• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Masyarakat Dan Kelembagaan Lokal Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Pedesaan Di Kabupaten Bone

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Masyarakat Dan Kelembagaan Lokal Dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin Pedesaan Di Kabupaten Bone"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

!

" # $%%&

& $

(3)
(4)
(5)
(6)

' " + &" & " #& &"#

) $& ' * & & ' $

' % % . ' ! . ' &! !" *.

' & & ! ' . ' &! &

5 & & & " ! *

#) $& ' % " &$ ' $ $

- 5

) ! $ " $&"&" % " "' # # $

(7)
(8)
(9)

# 2

! 2 ! %()%*%)$)

! 2 ' ! ! 3!! 4

, !

' " #

,

! . + # " # ! 3+ 4 ' " ,#

, ! ! '!

' ! !

' " # ! ' , " #

(10)
(11)

)6 0 )A(6 . #

. + ! "

B ' ' ! : . 3 4"

)A&A , $ 3 $4

! " )AA6 !

$%%*

! ' ! ! ! '

! 3'! 4

2 3)4 , 5 , 0 2 0

6 , )AA( ' 1 9 3$4 7 , 0 0

1 $%%% : " 1 9 3*4 ! /:

, ! ! " )AA& ' 1 9 364 !

! # ! $%%$ '

1 9 374 ! # + $%%7 '

! '/5=! !

# " ! )AA%

)AA6 1 "

# ' # "

, , !

! ; ! ! 3#

!! ; 4 )AA7 :

# !! ; '

C - 3 ' 5- 4 1 "

(12)
(13)

. '- !/# . FFFFFFFFFFFFFFFFF 8&

, 8&

, + &7

! # , A6

! , # !

, # AA

, + " ! , - "

! , ))6

! # ! ,

# ! )$*

! " " , # ! , )$7

1 # !

, # )*%

, , # )6%

# ! # # , )6*

! ! # ! #

, - ! , # )7*

# ! , # !

)7&

,/ '#! - + )(&

, )(&

)8%

B + ! , FFFFFFFFFFFFFFFFFFFFF )8)

(14)
(15)

$ &&

* &&

6 A$

7 )*)

( # )6(

8 # )6A

& # 3

4 )(%

A #

)(*

)% # 3

4

(16)
(17)

kematian, kebingungan dan ketidaktahuan pada saat orang terbata bata dan

meraba raba untuk memahami perubahan, penyerahan nasib kepada manusia

manusia lain yang keputusannya menentukan apa yang bakal terjadi, ketidak

berdayaan menghadapi kelaparan dan bencana alam”. Goulet (Chamber 1987)

mengemukakan kemiskinan kronis adalah neraka yang kejam, dan orang tidak

dapat mengetahui betapa kejamnya neraka, semata mata dengan menatap

kemiskinan sebagai obyek belaka”. Keterbelakangan merupakan musuh seluruh

komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) dan harus diperangi

dengan meningkatkan harkat sosial ekonomi dan kultur masyarakat.

Upaya pemerintah memerangi kemiskinan terus menerus dilakukan. Pada

tahun 1976 jumlah penduduk miskin sebesar 54,2 juta jiwa , atau 40,1 persen dari

total jumlah penduduk Indonesia. Kemudian pada tahun 1981 angka tersebut

turun menjadi 40,6 juta atau 26, 9 persen, pada tahun 1990 jumlah Penduduk

miskin menurun menjadi 27 juta atau 15, 1 persen, dan terakhir pada tahun 1996

kembali mengalami penurunan menjadi 22,5 juta jiwa atau 11, 3 persen. Namun

demikian pada tahun 1997 penduduk miskin mengalami kenaikan yang sangat

luar biasa. Bappenas (2003) mencatat bahwa seiring dengan krisis ekonomi yang

mulai melanda Indonesia 1997, jumlah penduduk miskin kembali meningkat.

(18)

1998, yakni 49,5 juta jiwa atau 24, 2 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Namun demikian, dengan kecenderungan semakin membaiknya perekonomian

Indonesia, maka tingkat kemiskinan terus menerus mengalami penurunan secara

bertahap. Bappenas (2005), menemukan bahwa pada tahun 2004 jumlah penduduk

miskin sekitar 36,1 juta jiwa atau 16, 6 persen dari total jumlah penduduk.

Kemiskinan tersebut tersebar di perkotaan dan dengan rincian: (a) jumlah

penduduk miskin di perkotaan 11,5 juta jiwa (12,6 persen) ; (b) jumlah penduduk

miskin dipedesaan 24, 6 juta jiwa (19,5 persen).

Kemudian untuk memerangi kemiskinan, dibutuhkan suatu perubahan

yang dilakukan secara terencana menuju suatu arah masyarakat yang tidak

miskin. Upaya ke arah perubahan yang lebih baik tersebut disebut sebagai

pembangunan. Menurut Todaro (1977) menyatakan bahwa pembangunan adalah

proses multi dimensi yang mencakup perubahan perubahan penting dalam

struktur sosial, sikap sikap rakyat dan lembaga nasional, dan juga akselerasi

pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan ), dan pemberantasan

kemiskinan absolut. Sedangkan Bryant & White (1989) menyatakan bahwa

Pembangunan sebagai peningkatan kemampuan orang untuk mempengaruhi

masa depannya. Oleh karena itu, pembangunan dapat dipandang sebagai upaya

pembebasan manusia dari segala bentuk keterbelakangan dan ketidakberdayaan

dalam menghadapi permasalahan hidup, yang diawali dengan peningkatan

kapasitas manusia dengan mendayagunakan seluruh potensi dan kemampuan

sumber daya yang terbatas untuk membuat pilihan pilihan masa depan yang lebih

(19)

Proses penyadaran masyarakat tentang betapa pentingnya pembangunan

dalam menjaga proses kelangsungan hidup individu dan masyarakat itu sendiri

perlu ditingkatkan. Kemudian siapa yang harus melakukan proses penyadaran

masyarakat tersebut juga adalah masyarakat itu sendiri, yang telah memiliki

kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam mendorong masyarakat lain yang

buta pembangunan ke arah melek pembangunan “ ”. Upaya

tersebut dilakukan secara terus menerus (berkesinambungan) agar tujuan

pembangunan, sesuai dengan harapan masyarakat dapat diwujudkan.

Pencapaian tujuan pembangunan sebagai harapan kolektif masyarakat,

membutuhkan kerja sama produktif antar individu dalam menggerakkan aktivitas

sosial, ekonomi di kota dan desa yang lahir dan berkembang melalui proses

prakarsa yang ada di lingkungan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, peran

individu sebagai mahluk sosial dibutuhkan proses saling interaksi dalam upaya

untuk menggerakkan dinamika kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Upaya menggerakkan aktivitas dalam melakukan perubahan ke arah yang

lebih baik membutuhkan proses penyadaran untuk melakukan perubahan

terencana terhadap masyarakat. Proses penyadaran tersebut tentunya tidak dapat

dilakukan secara invidu, melainkan secara kolektif masyarakat dengan

mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya yang tersedia untuk digunakan

yang juga demi kepentingan kolektif. Upaya kolektif tersebut dilakukan agar lebih

efisien dan efektif dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Mengantisipasi proses penyadaran secara cepat dan tepat, maka

dibutuhkan organisasi untuk berkumpul dalam membangun kebersamaan dalam

(20)

lingkungan di butuhkan organisasi lokal yang lahir dan berkembang di lingkungan

itu sendiri. Organisasi lokal di maksudkan disini selain organisasi pemerintah,

dalam hal ini pemerintah desa, juga organisai non pemerintah yang lahir dan

tumbuh di lingkungan. Organisasi lokal ini daharapkan mampu menjadi penyuluh,

dalam memfasilitasi dan menggerakkan masyarakat. Di samping itu organisasi

lokal tersebut, diharapkan mampu membangun pemahaman akan betapa

pentingnya suatu pembangunan, dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan,

khususnya masalah kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat di desa.

Sebagai langkah awal, organisasi lokal perlu merumuskan secara tepat

mengenai rencana pembangunan yang bagaimana agar dapat mendorong proses

pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Untuk merumuskan apa yang

menjadi kebutuhan masyarakat diperlukan sumber daya manusia yang memiliki

perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) pembangunan.

