Jumlah tunas yang dihasilkan perbonggol

3. Waktu munculnya tunas (Hari)

4. Keseragaman tanaman (jumlah daun dan tinggi tanaman)

(27)

Tolok ukur yang diamati pada percobaan 2 adalah :

1. Persentase terserang penyakit sebelum dan sesudah tanam

2. Viabilitas benih (Potensi Tumbuh Maksimum)

3. Waktu munculnya tunas (hari)

4. Keseragaman tanaman (jumlah daun dan tinggi tanaman)

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan suhu dan RH

Rata-rata suhu di dalam ruang penyimpanan adalah 25.31ºC, dengan rata-rata RH mencapai 65.82%, sedangkan rata-rata-rata-rata suhu di luar ruang penyimpanan adalah 27.89ºC dengan rata-rata RH mencapai 57.21% (Lampiran 1). Data ini menunjukkan bahwa di dalam ruang penyimpanan suhunya lebih rendah daripada di luar ruang penyimpanan tetapi kelembaban udara di dalam ruang penyimpanan lebih tinggi daripada di luar ruang penyimpanan.

Kelembaban yang tinggi di dalam ruang penyimpanan menyebabkan benih menyerap uap air dari lingkungannya. Hasil penelitian Budiarti et al., (1993) menyatakan pada lingkungan berkelembaban nisbi rendah, benih melepaskan kandungan airnya sampai mencapai keseimbangan, sebaliknya pada kondisi lembab benih menyerap air dari lingkungan.

Percobaan 1 : Penentuan ukuran bonggol yang tepat

Bonggol yang digunakan dalam percobaan 1 adalah bonggol yang berasal dari anakan dengan tinggi rata-rata 1.10 m (B1, B2, B3, B4) dan 1.87 m (B5). Anakan dengan tinggi 1.10 m belum mempunyai tunas yang muncul pada bagian bonggolnya. Anakan yang biasanya telah memiliki tunas pada bagian bonggolnya adalah anakan dengan tinggi rata-rata 1.87 m. Jumlah bonggol yang tersedia di lapang cukup terbatas dan beragam. Oleh karena itu, cukup sulit untuk mendapatkan jumlah bonggol yang sesuai dan seragam.

Gambar 1 menunjukkan bahwa potensi tumbuh maksimum tertinggi terdapat pada B5 (bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm). Rata-rata potensi tumbuh maksimum B5 sebesar 73.33%, berbeda sangat jauh dengan B1 sebesar 13.89%, B2 sebesar 4.17%, B3 sebesar 4.17%. dan B4 sebesar 11.11% (Lampiran 2). Potensi tumbuh maksimum menunjukkan kemampuan benih untuk tumbuh baik normal maupun abnormal pada kondisi tertentu. Semakin tinggi potensi tumbuh maksimumnya maka benih itu semakin baik.

(29)

seragam. Walaupun B5 memiliki potensi tumbuh maksimum tertinggi daripada B1, B2, B3 dan B4 tetapi nilai standar deviasi B5 juga tinggi yaitu sebesar 46.1, sedangkan nilai standar deviasi bonggol lain relatif lebih kecil yaitu B1 sebesar 10.48, B2 sebesar 4.16, B3 sebesar 7.22, dan B4 sebesar 4.82. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus dalam perbanyakan bonggol pisang agar bonggol tumbuh dengan seragam.

Gambar 2 menunjukkan bonggol yang terbaik menghasilkan tunas adalah B5 (bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm). Tunas yang dihasilkan B5 sebanyak 3 tunas per bonggol. Hasil ini sangat berbeda jauh dengan bonggol lainnya. B1 menghasilkan rata-rata sebesar 0.6 tunas per bonggol, B2 dan B3 menghasilkan sebesar 0.2 tunas per bonggol serta B4 sebesar 0.4 tunas per bonggol (Lampiran 3).

Jumlah tunas yang dihasilkan B5 lebih tinggi daripada B1, B2, B3, dan B4, tetapi nilai standar deviasi B5 cukup tinggi yaitu sebesar 1.7. Nilai ini lebih tinggi daripada B1 (0.4), B2 (0.2), B3 (0.3), dan B4 (0.2). Rata-rata standar deviasi menunjukkan besarnya keragaman dari data yang diamati. Semakin besar

(30)

nilai standar deviasinya maka jumlah tunas yang dihasilkan semakin tidak seragam.