Dalam upaya merumuskan rencana pembangunan pedesaan, maka setidak

tidaknya ada tiga langkah penting yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu:

, siapa yang menjadi kelompok kelompok sasaran (golongan miskin di

desa, atau petani kecil, nelayan, buruh tani tidak bertanah, berkebun, dan

sebagainya). , harus mampu memperkirakan besarnya kebutuhan

masyarakat menurut batasan masyarakat yang bersangkutan. , sarana dan

prasarana harus dirumuskan sedemikian rupa, untuk mendapatkan gambaran

kebutuhan pokok minimum.

Sehubungan dengan hal tersebut, keberadaan organisasi lokal ini

diharapkan dapat mendorong proses perubahan ke arah yang lebih baik yaitu

(21)

pembangunan, di lingkungan. Proses perubahan tersebut dilakukan dengan

melalui pemberdayaan masyarakat.

Perubahan perilaku masyarakat pedesaan dapat dilakukan melalui proses

pemberdayaan, sangat erat kaitannya dengan sejauh mana peran kelembagaan

lokal di itu sendiri dalam mendorong proses pembangunan. Demikian pula

kelembagaan lokal di pedesaan dapat memberikan fasilitas agar perilaku

pembangunan di lingkungan masyarakat miskin dapat tumbuh dan berkembang.

Fasilitas yang dimaksud untuk memberdayakan kegiatan produktif

masyarakat miskin dan meningkatkan posisi mereka terhadap semua

bentuk eksploitasi dan superordinasi adalah kemudahan ekonomi (

) yang benar benar nyata dan peluang peluang sosial ( )

yang memihak kepada masyarakat miskin (Bagong, 2003).

Upaya upaya mendapatkan kemudahan tersebut, yang dilakukan oleh

masyarakat miskin seringkali mengalami kegagalan. Salah satu hal yang menjadi

faktor kegagalan lebih disebabkan mental dan kinerja birokrasi yang kurang

maksimal dalam mendorong proses pemberdayaan masyarakat.

Terdapat fakta dalam menjalani kehidupan sehari hari. kelompok miskin

disinyalir tidak banyak memiliki keterkaitan, atau tidak terjadi proses interaksi

dengan organisasi sosial yang ada di lingkungan masyarakat itu sendiri.

Akibatnya seluruh akses dan kontrol atas seluruh potensi sumber daya yang

mestinya menjadi hak mereka sering kali tidak tersampaikan. Beberapa indikator

mengenai hal tersebut antara lain; Pertama, fasilitas kemudahan bagi petani

miskin dari pemerintah seperti kredit, bantuan, ternyata cenderung lebih banyak

(22)

masyarakat miskin lebih banyak terjebak oleh usaha usaha komersial baik yang

dilakukan oleh lembaga lembaga swasta, maupun para lintah darat untuk

mendapatkan kredit dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, baik untuk

kebutuhan produksi maupun konsumsi.

Kedua, aspek distribusi informasi bila dilihat dalam konteks kemiskinan

struktural ini bahwa bimbingan dan informasi yang relevan hanya berhenti sampai

kepada kalangan terbatas. Sebagaimana diungkapkan Sumardjo (1999), selama ini

pendekatan program lebih bersifat “ ” sehingga seluruh program beserta

dengan perangkatnya telah disediakan dari atas. Gejala demikian berdampak pada

tingkat partisipasi yang rendah. Demikian kompleksnya sebab kemiskinan, baik

kemiskinan alamiah, kemiskinan kultural, maupun struktural, menjadikan

kelompok miskin tak berdaya dalam mengatasi kondisi yang dihadapi.

Bebagai latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka penting dan perlu

untuk dipikirkan suatu upaya memampukan kelompok miskin yang

ada di dalam lingkungan masyarakat dengan melakukan upaya upaya

mengintegrasikan ke dalam organsiasi lokal yang memiliki misi dan visi

perubahan melalui pemberdayaan masyarakat. Upaya berkelompok pada satuan

individu miskin diduga lebih mengutamakan bagaimana hanya bisa bertahan

untuk hidup tanpa memikirkan masa depannya. Oleh karena itu, perlu ada kearifan

yang dapat melihat potensi serta faktor faktor yang berpengaruh, mampu

mendorong, memfasilitasi kesadaran dan memunculkan kekuatan

dirinya sendiri, untuk mengatasi ketidakberdayaan.

(23)

Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki

permasalahan dengan penduduk miskin yang tinggal di wilayah. 10 persen dari

total 186.211 penduduk miskin di provinsi Sulawesi Selatan berada pada wilayah

Kabupaten Bone, tepatnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bone adalah

92.360 jiwa. Hal ini mendudukkan Kabupaten Bone pada peringkat teratas dalam

jumlah penduduk miskinnya setelah Kabupaten Tana Toraja. (Depsos, 2007).

Pemerintah Kabupaten Bone memerlukan usaha keras untuk memberdayakan

masyarakat miskin agar terlepas dari jerat kemiskinan.

Kemiskinan dan batasan kemiskinan menyangkut indikator fisik dan

nonfisik yang sudah berkembang harus dipahami dalam kerangka operasionalisasi

identifikasi kemiskinan baik terhadap kelompok (menyangkut siapa?) maupun

identifikasi terhadap tipologi (menyangkut daerah mana?). Dalam konteks

kemiskinan kelompok masyarakat di tempat penelitian ini dilakukan, maka

operasionalisasi batasan kemiskinan menyangkut identifikasi kelompok

(menjawab siapa?). Dengan demikian batasan fisik dan nonfisik kemiskinan

menyangkut ukuran terhadap pemakaian garis kemiskinan ,

sedangkan yang kedua menyangkut kemampuan buruh tani untuk akses dan

kontrol terhadap sumber daya. Spektrum ukuran yang kedua (non fisik) lebih luas

karena menyangkut antara lain tingkat integrasi dalam sistem sosial,

terhadap program oleh pemerintah, motivasi dan tingkat kepercayaan diri,

interaksi sosial yang terwujud dalam tingkat pengaruh kelembagaan formal

(24)

Selanjutnya batasan kemiskinan normatif maupun absolut yang dibawa

individu dari luar kelompok miskin dan lingkungannya, harus dan senantiasa

dikomparasikan dengan batasan kemiskinan menurut kelompok miskin dan

masyarakat dimana kelompok ini berada. Karena bisa jadi kategori kemiskinan

absolut menurut orang luar, bukan merupakan bentuk kemiskinan menurut

masyarakat setempat. Dalam hal ini maka penetapan batasan absolut kemiskinan

harus dipadukan dengan batasan pengertian kemiskinan menurut masyarakat.

Dengan demikian pengertian kemiskinan bergerak dari cerita penderitaan

masyarakat masa lalu ke pengertian kondisi kekinian yang dihadapi oleh sebagian

masyarakat yang hidup dalam keadaan miskin.

Kemiskinan seharusnya didefinisikan sendiri oleh masyarakat.

Pendefinisian dan pembatasan kemiskinan oleh masyarakat sangat penting artinya

untuk membangun suatu kerangka solusi upaya memampukan

kelompok tidak berdaya. Dengan demikian untuk mengubah kondisi masyarakat

miskin di Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Selatan dari ketidakberdayaan

menjadi berdaya, maka penelitian ini penting dan perlu menjawab beberapa

rumusan permasalahan berikut ini:

1. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan?

2. Bagaimana peran kelembagaan lokal, khususnya pada organisasi

kemasyarakatan dan pemerintah lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin?

3. Bagaimana tingkat aktualisasi tanggung jawab masyarakat dalam membantu

keluarga atau kelompok miskin?

4. Bagaimana hubungan karakteristik responden, persepsi terhadap peran

(25)

perhatian dan tanggung jawab sosial dalam rangka pemberdayaan kelompok

masyarakat miskin?

5. Apa potensi potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih lanjut dalam

upaya memberdayakan kelompok masyarakat miskin?

6. Bagaimana tingkat keberdayaan kelompok masyarakat miskin?

7. Bagaimana model alternatif pemberdayaan keluarga miskin di pedesaan?

Dari rumusan masalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan

penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan pemahaman masyarakat terhadap kemiskinan.

2. Mengkaji peran kelembagaan lokal dalam pemberdayaan keluarga miskin.

3. Menguraikan tingkat aktualisasi tanggung jawab sosial masyarakat dalam

membantu keluarga atau kelompok miskin.

4. Menganalisis hubungan karakteristik responden, peran kelembagaan lokal, dan

pemahaman kemiskinan dengan tingkat aktualisasi perhatian dan tanggung

jawab sosial dalam rangka pemberdayaan kelompok masyarakat miskin.

5. Mengidentifikasi potensi potensi masyarakat yang dapat dikembangkan lebih

lanjut dalam upaya memberdayakan kelompok masyarakat miskin.

6. Menjelaskan tingkat keberdayaan kelompok masyarakat miskin.

(26)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang penyuluhan dan manfaat

praktis dalam mengembangkan alternatif upaya upaya menyelesaikan masalah

kemiskinan yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan

dapat memberikan manfaat dan digunakan:

(1) Secara akademik memperkaya ilmu pengetahuan di bidang ilmu

penyuluhan yang berkaitan dengan mengembangkan dan memberdayakan

potensi potensi masyarakat iuntuk menyelesaikan masalah masalah

kemiskinan.

(2) Sebagai dasar bagi peneliti atau kelembagaan yang berminat untuk

mengembangkan potensi masyarakat terkait peran kelembagaan lokal

dalam pemberdayaan keluarga miskin di.

Penelitian ini di laksanakan di Kabupaten Kabupaten Bone dengan

penekanan pada potensi masyarakat dan kelembagaan lokal dalam upaya

pemberdayaan terhadap keluarga miskin. Berkaitan dengan hal tersebut, maka

diperlukan defenisi istilah yang digunakan dalam penelitian untuk menghindari

pemahaman yang berbeda dan dijelaskan sebagai berikut:

(1) Potensi adalah kemampuan yang meliputi kekuatan, kesanggupan, dan daya

seseorang maupun kelompok yang mempunyai kemungkinan untuk

(27)

(2) Masyarakat adalah kelompok manusia yang lebih besar yang tinggal disatu

wlayah mempunyai kebiasaan, tradisi, perilaku di bawah suatu seperangkat

kepercayaan, ideal dan tujuan yang kemudian disatukan dalam suatu

rangkaian kehidupan bersama.

(3) Kelembagaan Lokal adalah kelompok ataupun organisasi pada level pedesaan

yang memiliki doktrin, tata nilai, norma, aturan yang mengikat setiap individu

dalam organisasi atau kelompok tersebut, meliputi organisasi atau kelompok

kemasyarakatan dan organisasi pemerintahan pada desa setempat.

(4) Pemberdayaan adalah pemberian kemudahan akses yang meliputi pemahaman

akan masalah serta kebutuhan, penguasaan dan kemampuan untuk

mendayagunakan sumber daya yang dimilki terarah untuk pebaikan nasib.

(5) Keluarga miskin adalah unit terkecil dari kelompok sosial yang terdiri dari

ayah, ibu dan anak yang tinggal dan hidup bersama dalam kondisi tidak

mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum hidup yang meliputi: (a)

sandang pangan, (b) layanan kesehatan, (c) layanan pendidikan, (d)

(28)

!

Manusia selain sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial

dalam upaya menjalin proses interaksi. Mutahhari (1986) menyatakan bahwa

masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki serangkaian

kebutuhan, kepercayaan, ideologi dan tujuan yang tersatukan dan terlebur dalam

suatu rangkaian kehidupan bersama. Ciri ciri masyarakat dalam suatu bentuk

kehidupan bersama menurut Soekanto (1982) adalah sebagai berikut: (a) manusia

yang hidup bersama; (b) bercampur untuk waktu yang cukup lama; (c) mereka

sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan; (d) mereka merupakan suatu

sistem hidup bersama.

Sementara itu Bertrand (dalam Syani, 1995) menyebutkan ada tiga ciri

masyarakat yaitu: , pada masyarakat mesti terdapat sekumpulan individu

yang jumlahnya cukup besar; individu individu tersebut harus mempunyai

hubungan yang melahirkan kerjasama diantara mereka, minimal pada satu

tingkatan interaksi; hubungan individu individu itu sedikit banyak harus

permanen sifatnya. Masyarakat ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin

yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat

yang amat kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian

yang tidak dipisahkan dari masyarakat di mana ia hidup dicintainya serta

mempunyai perasaan bersedia berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau

anggota anggota masyarakatnya yang saling mencintai dan saling menghormati,

mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan

(29)

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka ciri ciri masyarakat antara

lain:

1. Setiap warganya mempunyai hubungan yang mendalam dan erat bila

dibandingkan dengan masyarakat perkotaan.

2. Sistem kehidupan mereka pada umumnya berkelompok dengan dasar

kekeluargaan.

3. Sebagian besar sumber penghidupan mereka dari sektor pertanian

4. Cenderung homogen dalam pekerjaan, agama, adat istiadat dan lainnya.

Keseluruhan nilai dan kelembagaan masyarakat, memiliki kemanfaatan

bagi setiap anggota masyarakat tersebut. Setiap anggota dapat mempertahankan

diri dan mempertahankan eksistensinya melalui mekanisme adaptasi terhadap

kelembagaan yang telah terbangun. Pada sisi lain, setiap individu dalam prosesnya

memiliki andil dan pengaruh dalam dinamika kelembagaan masyarakat.

Dengan demikian setiap individu memiliki potensi sendiri yang dapat

menjadi model dalam upaya keberlangsungan hidupnya, baik sebagai makhluk

individu maupun sebagai mahluk sosial. Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia

(2005), potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk

dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; dan daya. Oleh karena itu potensi

sebenarnya melekat pada setiap individu dalam upaya mempertahankan dan

meningkatkan kualitas hidup sebagai individu maupun makhluk sosial.

Kelembagaan dan mekanisme yang telah terbangun dalam upaya

mempertahankan diri pada akhirnya dapat menjadi dan sekaligus potensi itu

(30)

masyarakat memberikan ruang bagi anggotanya untuk berkreasi dalam

mempertahankan eksistensinya.

"# !

Lembaga berasal dari kata institute lebih menunjuk kepada suatu

“badan” seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi dan berbagai bentuk

organisasi yang memiliki beragam tujuan (Tonny, 2003). Kelembagaan menunjuk

pada segi doktrin, tata nilai, norma, aturan yang mengikat setiap individu

anggotanya dalam berprilaku. Suatu lembaga hanya akan dapat menjalankan

fungsinya dengan baik apabila didukung oleh kelembagaan yang benar dan

dipatuhi serta mengingat bagi setiap anggotanya.

Kelembagaan sosial merupakan terjemahan dari istilah

. Koentjaraningrat (1964) menyebut kelembagaan sosial sebagai pranata

sosial, yaitu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas

aktivitas untuk memenuhi kompleks kompleks kebutuhan khusus dalam

kehidupan masyarakat. Dalam sosiologi, yang dimaksud dengan kelembagaan

sosial atau sosial institution adalah ”suatu kompleks atau sistem peraturan

peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai nilai yang penting”.

Kelembagaan memiliki tujuan untuk mengatur antarhubungan yang diadakan

untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting (Polak, 1966).

Fungsi kelembagaan sosial Doorn dan Lammers dalam Tonny (2003):

a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka

harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah masalah

(31)

b. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama maka

kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara;

c. Memberi pegangan kepada asyarakat mengadakan kontrol sosial: artinya

system pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya;

d. Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat.

Berbagai kelembagaan lokal dibentuk untuk memberikan layanan kepada

anggota khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya. Kelembagaan sosial

bertujuan memenuhi kebutuhan pokok manusia, yang dikategorikan berdasarkan

jenis jenis kebutuhan pokok tersebut. Koentjaraningrat (1993)

mengkategorikannya ke dalam delapan golongan sebagai berikut.

1. Kelembagaan kekerabatan ( ); bertujuan memenuhi

kebutuhan kehidupan kekerabatan. Contohnya; pelamaran, poligami,

pengasuhan anak, perceraian dsb.

2. Kelembagaan ekonomi, bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk

pencaharian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusikan harta

benda. Contoh; pertanian, peternakan, industri, koperasi, perdagangan dsb.