(31)

setelah tanam atau sekitar 5 minggu setelah persemaian, sedangkan B1 memunculkan tunas pada 41 hari setelah tanam dan B4 memunculkan tunas pada 48 hari setelah tanam. Nilai yang didapatkan oleh B5 sesuai dengan hasil penelitian Purwanto dan Sujiprihati (1985) yang menunjukkan waktu munculnya tunas belahan bonggol adalah 35.7 hari setelah tanam dan persentase munculnya tunas sebesar 46%.

Rata-rata standar deviasi menunjukkan besarnya keragaman dari data yang diamati. Semakin besar nilai standar deviasinya maka datanya semakin tidak seragam. B4 dan B5 memiliki nilai standar deviasi yang kecil yaitu B5 (7) dan B4 (4.04). Artinya waktu munculnya tunas B4 dan B5 relatif seragam dibandingkan perlakuan B1 (10.44), B2 (29.31) dan B3 (27.71).

Keterangan :

Gambar 3. Rata-rata waktu munculnya tunas (hari) pada delapan minggu setelah tanam

Gambar 4. menunjukkan bonggol yang terbaik pertumbuhannya diamati dari jumlah daun yang dihasilkan adalah B1, B4, dan B5. Jumlah rata-rata daun B5 sebesar 1.45 daun per tunas, sedikit lebih tinggi daripada B1 sebesar 1.33 daun per tunas dan B4 sebesar 1.17 daun per tunas (Lampiran 5). B2 dan B3 hanya menghasilkan jumlah daun masing-masing sebesar 0.33 daun per tunas.

(32)

Rata-rata standar deviasi menunjukkan besarnya keragaman dari data yang diamati. Semakin besar nilai standar deviasinya maka datanya semakin tidak seragam. B4 dan B5 memiliki standar deviasi yang kecil yaitu 0.29 dan 0.38. Artinya jumlah daun yang muncul relatif seragam daripada B1 (0.67), B2 (0.58) dan B3 (0.58).

Gambar 4. Rata-rata Jumlah daun per tunas pada delapan minggu setelah tanam

Gambar 5. menunjukkan bonggol yang terbaik pertumbuhannya diamati dari tinggi tunas adalah B1, B4, dan B5. Bonggol yang paling tinggi pertumbuhannya adalah B1 sebesar 19.52 cm dan disusul oleh B5 sebesar 14.28 cm dan B4 sebesar 11.01 cm (lampiran 6). B2 dan B3 hanya memiliki rata-rata tinggi tunas sebesar 6.41 cm dan 5.46 cm.

(33)

Keterangan :

Gambar 5. Rata-rata tinggi tunas (cm) pada delapan minggu setelah tanam

Bila diamati dari jumlah daun yang dihasilkan bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm pertumbuhannya dapat dikatakan cukup cepat. Namun, bila dilihat dari pertumbuhan tinggi tunasnya bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm pertumbuhanya dapat dikatakan cukup lambat. Hasil penelitian Tri et al. (2006) menyatakan bonggol yang ditanam dalam media tanah mampu menghasilkan jumlah daun sebesar 0.73 daun per tunas sedangkan tinggi tanamannya sebesar 27.27 cm pada 35 hari setelah tanam.

Bonggol yang terbaik untuk digunakan pada percobaan kedua adalah B5 (bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm). Walaupun B5 memiliki standar deviasi yang cukup tinggi tetapi jumlah tunas yang dihasilkan dan potensi tumbuh maksimumnya paling tinggi daripada bonggol lainnya. Bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm biasanya telah memiliki mata tunas pada setiap bongolnya. Sedangkan bonggol lainnya (B1, B2, B3, dan B4) belum memiliki mata tunas. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya tidak diukur lagi bobot dan diameternya. Bahan tanaman langsung menggunakan bonggol yang telah memiliki mata tunas saja.

(34)

Percobaan 2 : Penentuan teknik penyimpanan

Bonggol yang digunakan pada percobaan kedua adalah bonggol anakan dengan tinggi rata-rata 1.87 m (Gambar 6a). Anakan yang telah memiliki tinggi rata-rata 1.87 biasanya telah memiliki tunas pada bonggolnya (Gambar 6b). Jumlah tunas yang tersedia biasanya 2 mata tunas per bonggol. Jumlah bonggol yang tersedia di lapang cukup terbatas dan beragam. Oleh karena itu cukup sulit untuk mendapatkan jumlah bonggol yang sesuai dan seragam.