3. Kelembagaan pendidikan, bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan

(pencerahan) dan pendidikan manusia agar menajdi anggota masyarakat yang

berguna. Contoh; pendidikan dasar, menengah dan tinggi, pers dll.

4. Kelembagaan ilmiah, bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah dan menyelami

alam semesta. Contoh: pendidikan ilmiah, penelitian, metode ilmiah.

5. Kelembagaan estetika dan rekreasi, bertujuan memenuhi kebutuhan manusia

menyatakan rasa keindahannya dan untuk rekreasi. Contoh; seni rupa, seni

(32)

6. Kelembagaan keagamaan, bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk

berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib. Contoh; doa, kenduri, upacara

penyiaran agama, pantangan dll.

7. Kelembagaan politik, bertujuan memenuhi kebutuhan untuk mengatur

kehidupan berkelompok secara besar besaran atau kehidupan bernegara.

Contoh; pemerintahan, kepartaian, demokrasi, kepolisian, kehakiman dll.

8. Kelembagaan somatik, bertujuan memenuhi kebutuhan jasmani manusia.

Contoh; pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kecantikan dll.

Di samping penggolongan di atas, Uphoff (1986) melakukan

penggolongan kelembagaan berdasarkan sektor sektor sosial di tingkat lokalitas,

yaitu sektor publik ( ), sektor partisipatori ( dan

sektor swasta ( ). Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal

mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi

politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir. Sedangkan kelembagaan sektor

partisipatori merupakan kelembagaan yang tumbuh dan dikembangkan oleh

masyarakat secara sukarela, misalnya organisasi non pemerintah (NGO atau

LSM). Terakhir adalah kelembagaan sektor swasta, yang berorientasi kepada

upaya mencari keuntungan, yakni dalam bidang perdagangan, industri dan jasa.

Interaksi yang terdapat dalam kelembagaan atau dalam hal ini organisasi

kemasyarakatan memiliki kekhasan. Menurut Becker dalam Hayami dan Kikuchi

(1987), adat kebiasaan dan prinsip prinsip moral dijalankan melalui interaksi

sosial dalam komunitas desa. Interaksi sosial adalah fungsi kegunaan seseorang

untuk melibatkan reaksi orang lain ke dalam tindakannya. Jadi tradisi,

(33)

bekerja sama demi keamanan dan daya tahan minimum, suatu interksi sosial yang

akrab yang merupakan ciri ciri masyarakat desa. Selanjutnya berdasarkan teori

interaksi sosial dapat diramalkan bahwa pranata desa dapat lebih mudah

dilaksanakan apabila komunitasnya lebih terpadu dan bersifat lebih ketat.

Pada dasarnya setiap individu memiliki kecenderungan untuk berkumpul

dan melakukan interaksi sosial. Selanjutnya interaksi ini membentuk suatu

jaringan sosial. Jaringan sosial yang terbentuk telah melalui proses panjang dan

didalmnya telah terakumulasi nilai, norma, dan kebiasaan kebiasan yang

disepakati. Kesemuanya ini kemudian dapat digolongkan sebagai bagian dari

modal sosial. Dengan demikian modal sosial dapat merupakan

bentuk bentuk kepercayaan , kemauan dan kemampuan untuk melakukan

kerjasama dan berkoordinasi yang pada akhirnya merupakan energi penggerak

produktivitas kolektif (Solow , 2000).

Fukuyama (2000) menyatakan bahwa modal sosial dapat diartikan sebagai

sekumpulan nilai nilai, norma yang terbagikan dalam dan antar anggota

suatu komunitas yang menjalin dan terjalin kerjasama ! Nilai nilai

tersebut menyangkut kepercayaan maupun kejujuran. Pada akhirnya

kepercayaan dan kejujuran yang terlembagakan dalam komunitas akan menjadi

bahan pelumas yang menggerakkan kelompok menjadi lebih efisien.

Institusi masyarakat merupakan modal dasar yang dapat

dipandang sebagai aset produktif. Institusi masyarakat dapat mendorong individu

individu anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang

disetujui bersama dalam rangka meningkatkan produktivitas anggotanya secara

(34)

masyarakat secara langsung akan menurunkan produktivitas masyarakat sehingga

akan menjadi faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam di mana

masyarakat tersebut berada (Kartodiharjo, 2000).

Modal sosial berupa nilai, norma, kelembagaan kelembagaan pada

komunitas yang memiliki energi agregat yang besar bagi anggota komunitas untuk

melakukan kerjasama. Sebagaimana ditemukan oleh Sukesi, (1982), bahwa dalam

rangka menyambung hidup, ternyata pranata sosial di pedesaan sangat membantu

buruh tani dalam memenuhi kebutuhannya, dibandingkan dengan peranan

lembaga formal di desa yang tidak banyak menjangkau buruh tani. Pada sisi lain

adanya kelembagaan lokal yang tidak berdaya terkadang justru karena adanya

beberapa campur tangan pemerintah lokal (Surayana, 1998).

Dengan demikian, secara konseptual kelembagaan sosial menunjuk kepada

seperangkat norma, peraturan peraturan dan tata nilai yang dibentuk untuk

memberikan layanan kepada anggota khususnya dan kepada masyarakat pada

umumnya melalui interaksi sosial dalam suatu komunitas untuk mengatur perilaku

dalam memenuhi kebutuhannya. Kelembagaan sosial di tingkat lokal dalam

konteks penelitian ini mengacu pada Uphoff (1992) yang terdiri dari kelembagaan

sosial dalam bentuk: (1) sektor publik yaitu pemerintah lokal / pemerintah desa,

(2) sektor partisipatori yaitu organisasi kemasyarakatan, dan (3) sektor swasta

atau sektor private/pribadi.

$ "

Secara sederhana Sutarto (2002) merumuskan: Organisasi adalah sistem

saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai

(35)

terdiri atas beberapa kelompok, di mana terjadi proses interaksi di atara mereka

yang mengikuti suatu struktur tertentu dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Soedijanto (1980) menyatakan organisasi adalah suatu sistem sosial terdiri dari

dua kelompok atau lebih saling berhubungan, memiliki sistem control tertentu,

memiliki identitas bersama dan memiliki kegiatan bersama untuk mencapai tujuan

(organisasi dibentuk oleh kelompok, dan kelompok dibentuk oleh individu).

Berdasarkan berbagai pengertian organisasi tersebut di atas, maka dapat

ditemukan beberapa faktor dasar yang yang merupakan prasyarat terbentuknya

suatu organisasi, yaitu : sejumlah orang, kerjasama, dan tujuan tertentu. Ketiga

faktor tersebut tidak dapat saling lepas dan berdiri sendiri melainkan saling

berkaitan satu sama lain sebagai satu kesatuan.

Bentuk organisasi berkembang sedemikian rupa, sesuai dengan dinamika

kebutuhan manusia yang semakin berkembang. Menurut Slamet (2004) terdapat

lima ciri utama organisasi yaitu: (1) adanya kesatuan sosial yang berinteraksi satu

sama lainnya; (2) adanya koordinasi secara sadar (ada rencana, ada aturan, bias

diperbaiki, kejelasan tujuan); (3) adanya batas tertentu (dibedakan antara anggota

dan bukan anggota); (4) adanya kesinambungan (dibentuk untuk waktu yang tidak

terbatas); (5) adanya tujuan bersama (tujuan tidak bisa dicapai secara individu).

Hicks (1996) membagi organisasi dengan tiga cara pandang, yaitu menurut

strukturnya, menurut keterlibatan emosi anggotanya dan menurut tujuan dasar

organisasi tersebut. Lebih jauh klasifikasi organisasi dapat di lihat pada Tabel 1.

Hayes (1947) menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan berarti

tindakan kolektif untuk mencapai sejumlah tujuan atau maksud yang dianggap

(36)

berkenaan pada wilayah setempat dan dengan maksud dan tujuan serta

mengembangkan kehidupan dan kepentingan secara bersama. Dengan demikian

masyarakat harus mengetahui sendiri nilai nilai dan kepentingan kepentingannya

kalau hal tersebut dapat menghasilkan kondisi kondisi kehidupan yang

memuaskan dan seimbang.

Tabel 1: Kategori Pembagian Organisasi (Hicks 1996)

Berdasarkan Struktur Berdasarkan Keterlibatan

• Setiap organisasi dibentuk tidak lain adalah untuk

• Terdapat beberapa jenis organisasi yang didasarkan

Ross (1967) memberi pengertian organisasi kemasyarakatan sebagai

suatu proses dimana masyarakat mengidentifikasi kenutuhan kebutuhan atau

tujuan tujuannya, mengatur (atau menyusun) kebutuhan kebutuhan dan tujuan

tujuan tersebut, mengembangkan kepercayaan dan kehendak untuk mencapai

kebutuhan kebutuhan dan tujuan tujuan tersebut, menemukan sumberdaya

(internal dan atau eksternal) dalam menghadapi kebutuhan kebutuhan dan tujuan

tujuan tersebut dan juga melakukan perluasan atau mengembangkan sikap sikap

(37)

Secara akademik dalam definisi umumnya Ruwiyanto (2003)

mengemukakan bahwa organisasi kemasyarakatan dapat diartikan sebagai

organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat yang bebas dari kendali

lembaga negara dan dari kepentingan keuntungan ekonomi yang bertujuan untuk

membantu meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang

dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dari berbagai pengertian tersebut di atas, maka secara operasional dapat

diberi batasan bahwa organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk

oleh beberapa orang warga masyarakat secara sukarela atas dasar tertentu bukan

untuk mencari keuntungan ekonomi melainkan untuk meningkatkan kemampuan

dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang menjadi sasaran (target) baik

secara langsung maupun tidak langsung serta bersifat independen.

Ciri dasar organisasi dinamis seperti organisasi sosial kemasyarakatan

menurut Ruwiyanto (2003) adalah meliputi: (1) lingkungan sosial budaya yang

volatile, (2) sifat organisasi yang proaktif, (3) rantai pengambilan keputusan

pendek, (4) cenderung desentralisasi, (5) interaksi internal tinggi, (6) mobilisasi

struktural tinggi, dan (7) mementingkan aspek material daripada formal.

Hagul (1985) menyebutkan bahwa yang menjadi ciri pembeda dengan

organisasi lainnya, meliputi: (1) menjangkau masyarakat miskin, (2) berstruktur

dinamis (tidak birokratis), (3) mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas,

(4) mampu bereksperimen, dan (5) dana yang dibutuhkan relatif murah. Ditinjau

dari dimensi tujuan menurut Salusu (2000) Orkemas bercirikan: (1) syarat

kebebasan, (2) loyalitas masyarakat rendah karena bersifat sukarela, (3) struktur

(38)

nampak professional kecuali bidang keagamaan, (5) keuntungan yang didapat

tidak dibagi kepada pemilik, (6) bersifat memampukan masyarakat, (7) melayani

kepentingan masyarakat, dan (8) sebagai fasilitator pembangunan.

Pendapat tentang ciri ciri organisasi kemasyarakatan yang dikemukakan di

atas paling tidak mempunyai dua variasi, yaitu ciri ciri yang bersifat umum dan

ciri ciri yang bersifat khusus yang membedakannya dengan organisasi pemerintah

yang bersifat formal dan organisasi ekonomi.

Trum dan Johnson (1989) menguraikan fungsi fungsi vital yang harus

dijalankan dalam organisasi kemasyarakatan yang meliputi:

1. Mengintegrasikan organisasi sebagai salah satu bagian dari masyarakat luas

2. Menjamin kemudahan memperoleh sumberdaya

3. Hubungan dengan klien (pemakai dan penerima jasa)

4. Memantapkan misi organisasi

5. Perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, pengendalian dan evaluasi

6. Mengintegrasikan sub sistem social dan tugas tugas.

$ "

Organisasi pemerintah baik pada tingkat tertinggi sampai pada tingkat

terendah, yaitu mulai dari pemerintahan pusat, pemerintahan daerah propinsi,

kabupaten/kota sampai pada pemerintahan desa, dibentuk dalam rangka untuk

melaksanakan tugas tugas negara. Labolo ( 2006) “pemerintah adalah segenap

alat perlengkapan negara atau lembaga lembaga kenegaraan yang berfungsi

sebagai alat untuk mencapai tujuan negara”.

Untuk melaksanakan tugas tugas tersebut di atas, Ndraha (2000)

(39)

Sedangkan menurut Rasyid (2001) fungsi fungsi pemerintahan adalah fungsi

pengaturan, pelayanan, pemberdayan, dan pembangunan. Fungsi pengaturan atau

lebih dikenal dengan fungsi regulasi, fungsi pelayanan akan meberikan pelayanan

dengan dasar keadilan, fungsi pemberdayaan untuk mendorong kemandirian dan

fungsi pembangunan untuk Menciptakan kemakmuran dalam masyarakat.

Dari fungsi fungsi tersebut di atas, maka Osborn dan Gaebler (1996)

bahwa pemerintah tidak bisa dijalankan seperti sebuah bisnis dengan alasan:

" pimpinan bisnis selalu didorong oleh motif laba, sedangkan pimpinan

pemerintahan didorong oleh keinginan untuk bisa dipilih kembali; " bisnis

memperoleh sebagian besar uang dari pelanggannya, sedangkan pemerintah dari

membayar pajak; , perusahaan biasanya di dorong oleh kompetisi,

sedangkan pemerintah menggunakan monopli; , pemerintah mendapat

penghasilannya terutama dari pajak, sedangkan perusahan memperoleh

penghasilan bila pelanggan membeli produk atau jasa; , pemerintah bersifat

demokratis dan terbuka sehingga terkesan lebih lamban, sedangkan bisnis biasa

mengambil keputusan yang lebih cepat. Namun demikian, Bertrand (dalam Syani,

1995) oganisasi pemerintah desa termasuk salah satu bentuk organisasi sosial.

Dalam kaitan dengan hal tersebut Schumacher (1979) menyebutkan bahwa

penyebab utama masalah struktural di ialah karena pemerintah desa sebagai

struktur perantara dan sekaligus agen pembaharuan ternyata semakin tindak

mampu menjalankan fungsinya secara optimal sesuai dengan perkembangan

situasi dan kondisi masyarakat yang berubah dengan cepat. Artinya tingginya

kepercayaan pemerintah desa dari masyarakatternyata belum mampu berbuat

(40)

organisasi pemerintah desa yang cenderung ambivalen. Pada satu sisi organisasi

terjebak dengan struktur formalistik sesuai dengan peraturan, sehingga kegiatan

formalistik dengan keterbaasan kewenangan yang di miliki. Kemudian disisi lain

pemerintah desa yang merupakan organisasi yang beriteraksi langsung dengan

masyarakat di harusnya lebih non strukturalis sehingga lebih memudah

mendekatkan diri kepada masyarakat.

Kondisi pemerintah lokal/desa yang pada saat ini belum mampu

menjalankan fungsinya secara maksimal dan hanya tergantung pada level

pemerintah di atasnya. Hal ini berimplikasi langsung pada perubahan sosial di

lingkungan berjalan lambat dan aksi sosial seringkali hanya dilakukan bersamaan

dengan adanya uluran sumber daya dari pemerintah daerah atau pusat.

Oleh karena itu, peran pemerintah lokal/desa dalam pemberdayaan

keluarga miskin perlu untuk lebih ditingkatkan dimasa akan datang sehingga

mampu meberdayakan keluarga miskin yang ada di desanya.

"# !

Lewin (dalam Steers 1991) menyebutkan bahwa ada dua kekuatan

perubahan, yaitu kekuatan untuk mendorong perubahan ( ) dan

kekuatan untuk menentang perubahan ( ). Kedua kekuatan

tersebut saling tarik menarik, jika kekuatan yang menentang perubahan

mendominasi maka cenderung akan perubahan tidak akan berlangsung dan

demikian pula sebaliknya.

Peran kelembagaan lokal yaitu pemerintah lokal/desa dan lembaga

(41)

pemerintahan yang baik. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peran kelembagaan

lokal dalam pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang terencana

yang memperlihatkan adanya mitra kesejajaran yang nyata diantara pelaku

pembangunan yang meliputi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha/swasta.