(a) (b)

Gambar 6. Contoh bonggol (a) dan contoh mata tunas pada bonggol (b)

Tabel 1. Persentase terkena cendawan sebelum tanam (%)

Perlakuan Waktu Simpan (Minggu) 0 2 4 6 8 Tanpa Kemasan Tanpa Fungisida 0 100 100 100 100

Fungisida 0 100 100 100 100 Plastik PP Tanpa Fungisida 0 40 100 100 100 Fungisida 0 60 100 100 100 Pastik Vacum Tanpa Fungisida 0 0 0 0 0

Fungisida 0 0 0 0 0

(35)

6 minggu, dan 8 minggu juga mencapai 100%. Hasil berbeda didapatkan pada penyimpanan 2 minggu. Bonggol yang dikemas plastik PP tanpa fungisida dan plastik PP dan menggunakan fungisida terkena cendawan masing-masing sebesar 40% dan 60%. Bonggol yang dikemas plastik vacum baik tanpa fungisida maupun menggunakan fungisida tidak terserang cendawan selama penyimpanan.

Bonggol yang tidak dikemas maupun dikemas dengan plastik PP masih terserang cendawan selama penyimpanan, baik diberi perlakuan fungisida maupun tidak (Gambar 7a). Bonggol yang dikemas plastik vacum baik tanpa fungisida maupun dengan fungisida sama sekali tidak terkena cendawan (Gambar 7b).

Cendawan datang dari udara atau tanah yang masih menempel pada benih yang tidak dibersihkan secara baik. Oleh karena itu benih yang kedap udara lebih memungkinkan untuk terhindar dari terserang cendawan karena tidak ada pertukaran udara antara di dalam dan di luar kemasan.

Cendawan yang diduga sering menyerang benih pisang dalam penyimpanan adalah Fusarium sp. non patogen, menurut Djaafar et al. (2001) keberadaan genera Fusarium dan kapang dengan miselia putih bersepta selama penyimpanan berasal dari kontaminasi selama penanganan lepas panen misalnya dari tanah, debu atau wadah untuk pengeringan. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Hernadi (1981) yang menyatakan dari hasil pengujian berbagai varietas pisang lokal di Samarinda didapatkan bahwa pisang Kepok, Pisang Susu, Pisang Raja, dan Pisang kapas memiliki ketahanan yang rendah terhadap cendawan Fusarium oxysporium f. cubens. Oleh karena itu, pisang kepok yang digunakan dalam penelitian ini mudah terserang cendawan

(a) (b)

(36)

Tabel 2. Persentase terkena cendawan setelah tanam (%)

Perlakuan Waktu Simpan (Minggu)

0 2 4 6 8

Tanpa Kemasan Tanpa Fungisida 0 0 0 0 0 Fungisida 0 0 0 0 0 Plastik PP Tanpa Fungisida 0 0 0 0 0 Fungisida 0 0 0 0 0 Pastik Vacum Tanpa Fungisida 0 0 60 90 0 Fungisida 0 0 40 40 0

Tabel 2 menunjukkan pada saat setelah ditanam, bonggol tetap berpotensi untuk terkena cendawan. Bonggol yang tidak dikemas maupun yang dikemas plastik PP tidak terkena cendawan setelah penanaman di persemaian, baik diberi perlakuan fungisida maupun tidak. Sebaliknya bonggol yang dikemas plastik vacum tanpa fungisida terkena cendawan setelah penanaman di persemaian dengan penyimpanan 4 minggu dan 6 minggu sebesar 60% dan 90%. Sama halnya dengan bonggol yang dikemas plastik vacum menggunakan fungisida terkena cendawan setelah penanaman di persemaian dengan penyimpanan 4 minggu dan 6 minggu yang mencapai 40%, namun pada penyimpanan 2 dan 8 minggu bonggol yang dikemas plastik vacum, baik dengan fungisida maupun tanpa fungisida tidak terkena cendawan sama sekali.

Cendawan yang menyerang di persemaian diduga dari jenis cendawan saprofit, berwarna putih, terdapat batang sebagai penopang tajuk yang juga berwarna putih, dan muncul dari dalam tanah (Gambar 8). Cendawan ini hanya muncul pada bonggol yang dikemas plastik vacum tanpa fungisida dan plastik vacum dan menggunakan fungisida dengan penyimpanan 4 minggu dan 6 minggu.