Dalam konteks ini, ketiga pilar tata kelola pemerintahan yang baik yaitu

pemerintah, masyarakat dan dunia usaha/swasta berada dalam posisi kesetaraan

dalam mendorong proses perubahan. Dengan demikian, posisi dominan terhadap

ketiga pilar tersebut di atas tidak lagi dikenal dalam proses pembangunan

termasuk upaya untuk memberdayakan keluarga miskin di.

Menurut Sudarmajanti (2004) mengemukakan bahwa istilah tata kelola

kepemerintahan yang baik mengandung pemahaman sebagai berikut: (1) nilai

yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai nilai yang dapat

meningkatkan kemampuan rakayat dalam pencapaian tujuan nasional,

kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial, dan (2) aspek

fungsional pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk

mencapai tujuan tersebut.

Selanjutnya Budi (1999) mengemukakan bahwa sedikitnya terdapat lima

ciri sebagai prinsip utama yang harus dipenuhi dalam kriteria tata kelola

pemerintahsan yang baik sebagai prinsip yang saling terkait yaitu: (1)

akuntabilitas ( ); (2) keterbukaan dan trasnparansi (

); (3) Ketaatan pada aturan hukum; (4) Komitmen yang kuat untuk

bekerja bagi kepentingan bangsa dan Negara, dan bukan pada kelompek atau

pribadi; (5) Komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan pada

(42)

Sekretariat Pengembangan # # Bappenas (2005)

menyebutkan terdapat 14 (empat belas) prisip prinsip Tata Kepemerintahan Yang

Baik yang terdiri dari: (1) wawasan ke depan ( ), (2) keterbukaan dan

transparansi ( ), (3) partisipasi masyarakat

( ), (4) tanggung gugat ( ), (5) supremasi hukum (

), (6) demokrasi ( ), (7) profesionalisme dan kompetenxi

( ), (8) daya tanggap ( ), (9)

keefisienan dan keefektifan ( ), (10) desentralisasi

( $ ), (11) kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat

( ), (12) komitmen pada penanggulangan

kesenjangan commitment to reduce inequality), (13) komitmen pada lingkungan

hidup ( ), (14) Komitmen pada pasar yang

adil ( ).

Menurut Bhatta dalam Syaukani (2003) pada dasarnyardapat empat prinsip

tata kelola kepemerintahan yang baik yaitu; (1) akuntabilitas, (2) transparansi, (3)

keterbukaan, dan (4) penegakan hukum.

Pada penulisan ini, secara substansial terdapat lima prinsip tata kelola

kepemerintahaan yang baik sebagai bagian dari peran kelembagaan lokal dan

pemberdayaan keluarga miskin. Kelima prinsip tersebut masing masing:

1. Akuntabilitas; para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swastadan

masyarakat sivil (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan

lembaga lembaga stakeholders.

2. Transparansi; dibangun atas dasar kebebasan arus informasi di pusat maupun

(43)

mekanisme formulasi dan implementasi setiap kwebijakan, Program dan

kegiatan yang akan dilaksanakan.

3. Partisipasi; setiap warga negara ikut serta dalam pengambilan keputusan, baik

dilakukan secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili

kepentingannya. Di samping itu partisipasi mutlak diperlukan agar

penyelenggara pemerintahan dapat lebih mengenal warganya berikut cara

berfikirdan kebiasaan hidupnya.

4. Daya tanggap; Setiap masyarakat, institusi dan prosesnya diarahkan pada

upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkempentingan.

5. Komitmen pengurangan kesenjangan; semua warga negara, mempunyai

kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mempertahankan

kesejahteraan.

Memperhatikan hal tersebut, maka peran kelembagaan lokal dalam upaya

pemberdayaan keluarga miskin di dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip

prinsip tata pemerintahan yang baik yang meliputi: akuntabel, transparan,

partispatif, berdaya tanggap, dan bertanggung jawab pada pengurangan

kesenjangan. Dengan demikian dengan menerapkan peran kelembagaan lokal

yang di dasarkan pada prinsip prinsip tata pemerintahan yang baik dalam upaya

pemberdayaan keluarga miskin di dapat diwujudkan. Di samping itu dengan

adanya pemahaman akan peran kelembagaan lokal akan memudahkan bagi

masyarakat untuk melihat peran mereka masing masing dalam pembangungan

(44)

"

"

Definisi kemiskinan dapat ditelusuri dari beberapa sudut pandang, yang

diawali dari pendapat bahwa kemiskinan merupakan ketidakmampuan memenuhi

konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, hingga pengertian lebih luas yang

memasukkan komponen komponen sosial dan moral. Kemiskinan yang

didefinisikan dari sudut pandang penyebab terjadinya kemiskinan karena adanya

ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi, maka kemiskinan tersebut terkait

dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat yang

mendorong timbulnya kemiskinan. Di sisi lain, kemiskinan diartikan sebagai

bentuk ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan

oleh suatu pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan

tereksploitasi. Kondisi terakhir ini lebih dikenal dengan kemiskinan struktural

(Tim Smeru, 2001).

Menurut Bappenas (2003) kemiskinan sesungguhnya tidak semata mata

disebabkan oleh masalah masalah internal orang miskin, seperti rendahnya

pendapatan, rendahnya posisi tawar, budaya hidup yang tidak mendukung

kemajuan atau rendahnya kemampuan orang miskin dalam mengelola sumber

daya alam dan lingkungannya, di samping itu, kemiskinan juga berkaitan erat

dengan faktor faktor eksternal seperti:

1. Rendahnya akses terhadap sumberdaya dasar (pendidikan, kesehatan, air

bersih), atau berada di daerah terpencil ;

2. Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat yang antara lain

(45)

3. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik;

4. Konflik sosial dan politik;

5. Bencana alam, seperti longsor, gempa bumi;

6. Kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya

penanggulangan kemiskinan, serta aspek eksternal lainnya yang dapat menjadi

determinan dari poses pemiskinan.

Menurut Chambers (dalam Bagong, 2003), inti dari masalah kemiskinan

sebenarnya terletak pada apa yang disebut atau perangkap

kemiskinan. Secara rinci terdiri dari lima unsur, yaitu:

kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi,

kerentanan dan ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali berkait satu sama

lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar benar berbahaya dan

mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.

Menurut Narayan (2000) terdapat paling tidak lima pengertian kemiskinan

dan faktor faktor penyebabnya dari perspektif kelompok miskin. Pertama,

kemiskinan adalah bersifat multidimensional. Paling tidak terdapat enam dimensi

kemiskinan, yaitu: (a) kekurangan pangan dan kelaparan, (b) ketidakberdayaan,

ketidakmampuan berbicara, ketergantungan, tidak percaya diri atau malu, (c)

kurangnya akses terhadap infrastruktur: jalan, transportasi, air bersih, (d)

kerendahan pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan, (e) kesehatan yang

lemah dan umumnya berpenyakit, dan (f) ketidakmampuan mengelola asset fisik,

manusia, sosial, dan lingkungan.

Berdasarkan pengertian pengertian kemiskinan yang berwajah majemuk

(46)

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan,

papan)

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,

pendidikan, sanitasi, air bersih, transportasi)

3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untu pendidikan

dan keluarga)

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun missal

5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam

6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan social masyarakat

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang

berkesinambungan

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita

korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan

terpencil).

Di sisi lain bahwa kemiskinan adalah merupakan permasalahan klasik,

yang telah ada bersamaan dengan adanya umat manusia sebagai mahluk sosial.

Namun demikian sampai saat ini belum ditemukan model untuk menyelesaikan

permasalahan kemiskinan itu sendiri. Secara teoritis dari berbagai uraian tersebut

di atas, Suharto E ( 2006) mengemukakan bahwa ada dua paradigma atau

pandangan dalam menganalisis kemiskinan maupun merumuskan kebijakan dan

(47)

Tabel 2. Paradigma Neo Liberal dan Demokrasi Sosial tentang kemiskinan

" !% # "! % !

Landasan Teoritis Individual Struktural

Konsepsi dan Indikator Kemiskinan

Kemiskinan Absolut. Kemiskinan Relatif.

Penyebab Kemiskinan Kelemahan dan pilihan

pilihan individu; lemahnya Sumber : Cheyne, O’Brien dan Belgrave dalam Suharto (2006).

Paradigma pengentasan kemiskinan di atas merupakan konsep yang di

arahkan untuk menanggulangi kemiskinan di masyarakat. Di samping itu,

pembangunan yang di laksanakan, pada dasarnya adalah mengangkat harkat hidup

dengan meningkatkan kesejahteraaan masyarakat.

Namun demikian, salah satu tujuan dari pembangunan di negara

berkembang termasuk Indonesia adalah menekan tingkat kemiskinan. Dalam

kaian dengan Indonesia berbagai program program pembangunan telah dilakukan

pemerintah dalam upaya mengatasi permasalahan yang terkait dengan

kemiskinan. Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut, pemerintah

telah melakukan berbagai upaya melalui program pengentasan nasib orang

miskin. Pendekatan kesejahteraan dilakukan oleh Pemerintah antara lain melalui

(48)

Menurut Sua’dah (2005) keluarga merupakan kelompok sosial yang

terkecil yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Hakekatnya keluarga

merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui

kehidupan perkawinan bersama searah dengan keturunannya yang merupakan

suatu kesatuan yang khusus. Menurut Iver dan Page (dalam Khairuddin, 1997)

ciri ciri keluarga meliputi; 1) keluarga merupakan hubungan perkawinan, 2)

berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan

hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara, 3) sesuatu sistem

tata norma termasuk perhitungan garis keturunan, 4) ketentuan ketentuan ekonomi

yang dibentuk oleh anggota anggota kelompok yang mempunyai ketentuan

khusus terhadap kebutuhan kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan

kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak, dan 5)

merupakan tempat tinggal bersana, rumah atau rumah tangga yang walau

bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga.

Menurut Hasnida (2007) ada beberapa pengertian yang dapat dijelaskan

untuk memaknai keluarga. Menurut teori peran keluarga, keluarga adalah suatu

unit yang berfungsi sesuai atau tidak sesuai menurut tingkat persepsi peran dan

interaksi di antara kinerja peran dari setiap anggotanya. Selanjutnya menurut

Becvar (dalam Hasnida, 2007) keluarga yang berhasil, berfungsi dengan baik,

bahagia, dan kuat tidak hanya seimbang, tetapi perhatian terhadap anggota

keluarga yang lain, menggunakan waktu bersama sama, memiliki pola

komunikasi yang baik, memiliki tingkat orientasi yang tinggi terhadap agama, dan

(49)

lebih dimengerti, apabila tiap tahap perkembangan keluarga diteliti, karena setiap

tahap mempunyai permintaan peran, tanggung jawab, problem dan tantangan

tantangan sendiri sendiri. Tahapan perkembangan keluarga yang dimaksudkan

adalah (1) Keluarga baru, (2) Keluarga dengan anak, (3) Keluarga dengan balita

(4) Keluarga dengan anak sekolah, (5) Keluarga dengan anak remaja, (6) Keluarga

sebagai pusat peluncuran, (7) Keluarga tahun tahun tengah, dan (8) Pensiun.

Berdasarkan definisi keluarga tersebut dan jika dikaitkan dengan

permasalahan kemiskinan, maka unit terkecil dalam masyarakat yang rentan

terhadap masalah kemiskinan adalah keluarga, karena keluarga memiliki peran

dalam pemenuhan kebutuhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Guhardja dkk

(1992), fungsi keluarga adalah: (i) pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang,

papan, dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial, (ii) kebutuhan akan

pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual,

sosial, mental emosional, dan spiritual. Pengembangan melalui interaksi individu

dan keluarga akan memberikan dampak pada tingkat perkembangan individu lebih

luas dalam berbagai aspek, budaya, intelektual, dan sosial.

Lebih lanjut, Gunn, Duncan dan Aber (dalam Small dan Memmo, 2004),

menyatakan walaupun kemiskinan tidak menjelaskan mengapa terjadi

peningkatan keberadaan resiko: keluarga yang miskin memiliki lebih sedikit

sumberdaya keuangan untuk memperoleh barang barang yang diperlukan,

memiliki akses yang lebih rendah pada pelayanan dan sekolah yang berkualitas,

hidup dalam kondisi yang cenderung dengan tingkat bahaya dalam konteks

(50)

sehari hari, dan memiliki dukungan sosial yang lebih sedikit untuk melakukan

mobilitas dan meningkatnya isolasi pada keluarga ini.

Ketidakberdayaan keluarga miskin salah satunya tercermin dalam kasus di

mana elite desa dengan seenaknya memfungsikan diri sebagai oknum yang

menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang miskin.

Ketidakberdayaan keluarga miskin di kesempatan yang lain mungkin

dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu dan ditekan oleh

orang yang memiliki kekuasaan. Ketidakberdayaan sering pula mengakibatkan

terjadinya bias bantuan terhadap si miskin kepada kelas di atasnya yang

seharusnya tidak berhak memperoleh subsidi (Hafids, 2000; Bagong, 2003).

Hardjono (1999) menemukan bahwa bagi 31% dari jumlah rumah tangga,

dampak krisis moneter tersebut dirasakan dengan meningkatnya persaingan dalam

pekerjaan, terutama pada upah buruh pertanian, perdagangan dan penarik becak.

Selama kurun waktu dua tahun terakhir sebagian besar responden telah menjual

barang barang miliknya, terutama yang berupa anting anting dan kalung wanita,

termasuk barang barang rumah tangga seperti TV, sepeda dan perabotan rumah

(mebel). Alasan yang paling sering dikemukakan adalah untuk membeli bahan

pangan dan membayar biaya pendidikan anak, sementara penjualan aset seperti

sepeda motor adalah untuk mendapatkan modal untuk bisnis. Ditemukan

kenyataan bahwa semakin jauh suatu lokasi dari pusat pemerintahan desa dan

kecamatan, maka keikutsertaan dalam program Jaring Pengaman Sosial (JPS)

cenderung menurun. Responden yang tinggal di kampung terpencil dan berada di

wilayah perbatasan antara dua kecamatan ternyata sama sekali tidak mengikuti

(51)

Profil kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik ekonomi seperti sumber

pendapatan, pola konsumsi/pengeluaran, tingkat beban tanggungan dan lain lain.

Juga perlu diperhatikan profil kemiskinan dari karakteristik sosial budaya dan

karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas

kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih dan sebagainya.

Sedangkan penyebaran kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik geografisnya,

yaitu dengan menentukan di mana penduduk miskin terkonsentrasi. Untuk kasus

Indonesia, aspek geografis ini bisa terbagi dalam penyebaran kota dan desa, di

Jawa dan di luar Jawa (Subagyo et al, 2001).

Pada dasarnya metode identifikasi gejala kemiskinan dilakukan dengan

menggunakan metodologi dengan penelaahan pada aspek: (1) identifikasi

golongan/kelompok masyarakat miskin untuk menjawab (siapa?) dan (2)

identifikasi daerah miskin untuk mengetahui (di mana?). Selanjutnya untuk

mengetahui berapa banyak penduduk yang tergolong miskin umumnya dilakukan

dengan penetapan suatu garis kemiskinan (Sumardjo et al., 1994).

Inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut

atau perangkap kemiskinan. Secara rinci, perangkap kemiskinan

terdiri dari lima unsur, yaitu: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan

atau kadar isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali

saling berkait satu dengan yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan

yang benar benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga

miskin (Bagong, 2003).

Beberapa faktor yang berkontribusi pada kemiskinan termasuk,

(52)

(c) pengurangan pemerintah dari keuntungan keuntungan dalam pendapatan

program sekuritas, (d) peluang ketenagakerjaan menyangkut ketersediaan

lowongan dan kemudahan akses untuk mencari kerja, (e) restrukturisasi ekonomi,

dalam konteks ini pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi berkorelasi

dengan gaji tinggi, sebaliknya keterampilan rendah berkorelasi dengan gaji

rendah), (f) tingkat pendidikan, dalam konteks ini secara umum pencapaian

pendidikan yang lebih tinggi dapat menjaga sesorang berada dibawah garis

kemiskinan, dan (g) umur, dalam hal ini masyarakat yang berusia lanjut

cenderung untuk hidup pada pendapatan yang tetap.