(37)

Tabel 3. Potensi Tumbuh Maksimum (%) pada empat minggu setelah tanam

Potensi tumbuh maksimum pada empat minggu setelah tanam ditunjukkan oleh Tabel 3. Bonggol yang tidak dikemas dan tanpa fungisida mampu tumbuh dengan baik sampai waktu simpan 6 minggu yaitu sebesar 40%, sedangkan bonggol yang tidak dikemas dan menggunakan fungisida dan bonggol yang dikemas plastik PP dan menggunakan fungisida mampu tumbuh baik sampai waktu simpan 4 minggu yaitu sebesar 20%. Bonggol yang hanya mampu tumbuh baik setelah disimpan 2 minggu adalah bonggol yang dikemas plastik PP tanpa fungisida yaitu sebesar 80%. Bonggol yang dikemas plastik vacum, baik tanpa fungisida maupun menggunakan fungisida tidak mampu tumbuh sama sekali setelah penyimpanan.

(38)

Bonggol yang tidak tumbuh sama sekali setelah disimpan adalah perlakuan bonggol yang dikemas plastik vacum tanpa fungisida dan dengan fungisida. Perlakuan ini menggunakan kemasan kedap udara sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran udara yang menyebabkan benih berespirasi anaerob. Hasil dari respirasi anaerob salah satunya adalah alkohol yang dapat meracuni bonggol pisang.

Darussamin (1979) yang meneliti benih karet mengemukakan bahwa konservasi anaerobik menyebabkan laju kemunduran benih lebih cepat dibandingkan dengan konservasi aerobik akibat kandungan alkohol dan kebocoran membrannya yang lebih tinggi.

Tabel 4. Rata-rata waktu munculnya tunas (hari) pada empat minggu setelah tanam

Rata-rata waktu munculnya tunas pada empat minggu setelah tanam ditunjukkan oleh Tabel 4. Bonggol yang tidak dikemas, baik tanpa fungisida maupun menggunakan fungisida rata-rata bertunas 28 hari setelah tanam pada penyimpanan 2 minggu dan 4 minggu, namun bonggol yang tidak dikemas tanpa fungisida memunculkan tunas lebih cepat pada penyimpanan 6 minggu yaitu 14 hari setelah tanam.

(39)

Rata-rata waktu munculnya tunas menunjukkan kecepatan tumbuh dari bonggol yang disemaikan. Semakin cepat benih bertunas maka akan semakin baik. Bonggol rata-rata bertunas 28 hari setelah tanam. Waktu munculnya tunas ditunjukkan lebih cepat oleh bonggol yang dikemas plastik PP tanpa fungisida dan plastik PP menggunakan fungisida dengan penyimpanan 2 minggu yaitu 14 hari dan 25 hari setelah tanam serta bonggol yang tidak dikemas tanpa fungisida dengan penyimpanan 6 minggu sebesar 14 hari setelah tanam. Ini disebabkan bonggol telah bertunas pada saat penyimpanan.

Bonggol diduga tetap mengalami pertumbuhan pada saat di penyimpanan, tetapi pertumbuhannya sangat lambat. Saat bonggol disemaikan di lapang barulah pertumbuhan bonggol kembali cepat. Biasanya pada 2 minggu setelah tanam bonggol mulai memunculkan akar, tetapi belum memunculkan tunas. Penyebabnya adalah kebutuhan benih untuk penyerapan air dan hara. Barulah setelah penanaman sekitar 4 minggu atau 28 hari bonggol mulai memunculkan tunas (gambar 8).

Gambar 9. Contoh akar yang muncul pada bonggol yang berumur dua minggu setelah tanam

Tabel 5. Rata-rata jumlah daun per tunas pada empat minggu setelah tanam

(40)

Tabel 5 menunjukkan jumlah daun per tunas pada empat minggu setelah tanam. Bonggol yang tidak dikemas tanpa fungisida memunculkan daun pada penyimpanan 2 minggu dan 6 minggu sebesar 1 daun dan 1.5 daun. Bonggol dengan perlakuan lainnya tidak memunculkan daun sama sekali pada penyimpanan 2 minggu sampai 8 minggu.

Biasanya bonggol belum aktif memunculkan daun pada 4 minggu setelah tanam sehingga belum banyak bonggol yang memunculkan daun pada 4 minggu setelah tanam. Oleh karena itu, pada persemaian bonggol pisang, benih biasanya disemaikan minimal selama 3 bulan setelah tanam agar setidaknya telah tumbuh 2 sampai 3 helai daun sebelum di pindah ke kebun (Mulyani et al., 2008).

Tabel 6. Rata-rata tinggi tunas yang muncul pada empat minggu setelah tanam

Perlakuan Waktu Simpan (Minggu)

Tinggi tunas yang muncul pada empat minggu setelah tanam ditunjukkan oleh Tabel 6. Bonggol yang tidak dikemas dan tanpa fungsida memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi tunas yang lebih baik daripada bonggol yang tidak dikemas dan menggunakan fungisida. Bonggol yang dikemas plastik PP dan tanpa fungisida rata-rata pertumbuhan tinggi tunasnya lebih rendah daripada bonggol yang dikemas plastik PP dan menggunakan fungisida. Bonggol yang dikemas plastik vacum baik tanpa fungisida maupun menggunakan fungisida dengan penyimpanan 2 minggu sampai 8 minggu tunasnya tidak tumbuh sama sekali.

(41)
(42)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang didapatkan adalah benih pisang yang diperbanyak menggunakan bonggol dengan bobot 7400 g dan diameter 22.4 cm menghasilkan 3 tunas per bonggol dan potensi tumbuh maksimum 73.33%, terbaik bila dibandingkan dengan ukuran bonggol lainnya.

Bonggol yang dikemas plastik PP dan vacum memiliki viabilitas yang lebih kecil daripada bonggol yang tidak dikemas baik dari segi potensi tumbuh maksimum maupun dari segi pertumbuhan tinggi tunasnya. Selama penyimpanan 6 minggu bonggol yang tidak dikemas tanpa fungisida masih memiliki potensi tumbuh maksimum sebesar 40%.

Saran

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Ariany, R. 2009. Teknik pengemasan dan transportasi benih rekalsitran dan bibit siap tanam jenis Nyemplung (Callophyllum inophyllum) dan Meranti (Shorea sp.). http://bpthbalinusra.net. [03 Agustus 2011].

BPS. 2009. Produksi buah-buahan di Indonesia. http://www.bps.go.id. [11 November 2010].

Buddenhagen, I. W., H. Nugroho, Witjaksono, dan Sobir. 2008. Berita resmi pendaftaran varietas lokal. http://www.deptan.go.id. [15 September 2011].

Budiarti, T., E. Widajati, dan A. Qadir. 1993. Penggunaan zat pengatur tumbuh tanaman pada beberapa benih rekalsitran untuk meningkatkan daya simpan dan vigor bibit. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 50 hal.

Darussamin, A. 1979. Pengaruh penyimpanan aerobik dan anaerobik terhadap biokimia dan fisiologi benih karet (Hevea brasiliensis, Muel Arg). Tesis. Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor.

Deptan. 2009. Produktivitas hortikultura tahun 2000-2009. http://www.deptan.go.id. [11 november 2010].

Deptan. 2006. Teknik Perbanyakan Bibit Pisang Sehat Secara Mudah dan Cepat. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Besar Pegkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Nusa Tenggara Barat.

Djaafar, T. F., E. S. Rahayu dan S. Rahayu. 2001. Kontaminasi kapang selama penyimpanan benih jagung dan hubungannya dengan daya kecambah. J. II. Pert. Indon. 10(2):46-49.

Ernawati, A., A. Purwito, dan K. Suketi. 1994. Studi perbanyakan cepat Pisang Raja Bulu, Pisang Ambon Kuning, dan Pisang Barangan dengan teknik kultur jaringan. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 35 hal.

(44)

Hidayat, R., Dahlan, dan R. W. Atmaja. 2011. Bangun piramida sebagai metode baru penyimpanan benih tumbuhan obat Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 9 hal.

Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan, dan Penyimpanan Benih. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 127 hal.

Masano dan Mawazin. 1997. Penyimpanan benih Shorea selanica Blume. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Bogor. (summary).

Menegristek. 2000. Pisang. Kementrian Negara Riset dan Teknologi, Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu dan Teknologi. Jakarta. 13 hal.