"#

! & "#

Untuk melakukan perubahan secara sadar dalam suatu masyarakat maka

yang sangat dibutuhkan adalah bagaimana masyarakat itu diberdayakan dengan

melalui optimalisasi seluruh potensi yang dimiliki masyarakat. Menurut

Weissglass (1990) pemberdayaan ( ) “

% & (suatu proses

yang mendukung orang orang untuk membangun suatu pengertian dan tindakan

yang batu mengenai kebebasan yang mereka pilih). Lebih lanjut Christensen dan

Robinson (1984) menyatakan bahwa “pemberdayaan adalah suatu proses pribadi

dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan

kebebasan bertindak; diberdayakan adalah memberikan suatu gelompbang

(53)

kekuatan untk bertindak dan berkembang, untuk menjadi apa yang yang disebut

Paolo Freire ‘lebih memanusia’.

Sumodiningrat (1996) menyebutkan bahwa “upaya memberdayakan

masyarakat harus dilakukan melalui 3 jalur. , menciptakan suasana atau

iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah

pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakt memiliki potensi (daya) yang

dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu

dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran agar

potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. "

memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam

kerangka ini diperlukan langkah langkah lebih positif dan nyata, penyediaan

berbagi masukan (imput, perta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang

akan membuat masyarakat menjadi makin dalam memanfaatkan peluang. ,

memberdayakan mengandung pula arti melindungi, dalam proses pemberdayaan

harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah.

Korten (1988) mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada

dasarnya adalah pemberian kemampuan untuk mengelola berbagai sumber daya

bagi kepentingan rakyat. Kemudian Bennis and Mische (1994) pemberdayaan

berarti menghilangkan batasan birokratis yang mengkotak kotakkan orang dan

membuat mereka menggunakan seefektif mungkin keterampilan, pengalaman,

energi dan ambisinya. Kemudian Ife (1995), pemberdayaan berarti upaya

meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi kehidupan masa depannya

dengan memberikan sumberdaya, peluang, pengetahuan dan keterampilan. Oleh

(54)

pemberian kesempatan, kewenangan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam

pelaksanaan pembangunan seluruh bidang , sesuai dengan profesi, peranan serta

fungsinya. Dengan demikian pemberdayaan ialah pemberian ,

meliputi pemahaman masalah kebutuhan, penguasaan dan kemampuan untuk

mendayagunakan sumber daya yang dimiliki terarah untuk perbaikan nasib.

Lebih lanjut Pranarka & Moeljarto (1996) ”proses pemberdayaan

mengandung dua kecenderungan. , proses pemberdayaan yang

menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan,

kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individul lebih berdaya.

Kecendrungan atau proses pertama tadi dapat disebut sebagai kecenderungan

promer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan atau

kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau

memotivasi individu agar mempunyau kemampuan atau kebedayaan untuk

menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”.

Kemudian Slamet (2004) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,

berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu

berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko,

mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan

situasi. Selanjutnya Sumardjo dalam Pardosi (2005) menyebutkan ciri ciri

masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, (2) mampu

merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (3) mampu

(55)

memiliki yang memadai dalam melakukan kerjasama yang

saling menguntungkan, dan (6) bertanggungjawab atas tindakannya.

Oleh karena itu untuk melakukan pemberdayaan kepada masyarakat ada

beberapa dasar pokok yang menjadi patokan yaitu; (a) mengutamakan

masyarakat, khususnya kaum miskin, buta huruf dan kelompok yang

terpinggirkan, (b) menciptakan hubungan kerjasama antara mayarakat dan

lembaga lembaga pengembangan, (c) memobilisasi dan optimalisasi penggunaan

sumber daya lokal secara berkelanjutan, (d) mengurangi ketergantungan, (e)

membagi kekuasaan dan tanggung jawab, (f) meningkatkan tingkat keberlanjutan.

Untuk membangun partisipasi, lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan

masyarakat. Hulme dan Tunner (1990) berpendapat bahwa pemberdayaan

mendorong terjadinya sutu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang

orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar

di arena politik secara lokal maupun nasional. Oleh karena itu, konsep mengenai

pemberdayaan tidak hanya bersifat individual tetapi lebih dari itu yaitu bermakna

kolektif atau kelompok.

Sementara itu Billah (1993) menjelaskan bahwa agenda pemberdayaan

rakyat hendaknya diarahkan pada: , terciptanya gerakan rakyat. Istilah ini

digunakan secara sadar untk menerobos kisi kisi sekat secara sengaja terbangun

untuk mendorong partisipasi masyarakat akar rumput.Agenda ini untuk

menggandeng berbagai kekuatan berbagai kekuatan masyarakat agar mampu

memiliki dihadapan negara sekaligus berperan untk

memperjuangkan independensi dan otonomi masyarakat demi mengantisipasi

(56)

terhadap ekonomi pertumbuhan yang ditandai oleh pembangunan ekonomi

berskala besar, padat modal dana berorientasi ekspor. , kedaulatan rakyat

dalam masyarakat sipil yang kokoh. Ketiga agenda tersebut merupakan upaya

membangun kesadaran rakyat untuk mengembangan potensi yang dimiliki demi

mewujudkan kesejehateraan kolektif diantara mereka tanpa ada tekanan ekternal.

Dalam hubungan dengan hal tersebut di atas maka upaya pemberdayaan

pada dasarnya untuk menuju suatu kemandirian dalam suatu masyarakat.

Ginanjar (1992) Kemandirian pada hakekatnya dapat dikatakan sebagai

kemampuan manusia, masyarakat atau bangsa untuk bertahan dalam lingkungan

yang berubah, baik lingkungan alam, masyarakat maupun lingkungan antar

bangsa tanpa mengrbankan falsafah hiupnya. Sejalan dengan hal tersebut dalam

konteks keluarga, maka keluarga yang mandiri adalah keluarga yang tidak

memerlukan ketegantungan berkelanjutan pada orang, keluarga lain untuk

mendorong kemajuan dan kelangsungan hidupnya di masa mendatang. Di

samping itu kemandirin keluarga miskin adalah ketika memiliki kekuatan

bertahan terhadap berbagai perubahan dan dinamikan yang terjadi di luar dirinya.

Untuk mencapai keluarga yang mandiri maka langkah awal yang harus

dipenuhi oleh setiap keluarga miskin adalah memenuhi kebutuhan dasar yang

meliputi; (a) kebutuhan dasar atas pangan, (b) kebutuhan dasar akan layanan

kesehatan, (c) kebutuhan dasar akan layanan pendidikan, (d) kebutuhan dasar atas

pekerjaan dan berusaha, (e) kebutuhan dasar akan perumahan, (f) kebutuhan dasar

atas air bersih dan aman, serta sanitasi yang baik, (g) kebutuhan dasar atas tanah,

(h) kebutuhan dasar atas sumber daya alam dan lingkungan hidup, (i) kebutuhan

Gambar

Tabel  1: Kategori Pembagian Organisasi (Hicks 1996)
Tabel  2. Paradigma Neo Liberal dan Demokrasi Sosial tentang kemiskinan
Tabel 3. Prinsip Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik
Tabel 4.  Hasil Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sorotan dari pihak eksternal tersebut menjadikan AUTO sebagai perusahaan besar untuk lebih mempertimbangkan keputusannya untuk tidak melakukan perataan laba karena

Universitas Negeri

Kaltim Tahun Anggaran 2012, menyatakan bahwa pada tanggal 25 September 2012 pukul 11.59 Wita tahapan pemasukan/upload dokumen penawaran ditutup sesuai waktu pada

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai pengaruh ekuitas merek, kualitas pelayanan, dan switching cost terhadap

telah didapat pada tahap Think. 3) Aktivitas Share dilakukan secara berkelompok untuk mempresentasikan hasil kesepakatan pada tahap Pair di depan kelas. Pada tahap

Peran rakyat yang utama adalah memilih pemimpin, melakukan kontrol serta menentukan tujuan.Para pelaksana dakwah sebagai bagian dari elemen masyarakat memiliki

Tujuan penelitian ini untuk menentukan nilai karakteristik agregat dan nilai kuat tekan beton dari pemanfaatan limbah beton sebagai subtitusi agregat halus dengan

Untuk mengatasi masalah yang ada, penulis mencoba memberikan beberapa saran yang mungkin akan bermanfaat bagi pihak perusahaan, anatara lain sebaiknya perusahaan