Mulawarman, J. M. Roshetko, S. H. Sasongko, dan Djoko Irianto. 2002. Pengelolaan Benih Pohon (Sumber Benih, Pengumpulan dan Penanangan Benih). International Centre for Research in Agroforenstry dan Winrock International. Bogor. 45 hal.

Mulyani, N., Suprapto, dan J. Hendra. 2008. Teknologi Budidaya Pisang. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Lampung. 33 hal.

Nasir, N., Prisdiminggo, dan M. Nazam. 2006. Teknologi pengadaan benih pisang secara cepat, sederhana dan bermikoriza untuk lahan marginal. http://www.ntb.litbang.deptan.go.id. [11 November 2010].

Poerwanto, R. dan S. Sujiprihati. 1985. Studi pengaruh jenis bibit serta taraf pemupukan nitrogen terhadap pertumbuhan dan produksi pisang. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 47 hal.

Puspita, A. 2009. Beberapa Alternatif Metode Penyimpanan Benih Jenis Rekalsitran. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. 383-386 hal.

Santoso, P. J. 2008. Produksi benih pisang dari rumpun in situ. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Sumatera Barat. 25-33 hal.

Simmonds, N. W. 1966. Bananas. Longman Ltd. London. 512p.

Suhartanto, M. R., Sobir, H. Harti, dan M. A. Nasution. 2009. Pengembangan Pisang sebagai Penopang Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Pertanian IPB. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 600-608.

(45)

Syamsuwida, D., A. Aminah, dan A. R. Hidayat. 2007. Penyimpanan semai asal benih rekalsitran jenis Agathis dammara. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 4(3):135-142.

Tambunan, I. R., dan I. Mariska. 2003. Pemanfaatan teknik Kriopreservasi dalam penyimpanan plasma nutfah tanaman. Bul. Plasma Nutfah. 9(2):10-18.

Tri, R. E., Awaludin, A. Susanto. 2006. Pengaruh media terhadap pertumbuhan bibit pisang susu asal bonggol di Sambelia, Lombok Timur, NTB. BPTP NTB. Lombok Timur.

Yuniarti, N., D. Syamsuwida, dan E. Suita. 2008a. Teknik pengemasan dan transportasi benih untuk karakteristik benih rekalsitran jenis Damar. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 5(2):259-267.

__________., D. Syamsuwida, E. Rohani, dan A. Rahmat. 2008b. Dampak Pengemasan terhadap Viabilitas Benih Tengkawang (Shorea stenoptera) Selama Transportasi. Prosiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. 213-219 hal.

(46)

\

(47)

Lampiran 1. Suhu dan RH penyimpanan

Tempat Pengamatan Suhu (⁰C) RH (%) Dalam ruang penympanan 25.31 65.82

Luar ruang penimpanan 27.89 57.21

Lampiran 2. Rata-rata Potensi Tumbuh Maksimum (%) pada delapan minggu setelah tanam

Perlakuan

Ulangan

Rata-rata Standar deviasi I II III

Bonggol dengan bobot rata-rata 733.33 g

dan diameter 11.53 cm (b1) 12.5 25 4.17 13.89 10.48434 Bonggol dengan bobot rata-rata 1298.3 g

dan diameter 14.60 cm (b2) 8.33 4.17 0 4.166667 4.165001 Bonggol dengan bobot rata-rata 1728.3 g

dan diameter 15.73 cm (b3) 0 12.5 0 4.166667 7.216878 Bonggol dengan bobot rata-rata 2644.4 g

dan diameter 18.12cm (b4) 16.67 8.33 8.33 11.11 4.815101 Bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g

dan diameter 22.4 cm (b5) 100 100 20 73.33333 46.18802

Lampiran 3. Rata-rata Jumlah Tunas pada delapan minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan

Rata-rata

Standar deviasi I II III

Bonggol dengan bobot rata-rata 733.33 g dan diameter 11.53 cm (b1)

0.5 1 0.2 0.6 0.4

Bonggol dengan bobot rata-rata 1298.3 g dan diameter 14.60 cm (b2)

0.3 0.2 0 0.2 0.2

Bonggol dengan bobot rata-rata 1728.3 g dan diameter 15.73 cm (b3)

0 0.5 0 0.2 0.3

Bonggol dengan bobot rata-rata 2644.4 g dan diameter 18.12cm (b4)

0.7 0.3 0.3 0.4 0.2

Bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g dan diameter 22.4 cm (b5)

4 4 1 3 1.7

Lampiran 4. Rata-rata waktu munculnya tunas (hari) pada delapan minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Rata-rata Standar deviasi I II III

Bonggol dengan bobot rata-rata 733.33 g

dan diameter 11.53 cm (b1) 48 46 29 41 10.44031 Bonggol dengan bobot rata-rata 1298.3 g

dan diameter 14.60 cm (b2) 43 56 0 33 29.3087 Bonggol dengan bobot rata-rata 1728.3 g

dan diameter 15.73 cm (b3) 0 48 0 16 27.71281 Bonggol dengan bobot rata-rata 2644.4 g

dan diameter 18.12cm (b4) 43 50 50 47.66667 4.041452 Bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g

(48)

Lampiran 5. Rata-rata Jumlah daun pada delapan minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Rata-rata Standar deviasi I II III

Bonggol dengan bobot rata-rata 733.33 g

dan diameter 11.53 cm (b1) 0.67 1.33 2 1.333333 0.665006 Bonggol dengan bobot rata-rata 1298.3 g

dan diameter 14.60 cm (b2) 1 0 0 0.333333 0.57735 Bonggol dengan bobot rata-rata 1728.3 g

dan diameter 15.73 cm (b3) 0 1 0 0.333333 0.57735 Bonggol dengan bobot rata-rata 2644.4 g

dan diameter 18.12cm (b4) 1.5 1 1 1.166667 0.288675 Bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g

dan diameter 22.4 cm (b5) 1.5 1.75 1 1.416667 0.381881

Lampiran 6. Rata-rata Tinggi tanaman pada delapan minggu setelah tanam

Perlakuan Ulangan Rata-rata Standar deviasi I II III

Bonggol dengan bobot rata-rata 733.33 g

dan diameter 11.53 cm (b1) 15.23 16.22 27.1 19.51667 6.585988 Bonggol dengan bobot rata-rata 1298.3 g

dan diameter 14.60 cm (b2) 11.2 7.1 0 6.1 5.666569 Bonggol dengan bobot rata-rata 1728.3 g

dan diameter 15.73 cm (b3) 0 16.37 0 5.456667 9.451224 Bonggol dengan bobot rata-rata 2644.4 g

dan diameter 18.12cm (b4) 14.18 10.75 8.1 11.01 3.048327 Bonggol dengan bobot rata-rata 7400 g

dan diameter 22.4 cm (b5) 13.75 21.5 7.6 14.28333 6.965331

Gambar

Gambar 3. Rata-rata waktu munculnya tunas (hari) pada delapan minggu setelah
Gambar 5. Rata-rata tinggi tunas (cm) pada delapan minggu setelah tanam
Tabel 1. Persentase terkena cendawan sebelum tanam (%)
Gambar 7. Contoh bonggol terserang cendawan (a) dan contoh bonggol yang tidak terserang cendawan (b)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepemimpinan ketua kelompok, keefektifan kelompok, dan keeratan hubungan dari kedua hal tersebut. Penelitian dilakukan dengan

Analisis kemampuan literasi sains peserta didik pada aspek kognitif, diketahui bahwa peserta didik telah menguasai pengetahuan konten dan pengetahuan

Semakin tinggi persentase kepemilikan manajerial pada perusahaan maka semakin tinggi motivasi manajer untuk membuat keputusan yang dapat mensejahterahkan pemegang saham

Sastrayuda (2010) konsep pengembangan ekowisata adalah Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai lingkungan telah memberikan implikasi munculnya berbagai tuntutan di semua

Menghilangkan semua sumber penyulut. Pisahkan dari bahan-bahan yang mengoksidasi. Jaga agar wadah tertutup rapat dan tersegel sampai siap untuk digunakan. Wadah yang sudah

Jika hasil panen tidak sesuai dengan harapan, petani perempuan di Gampong Blang Pala memilih untuk tidak menjual hasil pertanian mereka ke pasar. Menurut mereka,

Obyektif : anak terlihat kurus, terlihat pendiam dan pemalu, BB 8,4 kg, TB 80 cm, lingkar kepala 45 cm, LILA 15 cm, berat badan pada KMS berada dibawah garis

Berdasarkan penelitian terhadap novel Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi karya M Aan Mansyur dengan menggunakan teori psikologi behaviorisme B.F. Skinner pada bab